Sabtu, 31 Mei 2014

Pure Love Bab 13



            “Apa kau masih marah padaku?” Tanya Justin menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap mata istrinya sejak mereka pulang dari rumah orangtua Elanie. Elanie tidak mengatakan apa pun sejak Justin terbangun dari tidurnya—saat Justin memeluk Elanie—atau sepanjang perjalanan menuju rumah mereka. Dan sesampainya mereka di rumah, Elanie segera masuk meninggalkan Justin di dalam mobil sendirian. Padahal Justin baru saja ingin mencium bibir Elanie. Ia merindukan bibir Elanie yang berwarna merah muda itu. Dan di sinilah mereka berdua. Di kamar mereka yang besar dan hening. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata sebelum Justin bertanya pada Elanie, apakah istrinya marah atau tidak. Elanie masih tidak ingin berbicara dengan Justin sejak Justin memintanya menggugurkan bayi itu. Elanie padahal baru memberitahu Justin sehari sebelum esok harinya Justin benar-benar menghubungi dr. Leo. Yang bagi Elanie, pria tua itu bukan sama sekali seorang dokter, tetapi pembunuh bayi tak berdosa.
            Elanie duduk di sisi sebelah kanan tempat tidur mereka, sedangkan Justin duduk di sebelah kiri dengan kaki yang menyilang. Pria itu menarik ingus lalu menyeka hidungnya. Elanie melirik Justin dari ekor matanya, melihat suaminya yang baru saja bertanya itu menarik ingus lalu menyeka hidung. Inikah calon ayah dari anak-anaknya? Elanie menggeleng kepala tak percaya—untuk yang kesekian kalinya.
            “Aku tahu apa yang telah kuperbuat adalah salah. Aku tidak akan mengulanginya lagi, aku berjanji. Kehilanganmu membuatku hilang arah, aku serius, kau tahu. Kumohon maafkan aku, Elanie. Aku berjanji tidak akan memanggil dr.Leo itu. Dan kau telah berjanji padaku untuk tidak pergi dariku,”
            “Ya, aku tidak akan pergi darimu Justin. Tetapi tidak dengan alasan itu! Kau pikir aku tidak akan marah ketika kau memintaku untuk menggugurkan anak pertamamu? Kau ingin membunuhnya! Kau bilang, kau tidak ingin membunuh bayimu. Tetapi setelah aku benar-benar hamil, kau ingin membunuhnya,”
            “Awalnya kupikir kau tidak akan hamil karena buah dadamu yang kecil. Tapi saat aku tahu kau hamil, aku langsung bisa merasakan ketakutan yang sebenarnya. Aku takut kau lebih memilih anak kita nanti. A-aku tidak pernah dijadikan yang kedua terbaik. Orangtuaku lebih mengutamakan aku dibanding dua kakak bodohku itu. Dulu aku mengutamakan diriku terlebih dulu, tetapi saat sudah bertemu kau. Kau yang kuutamakan,” Justin mulai mendongakkan kepalanya. Menatap istrinya yang sekarang menatapinya. Andai saja Elanie benar-benar tahu apa yang Justin rasakan ketika Elanie hamil, pasti Elanie akan mengerti. Melihat orang lain diperhatikan oleh Elanie, membuat Justin jengkel. Bahkan hal itu lebih parah dibanding Elanie pergi dari rumah. Elanie menelah ludahnya, lalu ia merentangkan kedua tangannya ke samping.
            “Kemarilah,” ucap Elanie tersenyum kecil. Seperti anak kecil, Justin langsung merangkak menuju Elanie lalu memeluk istrinya yang hamil itu. Pergelangan tangan Justin melingkar di pinggang Elanie, ia tidak berani memeluk perut Elanie—takut jika bayi meninggal di dalam sana dan Elanie pergi dari rumah—lalu kepalanya bersandar pada buah dada Elanie yang kecil. “Kurasa kau bisa menaruh kepalamu di atas bahuku atau pahaku,” saran Elanie.
            “Jadi kau masih marah padaku atau apa?”
            “Untuk kali ini, aku memaafkanmu. Tetapi kumohon, jadilah Justin yang sebenarnya. Kau tidak perlu berubah menjadi pria yang nakal—dalam hal negatif—atau menjadi seperti kakak-kakakmu. Aku hanya ingin Justin. Yang tidak ingin membunuh anaknya sendiri. Oke?”
            “Ya, tentu saja. Asal kau tidak akan pernah pergi dariku,” Justin menghela nafas panjang. “Aku mencintaimu.” Bisik Justin. “Dan mungkin bayi ini juga.” Lanjutnya mengelus perut Elanie dengan hati-hati. Ia takut jika bayi di dalamnya akan tertindih akibat sentuhan tangan Justin yang berat. Setidaknya sekarang, masalah terberat di bulan-bulan awal mereka telah selesai. Tetapi Elanie masih bertanya-tanya, apakah masalah ke depannya akan lebih berat dari pada ini? Elanie menarik dagu Justin hingga Justin mendongak lalu ia memagut bibir pria itu dengan penuh kerinduan. Ternyata tak tidur seranjang dengan Justin selama 1 hari memberi efek kerinduan mendalam.

***

            Untuk yang entah keberapa kalinya, Justin menghela nafas panjang di hadapan kedua kakaknya yang kembali mengejeknya. Justin tidak tahu apa kesalahan yang telah ia perbuat pada kedua kakaknya hingga mereka terus menghina Justin seorang gay. Bukankah Justin sebentar lagi akan menjadi ayah? Mengapa tidak ada yang menepuki alat kelaminnya karena ia sudah membuat mahluk hidup? Justin sekarang merasa lebih dewasa dibanding kedua kakaknya. Angelo memanggil salah seorang pelayan di restoran kesukaan mereka bertiga—pelayan yang paling seksi di sana—lalu menunjuk pada gelasnya yang kosong. Ia meminta wine.
            “Jadi, ada berita apa dari kehidupan rumah tanggamu yang membosankan?” tanya Angelo mengangguk pada Justin. Justin hanya mengedik bahu. Ia masih ingat tadi malam ia berhubungan badan dengan Elanie, lagi. Mata Justin membulat begitu saja ketika ia sadar kalau istrinya hamil dan ia berhubungan badan dengannya! Demi Tuhan! Apa bayi di dalam perut Elanie baik-baik saja? Apa Justin telah membunuh anaknya?
            “Aku baru saja membunuh bayi di perut Elanie,” bisik Justin ketakutan. “Aku baru saja membunuh bayi di perut Elanie! Demi Tuhan, Angelo! Apa yang harus kulakukan?! Aku lupa kalau ia hamil dan tadi malam aku berhubungan badan dengannya dan ak—“
            “Tunggu dulu di sana, homo,” tukas Angelo. “Elanie hamil? Sejak kapan?” Tanya Angelo yang kali ini serius. Adik iparnya hamil! Berarti sebentar lagi LeBron akan memiliki adik sepupu.
            “3 hari yang lalu kurasa,” ucap Justin. “Itu tidak penting sekarang, Angelo! Aku baru saja membunuh bayiku dan …sebentar lagi Elanie akan pergi dari rumah! Ia akan meninggalkanku. Tidak, tidak, tidak. Ini adalah mimpi buruk,” Justin menggigit-gigir keempat kuku jarinya. Ia sangat panik. Sangking paniknya, kening Justin berkeringat. Seharusnya Justin tidak berhubungan badan dengan Elanie tadi malam. “Ap-apa yang harus kulakukan?” Justin bertanya pada dua orang yang salah.
            Angelo mengedik bahu. “Kau tahu apa yang harus kaulakukan, buddy. Gali tanah di pemakaman. Aku turut menyesal atas kehilanganmu,”
            “Kau serius?” Tanya Justin menahan nafas. Sungguh? Benarkah? Serius? Justin lebih memilih ia menggali pemakamannya sendiri lalu mengubur diri sedalam-dalamnya dibanding ia harus menerima kenyataan kalau anaknya meninggal akibat dari ayahnya sendiri. Pantas Elanie berteriak lebih kencang tadi malam dibanding malam-malam sebelumnya! Angelo menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan Justin. Robert sedang tidak ingin tertawa bersama dengan Angelo, ia sedang memiliki masalah dengan istrinya. Angelo melirik Robert lalu ia menghela nafas. Jika Robert tidak tertawa, tidak akan seru. Tidak ada penyerang dari belakangnya.
            “Tidaklah bodoh. Anakmu tidak meninggal di dalam perut Elanie. Apalagi umurnya masih muda di dalam kandungan itu. Omong-omong, selamat untuk kehamilan Elanie. Sebentar lagi kau akan menjadi seorang ayah,” ucap Angelo membuat Justin menghelan nafas.
            “Kau sialan. Aku sudah panik setengah mati. Setidaknya, Elanie tidak akan pergi dari rumah. Kenapa Robert sekarang diam?” Tanya Justin melihat Robert yang melamun melihat gelas kosong yang belum diisi oleh pelayan yang dipanggil oleh Angelo. Tetapi panjang umurnya, pelayan itu datang begitu saja membawa satu botol wine lalu menuangkannya ke dalam dua gelas kosong itu. Justin hanya meminum air putih. Robert tersenyum pada pelayan seksi itu lalu pelayan itu pergi dari mereka. Mata Robert tak lepas dari kedua paha putih yang terpampang jelas di matanya, tetapi tepat ketika dua orang pria bertubuh tegap masuk ke dalam restoran dan pelayan itu melayani mereka. Salah satunya memakai pakaian formal, setelan berwarna hitam. Dan yang satunya lagi memakai pakaian ketat berwarna hitam yang benar-benar membentuk tubuhnya yang ramping. Kedua pria itu sangatlah tampan. Tetapi ketika pria berpakaian ketat itu duduk dan tersenyum pada pelayan itu, mulai dari sana Robert mengetahui apa yang terjadi diantara kedua pria itu.
            “Angelo, lihat dua pria yang baru masuk itu. Yang memakai baju ketat itu,” ucap Robert tanpa menunjuk. “Itu seperti kau, Justin,” ucap Robert mengalihkan pandangannya pada Justin. Justin memutar kepala ke belakang, mengikuti apa yang Robert lihat. Mengapa kakaknya bisa bilang seperti itu? Ia memerhatikan pria yang memakai pakaian ketat berwarna hitam yang sekarang berbicara dengan pria di hadapannya. Pria itu menaruh siku-sikunya ke atas meja lalu sesekali mengibas-ngibaskan telapak tangannya seperti mengusir lalat sambil tertawa karena ada hal yang lucu diucapkan oleh pria di hadapannya.
            “Mengapa ia melambai-lambaikan tangannya seperti itu? Seperti perempuan,” Tanya Justin setelah puas melihat dua orang pria itu. Robert mengangkat salah satu alisnya.
            “Bukankah itu gambaran dari dirimu?” Tanya Robert membuat Justin.
            “Dia pria, kau juga pria. Jelas kita memiliki jenis kelamin yang sama. Tetapi ia bukan gambaranku. Mengapa kau berkata seperti itu?” Tanya Justin tersinggung. Ia tidak suka disamakan dengan pria yang melambai-lambaikan tangannya itu. Pria itu melambaikan tangannya seperti wanita yang genit pada salah seorang pria. Justin bergedik, merinding karena tingkah pria itu sedikit menyeleweng. Justin kembali menoleh pada pria yang memakai baju ketat itu. Sekarang pria itu mengecup bibir pria yang ada di hadapannya—yang memakai setelan rapi—dengan lembut layaknya sepasang kekasih. Justin ingin muntah. Apa-apaan yang terjadi di dunia ini? Mengapa pria mencium pria lain? Ia ketakutan. Apa kedua kakaknya pernah melakukan itu di belakang Justin selama ini maka dari itu mereka sangat dekat?
            “Dia gay, bodoh!” Angelo meledak. Mengapa adiknya begitu telat berpikir? Sudah jelas-jelas pria yang berpakaian ketat itu sangat gay. Sudah 28 tahun tinggal di bumi, tetapi Justin belum bisa membedakan mana pria yang gay dan normal. “Sama seperti kau!” Hina Angelo. Tubuh Justin seolah-olah mengerut ketika Angelo menghina gay. Ia pikir gay hanyalah cerita belaka atau dongeng yang menceritakan dua orang pria yang saling jatuh cinta. Selama ini Justin pikir, gay tidak pernah ada di dunia. Tetapi sekarang ia tahu. Dan Justin benar-benar merasa kotor ketika ia benar-benar tahu seperti apa gay sebenarnya di dunia nyata. Justin bukanlah pria gay! Ia tidak pernah mencium bibir pria lain! Tubuh Justin bergidik kembali ketika ia mengingat ciuman antara dua orang pria itu. Mengapa mereka melakukannya di depan umum? Justin merasa mual.
            “Kenapa kau selalu menghinaku sebagai pria gay? Aku sudah menghamili anak orang lain, jadi menangislah! Aku sebentar lagi seorang ayah,”
            “Kau. Adalah. Gay. Titik.” Angelo menekan tiap kata yang keluar dari mulutnya. Justin menarik nafasnya dengan raut wajah penuh kebencian pada kakaknya.

***

            Pulangnya, Justin menangis. Ia tidak terima atas apa yang dikatakan kakak-kakaknya tadi. Ia pulang cepat hari ini untuk meyakinkan diri kalau ia tidak membunuh anaknya dan ia ingin bercerita tentang penghinaan yang dilempar oleh kedua kakaknya sepanjang makan siang. Justin menangis tersedu-sedu di atas sofa keluarga dengan matanya yang sekarang sudah merah. Ia sesekali menarik ingus yang menghias bawah hidungnya. Elanie tidak mendengar kedatangan Justin, ia sedang sibuk memasak di dapur. Tetapi seluruh bulu roma Elanie berdiri ketika ia mendengar seseorang menangis. Seperi hantu pengantin wanita yang menangis akibat calon suaminya meninggal akibat kecelakaan sebelum sampai ke gereja. Elanie mengangkat chicken nugget kesukaan Justin dari wajan lalu mematikan kompornya sebelum meninggalkan dapur.
            Dari mulut pintunya, ia melihat Justin sedang menundukkan kepalanya di atas sofa sambil menangis terisak-isak seperti kehilangan anjing kesayangannya. Apa gerangan terjadi pada suami kesayangannya? Ia berjalan terburu-buru menghampiri Justin lalu duduk di sebelahnya.
            “Hei, sayang, apa yang terjadi?” Tanya Elanie penuh perhatian. Pantas saja Justin datang lebih cepat dari pada biasanya. Biasanya ia datang 30 menit setelah Elanie selesai memasak.  Dan keadaan yang Justin perlihatkan pada Elanie membuat Elanie khawatir. Apa yang terjadi hingga suaminya menangis seperti ini? Justin menyeka hidungnya yang merah lalu menghapus air matanya.
            “Ap-apa kau pernah melihat orang gay sebelumnya?” Tanya Justin takut-takut. Bayang-bayang pria berpakaian ketat itu mencium bibir pria di hadapannya membuat air mata Justin menetes melewati pipinya. Kedua alis Elanie bertaut. Entah ia harus tertawa atau ikut sedih melihat suaminya. Mengapa pria ini menangis karena ia melihat pasangan gay? Elanie menganggukkan kepalanya.
            “Ya, teman priaku gay. Dulu kami berteman ketika kami kuliah. Tetapi aku tidak mendapat berita apa pun darinya sekarang. Memangnya kenapa? Kau melihat dua pasangan gay?”
            “Ya, dan Angelo selama ini menghinaku sebagai pria yang berciuman dengan pria lain! Aku pikir gay hanyalah kisah dongeng yang tidak pernah ada di dunia jadi aku menganggapnya biasa-biasa saja. Tetapi tadi aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Pria itu mencium pria lain di bibirnya seperti pasangan normal. Aku tidak pernah mencium pria lain selain ayahku ketika aku masih balita… tapi bukan berarti ayahku gay karena menciumku ‘kan?” Tanya Justin bingung sendiri. Apa ayahnya gay karena telah menciumnya saat Justin masih kecil? Elanie terkekeh. Astaga, inilah Justin yang ia rindukan.
            “Tidak, ia bukan gay, sayang. Itu artinya ia sayang padamu. Dulu ibuku sering mencium bibirku sampai aku berumur 6 tahun. Tetapi ia bukanlah seorang lesbian,”
            “Ap-apa itu itu lesbian?”
            “Sama halnya dengan gay, tetapi wanita yang melakukannya. Kau bukan gay, kau milikku. Kau normal. Buktinya 9 bulan lagi kita akan memiliki anak. Kau akan menjadi ayah yang baik. Asalkan, kau tidak menangisi hal-hal kecil seperti ini. Kau mengerti? Kau bukan gay. Oke?” Tanya Elanie memegang kedua pipi Justin. Justin mengangguk mengerti. Setelahnya, Elanie menarik kepala Justin lalu mengecup bibir itu secepat kilat. Meski Justin hanya bekerja setengah hari, Elanie sudah sangat merindukannya.
            “Bayi kita baik-baik saja di dalam?” Tanya Justin dengan pipi yang masih dipegang oleh Elanie. Elanie mengangguk.
            “Tetapi kemarin malam aku dan kau berhubungan badan …bukankah ia akan merasa kesakitan? Atau malah aku membunuhnya…”
            Elanie tertawa. “Tidak, kau tidak membunuh anakmu. Aku tahu dari temanku, saat ibu hamil masih mengandung selama 2 sampai 4 bulan, kita masih bisa berhubungan badan. Tapi, kusarankan kau untuk tidak berhubungan badan denganku saat bayi ini sudah berumur 4 bulan. Kau mengerti?”

            “Ya.” Justin mengerti. Ia pria penurut. “Tidak bisa sampai bulan ke-5?” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar