Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Bieber is Psycopath Part 6 - End









***

            Aku meminta Will untuk diam sambil memberikan beberapa lembar dollar kepadanya agar ia tidak memberitahu orangtua kalau Justin menginap di rumah. Karena, aku sungguh bersyukur kepada Tuhan karena mereka harus pergi ke London, entah mereka harus melakukan apa. Tapi yang pastinya, mereka mengirimi kami uang untuk makan. Kau tahu, Will memiliki kartu ATM sedangkan aku tidak. Karena orangtuaku bilang, Will lebih pandai mengambil uang dari pada aku. Well, sebenarnya bukan seperti itu. Hanya saja, aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengambil uang di ATM. Aku memang tidak keren.  Aku menaiki tangga untuk pergi ke kamarku. Aku ingin melihat keadaan Justin yang aku tinggalkan selama setengah jam. Kau tahu, ia sedang depresi dan sedang bersedih hati.
            Aku yakin, ia sedih karena (mungkin) selama ini ia kurang dapat perhatian dari orangtuanya. Aku membuka pintu kamarku dan melihat Justin yang teruduk di sisi tempat tidur dengan kepala yang tertunduk. Aku tidak bisa melihat Justin seperti ini. Sungguh, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam kehidupanku sekarang. Tadi sore, aku baru saja bertengkar dengan Nicola. Dan sekarang, Justin sedang sakit hati karena ia baru saja bertengkar dengan ayahnya karena dia masih dekat denganku.
            “Justin,” panggilku dengan pelan dan terduduk di sebelah. Aku menatapnya yang sedang mengedipkan matanya hingga bulu mata lentik terkibas-kibas dengan indah. Aku tidak pernah berhenti untuk memuji ketampanannya yang permanen. Karena aku yakin, ia masih tampan dan gagah saat ia tua nanti. Justin mendongakkan kepalanya dan aku lihat air matanya turun begitu saja. Aku memeluk Justin dengan penuh perhatian. Aku tahu ini terlihat seperti, kau tahu, ini terbalik. Biasanya wanita yang menangis dan lelakinya memeluk wanitanya. Tapi itu tidak berlaku dalam hubunganku dengan Justin.
            “Aku tidak tahu mengapa ayahku sangat membencimu. Aku menyanyanginya, tapi aku juga menyayangimu, Amor,” ucap Justin dengan suara yang parau.
            Aku tahu dia mencintai ayahnya. Aku tahu dia mencintaiku.Tapi, mungkin, ini semua salahnya sendiri karena dia tidak memberitahuku untuk tidak berdekatan dengannya. Ini dilemma baginya, kurasa.  
            “Memang apa yang dikatakannya?” tanyaku ingin tahu. Well, sekali pun aku sedang sedih seperti Justin, aku juga ingin tahu apa yang dikatakan oleh ayah Justin tentangku. Pantas saja saat aku bertemu dengan ayah Justin, ia –ayah Justin- terlihat begitu dingin dan pendiam. Lalu ia melihat penampilanku dari bawah hingga atas.
            “Dia bilang, kau itu wanita yang tidak benar. Karena kau memakai sepatu Converse. Aku bahkan tidak mengeri apa yang ia katakan,” ucap Justin yang memang tidak masuk akal. Hanya karena aku  memakai sepatu Converse, ayah Justin membenciku? Oh yang benar saja. Itu tidak mungkin.
            “Dia tidak ingin aku dekat denganmu, karena dia bilang aku harus terus tunduk padanya. Karena kau, aku tidak patuh dengan perkataannya,” lanjut Justin yang mulai terdengar masuk akal. Berarti ayah Justin sudah kelewat sayang pada Justin hingga ia tidak ingin Justin patuh dengan orang lain. Aku bahkan hanya ingin mengubah Justin menjadi orang yang lebih baik dari pada sebelumnya.
            “Lalu kenapa kau masih ingin denganku? Maksudku, kau sudah tahu bahwa ayahmu sayang denganmu,” tanyaku ingin tahu. Justin menatap mataku dengan lekat dan tajam. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Yang jelas adalah, ia begitu menyeramkan.
            “Karena, kau mirip sekali dengan ibu kandungku,” ucap Justin yang cukup membuat jantungku berdetak lebih kencang dari pada biasanya. Mirip? Oh yang benar saja. Itu hanya kebetulan. Dan Justin mencintaiku karena aku mirip dengan ibunya? Berarti Justin tak mencintaiku.
            “Mungkin, besok aku akan mengambil foto ibuku dan memperlihatkannya padamu. Aku hanya melihatnya 1 kali dalam hidupku. Itu pun di foto. Dan berada di kamar ayahku,” lanjut Justin lagi. Ia mengedip. Aku juga mengedipkan mataku satu kali lalu melihat mata kucing Justin yang begitu bersinar.
            “Tapi, itu hanyalah salah satu alasan mengapa aku mencintaimu. Selebihnya, aku mencintaimu karena kamu sempurna,” tambah Justin lagi dengan senyuman di bibirnya. Aku tersenyum. Ia menarik wajahku agar ia bisa menciumku. Dan bibirku dengan bibirnya mulai bertemu dan menciptakan rasa sensasi yang bergairah dalam ikatan yang erat.


***

            Justin terus mengacak-acak kamar ayahnya dengan brutal .Sedangkan aku hanya berdiri dengan bodohnya dan melihat Justin yang ingin mencari foto ibunya. Pagi ini kami masuk ke rumah Justin dan ternyata, ayah Justin telah menduga kalau Justin akan pulang. Dan ayah Justin meninggalkan kunci rumah mereka pada pot tanaman. Kau tahu, mereka biasanya menaruh kunci rumah mereka di pot itu. Justin baru saja memberitahuku. Aku melipat kedua tanganku di depan dadaku. Kulihat Justin terkejut saat ia menemukan sesuatu di dalam laci meja kerja ayahnya.
            “Astaga, ibuku cantik sekali,” ucap Justin yang membuatku menghelakan nafas. Karena, aku pikir dia mendapatkan ‘sesuatu’. Kau tahu, aku curiga pada ayah Justin saat ayah Justin membenciku. Siapa tahu, dia pembunuhnya selama ini. Kita tidak tahu. Tapi, dunia ini sempit. Sungguh, aku tak bohong.
            “Ini, coba kau lihat,” ucap Justin yang berjalan ke arahku dan memperlihatkan foto ibunya padaku. Oh yeah, benar sekali. Aku mirip dengan ibu Justin. Hidung, bibir dan mataku mirip dengannya. Aku tidak terkejut. Sungguh, ini sangat tidak penting untuk dibicarakan. Tapi, karena aku tidak ingin menyakiti Justin, aku tersenyum dan memperlihatkan wajah terkejutku padanya.
            “Wow, aku sungguh mirip dengan ibumu. Luar biasa,” ucapku dengan nada terkejut. Aku melirik Justin dan melihatnya tersenyum senang. Dan lalu, senyumannya terhenti saat wajahnya berubah menjadi wajah yang mengingat sesuatu.
            “Tunggu, tunggu. Kurasa ayahku masih memiliki foto ibuku yang lain,” ucap Justin yang tersenyum kembali dan mencari foto ibunya lagi. Kurasa aku harus ke toilet.
            “Just, aku ke toilet sebentar,” ucapku yang menaruh foto ibu Justin di atas lemari pajangan. Dan menghantarkan kakiku menuju toilet.


---

            Aku mencuci wajahku dan melihat wajahku pada cermin yang besar sekali. Kau tahu, kamar mandi di dekat ruang tamu ini sungguh besar sekali dan cerminnya juga besar. Aku suka kamar mandi ini. Kamar mandi ini hampir sama dengan toilet di Mall. Terdapat 2 kloset di dalamnya. Terlihat glamor dan aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Kurasa Justin menyukai artistic dan sejarah. Karena lukisan pada dinding kamar mandi ini adalah Elaine Of Astolat, sama seperti pada langit-langit di ruang tamu. Sungguh menarik.
            Kuhantarkan kakiku untuk masuk ke dalam ruang untuk buang air kecil. Aku menutup pintu dan berniat untuk membuka celanaku. Aku berhenti melanjutkan aksiku untuk buang air kecil karena aku mendengar pintu kamar mandi ini terbuka.
            “Justin?” panggilku dengan suara yang gemetar. Kau tahu, ini menyeramkan. Di kamar mandi, sendirian. Siapa tahu itu adalah hantu dari ibu Justin. Kita tidak tahu kalau itu akan terjadi.
            “Yeah?” sapanya balik dengan suara yang lebih rendah. Entahlah, tapi itu bukan suara Justin. Hanya hampir seperti Justin. Ataukah Justin baru saja mimpi basah? Oh yang benar saja. Aku hanya asal bicara. Tidak mungkin. Aku menarik retsleting celanaku ke atas dan membuka kunci pintu toilet ini. Kukeluarkan salah satu kakiku dan merasakan keheningan ini. Itu berarti bukan Justin. Karena, jika Justin, pasti dia bertanya apa yang sedang kulakukan. Memang terdengar bodoh jika Justin bertanya seperti itu. Aku menutup kembali pintu toilet ini dari luar dan tidak mendapati siapa-siapa di kamar mandi ini.
            Aku terkejut saat aku baru saja melangkahkan satu kakiku untuk berjalan, dan tiba-tiba saja mulutku tersekap. Mataku membulat begitu saja. Sungguh, aku benar-benar terkejut. Aku melihat ke arah cermin dan mendapati ayah Justin yang sedang menyekapku. Tentu saja. Yeah, ini semua masuk akal. Aku tidak begitu takut, karena ayah Justin tidak memegang benda tajam. Dan lalu ayah Justin mendorong tubuhku agar aku berjalan maju. Langsung saja mendorong tubuhku ke tembok dan membuka sekapan tangannya dari mulutku lalu membenturkan kepalaku pada tembok. Ah! Astaga, sakit sekali benturannya. Kurasa kepalaku berdarah. Aku mengerang keras.
            “Amor? Apa kau baik-baik saja?” teriak Justin yang kurasa mendengar eranganku. Ayah Justin lagnsung mengunci pintu kamar mandi ini dari dalam dan membalikkan tubuhku agar aku melihatnya. Kulihat wajahnya begitu merah dan terlihat ia membenciku. Tapi ada yang lain saat aku melihat matanya. Ia seperti ingin menangis namun terlihat gila.
            “Amor? Kau baik-baik saja di dalam?” tanya Justin yang mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi. Aku langsung diseret oleh ayah Justin. Sungguh, kepalaku pusing sekali dan berdarah. Benturan kepalaku pada tembok tadi sungguh keras. Tapi aku mencintai Tuhan karena Dia masih memberikanku keselamatan karena kepalaku tidak hancur. Gedoran pintu kamar mandi semakin mengeras saat aku mengerang kembali. Ayah Justin mengeluarkan sebuah pisau dan menyekik leherku dengan pelan. Tidak keras. Ia berpikir sejenak. Air matanya mulai keluar.
            “Kau selalu mengingatkanku pada istriku yang meninggal. Kenapa kau melakukan ini? Aku sudah memperingatkanmu untuk menjauhi anakku! Kau tolol!” ucap ayah Justin dengan suara yang kecil namun terdengar begitu sedih. Aku memegang tangannya yang mencekikku.
            “Lalu kenapa kau melakukan ini?” tanyaku dengan pelan.
            “Aku melakukan ini karena kau mengingatkanku pada istriku. Terlalu perih jika aku mengingat istriku. Kau tolol! Aku sengaja karena–“
“Amor! Amor kau kenapa sayang?” teriak Justin yang semakin menggedor-gedor pintu kamar mandi ini.
            “Ak –augh!” Aku ingin muntah saat ayah Justin mulai menekan leherku.
            “Amor!” teriak Justin yang kudengar terlihat begitu kesal. Kulihat ayah Justin menggeleng-gelengkan kepalanya dan melihatku dengan air mata yang terjatuh.
            “Aku sungguh minta maaf, tapi aku harus membunuhmu agar kau tidak membuatku resah setiap harinya,” ucap ayah Justin yang memejamkan matanya lalu ia menarik nafasnya dalam-dalam. Pisau yang ia pegang sudah berada di udara dan ingin membunuhku. Aku rasa, beginilah akhir dari hidupku. Terlalu rumit untuk dijelaskan.
            “AMOR!” teriak Justin yang mendobrak pintu kamar mandi. Aku memejamkan mataku. Augh!


***

            Aku mengerjap-ngerjapkan mataku  dan melihat diriku yang masih bisa melihat langit-langit kamar mandi. Kudengar suara nafas yang memburu dan melihat ayah Justin yang tergeletak lemah di sebelahku. Dan aku melihat Justin yang terlihat begitu marah. Rahang bawahnya terlihat begitu tegang dan berkedut. Nafasnya memburu. Ia melihat ke arah ayahnya yang sepertinya hanya pingsan karena baru saja ditinju oleh Justin. Aku tidak tahu. Yang penting, aku masih selamat. Dan lalu Justin melihatku yang ternyata masih hidup. Ia menghelakan nafasnya yang panjang dan menarik tanganku. Ia langsung memelukku dengan erat.
            “Ak-aku sungguh minta maaf karena aku tidak menjagamu dengan baik,” ucap Justin terdengar begitu tulus.


***

            Semua terlihat begitu berjalan dengan baik. Aku senang sekali karena aku masih bisa berpacaran dengan Justin. Aku tidak bertengkar dengan Nicola. Kau tahu, Nicola sendiri yang meminta maaf kepadaku. Aku tidak tahu mengapa ia meminta maaf karena saat aku memberitahunya kalau aku hampir saja mati, ia langsung datang ke rumahku –yeah, aku sudah pulang- dan ia memperlihatkan wajah yang begitu khawatir. Aku tahu Nicola sahabat yang baik. Dan aku tidak akan meragukannya lagi. Dan ayah Justin. Well, ternyata dia yang membunuh semua murid sekolah. Kau tahu, Justin yang menjebloskan ayahnya sendiri kepada polisi. Well, kurasa ayah Justin pantas masuk penjara. Saat Justin menanyakan alasan mengapa ia –ayah Justin- ingin sekali aku menjauh dari Justin dan mengapa ia membunuh anak murid, ternyata karena dia tidak ingin aku mengganggu kehidupan Justin dan dirinya sendiri karena itu mengingatkannya kepada istrinya –ibu kandung Justin. Dan ia sengaja membunuh murid-murid yang berdekatan denganku, karena dia tahu kalau anaknya dicap sebagai Si Psikopat. Jadi, mungkin, ayah Justin berpikir kalau aku akan menjauhi Justin karena Justin pembunuh. Tapi, maaf Mr.Bieber, kau tidak bisa menghalangiku untuk mendekati anakmu.
            Sekarang, aku sedang bersama dengan Justin dan Nicola di atas kapal. Kami berlayar. Nicola dan Justin sekarang sudah berteman karena Nicola sudah mulai percaya kalau Justin bukanlah pembunuh. Kau mungkin tidak percaya, karena kau tahu, secara teknis –sebenarnya, Justin tidak membunuh teman-temannya karena dia menyuruh orang lain untuk membunuh teman-teman masa lalunya. Itu cukup adil.Tapi dengan cara yang lebih sadis.
            Aku berjalan ke arah Justin yang sedang terduduk dengan santai di sisi kapal kami. Setelah 10 menit aku mengobrol dengan Nicola dan menghiraukan Justin.
            “Justin,” panggilku dengan pelan. Justin tidak melihatku. Ia masih melihat ke arah laut yang memang terlihat begitu indah. Kurasa ia marah karena aku mendiamkannya selama beberapa menit.
            “Oh ayolah. Jangan kekanak-kanakkan,” ucapku dengan nada suara yang bercanda. Justin langsung melihatku dan berdiri. Ia menatapku dengan tatapan tajam. Seperti cemburu.
            “Kau pikir aku tidak cemburu bila kau berdekatan dengan sahabatmu? Kau tahu, aku mencintaimu lebih luas dari pada lautan ini. Biar pun kau dekat dengan orangtuamu atau adikmu, aku tetap saja cemburu. Kau sungguh jahat, Amor,” ucap Justin dengan ketus. Aku terkekeh sebentar. Tapi kekehanku terhenti saat Justin langsung melengos pergi dari hadapanku.
            “Hey Justin, aku hanya mengobrol. Dan aku tidak mungkin jatuh cinta kepada mereka. Oh yang benar saja Justin. Kau itu cinta pertamaku dan terakhir,” ucapku dengan percaya diri. Karena memang aku rasa dia adalah cinta pertama dan terakhirku. Justin langsung membalikkan tubuhnya dan melihatku dengan tajam.
            “Benarkah?” tanya Justin yang menyipitkan matanya. Aku hanya menganggukkan kepalaku.
            “Kalau begitu, ayo kita menikah,” ucap Justin spontan. Aku tertawa dan melihat Nicola yang sedang memakan kripik langsung terkejut dan menghentikan kunyahannya dengan mata yang membulat sambil melirik Justin.
            “Ayo,” ucapku  dengan pelan. Aku langsung melingkarkan tanganku pada leher Justin dan Justin langsung mengecup bibirku dengan lembut sambil tangannya melingkar dipinggangku. Kau tahu, aku sungguh menyukai kehidupanku sekarang. Dan jangan lupa untuk datang ke acara pernikahanku dengan Justin. Karena kami akan segera menikah. Secepatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar