Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Bieber is Psycopath Part 3

***

            “Thomas!” seruku tak suka saat ia menggodaku. Ia terus mengelus-elus daguku dengan lembut. Membuatku jijik padanya. Nicola sedang berada di toilet dan aku menunggu di dekat deretan loker. Justin sudah pulang. Dan oh Astaga! Thomas! Mengapa harus dia yang menemaniku? Dari tadi ia terus menggodaku. Sama seperti Philip, si Mata Keranjang itu. Dia juga suka sekali menggodaku. Tapi itu dulu saat ia belum memiliki kekasih, sekarang Philip sudah mempunyai kekasih.
            “Oh ayolah, aku tahu kau menyukainya,” ucap Thomas merengut tapi menggoda. Ish! Ia bahkan tidak tampan. Maksudku, lumayan tampan. Kulihat Quimby lewat. Dia perempuan yang berteman dengan Sarah. Atau lebih tepatnya Almarhum Sarah McCann.
            “Nah, dia saja yang kau goda. Dia bahkan lebih cantik dan seksi,” ucapku menarik tangan Quimby. Thomas menggeleng-gelengkan kepalanya dan langsung saja mendorong tubuh Quimby untuk menjauh dari kami. Quimby hanya mendengus kesal dan menggerutu.
            “Tidak, kau jauh lebih seksi Mrs. Walton. Ayo, di rumahku. Hanya bercumbu,” ucapnya yang membuatku jijik. Aku mendorong tubuhnya. Dan lalu tiba-tiba saja Nicola muncul dan terkejut melihat pemandangan ini.
            “Astaga! Eli, jangan bilang kau baru saja berciuman dengannya,” ucap Nicky jijik. Aku menggelengkan kepalaku dan langsung menarik tangan Nicky.
            “Aku bahkan lebih memilih Justin yang menciumku,” gumamku sambil meninggalkan Thomas. Ish! Aku benci Thomas.


***

            “Apa tadi siang kau baru saja digoda oleh Thomas?” tanya Justin dalam telepon. Dia menghubungiku. Bagaimana ia bisa tahu itu? Aku pikir ia sudah pulang. Ini sungguh mengerikan. Aku menelan ludahku dengan susah. Apa selama ini Justin tidak pulang dan ia hanya berbohong padaku agar aku tidak merasa kalau ia ada di sekolah dan membuntutiku? Oh imajinasiku tinggi juga. Itu tidak mungkin. Aku terlalu percaya diri.
            “Ehm, yeah. Apa kita bisa tidak membicarakan soal itu? Itu sungguh menjijikkan,” ucapku dengan pelan. Justin menghela nafasnya. Kudengar teriakkan dari seorang bapak-bapak yang memanggilnya.
            “Aku harus pergi, besok aku akan menemuimu,” ucap Justin padaku. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan menutup telepon ini.

            Kutatapi langit-langit kamarku. Dan berpikir, mengapa Justin begitu perhatian denganku? Maksudku, aku tahu Justin. Dan kurasa, Justin sudah mengetahuiku lebih dalam. Justin tidak menyukai sajak, atau pun olahraga. Ia menyukai Novel. Finn, tidak menyukai Novel tapi ia menyukai olahraga. Dan Finn orang yang tidak bisa diajak berbicara karena dia membosankan. Ia selalu membicarakan tentang olahraga. Justin lebih menyenangkan dibandingkan dengan Finn meski ia pendiam. Aku menyukai lelaki yang pendiam namun perhatian. Ia tak banyak bicara tapi ia tidak membosankan. Aku tidak tahu dengan perasaanku sekarang.


****

            “Eleanor Walton! Astaga Tuhan! Thomas meninggal!” seru Nicola saat aku mengangkat telepon rumah. Aku yang baru saja ingin sarapan pagi langsung mengangkatnya dan terkejut setengah mati dengan berita ini. Aku sungguh tidak percaya. Thomas Anderson meninggal? Aku harap berita ini tidak ada sangkut pautnya dengan Justin. Aku tidak bernafas untuk beberapa detik yang lalu.
            “Kau bercanda,” ucapku terkekeh. Kudengar Nicola mendecak kesal.
            “Aku tidak berbohong, ingat saat kau digoda oleh Thomas kemarin? Kurasa Justin pelakunya!” seru Nicola dengan nada yang begitu meyakinkan. Aku langsung menutup telepon ini dan berusaha untuk bernafas dengan tenang. Apa Justin cemburu karena Thomas menggodaku? Tapi Justin tidak mungkin melihatnya. Dan percakapan tadi malam? Aku tidak tahu mengapa Justin bisa tahu kalau Thomas menggodaku. Aku ingin sekali mati sekarang. Apa benar Justin pembunuh? Aku harus percaya pada Justin atau pada Nicola?


---

            “Justin?” panggilku saat aku masuk ke dalam kelas dan menemukan Justin duduk sendirian di sudut kelas. Hari ini ia datang begitu cepat. Tidak seperti kemarin, ia terlambat datang. Ia melihatku tanpa senyuman.
            “Jangan tanya tentang Thomas, aku bukan pembunuhnya,” ucap Justin dengan cepat. DEG! Aku memang cerdas, biasanya orang yang langsung merespon seperti adalah pembunuh. Karena ia takut ketahuan. Maksudku, kau lihat tingkahnya kemarin? Ia terus meyakinkanku kalau ia bukan orang yang membunuh Sarah. Dan sekarang? Tersirat dari air wajahnya kalau ia sedang ketakutan.
            “Kumohon,” ucap Justin merajuk, tapi dengan suara anak kecil?



***

            Aku hanya dapat menganga dan menjauh dari Justin. Aku tidak tahu apa ini adalah jalan yang benar atau salah. Karena yang kutahu, Justin memiliki kepribadian ganda. Aku ingin sekali mendekatinya, tapi saat aku memberitahu Nicola kalau Justin memiliki kepribadian ganda, ia tidak memperbolehkanku untuk mendekati Justin. Menyapa saja tidak. Atau tidak, Nicola akan menjauhiku. Bukan karena aku tidak memiliki banyak teman, tapi satu-satunya orang yang peduli denganku hanyalah Nicola. Hanya Nicola. Aku sungguh terkejut dengan rajukan Justin yang dengan bersuara seperti anak kecil. Menurut temanku yang mendengar Justin bersuara seperti itu –yang baru saja datang setelahku –saat aku datang ke sekolah tadi pagi –ia bilang kalau itu adalah suara anak kecil Justin. Katanya, Justin sering dipukuli oleh ibunya. Maka dari itu Justin membunuh ibunya saat ia berumur 14 tahun. Aku tidak percaya. Maksudku, aku tidak sama sekali percaya. Tapi semua orang meyakinkanku. Semua orang bilang kalau Justin adalah pembunuh dari Sarah dan Thomas. Aku sungguh bingung. Tapi memang terdengar masuk akal, jika Justin yang membunuh ibunya. Tapi Sarah dan Thomas? Aku tidak begitu yakin. Meski Justin sudah dicap dengan julukan Si Psikopat Sekolah. Aku masih tidak percaya.
            Aku hanya dapat melihat Justin yang juga sudah menjauhiku –di bawah daun-daun dan ranting-ranting dari pohon yang begitu besar sambil membaca sebuah Novel yang pernah ia bawa. Sedangkan aku sedang duduk  bersantai dengan Nicola dan tertawa-tawa akan lelucon dari Finn yang juga ikut bergabung denganku dan Nicola 10 menit yang lalu. Tapi dari semua lelucon Finn yang ia berikan, aku tidak tertawa. Aku tak bisa tertawa diatas penderitaan Justin. Ia sedang kesepia dan butuh teman. Aku mengambil kaca mata yang kusimpan di dalam tas. Yeah, aku juga memakai kaca mata untuk membaca. Kau tahu, aku rajin sekali membaca. Dan buku yang sekarang ini kubaca adalah buku yang berhubungan dengan Psikopat atau Kepribadian Ganda. Aku yakin pasti ditoko buku ada.
            “Kau kenapa, Eli?” tanya Nicola yang tampaknya melihat keraguanku atas apa yang telah terjadi hari ini. Mulai dari Thomas, Justin berkepribadian ganda, hingga aku harus menjauhi Justin.
            “Tidak, tidak apa-apa,” ucapku membuka buku tebal yang sudah berada di depanku. Ini buku Sejarah. Buku tentang The Arthurian. Entahlah, buku ini kurasa menarik. Meski harus tebal. Tapi aku agak menyukainya. Untung saja bukan Mr.Gatch yang mengajar tentang Sejarah. Tapi Mr. Luther. Entahlah, mengapa orangtuanya menamainya Luther. Kurasa terinspirasi dari King Luther.
            Aku mulai membaca buku ini dengang saksama. Aku ingin sekali melupakan kejadian hari ini. Dan aku anggap, hari ini tidak terjadi apa-apa.


***

            “Amor! Amor! Tunggu dulu,” ucap Justin yang mencoba untuk menghentikanku pergi pulang dari sekolah ini. Aku pulang sendiri. Aku ingin sekali menampar Nicola saat Finn mengajaknya pulang bersama. Dan dengan bodohnya, aku menolak tawaran itu karena aku sedang asyik membaca buku tadi. Dan sekarang, tanganku begitu gemetar saat Justin menyentuhnya. Apa yang akan ia lakukan padaku? Membunuhku di tempat yang sepi seperti ini? Sungguh, ini sangat sepi sekali.


*Justin POV*

            Aku tidak mengerti mengapa setiap orang selalu saja menyalahkanku. Aku tidak mengerti. Aku selalu dituduh yang tidak-tidak. Bukan aku pembunuh Sarah atau Thomas! Aku bersumpah! Meski aku benci sekali dengan Sarah dan Thomas karena telah mengganggu  Amor –Eleanor-ku lebih tepatnya. Aku ingin sekali Amor menjadi milikku. Ingin, tapi aku tidak berani. Benny, sahabatku, melarangku untuk menjadikan Amor –pacar. Karena, menurutnya, Amor sedang mencoba untuk mempengaruhiku agar berteman dengan Finn atau Nicola, sahabat Amor. Aku hanya percaya pada Benny. Benny selalu ikut denganku, ke mana saja. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi denganku tadi malam.
            “Amor, apa kau bisa menemaniku malam ini di rumah?” tanyaku merajuk. Eleanor langsung menggeleng-gelengkan tangannya dan menarik tangannya agar lepas dari genggaman tanganku. Tersirat diwajahnya kalau ia sungguh ketakutan.

            Kuhelakan nafasku. Merelakan kepergiannya. Meski sebenarnya, hari ini aku tidak memiliki teman di rumah selain dengan Benny. Kau tahu, Benny itu adalah sahabatku dari kecil. Ia tahu yang benar. Kurasa begitu. Kulihat Benny yang memakai baju yang sudah kucel itu menggigit-gigit sebuah tusuk gigi dan tersenyum ke arahku. Ia sedang bersandar di dekat pohon yang kusandari tadi.
            “Justin, bukan kau pelakunya! Jauhi Amor! Dia bukan temanmu lagi! Dia percaya kalau kau yang membunuh Sarah dan Thomas! Lihat aku! Aku tidak percaya kalau kau membunuh Sarah dan Thomas,” ucap Benny padaku. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Dan percaya akan perkataan Benny. Betul, kurasa Amor sudah percaya dengan perkataan orang sekitar. Kurasa aku harus menjauhinya. Yeah, aku harus.


***

*Eleanor POV*

            Jauhi dia, atau sahabatmu akan mati! , Aku terus mengamat-amati kertas yang bertuliskan terror padaku. Aku mendapatkannya di lampu meja belajarku. Tertempel begitu saja saat aku keluar dari kamar mandi. Padahal, sebelumnya aku tidak melihat kertas ini tertempel. Atau ini hanya buatan Will? Tapi tulisan ini bukan tulisan Will. Tapi ia bisa mengarangnya. Tapi tidak! Aku mengunci kamarku. Lalu siapa? Ini sungguh menyeramkan. Aku terus melihat tulisan ini dan mencoba untuk mencari tahu siapa yang memiliki tulisan ini.
            Aku mengambil buku harianku dan menyelipkannya di antara banyaknya kertas. Aku harap, ini hanya candaan. Aku tak ingin kehilangan Nicola atau pun Finn, lelaki yang tampan –yang sempat aku sukai.

***

            Kuhantarkan kakiku untuk masuk ke dalam kelas. Aku harap Justin belum datang. Tapi aku salah. Aku melihat Justin yang sedang menunduk dikursi paling sudut dan langsung mendongak saat ia melihatku. Ia langsung melihatku dengan tatapan terkejut. Seperti melihat hantu saja.
            “Benny! Jangan!” teriak Justin layaknya orang gila. Aku menarik nafasku dan lalu berhenti bernafas. Kenapa harus Benny ? Aku yakin kalau Benny hanyalah sebagian dari imajinasi Justin! Aku yakin itu. Kemarin aku telah membaca buku tentang Kepribadian Ganda. Katanya, orang berkepribadian ganda itu akibat dari trauma atau imajinasinya yang sangat tinggi tapi tidak bisa dicapai sehingga mereka membuat kepribadian yang lain agar dapat mencapai imajinasinya. Atau kalau aku bisa simpulkan ..Gila. Aku belum melangkah. Aku belum melangkah.
            “Masuklah, kau sudah aman,” ucap Justin padaku. Aku langsung menghelakan nafas dan melangkahkan kakiku.
            Aku tidak ingin berbicara dengan Justin. Nicola akan segera datang. Aku yakin itu. Tapi tiba-tiba saja Justin berjalan ke arahku dan menghalangiku untuk duduk di baris kedua dari belakang. Wajahnya sungguh dekat dengan wajahku.
            “Aku minta maaf soal kemarin,” ucapku dengan pelan. Tiba-tiba Justin tidak melihatku. Ia melihat seseorang di belakangku. Aku berbalik dan tidak menemui siapa-siapa. Kurasa itu khayalan Justin. Dia menghelakan nafas dan menatapku.
            “Tidak apa-apa, itu bukan salahmu. Lagi pula, aku tak bisa memaksa,” ucap Justin tersenyum dengan manis. Manis sekali. Ia memegang leherku dan berniat untuk menciumku. Aku tak bisa menolak ini. Ia terlalu manis dan kurasa enak jika ia kucium.

            “AAAAAA!” jerit seorang perempuan begitu terdengar sampai telingaku dan Justin, aku tidak jadi dicium oleh Justin. Sungguh ..menyebalkan. Aku dan Justin tersentak dan berlari untuk keluar dari kelas ini.


***

            Aku memejamkan mata sambil mengeluarkan air mataku. Sungguh, aku tidak kuat melihat ini. Finn meninggal. Aku tidak tahu siapa pelakunya. Aku melihat ia sudah tergeletak dengan darah yang tercecer di dekat lokernya dengan seorang perempuan yang bernama Quimby. Teman dari Alrm. Sarah. Astaga! Tapi aku ragu jika Quimby yang melakukannya. Karena ia tidak memegang benda tajam. Tapi ia disalahkan oleh pihak sekolah dengan orangtua Finn agar Quimby dipenjarakan. Tapi, apakah pembunuhan ini ada sangkut-pautnya dengan kertas kemarin?
            Justin juga datang ke pemakaman ini untuk menemaniku. Kemarin, setelah kejadian pembunuhan Finn terjadi, aku sudah yakin kalau Justin bukanlah dalang dari semua pembunuhan ini. Aku yakin. Aku sungguh yakin. Semua kerabat terdekat Finn datang dengan baju berwarna gelap, orangtua Finn menangis tersengguk-sengguk –apalagi ibu Finn. Ia histeris. Tiba-tiba saja Nicola menarik tanganku untuk menjauh dari sekumpulan orang yang berduka. Aku meninggalkan Justin. Justin mengerti sambil menatapku dan menganggukkan kepalanya.
            Aku dan Nicola berdiri di dekat sebuah pemakaman oranglain. Dan melihat Nicola yang terlihat begitu marah denganku. Aku tidak tahu apa yang ia maksud.
            “Aku yakin! Pasti Justin pelakunya!” gertak Nicola terlihat begitu benci dari Justin. Aku menghela nafasku dan menghapus air mataku.
            “Aku sudah bilang padamu Nicky! Justin ada bersamaku! Dan Quimby adalah orang yang melihat Finn pertama kali di loker itu dan setelah itu akan datang ke sana saat Quimby berteriak! Apa kau bisa percaya padaku sekali saja, Nicky? Mengapa kau selalu berprasangka buruk terhadap Justin?” tanyaku muak dengan Nicky. Ini sunggh keterlaluan! Sungguh.
            “Lalu siapa yang menerormu?” tanya Nicola yang membuatku tersentak. Aku sendiri tak tahu itu punya siapa. Aku terdiam sejenak.
            “Its happening,” tambah Nicola dengan suara yang melemah.



***

            “Jadi, apa yang terjadi?” tanyaku pada teman ibuku yang bernama Lily, ia Dr. Psikiater. Dia sangat terkenal di Bloomington, Minnesota. Tempat di mana aku tinggal sekarang. Amerika Bagian Utara. Ia yang memakai kaca mataku hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti ibu-ibu yang berumur 40 lebih biasanya. Sedikit agak lambat bereaksi tapi dari lambatnya itu, mereka sebenarnya sedang berpikir dengan baik-baik. Kemudian, ia mengerjap-ngerjap matanya padaku.
            “Aku sungguh yakin, sangat yakin,” ucap Mrs. Martine , “Benny, bukanlah hantu,” tambahnya menjelaskan. Aku mengedipkan mataku dan berharap kalau itu memang benar. Aku bertanya tentang keadaan Justin. Meski aku tidak begitu yakin dengan ucapanku dan ceritaku pada Mrs. Martine. Kau tahu, aku orangnya tak mudah percaya jika bukan pada orangnya langsung. Seperti Justin atau Mrs. Martine yang sudah dan sering sekali menangani orang gila.
            “Itu adalah trauma yang dialami Justin, seperti yang tadi kaubilang. Ia sering dipukuli oleh ibunya dan disudutkan oleh teman-teman sekitarnya,” ucapnya. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Mrs. Martine membaca buku catatan yang ia pegang dan lalu mendongak dan melihat ke arahku. Ia melepaskan kaca matanya dengan tangan kanannya. Dan tersenyum padaku, dalam maksud tertentu –yang aku sendiri tak tahu apa yang dia maksud.
            “Itu artinya, selama ini. Justin memiliki kepribadian ganda, sayang. Kau tahu, dia juga psikopat. Ia selalu merasa dirinya yang paling benar dan yang paling special,” lanjutnya yang semakin membuatku mengerti.

            Jadi benar. Selama ini Justin. Justin adalah psikopat dan memiliki kepribadian ganda. Aku bahkan sudah berbicara kepada sang ahlinya. Tapi aku kurang yakin jika bukan Justin sendiri yang bercerita. Siapa tahu, orang-orang disekitarku hanya mengarang cerita yang terdengar masuk akal? Shit! Mengapa aku selalu bimbang? Mengapa aku selalu merumitkan setiap masalah? Masalahnya adalah aku tidak akan percaya jika bukan Justin yang berbicara dan mengakunya dengan sendiri di depanku dan aku yang dengar. Aku hanya menganggukkan kepalaku, antara percaya dan tidak percaya. Sungguh, ini benar-benar tidak dapat kumengerti.


***

            “Justin, kau kenapa?” tanyaku saat aku berusaha untuk mendekatinya. Pagi ini dia terlihat begitu sombong. Tak seperti biasanya dan lebih pendiam. Justin melihatku dari bawah hingga atas. Tiba-tiba saja ia mendorong tubuhku pada loker hingga sekarang aku terhimpit tubuhnya dan loker. Kenapa dia? Dia melihatku dengan wajah yang penuh dengan rasa kebencian. Aku tidak mengerti. Ini bukan Justin yang kukenal. Apakah Benny adalah hantu yang sesungguhnya? Maksudku, Mrs. Martine bilang bahwa Bennya adalah khayalan Justin. Tapi apa itu benar? Kurasa.
            “Kau. Jangan pernah. Jangan pernah mendekatiku lagi, ingat itu,” ucap Justin menekankan setiap kata yang ia ucapkan. *BRAK* Ia langsung meninju loker yang berada di sebelah kananku. Atau lebih tepatnya, di samping kepalaku. Aku memejamkan mataku. Justin melepaskan cengkraman tangannya pada lenganku dan melengos pergi. Aku melihat loker yang berada di sebelah, penyok. Gila! Justin kuat sekali. Kulihat Justin berjalan menjauhiku dengan kepala yang menunduk.
           

----

            “Kau tolol!” jerit Quimby di depan mataku. Tepat di depan wajahku. Nafasnya menerpa wajahku dengan wangi harum mint. Aku baru saja keluar dari toilet dan di depan mataku sudah muncul Quimby bersama teman-temannya yang lain. Oh, ternyata dia tidak dikeluarkan oleh sekolah.
            “Kenapa?” tanyaku bodoh. Oh, Tuhan! Mengapa guru-guru di sekolahku bilang kalau aku cerdas? Tapi pada kenyataannya, aku bodoh sama sekali. Sungguh.
            “Kau tak tahu apa? Temanmu Justin! Dia yang menjebak Finn! Sialan. Apa kau tidak lihat loker Finn terbuka? Kau tahu, dia memasang sesuatu yang aku tidak tahu apa namanya, intinya ia benda itu memiliki per! Dan kau tahu, di benda itu terpasang pisau! Sungguh, aku tidak tahu mengapa kau bisa berteman dengan Justin dan dia tidak membunuhmu. Aku sungguh selamat. Sangat selamat setelah memang benar apa yang telah kukatakan. Karena, bukti barang yang kulihat sebelumnya itu tiba-tiba saja menghilang entah ke mana. Dan ternyata, dengan pintarnya, Mr. Freak Bieber itu menyimpannya  di loker lain setelah pihak sekolah melakukan penggeledahan saat kau dan teman-temanmu berduka akan meninggalnya Finn, dan kau tahu, disetiap pembunuhan dari anak sekolah di sekolah ini, pasti ada secarik kertas yang bertuliskan ‘Goodbye’ dengan tulisan Prancis. Oh Tuhan! Mengapa kau bisa disebut dengan si Cerdas? Hah?! Padahal otakmu lebih kecil dari pada kacang!” ucap Quimby panjang lebar. Aku sempat ternganga dengan perkataannya itu. Maksudku, benda? Benda yang memiliki per. Jadi, jika Finn membuka lokernya, maka ia akan terbunuh karena per itu menunjuk ke arah Finn sehingga pisau yang dipasang pada per tersebut?! Oh yeah, cukup masuk akal. Tapi apa dia bisa meyakinkan kalau Justin yang melakukannya?

            Oh yeah, masuk akal. Akan semua yang telah terjadi. Masuk akal sekali. Setelah apa yang telah terjadi. Kau tahu, beberapa hari yang lalu, aku membaca Novel yang Justin beli. Well, seperti yang aku bilang kalau aku ingin membaca buku yang bersangkutan dengan Psikopat. Dan tentang pembicaraan Mrs. Martine kemarin sore denganku. Bahwa, biasanya Psikopat akan selalu merasa paling benar dan special. Justin selalu merasa dirinya paling benar. Ia selalu meyakinkan kalau dia bukanlah pembunuhnya. Dan kurasa ia merasa selalu dirinya benar. Apa memang Justin pembunuhnya? Dan sikapnya hari ini begitu aneh. Apa mungkin ia sedang berada di Kepribadiannya yang lain? Astaga! Mengapa ini terasa begitu sulit dan membingungkan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar