Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Bieber is Psycopath Part 4








***

            Aku menatapi rintik-rintik hujan yang mulai turun. Aku melihatnya dari balik jendela kamarku dan menekukkan kedua lututku di samping jendela kamarku. Hari ini Nicola menginap di rumahku, tapi sekarang ia sedang sibuk mendengarkan lagu dan mengetik sesuatu. Aku tidak tahu dan aku tidak peduli. Mengingat perbuatan Justin yang baru saja kulihat tadi, saat sepulang sekolah. Ia meninju seorang lelaki pendek yang dulu pernah diintimidasi oleh Niall. Artie. Entahlah, mengapa Justin terlihat begitu galak dan jahat. Ia meninju Artie hingga wajah Artie berdarah-darah. Apa memang dia psikopat? Aku mungkin sekarang percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Menakutkan. Tapi aku ingin sekali tahu dengan keadaan dan apa yang terjadi dengan  Justin. Sungguh.

            Dan tiba-tiba saja kepribadiannya berubah saat beberapa orang menyuduti dan berusaha untuk memukulnya. Itu juga saat pulang sekolah. Saat Justin telah selesai dan puas memukul Artie. Dan ..Hhh, sekumpulan orang mengurubungi Justin dan menyuduti Justin. Tapi tiba-tiba saja suaranya berubah menjadi anak kecil. Membuat para Calon Pemukul itu tidak tahu bagaimana caranya mereka harus merubah sikap. Dan Justin selamat dengan begitu mudahnya. Ini sungguh masuk akal! Sangat. Ia teringat dengan masa lalunya, masalah ia dipukuli oleh ibunya dan disuduti oleh teman-teman semasa kecilnya sehingga memicu Justin untuk merubah kepribadiannya. Ini sungguh masuk akal.
            Air mataku turun begitu saja. Setelah apa yang telah terjadi dalam hidupku. Astaga, sungguh payah. Tapi hampir mirip dengan Harry Potter. Memiliki warna dalam kehidupan. Aku mulai teringat saat pertama kali aku bertemu dengan Justin, saat aku menyapanya dan dia tidak sama sekali memberikanku senyuman. Tapi setiap hari aku melakukan hal yang sama hingga ia membalas sapaanku. Dan, saat pertama aku berbicara dengannya. Ia tidak menceritakan apa pun padaku. Ia lebih banyak mendengar dari pada berbicara. Senyumannya yang membuatku hampir mati karena sangking manisnya. Dan, saat ia mulai berubah sikap lagi padaku. Saat ia berubah menjadi pendiam kembali selama 1 bulan. Dan aku berusaha untuk mendekatinya lagi. Dan berhasil. Ia mengajakku untuk datang ke rumahnya, dan berniat untuk mencari tahu tentang Justin lebih dalam, tapi aku malah bermesraan dengan Justin. Sungguh memang memalukan. Dan lalu, aku dan Justin mulai berdekatan. Tapi hanya ada satu kendala yang membuatku dan Justin berjauhan. Yaitu tentang pembunuhan itu. Semua orang menuduh Justin –dan sekarang aku mempercayainya. Nicola semakin membenci Justin. Sarah, Thomas dan terakhir Finn. Siapa yang terakhir? Mungkin aku.
Tiba-tiba kudengar suara deringan ponsel. Punyaku. Aku langsung beranjak dari dudukku dan mengambil ponselku yang kutaruh di atas meja belajarku, di atas buku tentang Psikopat. Dari Justin. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali dan berkata dalam hati kalau ini bukanlah mimpi. Kuangkat telepon dari Justin.
            “Datang ke rumahku, sekarang,” ucap Justin dengan tegas. Kutelan ludahku.



****

            Aku sungguh berani. Sangat berani bahkan. Karena, aku masuk ke dalam sebuah rumah dari seorang Psikopat. Dan tentunya, aku telah memberitahu orangtuaku kalau aku harus pergi ke rumah temanku –tanpa memberitahu mereka kalau aku ingin bertemu dengan Justin. Aku mengetuk pintu Justin dengan pelan. Dan aku menunggunya untuk beberapa detik. Malam ini sungguh mengerikan. Bulu kudukku merinding saat aku melihat kalau rumah ini sungguh besar dan rumah ini hanya diisi oleh 2 orang. Justin dan ayahnya. Apalagi, ibu Justin sudah meninggal. Astaga! Apa yang aku pikirkan?  Tidak, tidak. Tidak mungkin ibu Justin gentayangan. Tidak mungkin. Tiba-tiba pintu terbuka. Aku melihat Justin tidak memberikan senyuman padaku.
            “Masuk,” ucap Justin dengan dingin. Aku hanya menuruti permintaannya dan masuk ke dalam rumahnya untuk yang kedua kalinya. Kali ini lebih berantakan. Vas-vas bunga yang saat itu aku lihat sekarang sudah tidak ada –atau lebih tepatnya pecah dan pecahannya tak dibersihkan. Kurasa baru ada yang terjadi di rumah ini. Astaga, aku harus pulang. Ini sungguh menyeramkan. Aku membalikkan tubuhku dan berniat untuk pulang. Tapi aku terbentur dengan kepala Justin karena dia berada di belakangku. Aku meringis.
            “Amor, aku butuh dirimu. Sangat,” ucap Justin yang terdengar begitu labil. “Maaf dengan kejadian tadi pagi, aku sedang sangat marah. Sangat. Aku baru saja bertengkar dengan ayahku,” jelas Justin yang semakin memperjelas mengapa rumah ini hancur. Tapi apakah Vas Bunga juga harus ikut terkena pelampiasan kemarahan mereka? Sungguh, aku tidak kuat saat aku melihat Justin merengut. Seperti ingin menangis. Ia memegang kedua tanganku. Alisnya saling bertautan.
            “Amor, aku ingin jujur,” ucap Justin yang membuatku sedikit gugup. Ia menarik tanganku untuk pergi dari ruang tamu dan pergi ke kolam renang. Tempat yang paling menyeramkan diantara semuanya. Kau tahu, aku agak trauma dengan sikap Justin yang sedikit gila. Aku dan Justin berhenti melangkah, di dekat pinggiran kolam. Malam-malam. Hanya kami berdua saja yang berada di rumah ini. Ia kembali memegang kedua tanganku dan menatapku dalam-dalam.
            “Aku mencintaimu, Eleanor Walton,” ucap Justin yang membuat jantungku berdetak lebih kencang dari pada biasanya. “Aku tidak akan membiarkan orang lain menghinamu, atau mengejekmu, atau apa pun yang membuatmu merasa risih. Karena, bagiku kau sempurna,” ucap Justin dengan kata-kata yang membuatku merona. Apa dia sungguh-sungguh berkata seperti itu?
            “Aku bahkan rela mati untukmu,” tambah Justin yang membuatku semakin tersanjung. Ini kah yang namanya jatuh cinta? Aku tidak tahu mengapa jantungku berdetak lebih kencang jika aku bertemu dengan Justin, mengetahui Justin yang sebenarnya –meski ragu karena dia tak pernah mau membicarakan tentang pembunuhan, tapi setidaknya aku tahu ia senang dengan Novel, berenang, dan aku tahu kalau dia mencintaiku. Ia mengatakannya. Tak seperti Finn. Aku menelan ludahku dengan susah. Aku berpikir bahwa, apa kah ada untungnya jika aku mencintai Justin seperti yang ditanyakan oleh Nicola? Aku tidak tahu. Tapi yang kutahu adalah aku terlindungi dan dia mencintaiku. Mencintai, dicintai. Itu yang keperlukan. Tapi kepercayaan? Apa aku harus percaya dengan perkataan Justin jika aku bertanya tentang Pembunuhan? Aku tidak tahu.
            “Amor, aku tidak akan membunuhmu,” ucap Justin yang benar-benar membuatku tersentak setengah mati. Tidak akan. Berarti, apa dia yang telah membunuh Sarah, Thomas dan menjebak Finn? Aku tidak tahu. Semua memang masuk akal bila Justin yang mengatakan yang sejujurnya.
            “Amor, tolong jangan bicarakan tentang pembunuhan, aku tidak mau,” ucap Justin merengut. Aku tidak bisa melihat wajahnya seperti itu. Aku sungguh kasihan melihat wajahnya yang begitu memohon dan merengut. Dia terlalu tampan. Dan kau tahu, aku tidak tahan dengan lelaki tampan. Seperti Justin misalnya. Aku bisa mendengar suara air mancur yang berada di dekat kolam sedang mengucur dengan indahnya. Bintang malam menemani kami. Justin meremas tanganku dan menganggukkan kepalanya sekali.
            “Amor,” panggil Justin dengan lembut. Yang terlembut yang pernah kudengar. Sungguh. Ini sangat membahagiakan. Aku mencintai Justin? Kurasa. Aku rasa begitu. Sangat malah. Tidak mungkin aku membela-belakan untuk pergi ke sini padahal semua orang tahu –termasuk orang tuaku juga sudah tahu kalau Justin adalah Psikopat dan memiliki Kepribadian Ganda. Dan tidak mungkin aku terus menentang perkataan Nicola –meski Nicola sering menyuruhku untuk menjauhi Justin. Tapi aku tidak bisa. Seperti ada yang hilang dalam diriku. Aku mencintai Justin. Sangat.
            “Aku jug—“
           
            Bibirku sudah bertautan dengan bibir Justin yang terasa begitu lembut. Kupejamkan mataku untuk merasa kemesraan ini. Kulingkarkan tanganku pada leher Justin dan tiba-tiba saja Justin menggendongku hingga kakiku terlingkar pada pinggangnya dengan bibir yang masih bersatu. Bunyi cepakan ciuman kami begitu terasa. Aku mulai meremas rambut Justin dengan lembut. Tiba-tiba Justin sudah menyelesaikan ciuman ini. Keningku dan keningnya bersentuhan. Aku tersenyum malu-malu padanya dan menggigit bibirku yang basah.
            “Ternyata si Cerdas sangat ahli dalam berciuman, haha,” ucap Justin tertawa kecil dan kemudian Justin kembali memagut bibirku. Ini adalah malam yang sangat indah bagiku. Penuh dengan warna akan cinta. Mengalir seperti air sungai yang jernih. Di temani dengan bintang yang bertebaran di sana. Dengan perasaan yang telah terungkapkan. Perasaan cinta yang sejati. Rela mati bagiku, itu sungguh menakjubkan. Aku mencintaimu Justin.


****

            “Hah?” kaget Nicola saat aku bilang kalau hari ini aku tak bisa datang ke rumahnya karena aku mempunyai urusan lain. Well, sebenarnya aku berbohong untuk yang pertama kalinya pada Nicola. Karena, aku harus bertemu dengan Justin di rumahnya. Mungkin,  bukan di rumahnya. Tapi di Dermaga. Kau tahu, Minnesota. Justin mengajakku untuk berlayar. Aku sudah tahu ini. Justin pasti akan mengajakku karena dia pernah memberitahu ku jauh-jauh hari kalau ia sangat menyukai Dermaga. Biasanya, ia akan bersantai di Kapalnya sendirian sambil mendengarkan music Rock. Aku tidak begitu menyukai music Rock. Kau tahu, itu aliran keras. Dan aku tak seperti itu.   
            Nicola masih mengerjap-ngerjapkan matanya seperti orang tak percaya. Well, mungkin baru sekarang aku menolak permintaannya yang ketiga kali. Tapi apakah ia harus terkejut seperti itu? Itu sungguh berlebihan.
            “Tolong, sekali ini saja,” ucapku merajuk. Kutautkan kedua alisku dan menatapnya dengan tatapan memohon.
            “Baiklah, tidak apa-apa. Kali ini saja, kalau kau seperti ini ..Cari temanmu yang lain,” balas Nicola ketus. Aku tersenyum dengan riang dan mengangguk-anggukkan kepalaku. Ini adalah kesempatan berharga. Sangat berharga. Dan lalu aku menghantarkan kakiku untuk keluar dari sekolah ini. Well, ini sudah siang dan aku harus pulang. Kurasa Justin juga sudah pulang. Aku dan Justin sepakat untuk tidak berdekatan di sekolah dan hanya bertemu di luar sekolah. Well, kemarin. Kemarin adalah hari terbaik yang pernah kulalui. Dan yang tidak akan pernah kulupakan dalam hidupku. Justin menyatakan cintainya padaku dan aku dan dia resmi berpacaran. Dan ini adalah pertama kalinya aku berpacaran. Dan kuharap, Justin adalah pertama dan terakhir. Aku yakin itu.


****

            “Hm?” tanya Justin sambil melingkarkan tangannya di leherku dari belakang. Kami sudah berada di kapal, tapi kami berhenti beberapa km dari pesisir. Dan merasakan angin laut yang begitu dingin dan bersuara. Aku suka angin laut. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku saat Justin bertanya padaku, bagaimana jika hari ini aku menginap di rumahnya. Aku tidak mau. Belum akhir pekan. Besok mungkin bisa.
            “Besok,” ucapku dengan lembut. Mataku terus melihat ke daerah pesisir pantai dan melihat para turis yang datang dan iri pada kapal Justin yang terlihat begitu bagus dibanding milik mereka. Well, lagi pula, ia hanya turis. Aku membalikkan tubuhku untuk melihat wajah Justin yang hampir beberapa menit ini aku tidak lihat. Kau tahu, sangat disayangkan bila kita bisa bertemu dengannya tapi kita tidak melihat wajahnya yang tampan dan suaranya yang lembut.
            Kulihat ia tersenyum dan mulai melingkarkan lengannya pada pinggangku sedangkan aku melingkarkan tanganku pada lehernya. Dia tinggi sekali. Well, aku hampir sama tinggi dengannya. Yang penting, kakiknya panjang.
            “Apa?” tanyaku bingung saat ia terkekeh sebentar dan lalu menggigit bibir bawahnya. Sungguh menggoda. Astaga! Mengapa Tuhan menciptkan lelaki yang sungguh tampan dan gentleman seperti Justin? Lelaki ini sungguh langka. Tidak seperti lelaki yang lainnya. Maksudku, walau dia labil tapi aku yakin dia labil karena kepribadiannya yang lain. Aku yakin kepribadiannya yang lain adalah kepribadian masa kecilnya. Aku sangat tahu Justin. Tiba-tiba bibirnya menyentuh bibirku membuatku tak dapat ajakan ciuman ini. Aku tersenyum dan lalu menciumnya kembali. Ia mengisap bibirku dengan lembut.
            “Wow! Si Cerdas dan Si Psikopat, pasangan yang sangat cocok,” ucap seseorang yang membuatku dan Justin tersentak. Sontak aku dan Justin berhenti berciuman dan melihat seseorang yang mengeluarkan suara tadi. Sial!

            Kulihat Niall sedang menaiki perahu kecil dari atas sini dan melihatnya sedang memakai kaca mata hitam dengan baju berwarna merah muda dan celana pendek berwarna putih. Bilabong.  Ia tertawa-tawa bagaikan orang gila. Perahunya tepat bersebelahan dengan kapal kami. Membuat Justin melompat dari atas hingga ia berada di atas kapal Niall dan melihat wajah Niall dengan penuh kekesalan. Ini tidak boleh terjadi. Justin tak boleh menyakiti orang lain. Aku harus merubah Justin. Sungguh.
            “Apa?” tanya Justin menantang. Niall yang sok tahu itu malah berdiri dan memamerkan dadanya yang sebenarnya aku tidak melihat bentuk dadanya dan tangannya pun tak memiliki otot biseps seperti Justin .Astaga! Dia sungguh ingin mati kurasa. Kau tahu, ia sebentar lagi meninggal. Apalagi ini laut. Justin bisa melakukan apa saja di laut ini. Mungkin menenggelamkan Niall hingga Niall tak bernafas.
            “Justin jangan!” teriakku saat Justin mulai menarik baju Niall ke atas hingga kaki Niall tak dapat menyentuh perahunya.
            “Yeah, jangan!” ujar Niall pengecut. Dia sungguh tidak tahu malu. Sudah tadi ia menantang Justin, sekarang malah ia seperti orang ketakutan. Wajahnya pucat sekali. Wajah Justin begitu dekat dengan wajah Niall dan tiba-tiba saja Justin menyekik Niall dengan satu tangannya lagi.
            “Justin! Kalau kau benar-benar membunuhnya, aku akan melompat ke laut ini. Sungguh!” jeritku dengan keras dan bersiap-siap untuk melompat ke laut ini. Kau tahu, meski aku bisa berenang, aku tidak berani jika aku masuk ke dalam laut. Aku tidak suka ikan. Aku benci ikan. Dan kurasa, Justin tahu itu. Langsung saja Justin menghempaskan tubuh Niall ke perahu dengan kasar hingga perahu itu bergoyang-goyang. Kau tahu, perahunya kecil.
            “Ingat, jika berita ini menyebar di sekolah. Darahmu akan segera mengalir! Ingat itu sialan!” ujar Justin menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Jantungku berdetak lebih kencang dari pada biasanya.


***

            Aku dan Justin sedang berada di rumah Justin. Ini sudah malam tapi aku belum pulang juga. Lagi pula, orangtuaku lagi pergi keluar kota. Mereka ingin pergi ke New York dan akan pulang minggu depan. Kau tahu, ayahku adalah Professor dan ibuku adalah penulis. Entah apa yang akan mereka lakukan di sana. Dan Will, kurasa ia bisa lebih mandiri malam ini karena tidak ada makanan. Bagaimana pun juga, Mr. Walton Junior harus bisa memasak. Ayahku bisa memasak meski tak seenak buatan ibu. Aku sedang menunggu Justin yang sedang mengganti baju di kamarnya. Sedangkan aku berada di ruang tamu dan menatapi keindahan lukisan di langit-langit ruang tamu ini. Tiba-tiba saja kudengar pintu utama rumah ini. Aku terkejut. Sangat. Dan lalu aku berdiri dan melihat siapa yang datang. Seorang lelaki berambut cepak dengan kumis yang ia miliki dan membawa sebuah tas kerja. Kurasa dia adalah ayah Justin. Astaga! Mereka mirip sekali. Mengapa Justin sampai bisa bertengkar dengan ayahnya? Untung saja, tadi aku sudah membersihkan rumah ini dengan Justin. Kau tahu, aku agak rajin di rumah. Mungkin sangat, bukan agak. Ayah Justin berjalan ke arahku dan melihatku dari bawah sampai atas. Entah apa yang sedang ia pikirkan, yang pasti tatapannya sungguh menyeramkan.
            “Hai, Mr.Bieber,” sapaku dengan sopan. Aku berjalan ke arahnya dan berniat untuk menjabat tangannya. Tapi ia malah bersikap dingin sekali padaku. Ia hanya terus melihatku tubuhku dari bawah hingga atas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku menarik tanganku untuk tidak menjabat tangannya. Kurang baik sekali. Kemudian, ia berlalu dari hadapanku begitu saja, sangat kurang baik.
            Dengan waktu yang bertepatan, Justin turun dari tangga dan melihat ayahnya yang sedang menaiki tangga dan lalu menatapku dengan tatapan Apa Yang Terjadi. Aku hanya mengangkat kedua bahuku dan memberikan wajah Aku Tidak Tahu. Dan lalu, Justin kembali berjalan menuju diriku.
            “Apa yang baru saja ia lakukan padamu?” tanya Justin berbisik. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
            “Tidak ada,” jawabku dengan pelan. Justin hanya menganggukkan kepalanya dan merangkulku untuk keluar dari rumah ini. Atau lebih tepatnya ke arah kolam yang paling kubenci. Kurasa kalian sudah tahu mengapa.
            “Justin, aku tidak ingin ke kolam itu lagi. Jadi, apa bisa kita berbicara di ruang tamu saja?” tanyaku dengan halus. Justin berhenti melangkah sehingga aku juga berhenti melangkah. Ia melihatku dengan senyuman manisnya. Astaga! Manis sekali. Jantungku berdetak lebih kencang dari pada biasanya dan menunduk agar Justin tak melihat pipiku yang merona.
            “Baiklah, lebih baik di kamarku saja,” ucap Justin yang tiba-tiba saja menggendongku.


***

            “Apa ini Justin?” tanyaku saat aku melihat sebuah buku sekolah. Entahlah, buku tahunan sekolah saat ia SD dan SMP. Kau tahu, aku baru kenal dengan Justin satu tahun yang lalu. Justin yang sedang membuka ponselnya terlihat begitu terkejut saat aku ingin membuka buku ini. Kulihat wajahnya begitu ketakutan. Ia merebut buku itu dengan cepat dari tanganku dan langsung memasukkannya ke dalam laci yang tadi kubuka dan menguncinya baik-baik.
            “Aku sungguh minta maaf, Amor. Tapi aku belum bisa memberitahu padamu apa yang baru saja kau pegang tadi,” ucap Justin terlihat begitu halus dan tidak ingin perasaanku. Aku mengerti. Itu bukan barangku dan itu barangnya. Seharusnya aku tidak membuka-buka laci mejanya. Aku terlalu bosan di kamar ini karena dari tadi Justin terlihat begitu serius dengan ponselnya.
            “Justin, kenapa aku tidak melihat foto-foto ibumu di rumah ini? Kau tahu, aku hanya bisa melihat ayahmu dan fotomu dengan sepupumu, kurasa. Tapi mengapa ibumu tidak ada?” tanyaku bingung. Justin yang tadinya sudah kembali serius dengan ponselnya langsung terkekeh dan melihatku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Kau tahu, ibuku sudah meninggal. Seram bukan jika kau melihat foto orang yang meninggal, dan tiba-tiba saja matanya bergerak saat kau sedang sendirian di ruang tamu?” tanya Justin yang menakut-nakutiku. Aku mulai membayangkan bagaimana jika itu memang benar terjadi. Aku yang terduduk di pinggir kasur Justin langsung terdorong oleh tubuh Justin yang menindihku agar aku tertidur.
            “Dan ibuku, akan menghantuimu jika kau tertidur di kamar sebelahku. Kau tahu, itu kamar bekas ibuku,” ucap Justin yang wajahnya benar-benar dekat dengan wajahku dan tersenyum melihatku. Serius, itu tidak sama sekali seram. Kau tahu, itu sangat mustahil jika gambar yang matanya dapat bergerak. Dan aku percaya ada hantu, tapi hantu itu sering kali tak menampakan dirinya. Dan itu tidak sama sekali seram. Tiba-tiba Justin meremas pinggangku yang ia pegang dengan lembut. Bibirnya sebentar lagi bersentuhan dengan bibirku. Ia tersenyum. Sungguh, manis sekali senyuman. Aku melihat matanya yang berwarna coklat keemasan itu bersinar dengan indah dengan bulu mata yang lentik. Astaga, aku tidak akan pernah berhenti mensyukuri akan apa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadaku. Keluarga, kecerdasan, dan tentunya, Justin. Aku sungguh berterima kasih akan apa yang telah terjadi dalam hidupku sekarang.
            Bibir Justin mulai bersentuhan dengan bibirku dengan lembutnya. Seperti biasanya.


****

            “Niall!” teriak Nicola histeris. Entah mengapa temanku yang satu ini semakin gila. Maksudku, ia berlebihan sekali. Kau tahu, Niall meninggal pagi ini. Aku tidak tahu siapa pelakunya tapi yang pasti bukan kekasihku. Bukan Justin. Justin tidak mungkin membunuh Niall. Aku sudah memberitahunya untuk merubah sikapnya agar ia dapat menahan emosi.
            “Kau tahu, sebenarnya, aku sudah bosan dengan teriakan-teriakanmu yang aneh menurutku. Seperti, saat Finn meninggal. Atau, Thomas. Mengapa kau begitu histeris? Padahal kau sudah tahu kalau mereka meninggal, mengapa?” tanyaku dengan bingung dengan tingkah.
            “Eli, Eli, Eli. Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi. Justin itu  psikopat! Jika aku mengingat Justin, maka aku akan berteriak histeris,” jelas Nicola tidak masuk akal. Sungguh. Aku serius. Serius, aku ingin menyumpal mulut Nicola jika dia berteriak seperti tadi.
            Oh yeah, tentang Niall. Kau tahu, tadi pagi ia meninggal. Di rumahnya. Di belakang rumahnya, lebih tepatnya. Katanya –menurut adik Niall- Niall sedang menemui seseorang malam itu dan entah mengapa, tiba-tiba orang itu langsung saja memutar kepala Niall 180 derajat hingga patah dan tak bernapas. Itu sungguh menyeramkan. Dan pembunuh itu menempelkan sebuah kertas yang bertuliskan –kurasa kau sudah tahu, Prancis dengan kata ‘Selamat Tinggal’ di atas mayat Niall. Sunguh menyeramkan.
            “Dan kau tahu, Psikopat itu sungguh cerdas. Ia bisa kabur kapan saja tanpa sepengetahuan kita. Dia sungguh pintar,” tambah Nicola memperjelas. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku dan meneguk air putih yang tadi aku beli di kantin. Kau tahu, aku sedang berada di taman. Pulang sekolah, seperti biasanya. Aku melihat mata Nicola yang berwarna biru laut itu dengan rambut berwarna pirang dan bibir tipis yang berwarna merah muda, membuatnya terlihat begitu cantik. Tapi kali ini, tatapannya begitu mengartikan sesuatu. Tapi aku tidak tahu itu apa. Kau tahu, kurasa ia curiga denganku tentang kemarin. Karena dengan bodohnya, dari tadi aku melihati Justin yang sedang membaca Novel dengan kaca mata yang ia pakai. Aku tidak tahu mengapa hari ini ia memakai kaca mata. Tapi, jika dilihat, ia terlihat seperti orang pintar. Seperti, professor tapi membaca buku Novel.
            “Apa hari ini kau punya waktu luang?” tanya Nicola yang membuatku terbangun dari lamunanku. Astaga! Aku tidak bisa. Hari ini aku akan makan malam bersama Justin. Jam 6 nanti. Aku tidak bisa. Sangat. Karena ini adalah acara makan malam berdua –pertama bagiku. Sungguh. Kurasa kalian sudah tahu, karena baru kali ini aku berpacaran.
            “Tidak, aku sungguh minta maaf. Aku mendapat tugas dari Mr. Arthur untuk mengerjakan tentang sebuah puisi. Kau tahu, Mr. Arthur pencinta puisi,” ucapku dengan nada yang dibuat cukup meyakinkan.
            “Apa kau yakin?” tanya Nicky yang sepertinya terlihat begitu tidak percaya dengan perkataanku. Aku mengangguk dengan yakin dan melihat ke arah Justin yang ternyata dari tadi ia melihatiku tapi dia langsung memalingkan kepalanya saat aku melirik ke arahnya. Kau tahu, itu perjanjian kita. Tidak berbicara dan tidak bertemu.
            “Mengapa kau tidak mengobrol atau dekat dengan Justin?” tanya Nicola yang terlihat begitu curiga. Bahkan sangat curiga, kurasa. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan mencoba untuk merangkai kata-kata yang cocok untuk kuungkapkan. Tidak berlebihan tapi cukup meyakinkan.
            “Seperti yang telah kaukatakan kepadaku. Aku tidak boleh berdekatan dengan Justin. Dia psikopat, seperti yang kaubilang,” ucapku mengangguk-anggukkan kepalaku. Ia tersenyum dan memegang tanganku.
            “Kau memang sahabat yang sangat kusayang,” ucap Nicola tersenyum dengan manis. Sangat manis malah.


***

            Kau masih bersamanya! Kubilang jauhi dia! Atau dia orang-orang di sekitarmu akan mati!. Aku terus melihat tulisan yang terlihat begitu mengecam. Tapi aku tidak boleh menyepelekan masalah ini. Aku sedang bersama Justin di dalam kamar Justin. Kau tahu, tadi aku pulang sebentar untuk mengganti bajuku dan menemukan kertas ini (lagi) di dekat meja belajarku. Justin mengambil kertas ini dan melihat-lihatnya.
            “Aku tidak tahu, tapi aku kenal tulisan ini,” ucap Justin yang terlihat mengamat-amati tulisan ini. Tapi siapa?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar