“Apa
kau masih marah padaku?” Tanya Justin menundukkan kepalanya. Ia tidak berani
menatap mata istrinya sejak mereka pulang dari rumah orangtua Elanie. Elanie
tidak mengatakan apa pun sejak Justin terbangun dari tidurnya—saat Justin
memeluk Elanie—atau sepanjang perjalanan menuju rumah mereka. Dan sesampainya
mereka di rumah, Elanie segera masuk meninggalkan Justin di dalam mobil
sendirian. Padahal Justin baru saja ingin mencium bibir Elanie. Ia merindukan
bibir Elanie yang berwarna merah muda itu. Dan di sinilah mereka berdua. Di
kamar mereka yang besar dan hening. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata
sebelum Justin bertanya pada Elanie, apakah istrinya marah atau tidak. Elanie
masih tidak ingin berbicara dengan Justin sejak Justin memintanya menggugurkan
bayi itu. Elanie padahal baru memberitahu Justin sehari sebelum esok harinya
Justin benar-benar menghubungi dr. Leo. Yang bagi Elanie, pria tua itu bukan
sama sekali seorang dokter, tetapi pembunuh bayi tak berdosa.
Elanie
duduk di sisi sebelah kanan tempat tidur mereka, sedangkan Justin duduk di
sebelah kiri dengan kaki yang menyilang. Pria itu menarik ingus lalu menyeka
hidungnya. Elanie melirik Justin dari ekor matanya, melihat suaminya yang baru
saja bertanya itu menarik ingus lalu menyeka hidung. Inikah calon ayah dari
anak-anaknya? Elanie menggeleng kepala tak percaya—untuk yang kesekian kalinya.
“Aku
tahu apa yang telah kuperbuat adalah salah. Aku tidak akan mengulanginya lagi,
aku berjanji. Kehilanganmu membuatku hilang arah, aku serius, kau tahu. Kumohon
maafkan aku, Elanie. Aku berjanji tidak akan memanggil dr.Leo itu. Dan kau
telah berjanji padaku untuk tidak pergi dariku,”
“Ya,
aku tidak akan pergi darimu Justin. Tetapi tidak dengan alasan itu! Kau pikir aku tidak akan marah
ketika kau memintaku untuk menggugurkan anak pertamamu? Kau ingin membunuhnya!
Kau bilang, kau tidak ingin membunuh bayimu. Tetapi setelah aku benar-benar
hamil, kau ingin membunuhnya,”
“Awalnya
kupikir kau tidak akan hamil karena buah dadamu yang kecil. Tapi saat aku tahu
kau hamil, aku langsung bisa merasakan ketakutan yang sebenarnya. Aku takut kau
lebih memilih anak kita nanti. A-aku tidak pernah dijadikan yang kedua terbaik.
Orangtuaku lebih mengutamakan aku dibanding dua kakak bodohku itu. Dulu aku
mengutamakan diriku terlebih dulu, tetapi saat sudah bertemu kau. Kau yang
kuutamakan,” Justin mulai mendongakkan kepalanya. Menatap istrinya yang
sekarang menatapinya. Andai saja Elanie benar-benar tahu apa yang Justin
rasakan ketika Elanie hamil, pasti Elanie akan mengerti. Melihat orang lain
diperhatikan oleh Elanie, membuat Justin jengkel. Bahkan hal itu lebih parah
dibanding Elanie pergi dari rumah. Elanie menelah ludahnya, lalu ia
merentangkan kedua tangannya ke samping.
“Kemarilah,”
ucap Elanie tersenyum kecil. Seperti anak kecil, Justin langsung merangkak
menuju Elanie lalu memeluk istrinya yang hamil itu. Pergelangan tangan Justin
melingkar di pinggang Elanie, ia tidak berani memeluk perut Elanie—takut jika
bayi meninggal di dalam sana dan Elanie pergi dari rumah—lalu kepalanya
bersandar pada buah dada Elanie yang kecil. “Kurasa kau bisa menaruh kepalamu
di atas bahuku atau pahaku,” saran Elanie.
“Jadi
kau masih marah padaku atau apa?”
“Untuk
kali ini, aku memaafkanmu. Tetapi kumohon, jadilah Justin yang sebenarnya. Kau
tidak perlu berubah menjadi pria yang nakal—dalam hal negatif—atau menjadi
seperti kakak-kakakmu. Aku hanya ingin Justin. Yang tidak ingin membunuh
anaknya sendiri. Oke?”
“Ya,
tentu saja. Asal kau tidak akan pernah pergi dariku,” Justin menghela nafas
panjang. “Aku mencintaimu.” Bisik Justin. “Dan mungkin bayi ini juga.”
Lanjutnya mengelus perut Elanie dengan hati-hati. Ia takut jika bayi di
dalamnya akan tertindih akibat sentuhan tangan Justin yang berat. Setidaknya
sekarang, masalah terberat di bulan-bulan awal mereka telah selesai. Tetapi
Elanie masih bertanya-tanya, apakah masalah ke depannya akan lebih berat dari
pada ini? Elanie menarik dagu Justin hingga Justin mendongak lalu ia memagut
bibir pria itu dengan penuh kerinduan. Ternyata tak tidur seranjang dengan
Justin selama 1 hari memberi efek kerinduan mendalam.
***
Untuk
yang entah keberapa kalinya, Justin menghela nafas panjang di hadapan kedua
kakaknya yang kembali mengejeknya. Justin tidak tahu apa kesalahan yang telah
ia perbuat pada kedua kakaknya hingga mereka terus menghina Justin seorang gay.
Bukankah Justin sebentar lagi akan menjadi ayah? Mengapa tidak ada yang
menepuki alat kelaminnya karena ia sudah membuat mahluk hidup? Justin sekarang
merasa lebih dewasa dibanding kedua kakaknya. Angelo memanggil salah seorang
pelayan di restoran kesukaan mereka bertiga—pelayan yang paling seksi di
sana—lalu menunjuk pada gelasnya yang kosong. Ia meminta wine.
“Jadi,
ada berita apa dari kehidupan rumah tanggamu yang membosankan?” tanya Angelo
mengangguk pada Justin. Justin hanya mengedik bahu. Ia masih ingat tadi malam ia
berhubungan badan dengan Elanie, lagi. Mata Justin membulat begitu saja ketika
ia sadar kalau istrinya hamil dan ia berhubungan badan dengannya! Demi Tuhan!
Apa bayi di dalam perut Elanie baik-baik saja? Apa Justin telah membunuh
anaknya?
“Aku
baru saja membunuh bayi di perut Elanie,” bisik Justin ketakutan. “Aku baru
saja membunuh bayi di perut Elanie! Demi Tuhan, Angelo! Apa yang harus
kulakukan?! Aku lupa kalau ia hamil dan tadi malam aku berhubungan badan
dengannya dan ak—“
“Tunggu
dulu di sana, homo,” tukas Angelo. “Elanie hamil? Sejak kapan?” Tanya Angelo
yang kali ini serius. Adik iparnya hamil! Berarti sebentar lagi LeBron akan
memiliki adik sepupu.
“3
hari yang lalu kurasa,” ucap Justin. “Itu tidak penting sekarang, Angelo! Aku
baru saja membunuh bayiku dan …sebentar lagi Elanie akan pergi dari rumah! Ia
akan meninggalkanku. Tidak, tidak, tidak. Ini adalah mimpi buruk,” Justin
menggigit-gigir keempat kuku jarinya. Ia sangat panik. Sangking paniknya,
kening Justin berkeringat. Seharusnya Justin tidak berhubungan badan dengan
Elanie tadi malam. “Ap-apa yang harus kulakukan?” Justin bertanya pada dua
orang yang salah.
Angelo
mengedik bahu. “Kau tahu apa yang harus kaulakukan, buddy. Gali tanah di pemakaman. Aku turut menyesal atas
kehilanganmu,”
“Kau
serius?” Tanya Justin menahan nafas. Sungguh? Benarkah? Serius? Justin lebih
memilih ia menggali pemakamannya sendiri lalu mengubur diri sedalam-dalamnya
dibanding ia harus menerima kenyataan kalau anaknya meninggal akibat dari
ayahnya sendiri. Pantas Elanie berteriak lebih kencang tadi malam dibanding
malam-malam sebelumnya! Angelo menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan
Justin. Robert sedang tidak ingin tertawa bersama dengan Angelo, ia sedang
memiliki masalah dengan istrinya. Angelo melirik Robert lalu ia menghela nafas.
Jika Robert tidak tertawa, tidak akan seru. Tidak ada penyerang dari
belakangnya.
“Tidaklah
bodoh. Anakmu tidak meninggal di dalam perut Elanie. Apalagi umurnya masih muda
di dalam kandungan itu. Omong-omong, selamat untuk kehamilan Elanie. Sebentar
lagi kau akan menjadi seorang ayah,” ucap Angelo membuat Justin menghelan
nafas.
“Kau
sialan. Aku sudah panik setengah mati. Setidaknya, Elanie tidak akan pergi dari
rumah. Kenapa Robert sekarang diam?” Tanya Justin melihat Robert yang melamun
melihat gelas kosong yang belum diisi oleh pelayan yang dipanggil oleh Angelo.
Tetapi panjang umurnya, pelayan itu datang begitu saja membawa satu botol wine
lalu menuangkannya ke dalam dua gelas kosong itu. Justin hanya meminum air
putih. Robert tersenyum pada pelayan seksi itu lalu pelayan itu pergi dari
mereka. Mata Robert tak lepas dari kedua paha putih yang terpampang jelas di
matanya, tetapi tepat ketika dua orang pria bertubuh tegap masuk ke dalam
restoran dan pelayan itu melayani mereka. Salah satunya memakai pakaian formal,
setelan berwarna hitam. Dan yang satunya lagi memakai pakaian ketat berwarna
hitam yang benar-benar membentuk tubuhnya yang ramping. Kedua pria itu
sangatlah tampan. Tetapi ketika pria berpakaian ketat itu duduk dan tersenyum
pada pelayan itu, mulai dari sana Robert mengetahui apa yang terjadi diantara
kedua pria itu.
“Angelo,
lihat dua pria yang baru masuk itu. Yang memakai baju ketat itu,” ucap Robert
tanpa menunjuk. “Itu seperti kau, Justin,” ucap Robert mengalihkan pandangannya
pada Justin. Justin memutar kepala ke belakang, mengikuti apa yang Robert
lihat. Mengapa kakaknya bisa bilang seperti itu? Ia memerhatikan pria yang
memakai pakaian ketat berwarna hitam yang sekarang berbicara dengan pria di
hadapannya. Pria itu menaruh siku-sikunya ke atas meja lalu sesekali
mengibas-ngibaskan telapak tangannya seperti mengusir lalat sambil tertawa
karena ada hal yang lucu diucapkan oleh pria di hadapannya.
“Mengapa
ia melambai-lambaikan tangannya seperti itu? Seperti perempuan,” Tanya Justin
setelah puas melihat dua orang pria itu. Robert mengangkat salah satu alisnya.
“Bukankah
itu gambaran dari dirimu?” Tanya Robert membuat Justin.
“Dia
pria, kau juga pria. Jelas kita memiliki jenis kelamin yang sama. Tetapi ia bukan
gambaranku. Mengapa kau berkata seperti itu?” Tanya Justin tersinggung. Ia
tidak suka disamakan dengan pria yang melambai-lambaikan tangannya itu. Pria
itu melambaikan tangannya seperti wanita yang genit pada salah seorang pria.
Justin bergedik, merinding karena tingkah pria itu sedikit menyeleweng. Justin
kembali menoleh pada pria yang memakai baju ketat itu. Sekarang pria itu
mengecup bibir pria yang ada di hadapannya—yang memakai setelan rapi—dengan
lembut layaknya sepasang kekasih. Justin ingin muntah. Apa-apaan yang terjadi
di dunia ini? Mengapa pria mencium pria lain? Ia ketakutan. Apa kedua kakaknya
pernah melakukan itu di belakang Justin selama ini maka dari itu mereka sangat
dekat?
“Dia
gay, bodoh!” Angelo meledak. Mengapa adiknya begitu telat berpikir? Sudah
jelas-jelas pria yang berpakaian ketat itu sangat gay. Sudah 28 tahun tinggal
di bumi, tetapi Justin belum bisa membedakan mana pria yang gay dan normal.
“Sama seperti kau!” Hina Angelo. Tubuh Justin seolah-olah mengerut ketika
Angelo menghina gay. Ia pikir gay hanyalah cerita belaka atau dongeng yang
menceritakan dua orang pria yang saling jatuh cinta. Selama ini Justin pikir,
gay tidak pernah ada di dunia. Tetapi sekarang ia tahu. Dan Justin benar-benar
merasa kotor ketika ia benar-benar tahu seperti apa gay sebenarnya di dunia
nyata. Justin bukanlah pria gay! Ia tidak pernah mencium bibir pria lain! Tubuh
Justin bergidik kembali ketika ia mengingat ciuman antara dua orang pria itu.
Mengapa mereka melakukannya di depan umum? Justin merasa mual.
“Kenapa
kau selalu menghinaku sebagai pria gay? Aku sudah menghamili anak orang lain,
jadi menangislah! Aku sebentar lagi seorang ayah,”
“Kau.
Adalah. Gay. Titik.” Angelo menekan tiap kata yang keluar dari mulutnya. Justin
menarik nafasnya dengan raut wajah penuh kebencian pada kakaknya.
***
Pulangnya,
Justin menangis. Ia tidak terima atas apa yang dikatakan kakak-kakaknya tadi.
Ia pulang cepat hari ini untuk meyakinkan diri kalau ia tidak membunuh anaknya
dan ia ingin bercerita tentang penghinaan yang dilempar oleh kedua kakaknya
sepanjang makan siang. Justin menangis tersedu-sedu di atas sofa keluarga
dengan matanya yang sekarang sudah merah. Ia sesekali menarik ingus yang
menghias bawah hidungnya. Elanie tidak mendengar kedatangan Justin, ia sedang
sibuk memasak di dapur. Tetapi seluruh bulu roma Elanie berdiri ketika ia
mendengar seseorang menangis. Seperi hantu pengantin wanita yang menangis
akibat calon suaminya meninggal akibat kecelakaan sebelum sampai ke gereja. Elanie
mengangkat chicken nugget kesukaan
Justin dari wajan lalu mematikan kompornya sebelum meninggalkan dapur.
Dari
mulut pintunya, ia melihat Justin sedang menundukkan kepalanya di atas sofa
sambil menangis terisak-isak seperti kehilangan anjing kesayangannya. Apa gerangan
terjadi pada suami kesayangannya? Ia berjalan terburu-buru menghampiri Justin
lalu duduk di sebelahnya.
“Hei,
sayang, apa yang terjadi?” Tanya Elanie penuh perhatian. Pantas saja Justin
datang lebih cepat dari pada biasanya. Biasanya ia datang 30 menit setelah
Elanie selesai memasak. Dan keadaan yang
Justin perlihatkan pada Elanie membuat Elanie khawatir. Apa yang terjadi hingga
suaminya menangis seperti ini? Justin menyeka hidungnya yang merah lalu
menghapus air matanya.
“Ap-apa
kau pernah melihat orang gay sebelumnya?” Tanya Justin takut-takut.
Bayang-bayang pria berpakaian ketat itu mencium bibir pria di hadapannya
membuat air mata Justin menetes melewati pipinya. Kedua alis Elanie bertaut.
Entah ia harus tertawa atau ikut sedih melihat suaminya. Mengapa pria ini
menangis karena ia melihat pasangan gay? Elanie menganggukkan kepalanya.
“Ya,
teman priaku gay. Dulu kami berteman ketika kami kuliah. Tetapi aku tidak
mendapat berita apa pun darinya sekarang. Memangnya kenapa? Kau melihat dua
pasangan gay?”
“Ya,
dan Angelo selama ini menghinaku sebagai pria yang berciuman dengan pria lain!
Aku pikir gay hanyalah kisah dongeng yang tidak pernah ada di dunia jadi aku
menganggapnya biasa-biasa saja. Tetapi tadi aku melihatnya dengan mata kepalaku
sendiri! Pria itu mencium pria lain di bibirnya seperti pasangan normal. Aku
tidak pernah mencium pria lain selain ayahku ketika aku masih balita… tapi
bukan berarti ayahku gay karena menciumku ‘kan?” Tanya Justin bingung sendiri.
Apa ayahnya gay karena telah menciumnya saat Justin masih kecil? Elanie
terkekeh. Astaga, inilah Justin yang ia rindukan.
“Tidak,
ia bukan gay, sayang. Itu artinya ia sayang padamu. Dulu ibuku sering mencium
bibirku sampai aku berumur 6 tahun. Tetapi ia bukanlah seorang lesbian,”
“Ap-apa
itu itu lesbian?”
“Sama
halnya dengan gay, tetapi wanita yang melakukannya. Kau bukan gay, kau milikku.
Kau normal. Buktinya 9 bulan lagi kita akan memiliki anak. Kau akan menjadi
ayah yang baik. Asalkan, kau tidak menangisi hal-hal kecil seperti ini. Kau
mengerti? Kau bukan gay. Oke?” Tanya Elanie memegang kedua pipi Justin. Justin
mengangguk mengerti. Setelahnya, Elanie menarik kepala Justin lalu mengecup
bibir itu secepat kilat. Meski Justin hanya bekerja setengah hari, Elanie sudah
sangat merindukannya.
“Bayi
kita baik-baik saja di dalam?” Tanya Justin dengan pipi yang masih dipegang
oleh Elanie. Elanie mengangguk.
“Tetapi
kemarin malam aku dan kau berhubungan badan …bukankah ia akan merasa kesakitan?
Atau malah aku membunuhnya…”
Elanie
tertawa. “Tidak, kau tidak membunuh anakmu. Aku tahu dari temanku, saat ibu
hamil masih mengandung selama 2 sampai 4 bulan, kita masih bisa berhubungan
badan. Tapi, kusarankan kau untuk tidak berhubungan badan denganku saat bayi
ini sudah berumur 4 bulan. Kau mengerti?”
“Ya.”
Justin mengerti. Ia pria penurut. “Tidak bisa sampai bulan ke-5?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar