Sudah
senja. Justin menghubungi Elanie untuk yang kesekian kalinya tetapi wanita itu
tidak sama sekali mengangkatnya. Terakhir ia menyadarinya karena ponsel itu
tidak dibawa oleh Elanie dan tersembunyi di bawah bantal sehingga Justin
mengetahuinya ketika ia menghubungi Elanie di dalam kamar. Kemana istrinya
pergi? Justin tidak tahu dimana rumah Elanie—memang sangat memalukan—tetapi
tidak mungkin Elanie pulang ke rumah orangtuanya. Kemungkinan besarnya adalah
Elanie pergi menemui Denver, teman barunya. Keju Justin terasa hambar di
mulutnya sekarang, ia ingin mati. Keju yang –tadinya—berbentuk persegi itu
sekarang sudah hancur bentuknya karena Justin menggigitnya dalam satu gigitan
yang cukup besar. Pria itu galau karena istrinya meninggalkannya. Padahal
Elanie sudah berjanji pada Justin untuk tidak meninggalkan Justin. Seharusnya
Justin menambahkan kalimat ‘apa pun yang terjadi’ tetapi terlambat, istrinya
sudah pergi meninggalkannya dan yang Justin lakukan hanyalah menggigit keju
untuk menunggu kedatangannya.
Acara
serial televisi di hadapannya tidak sama sekali menghiburnya. Hati Justin
terlalu sakit untuk mencerna apa pun yang ada di hadapannya. Bahkan keju itu.
Untuk apa ia memakan keju itu? Dan untuk apa ia duduk di atas sofa ini? Tidak
ada yang masuk akal di pikirannya sekarang. Justin membutuhkan Elanie
sampai-sampai ia merasa sebentar lagi akan mati tanpa melihatnya satu kalipun.
Dan hari ini ia tidak melihat batang hidung istrinya, mungkin foto
pernikahannya yang terpajang di ruang tengah dan ruang santai. Senyum di
bibirnya berbanding terbalik dengan bibir yang ia lihat tadi malam. Bahkan
tatapan di foto itu berbeda dengan tatapan ketakutan tadi malam. Justin
benar-benar jahat terhadap istrinya. Bukan maksud Justin untuk menakut-nakuti
istrinya, ia hanya ingin menyingkirkan bayi itu agar Elanie kembali menjadi
milik Justin seutuhnya. Tetapi itulah ketakutan Justin sejak Patrick bercerita
tentang anak-anak. Justin terlalu terbuai akan kenikmatan bercinta di atas
ranjang sampai ia lupa kalau seharusnya ia memakai KB agar kehamilan Elanie
tidak secepat ini.
Justin
sudah tahu kalau Elanie akan lebih memilih bayi itu dibanding dirinya. Padahal
Elanie sudah berjanji pada Justin kalau mereka memiliki anak nanti, Elanie
tetap menyayangi Justin. Tetapi apa buktinya? Sekarang Elanie pergi dari rumah
tanpa ada kabar sedikitpun. Justin melempar keju yang ia makan ke layar
televisi ketika acara serial televisi itu memperlihatkan adegan ciuman
romantis. Ciuman sialan itu sudah tidak bisa Justin rasakan kembali. Pft, siapa
yang sekarang membutuhkan ciuman itu? Yang Justin butuhkan sekarang hanyalah
Elanie di sampingnya dan mengatakan betapa menyesalnya ia telah menakut-nakuti
Elanie. Jika keinginan Elanie adalah mempertahankan bayi itu, Justin tidak tahu
harus berbuat apa lagi selain membiarkannya dibanding ia harus kehilangan
Elanie seperti ini.
Matanya
jatuh menatap pada ponselnya yang ia taruh di atas meja. Ia berharap penuh
kalau-kalau Elanie menghubunginya. Tubuhnya terlonjak dari atas sofa ketika
ponsel itu berdering nyaring. Segera saja ia mengangkat telepon itu tanpa
melihat siapa yang menghubunginya.
“Elanie?”
“Justin,”
suara ibu Elanie yang malah terdengar di telinganya. Tetapi tidak apa-apa.
Setidaknya Justin sekarang tahu kalau Elanie baik-baik saja bersama ibunya. “Elanie
tidak ingin menemuimu satu minggu ini. Jika kau bisa mengerti perasaannya, itu
akan menjadi kelegaan bagi Elanie,”
“Tidak,
aku tidak bisa, Mrs. Clinton! Aku membutuhkannya. Tolong berikan ponselmu pada
Elanie agar aku bisa berbicara dengannya. Kumohon, Mrs.Clinton, aku harus
mendengar suaranya biar sebentar saja,” pinta Justin memohon. Hening yang
mematikan terjadi beberapa saat. Seolah-olah ini adalah panggilan terakhir yang
dapat Justin lakukan bersama Elanie, jika Elanie tidak ingin melakukannya, maka
Justin akan mati detik kemudian. Tetapi hasilnya sama seperti apa yang akan
Mrs. Clinton katakan.
“Elanie
tidak ingin berbicara denganmu untuk beberapa waktu ini. Terima kasih sudah
meluangkan waktumu, Justin,” ucap Mrs.Clinton mematikan ponselnya. Seketika itu
juga Justin kembali menatap layar ponsel dan menghubungi Mrs.Clinton kembali.
Tidak ada jawaban. Sialan, pasti Elanie yang memerintah ibunya. Justin
berkali-kali menghubungi ibu Elanie sampai-sampai ia terpaksa harus melempar
ponselnya yang lain akibat amarah yang membakar dirinya. Persetan dengan
semuanya, Justin akan datang menemui Elanie di rumah orangtuanya.
***
Malam
memang sudah menjadi bagian dari Atlanta. Selama di perjalanan menuju rumah
orangtua Elanie, Justin menghubungi ibu Elanie dengan ponselnya yang lain terus
menerus tetapi tetap saja tidak diangkat. Justin sendiri bahkan bingung mengapa
ia memiliki begitu banyak ponsel di ruang kerjanya. Tetapi ia tidak peduli dari
mana asal ponsel itu yang jelas adalah sekarang ia harus bertemu dengan Elanie.
Masuk ke dalam perumahan rumah Elanie, Justin dapat melihat perumahan itu
terasa sangat mencekam. Didukung dengan petir yang terus menyambar kota Atlanta
dan Justin yakin kalau sebentar lagi akan hujan. Setibanya di halaman rumah
orangtua Elanie, hujan mengguyur sebagian kota Altanta. Justin tetap berada di
dalam mobilnya dengan lagu The Beach Boys terus terputar untuk menemani
malamnya yang kelam. Matanya memerhatikan rumah orangtua Elanie dengan bentuk
yang abstrak karena titik-titik hujan yang jatuh ke atas kaca mobilnya.
Justin
menekan klakson mobil. Dua kali. Dan ia berharap sebentar lagi Elanie akan
keluar dari rumah orangtuanya. Dulu memang ini adalah rumah Elanie, tetapi
sekarang Elanie sudah menikah dengan Justin dan memiliki rumah sendiri. Elanie
sudah menjadi milik Justin. Sekali lagi Justin menekan klakson mobil tetapi
kali ini ia menekannya selama 20 detik lalu berhenti. Pintu rumah orangtua
Elanie terbuka, tetapi yang muncul bukanlah Elanie. Melainkan ayah Elanie yang
sudah memakai jaket. Justin turun dari mobilnya, melawan hujan yang deras lalu
berjalan menuju ayah Elanie. Tetapi ia tidak sempat berteduh karena ayah Elanie
yang menahannya.
“Untuk
apa kau datang ke sini?” Tanya Ayah Elanie, keras. Tetapi nyali Justin kali ini
lebih besar.
“Bertemu
dengan istriku, Mr.Clinton. Aku ingin bertemu dengannya,”
“Setelah
apa yang kaulakukan padanya? Katakan padaku, Bieber, mengapa kau ingin
menggugurakan bayi di dalam perutnya? Apa kau tidak sayang istrimu yang ingin
memiliki anak itu? Well, kita berdua sudah tahu, Bieber. Kau tidak sayang
istrimu karena sekarang ia berada di rumahku,”
“Aku
menyayanginya, Mr.Clinton! Kau yang tidak tahu betapa aku membutuhkannya
sekarang. Aku tahu aku salah karena keegoisanku untuk memilikinya. Elanie!”
Justin berteriak saat menyebut nama istrinya. Ia mundur beberapa langkah lalu
menempatkan kedua tangannya di samping mulutnya. Ia berteriak. “Aku tahu aku
memang bukan pria yang kauingini. Aku tahu kau dulu hampir gila akibat
tingkahku yang kekanak-kanakan dan selalu mempermalukanmu. Aku tahu kau terlalu
egois untuk memilikimu sampai-sampai aku tidak menginginkan anak kita. Aku tahu
aku bodoh karena ingin membunuh anak kita, sayang. Tetapi Elanie, kau tahu aku.
Aku mencintaimu lebih dari ucapan ini. Aku sungguh menyesal, Elanie! Kumohon
maafkan aku dan jika kau memaafkan aku, kumohon keluarlah,”
Tetapi
yang membalasnya adalah hentakan pintu rumah orangtua Elanie yang tertutup.
Justin memejamkan matanya. Kedua tangannya bersandar pada ujung kedua lututnya
lalu menangis di sana. Air matanya menyatu dengan derasnya air hujan. Ia mati
rasa padahal udara sangat dingin. Berbeda dengan Elanie yang berada di dalam
ruang tamunya, bersembunyi di balik pintunya tadi ketika ayahnya berbicara
dengan Justin. Dan ia memang mendengar apa yang Justin teriakan padanya. Air
matanya mengalir di pipinya, tidak tega melihat suaminya tersiksa seperti ini.
Tetapi Justin harus diberi pelajaran agar ia tahu betapa sakit hatinya Elanie
ketika pria itu meminta untuk menggugurkan bayi pertama mereka. Elanie melihat
Justin dari kaca jendela pintunya. Pria itu sedang membungkukkan tubuhnya,
sesekali punggung itu bergerak seperti terisak, pasti ia menangis. Ingin
rasanya Elanie berlari ke arah Justin dan memeluk suaminya, tetapi hati berkata
tidak. Biarlah pria itu seperti itu sampai ia berubah pikiran untuk tidak
menggugurkan bayi mereka. Tubuh itu berpaling, ia berjalan memunggungi pintu
itu tepat ketika Justin mulai muntah di luar sana. Tetapi Elanie tidak
melihatnya, ia terus berjalan menuju ruang makan untuk melanjutkan makan
malamnya.
Sudah
hampir satu jam Justin berada di halaman rumah Elanie tetapi hujan tak kunjung
reda. Justin tidak peduli meski ia sudah muntah untuk yang kedua kalinya. Itu
tidak membuat Justin pergi dari tempatnya. Justin memang tidak boleh terkena
air hujan lama-lama karena ia mudah terserang demam dan muntah-muntah. Meski ia
sudah sebesar ini. Siapa yang tidak sakit jika hujan deras mengguyur dan angin
menerpa tubuh? Kecuali jika orang itu memang kebal. Justin kembali mengeluarkan
isi perutnya—yang hanya keju—di halaman berumput itu, ini sudah tiga kali. Ia
memang tidak memakan apa pun selain keju hari ini dan tentunya air putih. Pria
yang malang itu akhirnya pergi dengan lesu menuju mobilnya yang masih menyala
lalu ia membuka pintunya dan masuk ke dalam. Ia menutup pintu mobil itu lalu
duduk dengan tenang di dalamnya. AC yang ia nyalakan di dalam mobil itu membuat
tubuhnya tiba-tiba menggigil kedinginan. Segera saja ia mematikan mesin mobil
lalu jatuh kedinginan ke setir mobil, tertidur. Yang ia butuhkan sekarang
hanyalah pelukan kasih sayang dari Elanie.
***
Pujaan
hatinya tak kunjung datang untuk melihat keadaannya. Wajah pria itu pucat
karena kehujanan tadi malam dan ia belum memakan makanan yang layak. Ia bangkit
dari jendela mobilnya. Kepalanya tergeleng-geleng untuk menyadarkan dirinya
kalau ini sudah pagi. Tidak ada yang menghampirinya tadi malam, termasuk
Elanie. Ah, ya Tuhan, Elanie! Pria itu dengan sisa tenaga yang ia miliki
membuka pintu mobil lalu terjatuh begitu saja ke halaman rumah Elanie dengan wajah
yang mendarat lebih dulu. Untungnya, wajah mulus itu tidak rusak tetapi kotor
akibat air hujan tadi malam. Dengan segera ia bangkit dari rerumputan yang
tidak ia muntahi itu dengan tumpuan pintu mobil. Setelah benar-benar bangkit,
Justin berjalan sempoyongan akibat kepalanya yang masih terasa pening.
Kakinya
berhenti melangkah ketika ia sudah benar-benar berada di depan pintu rumah
orangtua Elanie. Tangannya bergetar ketika ia berusaha untuk mengetuk pintu. Aku pria dewasa, pikirnya. Langsung saja
tangannya yang bergetar itu mengetuk-ketuk pintu itu dengan kencang,
berkali-kali. Tidak sampai 2 menit, ibu Elanie langsung membukakan pintu untuk
Justin. Memang matahari sudah menyambut mereka, tetapi tidak jam 6 pagi seperti
ini! Baru saja ingin memarahi Justin, ibu Elanie terpaksa harus menahan tubuh
Justin yang jatuh ke atas dadanya secara tiba-tiba. Pria itu pingsan.
“Clinton!
Elanie!” Teriak ibu Elanie panik seketika itu juga. Ia sekuat tenaga menahan
tubuh Justin yang lebih besar dibanding dirinya. Dengan pelan-pelan ia menaruh
tubuh Justin ke atas lantai karena ia tahu, ia tidak akan sanggup membawanya
masuk ke dalam. “Clinton, cepatlah,”
teriak ibu Elanie sekali lagi. Tidak butuh waktu lama, ayah Elanie sudah muncul
dari belakang tubuh Mrs. Clinton.
“Astaga,”
gumamnya dengan kata kotor. Ia melewati tubuh istrinya, dan lalu membopong
tubuh Justin ke atas bahunya. Meskipun sudah tahu, Mr.Clinton memiliki tubuh
yang bugar dan masih kuat untuk membawa anak muda seperti Justin. Terdengar
suara larian dari tangga, bukan hanya satu orang yang berlari. Tetapi dua. Dan
yang satunya lagi bukanlah orang, tetapi anjing Elanie, Timo. Mereka langsung
berlari menuju ruang tamu.
“Ada
apa?” Tanya Elanie menahan dirinya pada tembok pembatas ruang tamu dan ruang
keluarga. Ayahnya yang memunggunginya itu sedang membaringkan tubuh Justin di
atas sofa panjang. Pria itu sudah kering, bajunya tidak basah lagi, tetapi
rambut lembab terpisah-pisah. Bibirnya putih, wajahnya juga lebih putih. Naluri
Elanie sebagai istrinya langsung bereaksi. Ia berlari ke arah Justin,
menyingkirkan ayah dan ibunya yang berdiri menempati tempat yang seharusnya
Elanie tempati. Ia bersimpuh di depan sofa lalu menyentuh pipi Justin. Tubuhnya
dingin seperti mayat. Astaga, apa yang telah Elanie lakukan? Panik, nafas
Elanie tak beraturan. Ia telah melakukan kesalahan, ya Tuhan, bukan maksud
Elanie membuat Justin sakit seperti ini. Mungkin memang ia marah pada suaminya,
tetapi, mana ada istri yang tega membiarkan suaminya sakit?
“Ayah,
bisakah kau membawanya ke kamarku?”
“Tentu.”
Wajah ayahnya, ragu-ragu. Elanie menatap ayahnya skeptis. Ia mendesah. “Ya,
tentu saja.” Kali ini suaranya lebih meyakinkan.
***
Wajah
Justin sudah tak pucat lagi setelah Elanie menutupi tubuhnya dengan selimut
ditambah ia menyalakan penghangat ruangan hingga Justin berkeringat. Elanie
terduduk di sebelah Justin sambil mengelus-elus Timo yang bersarang di antara
paha Elanie. Sudah jam 8 pagi, tetapi Justin tak kunjung bangun. Pria itu sepertinya
kekurangan makan kemarin dan menangis. Matanya sembab serta kelihatan tak
beraturan. Elanie mengelus kepala Justin dengan lembut lalu kembali lagi
mengelus Timo.
“Kadang
aku sangat benci memilikinya, tetapi di satu sisi aku sangat menyayanginya. Aku
benci memilikinya karena aku tahu, aku tak cukup sempurna baginya. Tidak
mungkin aku menceraikannya, aku tidak bisa melakukan itu karena aku sudah
terlanjur jatuh cinta. Sebenarnya, apa yang kurang darinya? Ia sudah sempurna.
Sekarang. Ia sudah menjadi pria dewasa yang normal, menginginkan aku layaknya
pria di luar sana yang menginginkan kekasihnya. Ia sudah sempurna dengan
apa yang ia miliki, tetapi ternyata aku
tidak menginginkan kesempurnaan darinya. Aku butuh dia menerima diriku. Hanya
itu. Ah, aku memang senang sekali melantur seperti ini. Baiklah. Mari kita jaga
rahasia ini bersama-sama Timo, aku tahu kau anjing yang selalu menjaga
rahasia-rahasiaku. Dan 9 bulan lagi kau akan memiliki teman, Timo. Jadi,
kuharap kau bisa menjaga rahasia ini,” Timo hanya bersungut meminta dielus
kembali oleh Elanie. Mata Elanie menatap suaminya dengan tatapan lembut. Mata
birunya selalu membuat Justin sulit untuk memalingkan pandangannya dari Elanie.
Terlebih lagi Elanie adalah gadis yang baik dan tidak pernah ingin menyakitinya—kecuali
kemarin malam.
Tidak
sampai lima menit, Justin membuka matanya. Tangannya dengan segera
menyingkirkan selimut yang membuat tubuhnya kegerahan. Apa-apaan yang terjadi?
Astaga, rasanya seperti di neraka saja. Ia mengucek-kucek matanya lalu ia
menarik tubuhnya, ia duduk di atas ranjang lalu mendesah. Tadi malam ia sungguh
kedinginan! Setelah mendesah untuk yang kedua kalinya, akhirnya Justin
mendongak Justin terkejut setengah mati ketika ia melihat istrinya berada di
hadapannya sedang memeluk seekor anjing dan tampak sangat baik-baik saja.
“Elanie!”
Justin memeluk Elanie seperti anak kecil memeluk ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar