“Anna,” wanita setengah baya itu kembali membuyarkan lamunanku. Aku tersentak dan pulpen yang kupegang terjatuh ke atas karpet. Dengan gugup aku mengambilnya kembali. Tanganku begitu bergemetar, jantungku berdetak tak menentu. Mataku rasanya juling saat aku melihat kertas perjanjian yang berada di hadapanku. Di atas meja kayu dengan ukiran yang begitu indah. Aku tidak percaya orang tuaku meninggalkanku dan memberikanku kepada keluarga seperti ini. Keluarga yang sangat terkenal di US. Ini bukan aku. Itulah alasan mengapa meninggalkanku. Mereka tahu, mereka tidak akan bisa memberikan aku kehidupan yang layak maka ia memberikan aku, menginginkan aku menikah dengan lelaki ini. Lelaki yang belum tentu aku bisa menyukainya. Kapan mereka mengenal keluarga ini? Aku tidak pernah bisa mengingatnya. Ini begitu rumit. Sekali goresan tanda tangan di surat perjanjian ini, kehidupanku akan berubah total.
Mulai
dari pakaian, tubuhku, bahkan tempat tinggalku akan berubah. Aku tidak perlu
membanting tulang lagi di rumah makan yang kumuh. Bahkan gaji yang kuterima
tidak dapat mencukupi kehidupanku. Kutatapi mata cokelat wanita setengah baya,
calon ibu iparku. Ia tersenyum manis dan terus memaksaku untuk menandatangani
perjanjian ini. Anna Victoria Whitford –
Anna Victoria Bieber. Entah mengapa judul dari surat perjanjian ini harus
bernamakan Bieber di bagian belakang namaku. Aku bahkan belum menandatangani
apa pun.
“Anna,
orang tuamu telah memberikanmu kepada kami. Bahkan kami sudah terlambat untuk
mengambilmu, sayang. Berapa umurmu lagi?” tanya wanita setengah baya bernama
Pattie ini padaku.
“19
tahun,”
“Kami
telah dua tahun. Seharusnya kami mengambilmu saat umurmu 17 tahun. Saat kau
benar-benar lulus dari sekolahmu. Kapan orang tuamu meninggalkanmu?”
“15
tahun?” aku bertanya padanya karena aku kurang yakin. Aku kurang yakin karena
sebelumnya aku kecelakaan sehingga memori dalam jangka waktu yang singkat
kulupakan. Saat itu aku kecelakaan, orang tuaku juga kecelakaan. Tapi aku
terbangun di sebuah rumah sakit dan aku tidak tahu di mana keberadaan mereka.
Sehingga aku hidup sebatang kara di dunia ini. Aku tidak memiliki sepupu atau
siapa pun. Ini sungguh mengerikan. Aku hanya memiliki satu sahabat.
“Siapa
yang mengurusimu selama 4 tahun?”
“Aku
mengurusi diriku sendiri. Aku tidak melanjutkan sekolah juga. Ada apa dengan
perjanjian ini?” tanyaku penasaran. Karena di surat perjanjian tidak dituliskan
alasan mengapa aku harus menandatangani surat ini. Dan mengapa aku harus
bersama dengan keluarga Bieber.
“Ini
adalah perjanjianku dengan orang tuamu. Tapi, Anna, kau benar-benar harus
menandatangani surat perjanjian ini demi kelangsungan hidupmu,” ujarnya
meyakinkanku. Kulihat suaminya yang terduduk di sebelahnya, tampak tidak peduli
dengan perjanjian ini. Justru dari tadi ia memainkan iPad yang berada di
tangannya dan mendecak kesal berkali-kali. Entah apa yang ia lakukan.
Kemudian
otakku terputar kembali. Kathleen. Sahabatku yang selama ini tinggal bersamaku
selama 4 tahun. Dia yang membantuku untuk mencari pekerjaan. Dia sebenarnya
mempunyai orang tua, tapi ia melarikan diri. Umurnya berbeda 4 tahun denganku,
sehingga sekarang ia berumur 24 tahun. Ia orang yang sangat baik. Aku bertemu
dengannya di rumah sakit juga. Aku akan menceritakannya nanti. Intinya aku
memikirkan, bagaimana keadaannya nanti jika aku meninggalkannya. Di sini
tertulis jika aku telah menandatangani surat perjanjian ini, aku sudah
sepenuhnya milik dari Justin Bieber. Anak tunggal mereka. Aku bahkan belum
melihat batang hidungnya atau pun foto dari lelak ini. Aku memang tidak tahu
lelak ini sama sekali.
“Bagaimana
dengan sahabatku?” tanyaku hati-hati.
“Kathleen?
Dia akan baik-baik saja,” ujarnya dengan mantap. Tapi aku menatapnya dengan
keraguan, “Aku berjanji. Dia akan baik-baik saja. Sekarang masalahnya adalah
kau harus menandatangani surat perjanjian ini,” tambahnya lagi.
“Baiklah,”
ujarku dengan pasrah dan mulai menempelkan ujung pulpen untuk menggoreskan
tanda tanganku di atas kertas ini. Di mana aku menjadi milik Justin Bieber
mulai detik ini, sekarang, dan sampai selamanya. Pernikahan. Aku akan menikah
dengannya. Aku akan menikah dengan seorang Millioner.
“Bagus.”
Lalu
semuanya terjadi.
****
“M-Mr.
Bieber?” aku benar-benar terperangah dengan keindahan yang berada di depanku
sekarang. Seorang lelaki berwajah indah dengan pahatan yang benar-benar cocok
sekali dengan tubuh tegapnya, memakai setelan pakaian formal untuk bekerja,
sepatunya mengkilap, dan matanya .. benar-benar indah. Aku tidak percaya kalau
ia akan datang ke rumahku secepat ini. Bukan rumahku, tapi rumah Kathleen.
Kathleen tidak ada di rumah sehingga aku harus menyiapkan baju sendirian. Malam
ini aku akan pergi ke rumah Justin. Rumah Justin Bieber, seorang Millioner. Aku
benar-benar terpaku dengan keindahan yang kulihat. Rambutnya yang berwarna
cokelat membuatku menelan ludah. Oh, Tuhan! Aku tidak tahu kalau Kau akan
memberikan padaku lelaki tampan seperti Dewa ini.
“Apa
kau akan membiarkanku berada di luar terus menerus?” tegurnya setelah beberapa
menit membuatku terpaku. Aku tersadar dan langsung melebarkan pintu yang kubuka
sehingga ia bisa masuk. Ketukan kakinya terdengar saat ia melangkah masuk ke
dalam rumah Kathleen. Kemudian, inilah dia. Aku benar-benar malu. Rumah ini
hanyalah rumah biasa.
Bagian
pertama yang kalian akan lihat adalah ruang tamu. Tiga kursi, satu meja. Rumah
ini hanya memiliki dua kamar, satu dapur, dan satu gudang. Tidak terlalu besar.
Ini hampir sama seperti apartemen. Tapi Kathleen membelinya. Dan kami akhirnya
tinggal di sini.
“Kau
boleh duduk,” ujarku sambil mendorong pintu agar tertutup, tapi tiba-tiba
seseorang menahannya. Aku mendongak dan melihat seorang lelaki bertubuh besar
berdiri dengan kacamata hitam yang ia pakai. Kulitnya berwarna cokelat manis,
orang Indian. Ia menggeram padaku. Siapa lelak ini? Kurasa ia adalah pengawal
Justin.
“Masuk
saja, tidak apa-apa,” ujar Justin dengan santai. Apa? Apa yang baru saja ia
katakan? Baiklah, tidak apa-apa. Aku melebarkan bukaan pintuku agar tubuhnya
yang besar bisa masuk ke dalam rumahku yang kecil. Ia masuk dan berdiri di
samping pintu dan posisi kaki yang melebar dan kedua tangan di belakang, entah
apa yang ia lihat, yang pasti ia memandang ke depan.
Kututup
pintu rumahku dan mulai menatap Justin dan pengawalnya secara bergantian.
“Jadi,
kau Anna, eh?” tanya Justin yang tidak duduk di atas kursi. Mungkin ia tidak
ingin duduk. Kemudian ia membenarkan dasi yang ia pakai. Kuanggukan kepalaku
dan mulai bersandar pada tembok. Aku tidak tahu, tapi aku tidak terintimidasi
akan kedatangannya. Seakan-akan ia adalah teman lamaku yang akhirnya bertemu
denganku.
“Kau
sangat ..kotor. Apa kau sudah selesai membereskan pakaianmu? Karena malam ini,
aku tidak punya banyak waktu,” ujarnya dengan tegas. Aku menganggukan kepalaku.
Kemudian melangkahkan kakiku menuju kamarku. Sialan. Apa yang baru saja ia
katakan? Aku kotor? Justru ini adalah penampilan terbersihku yang pernah
kulakukan. Dan ia bilang aku kotor? Astaga, Justin sangat jujur. Aku mulai
mengambil dua koper yang ada sudah siap.
Baiklah,
aku akan memulai hidup yang baru. Kuhirup nafasku.
***
“Max,
kau boleh pergi,” ujar Justin saat kami sudah berada di dalam kamar Justin.
Ternyata namanya Max. Rumah Justin lebih besar dibanding dengan rumah orang
tuanya. Kamarnya saja sudah seperti satu rumah Kathleen. Oh, Kathleen. Semoga
ia benar baik-baik saja di rumah nanti. Aku sudah mengiriminya pesan melalui
ponselku. Max menutup pintu kami setelah ia menaruh kedua koperku.
Kemudian
terjadi keheningan yang sangat panjang.
“Anna,
apa aku boleh bertanya padamu?” tanyanya mulai melangkahkan kakinya menuju
tempat tidurnya yang besar itu. Aku berdiri di tengah-tengah kamarnya dan
mengangguk. Kali ini ia mengintimidasiku. Jantungku berdetak dengan kencang.
Ini sekarang adalah kamarku. Atau apa? Aku tidak tahu. Justin terduduk di atas
tempat tidur dan ia melepas sepatu dan kaos kakinya.
“Anna,
apa kau tahu aku siapa?” tanya Justin.
“Kau
Justin Bieber?” tanyaku tampak bodoh. Oh, sial! Mengapa sekarang aku
benar-benar gugup? Tubuhku menggigil seketika. Kedinginan mulai menerpa tubuhku
hingga aku merasa mereka menusuk tulangku. Justin melepas dasinya dan mulai
mendongak, menatapku. Ia menyeringai. Astaga, dia menyeringai. Dan itu membuat
meleleh.
“Ya,
tentu saja aku Justin Bieber. Maksudku, yang lebih spesifik. Apa kau tahu
pekerjaanku? Apa kau tahu kalau aku adalah seorang Millioner?” tanya Justin
menyiratkan kesombongan. Aku tidak tahu dia. Aku baru saja bertemu dengannya
malam ini. Aku hanya tahu namanya dan ia menyandang gelar Millioner. Terbukti
dari rumahnya yang benar-benar besar. Pintu gerbangnya saja terbuat dari baja
dan sangat menjulang tinggi. Terbuka otomatis saat mobil Justin sudah berada di
depan gerbangnya. Memiliki kamera pengintai di mana-mana. Taman depan miliknya
benar-benar luas. Dan berakhir dengan rumah yang benar-benar besar. Meski aku
belum tahu seluk beluk rumah ini, tapi aku yakin kalau aku membutuhkan sebuah
peta untuk menelusurinya. Sebenarnya,
rumahnya lebih mengarah ke bangunan Belanda. Sehingga ada kesan yang kuno di
rumah ini. Tapi aku menyukainya.
“Aku
tidak tahu,”
“Katakan
padaku, Anna. Mengapa kau menanda tangani surat sialan itu?” Woah! Justin
Bieber berbicara kotor di depanku untuk yang pertama kalinya. Aku tidak tahu
mengapa sekarang wajahnya menyiratkan kesuraman.
“Karena
orang tuaku juga telah menanda tanganinya juga,” ujarku asal. Oh, tidak. Aku
tahu itu bukan jawaban yang ia harapkan. Tapi kemudian ia berdiri dari
tempatnya dan mulai membuka kancing kemeja. Oh, sial! Aku akan meleleh
melihatnya. Kumohon, jangan buka baju di depanku! Mungkin ini akan menjadi yang
pertama kalinya aku melihat seorang lelaki yang terbuka padaku. Secar langsung
dan personal. Baiklah, mungkin dia adalah lelaki yang kedua.
“Alasan
yang cukup bagus. Anna, kemarilah,” ia sudah melebarkan tangannya, membukanya
untukku. Ia ingin memelukku. Dan ia hanya memakai kemeja putih yang seluruh
kancingnya terbuka. Untungnya ia memakai kaos dalam. Dengan ragu, aku
melangkahkan kakiku padanya. Namun dengan cepat, ia meraup tubuhku untuk ia
peluk.
“Kau
gadis manis yang mungil. Tapi sayang, aku tidak tahu apa ini akan berjalan
dengan baik atau tidak,” ujar Justin dengan pelan. Membuatku benar-benar
bingung dengan ucapannya. Tidak berjalan dengan baik? Kita bahkan belum
mengenal diri kita satu sama lain. Bagaimana bisa ia tahu kalau ia tidak akan
berjalan dengan baik?
“Kita
akan menikah besok. Percayakah kau dengan sebuah hubungan Anna?” tanya Justin
dengan ragu dan menarikku untuk berada dalam pangkuannya saat ia berjalan
mundur lalu terduduk di atas tempat tidur. Aku sudah berada di pangkuannya.
Tangannya memegang pahaku agar aku tetap berada dalam pangkuannya. Refleks aku
mulai memeluk lehernya.
“Aku
tidak tahu. Aku tidak pernah berpacaran sebelumnya,”
“Kau
tidak pernah?” Kuanggukan kepalaku.
“Mengejutkan.
Tapi, Anna, bagaimana kau mendefinisikan sebuah hubungan? Apa artinya bagimu?”
tanyanya yang membuatku semakin bingung ke arah mana ia berbicara. Karena dari
tadi ia seperti bertele-tele. Mengapa ia harus begitu banyak pertanyaan
untukku. Kupikir ia akan sibuk malam ini. Aku sangat yakin ia sibuk. Karena
selama perjalanan menuju rumah ini, ponselnya tidak pernah tidak berdering.
Mungkin hanya beberapa menit hening, kemudian deringan telepon masuk dari
ponselnya. Bieber, Bieber, Bieber. Ia menyebutkan namanya saat ia menjawab
sebuah telepon. Aku terkesan. Oh, aku benar-benar norak sekarang!
“Dua
orang yang saling mencintai dan menghasilkan sebuah hubungan?” tanyaku dengan
ragu. Aku benar-benar tidak ingin membicarakan ini karena topik pembicaraan ini
sangat aneh. Aku bahkan tidak percaya kalau sekarang aku sedang berada di atas
pangkuannya. Padahal kita baru saja bertemu. Oh, Tuhan. Aku selalu merasa
bimbang dan tidak tahu apa yang kupikirkan sekarang. Keadaan ini benar-benar
tidak mendukung apa pun. Dia bahkan hanya bisa membuatku terkesan dengan
ketampanannya saja. Tapi tidak dengan sikapnya yang aneh. Maksudku, bisakah ia
berbasa-basi? Seperti apa kesukaanku atau apalah. Tapi dia bertanya satu hal
yang tidak pernah kulakukan dalam hidupku. Apakah aku percaya akan sebuah
hubungan? Maksud pertanyaan ini apa?
“Anna,”
panggilnya. Aku mendongak setelah dari tadi aku hanya melihat kuku-kuku yang
berwarna merah muda. Mataku langsung bertemu dengan matanya yang berwarna
cokelat. Baiklah, aku berharap ingin mati. Kemudian bibirnya menyentuh bibirku.
Aku terdiam, tidak tersentak, tapi aku terkejut dalam hati. Ia mengecup
bibirku. Lama sekali. Kemudian ia melepaskannya, ia membuka matanya dan
menatapku dengan senyum di bibirnya.
“Rasamu
sangat manis,” ujarnya mengelus kepalaku. Aku terdiam.
“Kau
pendiam eh,” ia menegurku. Aku menggelengkan kepalaku. Sebelumnya, aku bukan
seorang yang pendiam. Sebenarnya aku adalah orang yang sangat ceria. Itu jika
aku bersama dengan Kathleen. Tapi dengan Justin, aku merasakan aura-aura hitam
yang tidak menyenangkan. Tapi entahlah, melihat matanya aku langsung meleleh.
“Tidak
juga,” ujarku dengan suara yang pelan.
“Lalu
mengapa kau tidak menanyakan sesuatu padaku? Aku yakin aku bisa menjawabnya,”
“Apa
yang kau suka Justin?” tanyaku langsung. Matanya melebar, bibirnya terkatup
rapat, namun sedetik kemudian ia tersenyum manis. Tapi aku hanya memberikan
wajah datar padanya. Poker face.
“Aku
menyukai wanita,” ujarnya meremas pahaku. Oh, apa yang akan ia lakukan padaku?
“Apa
lagi?” tanyaku ingin tahu.
“Aku
suka bercinta dengan wanita,” ujarnya menyeringai padaku dan mengecup bibirku
sekali lagi dengan kilat. “Bercinta dengan keras, kadang lembut. Apa kau mau
menjadi salah satu di antara mereka, Anna?” tanyanya yang membuatku terkesiap.
Apa-apaan?!
***
“Mr.
Bieber!” seru seorang lelaki yang mengarah kepada kami berdua. Acara sore ini
sangat meriah. Aku tidak tahu kalau pernikahan ini akan sebegitu mewah,
seharusnya aku menebaknya dari awal. Aku memakai gaun termahal yang pernah
kupakai, ini adalah yang pertama kalinya aku tampil bersih dan cantik. Rambut
hitamku digerai menggelombang, seluruhnya dikesampingkan ke bahu kananku.
Sehingga pundak sebelah kiriku terlihat. Aku suka gaun berwarna abu-abu
mengkilap ini. Tubuhku begitu tercetak namun aku tidak suka dengan potongan
rendah dadanya. Aku tahu, aku tidak memiliki belahan dada. Tapi sungguh, jika
aku berhadapan dengan lelaki, aku yakin, mereka melihat ke arah dadaku yang
cukup menyembul. Ukuran dadaku pas dengan ukuran tubuhku. Tidak besar tapi juga
tidak kecil. Dan selama pesta pernikahan berlangsung, kakiku bersungut-sungut
untuk beristirahat. Tapi dimana? Kami adalah tuan rumah, atau lebih tepatnya
Justin adalah tuan rumah dan dia harus memamerkanku kepada rekan-rekan
kerjanya.
Seperti
sekarang ini. Aku melihat seorang lelaki bertubuh besar dengan setelan pakaian
yang begitu rapi. Ia memakai rompi hitam yang dilapisi dengan jas berwarna
hitam juga. Tapi perutnya benar-benar menyembul. Ia memiliki jenggot yang tidak
terurus, mungkin, aku bisa membuat kepangan di jenggotnya. Mungkin. Kuurungkan
niatan untuk mengkepang jenggotnya saat ia tersenyum padaku. Ia sungguh murah
senyum dan kurasa ia lelaki yang sangat ramah.
“Jadi,
ini istrimu, eh?” tanyanya dengan nada seperti pengusaha-pengusaha lainnya.
Sama seperti Justin yang kalau bertanya kadang berakhiran dengan ‘eh’. Dan itu
cukup mengganggu telingaku. Ia terdengar mengejekku. Justin yang berada di
sebelahku langsung menarik pinggangku dan meremasnya. Oh, sial. Mengapa ia suka
sekali meremas pundak, tangan, pinggul, pinggang, apalagi? Bokong, mungkin.
“Ya,
wanita manis yang mungil ini adalah milikku, Bryant. Anna, ini Bryant. Rekan
kerjaku,” ujar Justin memperkenalkan temannya. Dengan sopan aku menjulurkan
tanganku padanya. Tapi selama beberapa detik aku menunggu tangannya menjabat
tanganku, aku menariknya kembali. Mengapa ia terlihat tidak sopan?
“Kau
tampak cantik dan muda, Mrs. Bieber. Tapi maaf, Mrs. Bieber. Aku tidak terbiasa
dengan berjabat tangan. Aku orang yang sangat steril,” ujarnya yang membuatku
sedikit tersinggung. Dia? Steril? Bunuh saja aku. Well, mungkin ya, dia bisa
dikatakan steril dengan gaya berpakaiannya. Dan dari tadi ia memegang sapu
tangan. Mungkin itu berguna untuk membersihkan sesuatu. Apa dia terserang
penyakit OCD (= Penyakit kebersihan yang berlebihan)? Mungkin. Aku tak peduli.
“Yah,
Bryant, silahkan bersenang-senang di pestaku. Kuharap kau melakukannya,” usir
Justin dengan pemilihan kata yang sopan dan benar. Bryant menganggukan
kepalanya dan berpaling dari hadapan kami. Oh, kupikir menjadi tuan rumah akan
menyenangkan. Tapi ternyata tidak.
Pesta
pernikahan kami diadakan di belakang taman rumah Justin. Entahlah, Justin
bilang ia tidak menyukai wartawan mengambil berita-berita tak jelas. Ia tidak
ingin memesan gedung –meski aku yakin ia memiliki gedung yang besar untuk
pernikahan- atau mungkin restoran yang ia miliki. Dia hanya ingin di rumah.
Seperti orang-orang tahun ‘90an. Aku menyukai selera kuno-nya.
“Justin,
kakiku sakit sekali,” bisikku dengan pelan. Untungnya Justin memesan band yang
memainkan musik jazz. Lagi-lagi ia membuatku terkesan dengan seleranya. Aku
menyukai music Jazz. Rasanya begitu tenang dan ..entahlah, aku suka
menikmatinya.
“Apa
kau ingin melepas sepatu sialanmu itu?” tanyanya dengan kata kotor lagi. Oh,
apakah dia tidak pernah diajarkan sopan-santun oleh orang tuanya?Karena
kupikir, laki-laki US harus diajarkan seperti itu. Berbicara kotor di depan
seorang wanita tidaklah keren. Kudongakan kepalaku untuk melihatnya. Dan aku
sangat menyesal telah melakukan itu. Karena matanya langsung bertemu dengan
mataku. Kakiku sekarang seperti tak bertulang. Tapi Justin dengan pintarnya
menahanku dengan remasan pada pinggangku. Sialan! Lelaki ini pintar sekali
menggoda wanita. Atau mungkin, ini kali pertama aku digoda oleh lelaki setampan
dirinya? Mungkin. Karena dia adalah lelaki pertama yang benar-benar membuatku
lemas, tak bertulang, tapi di satu sisi ia menyebalkan dengan kata kotornya
yang ia katakan padaku.
“Apa?”
tanyanya bingung. Kemudian aku tersadar dari lamunanku.
“Kau
hanya begitu tampan,” ujarku tak berpikir. Lagipula, untuk apa aku berpikir
untuk memujinya? Ia mudah untuk dipuji.
“Dan
kau begitu cantik, Mrs. Bieber. Aku tidak sabar untuk malam nanti. Ada banyak
hal yang harus kutanyakan padamu,” ujarnya yang membuatku bingung. Kupikir kita
akan melakukan malam pertama. Lelaki ini benar-benar membuatku bingung. Mengapa
ia begitu aneh? Bukankah seharusnya kita masuk ke dalam gelombang kenikmatan di
atas ranjang hingga pagi? Tapi dia? Dia hanya ingin bertanya-tanya tentangku.
Baiklah, jika itu maunya, tidak apa-apa. Kurasa aku sanggup. Dan kurasa, aku
juga tidak butuh malam pertama karena aku sudah lelah. Bahkan sekarang,
matahari baru saja turun.
Tiba-tiba
seorang wanita kira-kira berumur 25 tahun muncul di hadapan kami. Oh, 25 tahun,
kurasa. Aku tidak tahu Justin sebenarnya umurnya berapa hingga ia bisa berteman
dengan orang-orang yang umurnya sudah lebih dari 20 tahun. Aku bahkan baru 19
tahun menuju 20 tahun sebenarnya, tahun ini. Wanita ini tampak begitu cantik
dengan rambut cokelatnya yang ia sanggul sedemikian rupa dan menyisakan sedikit
rambutnya di kedua sisi wajahnya, membuat ia mirip dengan orang Jepang. Tapi
tidak, ia sepertinya orang Inggris atau semacamnya.
“Halo,
Justin,” sapanya dengan aksen Inggris. Oh, benar. Ia memang orang Inggris.
Sangat mengesankan. Pakaian yang ia pakai berwarna putih, dengan potongan
belahan dada yang benar-benar rendah. Gila, dadanya benar-benar padat. Aku
bahkan bisa melihatnya dari sini. Sialan, aku merasa tersingkirkan. Mungkin
Justin lebih tertarik padanya. Aku tidak tahu, tapi saat aku melihat Justin, ia
menyeringai. Oh, aku sekarang ..cemburu. Entah mengapa, mungkin ini efek karena
ia sudah menjadi suamiku. Sudah menjadi milikku.
“Jadi,
kau Anna?” tanya wanita ini dengan ramah. Dengan malu-malu, aku menganggukan
kepalaku. Ibu mertuaku muncul dari belakang bersama dengan ayah mertuaku.
Mereka tampak serasi. Pattie tersenyum padaku dengan menatapku memberi sinyal
‘Ah, malam pertama. Bersenang-senanglah’. Kemudian ia mengangkat kedua bahunya
dengan semangat dan berjalan dengan wajah yang berseri-seri sambil masuk ke
dalam rumah Justin bersama dengan suaminya. Oh, mengapa ibu mertuaku begitu
bahagia. Senang melihat orang lain bahagia juga, apalagi jika itu dikarenakan
aku.
“Aku
Maria DeBusse,” ujarnya dengan ramah. Aku tidak menyodorkan tanganku padanya.
“Ya,
dia Maria. Dia asistenku, sayang,” ujar Justin yang membuat telingaku hampir
jatuh ke atas rumput. Sayang? Apa Justin baru saja memanggilku Sayang? Oh, Tuhan. Tubuhku rasanya
melayang. Tapi setelah aku mengamati apa yang baru saja Justin katakan, wajahku
terasa panas. Ternyata wanita cantik ini adalah asisten Justin. Justin pasti
betah seharian di kantor hanya untuk melihat wajah manis dan dadanya tak
tanggung-tanggung. Oh, itu akan memberi semangat yang total bagi Justin.
Ah,
aku kembali melantur. Tidak, tidak. Aku tidak boleh berpikir yang buruk-buruk
tentang Justin. Dia pasti lelaki yang baik. Meski tadi malam ia berkata tidak
senonoh padaku, tapi setidaknya, ia hanya bercanda. Kami tertidur bersama tadi
malam. Tempat tidurnya sangat nyaman.
Baiklah,
kembali lagi dengan Justin.
“Senang
bertemu denganmu, Miss DuBusse,”
“Ah,
Mrs. Bieber. Aku juga sangat senang bertemu denganmu. Akhirnya, Mr. Bieber
dapat menemukan gadisnya. Kau tampak cantik,”
“Maria,
bisakah aku berbicara denganmu sebentar?” tanya Justin yang melepaskan
rangkulannya dariku. Kemudian Justin memberikan aku kontak mata, meminta izin
dariku. Aku hanya mengangguk. Dengan cepat Justin dan Maria pergi dari
hadapanku. Sekarang. Aku. Mrs. Bieber. Sendirian.
Oh,
di mana Kathleen? Kupikir ia akan datang ke acara pernikahanku. Tapi dari tadi
aku tidak melihat batang hidungnya. Tapi seperti bintang jatuh yang memenuhi
permintaanku, aku melihat Kathleen yang muncul dengan senyumannya dari dalam
rumah Justin. Ia memakai pakaian yang sangat minim. Dan ia datang bersama
dengan kekasihnya, Sam. Lelaki dari California.
“Kathleen!”
aku menjerit kesenangan dan berjalan ke arahnya lalu memeluknya dengan erat.
Oh, astaga. Rasanya aku sudah tidak bertemu dengannya selama bertahun-tahun.
Ini karena aku tidak memiliki teman di sini selain Justin dan kedua orang
mertuaku. Ia tampak cantik dengan gaun selutut yang ia pakai berwarna hitam. Ia
sungguh mengagumkan. Aku melepaskan pelukanku dan melihatnya dengan penuh
senyum kesenangan.
“Kau
sangat cantik, Anna,” ia memujiku.
“Aku
tahu. Baru kali ini aku dirias seperti ini,” balasku melirik Sam yang mengambil
sampanye yang lewat dibawakan oleh pelayan. Ia mengambil dua dan memberikannya
pada Kathleen. “Kau juga tampak gagah dengan pakaian yang kaupakai, Sam,” aku
memujinya. Tapi memang benar, ia tampak tampan malam ini.
“Di
mana suamimu? Aku belum melihatnya,”
“Kurasa
kau tahu dia,”
“Kau
bahkan belum memberitahu nama suamimu. Tapi tadi di taman depan sana, aku
melihat pohon yang berbentuk huruf B. Siapa dia? Benny? Ben? Borton? Oh, nama
itu jelek sekali!” ia berseru tak senang. Aku tertawa.
“Bukan,
Kath. Dia Justin Bieber,” setelah aku mengucapkan nama keramat itu, Kath
melongo tak percaya. Ia menganga dan hampir saja ia menjatuhkan gelas sampanye
miliknya. Aku tersenyum dengan sederet gigi yang kuperlihatkan.
“Kath!”
aku menegurnya.
“Kau
dengan Justin Bieber? Apa-apaan!” ia berbicara kotor. Oh, baiklah. Aku harus
jujur. Aku tidak suka jika orang-orang yang berbicara denganku berbicara kotor.
Maksudku, entahlah, terdengar tidak benar di telingaku. Aku hanya suka
mengumpat dalam hati. Tapi berbicara? Tidak. Aku tidak pernah berbicara kotor
–kecuali kalau aku benar-benar kesal sekali.
“Kathleen,
percayalah. Itu tak seburuk yang kaukira,” ujarku. Aku bahkan tidak tahu mengapa
aku berkata seperti itu. Karena menurutku, pasti ia berpikiran yang
tidak-tidak. Tapi aku tidak begitu yakin dengan pemikiranku.
“Bukan.
Aku hanya ..apa-apaan? Aku tidak percaya kalau sahabatku menikah dengan seorang
Millioner. Kau percaya itu Sam?” tanya Kath menyodok pinggang Sam dengan
siku-sikunya. Pendiam, Sam hanya menganggukan kepalanya. Mereka berdua adalah
pasangan yang sangat serasi. Kath adalah seorang yang cerewet sedangkan Sam
adalah pendiam dan pendengar yang baik.
“Kathleen,
aku sungguh minta maaf jika aku tidak memberitahumu,” ujarku penuh dengan
penyesalan. Tapi Kathleen memberikan senyum tulusnya padaku dan menyentuh
pundak telanjangku dengan tenang.
“Aku
justru senang. Akhirnya kau mendapatkan lelaki yang memang layak untukmu.
Selamat untukmu Anna. Aku senang melihatmu senang,” ujar Kathleen yang
membuatku terharu akan kata-katanya. Dia memang sahabat terbaik yang pernah
kumiliki. Setelah apa yang terjadi dalam hidupku setelah kecelakaan itu, dia
yang membangkitkanku kembali.
“Siapa
ini sayang?” tanya Justin yang tiba-tiba saja muncul dari belakang dan langsung
merangkul pinggangku dan meremasnya. Oh, astaga. Sentuhan ini.
“Ini
sahabatku, Kathleen. Dan ini adalah pacarnya, Sam,” aku memperkenalkan mereka
berdua pada Justin. Justin menganggukan kepalanya dengan sopan kepada mereka
berdua. Sam memberikan wajah ramahnya pada Justin sedangkan Kath ..astaga, dia
melongo tak percaya.
“Kath?”
aku menatapnya dengan was-was. Beberapa detik kemudian ia menggelengkan
kepalanya, tersadar dari lamunannya.
“Oh,
astaga. Mr. Bieber, suatu kehormatan bisa bertemu denganmu,”
“Ah,
Miss ..?”
“Roth,”
“Miss
Roth, aku juga seperti itu. Senang melihatmu telah menjaga Anna,” ujar Justin
ramah. “Apa aku boleh meminjam sahabatmu?”
“Oh,
kapan pun. Ia milikmu sekarang,” ujar Kath dengan semangat. Aku melotot
padanya, tapi ia balas melotot padaku. Kemudian, Justin menarik tanganku untuk
menjauhinya. Oh, kumohon! Aku masih ingin berbicara dengan mereka berdua.
Karena aku sangat yakin, aku akan jarang bertemu dengan mereka. Kemudian aku
dan Justin sudah menaiki tangga rumah, aku bahkan tidak tahu kalau sekarang aku
sudah berada di dalam rumah. Apa yang akan kita lakukan di atas? Masih banyak
tamu di bawah sana. Oh, sialan!
***
“Aku
benar-benar lelah,” keluh Justin membuka tuxedo miliknya yang berwarna hitam.
Kemudian ia melepas rompi hitam yang ia pakai dan dasi kupu-kupu yang ia pakai.
Sungguh, ia tidak terlihat konyol atau jelek. Ia terlihat tampan. Sedangkan aku
terduduk di atas tempat tidur dan berusaha untuk tidak merasa risih dengan
dadaku yang kurasa, Justin bisa melihatnya sekarang. Dia tinggi dan ia sedang
berdiri, tentu saja ia melihatnya. Beberapa detik kemudian aku mengangguk
setuju.
Anting-anting
berat ini. Uh, sungguh membuat telingaku ingin jatuh ke lantai sekarang. Dengan
perlahan, aku melepaskan mereka satu per satu.
“Anna,
kurasa kau harus berganti pakaian,” ujarnya. Oh, ya. Benar. Mengganti pakaian.
Aku berdiri dari tempat tidur dan mengambil pakaianku dari koper. Aku belum
membongkarnya untuk menaruh di lemari. Aku bahkan belum tahu apa aku sudah
memiliki lemari atau belum. Yang jelas aku langsung mengambil pakaian tidurku
dan pergi ke kamar mandi.
Aku
keluar dari kamar mandi dan mendapati Justin yang sudah terbaring di atas
tempat tidur dengan hanya boxer putih yang ia pakai. Oh, Tuhan. Bisakah aku
tidur dengan nyenyak lagi? Kemarin ia tidak seperti ini, tapi ..uh, astaga. Aku
rasa kakiku sudah bergetar. Hati-hati, aku naik ke atas ranjang tempat tidur.
Suara music masih terdengar dari bawah sana. Justin masih membuka matanya dan
menatap gerak-gerikku. Oh, astaga. Dia benar-benar mengintimidasiku. Aku masuk
ke dalam selimut bersama dengannya.
“Senang
melihatmu berada di tempat tidurku lagi, Mrs. Bieber. Sekarang aku mempunyai
banyak pertanyaan untuk kau jawab.” Ujarnya dengan mantap. Kuanggukan kepalaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar