***
“Thomas!”
seruku tak suka saat ia menggodaku. Ia terus mengelus-elus daguku dengan
lembut. Membuatku jijik padanya. Nicola sedang berada di toilet dan aku
menunggu di dekat deretan loker. Justin sudah pulang. Dan oh Astaga! Thomas!
Mengapa harus dia yang menemaniku? Dari tadi ia terus menggodaku. Sama seperti
Philip, si Mata Keranjang itu. Dia juga suka sekali menggodaku. Tapi itu dulu
saat ia belum memiliki kekasih, sekarang Philip sudah mempunyai kekasih.
“Oh
ayolah, aku tahu kau menyukainya,” ucap Thomas merengut tapi menggoda. Ish! Ia
bahkan tidak tampan. Maksudku, lumayan tampan. Kulihat Quimby lewat. Dia
perempuan yang berteman dengan Sarah. Atau lebih tepatnya Almarhum Sarah
McCann.
“Nah,
dia saja yang kau goda. Dia bahkan lebih cantik dan seksi,” ucapku menarik
tangan Quimby. Thomas menggeleng-gelengkan kepalanya dan langsung saja
mendorong tubuh Quimby untuk menjauh dari kami. Quimby hanya mendengus kesal
dan menggerutu.
“Tidak,
kau jauh lebih seksi Mrs. Walton. Ayo, di rumahku. Hanya bercumbu,” ucapnya
yang membuatku jijik. Aku mendorong tubuhnya. Dan lalu tiba-tiba saja Nicola
muncul dan terkejut melihat pemandangan ini.
“Astaga!
Eli, jangan bilang kau baru saja berciuman dengannya,” ucap Nicky jijik. Aku
menggelengkan kepalaku dan langsung menarik tangan Nicky.
“Aku
bahkan lebih memilih Justin yang menciumku,” gumamku sambil meninggalkan
Thomas. Ish! Aku benci Thomas.
***
“Apa
tadi siang kau baru saja digoda oleh Thomas?” tanya Justin dalam telepon. Dia
menghubungiku. Bagaimana ia bisa tahu itu? Aku pikir ia sudah pulang. Ini
sungguh mengerikan. Aku menelan ludahku dengan susah. Apa selama ini Justin
tidak pulang dan ia hanya berbohong padaku agar aku tidak merasa kalau ia ada
di sekolah dan membuntutiku? Oh imajinasiku tinggi juga. Itu tidak mungkin. Aku
terlalu percaya diri.
“Ehm,
yeah. Apa kita bisa tidak membicarakan soal itu? Itu sungguh menjijikkan,”
ucapku dengan pelan. Justin menghela nafasnya. Kudengar teriakkan dari seorang
bapak-bapak yang memanggilnya.
“Aku
harus pergi, besok aku akan menemuimu,” ucap Justin padaku. Aku hanya
menganggukkan kepalaku dan menutup telepon ini.
Kutatapi
langit-langit kamarku. Dan berpikir, mengapa Justin begitu perhatian denganku?
Maksudku, aku tahu Justin. Dan kurasa, Justin sudah mengetahuiku lebih dalam.
Justin tidak menyukai sajak, atau pun olahraga. Ia menyukai Novel. Finn, tidak
menyukai Novel tapi ia menyukai olahraga. Dan Finn orang yang tidak bisa diajak
berbicara karena dia membosankan. Ia selalu membicarakan tentang olahraga. Justin
lebih menyenangkan dibandingkan dengan Finn meski ia pendiam. Aku menyukai
lelaki yang pendiam namun perhatian. Ia tak banyak bicara tapi ia tidak
membosankan. Aku tidak tahu dengan perasaanku sekarang.
****
“Eleanor
Walton! Astaga Tuhan! Thomas meninggal!” seru Nicola saat aku mengangkat
telepon rumah. Aku yang baru saja ingin sarapan pagi langsung mengangkatnya dan
terkejut setengah mati dengan berita ini. Aku sungguh tidak percaya. Thomas
Anderson meninggal? Aku harap berita ini tidak ada sangkut pautnya dengan
Justin. Aku tidak bernafas untuk beberapa detik yang lalu.
“Kau
bercanda,” ucapku terkekeh. Kudengar Nicola mendecak kesal.
“Aku
tidak berbohong, ingat saat kau digoda oleh Thomas kemarin? Kurasa Justin
pelakunya!” seru Nicola dengan nada yang begitu meyakinkan. Aku langsung
menutup telepon ini dan berusaha untuk bernafas dengan tenang. Apa Justin
cemburu karena Thomas menggodaku? Tapi Justin tidak mungkin melihatnya. Dan
percakapan tadi malam? Aku tidak tahu mengapa Justin bisa tahu kalau Thomas
menggodaku. Aku ingin sekali mati sekarang. Apa benar Justin pembunuh? Aku
harus percaya pada Justin atau pada Nicola?
---
“Justin?”
panggilku saat aku masuk ke dalam kelas dan menemukan Justin duduk sendirian di
sudut kelas. Hari ini ia datang begitu cepat. Tidak seperti kemarin, ia
terlambat datang. Ia melihatku tanpa senyuman.
“Jangan
tanya tentang Thomas, aku bukan pembunuhnya,” ucap Justin dengan cepat. DEG!
Aku memang cerdas, biasanya orang yang langsung merespon seperti adalah pembunuh.
Karena ia takut ketahuan. Maksudku, kau lihat tingkahnya kemarin? Ia terus
meyakinkanku kalau ia bukan orang yang membunuh Sarah. Dan sekarang? Tersirat
dari air wajahnya kalau ia sedang ketakutan.
“Kumohon,”
ucap Justin merajuk, tapi dengan suara anak kecil?
***
Aku
hanya dapat menganga dan menjauh dari Justin. Aku tidak tahu apa ini adalah
jalan yang benar atau salah. Karena yang kutahu, Justin memiliki kepribadian
ganda. Aku ingin sekali mendekatinya, tapi saat aku memberitahu Nicola kalau
Justin memiliki kepribadian ganda, ia tidak memperbolehkanku untuk mendekati
Justin. Menyapa saja tidak. Atau tidak, Nicola akan menjauhiku. Bukan karena
aku tidak memiliki banyak teman, tapi satu-satunya orang yang peduli denganku
hanyalah Nicola. Hanya Nicola. Aku sungguh terkejut dengan rajukan Justin yang
dengan bersuara seperti anak kecil. Menurut temanku yang mendengar Justin
bersuara seperti itu –yang baru saja datang setelahku –saat aku datang ke
sekolah tadi pagi –ia bilang kalau itu adalah suara anak kecil Justin. Katanya,
Justin sering dipukuli oleh ibunya. Maka dari itu Justin membunuh ibunya saat
ia berumur 14 tahun. Aku tidak percaya. Maksudku, aku tidak sama sekali
percaya. Tapi semua orang meyakinkanku. Semua orang bilang kalau Justin adalah
pembunuh dari Sarah dan Thomas. Aku sungguh bingung. Tapi memang terdengar
masuk akal, jika Justin yang membunuh ibunya. Tapi Sarah dan Thomas? Aku tidak
begitu yakin. Meski Justin sudah dicap dengan julukan Si Psikopat Sekolah. Aku
masih tidak percaya.
Aku
hanya dapat melihat Justin yang juga sudah menjauhiku –di bawah daun-daun dan
ranting-ranting dari pohon yang begitu besar sambil membaca sebuah Novel yang
pernah ia bawa. Sedangkan aku sedang duduk
bersantai dengan Nicola dan tertawa-tawa akan lelucon dari Finn yang
juga ikut bergabung denganku dan Nicola 10 menit yang lalu. Tapi dari semua
lelucon Finn yang ia berikan, aku tidak tertawa. Aku tak bisa tertawa diatas
penderitaan Justin. Ia sedang kesepia dan butuh teman. Aku mengambil kaca mata
yang kusimpan di dalam tas. Yeah, aku juga memakai kaca mata untuk membaca. Kau
tahu, aku rajin sekali membaca. Dan buku yang sekarang ini kubaca adalah buku
yang berhubungan dengan Psikopat atau Kepribadian Ganda. Aku yakin pasti ditoko
buku ada.
“Kau
kenapa, Eli?” tanya Nicola yang tampaknya melihat keraguanku atas apa yang
telah terjadi hari ini. Mulai dari Thomas, Justin berkepribadian ganda, hingga
aku harus menjauhi Justin.
“Tidak,
tidak apa-apa,” ucapku membuka buku tebal yang sudah berada di depanku. Ini
buku Sejarah. Buku tentang The Arthurian. Entahlah, buku ini kurasa menarik.
Meski harus tebal. Tapi aku agak menyukainya. Untung saja bukan Mr.Gatch yang
mengajar tentang Sejarah. Tapi Mr. Luther. Entahlah, mengapa orangtuanya
menamainya Luther. Kurasa terinspirasi dari King Luther.
Aku
mulai membaca buku ini dengang saksama. Aku ingin sekali melupakan kejadian
hari ini. Dan aku anggap, hari ini tidak terjadi apa-apa.
***
“Amor!
Amor! Tunggu dulu,” ucap Justin yang mencoba untuk menghentikanku pergi pulang
dari sekolah ini. Aku pulang sendiri. Aku ingin sekali menampar Nicola saat
Finn mengajaknya pulang bersama. Dan dengan bodohnya, aku menolak tawaran itu
karena aku sedang asyik membaca buku tadi. Dan sekarang, tanganku begitu
gemetar saat Justin menyentuhnya. Apa yang akan ia lakukan padaku? Membunuhku
di tempat yang sepi seperti ini? Sungguh, ini sangat sepi sekali.
*Justin POV*
Aku
tidak mengerti mengapa setiap orang selalu saja menyalahkanku. Aku tidak
mengerti. Aku selalu dituduh yang tidak-tidak. Bukan aku pembunuh Sarah atau
Thomas! Aku bersumpah! Meski aku benci sekali dengan Sarah dan Thomas karena
telah mengganggu Amor –Eleanor-ku lebih
tepatnya. Aku ingin sekali Amor menjadi milikku. Ingin, tapi aku tidak berani.
Benny, sahabatku, melarangku untuk menjadikan Amor –pacar. Karena, menurutnya,
Amor sedang mencoba untuk mempengaruhiku agar berteman dengan Finn atau Nicola,
sahabat Amor. Aku hanya percaya pada Benny. Benny selalu ikut denganku, ke mana
saja. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi denganku tadi malam.
“Amor,
apa kau bisa menemaniku malam ini di rumah?” tanyaku merajuk. Eleanor langsung
menggeleng-gelengkan tangannya dan menarik tangannya agar lepas dari genggaman
tanganku. Tersirat diwajahnya kalau ia sungguh ketakutan.
Kuhelakan
nafasku. Merelakan kepergiannya. Meski sebenarnya, hari ini aku tidak memiliki
teman di rumah selain dengan Benny. Kau tahu, Benny itu adalah sahabatku dari
kecil. Ia tahu yang benar. Kurasa begitu. Kulihat Benny yang memakai baju yang
sudah kucel itu menggigit-gigit sebuah tusuk gigi dan tersenyum ke arahku. Ia
sedang bersandar di dekat pohon yang kusandari tadi.
“Justin,
bukan kau pelakunya! Jauhi Amor! Dia bukan temanmu lagi! Dia percaya kalau kau
yang membunuh Sarah dan Thomas! Lihat aku! Aku tidak percaya kalau kau membunuh
Sarah dan Thomas,” ucap Benny padaku. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Dan
percaya akan perkataan Benny. Betul, kurasa Amor sudah percaya dengan perkataan
orang sekitar. Kurasa aku harus menjauhinya. Yeah, aku harus.
***
*Eleanor POV*
Jauhi dia, atau sahabatmu akan mati! ,
Aku terus mengamat-amati kertas yang bertuliskan terror padaku. Aku
mendapatkannya di lampu meja belajarku. Tertempel begitu saja saat aku keluar
dari kamar mandi. Padahal, sebelumnya aku tidak melihat kertas ini tertempel.
Atau ini hanya buatan Will? Tapi tulisan ini bukan tulisan Will. Tapi ia bisa
mengarangnya. Tapi tidak! Aku mengunci kamarku. Lalu siapa? Ini sungguh
menyeramkan. Aku terus melihat tulisan ini dan mencoba untuk mencari tahu siapa
yang memiliki tulisan ini.
Aku
mengambil buku harianku dan menyelipkannya di antara banyaknya kertas. Aku
harap, ini hanya candaan. Aku tak ingin kehilangan Nicola atau pun Finn, lelaki
yang tampan –yang sempat aku sukai.
***
Kuhantarkan
kakiku untuk masuk ke dalam kelas. Aku harap Justin belum datang. Tapi aku
salah. Aku melihat Justin yang sedang menunduk dikursi paling sudut dan
langsung mendongak saat ia melihatku. Ia langsung melihatku dengan tatapan
terkejut. Seperti melihat hantu saja.
“Benny!
Jangan!” teriak Justin layaknya orang gila. Aku menarik nafasku dan lalu
berhenti bernafas. Kenapa harus Benny ? Aku yakin kalau Benny hanyalah sebagian
dari imajinasi Justin! Aku yakin itu. Kemarin aku telah membaca buku tentang
Kepribadian Ganda. Katanya, orang berkepribadian ganda itu akibat dari trauma
atau imajinasinya yang sangat tinggi tapi tidak bisa dicapai sehingga mereka
membuat kepribadian yang lain agar dapat mencapai imajinasinya. Atau kalau aku
bisa simpulkan ..Gila. Aku belum melangkah. Aku belum melangkah.
“Masuklah,
kau sudah aman,” ucap Justin padaku. Aku langsung menghelakan nafas dan
melangkahkan kakiku.
Aku
tidak ingin berbicara dengan Justin. Nicola akan segera datang. Aku yakin itu.
Tapi tiba-tiba saja Justin berjalan ke arahku dan menghalangiku untuk duduk di
baris kedua dari belakang. Wajahnya sungguh dekat dengan wajahku.
“Aku
minta maaf soal kemarin,” ucapku dengan pelan. Tiba-tiba Justin tidak
melihatku. Ia melihat seseorang di belakangku. Aku berbalik dan tidak menemui siapa-siapa.
Kurasa itu khayalan Justin. Dia menghelakan nafas dan menatapku.
“Tidak
apa-apa, itu bukan salahmu. Lagi pula, aku tak bisa memaksa,” ucap Justin
tersenyum dengan manis. Manis sekali. Ia memegang leherku dan berniat untuk
menciumku. Aku tak bisa menolak ini. Ia terlalu manis dan kurasa enak jika ia
kucium.
“AAAAAA!”
jerit seorang perempuan begitu terdengar sampai telingaku dan Justin, aku tidak
jadi dicium oleh Justin. Sungguh ..menyebalkan. Aku dan Justin tersentak dan
berlari untuk keluar dari kelas ini.
***
Aku
memejamkan mata sambil mengeluarkan air mataku. Sungguh, aku tidak kuat melihat
ini. Finn meninggal. Aku tidak tahu siapa pelakunya. Aku melihat ia sudah
tergeletak dengan darah yang tercecer di dekat lokernya dengan seorang
perempuan yang bernama Quimby. Teman dari Alrm. Sarah. Astaga! Tapi aku ragu
jika Quimby yang melakukannya. Karena ia tidak memegang benda tajam. Tapi ia
disalahkan oleh pihak sekolah dengan orangtua Finn agar Quimby dipenjarakan.
Tapi, apakah pembunuhan ini ada sangkut-pautnya dengan kertas kemarin?
Justin
juga datang ke pemakaman ini untuk menemaniku. Kemarin, setelah kejadian
pembunuhan Finn terjadi, aku sudah yakin kalau Justin bukanlah dalang dari
semua pembunuhan ini. Aku yakin. Aku sungguh yakin. Semua kerabat terdekat Finn
datang dengan baju berwarna gelap, orangtua Finn menangis tersengguk-sengguk
–apalagi ibu Finn. Ia histeris. Tiba-tiba saja Nicola menarik tanganku untuk
menjauh dari sekumpulan orang yang berduka. Aku meninggalkan Justin. Justin
mengerti sambil menatapku dan menganggukkan kepalanya.
Aku
dan Nicola berdiri di dekat sebuah pemakaman oranglain. Dan melihat Nicola yang
terlihat begitu marah denganku. Aku tidak tahu apa yang ia maksud.
“Aku
yakin! Pasti Justin pelakunya!” gertak Nicola terlihat begitu benci dari
Justin. Aku menghela nafasku dan menghapus air mataku.
“Aku
sudah bilang padamu Nicky! Justin ada bersamaku! Dan Quimby adalah orang yang
melihat Finn pertama kali di loker itu dan setelah itu akan datang ke sana saat
Quimby berteriak! Apa kau bisa percaya padaku sekali saja, Nicky? Mengapa kau
selalu berprasangka buruk terhadap Justin?” tanyaku muak dengan Nicky. Ini
sunggh keterlaluan! Sungguh.
“Lalu
siapa yang menerormu?” tanya Nicola yang membuatku tersentak. Aku sendiri tak
tahu itu punya siapa. Aku terdiam sejenak.
“Its
happening,” tambah Nicola dengan suara yang melemah.
***
“Jadi,
apa yang terjadi?” tanyaku pada teman ibuku yang bernama Lily, ia Dr.
Psikiater. Dia sangat terkenal di Bloomington, Minnesota. Tempat di mana aku
tinggal sekarang. Amerika Bagian Utara. Ia yang memakai kaca mataku hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti ibu-ibu yang berumur 40 lebih biasanya.
Sedikit agak lambat bereaksi tapi dari lambatnya itu, mereka sebenarnya sedang
berpikir dengan baik-baik. Kemudian, ia mengerjap-ngerjap matanya padaku.
“Aku
sungguh yakin, sangat yakin,” ucap Mrs. Martine , “Benny, bukanlah hantu,”
tambahnya menjelaskan. Aku mengedipkan mataku dan berharap kalau itu memang
benar. Aku bertanya tentang keadaan Justin. Meski aku tidak begitu yakin dengan
ucapanku dan ceritaku pada Mrs. Martine. Kau tahu, aku orangnya tak mudah
percaya jika bukan pada orangnya langsung. Seperti Justin atau Mrs. Martine
yang sudah dan sering sekali menangani orang gila.
“Itu
adalah trauma yang dialami Justin, seperti yang tadi kaubilang. Ia sering
dipukuli oleh ibunya dan disudutkan oleh teman-teman sekitarnya,” ucapnya. Aku
hanya menganggukkan kepalaku. Mrs. Martine membaca buku catatan yang ia pegang
dan lalu mendongak dan melihat ke arahku. Ia melepaskan kaca matanya dengan
tangan kanannya. Dan tersenyum padaku, dalam maksud tertentu –yang aku sendiri
tak tahu apa yang dia maksud.
“Itu
artinya, selama ini. Justin memiliki kepribadian ganda, sayang. Kau tahu, dia
juga psikopat. Ia selalu merasa dirinya yang paling benar dan yang paling
special,” lanjutnya yang semakin membuatku mengerti.
Jadi
benar. Selama ini Justin. Justin adalah psikopat dan memiliki kepribadian
ganda. Aku bahkan sudah berbicara kepada sang ahlinya. Tapi aku kurang yakin
jika bukan Justin sendiri yang bercerita. Siapa tahu, orang-orang disekitarku
hanya mengarang cerita yang terdengar masuk akal? Shit! Mengapa aku selalu
bimbang? Mengapa aku selalu merumitkan setiap masalah? Masalahnya adalah aku
tidak akan percaya jika bukan Justin yang berbicara dan mengakunya dengan
sendiri di depanku dan aku yang dengar. Aku hanya menganggukkan kepalaku,
antara percaya dan tidak percaya. Sungguh, ini benar-benar tidak dapat
kumengerti.
***
“Justin,
kau kenapa?” tanyaku saat aku berusaha untuk mendekatinya. Pagi ini dia
terlihat begitu sombong. Tak seperti biasanya dan lebih pendiam. Justin
melihatku dari bawah hingga atas. Tiba-tiba saja ia mendorong tubuhku pada
loker hingga sekarang aku terhimpit tubuhnya dan loker. Kenapa dia? Dia melihatku
dengan wajah yang penuh dengan rasa kebencian. Aku tidak mengerti. Ini bukan
Justin yang kukenal. Apakah Benny adalah hantu yang sesungguhnya? Maksudku,
Mrs. Martine bilang bahwa Bennya adalah khayalan Justin. Tapi apa itu benar?
Kurasa.
“Kau.
Jangan pernah. Jangan pernah mendekatiku lagi, ingat itu,” ucap Justin
menekankan setiap kata yang ia ucapkan. *BRAK* Ia langsung meninju loker yang
berada di sebelah kananku. Atau lebih tepatnya, di samping kepalaku. Aku
memejamkan mataku. Justin melepaskan cengkraman tangannya pada lenganku dan
melengos pergi. Aku melihat loker yang berada di sebelah, penyok. Gila! Justin
kuat sekali. Kulihat Justin berjalan menjauhiku dengan kepala yang menunduk.
----
“Kau
tolol!” jerit Quimby di depan mataku. Tepat di depan wajahku. Nafasnya menerpa
wajahku dengan wangi harum mint. Aku baru saja keluar dari toilet dan di depan
mataku sudah muncul Quimby bersama teman-temannya yang lain. Oh, ternyata dia
tidak dikeluarkan oleh sekolah.
“Kenapa?”
tanyaku bodoh. Oh, Tuhan! Mengapa guru-guru di sekolahku bilang kalau aku
cerdas? Tapi pada kenyataannya, aku bodoh sama sekali. Sungguh.
“Kau
tak tahu apa? Temanmu Justin! Dia yang menjebak Finn! Sialan. Apa kau tidak
lihat loker Finn terbuka? Kau tahu, dia memasang sesuatu yang aku tidak tahu
apa namanya, intinya ia benda itu memiliki per! Dan kau tahu, di benda itu
terpasang pisau! Sungguh, aku tidak tahu mengapa kau bisa berteman dengan
Justin dan dia tidak membunuhmu. Aku sungguh selamat. Sangat selamat setelah
memang benar apa yang telah kukatakan. Karena, bukti barang yang kulihat
sebelumnya itu tiba-tiba saja menghilang entah ke mana. Dan ternyata, dengan
pintarnya, Mr. Freak Bieber itu menyimpannya
di loker lain setelah pihak sekolah melakukan penggeledahan saat kau dan
teman-temanmu berduka akan meninggalnya Finn, dan kau tahu, disetiap pembunuhan
dari anak sekolah di sekolah ini, pasti ada secarik kertas yang bertuliskan
‘Goodbye’ dengan tulisan Prancis. Oh Tuhan! Mengapa kau bisa disebut dengan si
Cerdas? Hah?! Padahal otakmu lebih kecil dari pada kacang!” ucap Quimby panjang
lebar. Aku sempat ternganga dengan perkataannya itu. Maksudku, benda? Benda
yang memiliki per. Jadi, jika Finn membuka lokernya, maka ia akan terbunuh
karena per itu menunjuk ke arah Finn sehingga pisau yang dipasang pada per
tersebut?! Oh yeah, cukup masuk akal. Tapi apa dia bisa meyakinkan kalau Justin
yang melakukannya?
Oh
yeah, masuk akal. Akan semua yang telah terjadi. Masuk akal sekali. Setelah apa
yang telah terjadi. Kau tahu, beberapa hari yang lalu, aku membaca Novel yang
Justin beli. Well, seperti yang aku bilang kalau aku ingin membaca buku yang
bersangkutan dengan Psikopat. Dan tentang pembicaraan Mrs. Martine kemarin sore
denganku. Bahwa, biasanya Psikopat akan selalu merasa paling benar dan special.
Justin selalu merasa dirinya paling benar. Ia selalu meyakinkan kalau dia
bukanlah pembunuhnya. Dan kurasa ia merasa selalu dirinya benar. Apa memang
Justin pembunuhnya? Dan sikapnya hari ini begitu aneh. Apa mungkin ia sedang
berada di Kepribadiannya yang lain? Astaga! Mengapa ini terasa begitu sulit dan
membingungkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar