***
“Hei,”
sapa Finn yang menutup lokerku tiba-tiba. Aku yang melihat Finn berdiri di
depanku hanya dapat memberikan wajah yang biasa-biasa saja. Aku tahu ia tampan.
Gagah. Modis. Dan bibirnya juga menggugah selera untuk dicium. Tapi hari ini
aku sedang tak bergairah. Orangtuaku memarahiku pagi ini karena ini hari Senin
dan aku tidak bangun pagi. Mereka memarahiku habis-habisan. Kau tahu,
keluargaku itu mencintai waktu. Mereka sungguh cepat dan disiplin. Sedangkan
aku? Aku orang yang santai. Tak bisa cepat seperti ayah, ibu atau Will yang
memang terlalu cepat bagiku. Itu bagiku.
“Kau
terlihat tidak begitu bersemangat. Kau baru dimarahi?” tanya Finn yang kurasa
ia bisa membaca pikiranku. Sama seperti Justin. Pagi ini, aku tidak melihat
Justin. Kurasa ia belum datang. Mungkin, ia sedang dimarahi juga oleh ayahnya.
Well, 2 hari yang lalu, saat aku menginap di rumah Justin. Aku ingin bertanya
pada Justin tentang orangtuanya. Maksudku, ibunya. Aku tak melihat 1 foto pun
yang melekat di dinding atau terpajang di atas meja rias. Tidak. Aku sungguh
penasaran, ingin melihat foto ibunya. Dan ayahnya, aku belum pernah melihat
ayahnya. Menurut teman-teman, Justin sangat menyayangi ayahnya. Mungkin, karena
ayahnya pergi kemarin, jadi ia membutuhkanku. Tapi aku belum tahu pasti. Yang
pasti adalah, menurutku, Justin itu memiliki khayalan yang tinggi.
Imajinasinya, maksudku. Mana mungkin ia bisa melihat seorang hantu? Itu sungguh
mustahil. Mungkin saat itu Justin mabuk air kolam renang. Jadi, dia bersikap
seperti itu.
Finn
menatapku dengan wajah yang khawatir. Tidak seperti biasanya. Maksudku, ia tidak
pernah khawatir karena ia selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik.
Contohnya, Sarah. Sarah McCann. Ia seorang Cheer Leader. Yeah, wanita terkenal
dengan keseksian dan kecantikannya. Aku tidak tahu mengapa Finn selalu
mendekatiku jika tidak ada Sarah. Aku tidak terlalu memikirkannya, yang
kupikirkan hanyalah ketampanannya. Mungkin jika boleh, aku ingin menciumnya.
“Yeah,
orangtuaku memarahiku,” ucapku dengan singkat. Finn bersiul.
“Fiuh!
Kurasa hari ini kita bisa makan siang di kantin, apa kau mau?” tanya Finn tanpa
berbasa-basi. Aku hanya menganggukkan kepalaku dengan pasrah. Dah membuka
kembali lokerku. Menaruh buku yang baru saja oleh Mr.Gatch. Sungguh, aku
membenci Mr.Gatch karena jika ia mengajar, suaranya begitu kecil dan aku tidak
tahu apa yang ia bicarakan. Kau tahu, tentang Tatanan Amerika sekarang. Sungguh
membosankan. Aku bahkan tidak ingin belajar dengannya lagi. Sungguh. Bukannya
ingin pamer. Aku tidak bermaksud kalau aku tidak memerlukannya karena aku
cerdas, tapi dianya yang ingin kucincang atau kalau bisa aku akan memberikannya
donor pita suara agar suaranya lebih besar. Padahal dia lelaki. Rata-rata
lelaki bersuara besar. Aneh.
****
Kulihat
Justin kembali seperti biasanya. Terdiam di sudut kantin. Tumben sekali ia
datang ke kantin. Ia malah lebih pendiam daripada biasanya. Tak ingin berbicara
denganku. Padahal, aku sudah menyapanya.
Dan dari tadi, Finn sungguh membosankan. Kau tahu, ia terus bercerita tentang
Baseball, Futbol, dan Basket. Aku tidak suka olahraga.
“Dan
kau tahu? Thomas bahkan tak bisa mengalahkanku!” seru Finn dengan suara yang
besar. Aku hanya tertawa dan mengangguk-angguk dengan palsu. Kemudian aku
berdiri dari tempat dudukku. Berniat untuk pergi ke toilet.
“Aku
ingin ke toilet sebentar,” ucapku pamit.
Kuhantarkan
kakiku menuju toilet. Kulihat Sarah telihat begitu akrab dengan seorang anak
baru yang datang. Dia tampan. Baru kutahu kalau ia bernama Niall, Niall Horan.
Tapi aku tidak begitu tertarik dengan gigi kawat yang ia pakai. Tapi
selebihnya, ia lumayan tampan. Tiba-tiba saja ada yang menarik tanganku. Aku
terkejut setengah mati saat aku sudah berada di sebuah lorong yang sepi. HAH?!
Sepi? Maksudku, sekarang jam istirahat dan lorong ini sepi? Kulihat Justin yang
melihatku dengan tatapan aneh.
“Ada
hubungan apa kau dengan Finn?” tanya Justin yang untuk pertama kalinya
kudengar, hari ini.
***
Aku
tersentak saat Justin bertanya seperti itu padaku. Rasanya, sungguh aneh. Kau
tahu maksudku. Yeah, ini tidak seperti biasanya. Kenapa ia begitu ingin tahu tentang
hubunganku dengan Finn? Aku tidak ingin percaya diri dulu. Siapa tahu Justin
hanya mempermainkan perasaanku. Justin yang memegang kedua bahuku, sekarang ia
meremasnya dengan lembut. Aku tidak tahu. Tapi aku merasa nyaman berada di
dekatnya. Apalagi saat aku melihat matanya yang begitu terang di lorong ini.
Rambutnya yang Mohawk membuatnya terlihat begitu macho. Deru nafasnya terdengar sampai ke
telingaku. Aku menelan ludahku dengan susahnya. Sungguh susah.
“Ak-aku
dan Finn hanya sekedar teman. Kenapa tiba-tiba kau bersikap seperti ini?”
tanyaku dengan bingung. Justin langsung menghembus nafasnya dengan lega dan
lalu melepaskan cengkraman tangannya pada bahuku. Dan bersiul.
“Fiuh!
Untunglah,” ucap Justin yang membuatku semakin penasaran, apa sebenarnya yang
sedang terjadi sekarang. Aku menegakkan tubuhku dan melihatnya dengan bingung.
“Kenapa
memangnya?” tanyaku sudah kelewat sabar. Aku orangnya mudah penasaran sehingga
apa pun yang ingin kuketahui, aku harus cari tahu. Apa pun.
“Tidak,
aku hanya ingin kau tidak berpacaran dengan Finn. Kau tahu kan kalau ia sudah
bercinta dengan beberapa anak perempuan di sekolah,” ucap Justin
memperingatkan. Oh, apa itu benar? Maksudku, aku baru tahu kalau Finn adalah
seorang yang sering bermain dengan wanita. Sebenarnya, aku sudah menerkanya
sejak pertama kali aku bertemu Finn. Tapi itu belum pasti. Tapi kenyataannya,
memang benar. Huh, untunglah Justin mengingatkanku. Mungkin kalau tidak, Finn
aku memerawaniku. Hahaha, ya, memang tidak lucu. Justin sungguh perhatian. Aku
menganggukkan kepalaku dan kurasa aku tidak jadi pergi ke toilet.
***
Kulihat
anak baru ini sugguh banyak tingkah. Mulai dia menjaili anak kutu buku hingga
seorang yang aneh. Aku membencinya. Tentu saja. Ia saja berteman dengan
Sarah. Si kapten Cheer yang hebat. Ish! Aku ingin sekali memukul anak baru itu. Ia
terlalu bertingkah. Entahlah, seharusnya ia bersosialisasi dengan baik dengan
anak yang lain. Bukan seperti ini. Kudengar gelak tawanya dari taman ini, aku
sedang bersama Justin yang sedang membaca sebuah buku yang menurutku tak
seharusnya ia baca. Ia baca sebuah Novel tentang Pembunuhan. Maksudku, tak
wajar jika lelaki membaca sebuah Novel. Kebanyakkan lelaki berolahraga, seperti
Finn. Dan dari tadi, Justin selalu merespon perkataanku dengan gumaman. Itu
sungguh menyebalkan. Aku berdiri dari tempat dudukku.
“Mau
ke mana?” tanya Justin yang masih membaca bukunya.
“Aku
ingin menegur anak itu,” ucapku dengan cepat. Sungguh, aku benci sekali saat
Niall menyiram slushy kepada seorang
lelaki yang pendek dengan kacamata yang besar. Memang gigi kawatnya itu bagus?
Cih! Itu justru lebih jelek dari pada
lelaki yang pendek itu, yang baru kutahu nama dia adalah Artie.
“Kau
tidak perlu ke sana,” ucap Justin singkat dan dingin , “Tidak ada gunanya,”
ucap Justin. Aku mendengus dan langsung terduduk di kursiku kembali. Ke mana Nicola?
Tadi saat di kantin, ia bilang akan menyusulku dengan Justin di taman ini. Tapi
sudah hampir setengah jam menunggu, ia tak muncul-muncul juga. Aku sudah
mengirimi dia pesan, tapi ia juga tidak membalasnya.
“Aku
akan membunuhnya,” ucap Justin dengan suara yang paling kecil yang pernah
kudengar. Aku tidak tahu apa memang itu yang Justin bilang.
“Apa?”
tanyaku ingin tahu. Justin melihatku dan terkekeh.
“Oh,
tidak. Aku hanya membaca tulisan ini, ‘Aku tidak menyukainya, maka, aku akan
membunuhnya’,” ucap Justin mengutip kata-kata dari Novel itu. Aku hanya
mengangguk-anggukkan kepalaku percaya. Huh, Nicola. Aku sungguh bosan. Kapan
kau datang?
****
“Kau
setan! Ke mana saja tadi kau?” tanyaku kasar pada Nicola yang baru saja datang
ke taman ini. Justin sudah pulang beberapa menit yang lalu dan dengan setianya
aku menunggu Nicola. Sekarang aku tahu mengapa ia datang lama. Ia mau
Justin pulang terlebih dahulu, baru dia
datang. Ia bilang kalau ia takut sekali dengan Justin. Kau tahu, Justin
pembunuh. Itu katanya.
“Aku
sudah mengirimi kau pesan tadi, apa dia sudah benar-benar pulang?” tanya Nicola
yang melihat-lihat sekitar sini. Ia benar-benar panaroid. Maksudku, aku tidak
mungkin berbohong padanya. Justin sudah benar-benar pulang.
Aku
melihat Niall yang masih saja berdiri dengan Sarah di dekat sebuah pohon besar.
Hanya mereka berdua. Tidak ada teman-temannya yang lain, seperti beberapa menit
yang lalu. Aku sungguh tidak menyukai pemandangan ini. Sebenarnya, aku
biasa-biasa saja saja dengan Niall. Tapi mengapa tiba-tiba saja dia bertingkah
seperti Sarah yang terlihat sok itu, mengganggu orang lain? Aku harap Niall
mendapat karmanya. Begitu juga dengan Sarah.
“Ayo
kita pulang, aku sudah bosan di sini,” ucapku dengan pelan dan berdiri dari
tempat dudukku. Aku melihat Nicola yang merengut.
“Kenapa
cepat sekali?” tanya Nicola seperti tak dihargai karena dia sudah datang. Siapa
suruh dia datang lama sekali hanya karena Justin? Sungguh tidak masuk akal.
Justin tidak akan membunuh orang di depan banyak orang seperti ini. Bukannya
aku bermaksud dan berpikiran kalau Justin adalah pembunuh. Hanya aku
membenarkan saja.
Kuhantarkan
kakiku sambil terus melihat Niall yang tertawa-tawa dengan senang. Aku berharap
ia akan mendapat ganjarannya.
***
“Hahaha!
Ya, mengapa memangnya?” tanya Niall yang menertawakanku setelah tadi aku
menegurnya untuk tidak mengganggu seorang perempuan yang memakai kaca mata dan
kawat gigi, yang sedang melewati Niall dan Sarah. Aku masih berada di sekolah.
Niatnya, aku ingin pulang. Tapi setelah Nicola bersungut-sungut untuk tidak
pulang karena orangtuanya pasti akan menyuruhnya untuk belajar. Jadi, untuk
beberapa menit, aku dan Nicola berdiam diri di taman. Tapi saat aku melihat
Niall yang mendorong-dorong tubuh perempuan yang memakai kaca mata dan kawa
gigi itu, yang baru kutahu kalau dia bernama Mulan. Ia ternyata orang Asia. Aku
langsung berdiri dan menghampiri Niall untuk tidak memperlakukan wanita seperti
itu lagi.
“Kau
mau tahu mengapa? Karena, lelaki yang melawan wanita itu adalah banci! Kau
harus tahu itu, Niall Horan anak baru yang sok sekali!” seruku begitu kesal.
Aku tidak suka jika seseorang menindas orang lain. Menurut kalian, aku sedang
menindas? Tentu tidak. Aku sedang menerapkan kesopanan dan menghargai orang
kepada Niall Horan si Anak Baru yang Sok Tahu. Niall terdiam. Sarah mulai
memajuiku dengan tangan yang ia lipat di depan dadanya.
“Kalau
begitu, lawan aku,” ucap Sarah dengan sok.
“Sarah
McCann. Kasihan sekali kau nak, kerjaanmu di sekolah hanyalah mengerjai anak
orang. Apa kau tidak mempunyai pekerjaan lain?” tanyaku seperti seorang dewasa.
Sarah mengangkat salah satu alisnya. Dan lalu ia mendorong bahuku ke belakang.
Sial! Aku tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh siapapun, kecuali dengan
Will jika aku sedang bertengkar.
“Jangan
sentuh dia sekali lagi, dengar?” tanya seorang lelaki yang sangat membuatku
terkejut. Dia Justin. Kupikir dia sudah pulang. Ia berbicara begitu dingin
namun tegas pada Sarah. Sarah hanya tertawa dengan hambar.
“Kau
mau apa Mr. Freak Bieber? Melawanku? Apa kau tidak dengar? Temanmu bilang,
lelaki yang melawan wanita itu banci! Berarti kau banci Mr. Freak Bieber!!”
tawa Sarah membahana. Justin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku melirik
ke arah Nicola yang tadinya berada di sebelahku sekarang sudah menjauh satu
langkah. Anak ini! Sungguh berlebihan.
“Darah
akan segera mengalir,” ucap Justin dengan pelan dan dingin. Tawa Sarah berhenti
dan lalu maju satu langkah untuk mendekati Justin. Wajah mereka sungguh dekat.
“Yeah,
darah keperawananmu, Mr. Freak Bieber!! HAHAHAHA!” tawa Sarah.
“Darah
kematianmu,” ucap Justin dengan cepat. Aku menganga. Kematian? Oh, jangan
bilang kalau Justin memang seorang pembunuh.
“Ayo
kita pulang,” ucap Justin dengan cepat dan menarik tanganku untuk berlalu dari
hadapan Sarah yang masih tertawa. Kulihat Niall yang terlihat begitu ketakutan
saat Justin datang. Tapi, membunuh? Memang cukup menakutkan.
****
Kemarin
adalah hari yang paling menegangkan dalam kehidupanku. Aku sedang berada di
dalam kelas. Masih kosong. Aku begitu rajin datang pagi-pagi seperti ini. Aku
tidak ingin dimarahi oleh orangtuaku lagi, seperti kemarin. Dan aku sedang
menunggu Nicola. Aku sudah mengirimi dia pesan berkali-kali untuk datang ke
sekolah sekarang. Aku tahu ia pemalas, tapi apakah dia tidak ingin menghabis
waktu sebelum pelajaran sekolah dimulai bersama sahabatnya? Oh, yeah, itu
Nicola. Dia tidak akan mau. Dia lebih memikirkan Will, adikku. Ya, dia menyukai
Will. Dan aku tidak menyetujuinya. Aku meminta Will untuk menjauhi Nicola agar
mereka tidak berpacaran. Aku tidak ingin itu terjadi. Tiba-tiba aku mendengar
suara orang yang melangkah ke arah kelasku. Kulihat Finn yang datang begitu
cepat pagi ini. Ia berlari-lari bagaikan orang dikejar oleh setan.
“Sarah
..Hhh.. Sarah meninggal!” ujar Finn yang benar-benar membuatku tersentak
setengah mati. Justin?
***
Aku
berpikir keras. Mengapa Sarah bisa meninggal? Apa dia dibunuh oleh Justin? Aku
tidak begitu yakin dengan pernyataan itu. Walau Niall dan Nicola berpikiran kalau
Justin adalah orang yang membunuh Sarah. Aku tidak percaya itu. Kemarin aku
berbicara dengan Justin lewat telepon dan membicarakan soal kemarin sore. Dia
bilang kalau ia hanya menakut-nakuti Sarah. Tapi apa itu memang benar? Aku ragu
dengan semua yang kudengar. Termasuk dengan pembunuhan itu. Sarah meninggal di
depan belakang taman rumahnya dengan tubuh yang menurutku ..Astaga, sungguh
menyeramkan. Darahnya keluar dari mulutnya dengan kepala yang patah, maksudku,
kepalanya sungguh menempel pada lehernya. Dan terlihat robekkan di samping
lehernya. Sangat masuk akal jika orang yang membunuh itu mematahkan kepala
Sarah. Dan orang yang membunuh Sarah meninggalkan pesan tepat di depan mata
Sarah yang katanya masih terbuka saat meninggal, dengan tulisan ‘Selamat
Tinggal’. Tulisan itu adalah tulisan Prancis. Aku bahkan tidak pernah melihat
Justin menulis tulisan Prancis. Itu menurut cerita Finn tadi pagi. Yang
membuatku berhenti bernafas. Dan Nicola, ia terus melihat Justin dengan tatapan
dingin.
Ini
sungguh tidak masuk akal. Mengapa aku berpikir demikian? Karena tidak mungkin
Justin masuk sekolah jika dia membunuh Sarah. Meski para murid di sekolah ini
melihat Justin terus menerus saat Justin melewati mereka. Mereka sungguh bodoh.
Justin juga pasti mempunyai rasa malu jika ia melakukan hal seperti itu. Bahkan
ia akan dikeluarkan oleh pihak Sekolah jika melakukan hal demikian . Dan bukti
juga belum meyakinkan. Aku tidak akan percaya jika bukan Justin yang berbicara.
Aku yakin Justin tak mungkin membunuh ibu atau Sarah. Mereka bilang seperti itu
karena mereka tidak dekat dengan Justin.
Dan
dari tadi Finn terus mengoceh tentang Justin yang menurut dia aneh dan seperti
psikopat. Kau tahu, psikopat itu antisocial. Tapi Justin tidak antisocial. Ia
mau berteman denganku. Tapi masuk akal jika dia mempunyai kepribadian ganda.
Mungkin salah satu kepribadiannya baik dan yang satunya jahat. Itu sungguh aneh
dan menyeramkan menurutku. Siapa tahu memang benar Justin adalah psikopat. Tapi
itu tidak mungkin.
“Dan
aku yakin, Justin adalah psikopat. Percaya padaku,” ucap Finn dengan suara yang
kecil. Yeah, kami sedang berada di kantin bersama Nicola. Aku dari tadi melihat
Justin yang meminum Sprite di sudut kantin. Ia terus dilihati oleh orang yang
berlalu lalang. Sungguh, aku ingin sekali menemaninya. Tapi, Nicola pasti
melarangku. Aku lebih sayang dengan Nicola dari pada Justin.
“Aku
kurang yakin,” ucapku membuka suara. Nicola mendesah lelah. Kurasa ia bosan
dengan perkataanku. Pasti ia sudah menduga perkataanku.
“Sudah
kuduga kau akan membalasnya seperti itu, jangan berbicara tentang Justin di
depan dia Finn,” ucap Nicky, menyarankan. Finn menganggukkan kepalanya dan
membuang nafasnya hingga menerpa wajahku. Kembali aku melihat Justin yang
ternyata melihatku. Aku hanya melambaikan tanganku padanya dan tersenyum dengan
manis. Tapi sedetik kemudian, ia tak melihatku lagi. Senyumanku langsung surut
begitu saja.
****
“Kau
percaya pada mereka, iya kan?” tanya Justin yang tiba-tiba saja muncul di
sebelahku. Aku sedang menenangkan diri di taman belakang sekolah dengan santai.
Berusaha untuk menjauhi segala hal yang hampir membuatku gila. Mulai dari tugas
sekolah hingga urusan Justin. Untung saja, jadwal pelajaran hari ini sedikit.
Maksudku, sudah selesai. Dan seharusnya aku sudah pulang. Begitu sepi di sini.
Aku melihat ke arah Justin dan menghelakan nafasku. Tentu saja aku tidak
percaya, karena aku yakin Justin tidak sejahat itu. Aku yakin!
“Tidak,”
ucapku dengan jujur. Justin menghelakan nafasnya dengan panjang dan memejamakan
matanya. Ia menyandarkan tubuhnya pada pohon, sepertiku.
“Kau
satu-satunya teman yang paling baik, sama seperti Benny,” ucap Justin yang
kurasa mulai gila. Aku yakin ia membicarkan Benny karena dia terlalu banyak
bernafas. Seharusnya ia pingsan sejenak agar ia melupakan Benny. Ia teringat
Benny jika ia mabuk udara atau mabuk air kolam.
“Justin,
apa perlu kau kubawa ke Psikater?” tanyaku yang membuat Justin terkekeh. Sungguh,
ini tidak lucu. Sebenarnya aku serius. Tapi dengan refleks, aku tertawa paksa.
“Haha,
haha, ya.Aku cuma becanda, haha,” tawaku tegang. Tiba-tiba Justin tertawa.
Seperti sungguh aneh. Maksudku, tatapannya langsung berubah. Dan tiba-tiba saja
Justin menindih tubuhku. Di taman yang sepi. Hanya aku dan Justin berdua.
“Aku
menyukainya, maka aku tidak membunuhnya,” ucap Justin yang membuatku semakin
bingung. Mungkin ia mengutip kata-kata itu dari Novel Pembunuhannya.
Deru
nafasnya begitu terdengar di telingaku. Angin menerpa tubuhku dan Justin.
Perutku sudah berada diantara kedua kakinya. Kedua lenganku sudah bersentuhan
dengan kedua lengannya yang mengapit tubuhku. Sekarang, wajahnya begitu dekat
dengan wajahku. Aku menatapi matanya yang begitu cerah. Mata kucing. Meski aku
benci kucing, tapi aku suka jika Justin yang menjadi kucingnya. Tiba-tiba saja
Justin mengelus pipiku dengan lembut. Membuat pipiku memerah. Aku menahan
senyumanku. Tiba-tiba bibirnya sudah bersentuhan denganku. Aku memejamkan
mataku untuk meresapi ciuman ini. Kemudian, aku membuka mulutku untuk
memperdalam ciuman ini. Astaga! Ini sekolah! Ini sekolah! Aku langsung
melepaska ciumanku dengan Justin.
“Kita
tidak melakukannya Justin, ini sekolah. Tidak, kita tidak boleh,” ucapku dengan
cepat. Kulihat Justin merajuk.
“Kenapa?
Tapi kau menikmatinya,” ucap Justin. Aku menganggukkan kepalaku tanpa malu.
“Tapi
aku baru sadar kalau ini di sekolah,” ucapku mendorong tubuh Justin. Sontak
Justin berdiri. Justin menganggukkan kepalanya dan membersihkan lututnya.
“Yeah,
kau benar,” ucap Justin tersenyum padaku. Aku juga langsung berdiri dan
mengangkat tasku. Dan lalu Justin menarik tanganku tanpa berbicara.
“Lebih
baik kau pulang,” ucap Justin padaku.
“Oh,
tidak Justin, tapi aku menunggu Nicky,” ucapku menolaknya dengan halus.
“Baiklah,
tapi kita bisa pergi ke taman depan,” ucap Justin mengajak aku hanya
menganggukkan kepalaku. Pasrah. Aku hanya dapat tersenyum dan lalu kugigit
bibirku. Aku tidak tahu mengapa jika Justin memperlakukanku seperti ini, pipiku
merona atau biasanya aku menggigit bibir. Tidak seperti saat Finn berbicara
denganku dan memujiku. Well, Finn hanya memujiku seperti lelaki lainnya. Tidak
terlalu mengesankan dan tentunya tidak membuatku merona.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar