Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Bieber is Psychopath Part 2




***

            “Hei,” sapa Finn yang menutup lokerku tiba-tiba. Aku yang melihat Finn berdiri di depanku hanya dapat memberikan wajah yang biasa-biasa saja. Aku tahu ia tampan. Gagah. Modis. Dan bibirnya juga menggugah selera untuk dicium. Tapi hari ini aku sedang tak bergairah. Orangtuaku memarahiku pagi ini karena ini hari Senin dan aku tidak bangun pagi. Mereka memarahiku habis-habisan. Kau tahu, keluargaku itu mencintai waktu. Mereka sungguh cepat dan disiplin. Sedangkan aku? Aku orang yang santai. Tak bisa cepat seperti ayah, ibu atau Will yang memang terlalu cepat bagiku. Itu bagiku.
            “Kau terlihat tidak begitu bersemangat. Kau baru dimarahi?” tanya Finn yang kurasa ia bisa membaca pikiranku. Sama seperti Justin. Pagi ini, aku tidak melihat Justin. Kurasa ia belum datang. Mungkin, ia sedang dimarahi juga oleh ayahnya. Well, 2 hari yang lalu, saat aku menginap di rumah Justin. Aku ingin bertanya pada Justin tentang orangtuanya. Maksudku, ibunya. Aku tak melihat 1 foto pun yang melekat di dinding atau terpajang di atas meja rias. Tidak. Aku sungguh penasaran, ingin melihat foto ibunya. Dan ayahnya, aku belum pernah melihat ayahnya. Menurut teman-teman, Justin sangat menyayangi ayahnya. Mungkin, karena ayahnya pergi kemarin, jadi ia membutuhkanku. Tapi aku belum tahu pasti. Yang pasti adalah, menurutku, Justin itu memiliki khayalan yang tinggi. Imajinasinya, maksudku. Mana mungkin ia bisa melihat seorang hantu? Itu sungguh mustahil. Mungkin saat itu Justin mabuk air kolam renang. Jadi, dia bersikap seperti itu.
            Finn menatapku dengan wajah yang khawatir. Tidak seperti biasanya. Maksudku, ia tidak pernah khawatir karena ia selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Contohnya, Sarah. Sarah McCann. Ia seorang Cheer Leader. Yeah, wanita terkenal dengan keseksian dan kecantikannya. Aku tidak tahu mengapa Finn selalu mendekatiku jika tidak ada Sarah. Aku tidak terlalu memikirkannya, yang kupikirkan hanyalah ketampanannya. Mungkin jika boleh, aku ingin menciumnya.
            “Yeah, orangtuaku memarahiku,” ucapku dengan singkat. Finn bersiul.
            “Fiuh! Kurasa hari ini kita bisa makan siang di kantin, apa kau mau?” tanya Finn tanpa berbasa-basi. Aku hanya menganggukkan kepalaku dengan pasrah. Dah membuka kembali lokerku. Menaruh buku yang baru saja oleh Mr.Gatch. Sungguh, aku membenci Mr.Gatch karena jika ia mengajar, suaranya begitu kecil dan aku tidak tahu apa yang ia bicarakan. Kau tahu, tentang Tatanan Amerika sekarang. Sungguh membosankan. Aku bahkan tidak ingin belajar dengannya lagi. Sungguh. Bukannya ingin pamer. Aku tidak bermaksud kalau aku tidak memerlukannya karena aku cerdas, tapi dianya yang ingin kucincang atau kalau bisa aku akan memberikannya donor pita suara agar suaranya lebih besar. Padahal dia lelaki. Rata-rata lelaki bersuara besar. Aneh.


****

            Kulihat Justin kembali seperti biasanya. Terdiam di sudut kantin. Tumben sekali ia datang ke kantin. Ia malah lebih pendiam daripada biasanya. Tak ingin berbicara denganku. Padahal, aku  sudah menyapanya. Dan dari tadi, Finn sungguh membosankan. Kau tahu, ia terus bercerita tentang Baseball, Futbol, dan Basket. Aku tidak suka olahraga.
            “Dan kau tahu? Thomas bahkan tak bisa mengalahkanku!” seru Finn dengan suara yang besar. Aku hanya tertawa dan mengangguk-angguk dengan palsu. Kemudian aku berdiri dari tempat dudukku. Berniat untuk pergi ke toilet.
            “Aku ingin ke toilet sebentar,” ucapku pamit.

            Kuhantarkan kakiku menuju toilet. Kulihat Sarah telihat begitu akrab dengan seorang anak baru yang datang. Dia tampan. Baru kutahu kalau ia bernama Niall, Niall Horan. Tapi aku tidak begitu tertarik dengan gigi kawat yang ia pakai. Tapi selebihnya, ia lumayan tampan. Tiba-tiba saja ada yang menarik tanganku. Aku terkejut setengah mati saat aku sudah berada di sebuah lorong yang sepi. HAH?! Sepi? Maksudku, sekarang jam istirahat dan lorong ini sepi? Kulihat Justin yang melihatku dengan tatapan aneh.
            “Ada hubungan apa kau dengan Finn?” tanya Justin yang untuk pertama kalinya kudengar, hari ini.


***

            Aku tersentak saat Justin bertanya seperti itu padaku. Rasanya, sungguh aneh. Kau tahu maksudku. Yeah, ini tidak seperti biasanya. Kenapa ia begitu ingin tahu tentang hubunganku dengan Finn? Aku tidak ingin percaya diri dulu. Siapa tahu Justin hanya mempermainkan perasaanku. Justin yang memegang kedua bahuku, sekarang ia meremasnya dengan lembut. Aku tidak tahu. Tapi aku merasa nyaman berada di dekatnya. Apalagi saat aku melihat matanya yang begitu terang di lorong ini. Rambutnya yang Mohawk  membuatnya terlihat begitu macho. Deru nafasnya terdengar sampai ke telingaku. Aku menelan ludahku dengan susahnya. Sungguh susah.
            “Ak-aku dan Finn hanya sekedar teman. Kenapa tiba-tiba kau bersikap seperti ini?” tanyaku dengan bingung. Justin langsung menghembus nafasnya dengan lega dan lalu melepaskan cengkraman tangannya pada bahuku. Dan bersiul.
            “Fiuh! Untunglah,” ucap Justin yang membuatku semakin penasaran, apa sebenarnya yang sedang terjadi sekarang. Aku menegakkan tubuhku dan melihatnya dengan bingung.
            “Kenapa memangnya?” tanyaku sudah kelewat sabar. Aku orangnya mudah penasaran sehingga apa pun yang ingin kuketahui, aku harus cari tahu. Apa pun.
            “Tidak, aku hanya ingin kau tidak berpacaran dengan Finn. Kau tahu kan kalau ia sudah bercinta dengan beberapa anak perempuan di sekolah,” ucap Justin memperingatkan. Oh, apa itu benar? Maksudku, aku baru tahu kalau Finn adalah seorang yang sering bermain dengan wanita. Sebenarnya, aku sudah menerkanya sejak pertama kali aku bertemu Finn. Tapi itu belum pasti. Tapi kenyataannya, memang benar. Huh, untunglah Justin mengingatkanku. Mungkin kalau tidak, Finn aku memerawaniku. Hahaha, ya, memang tidak lucu. Justin sungguh perhatian. Aku menganggukkan kepalaku dan kurasa aku tidak jadi pergi ke toilet.


***

            Kulihat anak baru ini sugguh banyak tingkah. Mulai dia menjaili anak kutu buku hingga seorang yang aneh. Aku membencinya. Tentu saja. Ia saja berteman dengan Sarah.  Si kapten Cheer yang hebat. Ish! Aku ingin sekali memukul anak baru itu. Ia terlalu bertingkah. Entahlah, seharusnya ia bersosialisasi dengan baik dengan anak yang lain. Bukan seperti ini. Kudengar gelak tawanya dari taman ini, aku sedang bersama Justin yang sedang membaca sebuah buku yang menurutku tak seharusnya ia baca. Ia baca sebuah Novel tentang Pembunuhan. Maksudku, tak wajar jika lelaki membaca sebuah Novel. Kebanyakkan lelaki berolahraga, seperti Finn. Dan dari tadi, Justin selalu merespon perkataanku dengan gumaman. Itu sungguh menyebalkan. Aku berdiri dari tempat dudukku.
            “Mau ke mana?” tanya Justin yang masih membaca bukunya.
            “Aku ingin menegur anak itu,” ucapku dengan cepat. Sungguh, aku benci sekali saat Niall menyiram slushy kepada seorang lelaki yang pendek dengan kacamata yang besar. Memang gigi kawatnya itu bagus? Cih! Itu justru lebih jelek dari  pada lelaki yang pendek itu, yang baru kutahu nama dia adalah Artie.
            “Kau tidak perlu ke sana,” ucap Justin singkat dan dingin , “Tidak ada gunanya,” ucap Justin. Aku mendengus dan langsung terduduk di kursiku kembali. Ke mana Nicola? Tadi saat di kantin, ia bilang akan menyusulku dengan Justin di taman ini. Tapi sudah hampir setengah jam menunggu, ia tak muncul-muncul juga. Aku sudah mengirimi dia pesan, tapi ia juga tidak membalasnya.
            “Aku akan membunuhnya,” ucap Justin dengan suara yang paling kecil yang pernah kudengar. Aku tidak tahu apa memang itu yang Justin bilang.
            “Apa?” tanyaku ingin tahu. Justin melihatku dan terkekeh.
            “Oh, tidak. Aku hanya membaca tulisan ini, ‘Aku tidak menyukainya, maka, aku akan membunuhnya’,” ucap Justin mengutip kata-kata dari Novel itu. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku percaya. Huh, Nicola. Aku sungguh bosan. Kapan kau datang?


****

            “Kau setan! Ke mana saja tadi kau?” tanyaku kasar pada Nicola yang baru saja datang ke taman ini. Justin sudah pulang beberapa menit yang lalu dan dengan setianya aku menunggu Nicola. Sekarang aku tahu mengapa ia datang lama. Ia mau Justin  pulang terlebih dahulu, baru dia datang. Ia bilang kalau ia takut sekali dengan Justin. Kau tahu, Justin pembunuh. Itu katanya.
            “Aku sudah mengirimi kau pesan tadi, apa dia sudah benar-benar pulang?” tanya Nicola yang melihat-lihat sekitar sini. Ia benar-benar panaroid. Maksudku, aku tidak mungkin berbohong padanya. Justin sudah benar-benar pulang.
            Aku melihat Niall yang masih saja berdiri dengan Sarah di dekat sebuah pohon besar. Hanya mereka berdua. Tidak ada teman-temannya yang lain, seperti beberapa menit yang lalu. Aku sungguh tidak menyukai pemandangan ini. Sebenarnya, aku biasa-biasa saja saja dengan Niall. Tapi mengapa tiba-tiba saja dia bertingkah seperti Sarah yang terlihat sok itu, mengganggu orang lain? Aku harap Niall mendapat karmanya. Begitu juga dengan Sarah.
            “Ayo kita pulang, aku sudah bosan di sini,” ucapku dengan pelan dan berdiri dari tempat dudukku. Aku melihat Nicola yang merengut.
            “Kenapa cepat sekali?” tanya Nicola seperti tak dihargai karena dia sudah datang. Siapa suruh dia datang lama sekali hanya karena Justin? Sungguh tidak masuk akal. Justin tidak akan membunuh orang di depan banyak orang seperti ini. Bukannya aku bermaksud dan berpikiran kalau Justin adalah pembunuh. Hanya aku membenarkan saja.
            Kuhantarkan kakiku sambil terus melihat Niall yang tertawa-tawa dengan senang. Aku berharap ia akan mendapat ganjarannya.


***

            “Hahaha! Ya, mengapa memangnya?” tanya Niall yang menertawakanku setelah tadi aku menegurnya untuk tidak mengganggu seorang perempuan yang memakai kaca mata dan kawat gigi, yang sedang melewati Niall dan Sarah. Aku masih berada di sekolah. Niatnya, aku ingin pulang. Tapi setelah Nicola bersungut-sungut untuk tidak pulang karena orangtuanya pasti akan menyuruhnya untuk belajar. Jadi, untuk beberapa menit, aku dan Nicola berdiam diri di taman. Tapi saat aku melihat Niall yang mendorong-dorong tubuh perempuan yang memakai kaca mata dan kawa gigi itu, yang baru kutahu kalau dia bernama Mulan. Ia ternyata orang Asia. Aku langsung berdiri dan menghampiri Niall untuk tidak memperlakukan wanita seperti itu lagi.
            “Kau mau tahu mengapa? Karena, lelaki yang melawan wanita itu adalah banci! Kau harus tahu itu, Niall Horan anak baru yang sok sekali!” seruku begitu kesal. Aku tidak suka jika seseorang menindas orang lain. Menurut kalian, aku sedang menindas? Tentu tidak. Aku sedang menerapkan kesopanan dan menghargai orang kepada Niall Horan si Anak Baru yang Sok Tahu. Niall terdiam. Sarah mulai memajuiku dengan tangan yang ia lipat di depan dadanya.
            “Kalau begitu, lawan aku,” ucap Sarah dengan sok.
            “Sarah McCann. Kasihan sekali kau nak, kerjaanmu di sekolah hanyalah mengerjai anak orang. Apa kau tidak mempunyai pekerjaan lain?” tanyaku seperti seorang dewasa. Sarah mengangkat salah satu alisnya. Dan lalu ia mendorong bahuku ke belakang. Sial! Aku tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh siapapun, kecuali dengan Will jika aku sedang bertengkar.
            “Jangan sentuh dia sekali lagi, dengar?” tanya seorang lelaki yang sangat membuatku terkejut. Dia Justin. Kupikir dia sudah pulang. Ia berbicara begitu dingin namun tegas pada Sarah. Sarah hanya tertawa dengan hambar.
            “Kau mau apa Mr. Freak Bieber? Melawanku? Apa kau tidak dengar? Temanmu bilang, lelaki yang melawan wanita itu banci! Berarti kau banci Mr. Freak Bieber!!” tawa Sarah membahana. Justin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku melirik ke arah Nicola yang tadinya berada di sebelahku sekarang sudah menjauh satu langkah. Anak ini! Sungguh berlebihan.
            “Darah akan segera mengalir,” ucap Justin dengan pelan dan dingin. Tawa Sarah berhenti dan lalu maju satu langkah untuk mendekati Justin. Wajah mereka sungguh dekat.
            “Yeah, darah keperawananmu, Mr. Freak Bieber!! HAHAHAHA!” tawa Sarah.
            “Darah kematianmu,” ucap Justin dengan cepat. Aku menganga. Kematian? Oh, jangan bilang kalau Justin memang seorang pembunuh.
            “Ayo kita pulang,” ucap Justin dengan cepat dan menarik tanganku untuk berlalu dari hadapan Sarah yang masih tertawa. Kulihat Niall yang terlihat begitu ketakutan saat Justin datang. Tapi, membunuh? Memang cukup menakutkan.


****

            Kemarin adalah hari yang paling menegangkan dalam kehidupanku. Aku sedang berada di dalam kelas. Masih kosong. Aku begitu rajin datang pagi-pagi seperti ini. Aku tidak ingin dimarahi oleh orangtuaku lagi, seperti kemarin. Dan aku sedang menunggu Nicola. Aku sudah mengirimi dia pesan berkali-kali untuk datang ke sekolah sekarang. Aku tahu ia pemalas, tapi apakah dia tidak ingin menghabis waktu sebelum pelajaran sekolah dimulai bersama sahabatnya? Oh, yeah, itu Nicola. Dia tidak akan mau. Dia lebih memikirkan Will, adikku. Ya, dia menyukai Will. Dan aku tidak menyetujuinya. Aku meminta Will untuk menjauhi Nicola agar mereka tidak berpacaran. Aku tidak ingin itu terjadi. Tiba-tiba aku mendengar suara orang yang melangkah ke arah kelasku. Kulihat Finn yang datang begitu cepat pagi ini. Ia berlari-lari bagaikan orang dikejar oleh setan.
            “Sarah ..Hhh.. Sarah meninggal!” ujar Finn yang benar-benar membuatku tersentak setengah mati. Justin?


***

            Aku berpikir keras. Mengapa Sarah bisa meninggal? Apa dia dibunuh oleh Justin? Aku tidak begitu yakin dengan pernyataan itu. Walau Niall dan Nicola berpikiran kalau Justin adalah orang yang membunuh Sarah. Aku tidak percaya itu. Kemarin aku berbicara dengan Justin lewat telepon dan membicarakan soal kemarin sore. Dia bilang kalau ia hanya menakut-nakuti Sarah. Tapi apa itu memang benar? Aku ragu dengan semua yang kudengar. Termasuk dengan pembunuhan itu. Sarah meninggal di depan belakang taman rumahnya dengan tubuh yang menurutku ..Astaga, sungguh menyeramkan. Darahnya keluar dari mulutnya dengan kepala yang patah, maksudku, kepalanya sungguh menempel pada lehernya. Dan terlihat robekkan di samping lehernya. Sangat masuk akal jika orang yang membunuh itu mematahkan kepala Sarah. Dan orang yang membunuh Sarah meninggalkan pesan tepat di depan mata Sarah yang katanya masih terbuka saat meninggal, dengan tulisan ‘Selamat Tinggal’. Tulisan itu adalah tulisan Prancis. Aku bahkan tidak pernah melihat Justin menulis tulisan Prancis. Itu menurut cerita Finn tadi pagi. Yang membuatku berhenti bernafas. Dan Nicola, ia terus melihat Justin dengan tatapan dingin.  
            Ini sungguh tidak masuk akal. Mengapa aku berpikir demikian? Karena tidak mungkin Justin masuk sekolah jika dia membunuh Sarah. Meski para murid di sekolah ini melihat Justin terus menerus saat Justin melewati mereka. Mereka sungguh bodoh. Justin juga pasti mempunyai rasa malu jika ia melakukan hal seperti itu. Bahkan ia akan dikeluarkan oleh pihak Sekolah jika melakukan hal demikian . Dan bukti juga belum meyakinkan. Aku tidak akan percaya jika bukan Justin yang berbicara. Aku yakin Justin tak mungkin membunuh ibu atau Sarah. Mereka bilang seperti itu karena mereka tidak dekat dengan Justin. 
            Dan dari tadi Finn terus mengoceh tentang Justin yang menurut dia aneh dan seperti psikopat. Kau tahu, psikopat itu antisocial. Tapi Justin tidak antisocial. Ia mau berteman denganku. Tapi masuk akal jika dia mempunyai kepribadian ganda. Mungkin salah satu kepribadiannya baik dan yang satunya jahat. Itu sungguh aneh dan menyeramkan menurutku. Siapa tahu memang benar Justin adalah psikopat. Tapi itu tidak mungkin.
            “Dan aku yakin, Justin adalah psikopat. Percaya padaku,” ucap Finn dengan suara yang kecil. Yeah, kami sedang berada di kantin bersama Nicola. Aku dari tadi melihat Justin yang meminum Sprite di sudut kantin. Ia terus dilihati oleh orang yang berlalu lalang. Sungguh, aku ingin sekali menemaninya. Tapi, Nicola pasti melarangku. Aku lebih sayang dengan Nicola dari pada Justin.
            “Aku kurang yakin,” ucapku membuka suara. Nicola mendesah lelah. Kurasa ia bosan dengan perkataanku. Pasti ia sudah menduga perkataanku.
            “Sudah kuduga kau akan membalasnya seperti itu, jangan berbicara tentang Justin di depan dia Finn,” ucap Nicky, menyarankan. Finn menganggukkan kepalanya dan membuang nafasnya hingga menerpa wajahku. Kembali aku melihat Justin yang ternyata melihatku. Aku hanya melambaikan tanganku padanya dan tersenyum dengan manis. Tapi sedetik kemudian, ia tak melihatku lagi. Senyumanku langsung surut begitu saja.


****

            “Kau percaya pada mereka, iya kan?” tanya Justin yang tiba-tiba saja muncul di sebelahku. Aku sedang menenangkan diri di taman belakang sekolah dengan santai. Berusaha untuk menjauhi segala hal yang hampir membuatku gila. Mulai dari tugas sekolah hingga urusan Justin. Untung saja, jadwal pelajaran hari ini sedikit. Maksudku, sudah selesai. Dan seharusnya aku sudah pulang. Begitu sepi di sini. Aku melihat ke arah Justin dan menghelakan nafasku. Tentu saja aku tidak percaya, karena aku yakin Justin tidak sejahat itu. Aku yakin!
            “Tidak,” ucapku dengan jujur. Justin menghelakan nafasnya dengan panjang dan memejamakan matanya. Ia menyandarkan tubuhnya pada pohon, sepertiku.
            “Kau satu-satunya teman yang paling baik, sama seperti Benny,” ucap Justin yang kurasa mulai gila. Aku yakin ia membicarkan Benny karena dia terlalu banyak bernafas. Seharusnya ia pingsan sejenak agar ia melupakan Benny. Ia teringat Benny jika ia mabuk udara atau mabuk air kolam.
            “Justin, apa perlu kau kubawa ke Psikater?” tanyaku yang membuat Justin terkekeh. Sungguh, ini tidak lucu. Sebenarnya aku serius. Tapi dengan refleks, aku tertawa paksa.
            “Haha, haha, ya.Aku cuma becanda, haha,” tawaku tegang. Tiba-tiba Justin tertawa. Seperti sungguh aneh. Maksudku, tatapannya langsung berubah. Dan tiba-tiba saja Justin menindih tubuhku. Di taman yang sepi. Hanya aku dan Justin berdua.
            “Aku menyukainya, maka aku tidak membunuhnya,” ucap Justin yang membuatku semakin bingung. Mungkin ia mengutip kata-kata itu dari Novel Pembunuhannya.
            Deru nafasnya begitu terdengar di telingaku. Angin menerpa tubuhku dan Justin. Perutku sudah berada diantara kedua kakinya. Kedua lenganku sudah bersentuhan dengan kedua lengannya yang mengapit tubuhku. Sekarang, wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Aku menatapi matanya yang begitu cerah. Mata kucing. Meski aku benci kucing, tapi aku suka jika Justin yang menjadi kucingnya. Tiba-tiba saja Justin mengelus pipiku dengan lembut. Membuat pipiku memerah. Aku menahan senyumanku. Tiba-tiba bibirnya sudah bersentuhan denganku. Aku memejamkan mataku untuk meresapi ciuman ini. Kemudian, aku membuka mulutku untuk memperdalam ciuman ini. Astaga! Ini sekolah! Ini sekolah! Aku langsung melepaska ciumanku dengan Justin.
            “Kita tidak melakukannya Justin, ini sekolah. Tidak, kita tidak boleh,” ucapku dengan cepat. Kulihat Justin merajuk.
            “Kenapa? Tapi kau menikmatinya,” ucap Justin. Aku menganggukkan kepalaku tanpa malu.
            “Tapi aku baru sadar kalau ini di sekolah,” ucapku mendorong tubuh Justin. Sontak Justin berdiri. Justin menganggukkan kepalanya dan membersihkan lututnya.
            “Yeah, kau benar,” ucap Justin tersenyum padaku. Aku juga langsung berdiri dan mengangkat tasku. Dan lalu Justin menarik tanganku tanpa berbicara.
            “Lebih baik kau pulang,” ucap Justin padaku.
            “Oh, tidak Justin, tapi aku menunggu Nicky,” ucapku menolaknya dengan halus.
            “Baiklah, tapi kita bisa pergi ke taman depan,” ucap Justin mengajak aku hanya menganggukkan kepalaku. Pasrah. Aku hanya dapat tersenyum dan lalu kugigit bibirku. Aku tidak tahu mengapa jika Justin memperlakukanku seperti ini, pipiku merona atau biasanya aku menggigit bibir. Tidak seperti saat Finn berbicara denganku dan memujiku. Well, Finn hanya memujiku seperti lelaki lainnya. Tidak terlalu mengesankan dan tentunya tidak membuatku merona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar