***
Aku
menatapi rintik-rintik hujan yang mulai turun. Aku melihatnya dari balik
jendela kamarku dan menekukkan kedua lututku di samping jendela kamarku. Hari
ini Nicola menginap di rumahku, tapi sekarang ia sedang sibuk mendengarkan lagu
dan mengetik sesuatu. Aku tidak tahu dan aku tidak peduli. Mengingat perbuatan
Justin yang baru saja kulihat tadi, saat sepulang sekolah. Ia meninju seorang
lelaki pendek yang dulu pernah diintimidasi oleh Niall. Artie. Entahlah,
mengapa Justin terlihat begitu galak dan jahat. Ia meninju Artie hingga wajah
Artie berdarah-darah. Apa memang dia psikopat? Aku mungkin sekarang percaya dengan
apa yang baru saja aku lihat. Menakutkan. Tapi aku ingin sekali tahu dengan
keadaan dan apa yang terjadi dengan
Justin. Sungguh.
Dan
tiba-tiba saja kepribadiannya berubah saat beberapa orang menyuduti dan
berusaha untuk memukulnya. Itu juga saat pulang sekolah. Saat Justin telah
selesai dan puas memukul Artie. Dan ..Hhh, sekumpulan orang mengurubungi Justin
dan menyuduti Justin. Tapi tiba-tiba saja suaranya berubah menjadi anak kecil.
Membuat para Calon Pemukul itu tidak tahu bagaimana caranya mereka harus
merubah sikap. Dan Justin selamat dengan begitu mudahnya. Ini sungguh masuk
akal! Sangat. Ia teringat dengan masa lalunya, masalah ia dipukuli oleh ibunya
dan disuduti oleh teman-teman semasa kecilnya sehingga memicu Justin untuk
merubah kepribadiannya. Ini sungguh masuk akal.
Air
mataku turun begitu saja. Setelah apa yang telah terjadi dalam hidupku. Astaga,
sungguh payah. Tapi hampir mirip dengan Harry Potter. Memiliki warna dalam
kehidupan. Aku mulai teringat saat pertama kali aku bertemu dengan Justin, saat
aku menyapanya dan dia tidak sama sekali memberikanku senyuman. Tapi setiap
hari aku melakukan hal yang sama hingga ia membalas sapaanku. Dan, saat pertama
aku berbicara dengannya. Ia tidak menceritakan apa pun padaku. Ia lebih banyak
mendengar dari pada berbicara. Senyumannya yang membuatku hampir mati karena
sangking manisnya. Dan, saat ia mulai berubah sikap lagi padaku. Saat ia
berubah menjadi pendiam kembali selama 1 bulan. Dan aku berusaha untuk
mendekatinya lagi. Dan berhasil. Ia mengajakku untuk datang ke rumahnya, dan
berniat untuk mencari tahu tentang Justin lebih dalam, tapi aku malah
bermesraan dengan Justin. Sungguh memang memalukan. Dan lalu, aku dan Justin
mulai berdekatan. Tapi hanya ada satu kendala yang membuatku dan Justin berjauhan.
Yaitu tentang pembunuhan itu. Semua orang menuduh Justin –dan sekarang aku
mempercayainya. Nicola semakin membenci Justin. Sarah, Thomas dan terakhir
Finn. Siapa yang terakhir? Mungkin aku.
Tiba-tiba kudengar
suara deringan ponsel. Punyaku. Aku langsung beranjak dari dudukku dan
mengambil ponselku yang kutaruh di atas meja belajarku, di atas buku tentang
Psikopat. Dari Justin. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali dan berkata dalam
hati kalau ini bukanlah mimpi. Kuangkat telepon dari Justin.
“Datang
ke rumahku, sekarang,” ucap Justin dengan tegas. Kutelan ludahku.
****
Aku
sungguh berani. Sangat berani bahkan. Karena, aku masuk ke dalam sebuah rumah
dari seorang Psikopat. Dan tentunya, aku telah memberitahu orangtuaku kalau aku
harus pergi ke rumah temanku –tanpa memberitahu mereka kalau aku ingin bertemu
dengan Justin. Aku mengetuk pintu Justin dengan pelan. Dan aku menunggunya
untuk beberapa detik. Malam ini sungguh mengerikan. Bulu kudukku merinding saat
aku melihat kalau rumah ini sungguh besar dan rumah ini hanya diisi oleh 2
orang. Justin dan ayahnya. Apalagi, ibu Justin sudah meninggal. Astaga! Apa
yang aku pikirkan? Tidak, tidak. Tidak
mungkin ibu Justin gentayangan. Tidak mungkin. Tiba-tiba pintu terbuka. Aku
melihat Justin tidak memberikan senyuman padaku.
“Masuk,”
ucap Justin dengan dingin. Aku hanya menuruti permintaannya dan masuk ke dalam
rumahnya untuk yang kedua kalinya. Kali ini lebih berantakan. Vas-vas bunga
yang saat itu aku lihat sekarang sudah tidak ada –atau lebih tepatnya pecah dan
pecahannya tak dibersihkan. Kurasa baru ada yang terjadi di rumah ini. Astaga,
aku harus pulang. Ini sungguh menyeramkan. Aku membalikkan tubuhku dan berniat
untuk pulang. Tapi aku terbentur dengan kepala Justin karena dia berada di
belakangku. Aku meringis.
“Amor,
aku butuh dirimu. Sangat,” ucap Justin yang terdengar begitu labil. “Maaf
dengan kejadian tadi pagi, aku sedang sangat marah. Sangat. Aku baru saja
bertengkar dengan ayahku,” jelas Justin yang semakin memperjelas mengapa rumah
ini hancur. Tapi apakah Vas Bunga juga harus ikut terkena pelampiasan kemarahan
mereka? Sungguh, aku tidak kuat saat aku melihat Justin merengut. Seperti ingin
menangis. Ia memegang kedua tanganku. Alisnya saling bertautan.
“Amor,
aku ingin jujur,” ucap Justin yang membuatku sedikit gugup. Ia menarik tanganku
untuk pergi dari ruang tamu dan pergi ke kolam renang. Tempat yang paling
menyeramkan diantara semuanya. Kau tahu, aku agak trauma dengan sikap Justin
yang sedikit gila. Aku dan Justin berhenti melangkah, di dekat pinggiran kolam.
Malam-malam. Hanya kami berdua saja yang berada di rumah ini. Ia kembali
memegang kedua tanganku dan menatapku dalam-dalam.
“Aku
mencintaimu, Eleanor Walton,” ucap Justin yang membuat jantungku berdetak lebih
kencang dari pada biasanya. “Aku tidak akan membiarkan orang lain menghinamu,
atau mengejekmu, atau apa pun yang membuatmu merasa risih. Karena, bagiku kau
sempurna,” ucap Justin dengan kata-kata yang membuatku merona. Apa dia
sungguh-sungguh berkata seperti itu?
“Aku
bahkan rela mati untukmu,” tambah Justin yang membuatku semakin tersanjung. Ini
kah yang namanya jatuh cinta? Aku tidak tahu mengapa jantungku berdetak lebih
kencang jika aku bertemu dengan Justin, mengetahui Justin yang sebenarnya
–meski ragu karena dia tak pernah mau membicarakan tentang pembunuhan, tapi
setidaknya aku tahu ia senang dengan Novel, berenang, dan aku tahu kalau dia
mencintaiku. Ia mengatakannya. Tak seperti Finn. Aku menelan ludahku dengan
susah. Aku berpikir bahwa, apa kah ada untungnya jika aku mencintai Justin
seperti yang ditanyakan oleh Nicola? Aku tidak tahu. Tapi yang kutahu adalah
aku terlindungi dan dia mencintaiku. Mencintai, dicintai. Itu yang keperlukan.
Tapi kepercayaan? Apa aku harus percaya dengan perkataan Justin jika aku bertanya
tentang Pembunuhan? Aku tidak tahu.
“Amor,
aku tidak akan membunuhmu,” ucap Justin yang benar-benar membuatku tersentak
setengah mati. Tidak akan. Berarti,
apa dia yang telah membunuh Sarah, Thomas dan menjebak Finn? Aku tidak tahu.
Semua memang masuk akal bila Justin yang mengatakan yang sejujurnya.
“Amor,
tolong jangan bicarakan tentang pembunuhan, aku tidak mau,” ucap Justin
merengut. Aku tidak bisa melihat wajahnya seperti itu. Aku sungguh kasihan
melihat wajahnya yang begitu memohon dan merengut. Dia terlalu tampan. Dan kau
tahu, aku tidak tahan dengan lelaki tampan. Seperti Justin misalnya. Aku bisa
mendengar suara air mancur yang berada di dekat kolam sedang mengucur dengan
indahnya. Bintang malam menemani kami. Justin meremas tanganku dan
menganggukkan kepalanya sekali.
“Amor,”
panggil Justin dengan lembut. Yang terlembut yang pernah kudengar. Sungguh. Ini
sangat membahagiakan. Aku mencintai Justin? Kurasa. Aku rasa begitu. Sangat
malah. Tidak mungkin aku membela-belakan untuk pergi ke sini padahal semua
orang tahu –termasuk orang tuaku juga sudah tahu kalau Justin adalah Psikopat
dan memiliki Kepribadian Ganda. Dan tidak mungkin aku terus menentang perkataan
Nicola –meski Nicola sering menyuruhku untuk menjauhi Justin. Tapi aku tidak
bisa. Seperti ada yang hilang dalam diriku. Aku mencintai Justin. Sangat.
“Aku
jug—“
Bibirku
sudah bertautan dengan bibir Justin yang terasa begitu lembut. Kupejamkan
mataku untuk merasa kemesraan ini. Kulingkarkan tanganku pada leher Justin dan
tiba-tiba saja Justin menggendongku hingga kakiku terlingkar pada pinggangnya
dengan bibir yang masih bersatu. Bunyi cepakan ciuman kami begitu terasa. Aku
mulai meremas rambut Justin dengan lembut. Tiba-tiba Justin sudah menyelesaikan
ciuman ini. Keningku dan keningnya bersentuhan. Aku tersenyum malu-malu padanya
dan menggigit bibirku yang basah.
“Ternyata
si Cerdas sangat ahli dalam berciuman, haha,” ucap Justin tertawa kecil dan
kemudian Justin kembali memagut bibirku. Ini adalah malam yang sangat indah
bagiku. Penuh dengan warna akan cinta. Mengalir seperti air sungai yang jernih.
Di temani dengan bintang yang bertebaran di sana. Dengan perasaan yang telah
terungkapkan. Perasaan cinta yang sejati. Rela mati bagiku, itu sungguh
menakjubkan. Aku mencintaimu Justin.
****
“Hah?”
kaget Nicola saat aku bilang kalau hari ini aku tak bisa datang ke rumahnya
karena aku mempunyai urusan lain. Well, sebenarnya aku berbohong untuk yang
pertama kalinya pada Nicola. Karena, aku harus bertemu dengan Justin di
rumahnya. Mungkin, bukan di rumahnya.
Tapi di Dermaga. Kau tahu, Minnesota. Justin mengajakku untuk berlayar. Aku
sudah tahu ini. Justin pasti akan mengajakku karena dia pernah memberitahu ku
jauh-jauh hari kalau ia sangat menyukai Dermaga. Biasanya, ia akan bersantai di
Kapalnya sendirian sambil mendengarkan music Rock. Aku tidak begitu menyukai
music Rock. Kau tahu, itu aliran keras. Dan aku tak seperti itu.
Nicola
masih mengerjap-ngerjapkan matanya seperti orang tak percaya. Well, mungkin
baru sekarang aku menolak permintaannya yang ketiga kali. Tapi apakah ia harus
terkejut seperti itu? Itu sungguh berlebihan.
“Tolong,
sekali ini saja,” ucapku merajuk. Kutautkan kedua alisku dan menatapnya dengan
tatapan memohon.
“Baiklah,
tidak apa-apa. Kali ini saja, kalau kau seperti ini ..Cari temanmu yang lain,”
balas Nicola ketus. Aku tersenyum dengan riang dan mengangguk-anggukkan
kepalaku. Ini adalah kesempatan berharga. Sangat berharga. Dan lalu aku
menghantarkan kakiku untuk keluar dari sekolah ini. Well, ini sudah siang dan
aku harus pulang. Kurasa Justin juga sudah pulang. Aku dan Justin sepakat untuk
tidak berdekatan di sekolah dan hanya bertemu di luar sekolah. Well, kemarin.
Kemarin adalah hari terbaik yang pernah kulalui. Dan yang tidak akan pernah
kulupakan dalam hidupku. Justin menyatakan cintainya padaku dan aku dan dia
resmi berpacaran. Dan ini adalah pertama kalinya aku berpacaran. Dan kuharap,
Justin adalah pertama dan terakhir. Aku yakin itu.
****
“Hm?”
tanya Justin sambil melingkarkan tangannya di leherku dari belakang. Kami sudah
berada di kapal, tapi kami berhenti beberapa km dari pesisir. Dan merasakan
angin laut yang begitu dingin dan bersuara. Aku suka angin laut. Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku saat Justin bertanya padaku, bagaimana jika hari
ini aku menginap di rumahnya. Aku tidak mau. Belum akhir pekan. Besok mungkin
bisa.
“Besok,”
ucapku dengan lembut. Mataku terus melihat ke daerah pesisir pantai dan melihat
para turis yang datang dan iri pada kapal Justin yang terlihat begitu bagus
dibanding milik mereka. Well, lagi pula, ia hanya turis. Aku membalikkan
tubuhku untuk melihat wajah Justin yang hampir beberapa menit ini aku tidak
lihat. Kau tahu, sangat disayangkan bila kita bisa bertemu dengannya tapi kita
tidak melihat wajahnya yang tampan dan suaranya yang lembut.
Kulihat
ia tersenyum dan mulai melingkarkan lengannya pada pinggangku sedangkan aku
melingkarkan tanganku pada lehernya. Dia tinggi sekali. Well, aku hampir sama
tinggi dengannya. Yang penting, kakiknya panjang.
“Apa?”
tanyaku bingung saat ia terkekeh sebentar dan lalu menggigit bibir bawahnya.
Sungguh menggoda. Astaga! Mengapa Tuhan menciptkan lelaki yang sungguh tampan
dan gentleman seperti Justin? Lelaki
ini sungguh langka. Tidak seperti lelaki yang lainnya. Maksudku, walau dia
labil tapi aku yakin dia labil karena kepribadiannya yang lain. Aku yakin
kepribadiannya yang lain adalah kepribadian masa kecilnya. Aku sangat tahu
Justin. Tiba-tiba bibirnya menyentuh bibirku membuatku tak dapat ajakan ciuman
ini. Aku tersenyum dan lalu menciumnya kembali. Ia mengisap bibirku dengan
lembut.
“Wow!
Si Cerdas dan Si Psikopat, pasangan yang sangat cocok,” ucap seseorang yang
membuatku dan Justin tersentak. Sontak aku dan Justin berhenti berciuman dan
melihat seseorang yang mengeluarkan suara tadi. Sial!
Kulihat
Niall sedang menaiki perahu kecil dari atas sini dan melihatnya sedang memakai
kaca mata hitam dengan baju berwarna merah muda dan celana pendek berwarna
putih. Bilabong. Ia tertawa-tawa
bagaikan orang gila. Perahunya tepat bersebelahan dengan kapal kami. Membuat
Justin melompat dari atas hingga ia berada di atas kapal Niall dan melihat
wajah Niall dengan penuh kekesalan. Ini tidak boleh terjadi. Justin tak boleh
menyakiti orang lain. Aku harus merubah Justin. Sungguh.
“Apa?”
tanya Justin menantang. Niall yang sok tahu itu malah berdiri dan memamerkan
dadanya yang sebenarnya aku tidak melihat bentuk dadanya dan tangannya pun tak
memiliki otot biseps seperti Justin .Astaga! Dia sungguh ingin mati kurasa. Kau
tahu, ia sebentar lagi meninggal. Apalagi ini laut. Justin bisa melakukan apa
saja di laut ini. Mungkin menenggelamkan Niall hingga Niall tak bernafas.
“Justin
jangan!” teriakku saat Justin mulai menarik baju Niall ke atas hingga kaki
Niall tak dapat menyentuh perahunya.
“Yeah,
jangan!” ujar Niall pengecut. Dia sungguh tidak tahu malu. Sudah tadi ia
menantang Justin, sekarang malah ia seperti orang ketakutan. Wajahnya pucat
sekali. Wajah Justin begitu dekat dengan wajah Niall dan tiba-tiba saja Justin
menyekik Niall dengan satu tangannya lagi.
“Justin!
Kalau kau benar-benar membunuhnya, aku akan melompat ke laut ini. Sungguh!”
jeritku dengan keras dan bersiap-siap untuk melompat ke laut ini. Kau tahu,
meski aku bisa berenang, aku tidak berani jika aku masuk ke dalam laut. Aku
tidak suka ikan. Aku benci ikan. Dan kurasa, Justin tahu itu. Langsung saja
Justin menghempaskan tubuh Niall ke perahu dengan kasar hingga perahu itu
bergoyang-goyang. Kau tahu, perahunya kecil.
“Ingat,
jika berita ini menyebar di sekolah. Darahmu akan segera mengalir! Ingat itu
sialan!” ujar Justin menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Jantungku berdetak lebih kencang dari pada biasanya.
***
Aku
dan Justin sedang berada di rumah Justin. Ini sudah malam tapi aku belum pulang
juga. Lagi pula, orangtuaku lagi pergi keluar kota. Mereka ingin pergi ke New
York dan akan pulang minggu depan. Kau tahu, ayahku adalah Professor dan ibuku
adalah penulis. Entah apa yang akan mereka lakukan di sana. Dan Will, kurasa ia
bisa lebih mandiri malam ini karena tidak ada makanan. Bagaimana pun juga, Mr.
Walton Junior harus bisa memasak. Ayahku bisa memasak meski tak seenak buatan
ibu. Aku sedang menunggu Justin yang sedang mengganti baju di kamarnya.
Sedangkan aku berada di ruang tamu dan menatapi keindahan lukisan di
langit-langit ruang tamu ini. Tiba-tiba saja kudengar pintu utama rumah ini.
Aku terkejut. Sangat. Dan lalu aku berdiri dan melihat siapa yang datang.
Seorang lelaki berambut cepak dengan kumis yang ia miliki dan membawa sebuah
tas kerja. Kurasa dia adalah ayah Justin. Astaga! Mereka mirip sekali. Mengapa
Justin sampai bisa bertengkar dengan ayahnya? Untung saja, tadi aku sudah
membersihkan rumah ini dengan Justin. Kau tahu, aku agak rajin di rumah.
Mungkin sangat, bukan agak. Ayah Justin berjalan ke arahku dan melihatku dari
bawah sampai atas. Entah apa yang sedang ia pikirkan, yang pasti tatapannya
sungguh menyeramkan.
“Hai,
Mr.Bieber,” sapaku dengan sopan. Aku berjalan ke arahnya dan berniat untuk
menjabat tangannya. Tapi ia malah bersikap dingin sekali padaku. Ia hanya terus
melihatku tubuhku dari bawah hingga atas dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku menarik tanganku untuk tidak menjabat tangannya. Kurang baik sekali.
Kemudian, ia berlalu dari hadapanku begitu saja, sangat kurang baik.
Dengan
waktu yang bertepatan, Justin turun dari tangga dan melihat ayahnya yang sedang
menaiki tangga dan lalu menatapku dengan tatapan Apa Yang Terjadi. Aku hanya
mengangkat kedua bahuku dan memberikan wajah Aku Tidak Tahu. Dan lalu, Justin
kembali berjalan menuju diriku.
“Apa
yang baru saja ia lakukan padamu?” tanya Justin berbisik. Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Tidak
ada,” jawabku dengan pelan. Justin hanya menganggukkan kepalanya dan
merangkulku untuk keluar dari rumah ini. Atau lebih tepatnya ke arah kolam yang
paling kubenci. Kurasa kalian sudah tahu mengapa.
“Justin,
aku tidak ingin ke kolam itu lagi. Jadi, apa bisa kita berbicara di ruang tamu
saja?” tanyaku dengan halus. Justin berhenti melangkah sehingga aku juga
berhenti melangkah. Ia melihatku dengan senyuman manisnya. Astaga! Manis
sekali. Jantungku berdetak lebih kencang dari pada biasanya dan menunduk agar
Justin tak melihat pipiku yang merona.
“Baiklah,
lebih baik di kamarku saja,” ucap Justin yang tiba-tiba saja menggendongku.
***
“Apa
ini Justin?” tanyaku saat aku melihat sebuah buku sekolah. Entahlah, buku
tahunan sekolah saat ia SD dan SMP. Kau tahu, aku baru kenal dengan Justin satu
tahun yang lalu. Justin yang sedang membuka ponselnya terlihat begitu terkejut
saat aku ingin membuka buku ini. Kulihat wajahnya begitu ketakutan. Ia merebut
buku itu dengan cepat dari tanganku dan langsung memasukkannya ke dalam laci
yang tadi kubuka dan menguncinya baik-baik.
“Aku
sungguh minta maaf, Amor. Tapi aku belum bisa memberitahu padamu apa yang baru
saja kau pegang tadi,” ucap Justin terlihat begitu halus dan tidak ingin
perasaanku. Aku mengerti. Itu bukan barangku dan itu barangnya. Seharusnya aku
tidak membuka-buka laci mejanya. Aku terlalu bosan di kamar ini karena dari tadi
Justin terlihat begitu serius dengan ponselnya.
“Justin,
kenapa aku tidak melihat foto-foto ibumu di rumah ini? Kau tahu, aku hanya bisa
melihat ayahmu dan fotomu dengan sepupumu, kurasa. Tapi mengapa ibumu tidak
ada?” tanyaku bingung. Justin yang tadinya sudah kembali serius dengan
ponselnya langsung terkekeh dan melihatku sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Kau
tahu, ibuku sudah meninggal. Seram bukan jika kau melihat foto orang yang
meninggal, dan tiba-tiba saja matanya bergerak saat kau sedang sendirian di
ruang tamu?” tanya Justin yang menakut-nakutiku. Aku mulai membayangkan
bagaimana jika itu memang benar terjadi. Aku yang terduduk di pinggir kasur
Justin langsung terdorong oleh tubuh Justin yang menindihku agar aku tertidur.
“Dan
ibuku, akan menghantuimu jika kau tertidur di kamar sebelahku. Kau tahu, itu
kamar bekas ibuku,” ucap Justin yang wajahnya benar-benar dekat dengan wajahku
dan tersenyum melihatku. Serius, itu tidak sama sekali seram. Kau tahu, itu
sangat mustahil jika gambar yang matanya dapat bergerak. Dan aku percaya ada
hantu, tapi hantu itu sering kali tak menampakan dirinya. Dan itu tidak sama
sekali seram. Tiba-tiba Justin meremas pinggangku yang ia pegang dengan lembut.
Bibirnya sebentar lagi bersentuhan dengan bibirku. Ia tersenyum. Sungguh, manis
sekali senyuman. Aku melihat matanya yang berwarna coklat keemasan itu bersinar
dengan indah dengan bulu mata yang lentik. Astaga, aku tidak akan pernah
berhenti mensyukuri akan apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadaku.
Keluarga, kecerdasan, dan tentunya, Justin. Aku sungguh berterima kasih akan
apa yang telah terjadi dalam hidupku sekarang.
Bibir
Justin mulai bersentuhan dengan bibirku dengan lembutnya. Seperti biasanya.
****
“Niall!”
teriak Nicola histeris. Entah mengapa temanku yang satu ini semakin gila.
Maksudku, ia berlebihan sekali. Kau tahu, Niall meninggal pagi ini. Aku tidak
tahu siapa pelakunya tapi yang pasti bukan kekasihku. Bukan Justin. Justin
tidak mungkin membunuh Niall. Aku sudah memberitahunya untuk merubah sikapnya
agar ia dapat menahan emosi.
“Kau
tahu, sebenarnya, aku sudah bosan dengan teriakan-teriakanmu yang aneh
menurutku. Seperti, saat Finn meninggal. Atau, Thomas. Mengapa kau begitu
histeris? Padahal kau sudah tahu kalau mereka meninggal, mengapa?” tanyaku
dengan bingung dengan tingkah.
“Eli,
Eli, Eli. Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi. Justin itu psikopat! Jika aku mengingat Justin, maka aku
akan berteriak histeris,” jelas Nicola tidak masuk akal. Sungguh. Aku serius.
Serius, aku ingin menyumpal mulut Nicola jika dia berteriak seperti tadi.
Oh
yeah, tentang Niall. Kau tahu, tadi pagi ia meninggal. Di rumahnya. Di belakang
rumahnya, lebih tepatnya. Katanya –menurut adik Niall- Niall sedang menemui
seseorang malam itu dan entah mengapa, tiba-tiba orang itu langsung saja
memutar kepala Niall 180 derajat hingga patah dan tak bernapas. Itu sungguh
menyeramkan. Dan pembunuh itu menempelkan sebuah kertas yang bertuliskan
–kurasa kau sudah tahu, Prancis dengan kata ‘Selamat Tinggal’ di atas mayat Niall.
Sunguh menyeramkan.
“Dan
kau tahu, Psikopat itu sungguh cerdas. Ia bisa kabur kapan saja tanpa
sepengetahuan kita. Dia sungguh pintar,” tambah Nicola memperjelas. Aku hanya
mengangguk-anggukkan kepalaku dan meneguk air putih yang tadi aku beli di kantin.
Kau tahu, aku sedang berada di taman. Pulang sekolah, seperti biasanya. Aku
melihat mata Nicola yang berwarna biru laut itu dengan rambut berwarna pirang
dan bibir tipis yang berwarna merah muda, membuatnya terlihat begitu cantik.
Tapi kali ini, tatapannya begitu mengartikan sesuatu. Tapi aku tidak tahu itu
apa. Kau tahu, kurasa ia curiga denganku tentang kemarin. Karena dengan
bodohnya, dari tadi aku melihati Justin yang sedang membaca Novel dengan kaca
mata yang ia pakai. Aku tidak tahu mengapa hari ini ia memakai kaca mata. Tapi,
jika dilihat, ia terlihat seperti orang pintar. Seperti, professor tapi membaca
buku Novel.
“Apa
hari ini kau punya waktu luang?” tanya Nicola yang membuatku terbangun dari
lamunanku. Astaga! Aku tidak bisa. Hari ini aku akan makan malam bersama
Justin. Jam 6 nanti. Aku tidak bisa. Sangat. Karena ini adalah acara makan
malam berdua –pertama bagiku. Sungguh. Kurasa kalian sudah tahu, karena baru
kali ini aku berpacaran.
“Tidak,
aku sungguh minta maaf. Aku mendapat tugas dari Mr. Arthur untuk mengerjakan
tentang sebuah puisi. Kau tahu, Mr. Arthur pencinta puisi,” ucapku dengan nada
yang dibuat cukup meyakinkan.
“Apa
kau yakin?” tanya Nicky yang sepertinya terlihat begitu tidak percaya dengan
perkataanku. Aku mengangguk dengan yakin dan melihat ke arah Justin yang
ternyata dari tadi ia melihatiku tapi dia langsung memalingkan kepalanya saat
aku melirik ke arahnya. Kau tahu, itu perjanjian kita. Tidak berbicara dan
tidak bertemu.
“Mengapa
kau tidak mengobrol atau dekat dengan Justin?” tanya Nicola yang terlihat
begitu curiga. Bahkan sangat curiga, kurasa. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku
dan mencoba untuk merangkai kata-kata yang cocok untuk kuungkapkan. Tidak
berlebihan tapi cukup meyakinkan.
“Seperti
yang telah kaukatakan kepadaku. Aku tidak boleh berdekatan dengan Justin. Dia
psikopat, seperti yang kaubilang,” ucapku mengangguk-anggukkan kepalaku. Ia
tersenyum dan memegang tanganku.
“Kau
memang sahabat yang sangat kusayang,” ucap Nicola tersenyum dengan manis.
Sangat manis malah.
***
Kau masih bersamanya! Kubilang jauhi dia!
Atau dia orang-orang di sekitarmu akan mati!. Aku terus melihat tulisan
yang terlihat begitu mengecam. Tapi aku tidak boleh menyepelekan masalah ini.
Aku sedang bersama Justin di dalam kamar Justin. Kau tahu, tadi aku pulang
sebentar untuk mengganti bajuku dan menemukan kertas ini (lagi) di dekat meja
belajarku. Justin mengambil kertas ini dan melihat-lihatnya.
“Aku
tidak tahu, tapi aku kenal tulisan ini,” ucap Justin yang terlihat
mengamat-amati tulisan ini. Tapi siapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar