Sabtu, 31 Mei 2014

Pure Love Bab 11



            Tubuh ramping itu dihujani oleh ciuman-ciuman bergairah sementara tubuhnya terus tersentak-sentak ke atas karena pria yang berada di atas tubuhnya. Kepalanya mendongak ke atas dengan peluh yang membasahi keningnya. Matanya terpejam, mulutnya terbuka berbentuk huruf ‘O’ namun tidak bersuara, hanya nafasnya yang memburu dapa terdengar. Kedua tangannya memeluk punggung pria yang berada di atas tubuhnya—yang menindihnya—sampai kuku-kukunya tertancap di punggung yang berkeringat itu akibat rasa nikmat yang tidak bisa ia tahan sekarang. Pria itu terus memasukkan dirinya ke dalam tubuh wanita itu dalam ritme yang begitu cepat sampai-sampai wanita itu sekarang berteriak untuk berhenti.
            “Kumohon, hentikan,” bisik wanita itu dengan pelan, bahkan suaranya hampir menangis. Namun pria itu tidak menghentikan dorongan pinggulnya pada tubuh wanita itu. “Kau membunuhku,”
            “Itu tujuanku,” erang pria itu tidak mempedulikan apa yang dirasakan oleh wanita itu karena sebentar lagi ia akan mencapai pelepasannya. Wanita itu menangis kenikmatan atas apa yang pria itu lakukan padanya. “Sialan, kau sangat panas, Elanie,”
            “Kumohon, Justin,” bisik wanita itu terisak. Darah yang mengalir di tubuhnya sekarang mendidih untuk sementara akibat panas yang diberikan oleh sentuhan fisik dari pria di hadapannya, sebentar lagi ia akan meledak. Sekarang seluruh rangsangan yang diberikan berpusat pada bagian bawahnya, semuanya seolah-olah berkumpul di sana dan seluruh rangsangan itu sudah tak dapat ditampung lagi. Wanita itu menggigit telinga pria yang memberikan kenikmatan itu ketika ia mendapatkan pelepasan yang luar biasa malam itu. Pinggulnya tak bisa diam, kakinya menegang memeluk pinggang pria itu sampai pria itu terpaksa harus ikut mengerang.
            “Elanie, demi Tuhan,” erang pria itu mendapatkan pelepasannya. Baru kali ini Elanie merasakan hal yang begitu nikmat. Maksudnya, senikmat ini. Dan darimana pria di atas tubuhnya bisa cepat mempelajari hal-hal seperti ini? Sungguh, ini sulit dipercaya. Tubuhnya masih menggeliat-geliat di bawah tubuh Justin lalu berhenti begitu saja. Ia merasa tulang-tulang tubuhnya terputus-putus sekarang, dagingnya melembek, kulitnya juga terasa sangat lembek. Astaga, apa yang terjadi pada dirinya? Hubungan badan mereka sebelumnya tidak senikmat ini. Tetapi sekarang, setelah jilatan yang diberikan oleh suaminya sebelum mereka menyatukan tubuh, ia sudah mendapat dua pelepasan yang sama luar biasanya. Apa sekarang ia tidak dapat bertemu dengan Justin yang polos lagi?
            “Luar biasa, Elanie,” bisik Justin bangkit dari tubuh Elanie. Dengan terpaksa, Elanie membuka matanya untuk melihat Justin yang telanjang bulat berjalan menuju kamar mandi sambil tangan kanannya mengucek-kucek mata. Justin kelihatan sangat lelah, tubuhnya berkeringat dan rambutnya basah akibat keringatnya. Tentu saja, Justin telah melakukan pemanasan yang memang panas dan bagian utama yang terasa seperti di neraka. Pagi yang seharusnya terasa sejuk, sekarang terasa sangat panas. Ia harus mandi dua kali. Pintu kamar mandi yang awalnya tertutup, tiba-tiba saja terbuka. Kepala Justin-lah yang keluar lebih dulu, ia menutupi tubuh telanjangnya dengan pintu, sungguh lucu ketika mereka berdua tahu kalau tubuh Justin atau pun Elanie pernah telanjang saat mata mereka berdua juga terbuka dan melihat tubuh satu sama lain.
            “Mau mandi bersamaku? A-aku tahu, kau sudah mandi, tapi kurasa setelah kita… kau tahulah, kurasa kau butuh mandi. Aku yang akan menggosok punggungmu,”
            “Kau bisa menggosok tubuhku di bagian mana pun, Justin,” goda Elanie bangkit dari tempat tidur dengan keadaan tubuh tanpa busana. Mata Justin melihat dari atas hingga bawah, terutama pada bagian bawah yang luar biasa seksi. Berbentuk segitiga, yang baru saja ia jilat tadi, dan sekarang terlihat sangat…mungil. Justin sempat bingung mengapa kelaminnya bisa masuk ke dalam tubuh Elanie namun Elanie tidak kesakitan—atau selama ini Elanie merasa kesakitan? Well, mereka berdua sama-sama berteriak tiap kali tubuh mereka bersatu. Namun Justin tidak merasa kesakitan, ia merasa nikmat yang ia ekspresikan melalui erangan dan teriakannya. Tetapi, bagaimana dengan Elanie? Justin berusaha untuk membuang segala pikiran negatif yang hinggap di otaknya.
            “Apa?” Tanya Elanie dengan senyum malu-malu, ia sudah berada di hadapan Justin. Tubuhnya sama-sama berkeringat seperti Justin. Tidak mengatakan apa-apa, Justin melebarkan pintu kamar mandi agar Elanie dapat masuk. “Terima kasih, Mr.Bieber,”
            “Kembali, Mrs. Seksi.” Puji Justin yang membuat pipi Elanie memerah begitu saja. Sesaat Elanie merasakan dilema. Mengapa suaminya menjadi seperti ini? Bukan Elanie tidak menginginkan Justin jadi hebat di ranjang, tetapi sifat Justin yang polos pasti akan menghilang seiring berjalannya waktu. Justin bukanlah pria yang bodoh, ia cerdas. Daya ingatnya cukup tinggi, hal yang membuat ia bodoh selama ini adalah karena ia tidak pernah diajarkan cara bersosialisme dengan orang lain, tidak diajarkan mana yang harus diikuti dan tidak, karena Justin terperangkap di rumahnya hanya untuk mempelajari bagaimana caranya berbisnis. Dan lihat saja permainan Justin di ranjang 10 menit yang lalu itu. Itu bukan Justin. Itu adalah Justin yang sekarang hebat di ranjang. Justin yang sekarang tahu bagaimana caranya menjadi nakal. Elanie tentu saja akan merindukan tiap tangisan yang Justin keluhkan padanya tiap kali Justin mencoba hal-hal baru.
            Sekarang, seks bukanlah sesuatu yang Justin takuti. Tetapi ada hal baru yang menanti Justin yang akan menakuti Justin dikemudian hari, dan kembali, Elanie harus bersabar. Untuk yang entah ke berapa kalinya.


***


            “Kupikir kau membawa anjingku ke sini, tetapi kemana dia sekarang?” Tanya Elanie kebingungan setelah ia sadar seharusnya sekarang ada anjingnya di rumahnya, tetapi sudah beberapa hari mereka lewati, Elanie tidak melihat anjingnya, Timo. Justin sedang mengunyah kentang goreng yang dibuat oleh Elanie malam itu, ia sedang kelaparan namun istrinya lebih memilih untuk membuatkannya kentang goreng. Tetapi bukan apa yang dibuat oleh istrinya, tetapi siapa yang membuat makanannya. Justin akan memakan makanan gosong jika perlu, kalau pembuatnya itu adalah Elanie. Untungnya, Justin memiliki istri yang pintar memasak meski hari ini Elanie tampak malas. Well, pagi dan siang tadi mereka berhubungan badan seperti orang tolol karena pemintaan Justin yang seperti tak berujung. Elanie mengambil satu kentang goreng dari piring Justin lalu memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya. Seharian ini Justin bertingkah normal layaknya suami normal lainnya. Menggoda, menyentuh Elanie, mencium bibir Elanie seharian ini. Tidak ada tangisan atau rengekan dari Justin. Ini perubah pesat yang Elanie cukup takuti. Elanie lebih memilih Justin yang polos dibanding Justin yang nakal seperti ini. Tidak, bukan itu maksud Elanie. Ia memang ingin Justin menjadi pria yang normal, tetapi ia tidak ingin sifat Justin yang lama itu menghilang. Kejujurannya, kelucuannya, rasa percaya diri yang tinggi, tentu saja Elanie tidak ingin kehilangan Justin yang lucu itu.
            “Aku membunuhnya,” bisik Justin. Mata Elanie membulat.
            “Kau bercanda,” ucap Elanie tergelak satu kali. Justin mengedik kedua bahunya.
            “Ya sudah kalau tidak percaya. Waktu malam aku tidur di luar, aku membunuhnya terlebih dahulu lalu sudah, aku menguburinya di halaman belakang. Makanya kau tidak melihatnya, bukan? Pft, ayolah, Elanie. Kau tidak membutuhkan binatang itu, kau butuh aku,”
            Satu alis Elanie terangkat. “Dari mana kau belajar membuat lelucon bodoh seperti ini? Tidak lucu, serius, Justin. Jika kau ingin membunuh Timo, lebih baik aku meninggalkanmu saja,” ucap Elanie santai, ia mengambil satu kentang lagi dari piring Justin. Mendengar ucapan ‘aku akan meninggalkanmu’ membuat Justin cukup panik. Ia tidak ingin Elanie pergi dari kehidupannya, setelah apa yang mereka lalui bersama-sama. Justin menelan ludah.
            “Baiklah, aku membawanya pulang kembali malam itu. Kau sudah tidur waktu itu, kurasa, jadi kau tidak tahu. Timo, namanya aneh sekali. Tapi terserahlah, aku hanya memberitahu kalau namanya aneh dan aku berharap kau menggantinya,” ucap Justin yang tidak respon oleh Elanie. Hening dalam jangka waktu yang lama di antara mereka. Mereka tidak sama sekali saling menatap. Elanie juga tidak mengambil kentang goreng milik Justin lagi. Ia sudah tidak lapar. Entah mengapa, sekarang giliran Elanie yang ingin berhubungan badan dengan Justin. Sungguh, sentuhan Justin membuat Elanie kecanduan. Beruntungnya, Justin sekarang adalah milik Elanie yang dapat Elanie sentuh kapan pun Elanie mau, dan hanya Elanie yang bisa menyentuh Justin. Suaminya menarik nafas, membuat Elanie menoleh kepalanya, menatap Justin yang menyandarkan kepalanya di atas dua tangannya yang dilipat di atas meja makan.
            “Elanie,” panggil Justin seperti anak kecil yang sedang sedih. Ia tidak menatap Elanie, bibirnya tampak sangat lucu karena basah. “Apa kau akan selalu mencintaiku?” Tanya Justin menelan ludahnya.
            “Mengapa kau bertanya seperti itu?”
            “Apa kau berjanji untuk tidak akan meninggalkanku?” Tanya Justin menelan ludahnya, lagi. Salah satu alis Elanie terangkat, mengapa Justin tiba-tiba bertanya seperti itu? Bukankah sudah jelas kalau Elanie tidak akan meninggalkannya? Elanie juga sadar kalau dirinya tidak normal. Jika ia normal, sudah dari dulu ia meninggalkan Justin di rumah sendirian dan menikah dengan pria lain yang Elanie cintai atau pria lain yang mungkin lebih normal dibanding Justin. “Aku hanya takut.” Justin mengedik bahu.
            “Takut aku pergi?”
            “Ya. Aku takut kau pergi. Jika kau pergi, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya aku. Membayangkanmu pegi saja sudah membuatku muak. Apalagi jika kau meninggalkan aku?”
            “Aku tidak akan meninggalkanmu, Mr.Bieber,” ujar Elanie mendorong kursinya ke belakang, ia keluar dari kursi lalu mendekati Justin. “Bagaimana kalau kita ke atas dan melakukan sesuatu yang kita lakukan tadi pagi dan siang?” Tanya Elanie, menggoda suaminya.
            “Kau ingin kita mati hanya karena berhubungan badan?”
            “Oh, aku harap begitu,”
            “Well, baiklah jika itu yang kau mau. Mengapa tidak?” Tanya Justin bangkit dari kursi meja makannya. Memegang tangan Elanie, ia menarik Elanie untuk pergi dari meja makan. Meninggalkan kentang goreng yang sekarang sudah dingin. Elanie berteriak ketika tiba-tiba saja Justin menggendongnya lalu bibir mereka langsung bertemu. “Kau semakin lama semakin menggemaskan,”
            “Dan kau semakin lama semakin nakal. Kau sadar itu Mr.Bieber?” Tanya Elanie memeluk leher Justin agar ia tidak jatuh dari gendongan Justin. Namun Justin menggelengkan kepalanya, polos. Mulut mereka kembali bersatu. Saling mengisap dan menggigit. Justin berjalan melewati anak tangga, namun ia tidak ragu untuk mengambil langkah. Ketika berada di dalam kamar, seluruhnya berubah menjadi lebih gelap dan intens. Mereka bersama-sama masuk ke dalam lautan penuh gairah, kembali.


***


            Sudah sebulan lebih –hampir dua bulan—mereka memiliki kehidupan rumah tangga yang normal. Itu membuat Elanie cemas akan keadaan Justin. Entah mengapa ia merasa keadaan salah tiap kali Justin pulang dari kerja dan mengecup bibirnya lalu menjatuhkan tubuh Elanie ke atas tempat tidur. Justin bukanlah Justin yang dulu lagi, ia sudah menjadi pria dewasa yang tahu apa yang harus ia lakukan. Memang bagus karena Justin sudah tidak lagi menangis atau menyikat dirinya tiap kali ia disentuh oleh Elanie. Tetapi semakin lama mulut Justin semakin tertutup. Ia jarang berbicara. Seolah-olah begitu banyak rahasia yang Justin tutupi dari Elanie, namun Elanie berusaha untuk tidak berpikir kalau suaminya berselingkuh. Memang, Justin tidak berselingkuh. Selama ini Justin hanya disibukkan oleh pekerjaan, ia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerja. Setidaknya, pekerjaan itu tidak membuat hubungan Elanie dan Justin retak. Hanya saja, mulut Justin yang awalnya banyak bicara, sekarang Justin dapat meminimalisir apa yang harus ia katakan.
            Hari ini adalah hari Minggu. Justin belum bangun dari tidurnya sedangkan sudah sejak jam 6 pagi Elanie berada di dapur hanya memikirkan Justin ditemani dengan teh serta roti di hadapannya. Tehnya sudah habis, tetapi rotinya masih setengah lagi harus ia gigit. Sudah banyak perhiasan yang Elanie miliki sekarang. Suaminya sekarang tahu bagaimana caranya bersikap romantis, tetapi hal inilah yang membuat Elanie merasa bosan. Ia tidak membutuhkan Justin yang hebat di atas ranjang dan berubah menjadi seperti ini. Ia hanya butuh Justin yang jujur, apa adanya, dan polos. Sekarang yang ia miliki hanyalah pria berupa dewa Yunani yang sekarang tahu segalanya tentang seks dan bekerja. Elanie gugup, ia menelan ludahnya. Bukan inilah masalah utama yang Elanie hadapi sekarang. Tetapi sebuah benda yang ia pegang sekarang. Apa yang akan Justin katakan padanya jika Justin tahu apa yang terjadi dengan istrinya? Apa Justin akan marah dan meninggalkan Elanie? Elanie bahkan tidak tahu kalau ia akan hamil secepat ini. Ya, hamil. Kata yang akan membuat Justin berteriak histeris, memaki Elanie lalu meninggalkan Elanie.
             Baiklah, mungkin mereka sudah berkali-kali berhubungan badan, tetapi secepat inikah Elanie akan hamil? Mereka bahkan baru menjalaninya selama 1 bulan! Dan Elanie sudah hamil? Sungguh, Elanie sangat subur. Ia sudah terlambat datang bulan selama 1 minggu. Menurut Elanie itu tidak apa-apa, tetapi ketika ia merasa tidak enak badan—dan kebetulan ia sedang menonton film seorang wanita yang hamil di luar nikah—membuat Elanie langsung pergi ke apotik untuk membeli alat tes kehamilan. Ia sudah membelinya satu minggu yang lalu namun ia tidak memakainya satu kalipun. Dan baru pagi tadi Elanie memakai alat itu dan inilah hasilnya. Positif. Luar biasa. Mengagumkan. Tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Apakah ada kata yang lebih hebat dari luar biasa dan mengagumkan? Jika ya, Elanie akan menggunakan kata itu untuk mengungkapkan betapa hebat dirinya sekarang. Hebat karena ia hamil.           
            “Ya Tuhan,” desah Elanie membenturkan kepalanya ke atas meja makan. Tangan kanannya menyentuh perutnya yang masih terlihat rata. Sekarang terdapat janin yang sebentar lagi akan menjadi manusia di perutnya. Mahluk hidup. Sesuatu yang Justin takuti. Sesuatu yang Justin tidak inginkan. Bukan, apa yang berada di dalam perut Elanie bukanlah ‘sesuatu’. Tetapi ‘seorang’. Jika Tuhan bertanya kapan Elanie ingin meninggal, ia akan memilih sekarang dibanding ia harus menghadapi Justin.
            “Sayang,” panggil Justin dari belakang dengan suara serak. Oh ya ampun, ini dia. Elanie menegakkan tubuhnya lalu menyembunyikan benda yang ia pegang ke belakang gelas teh agar tak kehilangan dari Justin. “Apa yang kaulakukan?”
            “Meminum teh,” bisik Elanie. “Mau roti?”
            “Tentu, kau bangun pagi sekali. Ini hari Minggu,” ucap Justin kebingungan. Ia menarik kursi di sebelah Elanie lalu duduk di sana. Elanie hanya diam, ia membuat roti untuk Justin tanpa menatap suaminya sama sekali. Apa yang terjadi pada istrinya? Mata Justin memerhatikan gerak-gerik Elanie sebaik yang ia bisa dan ia bisa melihat ada yang berubah dari istrinya. “Ada yang berubah darimu,”
            Elanie gugup setengah mati. “Ap-apa yang berubah dariku?”
            “Oh, kau makin cantik. Itu saja yang berubah,” ucap Justin memuji secara berlebihan. “Hey, apa yang terjadi sayang?” Tanya Justin dengan perhatian.
            “Tidak ada, memang kau pikir apa?” Tanya Elanie berusaha untuk menutupi ketakutannya. Namun Justin sudah mengenal Elanie lebih bari dari semua orang, termasuk orang tua Elanie. Elanie terus mengolesi roti dengan selai kacang kesukaan Justin. Justin langsung menarik tangan Elanie yang membuat roti itu. “Justin!”
            “Apa yang terjadi?!” Justin bertanya, hampir berteriak. “Katakan padaku, Elanie Bieber,” ujar Justin dengan tegas. Elanie memejamkan matanya selama beberapa detik, tangannya ditahan oleh tangan Justin begitu erat sampai-sampai Elanie berpikir darahnya tersumbat.
            “Aku hamil.” Ucapan itu menjadi sebuah tamparan keras bagi Justin. Seperti tersengat listrik, Justin melepaskan tangannya dari tangan Justin. Tubuh Justin mundur ke belakang sampai kursinya terdorong, menjauh dari Elanie. Berita itu masih belum masuk di otak Justin. Tidak mungkin Elanie hamil! Pft, bagaimana bisa itu terjadi? Kepala Justin tiba-tiba saja pening karena ia berpikir begitu keras. Justin tidak berani menatap mata Elanie, ia melihat lantai dengan bibir atas yang sekarang sudah menutupi bibir bawahnya. Secepat inikah ia akan memiliki anak? Bukankah Justin sudah memberitahu Elanie kalau Elanie hamil tahun depan saja? Mengapa sekarang? Mata Justin terpejam.
            “Aku tidak mengerti, Elanie. Secepat inikah? Kupikir kau tidak ingin memiliki anak,” ucap Justin berdeham. Baru saja Elanie ingin membalas ucapan Justin, Justin sudah bangkit dari kursinya lalu pergi dari hadapan Elanie. Punggung Justin menghilang dari pandangan Elanie, meninggalkan luka di hati Elanie yang sungguh mendalam. Pria itu meninggalkannya, tidak menerima apa yang terjadi pada Elanie. Tidak menerima janin yang sekarang berada di dalam perut Elanie. Air mata Elanie mengumpul, bersiap untuk menetes, tetapi Elanie mengedip-kedipkan matanya berkali-kali agar air matanya tak mengalir. Reaksi inilah yang akan diberikan oleh Justin padanya, seharusnya Elanie tahu sebelumnya. Elanie mengambil alat tes kehamilan yang berada di belakang gelas tehnya. Ia menatap tanda positif di alat tes kehamilannya itu lalu kepalanya terbentur pada ujung meja makan. Air matanya sebentar lagi akan menetes jatuh ke atas lantai ruang makan, tetapi Elanie menahannya.
            “Elanie,” suara Justin membuat Elanie terkesiap. Ia langsung menarik tangannya yang memegang alat tes kehamilan itu ke atas pahanya lalu meremasnya. Sakit hatinya seketika pudar, Justin masih menginginkan anak ini. Well, setidaknya Justin masih ingin menerima anak ini. Tangan Justin memegang sebuah ponsel, kali ini seulas senyuman menempel di wajahnya. Kejutan terbesar pagi itu adalah ucapan Justin yang membuat Elanie ingin lenyap dari bumi seketika—atau mungkin ingin Justin yang lenyap dari bumi. “Kita bisa menggugurkannya,”
            “Kau gila,” bisik Elanie bangkit dari kursi. Ia mundur beberapa langkah dari Justin, menjauhi Justin dengan kedua tangan yang memeluk perutnya. “Dari mana kau mengetahui tentang hal-hal itu? Kau ingin membunuh anakmu sendiri?”
            “Aku tidak menginginkannya, Elanie. Aku belum mau menginginkannya, Elanie, sayang. Kita bisa melakukan aborsi jika kau menyetujuinya. Tidak apa-apa, aku sudah melihatnya di internet. Kita tidak bisa berhubungan badan jika kau hamil. Ini semua mimpi buruk! Tetapi lihatlah ini, sayang,” ucap Justin dengan santainya menunjukkan layar ponselnya pada Elanie. Bam! Saat itulah air mata Elanie mengalir melewati pipinya yang putih. “Kita bisa menghilangkan mahluk itu dari perutmu!”
            “Tunggu sebentar Justin, karena di sini aku sungguh tidak mengerti. Kau ingin menjadi seorang pembunuh sekarang? Kau ingin anakmu mati? Kau ingin aku dan anak kita mati bersama-sama? Kaupikir Tuhan akan senang jika kau melakukan itu padaku dan bayi kita sendiri?” Tanya Elanie menarik nafas dalam-dalam, matanya terpejam lalu beberapa detik kemudian matanya terbuka. Justin menggelengkan kepalanya. Ia kesal! Ia marah! Ia kecewa. Mengapa istrinya tidak mengerti Justin untuk sekarang? Mengapa Elanie hamil di saat Justin tidak menginginkan anak? Ini sulit diduga. Dengan acuh, Justin melempar ponselnya ke tembok hingga ponsel itu hancur berkeping-keping.
            “Persetan dengan semua ini,” bisik Justin dengan lesu—padahal wajahnya sudah merah padam. “A-aku hanya akan mandi dan pergi bekerja,”
            “Yeah, kau lakukan itu saja, Mr.Bieber,” ucap Elanie berani.
            “Ya, aku akan melakukan itu Mrs. Bieber,”  ucap Justin yang membuat amarah Elanie semakin meluap-luap. “Aku berharap ini semua hanyalah mimpi semata karena aku tidak menginginkan ini. Kau terima atau tidak, aku akan membawa dokternya ke sini untuk menggugurkan bayi sialan itu,” ucap Justin yang sudah sejak dua minggu yang lalu sering mengatakan kata-kata kotor. Ini tentu bukan karena Angelo dan Robert, melainkan diri Justin sendiri yang sekarang merasa kata-kata kotor itu terasa sangat ringan di mulutnya untuk diucapkan. Justin berhenti di tempatnya ketika Elanie memanggilnya dengan panggilan yang tidak senonoh, hati Justin membeku detik itu juga.
            “Bayi sialan itu kau bilang, Mr.Bieber sialan?” Tanya Elanie dengan ucapan kotor. Justin memutar tubuhnya hingga ia menghadap pada Elanie, lagi. Alisnya terangkat satu, menatap Elanie dengan tatapan angkuh. Wajahnya sudah merah padam, hatinya gusar, dan rasanya ia sebentar lagi akan meledak di tempat. Namun suaranya yang maskulin dan tenang menyembunyikan perasaan Justin yang sebenarnya.
            “Ya, Mrs. Bieber, bayi sialan itu harus hilang dari perutmu. Kau tidak akan mati. Sekarang biarkan aku pergi mandi untuk bekerja. Sampai jumpa, Elanie. Aku akan kembali pulang bersama dengan dokter. Jaga dirimu baik-baik,” ketenangan suaranya membuat Elanie membuang wajah. Sialan benar suaminya. Jika bukan karena Justin suaminya, sudah pasti Elanie melempari gelas teh ke kepala Justin sekarang juga. Berharap kepala itu bocor, mendapatkan luka berat, atau bahkan tiba-tiba mati begitu saja—itu akan menjadi lebih baik—di tempat. Justin sudah menghilang ketika Elanie menolehkan kepalanya ke mulut pintu ruang makan. Tangan kanannya mengelus perut itu dengan lembut lalu ia mendesah. Kepalanya menunduk, tetapi tidak ada air mata yang mengalir lagi. Api amarah sudah mengeringkan air mata itu. Suaminya sungguh bodoh atas gagasan untuk menggugurkan bayinya. Dia sudah sinting!
            “Kau akan baik-baik saja, aku berjanji.”


***


            Malam itu sungguh sunyi. Elanie sedang menonton acara televisi yang membosankan. Ia tidak memiliki niatan untuk lari dari Justin karena menurutnya Justin hanya bercanda. Rumah Elanie hanya seperti diisi oleh angin dan dirinya yang menghirup udara. Tangannya dari tadi mengelus perutnya yang belum berbentuk sama sekali. Tetapi Elanie dapat merasakan kalau dirinya sekarang bukanlah hanya seorang diri, melainkan tubuhnya sedang diisi oleh janin yang akan menjadi seorang bayi. Terdengar pintu rumah terbuka dari ruang tamu. Elanie tidak bergeming, ia hanya diam di tempatnya, matanya terus menatap televisi tetapi pendengarannya lebih tertuju pada suara dari ruang tamu. Suara Justin mendesah terdengar, kemudian suara orang lain. Sontak Elanie bangkit dari kursinya, apa itu dokternya? Apa suaminya benar-benar melakukan apa yang ia katakan tadi pagi? Justin benar-benar ingin membunuh anaknya? Apa-apaan yang dipikirkan oleh Justin? Segera saja Elanie berlari menuju dapur dengan larian yang cepat tanpa takut terpeleset. Matanya mencari-cari dimana pisau. Ketika mendapatinya, Elanie meraih pisau itu lalu ia menyembunyikannya di balik lengannya sehingga tidak kelihatan kalau ia sedang memegang sebuah pisau.
            “Istriku sepertinya berada di atas, aku akan memanggilnya,” ucap Justin dengan ramah. Perlahan-lahan Elanie melangkah keluar dari ruang tamu. Terlihat seorang pria tua menggunakan kacamata sedang terduduk di tempat yang baru saja Elanie tinggalkan tadi. Pria itu terlihat seperti sudah terbiasa melakukan hal ini. Elanie melangkah keluar, menunjukkan dirinya pada pria itu. Saat sudah merasa cukup dekat pria tua itu, Elanie berdeham hingga kepala pria itu menoleh pada Elanie.
            “Halo,” sapa pria itu, ramah layaknya dokter-dokter lain.
            “Ap-apa kau orang yang akan menggugurkan bayi dari perut seorang wanita?” Tanya Elanie, polos serta berhati-hati. Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya sambil tertawa.
            “Pekerjaan terbaikku sepanjang hidup,” ucap pria itu santai. “Apa kau istri dari Mr.Bieber?” tanya pria itu tidak merasakan ketakutan yang terpancar dari mata Elanie. Elanie mundur beberapa langkah ketika pria itu mengucapkan pekerjaan itu sebagai sesuatu yang sagnat membanggakan. Membunuh bayi di perut seorang wanita adalah pekerjaan yang membanggakan? Ingin rasanya Elanie mengiris urat nadinya dengan pisau di tangan kanannya itu. Terdengar suara langkahan dari atas tangga yang semakin lama suaranya semakin membesar. Justin turun  layaknya Christian Grey yang sedang melangkah begitu anggun.
            “Oh ya ampun, Elanie, aku sudah panik tidak mendapatimu di atas sana. Tapi untunglah suaramu terdengar sampai atas. Jadi, ini doktermu. Ia yang akan mengeluarkan bayi itu dari perutmu. Dr. Leo, dia dokter yang hebat di seluruh Atlanta. Jadi mari kita keluarkan bayi itu,” ucap Justin dengan santai. Justin melangkah mendekati Elanie dengan kedua tangan direntangkan, berniat untuk memeluk istrinya.
            “Menjauh dariku, Justin,” ucap Elanie, memperingati. Kedua alis Justin terangkat.
            “Mengapa kau ingin aku menjauh darimu?” Tanya Justin. “Ayolah, jangan mempersulit keadaan, Elanie,” rayu Justin dengan lembut.
            “Aku tidak mempersulit keadaan, Mr.Bieber sialan! Kau yang mempersulit keadaan di sini, kau tahu itu?! Kubilang menjauh! Jangan mendekat!” Ancam Elanie menunjukkan ujung pisau tajam itu pada Justin. Sontak Justin mengangkat kedua tangannya ke udara, ia mundur beberapa langkah. Dr.Leo bangkit dari sofa. “Aku tidak ingin melakukan ini padamu, Justin. Tapi, Dr.Leo, kumohon pergilah dari rumahku. Sekarang.”
            “Tetapi, Mr.Bieber…”
            “Aku tidak peduli apa yang Mr.Bieber ucapkan! Aku tidak ingin membunuh kalian, tetapi diriku dan anakku. Nah, sekarang pergilah Dr.Leo sebelum aku benar-benar melakukannya,”
            “Dr.Leo, aku akan menemuimu besok,” ucap Justin bergetar. Ya Tuhan, istrinya sekarang sedang memegang sebuah pisau dan mengancam akan membunuh dirinya sendiri! Apa Elanie sinting? Dr.Leo pergi dari hadapan mereka seperti tikus yang terbirit-birit karena kucing yang mengejarnya dari belakang. Justin menelan ludahnya, kedua tangannya menahan Elanie untuk tidak melakukan itu dari jarak jauh.
            “Kau ingin aku dan bayi kita mati bersama-sama atau kita mempertahankan bayi ini?”
            Tetapi Justin tidak mengucapkan sepatah katapun saat itu. Ia langsung berlari meninggalkan Elanie dengan tangisan yang mengalir di pipinya. Saat itulah sifat asli Justin muncul kembali, tetapi tidak membuat Justin goyah untuk tidak menyingkar bayi yang berada di dalam perut Elanie. Elanie tentu saja tidak akan membunuh dirinya sendiri, ia tidak segila itu. Dan ia masih takut ditambah ingin bertemu dengan Tuhan. Malam itu Elanie lebih memilih untuk pergi ke rumah orangtuanya kembali. Ia tidak mengambil pakaian atau apa pun. Hanya sebuah pisau yang ia bawa dengan dompet yang ia ambil dari kamar—yang di dalam kamarnya terdapat Justin sedang menangis tersedu-sedu di atas ranjang. Pisau itu sudah dibuang oleh Elanie di tengah jalan saat perjalanan menuju rumahnya. Air matanya mengalir, tentu saja. Bayi di dalam perutnya bukanlah harapan Justin. Justru Justin ingin menyingkirkannya, ingin janin itu mati di dalam perut Elanie lalu dikeluarkan begitu saja.
            Saat sudah berada di rumah orangtua, Elanie langsung memeluk ibunya dengan erat. Hujan saat itu juga turun membasahi kota Atlanta. Begitu diajak masuk ke dalam rumah, Elanie menceritakan segalanya. Mulai dari usaha Elanie membuat Justin menjadi pria sejati, menghadapi Justin yang kekanak-kanakan sampai Justin yang keras kepala serta egois. Perubahaan Justin sungguh pesat dan dramatis, ini adalah ketakutan Elanie.
            “Ibu pikir sebaiknya kau istirahat sekarang,” ucap ibu Elanie perhatian. Ia mengajak Elanie pergi dari ruang tamu menuju kamar Elanie dulu. Kamarnya tidak sama sekali berubah, masih sama. Dan Timo berada di sana sedang meratapi nasib di atas tempat tidur Elanie.
            “Timo!” Seru Elanie berlari ke atas tempat tidurnya lalu memeluk anjing kesayangannya itu. Timo memang sangat merindukan Elanie, ia merengek-rengek ingin dimanja oleh Elanie.
            “Kau ingin ibu membuatkan apa untukmu?”
            “Susu?”
            “Pilihan yang bagus, sayang.” Ibu Elani keluar dari kamar. Meninggalkan Elanie berdua bersama dengan Timo, mereka saling memeluk. Elanie mengelus anjingnya yang besar serta berbulu panjang itu lalu kepalanya bersandar di sana. Malam ini akan terasa berbeda karena tidak ada Justin yang berada di sampingnya. Hari ini juga terasa begitu cepat, tetapi sakit hati yang Elanie rasakan tidak cepat memudar. Usaha Justin untuk membunuh bayi mereka berhasil menyakiti hati Elanie. Dan besok Justin akan mendapatkan ganjarannya.


***


            Pagi itu adalah pagi yang luar biasa buruk bagi Justin. Ia stress, menangis dengan wajah merah padam. Tangisan berbeda dari tangisannya tadi malam, kali ini ia merasakan kehilangan yang begitu mendalam. Begitu banyak pecahan piring di dapurnya akibat amarah Justin yang meluap-luap. Elanie tidak ada di rumah! Bagaimana bisa istrinya meninggalkan Justin sendiri di rumah sementara Elanie telah berjanji untuk tidak meninggalkan Justin?! Omong kosong! Buku-buku jari Justin berdarah akibat tinjuan yang ia lemparkan pada begitu banyak benda di rumahnya. Ia mengirimi pesan pada Elanie berkali-kali dan menghubunginya berkali-kali tetapi Justin tidak mendapatkan Elanie mengangkat teleponnya atau membalas pesan singkatnya. Justin duduk dengan lesu di atas sofa, menangis tersedu-sedu.

            “Aku membutuhkanmu, Elanie,” isak Justin. “Aku berjanji akan melakukan apa pun yang kaukatakan. Aku tidak akan membunuh anakku jika kau tidak menginginkannya, tetapi sekarang kau sudah meninggalkanku. Kembali Elanie sialan!” Justin berteriak, menendang meja di hadapannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar