Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Bieber is Psycopath Part 5









****

            Aku terus mengerjap-ngerjapkan mataku dan memohon kepada Tuhan kalau ini hanyalah mimpi. Tapi kenyataannya adalah bukan. Mengapa ini harus menimpa diriku sejak aku dan Justin mulai sedekat ini? Aku terus diteror oleh seorang yang aku sendiri tidak tahu siapa. Tentu saja. Kalau aku tahu, tidak mungkin ia menerorku. Kembali aku melihat 3 lembar kertas yang berukuran kecil itu dengan tulisan yang mengecam agar aku menjauhi Justin. Aku yakin pasti orang ia maksud Justin meski ia tidak menuliskan nama Justin. Tapi aku yakin sekali.
            Nicola yang malam ini akan menginap di rumahku, lagi, hanya menganggap semua itu lelucon belaka. Padahal yang kutahu, saat Finn meninggal, ia percaya sekali dengan terroran saat itu. Kurasa kalian tahu yang mana. Dan aku hanya mendesah.
            “Whop! Eli, maaf. Tapi aku tidak tahu mengapa ibuku menyuruhku untuk pulang. Aku harus pulang, mungkin besok aku akan menginap,” ucap Nicky yang setelah ia membaca pesan dari ibunya, kurasa. Aku yang terduduk di depan meja belajar hanya dapat melihatnya dan menganggukkan kepalaku dengan lemah. Aku sungguh tidak bergairah. Aku tidak curiga dengan Justin. Tidak sama sekali. Tapi mengapa hatiku berkata kalau Justin yang melakukannya sejak aku mendapatkan buku Tahunan SD dan SMP-nya? Kau tahu, aku melihat noda darah disampul buku itu. Cukup menyeramkan. Tapi aku tidak pernah mendengar, Sarah, Finn, atau Thomas pernah satu sekolah saat SD dan SMP bersama Justin. Tidak pernah.
            Nicky menutup pintu kamarku setelah ia memakai jaketnya. Ini musim hujan. Dan kembali aku memutar kursiku agar aku kembali melihat kertas yang dari tadi kupegang ‘Kau akan mati’. Itu isi dari ancaman si peneror. Aku cukup takut dengan ini. Aku butuh Justin. Tapi apa Justin yang akan membunuhku? Itu tidak masuk akal. Ia mencintaiku. Yeah, dia mencintaiku. Tidak mungkin ia membunuh kekasih yang sangat ia cintai, kurasa begitu. Aku melirik jam dinding yang berada di kamarku. Sudah jam 9 malam. Aku harus tidur sekarang. Besok aku harus bangun pagi agar aku bisa mengobrol dengan Jusin tanpa sepengetahuan Nicola.


---

            Aku terkejut saat aku melihat seseorang yang sedang menindihku dengan pakaian berwarna hitam. Leherku tercekik. Tanganku mencoba untuk menahan cekikkannya. Wajahnya tertutupi oleh topeng berwarna hitam. Tangannya yang besar itu terus mencekik leherku. Aku ingin muntah. Lidahku terus terjulur karena tekanannya yang kuat terhadap leherku.  Padahal aku sedang tidur! Sial. Bisa-bisanya ia masuk ke dalam kamarku. Padahal aku sudah mengunci jendela dan pintuku.
            “Sudah kubilang berapa kali kepadamu! Jauhi dia!” ucapnya yang bersuara laki-laki. Aku tidak tahu dia laki-laki atau bukan. Karena suara ini sepertinya –kurasa ia memakai alat untuk menyamarkan suara. Setan! Pintar sekali dia. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengetahui siapa yang sedang mencekikku. Astaga! Aku sungguh bodoh. Mengapa bisa-bisanya aku berpikir saat aku sedang berada diujung panggilan Tuhan?! Aku mulai menarik tangan orang ini agar tidak mencekikku. Tiba-tiba ia menarik kepalaku ke atas.


***

            Aku terus mengelus leherku yang sakit. Aku hari ini masuk sekolah. Kau tahu, sebenarnya aku tidak ingin masuk. Tapi demi mengumpulkan tugas Logaritma pada Mr. Brengsek –memang tidak sopan tapi sugguh, aku benci dengan guru ini. Karena dia itu gila! Bayangkan saja, ia memberikan tugas sebanyak yang ia mau dan mengumpulkannya dihari berikutnya. Kurang gila apa? Apa lagi, soal-soal yang ia pilih itu susah sekali. Ingin sekali aku mencekiknya.
            Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena ia masih mengizinkanku untuk hidup. Orang yang mencekikku tadi malam kabur begitu saja saat seseorang mengetuk pintu kamarku dan dia keluar dari kamarku melalui jendela. Dia memang gila. Kamarku berada di lantai dua dan dia melompat? Kuharap ia mati. Tapi kurasa tidak, karena saat paginya –setelah aku mencoba untuk tidur tapi tak berhasil- aku membuka jendela kamarku dan melihat ke arah bawah dan tidak menemukan jasadnya. Berarti dia masih hidup. Aku masih penasaran dengan orang yang mencekikku. Aku yakin dia yang menerorku.
            Kulihat Justin yang sedang terduduk diujung kelas dengan kepala yang tertunduk. Ia mendongak saat aku masuk dan langsung tersenyum. Sangat manis. Dia sungguh membuat hariku indah dengan senyumannya. Sungguh, dia adalah penyemangatku.          
            “Hei,” sapaku dengan pelan. Karena saat aku bersuara, kulitku terasa sakit. Dan tenggorokanku juga. Justin yang tersenyum padaku langsung terlihat begitu khawatir saat aku berjalan ke arahnya. Ia berdiri dan mendekatiku lalu ia melihat leherku. Sial! Mengapa si peneror itu mencekikku sampai terlihat cetakan tangannya yang membuat leherku merah? Sungguh, aku tidak suka ini. Aku tidak terlalu senang untuk diperhatikan. Tapi tidak apa-apa jika Justin yang memperlakukanku seperti ini. Alisnya bertautan. Raut wajahnya terlihat begitu sedih.
            “Kau baru saja dicekik? Oleh siapa?” tanya Justin dengan suara yang pelan. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
            “Aku tidak tahu,” ucapku dengan pelan juga.
            “Si peneror? Tenang, aku akan segera membunuhnya sebelum ia mengambilmu dariku,” ucap Justin terlihat begitu ..gagah dan berani? Aku sungguh tersanjung dengan perkataannya. Kuharap ia tidak hanya berbicara tapi juga melakukannya. Kami mendengar suara hentakan kaki yang berjalan menuju kelas kami. Langsung saja kami berjauhan dan bertingkah seperti orang tak pernah berbicara dan bertemu. Aku langsung menaruh tasku di kursiku dan terduduk. Kulihat Nicola yang datang. Ia terlihat begitu murung hari ini. Kurasa ia baru saja dimarahi oleh ibunya.
            “Kau kenapa, Nicky?” tanyaku perhatian. Ia terduduk di depanku dan mendengus dengan kesal.
            “Aku sungguh kesal dengan orangtuaku. Hanya karena aku tidur terlambat tadi malam karena aku sedang mengirimi adikmu pesan –“
            “Sudah kubilang jangan berdekatan dengan adikku!” ujarku kesal dan memukul tangannya yang disandarkan pada mejaku. Ia meringis dan mengelus-elus tangannya.
            “Okay, baiklah. Aku tidak akan mengganggu adikmu lagi,” ucapnya jutek. Aku tidak suka jika ia berdekatan dengan adikku. Sial! Dan adikku tidak sama sekali memberi tahuku. Nicola melihatku dan tercengang.
            “Ke-kenapa dengan lehermu?” tanya Nicola yang kurasa tergagap karena dia menyepelekan terroran tadi malam. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan menatapnya dengan tatapan Kurasa Kau Tahu.

***

            “Justin, aku sungguh penasaran dengan buku-bukumu yang waktu itu kulihat,” ucapku saat aku sedang bersandar pada tempat tidur Justin. Justin yang sedang sibuk dengan ponselnya langsung mendongak melihatku dan berjalan menuju meja belajarnya dan membuka lacinya. Lalu ia memberi buku Tahunan SD dan SMP-nya padaku. Aku tersenyum dan mulai mengambil buku itu lalu membukanya. Shut! Astaga, apa Justin memang psikopat? Maksudku, mengapa saat aku melihat lembaran pertama aku melihat seluruh teman kelas 1 SD-nya tercoret dengan tanda ‘silang’.
            “Itu semua adalah orang-orang yang mengucilkanku saat aku masih SD. Mereka selalu mengejekku karena aku hanyalah seorang anak yang membuat ibu kandungku meninggal dan aku pantas disiksa oleh ibu tiriku,” ucap Justin yang membuatku melihat Justin yang terlihat begitu serius.
            “Aku memang membunuh ibuku,” ucap Justin yang membuatku ingin mati sekarang. Well, sebelum mati, aku ingin kabur dari rumah ini terlebih dahulu. Aku berhenti bernafas untuk beberapa detik.
            “Jangan takut. Aku tidak membunuh Sarah, Thomas atau pun Finn. Niall juga,” ucap Justin yang terlihat begitu jujur. Maksudku, pasti ia jujur. Karena dia sudah bilang padaku kalau ia yang membunuh ibunya.
            “Aku hanya membunuh orang-orang yang telah kucoret silang itu, aku sungguh membenci mereka dan akan membunuh mereka. Tapi, sebenarnya, aku tidak membunuh mereka. Mereka hanya terbunuh oleh orang-orang yang kusuruh. Aku tidak sudi untuk menyentuh mereka dan membunuh mereka. Jadi, tidak akan susah untuk berbuat dosa tapi kita tidak berbuat dosa yang lebih besar bukan?” tanya Justin yang mulai berdiri dari duduknya. Setelah beberapa menit ia menggenggam ponselnya dengan erat. Seperti hendak marah namun ia tahan. Dan otakku mulai berpikir. Lalu siapa yang membunuh Sarah, Thomas, Finn dan Niall?! Aku ingin sekali mencari tahu si pembunuh itu.
            “Kenapa kau melakukannya?” tanyaku yang sebenarnya aku tahu mengapa. Tapi aku takut, dugaanku salah.
            “Karena seperti yang tadi kuberi tahu kepadamu, sayang,” ucap Justin yang membuatku tersentak begitu saja. Ia baru saja memanggilku ‘sayang’ dan itu adalah panggilan termanis yang pernah kudengar –Justin orang pertama yang membuatku merona saat ia memanggilku ‘sayang’ meski ibuku juga sering memanggilku seperti itu.
            “Mereka yang membuatku seperti ini. Aku ingin membuktikan kepada mereka kalau aku lebih hebat dari pada mereka. Aku ini special, aku ini sempurna. Seperti kau, Amor,” ucap Justin yang melihatku dengan tatapan penuh arti. Aku tidak butuh kesempurnaan fisik –mungkin untuk wajah tampan kurasa aku butuh. Tapi aku butuh lelaki seperti Justin. Meski sebenarnya sungguh tidak benar membunuh orang-orang yang telah mengucilkannya.  Justin langsung merangkak di atas tubuhku dan menyentuh keningku dengan keningnya. Ia tersenyum dan mengambil buku yang kupegang lalu membuang buku itu ke lantai dengan kasar.
            “Tapi, sejak aku memilikimu, kurasa kau yang akan menjadi terakhir dalam daftar pembunuhanku,” ucap Justin yang sungguh membuatku berhenti bernafas. Ia tersenyum dan lalu memegang pinggangku. Aku tidak dapat bergerak. Aku sungguh kaku. Aku seperti es batu sekarang.
            “Aku hanya bercanda sayang,” ucap Justin dengan pelan dan terkekeh. Itu sungguh tidak lucu.
            “Aku tidak mungkin membunuhmu, karena dirimu, Amor. Cintaku. Hanya kau yang membuatku untuk berhenti melakukan pembunuhan itu,” ucap Justin dengan sungguh-sungguh. Pipiku merona begitu saja.


****

            Hari ini Nicola tak jadi menginap di rumahku. Aku ingin menginap di rumah Justin. Malam ini. Untungnya, orangtuaku belum pulang juga. Mungkin 2-3 hari ke depan, mereka baru pulang. Dan sekarang, aku dan Justin sedang berbicara tentang siapa pembunuh anak murid di Sekolah sekarang. Kami masih penasaran. Tapi mengapa dari tadi Justin menyangkut-pautkannya dengan Nicola? Maksudku, tidak mungkin Nicola yang membunuh Sarah, Thomas, bahkan Finn. Aku dan Nicola dekat dengan Finn. Tidak mungkin itu terjadi. Dan tidak mungkin Nicola ingin membunuhku. Ia sahabatku. Aku berbaring di sebelah Justin yang menyilangkan tangannya di belakang kepalanya.
            “Tapi, mungkin ia cemburu denganku karena kau lebih perhatian denganku,” lanjut Justin yang menatap langit-langit kamarnya yang terlukis dengan indahnya. Yeah, terlukis. Tapi ini lukisan ini hanyalah sebagian dari lukisan di langit-langit ruang tamu. Ini hanyalah Arthur Of Camelot. Seorang Raja dari Camelot yang akan terbunuh mati oleh adiknya sendiri. Aku suka cerita itu. Cukup menegangkan.
            “Tidak tidak masuk akal Justin,” gumamku langsung membalikkan tubuhku pada Justin. Aku memeluk Justin dan menaruh kepalaku di atas dadanya. Aku mengelus-elus perutnya yang sixpack itu. Ia tidak memakai baju. Ia hanya memakai boxer. Memang seharusnya tidak seperti ini. Tapi ia bilang, ia memang selalu tidur seperti ini. Saat pertama kali aku menginap di rumahnya saat itu, ia juga melepaskan bajunya dan hanya memakai boxer. Membuatnya terlihat begitu kekar. Otot-ototnya begitu keras.
            “Itu masuk akal, Amor,” sela Justin yang tak mau kalah.
            “Jika kau perhatikan, kau bisa lihat sejak ia takut denganku. Saat aku mendekatimu. Kau tahu, ia selalu tidak muncul dihadapanku jika aku bersamamu.  Dan kau bisa lihat, disetiap orang yang terbunuh, sehari sebelum mereka terbunuh, pasti mereka sedang bersamamu dan Nicola ada di sana. Kecuali, Niall. Tapi kau sudah bilang padaku untuk tidak membunuh Niall atau semacamnya. Dan aku sangat yakin kalau Nicola ingin sekali menjauhimu dariku,” jelas Justin yang cukup masuk akal.
            Yeah, benar katanya. Aku masih ingat saat Sarah mengejekku di depan Niall dan Nicola tapi saat itu yang mengancam Sarah adalah Justin. Yang membuat Nicola meyakinkanku kalau Justin adalah pembunuhnya. Dan Thomas, saat itu tidak ada Justin. Tapi mengapa Justin tahu? Aku tidak tahu kenapa dan aku tidak bertanya. Tapi saat kejadian Thomas menggodaku, Nicola ada di sana. Dan Finn. Aku bahkan tidak tahu mengapa Finn adalah orang yang dibunuh oleh Nicola. Maksudku, kami bersahabat. Dekat sekali. Dan mengapa tega-teganya Nicola membunuh Finn? Dan Niall. Aku bahkan tidak ingin membahas tentang Niall! Siapa yang harus kupercayai? Sahabatku atau Justin?
            Justin membalas pelukanku dan menindih pinggangku dengan kakiknya yang tidak berat itu. Aku mendongakkan kepalaku dan melihat Justin yang menunduk sambil tersenyum. Ia sungguh manis.
            “Mungkin, besok. Apa besok kau bisa menyelidiki Nicola? Kau bahkan jarang sekali datang ke rumah Nicola. Aku tidak pernah mendengarmu kalau kau pergi ke rumah Nicola. Jadi, besok. Apa kau bisa?” tanya Justin yang sepertinya ingin sekali aku menyelidiki kamar Nicola. Mungkin, bisa. Aku juga harus mencari tahu. Siapa tahu Justin benar. Siapa tahu memang benar kalau Nicola adalah pembunuhnya.
            “Sudah malam, ayo kita tidur,” ucap Justin yang langsung mendekap tubuhku dengan erat. Aku memejamkan mataku dan berharap masalah ini akan segera terselesaikan.

***

            Hari ini aku menginap di rumah Nicola. Siang tadi, aku dan Justin berlayar sebentar. Dan ini sudah sore. Aku sedang menunggu Nicola yang sedang mandi di kamarnya. Seharusnya, ia mandi nanti malam, karena kita kan ingin tidur. Tapi katanya, ia sedang kepanasan. Sungguh aneh. Ini kan musim dingin.Hujan. Mengapa bisa-bisanya ia kepanasan? Alasan yang aneh.
            Sudah beberapa minggu ini aku tidak datang ke rumah Nicola. Sudah 2 bulan malah. Aku melihat ke penjuru kamar ini. Ingin mencari tahu. Apa benar sahabatku yang menerorku. Aku berdiri dari kasur Nicola dan menyentuh meja belajar. Aku menarik laci yang tertutup. Kuharap aku menemukan sesuatu. Kulihat di sana sebuah buku besar dengan sampul yang bertuliskan Buku Sejarah. Kupikir itu buku apa. Kudengar pintu kamar mandi Nicola terbuka. Aku langsung mendorong kembali laci itu ke dalam dan melihat Nicola yang keluar dengan rambut yang dililitkan oleh handuk. Ia sudah memakai bajunya. Wajahku pucat sekali, kurasa.
            “Hey, kau kenapa?” tanya Nicola yang melihatku bingung. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Dan melangkahkan kakiku untuk duduk di atas kasur. Kulihat Nicola yang terkekeh saat ia melihatku sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
            “Kau kenapa?” tanyanya lagi. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku baru sadar. Sangat sadar. Aku terlihat begitu aneh. Tidak biasanya aku bersikap kaku dengan Nicola. Maksudku, aku tidak pernah bersikap pendiam pada Nicola. Dan terkejut saat ia keluar dari kamar mandi. Atau, wajahku terlihat pucat.
            “Aku tidak kenapa-kenapa. Nicola, apa kita bisa berbicara serius sebentar?” tanyaku dengan serius. Ia yang dari tadi terkekeh dan melihatku dengan bingung langsung terduduk di sebelahku sambil ia mengambil sisir sebentar dan kembali berjalan menuju tempatku. Ia duduk di sebelahku.
            Hening.
            Tunggu dulu. Apa ini semua jalan yang benar? Aku tidak mau jika bukan Nicola yang bersalah dan aku yakin –sangat yakin, Nicola akan marah denganku karena aku telah menuduhnya. Dan tak ingin berteman lagi denganku. Aku pasti akan dicap sebagai Pengkhianat. Aku tidak mau. Maksudku, aku sudah bersahabat dengan Nicola selama 2 tahun. Tapi, aku cukup yakin kalau Nicola yang bersalah karena saat aku menutup laci tadi. Aku sempat melihat tulisan kecil di bagian bawah Buku Sejarah itu. Sejarah Dari Sekolah. Apa mungkin, tulisan itu mengartikan sesuatu? Memang itu hanyalah tulisan. Tapi apa yang dimaksud dengan Sejarah dari Sekolah? Maksudku, Nicola akan memberitahu ku kalau ia membuat buku seperti itu. Ia pasti butuh bantuanku untuk mengambil gambar-gambar dari murid-murid lalu di tempelkan di buku itu dan akan ada keterangan di bawah foto itu. Misalnya, Finn ‘Lelaki yang tampan ini meninggal dunia karena ….’. Bisa saja itu masuk. Kurasa ini adalah jalan yang benar.
            “Nicky, aku ingin bertanya,” ucapku menarik nafasku dan berusaha untuk terlihat tidak gugup, “ Ap-apa kau yang telah membunuh Finn dan teman-teman lainnya?”
            Mampus! Aku mampus. Ini adalah awal percakapan yang bodoh. Seharusnya aku bertele-tele terlebih dahulu agar ia tidak terlihat seperti dituduh. Maksudku, mungkin saat sebagian pernyataanku atau pertanyaanku, Nicola akan sadar. Dan aku bisa menyangkal kalau aku tidak bermaksud seperti itu. Kalian mengerti maksudku bukan? Maksudku, siapa tahu di salah satu pertanyaanku atau pernyataanku, Nicola sadar apa yang kumaksud. Tapi, aku masih bisa menyangkal kalau aku tidak bermaksud kalau aku menuduhnya sebagai Pembunuh.
            Kulihat Nicola yang terkejut dengan pertanyaanku. Aku sudah yakin itu. Ia langsung berdiri dan melihatku dengan tatapan bingung. Ia menarik laci yang tadi kubuka lalu ia mengambil buku yang tadi kulihat dan melihatku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku yakin, setelah aku keluar dari kamar ini, persahabatanku dengan Nicola akan segera berakhir. Ia melemparkan buku itu ke kasur.
            “Aku sudah tahu itu dari awal. Kau pasti akan menyalahkanku. Aku semakin yakin saat kau tiba-tiba saja ingin menginap di rumahku. Aku tahu kau pasti akan mencari tahu tentang pembunuh itu. Astaga!” jerit Nicola yang tidak jadi menyisir rambutnya. Malah ia meremas rambutnya sekarang. Air matanya mulai turun. Aku tak sanggup melihatnya seperti itu. Maksudku, aku tidak bisa melihat sahabatku menangis. Aku sayang dengan Nicola karena dia salah satu orang yang penting dalam kehidupanku.
            “Astaga! Kenapa bisa-bisanya kau berpikir seperti itu? Aku sahabatmu Eleanor Walton!” ujar Nicola terlihat begitu frustrasi. “Aku bersumpah dalam nama Tuhan, Eli! Bukan aku yang melakukannya,” tambahnya lagi. Dan lalu ia berjalan ke arahku untuk mengambil buku tadi dan membukanya. Lalu ia memperlihatkannya kepadaku. Tepat di mataku. Bukan. Dia bukan pelakunya. Itu hanyalah sebuah buku yang berisikan foto-foto anak-anak sekolah yang tahun lalu. Tapi mengapa aku baru melihatnya sekarang? Oh astaga. Aku sungguh merasa bersalah. Mengapa harus seperti ini?
            “Kau tahu, Eli, kau sudah tidak percaya padaku. Sekarang, dengan sangat berat hati, kau boleh pulang,” usir Nicola dengan cara yang halus, “Sekarang,” tambahnya terlihat begitu muak. Yeah, aku pantas mendapatkan ini. Seharusnya aku tidak berprasangka pada Nicola. Lalu siapa yang menerorku dan membunuh anak-anak sekolah? Sungguh, aku masih bingung.


***

            “Bukan dia Justin,” ucapku saat aku lebih memilih untuk pulang ke rumah Justin. Aku sedang tidak ingin bertemu dengan Will karena tadi siang, saat aku kembali ke rumah sebentar –setelah aku berlayar dengan Justin- Ia marah kepadaku dengan tidak jelas apa maksudnya. Aku kesal sekali jika ia seperti itu. Ia seperti orang gila jika seperti itu.
            Justin yang berada di sebelahku hanya menarik nafas dan merangkul yang sedang terduduk di sisi kolam renang. Aku menyandarkan kepalaku pada bahu Justin. Ia mengelus lenganku dengan lembut.
            “Aku sungguh minta maaf karena telah merusak persahabatan kalian,” ucap Justin dengan sungguh. Aku tidak tahu harus membalasnya dengan berkata apa. Karena, ini sungguh dilemma. Antara aku memilih Justin dengan Nicola. Hari Senin, aku akan membicarakan masalah ini pada Nicola.
            Hening.
            “Justin!” panggil ayah Justin yang tiba-tiba saja berada di belakang kami. Aku tersentak.


***

            “Aku bahkan tidak ingin memiliki ayah sepertimu!” teriak Justin memegang tanganku dengan erat. Aku hanya dapat melindungi diriku dari balik tubuh Justin. Ayah Justin begitu marah saat aku masuk kembali ke rumahnya. Aku bahkan tidak tahu kalau ayah Justin selama ini melarangku untuk masuk ke dalam rumah Justin. Tapi mengapa Mr.Bieber tak menyarankanku dari sejak kemarin? Kalau aku tahu, pasti aku tidak akan datang. Sekarang, karena aku, Justin dan Mr.Bieber bertengkar. Dan dari tadi Justin melindungiku dari depan dan memegang tanganku dengan erat.
            “Kau tahu apa Justin? Aku bahkan tidak ingin memiliki anak sepertimu!” bentak Mr.Bieber dengan keras. Kata-kata yang terlontar dari mulut Mr.Bieber membuat Justin terdiam. Aku menundukkan kepalaku dan merasakan remasan tangan Justin yang semakin menguat ditanganku.
            “Okay, baiklah. Jika itu maumu. Aku tidak peduli, ayo kita pergi,” ucap Justin yang terlihat begitu acuh terhadap ayahnya dan menarik tanganku untuk keluar dari rumah ini. Astaga, aku sudah merusak hubungan keluarga mereka.


***

            Aku meminta Will untuk diam sambil memberikan beberapa lembar dollar kepadanya agar ia tidak memberitahu orangtua kalau Justin menginap di rumah. Karena, aku sungguh bersyukur kepada Tuhan karena mereka harus pergi ke London, entah mereka harus melakukan apa. Tapi yang pastinya, mereka mengirimi kami uang untuk makan. Kau tahu, Will memiliki kartu ATM sedangkan aku tidak. Karena orangtuaku bilang, Will lebih pandai mengambil uang dari pada aku. Well, sebenarnya bukan seperti itu. Hanya saja, aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengambil uang di ATM. Aku memang tidak keren.  Aku menaiki tangga untuk pergi ke kamarku. Aku ingin melihat keadaan Justin yang aku tinggalkan selama setengah jam. Kau tahu, ia sedang depresi dan sedang bersedih hati.
            Aku yakin, ia sedih karena (mungkin) selama ini ia kurang dapat perhatian dari orangtuanya. Aku membuka pintu kamarku dan melihat Justin yang teruduk di sisi tempat tidur dengan kepala yang tertunduk. Aku tidak bisa melihat Justin seperti ini. Sungguh, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam kehidupanku sekarang. Tadi sore, aku baru saja bertengkar dengan Nicola. Dan sekarang, Justin sedang sakit hati karena ia baru saja bertengkar dengan ayahnya karena dia masih dekat denganku.
            “Justin,” panggilku dengan pelan dan terduduk di sebelah. Aku menatapnya yang sedang mengedipkan matanya hingga bulu mata lentik terkibas-kibas dengan indah. Aku tidak pernah berhenti untuk memuji ketampanannya yang permanen. Karena aku yakin, ia masih tampan dan gagah saat ia tua nanti. Justin mendongakkan kepalanya dan aku lihat air matanya turun begitu saja. Aku memeluk Justin dengan penuh perhatian. Aku tahu ini terlihat seperti, kau tahu, ini terbalik. Biasanya wanita yang menangis dan lelakinya memeluk wanitanya. Tapi itu tidak berlaku dalam hubunganku dengan Justin.
            “Aku tidak tahu mengapa ayahku sangat membencimu. Aku menyanyanginya, tapi aku juga menyayangimu, Amor,” ucap Justin dengan suara yang parau.
            Aku tahu dia mencintai ayahnya. Aku tahu dia mencintaiku.Tapi, mungkin, ini semua salahnya sendiri karena dia tidak memberitahuku untuk tidak berdekatan dengannya. Ini dilemma baginya, kurasa.  
            “Memang apa yang dikatakannya?” tanyaku ingin tahu. Well, sekali pun aku sedang sedih seperti Justin, aku juga ingin tahu apa yang dikatakan oleh ayah Justin tentangku. Pantas saja saat aku bertemu dengan ayah Justin, ia –ayah Justin- terlihat begitu dingin dan pendiam. Lalu ia melihat penampilanku dari bawah hingga atas.
            “Dia bilang, kau itu wanita yang tidak benar. Karena kau memakai sepatu Converse. Aku bahkan tidak mengeri apa yang ia katakan,” ucap Justin yang memang tidak masuk akal. Hanya karena aku  memakai sepatu Converse, ayah Justin membenciku? Oh yang benar saja. Itu tidak mungkin.
            “Dia tidak ingin aku dekat denganmu, karena dia bilang aku harus terus tunduk padanya. Karena kau, aku tidak patuh dengan perkataannya,” lanjut Justin yang mulai terdengar masuk akal. Berarti ayah Justin sudah kelewat sayang pada Justin hingga ia tidak ingin Justin patuh dengan orang lain. Aku bahkan hanya ingin mengubah Justin menjadi orang yang lebih baik dari pada sebelumnya.
            “Lalu kenapa kau masih ingin denganku? Maksudku, kau sudah tahu bahwa ayahmu sayang denganmu,” tanyaku ingin tahu. Justin menatap mataku dengan lekat dan tajam. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Yang jelas adalah, ia begitu menyeramkan.
            “Karena, kau mirip sekali dengan ibu kandungku,” ucap Justin yang cukup membuat jantungku berdetak lebih kencang dari pada biasanya. Mirip? Oh yang benar saja. Itu hanya kebetulan. Dan Justin mencintaiku karena aku mirip dengan ibunya? Berarti Justin tak mencintaiku.
            “Mungkin, besok aku akan mengambil foto ibuku dan memperlihatkannya padamu. Aku hanya melihatnya 1 kali dalam hidupku. Itu pun di foto. Dan berada di kamar ayahku,” lanjut Justin lagi. Ia mengedip. Aku juga mengedipkan mataku satu kali lalu melihat mata kucing Justin yang begitu bersinar.
            “Tapi, itu hanyalah salah satu alasan mengapa aku mencintaimu. Selebihnya, aku mencintaimu karena kamu sempurna,” tambah Justin lagi dengan senyuman di bibirnya. Aku tersenyum. Ia menarik wajahku agar ia bisa menciumku. Dan bibirku dengan bibirnya mulai bertemu dan menciptakan rasa sensasi yang bergairah dalam ikatan yang erat.


***

            Justin terus mengacak-acak kamar ayahnya dengan brutal .Sedangkan aku hanya berdiri dengan bodohnya dan melihat Justin yang ingin mencari foto ibunya. Pagi ini kami masuk ke rumah Justin dan ternyata, ayah Justin telah menduga kalau Justin akan pulang. Dan ayah Justin meninggalkan kunci rumah mereka pada pot tanaman. Kau tahu, mereka biasanya menaruh kunci rumah mereka di pot itu. Justin baru saja memberitahuku. Aku melipat kedua tanganku di depan dadaku. Kulihat Justin terkejut saat ia menemukan sesuatu di dalam laci meja kerja ayahnya.
            “Astaga, ibuku cantik sekali,” ucap Justin yang membuatku menghelakan nafas. Karena, aku pikir dia mendapatkan ‘sesuatu’. Kau tahu, aku curiga pada ayah Justin saat ayah Justin membenciku. Siapa tahu, dia pembunuhnya selama ini. Kita tidak tahu. Tapi, dunia ini sempit. Sungguh, aku tak bohong.
            “Ini, coba kau lihat,” ucap Justin yang berjalan ke arahku dan memperlihatkan foto ibunya padaku. Oh yeah, benar sekali. Aku mirip dengan ibu Justin. Hidung, bibir dan mataku mirip dengannya. Aku tidak terkejut. Sungguh, ini sangat tidak penting untuk dibicarakan. Tapi, karena aku tidak ingin menyakiti Justin, aku tersenyum dan memperlihatkan wajah terkejutku padanya.
            “Wow, aku sungguh mirip dengan ibumu. Luar biasa,” ucapku dengan nada terkejut. Aku melirik Justin dan melihatnya tersenyum senang. Dan lalu, senyumannya terhenti saat wajahnya berubah menjadi wajah yang mengingat sesuatu.
            “Tunggu, tunggu. Kurasa ayahku masih memiliki foto ibuku yang lain,” ucap Justin yang tersenyum kembali dan mencari foto ibunya lagi. Kurasa aku harus ke toilet.
            “Just, aku ke toilet sebentar,” ucapku yang menaruh foto ibu Justin di atas lemari pajangan. Dan menghantarkan kakiku menuju toilet.


---

            Aku mencuci wajahku dan melihat wajahku pada cermin yang besar sekali. Kau tahu, kamar mandi di dekat ruang tamu ini sungguh besar sekali dan cerminnya juga besar. Aku suka kamar mandi ini. Kamar mandi ini hampir sama dengan toilet di Mall. Terdapat 2 kloset di dalamnya. Terlihat glamor dan aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Kurasa Justin menyukai artistic dan sejarah. Karena lukisan pada dinding kamar mandi ini adalah Elaine Of Astolat, sama seperti pada langit-langit di ruang tamu. Sungguh menarik.
            Kuhantarkan kakiku untuk masuk ke dalam ruang untuk buang air kecil. Aku menutup pintu dan berniat untuk membuka celanaku. Aku berhenti melanjutkan aksiku untuk buang air kecil karena aku mendengar pintu kamar mandi ini terbuka.
            “Justin?” panggilku dengan suara yang gemetar. Kau tahu, ini menyeramkan. Di kamar mandi, sendirian. Siapa tahu itu adalah hantu dari ibu Justin. Kita tidak tahu kalau itu akan terjadi.
            “Yeah?” sapanya balik dengan suara yang lebih rendah. Entahlah, tapi itu bukan suara Justin. Hanya hampir seperti Justin. Ataukah Justin baru saja mimpi basah? Oh yang benar saja. Aku hanya asal bicara. Tidak mungkin. Aku menarik retsleting celanaku ke atas dan membuka kunci pintu toilet ini. Kukeluarkan salah satu kakiku dan merasakan keheningan ini. Itu berarti bukan Justin. Karena, jika Justin, pasti dia bertanya apa yang sedang kulakukan. Memang terdengar bodoh jika Justin bertanya seperti itu. Aku menutup kembali pintu toilet ini dari luar dan tidak mendapati siapa-siapa di kamar mandi ini.
            Aku terkejut saat aku baru saja melangkahkan satu kakiku untuk berjalan, dan tiba-tiba saja mulutku tersekap. Mataku membulat begitu saja. Sungguh, aku benar-benar terkejut. Aku melihat ke arah cermin dan mendapati ayah Justin yang sedang menyekapku. Tentu saja. Yeah, ini semua masuk akal. Aku tidak begitu takut, karena ayah Justin tidak memegang benda tajam. Dan lalu ayah Justin mendorong tubuhku agar aku berjalan maju. Langsung saja mendorong tubuhku ke tembok dan membuka sekapan tangannya dari mulutku lalu membenturkan kepalaku pada tembok. Ah! Astaga, sakit sekali benturannya. Kurasa kepalaku berdarah. Aku mengerang keras.
            “Amor? Apa kau baik-baik saja?” teriak Justin yang kurasa mendengar eranganku. Ayah Justin lagnsung mengunci pintu kamar mandi ini dari dalam dan membalikkan tubuhku agar aku melihatnya. Kulihat wajahnya begitu merah dan terlihat ia membenciku. Tapi ada yang lain saat aku melihat matanya. Ia seperti ingin menangis namun terlihat gila.
            “Amor? Kau baik-baik saja di dalam?” tanya Justin yang mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi. Aku langsung diseret oleh ayah Justin. Sungguh, kepalaku pusing sekali dan berdarah. Benturan kepalaku pada tembok tadi sungguh keras. Tapi aku mencintai Tuhan karena Dia masih memberikanku keselamatan karena kepalaku tidak hancur. Gedoran pintu kamar mandi semakin mengeras saat aku mengerang kembali. Ayah Justin mengeluarkan sebuah pisau dan menyekik leherku dengan pelan. Tidak keras. Ia berpikir sejenak. Air matanya mulai keluar.
            “Kau selalu mengingatkanku pada istriku yang meninggal. Kenapa kau melakukan ini? Aku sudah memperingatkanmu untuk menjauhi anakku! Kau tolol!” ucap ayah Justin dengan suara yang kecil namun terdengar begitu sedih. Aku memegang tangannya yang mencekikku.
            “Lalu kenapa kau melakukan ini?” tanyaku dengan pelan.
            “Aku melakukan ini karena kau mengingatkanku pada istriku. Terlalu perih jika aku mengingat istriku. Kau tolol! Aku sengaja karena–“
“Amor! Amor kau kenapa sayang?” teriak Justin yang semakin menggedor-gedor pintu kamar mandi ini.
            “Ak –augh!” Aku ingin muntah saat ayah Justin mulai menekan leherku.
            “Amor!” teriak Justin yang kudengar terlihat begitu kesal. Kulihat ayah Justin menggeleng-gelengkan kepalanya dan melihatku dengan air mata yang terjatuh.
            “Aku sungguh minta maaf, tapi aku harus membunuhmu agar kau tidak membuatku resah setiap harinya,” ucap ayah Justin yang memejamkan matanya lalu ia menarik nafasnya dalam-dalam. Pisau yang ia pegang sudah berada di udara dan ingin membunuhku. Aku rasa, beginilah akhir dari hidupku. Terlalu rumit untuk dijelaskan.
            “AMOR!” teriak Justin yang mendobrak pintu kamar mandi. Aku memejamkan mataku. Augh!


***

            Aku mengerjap-ngerjapkan mataku  dan melihat diriku yang masih bisa melihat langit-langit kamar mandi. Kudengar suara nafas yang memburu dan melihat ayah Justin yang tergeletak lemah di sebelahku. Dan aku melihat Justin yang terlihat begitu marah. Rahang bawahnya terlihat begitu tegang dan berkedut. Nafasnya memburu. Ia melihat ke arah ayahnya yang sepertinya hanya pingsan karena baru saja ditinju oleh Justin. Aku tidak tahu. Yang penting, aku masih selamat. Dan lalu Justin melihatku yang ternyata masih hidup. Ia menghelakan nafasnya yang panjang dan menarik tanganku. Ia langsung memelukku dengan erat.
            “Ak-aku sungguh minta maaf karena aku tidak menjagamu dengan baik,” ucap Justin terdengar begitu tulus.


***

            Semua terlihat begitu berjalan dengan baik. Aku senang sekali karena aku masih bisa berpacaran dengan Justin. Aku tidak bertengkar dengan Nicola. Kau tahu, Nicola sendiri yang meminta maaf kepadaku. Aku tidak tahu mengapa ia meminta maaf karena saat aku memberitahunya kalau aku hampir saja mati, ia langsung datang ke rumahku –yeah, aku sudah pulang- dan ia memperlihatkan wajah yang begitu khawatir. Aku tahu Nicola sahabat yang baik. Dan aku tidak akan meragukannya lagi. Dan ayah Justin. Well, ternyata dia yang membunuh semua murid sekolah. Kau tahu, Justin yang menjebloskan ayahnya sendiri kepada polisi. Well, kurasa ayah Justin pantas masuk penjara. Saat Justin menanyakan alasan mengapa ia –ayah Justin- ingin sekali aku menjauh dari Justin dan mengapa ia membunuh anak murid, ternyata karena dia tidak ingin aku mengganggu kehidupan Justin dan dirinya sendiri karena itu mengingatkannya kepada istrinya –ibu kandung Justin. Dan ia sengaja membunuh murid-murid yang berdekatan denganku, karena dia tahu kalau anaknya dicap sebagai Si Psikopat. Jadi, mungkin, ayah Justin berpikir kalau aku akan menjauhi Justin karena Justin pembunuh. Tapi, maaf Mr.Bieber, kau tidak bisa menghalangiku untuk mendekati anakmu.
            Sekarang, aku sedang bersama dengan Justin dan Nicola di atas kapal. Kami berlayar. Nicola dan Justin sekarang sudah berteman karena Nicola sudah mulai percaya kalau Justin bukanlah pembunuh. Kau mungkin tidak percaya, karena kau tahu, secara teknis –sebenarnya, Justin tidak membunuh teman-temannya karena dia menyuruh orang lain untuk membunuh teman-teman masa lalunya. Itu cukup adil.Tapi dengan cara yang lebih sadis.
            Aku berjalan ke arah Justin yang sedang terduduk dengan santai di sisi kapal kami. Setelah 10 menit aku mengobrol dengan Nicola dan menghiraukan Justin.
            “Justin,” panggilku dengan pelan. Justin tidak melihatku. Ia masih melihat ke arah laut yang memang terlihat begitu indah. Kurasa ia marah karena aku mendiamkannya selama beberapa menit.
            “Oh ayolah. Jangan kekanak-kanakkan,” ucapku dengan nada suara yang bercanda. Justin langsung melihatku dan berdiri. Ia menatapku dengan tatapan tajam. Seperti cemburu.
            “Kau pikir aku tidak cemburu bila kau berdekatan dengan sahabatmu? Kau tahu, aku mencintaimu lebih luas dari pada lautan ini. Biar pun kau dekat dengan orangtuamu atau adikmu, aku tetap saja cemburu. Kau sungguh jahat, Amor,” ucap Justin dengan ketus. Aku terkekeh sebentar. Tapi kekehanku terhenti saat Justin langsung melengos pergi dari hadapanku.
            “Hey Justin, aku hanya mengobrol. Dan aku tidak mungkin jatuh cinta kepada mereka. Oh yang benar saja Justin. Kau itu cinta pertamaku dan terakhir,” ucapku dengan percaya diri. Karena memang aku rasa dia adalah cinta pertama dan terakhirku. Justin langsung membalikkan tubuhnya dan melihatku dengan tajam.
            “Benarkah?” tanya Justin yang menyipitkan matanya. Aku hanya menganggukkan kepalaku.
            “Kalau begitu, ayo kita menikah,” ucap Justin spontan. Aku tertawa dan melihat Nicola yang sedang memakan kripik langsung terkejut dan menghentikan kunyahannya dengan mata yang membulat sambil melirik Justin.
            “Ayo,” ucapku  dengan pelan. Aku langsung melingkarkan tanganku pada leher Justin dan Justin langsung mengecup bibirku dengan lembut sambil tangannya melingkar dipinggangku. Kau tahu, aku sungguh menyukai kehidupanku sekarang. Dan jangan lupa untuk datang ke acara pernikahanku dengan Justin. Karena kami akan segera menikah. Secepatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar