****
Aku
terus mengerjap-ngerjapkan mataku dan memohon kepada Tuhan kalau ini hanyalah
mimpi. Tapi kenyataannya adalah bukan. Mengapa ini harus menimpa diriku sejak
aku dan Justin mulai sedekat ini? Aku terus diteror oleh seorang yang aku
sendiri tidak tahu siapa. Tentu saja. Kalau aku tahu, tidak mungkin ia
menerorku. Kembali aku melihat 3 lembar kertas yang berukuran kecil itu dengan
tulisan yang mengecam agar aku menjauhi Justin. Aku yakin pasti orang ia maksud
Justin meski ia tidak menuliskan nama Justin. Tapi aku yakin sekali.
Nicola
yang malam ini akan menginap di rumahku, lagi, hanya menganggap semua itu
lelucon belaka. Padahal yang kutahu, saat Finn meninggal, ia percaya sekali
dengan terroran saat itu. Kurasa kalian tahu yang mana. Dan aku hanya mendesah.
“Whop!
Eli, maaf. Tapi aku tidak tahu mengapa ibuku menyuruhku untuk pulang. Aku harus
pulang, mungkin besok aku akan menginap,” ucap Nicky yang setelah ia membaca
pesan dari ibunya, kurasa. Aku yang terduduk di depan meja belajar hanya dapat
melihatnya dan menganggukkan kepalaku dengan lemah. Aku sungguh tidak
bergairah. Aku tidak curiga dengan Justin. Tidak sama sekali. Tapi mengapa
hatiku berkata kalau Justin yang melakukannya sejak aku mendapatkan buku
Tahunan SD dan SMP-nya? Kau tahu, aku melihat noda darah disampul buku itu.
Cukup menyeramkan. Tapi aku tidak pernah mendengar, Sarah, Finn, atau Thomas
pernah satu sekolah saat SD dan SMP bersama Justin. Tidak pernah.
Nicky
menutup pintu kamarku setelah ia memakai jaketnya. Ini musim hujan. Dan kembali
aku memutar kursiku agar aku kembali melihat kertas yang dari tadi kupegang ‘Kau akan mati’. Itu isi dari ancaman si
peneror. Aku cukup takut dengan ini. Aku butuh Justin. Tapi apa Justin yang
akan membunuhku? Itu tidak masuk akal. Ia mencintaiku. Yeah, dia mencintaiku.
Tidak mungkin ia membunuh kekasih yang sangat ia cintai, kurasa begitu. Aku
melirik jam dinding yang berada di kamarku. Sudah jam 9 malam. Aku harus tidur
sekarang. Besok aku harus bangun pagi agar aku bisa mengobrol dengan Jusin
tanpa sepengetahuan Nicola.
---
Aku
terkejut saat aku melihat seseorang yang sedang menindihku dengan pakaian
berwarna hitam. Leherku tercekik. Tanganku mencoba untuk menahan cekikkannya.
Wajahnya tertutupi oleh topeng berwarna hitam. Tangannya yang besar itu terus
mencekik leherku. Aku ingin muntah. Lidahku terus terjulur karena tekanannya
yang kuat terhadap leherku. Padahal aku
sedang tidur! Sial. Bisa-bisanya ia masuk ke dalam kamarku. Padahal aku sudah
mengunci jendela dan pintuku.
“Sudah
kubilang berapa kali kepadamu! Jauhi dia!” ucapnya yang bersuara laki-laki. Aku
tidak tahu dia laki-laki atau bukan. Karena suara ini sepertinya –kurasa ia
memakai alat untuk menyamarkan suara. Setan! Pintar sekali dia. Aku tidak tahu
bagaimana caranya untuk mengetahui siapa yang sedang mencekikku. Astaga! Aku
sungguh bodoh. Mengapa bisa-bisanya aku berpikir saat aku sedang berada diujung
panggilan Tuhan?! Aku mulai menarik tangan orang ini agar tidak mencekikku.
Tiba-tiba ia menarik kepalaku ke atas.
***
Aku
terus mengelus leherku yang sakit. Aku hari ini masuk sekolah. Kau tahu,
sebenarnya aku tidak ingin masuk. Tapi demi mengumpulkan tugas Logaritma pada
Mr. Brengsek –memang tidak sopan tapi sugguh, aku benci dengan guru ini. Karena
dia itu gila! Bayangkan saja, ia memberikan tugas sebanyak yang ia mau dan
mengumpulkannya dihari berikutnya. Kurang gila apa? Apa lagi, soal-soal yang ia
pilih itu susah sekali. Ingin sekali aku mencekiknya.
Aku
sangat bersyukur kepada Tuhan karena ia masih mengizinkanku untuk hidup. Orang
yang mencekikku tadi malam kabur begitu saja saat seseorang mengetuk pintu
kamarku dan dia keluar dari kamarku melalui jendela. Dia memang gila. Kamarku
berada di lantai dua dan dia melompat? Kuharap ia mati. Tapi kurasa tidak,
karena saat paginya –setelah aku mencoba untuk tidur tapi tak berhasil- aku
membuka jendela kamarku dan melihat ke arah bawah dan tidak menemukan jasadnya.
Berarti dia masih hidup. Aku masih penasaran dengan orang yang mencekikku. Aku
yakin dia yang menerorku.
Kulihat
Justin yang sedang terduduk diujung kelas dengan kepala yang tertunduk. Ia
mendongak saat aku masuk dan langsung tersenyum. Sangat manis. Dia sungguh
membuat hariku indah dengan senyumannya. Sungguh, dia adalah penyemangatku.
“Hei,”
sapaku dengan pelan. Karena saat aku bersuara, kulitku terasa sakit. Dan
tenggorokanku juga. Justin yang tersenyum padaku langsung terlihat begitu
khawatir saat aku berjalan ke arahnya. Ia berdiri dan mendekatiku lalu ia
melihat leherku. Sial! Mengapa si peneror itu mencekikku sampai terlihat
cetakan tangannya yang membuat leherku merah? Sungguh, aku tidak suka ini. Aku
tidak terlalu senang untuk diperhatikan. Tapi tidak apa-apa jika Justin yang
memperlakukanku seperti ini. Alisnya bertautan. Raut wajahnya terlihat begitu
sedih.
“Kau
baru saja dicekik? Oleh siapa?” tanya Justin dengan suara yang pelan. Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Aku
tidak tahu,” ucapku dengan pelan juga.
“Si
peneror? Tenang, aku akan segera membunuhnya sebelum ia mengambilmu dariku,”
ucap Justin terlihat begitu ..gagah dan berani? Aku sungguh tersanjung dengan
perkataannya. Kuharap ia tidak hanya berbicara tapi juga melakukannya. Kami
mendengar suara hentakan kaki yang berjalan menuju kelas kami. Langsung saja
kami berjauhan dan bertingkah seperti orang tak pernah berbicara dan bertemu. Aku
langsung menaruh tasku di kursiku dan terduduk. Kulihat Nicola yang datang. Ia
terlihat begitu murung hari ini. Kurasa ia baru saja dimarahi oleh ibunya.
“Kau
kenapa, Nicky?” tanyaku perhatian. Ia terduduk di depanku dan mendengus dengan
kesal.
“Aku
sungguh kesal dengan orangtuaku. Hanya karena aku tidur terlambat tadi malam
karena aku sedang mengirimi adikmu pesan –“
“Sudah
kubilang jangan berdekatan dengan adikku!” ujarku kesal dan memukul tangannya
yang disandarkan pada mejaku. Ia meringis dan mengelus-elus tangannya.
“Okay,
baiklah. Aku tidak akan mengganggu adikmu lagi,” ucapnya jutek. Aku tidak suka
jika ia berdekatan dengan adikku. Sial! Dan adikku tidak sama sekali memberi
tahuku. Nicola melihatku dan tercengang.
“Ke-kenapa
dengan lehermu?” tanya Nicola yang kurasa tergagap karena dia menyepelekan
terroran tadi malam. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan menatapnya dengan
tatapan Kurasa Kau Tahu.
***
“Justin,
aku sungguh penasaran dengan buku-bukumu yang waktu itu kulihat,” ucapku saat
aku sedang bersandar pada tempat tidur Justin. Justin yang sedang sibuk dengan
ponselnya langsung mendongak melihatku dan berjalan menuju meja belajarnya dan
membuka lacinya. Lalu ia memberi buku Tahunan SD dan SMP-nya padaku. Aku
tersenyum dan mulai mengambil buku itu lalu membukanya. Shut! Astaga, apa
Justin memang psikopat? Maksudku, mengapa saat aku melihat lembaran pertama aku
melihat seluruh teman kelas 1 SD-nya tercoret dengan tanda ‘silang’.
“Itu
semua adalah orang-orang yang mengucilkanku saat aku masih SD. Mereka selalu
mengejekku karena aku hanyalah seorang anak yang membuat ibu kandungku
meninggal dan aku pantas disiksa oleh ibu tiriku,” ucap Justin yang membuatku
melihat Justin yang terlihat begitu serius.
“Aku
memang membunuh ibuku,” ucap Justin yang membuatku ingin mati sekarang. Well,
sebelum mati, aku ingin kabur dari rumah ini terlebih dahulu. Aku berhenti
bernafas untuk beberapa detik.
“Jangan
takut. Aku tidak membunuh Sarah, Thomas atau pun Finn. Niall juga,” ucap Justin
yang terlihat begitu jujur. Maksudku, pasti ia jujur. Karena dia sudah bilang
padaku kalau ia yang membunuh ibunya.
“Aku
hanya membunuh orang-orang yang telah kucoret silang itu, aku sungguh membenci
mereka dan akan membunuh mereka. Tapi, sebenarnya, aku tidak membunuh mereka.
Mereka hanya terbunuh oleh orang-orang yang kusuruh. Aku tidak sudi untuk
menyentuh mereka dan membunuh mereka. Jadi, tidak akan susah untuk berbuat dosa
tapi kita tidak berbuat dosa yang lebih besar bukan?” tanya Justin yang mulai
berdiri dari duduknya. Setelah beberapa menit ia menggenggam ponselnya dengan
erat. Seperti hendak marah namun ia tahan. Dan otakku mulai berpikir. Lalu
siapa yang membunuh Sarah, Thomas, Finn dan Niall?! Aku ingin sekali mencari
tahu si pembunuh itu.
“Kenapa
kau melakukannya?” tanyaku yang sebenarnya aku tahu mengapa. Tapi aku takut,
dugaanku salah.
“Karena
seperti yang tadi kuberi tahu kepadamu, sayang,” ucap Justin yang membuatku
tersentak begitu saja. Ia baru saja memanggilku ‘sayang’ dan itu adalah
panggilan termanis yang pernah kudengar –Justin orang pertama yang membuatku
merona saat ia memanggilku ‘sayang’ meski ibuku juga sering memanggilku seperti
itu.
“Mereka
yang membuatku seperti ini. Aku ingin membuktikan kepada mereka kalau aku lebih
hebat dari pada mereka. Aku ini special, aku ini sempurna. Seperti kau, Amor,”
ucap Justin yang melihatku dengan tatapan penuh arti. Aku tidak butuh
kesempurnaan fisik –mungkin untuk wajah tampan kurasa aku butuh. Tapi aku butuh
lelaki seperti Justin. Meski sebenarnya sungguh tidak benar membunuh
orang-orang yang telah mengucilkannya.
Justin langsung merangkak di atas tubuhku dan menyentuh keningku dengan
keningnya. Ia tersenyum dan mengambil buku yang kupegang lalu membuang buku itu
ke lantai dengan kasar.
“Tapi,
sejak aku memilikimu, kurasa kau yang akan menjadi terakhir dalam daftar
pembunuhanku,” ucap Justin yang sungguh membuatku berhenti bernafas. Ia
tersenyum dan lalu memegang pinggangku. Aku tidak dapat bergerak. Aku sungguh
kaku. Aku seperti es batu sekarang.
“Aku
hanya bercanda sayang,” ucap Justin dengan pelan dan terkekeh. Itu sungguh
tidak lucu.
“Aku
tidak mungkin membunuhmu, karena dirimu, Amor. Cintaku. Hanya kau yang
membuatku untuk berhenti melakukan pembunuhan itu,” ucap Justin dengan
sungguh-sungguh. Pipiku merona begitu saja.
****
Hari
ini Nicola tak jadi menginap di rumahku. Aku ingin menginap di rumah Justin.
Malam ini. Untungnya, orangtuaku belum pulang juga. Mungkin 2-3 hari ke depan,
mereka baru pulang. Dan sekarang, aku dan Justin sedang berbicara tentang siapa
pembunuh anak murid di Sekolah sekarang. Kami masih penasaran. Tapi mengapa
dari tadi Justin menyangkut-pautkannya dengan Nicola? Maksudku, tidak mungkin
Nicola yang membunuh Sarah, Thomas, bahkan Finn. Aku dan Nicola dekat dengan Finn.
Tidak mungkin itu terjadi. Dan tidak mungkin Nicola ingin membunuhku. Ia
sahabatku. Aku berbaring di sebelah Justin yang menyilangkan tangannya di
belakang kepalanya.
“Tapi,
mungkin ia cemburu denganku karena kau lebih perhatian denganku,” lanjut Justin
yang menatap langit-langit kamarnya yang terlukis dengan indahnya. Yeah,
terlukis. Tapi ini lukisan ini hanyalah sebagian dari lukisan di langit-langit
ruang tamu. Ini hanyalah Arthur Of Camelot. Seorang Raja dari Camelot yang akan
terbunuh mati oleh adiknya sendiri. Aku suka cerita itu. Cukup menegangkan.
“Tidak
tidak masuk akal Justin,” gumamku langsung membalikkan tubuhku pada Justin. Aku
memeluk Justin dan menaruh kepalaku di atas dadanya. Aku mengelus-elus perutnya
yang sixpack itu. Ia tidak memakai baju. Ia hanya memakai boxer. Memang
seharusnya tidak seperti ini. Tapi ia bilang, ia memang selalu tidur seperti
ini. Saat pertama kali aku menginap di rumahnya saat itu, ia juga melepaskan
bajunya dan hanya memakai boxer. Membuatnya terlihat begitu kekar. Otot-ototnya
begitu keras.
“Itu
masuk akal, Amor,” sela Justin yang tak mau kalah.
“Jika
kau perhatikan, kau bisa lihat sejak ia takut denganku. Saat aku mendekatimu.
Kau tahu, ia selalu tidak muncul dihadapanku jika aku bersamamu. Dan kau bisa lihat, disetiap orang yang
terbunuh, sehari sebelum mereka terbunuh, pasti mereka sedang bersamamu dan
Nicola ada di sana. Kecuali, Niall. Tapi kau sudah bilang padaku untuk tidak
membunuh Niall atau semacamnya. Dan aku sangat yakin kalau Nicola ingin sekali menjauhimu
dariku,” jelas Justin yang cukup masuk akal.
Yeah,
benar katanya. Aku masih ingat saat Sarah mengejekku di depan Niall dan Nicola
tapi saat itu yang mengancam Sarah adalah Justin. Yang membuat Nicola
meyakinkanku kalau Justin adalah pembunuhnya. Dan Thomas, saat itu tidak ada
Justin. Tapi mengapa Justin tahu? Aku tidak tahu kenapa dan aku tidak bertanya.
Tapi saat kejadian Thomas menggodaku, Nicola ada di sana. Dan Finn. Aku bahkan
tidak tahu mengapa Finn adalah orang yang dibunuh oleh Nicola. Maksudku, kami
bersahabat. Dekat sekali. Dan mengapa tega-teganya Nicola membunuh Finn? Dan
Niall. Aku bahkan tidak ingin membahas tentang Niall! Siapa yang harus
kupercayai? Sahabatku atau Justin?
Justin
membalas pelukanku dan menindih pinggangku dengan kakiknya yang tidak berat
itu. Aku mendongakkan kepalaku dan melihat Justin yang menunduk sambil
tersenyum. Ia sungguh manis.
“Mungkin,
besok. Apa besok kau bisa menyelidiki Nicola? Kau bahkan jarang sekali datang
ke rumah Nicola. Aku tidak pernah mendengarmu kalau kau pergi ke rumah Nicola.
Jadi, besok. Apa kau bisa?” tanya Justin yang sepertinya ingin sekali aku
menyelidiki kamar Nicola. Mungkin, bisa. Aku juga harus mencari tahu. Siapa
tahu Justin benar. Siapa tahu memang benar kalau Nicola adalah pembunuhnya.
“Sudah
malam, ayo kita tidur,” ucap Justin yang langsung mendekap tubuhku dengan erat.
Aku memejamkan mataku dan berharap masalah ini akan segera terselesaikan.
***
Hari
ini aku menginap di rumah Nicola. Siang tadi, aku dan Justin berlayar sebentar.
Dan ini sudah sore. Aku sedang menunggu Nicola yang sedang mandi di kamarnya.
Seharusnya, ia mandi nanti malam, karena kita kan ingin tidur. Tapi katanya, ia
sedang kepanasan. Sungguh aneh. Ini kan musim dingin.Hujan. Mengapa
bisa-bisanya ia kepanasan? Alasan yang aneh.
Sudah
beberapa minggu ini aku tidak datang ke rumah Nicola. Sudah 2 bulan malah. Aku
melihat ke penjuru kamar ini. Ingin mencari tahu. Apa benar sahabatku yang
menerorku. Aku berdiri dari kasur Nicola dan menyentuh meja belajar. Aku menarik
laci yang tertutup. Kuharap aku menemukan sesuatu. Kulihat di sana sebuah buku
besar dengan sampul yang bertuliskan Buku Sejarah. Kupikir itu buku apa.
Kudengar pintu kamar mandi Nicola terbuka. Aku langsung mendorong kembali laci
itu ke dalam dan melihat Nicola yang keluar dengan rambut yang dililitkan oleh
handuk. Ia sudah memakai bajunya. Wajahku pucat sekali, kurasa.
“Hey,
kau kenapa?” tanya Nicola yang melihatku bingung. Aku menggeleng-gelengkan
kepalaku. Dan melangkahkan kakiku untuk duduk di atas kasur. Kulihat Nicola
yang terkekeh saat ia melihatku sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Kau
kenapa?” tanyanya lagi. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku baru sadar.
Sangat sadar. Aku terlihat begitu aneh. Tidak biasanya aku bersikap kaku dengan
Nicola. Maksudku, aku tidak pernah bersikap pendiam pada Nicola. Dan terkejut
saat ia keluar dari kamar mandi. Atau, wajahku terlihat pucat.
“Aku
tidak kenapa-kenapa. Nicola, apa kita bisa berbicara serius sebentar?” tanyaku
dengan serius. Ia yang dari tadi terkekeh dan melihatku dengan bingung langsung
terduduk di sebelahku sambil ia mengambil sisir sebentar dan kembali berjalan
menuju tempatku. Ia duduk di sebelahku.
Hening.
Tunggu
dulu. Apa ini semua jalan yang benar? Aku tidak mau jika bukan Nicola yang
bersalah dan aku yakin –sangat yakin, Nicola akan marah denganku karena aku
telah menuduhnya. Dan tak ingin berteman lagi denganku. Aku pasti akan dicap
sebagai Pengkhianat. Aku tidak mau. Maksudku, aku sudah bersahabat dengan
Nicola selama 2 tahun. Tapi, aku cukup yakin kalau Nicola yang bersalah karena
saat aku menutup laci tadi. Aku sempat melihat tulisan kecil di bagian bawah
Buku Sejarah itu. Sejarah Dari Sekolah.
Apa mungkin, tulisan itu mengartikan sesuatu? Memang itu hanyalah tulisan. Tapi
apa yang dimaksud dengan Sejarah dari Sekolah? Maksudku, Nicola akan
memberitahu ku kalau ia membuat buku seperti itu. Ia pasti butuh bantuanku
untuk mengambil gambar-gambar dari murid-murid lalu di tempelkan di buku itu
dan akan ada keterangan di bawah foto itu. Misalnya, Finn ‘Lelaki yang tampan
ini meninggal dunia karena ….’. Bisa saja itu masuk. Kurasa ini adalah jalan
yang benar.
“Nicky,
aku ingin bertanya,” ucapku menarik nafasku dan berusaha untuk terlihat tidak
gugup, “ Ap-apa kau yang telah membunuh Finn dan teman-teman lainnya?”
Mampus!
Aku mampus. Ini adalah awal percakapan yang bodoh. Seharusnya aku bertele-tele
terlebih dahulu agar ia tidak terlihat seperti dituduh. Maksudku, mungkin saat
sebagian pernyataanku atau pertanyaanku, Nicola akan sadar. Dan aku bisa
menyangkal kalau aku tidak bermaksud seperti itu. Kalian mengerti maksudku
bukan? Maksudku, siapa tahu di salah satu pertanyaanku atau pernyataanku,
Nicola sadar apa yang kumaksud. Tapi, aku masih bisa menyangkal kalau aku tidak
bermaksud kalau aku menuduhnya sebagai Pembunuh.
Kulihat
Nicola yang terkejut dengan pertanyaanku. Aku sudah yakin itu. Ia langsung
berdiri dan melihatku dengan tatapan bingung. Ia menarik laci yang tadi kubuka
lalu ia mengambil buku yang tadi kulihat dan melihatku dengan mata yang
berkaca-kaca. Aku yakin, setelah aku keluar dari kamar ini, persahabatanku
dengan Nicola akan segera berakhir. Ia melemparkan buku itu ke kasur.
“Aku
sudah tahu itu dari awal. Kau pasti akan menyalahkanku. Aku semakin yakin saat
kau tiba-tiba saja ingin menginap di rumahku. Aku tahu kau pasti akan mencari
tahu tentang pembunuh itu. Astaga!” jerit Nicola yang tidak jadi menyisir
rambutnya. Malah ia meremas rambutnya sekarang. Air matanya mulai turun. Aku
tak sanggup melihatnya seperti itu. Maksudku, aku tidak bisa melihat sahabatku
menangis. Aku sayang dengan Nicola karena dia salah satu orang yang penting
dalam kehidupanku.
“Astaga!
Kenapa bisa-bisanya kau berpikir seperti itu? Aku sahabatmu Eleanor Walton!”
ujar Nicola terlihat begitu frustrasi. “Aku bersumpah dalam nama Tuhan, Eli!
Bukan aku yang melakukannya,” tambahnya lagi. Dan lalu ia berjalan ke arahku
untuk mengambil buku tadi dan membukanya. Lalu ia memperlihatkannya kepadaku.
Tepat di mataku. Bukan. Dia bukan pelakunya. Itu hanyalah sebuah buku yang
berisikan foto-foto anak-anak sekolah yang tahun lalu. Tapi mengapa aku baru
melihatnya sekarang? Oh astaga. Aku sungguh merasa bersalah. Mengapa harus
seperti ini?
“Kau
tahu, Eli, kau sudah tidak percaya padaku. Sekarang, dengan sangat berat hati,
kau boleh pulang,” usir Nicola dengan cara yang halus, “Sekarang,” tambahnya
terlihat begitu muak. Yeah, aku pantas mendapatkan ini. Seharusnya aku tidak
berprasangka pada Nicola. Lalu siapa yang menerorku dan membunuh anak-anak
sekolah? Sungguh, aku masih bingung.
***
“Bukan
dia Justin,” ucapku saat aku lebih memilih untuk pulang ke rumah Justin. Aku
sedang tidak ingin bertemu dengan Will karena tadi siang, saat aku kembali ke
rumah sebentar –setelah aku berlayar dengan Justin- Ia marah kepadaku dengan
tidak jelas apa maksudnya. Aku kesal sekali jika ia seperti itu. Ia seperti
orang gila jika seperti itu.
Justin
yang berada di sebelahku hanya menarik nafas dan merangkul yang sedang terduduk
di sisi kolam renang. Aku menyandarkan kepalaku pada bahu Justin. Ia mengelus
lenganku dengan lembut.
“Aku
sungguh minta maaf karena telah merusak persahabatan kalian,” ucap Justin
dengan sungguh. Aku tidak tahu harus membalasnya dengan berkata apa. Karena,
ini sungguh dilemma. Antara aku memilih Justin dengan Nicola. Hari Senin, aku
akan membicarakan masalah ini pada Nicola.
Hening.
“Justin!”
panggil ayah Justin yang tiba-tiba saja berada di belakang kami. Aku tersentak.
***
“Aku
bahkan tidak ingin memiliki ayah sepertimu!” teriak Justin memegang tanganku
dengan erat. Aku hanya dapat melindungi diriku dari balik tubuh Justin. Ayah
Justin begitu marah saat aku masuk kembali ke rumahnya. Aku bahkan tidak tahu
kalau ayah Justin selama ini melarangku untuk masuk ke dalam rumah Justin. Tapi
mengapa Mr.Bieber tak menyarankanku dari sejak kemarin? Kalau aku tahu, pasti
aku tidak akan datang. Sekarang, karena aku, Justin dan Mr.Bieber bertengkar.
Dan dari tadi Justin melindungiku dari depan dan memegang tanganku dengan erat.
“Kau
tahu apa Justin? Aku bahkan tidak ingin memiliki anak sepertimu!” bentak
Mr.Bieber dengan keras. Kata-kata yang terlontar dari mulut Mr.Bieber membuat
Justin terdiam. Aku menundukkan kepalaku dan merasakan remasan tangan Justin
yang semakin menguat ditanganku.
“Okay,
baiklah. Jika itu maumu. Aku tidak peduli, ayo kita pergi,” ucap Justin yang
terlihat begitu acuh terhadap ayahnya dan menarik tanganku untuk keluar dari
rumah ini. Astaga, aku sudah merusak hubungan keluarga mereka.
***
Aku
meminta Will untuk diam sambil memberikan beberapa lembar dollar kepadanya agar
ia tidak memberitahu orangtua kalau Justin menginap di rumah. Karena, aku
sungguh bersyukur kepada Tuhan karena mereka harus pergi ke London, entah
mereka harus melakukan apa. Tapi yang pastinya, mereka mengirimi kami uang
untuk makan. Kau tahu, Will memiliki kartu ATM sedangkan aku tidak. Karena
orangtuaku bilang, Will lebih pandai mengambil uang dari pada aku. Well,
sebenarnya bukan seperti itu. Hanya saja, aku tidak tahu bagaimana caranya
untuk mengambil uang di ATM. Aku memang tidak keren. Aku menaiki tangga
untuk pergi ke kamarku. Aku ingin melihat keadaan Justin yang aku tinggalkan
selama setengah jam. Kau tahu, ia sedang depresi dan sedang bersedih hati.
Aku
yakin, ia sedih karena (mungkin) selama ini ia kurang dapat perhatian dari
orangtuanya. Aku membuka pintu kamarku dan melihat Justin yang teruduk di sisi
tempat tidur dengan kepala yang tertunduk. Aku tidak bisa melihat Justin
seperti ini. Sungguh, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam kehidupanku
sekarang. Tadi sore, aku baru saja bertengkar dengan Nicola. Dan sekarang,
Justin sedang sakit hati karena ia baru saja bertengkar dengan ayahnya karena
dia masih dekat denganku.
“Justin,”
panggilku dengan pelan dan terduduk di sebelah. Aku menatapnya yang sedang
mengedipkan matanya hingga bulu mata lentik terkibas-kibas dengan indah. Aku
tidak pernah berhenti untuk memuji ketampanannya yang permanen. Karena aku
yakin, ia masih tampan dan gagah saat ia tua nanti. Justin mendongakkan
kepalanya dan aku lihat air matanya turun begitu saja. Aku memeluk Justin
dengan penuh perhatian. Aku tahu ini terlihat seperti, kau tahu, ini terbalik.
Biasanya wanita yang menangis dan lelakinya memeluk wanitanya. Tapi itu tidak
berlaku dalam hubunganku dengan Justin.
“Aku
tidak tahu mengapa ayahku sangat membencimu. Aku menyanyanginya, tapi aku juga
menyayangimu, Amor,” ucap Justin dengan suara yang parau.
Aku
tahu dia mencintai ayahnya. Aku tahu dia mencintaiku.Tapi, mungkin, ini semua
salahnya sendiri karena dia tidak memberitahuku untuk tidak berdekatan
dengannya. Ini dilemma baginya, kurasa.
“Memang
apa yang dikatakannya?” tanyaku ingin tahu. Well, sekali pun aku sedang sedih
seperti Justin, aku juga ingin tahu apa yang dikatakan oleh ayah Justin
tentangku. Pantas saja saat aku bertemu dengan ayah Justin, ia –ayah Justin-
terlihat begitu dingin dan pendiam. Lalu ia melihat penampilanku dari bawah
hingga atas.
“Dia
bilang, kau itu wanita yang tidak benar. Karena kau memakai sepatu Converse.
Aku bahkan tidak mengeri apa yang ia katakan,” ucap Justin yang memang tidak
masuk akal. Hanya karena aku memakai
sepatu Converse, ayah Justin membenciku? Oh yang benar saja. Itu tidak mungkin.
“Dia
tidak ingin aku dekat denganmu, karena dia bilang aku harus terus tunduk
padanya. Karena kau, aku tidak patuh dengan perkataannya,” lanjut Justin yang
mulai terdengar masuk akal. Berarti ayah Justin sudah kelewat sayang pada
Justin hingga ia tidak ingin Justin patuh dengan orang lain. Aku bahkan hanya
ingin mengubah Justin menjadi orang yang lebih baik dari pada sebelumnya.
“Lalu
kenapa kau masih ingin denganku? Maksudku, kau sudah tahu bahwa ayahmu sayang
denganmu,” tanyaku ingin tahu. Justin menatap mataku dengan lekat dan tajam.
Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Yang jelas adalah, ia begitu
menyeramkan.
“Karena,
kau mirip sekali dengan ibu kandungku,” ucap Justin yang cukup membuat
jantungku berdetak lebih kencang dari pada biasanya. Mirip? Oh yang benar saja.
Itu hanya kebetulan. Dan Justin mencintaiku karena aku mirip dengan ibunya?
Berarti Justin tak mencintaiku.
“Mungkin,
besok aku akan mengambil foto ibuku dan memperlihatkannya padamu. Aku hanya
melihatnya 1 kali dalam hidupku. Itu pun di foto. Dan berada di kamar ayahku,”
lanjut Justin lagi. Ia mengedip. Aku juga mengedipkan mataku satu kali lalu
melihat mata kucing Justin yang begitu bersinar.
“Tapi,
itu hanyalah salah satu alasan mengapa aku mencintaimu. Selebihnya, aku
mencintaimu karena kamu sempurna,” tambah Justin lagi dengan senyuman di
bibirnya. Aku tersenyum. Ia menarik wajahku agar ia bisa menciumku. Dan bibirku
dengan bibirnya mulai bertemu dan menciptakan rasa sensasi yang bergairah dalam
ikatan yang erat.
***
Justin
terus mengacak-acak kamar ayahnya dengan brutal .Sedangkan aku hanya berdiri
dengan bodohnya dan melihat Justin yang ingin mencari foto ibunya. Pagi ini
kami masuk ke rumah Justin dan ternyata, ayah Justin telah menduga kalau Justin
akan pulang. Dan ayah Justin meninggalkan kunci rumah mereka pada pot tanaman.
Kau tahu, mereka biasanya menaruh kunci rumah mereka di pot itu. Justin baru
saja memberitahuku. Aku melipat kedua tanganku di depan dadaku. Kulihat Justin
terkejut saat ia menemukan sesuatu di dalam laci meja kerja ayahnya.
“Astaga,
ibuku cantik sekali,” ucap Justin yang membuatku menghelakan nafas. Karena, aku
pikir dia mendapatkan ‘sesuatu’. Kau tahu, aku curiga pada ayah Justin saat
ayah Justin membenciku. Siapa tahu, dia pembunuhnya selama ini. Kita tidak
tahu. Tapi, dunia ini sempit. Sungguh, aku tak bohong.
“Ini,
coba kau lihat,” ucap Justin yang berjalan ke arahku dan memperlihatkan foto
ibunya padaku. Oh yeah, benar sekali. Aku mirip dengan ibu Justin. Hidung,
bibir dan mataku mirip dengannya. Aku tidak terkejut. Sungguh, ini sangat tidak
penting untuk dibicarakan. Tapi, karena aku tidak ingin menyakiti Justin, aku
tersenyum dan memperlihatkan wajah terkejutku padanya.
“Wow,
aku sungguh mirip dengan ibumu. Luar biasa,” ucapku dengan nada terkejut. Aku
melirik Justin dan melihatnya tersenyum senang. Dan lalu, senyumannya terhenti
saat wajahnya berubah menjadi wajah yang mengingat sesuatu.
“Tunggu,
tunggu. Kurasa ayahku masih memiliki foto ibuku yang lain,” ucap Justin yang
tersenyum kembali dan mencari foto ibunya lagi. Kurasa aku harus ke toilet.
“Just,
aku ke toilet sebentar,” ucapku yang menaruh foto ibu Justin di atas lemari
pajangan. Dan menghantarkan kakiku menuju toilet.
---
Aku
mencuci wajahku dan melihat wajahku pada cermin yang besar sekali. Kau tahu,
kamar mandi di dekat ruang tamu ini sungguh besar sekali dan cerminnya juga
besar. Aku suka kamar mandi ini. Kamar mandi ini hampir sama dengan toilet di
Mall. Terdapat 2 kloset di dalamnya. Terlihat glamor dan aku tidak tahu
bagaimana harus menjelaskannya. Kurasa Justin menyukai artistic dan sejarah.
Karena lukisan pada dinding kamar mandi ini adalah Elaine Of Astolat, sama
seperti pada langit-langit di ruang tamu. Sungguh menarik.
Kuhantarkan
kakiku untuk masuk ke dalam ruang untuk buang air kecil. Aku menutup pintu dan
berniat untuk membuka celanaku. Aku berhenti melanjutkan aksiku untuk buang air
kecil karena aku mendengar pintu kamar mandi ini terbuka.
“Justin?”
panggilku dengan suara yang gemetar. Kau tahu, ini menyeramkan. Di kamar mandi,
sendirian. Siapa tahu itu adalah hantu dari ibu Justin. Kita tidak tahu kalau
itu akan terjadi.
“Yeah?”
sapanya balik dengan suara yang lebih rendah. Entahlah, tapi itu bukan suara
Justin. Hanya hampir seperti Justin. Ataukah Justin baru saja mimpi basah? Oh
yang benar saja. Aku hanya asal bicara. Tidak mungkin. Aku menarik retsleting
celanaku ke atas dan membuka kunci pintu toilet ini. Kukeluarkan salah satu
kakiku dan merasakan keheningan ini. Itu berarti bukan Justin. Karena, jika
Justin, pasti dia bertanya apa yang sedang kulakukan. Memang terdengar bodoh
jika Justin bertanya seperti itu. Aku menutup kembali pintu toilet ini dari
luar dan tidak mendapati siapa-siapa di kamar mandi ini.
Aku
terkejut saat aku baru saja melangkahkan satu kakiku untuk berjalan, dan
tiba-tiba saja mulutku tersekap. Mataku membulat begitu saja. Sungguh, aku
benar-benar terkejut. Aku melihat ke arah cermin dan mendapati ayah Justin yang
sedang menyekapku. Tentu saja. Yeah, ini semua masuk akal. Aku tidak begitu
takut, karena ayah Justin tidak memegang benda tajam. Dan lalu ayah Justin
mendorong tubuhku agar aku berjalan maju. Langsung saja mendorong tubuhku ke
tembok dan membuka sekapan tangannya dari mulutku lalu membenturkan kepalaku
pada tembok. Ah! Astaga, sakit sekali benturannya. Kurasa kepalaku berdarah.
Aku mengerang keras.
“Amor?
Apa kau baik-baik saja?” teriak Justin yang kurasa mendengar eranganku. Ayah
Justin lagnsung mengunci pintu kamar mandi ini dari dalam dan membalikkan
tubuhku agar aku melihatnya. Kulihat wajahnya begitu merah dan terlihat ia
membenciku. Tapi ada yang lain saat aku melihat matanya. Ia seperti ingin
menangis namun terlihat gila.
“Amor?
Kau baik-baik saja di dalam?” tanya Justin yang mengetuk-ngetuk pintu kamar
mandi. Aku langsung diseret oleh ayah Justin. Sungguh, kepalaku pusing sekali
dan berdarah. Benturan kepalaku pada tembok tadi sungguh keras. Tapi aku
mencintai Tuhan karena Dia masih memberikanku keselamatan karena kepalaku tidak
hancur. Gedoran pintu kamar mandi semakin mengeras saat aku mengerang kembali.
Ayah Justin mengeluarkan sebuah pisau dan menyekik leherku dengan pelan. Tidak
keras. Ia berpikir sejenak. Air matanya mulai keluar.
“Kau
selalu mengingatkanku pada istriku yang meninggal. Kenapa kau melakukan ini?
Aku sudah memperingatkanmu untuk menjauhi anakku! Kau tolol!” ucap ayah Justin
dengan suara yang kecil namun terdengar begitu sedih. Aku memegang tangannya
yang mencekikku.
“Lalu
kenapa kau melakukan ini?” tanyaku dengan pelan.
“Aku
melakukan ini karena kau mengingatkanku pada istriku. Terlalu perih jika aku
mengingat istriku. Kau tolol! Aku sengaja karena–“
“Amor! Amor kau
kenapa sayang?” teriak Justin yang semakin menggedor-gedor pintu kamar mandi
ini.
“Ak
–augh!” Aku ingin muntah saat ayah Justin mulai menekan leherku.
“Amor!”
teriak Justin yang kudengar terlihat begitu kesal. Kulihat ayah Justin
menggeleng-gelengkan kepalanya dan melihatku dengan air mata yang terjatuh.
“Aku
sungguh minta maaf, tapi aku harus membunuhmu agar kau tidak membuatku resah
setiap harinya,” ucap ayah Justin yang memejamkan matanya lalu ia menarik
nafasnya dalam-dalam. Pisau yang ia pegang sudah berada di udara dan ingin
membunuhku. Aku rasa, beginilah akhir dari hidupku. Terlalu rumit untuk
dijelaskan.
“AMOR!”
teriak Justin yang mendobrak pintu kamar mandi. Aku memejamkan mataku. Augh!
***
Aku
mengerjap-ngerjapkan mataku dan melihat
diriku yang masih bisa melihat langit-langit kamar mandi. Kudengar suara nafas
yang memburu dan melihat ayah Justin yang tergeletak lemah di sebelahku. Dan
aku melihat Justin yang terlihat begitu marah. Rahang bawahnya terlihat begitu
tegang dan berkedut. Nafasnya memburu. Ia melihat ke arah ayahnya yang
sepertinya hanya pingsan karena baru saja ditinju oleh Justin. Aku tidak tahu.
Yang penting, aku masih selamat. Dan lalu Justin melihatku yang ternyata masih
hidup. Ia menghelakan nafasnya yang panjang dan menarik tanganku. Ia langsung
memelukku dengan erat.
“Ak-aku
sungguh minta maaf karena aku tidak menjagamu dengan baik,” ucap Justin
terdengar begitu tulus.
***
Semua
terlihat begitu berjalan dengan baik. Aku senang sekali karena aku masih bisa berpacaran
dengan Justin. Aku tidak bertengkar dengan Nicola. Kau tahu, Nicola sendiri
yang meminta maaf kepadaku. Aku tidak tahu mengapa ia meminta maaf karena saat
aku memberitahunya kalau aku hampir saja mati, ia langsung datang ke rumahku –yeah,
aku sudah pulang- dan ia memperlihatkan wajah yang begitu khawatir. Aku tahu
Nicola sahabat yang baik. Dan aku tidak akan meragukannya lagi. Dan ayah
Justin. Well, ternyata dia yang membunuh semua murid sekolah. Kau tahu, Justin
yang menjebloskan ayahnya sendiri kepada polisi. Well, kurasa ayah Justin
pantas masuk penjara. Saat Justin menanyakan alasan mengapa ia –ayah Justin-
ingin sekali aku menjauh dari Justin dan mengapa ia membunuh anak murid,
ternyata karena dia tidak ingin aku mengganggu kehidupan Justin dan dirinya
sendiri karena itu mengingatkannya kepada istrinya –ibu kandung Justin. Dan ia
sengaja membunuh murid-murid yang berdekatan denganku, karena dia tahu kalau
anaknya dicap sebagai Si Psikopat. Jadi, mungkin, ayah Justin berpikir kalau
aku akan menjauhi Justin karena Justin pembunuh. Tapi, maaf Mr.Bieber, kau
tidak bisa menghalangiku untuk mendekati anakmu.
Sekarang,
aku sedang bersama dengan Justin dan Nicola di atas kapal. Kami berlayar.
Nicola dan Justin sekarang sudah berteman karena Nicola sudah mulai percaya
kalau Justin bukanlah pembunuh. Kau mungkin tidak percaya, karena kau tahu,
secara teknis –sebenarnya, Justin tidak membunuh teman-temannya karena dia
menyuruh orang lain untuk membunuh teman-teman masa lalunya. Itu cukup
adil.Tapi dengan cara yang lebih sadis.
Aku
berjalan ke arah Justin yang sedang terduduk dengan santai di sisi kapal kami.
Setelah 10 menit aku mengobrol dengan Nicola dan menghiraukan Justin.
“Justin,”
panggilku dengan pelan. Justin tidak melihatku. Ia masih melihat ke arah laut
yang memang terlihat begitu indah. Kurasa ia marah karena aku mendiamkannya
selama beberapa menit.
“Oh
ayolah. Jangan kekanak-kanakkan,” ucapku dengan nada suara yang bercanda.
Justin langsung melihatku dan berdiri. Ia menatapku dengan tatapan tajam.
Seperti cemburu.
“Kau
pikir aku tidak cemburu bila kau berdekatan dengan sahabatmu? Kau tahu, aku
mencintaimu lebih luas dari pada lautan ini. Biar pun kau dekat dengan
orangtuamu atau adikmu, aku tetap saja cemburu. Kau sungguh jahat, Amor,” ucap
Justin dengan ketus. Aku terkekeh sebentar. Tapi kekehanku terhenti saat Justin
langsung melengos pergi dari hadapanku.
“Hey
Justin, aku hanya mengobrol. Dan aku tidak mungkin jatuh cinta kepada mereka.
Oh yang benar saja Justin. Kau itu cinta pertamaku dan terakhir,” ucapku dengan
percaya diri. Karena memang aku rasa dia adalah cinta pertama dan terakhirku.
Justin langsung membalikkan tubuhnya dan melihatku dengan tajam.
“Benarkah?”
tanya Justin yang menyipitkan matanya. Aku hanya menganggukkan kepalaku.
“Kalau
begitu, ayo kita menikah,” ucap Justin spontan. Aku tertawa dan melihat Nicola
yang sedang memakan kripik langsung terkejut dan menghentikan kunyahannya
dengan mata yang membulat sambil melirik Justin.
“Ayo,”
ucapku dengan pelan. Aku langsung melingkarkan
tanganku pada leher Justin dan Justin langsung mengecup bibirku dengan lembut
sambil tangannya melingkar dipinggangku. Kau tahu, aku sungguh menyukai
kehidupanku sekarang. Dan jangan lupa untuk datang ke acara pernikahanku dengan
Justin. Karena kami akan segera menikah. Secepatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar