Sabtu, 31 Mei 2014

Pure Love Bab 12



            Sudah senja. Justin menghubungi Elanie untuk yang kesekian kalinya tetapi wanita itu tidak sama sekali mengangkatnya. Terakhir ia menyadarinya karena ponsel itu tidak dibawa oleh Elanie dan tersembunyi di bawah bantal sehingga Justin mengetahuinya ketika ia menghubungi Elanie di dalam kamar. Kemana istrinya pergi? Justin tidak tahu dimana rumah Elanie—memang sangat memalukan—tetapi tidak mungkin Elanie pulang ke rumah orangtuanya. Kemungkinan besarnya adalah Elanie pergi menemui Denver, teman barunya. Keju Justin terasa hambar di mulutnya sekarang, ia ingin mati. Keju yang –tadinya—berbentuk persegi itu sekarang sudah hancur bentuknya karena Justin menggigitnya dalam satu gigitan yang cukup besar. Pria itu galau karena istrinya meninggalkannya. Padahal Elanie sudah berjanji pada Justin untuk tidak meninggalkan Justin. Seharusnya Justin menambahkan kalimat ‘apa pun yang terjadi’ tetapi terlambat, istrinya sudah pergi meninggalkannya dan yang Justin lakukan hanyalah menggigit keju untuk menunggu kedatangannya.
            Acara serial televisi di hadapannya tidak sama sekali menghiburnya. Hati Justin terlalu sakit untuk mencerna apa pun yang ada di hadapannya. Bahkan keju itu. Untuk apa ia memakan keju itu? Dan untuk apa ia duduk di atas sofa ini? Tidak ada yang masuk akal di pikirannya sekarang. Justin membutuhkan Elanie sampai-sampai ia merasa sebentar lagi akan mati tanpa melihatnya satu kalipun. Dan hari ini ia tidak melihat batang hidung istrinya, mungkin foto pernikahannya yang terpajang di ruang tengah dan ruang santai. Senyum di bibirnya berbanding terbalik dengan bibir yang ia lihat tadi malam. Bahkan tatapan di foto itu berbeda dengan tatapan ketakutan tadi malam. Justin benar-benar jahat terhadap istrinya. Bukan maksud Justin untuk menakut-nakuti istrinya, ia hanya ingin menyingkirkan bayi itu agar Elanie kembali menjadi milik Justin seutuhnya. Tetapi itulah ketakutan Justin sejak Patrick bercerita tentang anak-anak. Justin terlalu terbuai akan kenikmatan bercinta di atas ranjang sampai ia lupa kalau seharusnya ia memakai KB agar kehamilan Elanie tidak secepat ini.
            Justin sudah tahu kalau Elanie akan lebih memilih bayi itu dibanding dirinya. Padahal Elanie sudah berjanji pada Justin kalau mereka memiliki anak nanti, Elanie tetap menyayangi Justin. Tetapi apa buktinya? Sekarang Elanie pergi dari rumah tanpa ada kabar sedikitpun. Justin melempar keju yang ia makan ke layar televisi ketika acara serial televisi itu memperlihatkan adegan ciuman romantis. Ciuman sialan itu sudah tidak bisa Justin rasakan kembali. Pft, siapa yang sekarang membutuhkan ciuman itu? Yang Justin butuhkan sekarang hanyalah Elanie di sampingnya dan mengatakan betapa menyesalnya ia telah menakut-nakuti Elanie. Jika keinginan Elanie adalah mempertahankan bayi itu, Justin tidak tahu harus berbuat apa lagi selain membiarkannya dibanding ia harus kehilangan Elanie seperti ini.
            Matanya jatuh menatap pada ponselnya yang ia taruh di atas meja. Ia berharap penuh kalau-kalau Elanie menghubunginya. Tubuhnya terlonjak dari atas sofa ketika ponsel itu berdering nyaring. Segera saja ia mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa yang menghubunginya.
            “Elanie?”
            “Justin,” suara ibu Elanie yang malah terdengar di telinganya. Tetapi tidak apa-apa. Setidaknya Justin sekarang tahu kalau Elanie baik-baik saja bersama ibunya. “Elanie tidak ingin menemuimu satu minggu ini. Jika kau bisa mengerti perasaannya, itu akan menjadi kelegaan bagi Elanie,”         
            “Tidak, aku tidak bisa, Mrs. Clinton! Aku membutuhkannya. Tolong berikan ponselmu pada Elanie agar aku bisa berbicara dengannya. Kumohon, Mrs.Clinton, aku harus mendengar suaranya biar sebentar saja,” pinta Justin memohon. Hening yang mematikan terjadi beberapa saat. Seolah-olah ini adalah panggilan terakhir yang dapat Justin lakukan bersama Elanie, jika Elanie tidak ingin melakukannya, maka Justin akan mati detik kemudian. Tetapi hasilnya sama seperti apa yang akan Mrs. Clinton katakan.
            “Elanie tidak ingin berbicara denganmu untuk beberapa waktu ini. Terima kasih sudah meluangkan waktumu, Justin,” ucap Mrs.Clinton mematikan ponselnya. Seketika itu juga Justin kembali menatap layar ponsel dan menghubungi Mrs.Clinton kembali. Tidak ada jawaban. Sialan, pasti Elanie yang memerintah ibunya. Justin berkali-kali menghubungi ibu Elanie sampai-sampai ia terpaksa harus melempar ponselnya yang lain akibat amarah yang membakar dirinya. Persetan dengan semuanya, Justin akan datang menemui Elanie di rumah orangtuanya.


***


            Malam memang sudah menjadi bagian dari Atlanta. Selama di perjalanan menuju rumah orangtua Elanie, Justin menghubungi ibu Elanie dengan ponselnya yang lain terus menerus tetapi tetap saja tidak diangkat. Justin sendiri bahkan bingung mengapa ia memiliki begitu banyak ponsel di ruang kerjanya. Tetapi ia tidak peduli dari mana asal ponsel itu yang jelas adalah sekarang ia harus bertemu dengan Elanie. Masuk ke dalam perumahan rumah Elanie, Justin dapat melihat perumahan itu terasa sangat mencekam. Didukung dengan petir yang terus menyambar kota Atlanta dan Justin yakin kalau sebentar lagi akan hujan. Setibanya di halaman rumah orangtua Elanie, hujan mengguyur sebagian kota Altanta. Justin tetap berada di dalam mobilnya dengan lagu The Beach Boys terus terputar untuk menemani malamnya yang kelam. Matanya memerhatikan rumah orangtua Elanie dengan bentuk yang abstrak karena titik-titik hujan yang jatuh ke atas kaca mobilnya.
            Justin menekan klakson mobil. Dua kali. Dan ia berharap sebentar lagi Elanie akan keluar dari rumah orangtuanya. Dulu memang ini adalah rumah Elanie, tetapi sekarang Elanie sudah menikah dengan Justin dan memiliki rumah sendiri. Elanie sudah menjadi milik Justin. Sekali lagi Justin menekan klakson mobil tetapi kali ini ia menekannya selama 20 detik lalu berhenti. Pintu rumah orangtua Elanie terbuka, tetapi yang muncul bukanlah Elanie. Melainkan ayah Elanie yang sudah memakai jaket. Justin turun dari mobilnya, melawan hujan yang deras lalu berjalan menuju ayah Elanie. Tetapi ia tidak sempat berteduh karena ayah Elanie yang menahannya.
            “Untuk apa kau datang ke sini?” Tanya Ayah Elanie, keras. Tetapi nyali Justin kali ini lebih besar.
            “Bertemu dengan istriku, Mr.Clinton. Aku ingin bertemu dengannya,”
            “Setelah apa yang kaulakukan padanya? Katakan padaku, Bieber, mengapa kau ingin menggugurakan bayi di dalam perutnya? Apa kau tidak sayang istrimu yang ingin memiliki anak itu? Well, kita berdua sudah tahu, Bieber. Kau tidak sayang istrimu karena sekarang ia berada di rumahku,”
            “Aku menyayanginya, Mr.Clinton! Kau yang tidak tahu betapa aku membutuhkannya sekarang. Aku tahu aku salah karena keegoisanku untuk memilikinya. Elanie!” Justin berteriak saat menyebut nama istrinya. Ia mundur beberapa langkah lalu menempatkan kedua tangannya di samping mulutnya. Ia berteriak. “Aku tahu aku memang bukan pria yang kauingini. Aku tahu kau dulu hampir gila akibat tingkahku yang kekanak-kanakan dan selalu mempermalukanmu. Aku tahu kau terlalu egois untuk memilikimu sampai-sampai aku tidak menginginkan anak kita. Aku tahu aku bodoh karena ingin membunuh anak kita, sayang. Tetapi Elanie, kau tahu aku. Aku mencintaimu lebih dari ucapan ini. Aku sungguh menyesal, Elanie! Kumohon maafkan aku dan jika kau memaafkan aku, kumohon keluarlah,”
            Tetapi yang membalasnya adalah hentakan pintu rumah orangtua Elanie yang tertutup. Justin memejamkan matanya. Kedua tangannya bersandar pada ujung kedua lututnya lalu menangis di sana. Air matanya menyatu dengan derasnya air hujan. Ia mati rasa padahal udara sangat dingin. Berbeda dengan Elanie yang berada di dalam ruang tamunya, bersembunyi di balik pintunya tadi ketika ayahnya berbicara dengan Justin. Dan ia memang mendengar apa yang Justin teriakan padanya. Air matanya mengalir di pipinya, tidak tega melihat suaminya tersiksa seperti ini. Tetapi Justin harus diberi pelajaran agar ia tahu betapa sakit hatinya Elanie ketika pria itu meminta untuk menggugurkan bayi pertama mereka. Elanie melihat Justin dari kaca jendela pintunya. Pria itu sedang membungkukkan tubuhnya, sesekali punggung itu bergerak seperti terisak, pasti ia menangis. Ingin rasanya Elanie berlari ke arah Justin dan memeluk suaminya, tetapi hati berkata tidak. Biarlah pria itu seperti itu sampai ia berubah pikiran untuk tidak menggugurkan bayi mereka. Tubuh itu berpaling, ia berjalan memunggungi pintu itu tepat ketika Justin mulai muntah di luar sana. Tetapi Elanie tidak melihatnya, ia terus berjalan menuju ruang makan untuk melanjutkan makan malamnya.
            Sudah hampir satu jam Justin berada di halaman rumah Elanie tetapi hujan tak kunjung reda. Justin tidak peduli meski ia sudah muntah untuk yang kedua kalinya. Itu tidak membuat Justin pergi dari tempatnya. Justin memang tidak boleh terkena air hujan lama-lama karena ia mudah terserang demam dan muntah-muntah. Meski ia sudah sebesar ini. Siapa yang tidak sakit jika hujan deras mengguyur dan angin menerpa tubuh? Kecuali jika orang itu memang kebal. Justin kembali mengeluarkan isi perutnya—yang hanya keju—di halaman berumput itu, ini sudah tiga kali. Ia memang tidak memakan apa pun selain keju hari ini dan tentunya air putih. Pria yang malang itu akhirnya pergi dengan lesu menuju mobilnya yang masih menyala lalu ia membuka pintunya dan masuk ke dalam. Ia menutup pintu mobil itu lalu duduk dengan tenang di dalamnya. AC yang ia nyalakan di dalam mobil itu membuat tubuhnya tiba-tiba menggigil kedinginan. Segera saja ia mematikan mesin mobil lalu jatuh kedinginan ke setir mobil, tertidur. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah pelukan kasih sayang dari Elanie.


***


            Pujaan hatinya tak kunjung datang untuk melihat keadaannya. Wajah pria itu pucat karena kehujanan tadi malam dan ia belum memakan makanan yang layak. Ia bangkit dari jendela mobilnya. Kepalanya tergeleng-geleng untuk menyadarkan dirinya kalau ini sudah pagi. Tidak ada yang menghampirinya tadi malam, termasuk Elanie. Ah, ya Tuhan, Elanie! Pria itu dengan sisa tenaga yang ia miliki membuka pintu mobil lalu terjatuh begitu saja ke halaman rumah Elanie dengan wajah yang mendarat lebih dulu. Untungnya, wajah mulus itu tidak rusak tetapi kotor akibat air hujan tadi malam. Dengan segera ia bangkit dari rerumputan yang tidak ia muntahi itu dengan tumpuan pintu mobil. Setelah benar-benar bangkit, Justin berjalan sempoyongan akibat kepalanya yang masih terasa pening.
            Kakinya berhenti melangkah ketika ia sudah benar-benar berada di depan pintu rumah orangtua Elanie. Tangannya bergetar ketika ia berusaha untuk mengetuk pintu. Aku pria dewasa, pikirnya. Langsung saja tangannya yang bergetar itu mengetuk-ketuk pintu itu dengan kencang, berkali-kali. Tidak sampai 2 menit, ibu Elanie langsung membukakan pintu untuk Justin. Memang matahari sudah menyambut mereka, tetapi tidak jam 6 pagi seperti ini! Baru saja ingin memarahi Justin, ibu Elanie terpaksa harus menahan tubuh Justin yang jatuh ke atas dadanya secara tiba-tiba. Pria itu pingsan.
            “Clinton! Elanie!” Teriak ibu Elanie panik seketika itu juga. Ia sekuat tenaga menahan tubuh Justin yang lebih besar dibanding dirinya. Dengan pelan-pelan ia menaruh tubuh Justin ke atas lantai karena ia tahu, ia tidak akan sanggup membawanya masuk  ke dalam. “Clinton, cepatlah,” teriak ibu Elanie sekali lagi. Tidak butuh waktu lama, ayah Elanie sudah muncul dari belakang tubuh Mrs. Clinton.
            “Astaga,” gumamnya dengan kata kotor. Ia melewati tubuh istrinya, dan lalu membopong tubuh Justin ke atas bahunya. Meskipun sudah tahu, Mr.Clinton memiliki tubuh yang bugar dan masih kuat untuk membawa anak muda seperti Justin. Terdengar suara larian dari tangga, bukan hanya satu orang yang berlari. Tetapi dua. Dan yang satunya lagi bukanlah orang, tetapi anjing Elanie, Timo. Mereka langsung berlari menuju ruang tamu.
            “Ada apa?” Tanya Elanie menahan dirinya pada tembok pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Ayahnya yang memunggunginya itu sedang membaringkan tubuh Justin di atas sofa panjang. Pria itu sudah kering, bajunya tidak basah lagi, tetapi rambut lembab terpisah-pisah. Bibirnya putih, wajahnya juga lebih putih. Naluri Elanie sebagai istrinya langsung bereaksi. Ia berlari ke arah Justin, menyingkirkan ayah dan ibunya yang berdiri menempati tempat yang seharusnya Elanie tempati. Ia bersimpuh di depan sofa lalu menyentuh pipi Justin. Tubuhnya dingin seperti mayat. Astaga, apa yang telah Elanie lakukan? Panik, nafas Elanie tak beraturan. Ia telah melakukan kesalahan, ya Tuhan, bukan maksud Elanie membuat Justin sakit seperti ini. Mungkin memang ia marah pada suaminya, tetapi, mana ada istri yang tega membiarkan suaminya sakit?
            “Ayah, bisakah kau membawanya ke kamarku?”
            “Tentu.” Wajah ayahnya, ragu-ragu. Elanie menatap ayahnya skeptis. Ia mendesah. “Ya, tentu saja.” Kali ini suaranya lebih meyakinkan.


***

           
            Wajah Justin sudah tak pucat lagi setelah Elanie menutupi tubuhnya dengan selimut ditambah ia menyalakan penghangat ruangan hingga Justin berkeringat. Elanie terduduk di sebelah Justin sambil mengelus-elus Timo yang bersarang di antara paha Elanie. Sudah jam 8 pagi, tetapi Justin tak kunjung bangun. Pria itu sepertinya kekurangan makan kemarin dan menangis. Matanya sembab serta kelihatan tak beraturan. Elanie mengelus kepala Justin dengan lembut lalu kembali lagi mengelus Timo.
            “Kadang aku sangat benci memilikinya, tetapi di satu sisi aku sangat menyayanginya. Aku benci memilikinya karena aku tahu, aku tak cukup sempurna baginya. Tidak mungkin aku menceraikannya, aku tidak bisa melakukan itu karena aku sudah terlanjur jatuh cinta. Sebenarnya, apa yang kurang darinya? Ia sudah sempurna. Sekarang. Ia sudah menjadi pria dewasa yang normal, menginginkan aku layaknya pria di luar sana yang menginginkan kekasihnya. Ia sudah sempurna dengan apa  yang ia miliki, tetapi ternyata aku tidak menginginkan kesempurnaan darinya. Aku butuh dia menerima diriku. Hanya itu. Ah, aku memang senang sekali melantur seperti ini. Baiklah. Mari kita jaga rahasia ini bersama-sama Timo, aku tahu kau anjing yang selalu menjaga rahasia-rahasiaku. Dan 9 bulan lagi kau akan memiliki teman, Timo. Jadi, kuharap kau bisa menjaga rahasia ini,” Timo hanya bersungut meminta dielus kembali oleh Elanie. Mata Elanie menatap suaminya dengan tatapan lembut. Mata birunya selalu membuat Justin sulit untuk memalingkan pandangannya dari Elanie. Terlebih lagi Elanie adalah gadis yang baik dan tidak pernah ingin menyakitinya—kecuali kemarin malam.
            Tidak sampai lima menit, Justin membuka matanya. Tangannya dengan segera menyingkirkan selimut yang membuat tubuhnya kegerahan. Apa-apaan yang terjadi? Astaga, rasanya seperti di neraka saja. Ia mengucek-kucek matanya lalu ia menarik tubuhnya, ia duduk di atas ranjang lalu mendesah. Tadi malam ia sungguh kedinginan! Setelah mendesah untuk yang kedua kalinya, akhirnya Justin mendongak Justin terkejut setengah mati ketika ia melihat istrinya berada di hadapannya sedang memeluk seekor anjing dan tampak sangat baik-baik saja.

            “Elanie!” Justin memeluk Elanie seperti anak kecil memeluk ibunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar