Tubuh
ramping itu dihujani oleh ciuman-ciuman bergairah sementara tubuhnya terus
tersentak-sentak ke atas karena pria yang berada di atas tubuhnya. Kepalanya
mendongak ke atas dengan peluh yang membasahi keningnya. Matanya terpejam,
mulutnya terbuka berbentuk huruf ‘O’ namun tidak bersuara, hanya nafasnya yang
memburu dapa terdengar. Kedua tangannya memeluk punggung pria yang berada di
atas tubuhnya—yang menindihnya—sampai kuku-kukunya tertancap di punggung yang
berkeringat itu akibat rasa nikmat yang tidak bisa ia tahan sekarang. Pria itu
terus memasukkan dirinya ke dalam tubuh wanita itu dalam ritme yang begitu
cepat sampai-sampai wanita itu sekarang berteriak untuk berhenti.
“Kumohon,
hentikan,” bisik wanita itu dengan pelan, bahkan suaranya hampir menangis.
Namun pria itu tidak menghentikan dorongan pinggulnya pada tubuh wanita itu.
“Kau membunuhku,”
“Itu
tujuanku,” erang pria itu tidak mempedulikan apa yang dirasakan oleh wanita itu
karena sebentar lagi ia akan mencapai pelepasannya. Wanita itu menangis
kenikmatan atas apa yang pria itu lakukan padanya. “Sialan, kau sangat panas,
Elanie,”
“Kumohon,
Justin,” bisik wanita itu terisak. Darah yang mengalir di tubuhnya sekarang
mendidih untuk sementara akibat panas yang diberikan oleh sentuhan fisik dari
pria di hadapannya, sebentar lagi ia akan meledak. Sekarang seluruh rangsangan
yang diberikan berpusat pada bagian bawahnya, semuanya seolah-olah berkumpul di
sana dan seluruh rangsangan itu sudah tak dapat ditampung lagi. Wanita itu
menggigit telinga pria yang memberikan kenikmatan itu ketika ia mendapatkan
pelepasan yang luar biasa malam itu. Pinggulnya tak bisa diam, kakinya menegang
memeluk pinggang pria itu sampai pria itu terpaksa harus ikut mengerang.
“Elanie,
demi Tuhan,” erang pria itu mendapatkan pelepasannya. Baru kali ini Elanie
merasakan hal yang begitu nikmat. Maksudnya, senikmat ini. Dan darimana pria di
atas tubuhnya bisa cepat mempelajari hal-hal seperti ini? Sungguh, ini sulit
dipercaya. Tubuhnya masih menggeliat-geliat di bawah tubuh Justin lalu berhenti
begitu saja. Ia merasa tulang-tulang tubuhnya terputus-putus sekarang,
dagingnya melembek, kulitnya juga terasa sangat lembek. Astaga, apa yang
terjadi pada dirinya? Hubungan badan mereka sebelumnya tidak senikmat ini.
Tetapi sekarang, setelah jilatan yang diberikan oleh suaminya sebelum mereka
menyatukan tubuh, ia sudah mendapat dua pelepasan yang sama luar biasanya. Apa
sekarang ia tidak dapat bertemu dengan Justin yang polos lagi?
“Luar
biasa, Elanie,” bisik Justin bangkit dari tubuh Elanie. Dengan terpaksa, Elanie
membuka matanya untuk melihat Justin yang telanjang bulat berjalan menuju kamar
mandi sambil tangan kanannya mengucek-kucek mata. Justin kelihatan sangat
lelah, tubuhnya berkeringat dan rambutnya basah akibat keringatnya. Tentu saja,
Justin telah melakukan pemanasan yang memang panas dan bagian utama yang terasa
seperti di neraka. Pagi yang seharusnya terasa sejuk, sekarang terasa sangat
panas. Ia harus mandi dua kali. Pintu kamar mandi yang awalnya tertutup,
tiba-tiba saja terbuka. Kepala Justin-lah yang keluar lebih dulu, ia menutupi
tubuh telanjangnya dengan pintu, sungguh lucu ketika mereka berdua tahu kalau
tubuh Justin atau pun Elanie pernah telanjang saat mata mereka berdua juga
terbuka dan melihat tubuh satu sama lain.
“Mau
mandi bersamaku? A-aku tahu, kau sudah mandi, tapi kurasa setelah kita… kau
tahulah, kurasa kau butuh mandi. Aku yang akan menggosok punggungmu,”
“Kau
bisa menggosok tubuhku di bagian mana pun, Justin,” goda Elanie bangkit dari
tempat tidur dengan keadaan tubuh tanpa busana. Mata Justin melihat dari atas
hingga bawah, terutama pada bagian bawah yang luar biasa seksi. Berbentuk segitiga,
yang baru saja ia jilat tadi, dan sekarang terlihat sangat…mungil. Justin
sempat bingung mengapa kelaminnya bisa masuk ke dalam tubuh Elanie namun Elanie
tidak kesakitan—atau selama ini Elanie merasa kesakitan? Well, mereka berdua
sama-sama berteriak tiap kali tubuh mereka bersatu. Namun Justin tidak merasa
kesakitan, ia merasa nikmat yang ia ekspresikan melalui erangan dan teriakannya.
Tetapi, bagaimana dengan Elanie? Justin berusaha untuk membuang segala pikiran
negatif yang hinggap di otaknya.
“Apa?”
Tanya Elanie dengan senyum malu-malu, ia sudah berada di hadapan Justin.
Tubuhnya sama-sama berkeringat seperti Justin. Tidak mengatakan apa-apa, Justin
melebarkan pintu kamar mandi agar Elanie dapat masuk. “Terima kasih,
Mr.Bieber,”
“Kembali,
Mrs. Seksi.” Puji Justin yang membuat pipi Elanie memerah begitu saja. Sesaat
Elanie merasakan dilema. Mengapa suaminya menjadi seperti ini? Bukan Elanie tidak menginginkan Justin jadi hebat di ranjang,
tetapi sifat Justin yang polos pasti akan menghilang seiring berjalannya waktu.
Justin bukanlah pria yang bodoh, ia cerdas. Daya ingatnya cukup tinggi, hal
yang membuat ia bodoh selama ini adalah karena ia tidak pernah diajarkan cara
bersosialisme dengan orang lain, tidak diajarkan mana yang harus diikuti dan tidak,
karena Justin terperangkap di rumahnya hanya untuk mempelajari bagaimana
caranya berbisnis. Dan lihat saja permainan Justin di ranjang 10 menit yang
lalu itu. Itu bukan Justin. Itu adalah Justin yang sekarang hebat di ranjang.
Justin yang sekarang tahu bagaimana caranya menjadi nakal. Elanie tentu saja
akan merindukan tiap tangisan yang Justin keluhkan padanya tiap kali Justin
mencoba hal-hal baru.
Sekarang,
seks bukanlah sesuatu yang Justin takuti. Tetapi ada hal baru yang menanti
Justin yang akan menakuti Justin dikemudian hari, dan kembali, Elanie harus
bersabar. Untuk yang entah ke berapa kalinya.
***
“Kupikir
kau membawa anjingku ke sini, tetapi kemana dia sekarang?” Tanya Elanie
kebingungan setelah ia sadar seharusnya sekarang ada anjingnya di rumahnya,
tetapi sudah beberapa hari mereka lewati, Elanie tidak melihat anjingnya, Timo.
Justin sedang mengunyah kentang goreng yang dibuat oleh Elanie malam itu, ia
sedang kelaparan namun istrinya lebih memilih untuk membuatkannya kentang
goreng. Tetapi bukan apa yang dibuat oleh istrinya, tetapi siapa yang membuat
makanannya. Justin akan memakan makanan gosong jika perlu, kalau pembuatnya itu
adalah Elanie. Untungnya, Justin memiliki istri yang pintar memasak meski hari
ini Elanie tampak malas. Well, pagi dan siang tadi mereka berhubungan badan
seperti orang tolol karena pemintaan Justin yang seperti tak berujung. Elanie
mengambil satu kentang goreng dari piring Justin lalu memasukkannya ke dalam
mulut dan mengunyahnya. Seharian ini Justin bertingkah normal layaknya suami
normal lainnya. Menggoda, menyentuh Elanie, mencium bibir Elanie seharian ini.
Tidak ada tangisan atau rengekan dari Justin. Ini perubah pesat yang Elanie
cukup takuti. Elanie lebih memilih Justin yang polos dibanding Justin yang nakal
seperti ini. Tidak, bukan itu maksud
Elanie. Ia memang ingin Justin menjadi pria yang normal, tetapi ia tidak ingin
sifat Justin yang lama itu menghilang. Kejujurannya, kelucuannya, rasa percaya
diri yang tinggi, tentu saja Elanie tidak ingin kehilangan Justin yang lucu
itu.
“Aku
membunuhnya,” bisik Justin. Mata Elanie membulat.
“Kau
bercanda,” ucap Elanie tergelak satu kali. Justin mengedik kedua bahunya.
“Ya
sudah kalau tidak percaya. Waktu malam aku tidur di luar, aku membunuhnya
terlebih dahulu lalu sudah, aku menguburinya di halaman belakang. Makanya kau
tidak melihatnya, bukan? Pft, ayolah, Elanie. Kau tidak membutuhkan binatang
itu, kau butuh aku,”
Satu
alis Elanie terangkat. “Dari mana kau belajar membuat lelucon bodoh seperti
ini? Tidak lucu, serius, Justin. Jika kau ingin membunuh Timo, lebih baik aku
meninggalkanmu saja,” ucap Elanie santai, ia mengambil satu kentang lagi dari
piring Justin. Mendengar ucapan ‘aku akan meninggalkanmu’ membuat Justin cukup
panik. Ia tidak ingin Elanie pergi dari kehidupannya, setelah apa yang mereka
lalui bersama-sama. Justin menelan ludah.
“Baiklah,
aku membawanya pulang kembali malam itu. Kau sudah tidur waktu itu, kurasa,
jadi kau tidak tahu. Timo, namanya aneh sekali. Tapi terserahlah, aku hanya
memberitahu kalau namanya aneh dan aku berharap kau menggantinya,” ucap Justin
yang tidak respon oleh Elanie. Hening dalam jangka waktu yang lama di antara
mereka. Mereka tidak sama sekali saling menatap. Elanie juga tidak mengambil
kentang goreng milik Justin lagi. Ia sudah tidak lapar. Entah mengapa, sekarang
giliran Elanie yang ingin berhubungan badan dengan Justin. Sungguh, sentuhan
Justin membuat Elanie kecanduan. Beruntungnya, Justin sekarang adalah milik
Elanie yang dapat Elanie sentuh kapan pun Elanie mau, dan hanya Elanie yang
bisa menyentuh Justin. Suaminya menarik nafas, membuat Elanie menoleh
kepalanya, menatap Justin yang menyandarkan kepalanya di atas dua tangannya
yang dilipat di atas meja makan.
“Elanie,”
panggil Justin seperti anak kecil yang sedang sedih. Ia tidak menatap Elanie,
bibirnya tampak sangat lucu karena basah. “Apa kau akan selalu mencintaiku?”
Tanya Justin menelan ludahnya.
“Mengapa
kau bertanya seperti itu?”
“Apa
kau berjanji untuk tidak akan meninggalkanku?” Tanya Justin menelan ludahnya,
lagi. Salah satu alis Elanie terangkat, mengapa Justin tiba-tiba bertanya
seperti itu? Bukankah sudah jelas kalau Elanie tidak akan meninggalkannya?
Elanie juga sadar kalau dirinya tidak normal. Jika ia normal, sudah dari dulu
ia meninggalkan Justin di rumah sendirian dan menikah dengan pria lain yang Elanie
cintai atau pria lain yang mungkin lebih normal dibanding Justin. “Aku hanya
takut.” Justin mengedik bahu.
“Takut
aku pergi?”
“Ya.
Aku takut kau pergi. Jika kau pergi, aku tidak bisa membayangkan bagaimana
jadinya aku. Membayangkanmu pegi saja sudah membuatku muak. Apalagi jika kau
meninggalkan aku?”
“Aku
tidak akan meninggalkanmu, Mr.Bieber,” ujar Elanie mendorong kursinya ke
belakang, ia keluar dari kursi lalu mendekati Justin. “Bagaimana kalau kita ke
atas dan melakukan sesuatu yang kita lakukan tadi pagi dan siang?” Tanya
Elanie, menggoda suaminya.
“Kau
ingin kita mati hanya karena berhubungan badan?”
“Oh,
aku harap begitu,”
“Well,
baiklah jika itu yang kau mau. Mengapa tidak?” Tanya Justin bangkit dari kursi
meja makannya. Memegang tangan Elanie, ia menarik Elanie untuk pergi dari meja
makan. Meninggalkan kentang goreng yang sekarang sudah dingin. Elanie berteriak
ketika tiba-tiba saja Justin menggendongnya lalu bibir mereka langsung bertemu.
“Kau semakin lama semakin menggemaskan,”
“Dan
kau semakin lama semakin nakal. Kau sadar itu Mr.Bieber?” Tanya Elanie memeluk
leher Justin agar ia tidak jatuh dari gendongan Justin. Namun Justin
menggelengkan kepalanya, polos. Mulut mereka kembali bersatu. Saling mengisap
dan menggigit. Justin berjalan melewati anak tangga, namun ia tidak ragu untuk
mengambil langkah. Ketika berada di dalam kamar, seluruhnya berubah menjadi
lebih gelap dan intens. Mereka bersama-sama masuk ke dalam lautan penuh gairah,
kembali.
***
Sudah
sebulan lebih –hampir dua bulan—mereka memiliki kehidupan rumah tangga yang
normal. Itu membuat Elanie cemas akan keadaan Justin. Entah mengapa ia merasa
keadaan salah tiap kali Justin pulang dari kerja dan mengecup bibirnya lalu
menjatuhkan tubuh Elanie ke atas tempat tidur. Justin bukanlah Justin yang dulu
lagi, ia sudah menjadi pria dewasa yang tahu apa yang harus ia lakukan. Memang
bagus karena Justin sudah tidak lagi menangis atau menyikat dirinya tiap kali
ia disentuh oleh Elanie. Tetapi semakin lama mulut Justin semakin tertutup. Ia
jarang berbicara. Seolah-olah begitu banyak rahasia yang Justin tutupi dari
Elanie, namun Elanie berusaha untuk tidak berpikir kalau suaminya berselingkuh.
Memang, Justin tidak berselingkuh. Selama ini Justin hanya disibukkan oleh
pekerjaan, ia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerja. Setidaknya,
pekerjaan itu tidak membuat hubungan Elanie dan Justin retak. Hanya saja, mulut
Justin yang awalnya banyak bicara, sekarang Justin dapat meminimalisir apa yang
harus ia katakan.
Hari
ini adalah hari Minggu. Justin belum bangun dari tidurnya sedangkan sudah sejak
jam 6 pagi Elanie berada di dapur hanya memikirkan Justin ditemani dengan teh
serta roti di hadapannya. Tehnya sudah habis, tetapi rotinya masih setengah
lagi harus ia gigit. Sudah banyak perhiasan yang Elanie miliki sekarang.
Suaminya sekarang tahu bagaimana caranya bersikap romantis, tetapi hal inilah
yang membuat Elanie merasa bosan. Ia tidak membutuhkan Justin yang hebat di
atas ranjang dan berubah menjadi seperti ini. Ia hanya butuh Justin yang jujur,
apa adanya, dan polos. Sekarang yang ia miliki hanyalah pria berupa dewa Yunani
yang sekarang tahu segalanya tentang seks dan bekerja. Elanie gugup, ia menelan
ludahnya. Bukan inilah masalah utama yang Elanie hadapi sekarang. Tetapi sebuah
benda yang ia pegang sekarang. Apa yang akan Justin katakan padanya jika Justin
tahu apa yang terjadi dengan istrinya? Apa Justin akan marah dan meninggalkan
Elanie? Elanie bahkan tidak tahu kalau ia akan hamil secepat ini. Ya, hamil.
Kata yang akan membuat Justin berteriak histeris, memaki Elanie lalu
meninggalkan Elanie.
Baiklah, mungkin mereka sudah berkali-kali
berhubungan badan, tetapi secepat inikah Elanie akan hamil? Mereka bahkan baru
menjalaninya selama 1 bulan! Dan Elanie sudah hamil? Sungguh, Elanie sangat
subur. Ia sudah terlambat datang bulan selama 1 minggu. Menurut Elanie itu
tidak apa-apa, tetapi ketika ia merasa tidak enak badan—dan kebetulan ia sedang
menonton film seorang wanita yang hamil di luar nikah—membuat Elanie langsung
pergi ke apotik untuk membeli alat tes kehamilan. Ia sudah membelinya satu
minggu yang lalu namun ia tidak memakainya satu kalipun. Dan baru pagi tadi
Elanie memakai alat itu dan inilah hasilnya. Positif. Luar biasa. Mengagumkan.
Tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Apakah ada kata yang lebih hebat dari
luar biasa dan mengagumkan? Jika ya, Elanie akan menggunakan kata itu untuk
mengungkapkan betapa hebat dirinya sekarang. Hebat karena ia hamil.
“Ya
Tuhan,” desah Elanie membenturkan kepalanya ke atas meja makan. Tangan kanannya
menyentuh perutnya yang masih terlihat rata. Sekarang terdapat janin yang
sebentar lagi akan menjadi manusia di perutnya. Mahluk hidup. Sesuatu yang
Justin takuti. Sesuatu yang Justin tidak inginkan. Bukan, apa yang berada di
dalam perut Elanie bukanlah ‘sesuatu’. Tetapi ‘seorang’. Jika Tuhan bertanya
kapan Elanie ingin meninggal, ia akan memilih sekarang dibanding ia harus
menghadapi Justin.
“Sayang,”
panggil Justin dari belakang dengan suara serak. Oh ya ampun, ini dia. Elanie
menegakkan tubuhnya lalu menyembunyikan benda yang ia pegang ke belakang gelas
teh agar tak kehilangan dari Justin. “Apa yang kaulakukan?”
“Meminum
teh,” bisik Elanie. “Mau roti?”
“Tentu,
kau bangun pagi sekali. Ini hari Minggu,” ucap Justin kebingungan. Ia menarik kursi
di sebelah Elanie lalu duduk di sana. Elanie hanya diam, ia membuat roti untuk
Justin tanpa menatap suaminya sama sekali. Apa yang terjadi pada istrinya? Mata
Justin memerhatikan gerak-gerik Elanie sebaik yang ia bisa dan ia bisa melihat
ada yang berubah dari istrinya. “Ada yang berubah darimu,”
Elanie
gugup setengah mati. “Ap-apa yang berubah dariku?”
“Oh,
kau makin cantik. Itu saja yang berubah,” ucap Justin memuji secara berlebihan.
“Hey, apa yang terjadi sayang?” Tanya Justin dengan perhatian.
“Tidak
ada, memang kau pikir apa?” Tanya Elanie berusaha untuk menutupi ketakutannya.
Namun Justin sudah mengenal Elanie lebih bari dari semua orang, termasuk orang
tua Elanie. Elanie terus mengolesi roti dengan selai kacang kesukaan Justin.
Justin langsung menarik tangan Elanie yang membuat roti itu. “Justin!”
“Apa
yang terjadi?!” Justin bertanya, hampir berteriak. “Katakan padaku, Elanie
Bieber,” ujar Justin dengan tegas. Elanie memejamkan matanya selama beberapa
detik, tangannya ditahan oleh tangan Justin begitu erat sampai-sampai Elanie
berpikir darahnya tersumbat.
“Aku
hamil.” Ucapan itu menjadi sebuah tamparan keras bagi Justin. Seperti tersengat
listrik, Justin melepaskan tangannya dari tangan Justin. Tubuh Justin mundur ke
belakang sampai kursinya terdorong, menjauh dari Elanie. Berita itu masih belum
masuk di otak Justin. Tidak mungkin Elanie hamil! Pft, bagaimana bisa itu
terjadi? Kepala Justin tiba-tiba saja pening karena ia berpikir begitu keras.
Justin tidak berani menatap mata Elanie, ia melihat lantai dengan bibir atas
yang sekarang sudah menutupi bibir bawahnya. Secepat inikah ia akan memiliki
anak? Bukankah Justin sudah memberitahu Elanie kalau Elanie hamil tahun depan
saja? Mengapa sekarang? Mata Justin terpejam.
“Aku
tidak mengerti, Elanie. Secepat inikah? Kupikir kau tidak ingin memiliki anak,”
ucap Justin berdeham. Baru saja Elanie ingin membalas ucapan Justin, Justin
sudah bangkit dari kursinya lalu pergi dari hadapan Elanie. Punggung Justin
menghilang dari pandangan Elanie, meninggalkan luka di hati Elanie yang sungguh
mendalam. Pria itu meninggalkannya, tidak menerima apa yang terjadi pada
Elanie. Tidak menerima janin yang sekarang berada di dalam perut Elanie. Air
mata Elanie mengumpul, bersiap untuk menetes, tetapi Elanie mengedip-kedipkan
matanya berkali-kali agar air matanya tak mengalir. Reaksi inilah yang akan
diberikan oleh Justin padanya, seharusnya Elanie tahu sebelumnya. Elanie
mengambil alat tes kehamilan yang berada di belakang gelas tehnya. Ia menatap
tanda positif di alat tes kehamilannya itu lalu kepalanya terbentur pada ujung
meja makan. Air matanya sebentar lagi akan menetes jatuh ke atas lantai ruang
makan, tetapi Elanie menahannya.
“Elanie,”
suara Justin membuat Elanie terkesiap. Ia langsung menarik tangannya yang memegang
alat tes kehamilan itu ke atas pahanya lalu meremasnya. Sakit hatinya seketika
pudar, Justin masih menginginkan anak ini. Well, setidaknya Justin masih ingin
menerima anak ini. Tangan Justin memegang sebuah ponsel, kali ini seulas
senyuman menempel di wajahnya. Kejutan terbesar pagi itu adalah ucapan Justin
yang membuat Elanie ingin lenyap dari bumi seketika—atau mungkin ingin Justin
yang lenyap dari bumi. “Kita bisa menggugurkannya,”
“Kau
gila,” bisik Elanie bangkit dari kursi. Ia mundur beberapa langkah dari Justin,
menjauhi Justin dengan kedua tangan yang memeluk perutnya. “Dari mana kau
mengetahui tentang hal-hal itu? Kau ingin membunuh anakmu sendiri?”
“Aku
tidak menginginkannya, Elanie. Aku belum mau menginginkannya, Elanie, sayang.
Kita bisa melakukan aborsi jika kau menyetujuinya. Tidak apa-apa, aku sudah
melihatnya di internet. Kita tidak bisa berhubungan badan jika kau hamil. Ini
semua mimpi buruk! Tetapi lihatlah ini, sayang,” ucap Justin dengan santainya
menunjukkan layar ponselnya pada Elanie. Bam!
Saat itulah air mata Elanie mengalir melewati pipinya yang putih. “Kita bisa
menghilangkan mahluk itu dari
perutmu!”
“Tunggu
sebentar Justin, karena di sini aku sungguh tidak mengerti. Kau ingin menjadi
seorang pembunuh sekarang? Kau ingin anakmu mati? Kau ingin aku dan anak kita
mati bersama-sama? Kaupikir Tuhan akan senang jika kau melakukan itu padaku dan
bayi kita sendiri?” Tanya Elanie menarik nafas dalam-dalam, matanya terpejam
lalu beberapa detik kemudian matanya terbuka. Justin menggelengkan kepalanya.
Ia kesal! Ia marah! Ia kecewa. Mengapa istrinya tidak mengerti Justin untuk
sekarang? Mengapa Elanie hamil di saat Justin tidak menginginkan anak? Ini
sulit diduga. Dengan acuh, Justin melempar ponselnya ke tembok hingga ponsel
itu hancur berkeping-keping.
“Persetan
dengan semua ini,” bisik Justin dengan lesu—padahal wajahnya sudah merah padam.
“A-aku hanya akan mandi dan pergi bekerja,”
“Yeah,
kau lakukan itu saja, Mr.Bieber,” ucap Elanie berani.
“Ya,
aku akan melakukan itu Mrs. Bieber,”
ucap Justin yang membuat amarah Elanie semakin meluap-luap. “Aku
berharap ini semua hanyalah mimpi semata karena aku tidak menginginkan ini. Kau
terima atau tidak, aku akan membawa dokternya ke sini untuk menggugurkan bayi
sialan itu,” ucap Justin yang sudah sejak dua minggu yang lalu sering
mengatakan kata-kata kotor. Ini tentu bukan karena Angelo dan Robert, melainkan
diri Justin sendiri yang sekarang merasa kata-kata kotor itu terasa sangat
ringan di mulutnya untuk diucapkan. Justin berhenti di tempatnya ketika Elanie
memanggilnya dengan panggilan yang tidak senonoh, hati Justin membeku detik itu
juga.
“Bayi
sialan itu kau bilang, Mr.Bieber sialan?” Tanya Elanie dengan ucapan kotor.
Justin memutar tubuhnya hingga ia menghadap pada Elanie, lagi. Alisnya
terangkat satu, menatap Elanie dengan tatapan angkuh. Wajahnya sudah merah
padam, hatinya gusar, dan rasanya ia sebentar lagi akan meledak di tempat.
Namun suaranya yang maskulin dan tenang menyembunyikan perasaan Justin yang
sebenarnya.
“Ya,
Mrs. Bieber, bayi sialan itu harus hilang dari perutmu. Kau tidak akan mati.
Sekarang biarkan aku pergi mandi untuk bekerja. Sampai jumpa, Elanie. Aku akan
kembali pulang bersama dengan dokter. Jaga dirimu baik-baik,” ketenangan
suaranya membuat Elanie membuang wajah. Sialan benar suaminya. Jika bukan
karena Justin suaminya, sudah pasti Elanie melempari gelas teh ke kepala Justin
sekarang juga. Berharap kepala itu bocor, mendapatkan luka berat, atau bahkan
tiba-tiba mati begitu saja—itu akan menjadi lebih baik—di tempat. Justin sudah
menghilang ketika Elanie menolehkan kepalanya ke mulut pintu ruang makan.
Tangan kanannya mengelus perut itu dengan lembut lalu ia mendesah. Kepalanya
menunduk, tetapi tidak ada air mata yang mengalir lagi. Api amarah sudah
mengeringkan air mata itu. Suaminya sungguh bodoh atas gagasan untuk
menggugurkan bayinya. Dia sudah sinting!
“Kau
akan baik-baik saja, aku berjanji.”
***
Malam
itu sungguh sunyi. Elanie sedang menonton acara televisi yang membosankan. Ia
tidak memiliki niatan untuk lari dari Justin karena menurutnya Justin hanya
bercanda. Rumah Elanie hanya seperti diisi oleh angin dan dirinya yang
menghirup udara. Tangannya dari tadi mengelus perutnya yang belum berbentuk
sama sekali. Tetapi Elanie dapat merasakan kalau dirinya sekarang bukanlah
hanya seorang diri, melainkan tubuhnya sedang diisi oleh janin yang akan
menjadi seorang bayi. Terdengar pintu rumah terbuka dari ruang tamu. Elanie
tidak bergeming, ia hanya diam di tempatnya, matanya terus menatap televisi
tetapi pendengarannya lebih tertuju pada suara dari ruang tamu. Suara Justin
mendesah terdengar, kemudian suara orang lain. Sontak Elanie bangkit dari
kursinya, apa itu dokternya? Apa suaminya benar-benar melakukan apa yang ia
katakan tadi pagi? Justin benar-benar ingin membunuh anaknya? Apa-apaan yang
dipikirkan oleh Justin? Segera saja Elanie berlari menuju dapur dengan larian
yang cepat tanpa takut terpeleset. Matanya mencari-cari dimana pisau. Ketika
mendapatinya, Elanie meraih pisau itu lalu ia menyembunyikannya di balik
lengannya sehingga tidak kelihatan kalau ia sedang memegang sebuah pisau.
“Istriku
sepertinya berada di atas, aku akan memanggilnya,” ucap Justin dengan ramah.
Perlahan-lahan Elanie melangkah keluar dari ruang tamu. Terlihat seorang pria
tua menggunakan kacamata sedang terduduk di tempat yang baru saja Elanie
tinggalkan tadi. Pria itu terlihat seperti sudah terbiasa melakukan hal ini. Elanie melangkah keluar,
menunjukkan dirinya pada pria itu. Saat sudah merasa cukup dekat pria tua itu,
Elanie berdeham hingga kepala pria itu menoleh pada Elanie.
“Halo,”
sapa pria itu, ramah layaknya dokter-dokter lain.
“Ap-apa
kau orang yang akan menggugurkan bayi dari perut seorang wanita?” Tanya Elanie,
polos serta berhati-hati. Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya sambil
tertawa.
“Pekerjaan
terbaikku sepanjang hidup,” ucap pria itu santai. “Apa kau istri dari
Mr.Bieber?” tanya pria itu tidak merasakan ketakutan yang terpancar dari mata
Elanie. Elanie mundur beberapa langkah ketika pria itu mengucapkan pekerjaan
itu sebagai sesuatu yang sagnat membanggakan. Membunuh bayi di perut seorang
wanita adalah pekerjaan yang membanggakan? Ingin rasanya Elanie mengiris urat
nadinya dengan pisau di tangan kanannya itu. Terdengar suara langkahan dari
atas tangga yang semakin lama suaranya semakin membesar. Justin turun layaknya Christian Grey yang sedang melangkah
begitu anggun.
“Oh
ya ampun, Elanie, aku sudah panik tidak mendapatimu di atas sana. Tapi
untunglah suaramu terdengar sampai atas. Jadi, ini doktermu. Ia yang akan
mengeluarkan bayi itu dari perutmu. Dr. Leo, dia dokter yang hebat di seluruh
Atlanta. Jadi mari kita keluarkan bayi itu,” ucap Justin dengan santai. Justin
melangkah mendekati Elanie dengan kedua tangan direntangkan, berniat untuk
memeluk istrinya.
“Menjauh
dariku, Justin,” ucap Elanie, memperingati. Kedua alis Justin terangkat.
“Mengapa
kau ingin aku menjauh darimu?” Tanya Justin. “Ayolah, jangan mempersulit
keadaan, Elanie,” rayu Justin dengan lembut.
“Aku
tidak mempersulit keadaan, Mr.Bieber sialan! Kau yang mempersulit keadaan di
sini, kau tahu itu?! Kubilang menjauh! Jangan mendekat!” Ancam Elanie
menunjukkan ujung pisau tajam itu pada Justin. Sontak Justin mengangkat kedua
tangannya ke udara, ia mundur beberapa langkah. Dr.Leo bangkit dari sofa. “Aku
tidak ingin melakukan ini padamu, Justin. Tapi, Dr.Leo, kumohon pergilah dari
rumahku. Sekarang.”
“Tetapi,
Mr.Bieber…”
“Aku
tidak peduli apa yang Mr.Bieber ucapkan! Aku tidak ingin membunuh kalian, tetapi
diriku dan anakku. Nah, sekarang pergilah Dr.Leo sebelum aku benar-benar
melakukannya,”
“Dr.Leo,
aku akan menemuimu besok,” ucap Justin bergetar. Ya Tuhan, istrinya sekarang
sedang memegang sebuah pisau dan mengancam akan membunuh dirinya sendiri! Apa
Elanie sinting? Dr.Leo pergi dari hadapan mereka seperti tikus yang
terbirit-birit karena kucing yang mengejarnya dari belakang. Justin menelan
ludahnya, kedua tangannya menahan Elanie untuk tidak melakukan itu dari jarak
jauh.
“Kau
ingin aku dan bayi kita mati bersama-sama atau kita mempertahankan bayi ini?”
Tetapi
Justin tidak mengucapkan sepatah katapun saat itu. Ia langsung berlari
meninggalkan Elanie dengan tangisan yang mengalir di pipinya. Saat itulah sifat
asli Justin muncul kembali, tetapi tidak membuat Justin goyah untuk tidak
menyingkar bayi yang berada di dalam perut Elanie. Elanie tentu saja tidak akan
membunuh dirinya sendiri, ia tidak segila itu. Dan ia masih takut ditambah
ingin bertemu dengan Tuhan. Malam itu Elanie lebih memilih untuk pergi ke rumah
orangtuanya kembali. Ia tidak mengambil pakaian atau apa pun. Hanya sebuah
pisau yang ia bawa dengan dompet yang ia ambil dari kamar—yang di dalam
kamarnya terdapat Justin sedang menangis tersedu-sedu di atas ranjang. Pisau
itu sudah dibuang oleh Elanie di tengah jalan saat perjalanan menuju rumahnya.
Air matanya mengalir, tentu saja. Bayi di dalam perutnya bukanlah harapan
Justin. Justru Justin ingin menyingkirkannya, ingin janin itu mati di dalam
perut Elanie lalu dikeluarkan begitu saja.
Saat
sudah berada di rumah orangtua, Elanie langsung memeluk ibunya dengan erat.
Hujan saat itu juga turun membasahi kota Atlanta. Begitu diajak masuk ke dalam
rumah, Elanie menceritakan segalanya. Mulai dari usaha Elanie membuat Justin
menjadi pria sejati, menghadapi Justin yang kekanak-kanakan sampai Justin yang
keras kepala serta egois. Perubahaan Justin sungguh pesat dan dramatis, ini
adalah ketakutan Elanie.
“Ibu
pikir sebaiknya kau istirahat sekarang,” ucap ibu Elanie perhatian. Ia mengajak
Elanie pergi dari ruang tamu menuju kamar Elanie dulu. Kamarnya tidak sama
sekali berubah, masih sama. Dan Timo berada di sana sedang meratapi nasib di
atas tempat tidur Elanie.
“Timo!”
Seru Elanie berlari ke atas tempat tidurnya lalu memeluk anjing kesayangannya
itu. Timo memang sangat merindukan Elanie, ia merengek-rengek ingin dimanja
oleh Elanie.
“Kau
ingin ibu membuatkan apa untukmu?”
“Susu?”
“Pilihan
yang bagus, sayang.” Ibu Elani keluar dari kamar. Meninggalkan Elanie berdua bersama
dengan Timo, mereka saling memeluk. Elanie mengelus anjingnya yang besar serta
berbulu panjang itu lalu kepalanya bersandar di sana. Malam ini akan terasa
berbeda karena tidak ada Justin yang berada di sampingnya. Hari ini juga terasa
begitu cepat, tetapi sakit hati yang Elanie rasakan tidak cepat memudar. Usaha
Justin untuk membunuh bayi mereka berhasil menyakiti hati Elanie. Dan besok
Justin akan mendapatkan ganjarannya.
***
Pagi
itu adalah pagi yang luar biasa buruk bagi Justin. Ia stress, menangis dengan
wajah merah padam. Tangisan berbeda dari tangisannya tadi malam, kali ini ia
merasakan kehilangan yang begitu mendalam. Begitu banyak pecahan piring di
dapurnya akibat amarah Justin yang meluap-luap. Elanie tidak ada di rumah!
Bagaimana bisa istrinya meninggalkan Justin sendiri di rumah sementara Elanie
telah berjanji untuk tidak meninggalkan Justin?! Omong kosong! Buku-buku jari
Justin berdarah akibat tinjuan yang ia lemparkan pada begitu banyak benda di
rumahnya. Ia mengirimi pesan pada Elanie berkali-kali dan menghubunginya
berkali-kali tetapi Justin tidak mendapatkan Elanie mengangkat teleponnya atau
membalas pesan singkatnya. Justin duduk dengan lesu di atas sofa, menangis
tersedu-sedu.
“Aku
membutuhkanmu, Elanie,” isak Justin. “Aku berjanji akan melakukan apa pun yang
kaukatakan. Aku tidak akan membunuh anakku jika kau tidak menginginkannya,
tetapi sekarang kau sudah meninggalkanku. Kembali Elanie sialan!” Justin
berteriak, menendang meja di hadapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar