Anak lelaki itu
menangis dengan air mata yang mengucur begitu deras. Bersembunyi dalam kolong
tempat tidurnya dengan raut wajah ketakutan dan sedih. BRAK! Pintu kamarnya
dibanting oleh seorang wanita paruh baya yang bukan ibunya. Selalu saja terjadi
setiap malam. Kehidupannya terlalu sulit dalam masa kanak-kanaknya. Dia Justin.
Justin Bieber. Seorang anak kelahiran 1 Maret 1994 itu sering sekali dipukuli
dan disiksa oleh ibu angkatnya. Goresan-goresan dan bekas-bekas pukulan wanita
paruh baya tadi selalu saja membuatnya sakit hati. Seharusnya tidak seperti
ini, pikir Justin dalam benaknya setiap kali ia pergi ke sekolah. Tak ada
teman. Tidak dapat bersosialisasi. Membuat dia berimajinasi dengan tingginya.
Imajinasi menjadi seorang lelaki yang tampan dengan uang yang banyak dan
memiliki banyak teman. Diumurnya yang ke-7 tahun ini dengan tahun-tahun
sebelumnya membuat ia terlihat begitu tertekan secara mental dan batin. Terlalu
sakit bagi anak yang berumur 7 tahun dengan kondisi keluarga yang seperti ini.
Menjelang
hari keduanya ia sekolah. Ia tampak tak senang. Dia bahkan tak pernah senang
selama kehidupannya yang suram ini. Ia masih kecil. Belum tahu apa-apa. Tapi,
ia bisa merasakan kesakitan dalam dirinya. Semua orang tertawa akan
kedatangannya di sekolah. Membuat dirinya semakin membenci setiap orang yang
berada di sekitarnya dan berangan-angan akan memiliki wajah yang tampan,
mempunyai banyak uang, dan wanita cantik dan juga banyak teman. Sangat ingin.
Tapi untuk sekarang, impiannya dan imajinasinya belum pernah terjalan dengan
baik. Bahkan sedetikpun tak pernah. Membuat dirinya antisocial. Mungkin,
selamanya.
****
9 tahun kemudian …
Justin
sudah menginjak umur 16 tahun. Ia masih sama seperti dulu. Hanya dia
menambahkan satu kepribadian dalam dirinya. Dengan kepribadian yang
bertolakbelakang terhadap kepribadiannya dulu. Tapi ia lebih sering memakai
kepribadiannya yang dulu dengan sikap yang lebih keras. Ia masih antisocial.
Kadang membuat teman-temannya dalam kepribadiannya yang lain terlihat begitu
aneh. Kadang mereka takut jika Justin membentaki mereka. Mungkin hanya ada 1 wanita
yang membuatnya nyaman. Hanya ada satu. Eleanor. Eleanor Walton. Seorang wanita
yang begitu mengerti perasaan Justin yang menurun teman-temannya aneh.
Membuatnya ingin membunuh siapapun yang mengejek Eleanor atau dirinya sendiri.
Tapi, itu dulu.
Sekarang,
Justin sudah tidak seperti itu lagi. Justin sekarang lebih sering bersikap
jahat terhadap orang-orang. Hampir ia membunuh orang, untung saja selalu ada
guru atau mungkin polisi yang menghadang Justin. Tapi satu yang telah Justin
selesaikan. Ia telah membunuh ibu angkatnya. Tapi itu tidak pernah membuat
Justin puas. Rasanya, ia ingin membunuh setiap orang yang sejak dulu membuatnya
terkucilkan. Meski, ia memiliki kepribadian lain yang lebih baik dari pada
kepribadiannya yang asli.
Eleanor.
Wanita ini sebaya dengan Justin. Memiliki wajah yang manis sekaligus cantik,
badan yang ramping, dengan kecerdasan yang ia miliki. Tapi sayangnya, hanya 1
kelemahan dari Eleanor. Ia sangat lemah jika ia harus diperhadapkan dengan
seorang lelaki yang tampan, seperti Justin. Atau mungkin Finn, lelaki popular
di sekolah mereka. Lututnya akan selalu melemah jika ia melihat seorang lelaki
tampan dan gagah. Tak bisa ia pungkiri, ia bersedia untuk bercumbu dengan
lelaki itu. Tapi ia masih memiliki harga diri.
Eleanor
terus melihat Justin yang sedang terduduk sendirian di dalam kelas dengan
kepala yang tertunduk seperti biasanya. Membuat Eleanor tambah mengkhawatirkan
keadaan temannya yang satu ini. Sudah 1 bulan Justin seperti ini, pikir Eli. Ia
tidak tahu apa yang dialami oleh Justin. Dan ia ingin sekali mencari tahu.
Sangat.
*Eleanor POV*
Aku
terus menatap Justin yang terduduk dengan kepala yang ia tundukkan. Aku tidak
tahu apa yang salah dengannya. Tapi aku sungguh penasaran dengan dirinya. Ia
begitu misterius. Ia tidak pernah mengajakku untuk pergi ke rumah –seperti saat
Finn mengajakku untuk datang ke rumahnya. Finn anak popular di sekolah ini.
Finn Bultcher. Dia seorang yang tampan tapi tak cerdas seperti diriku.
Aku
anak pertama dari keluarga Walton. Namaku, Eleanor Walton. Dan aku memiliki
adik yang bernama Will Walton. Dia lelaki. Umurnya 2 tahun lebih muda dibanding
dengan diriku. Aku suka dengan namaku. Dan aku sangat bangga menjadi anak
pertama di keluarga Walton.
Pikiranku
kembali pada Justin. Ada yang bilang kalau ia adalah seorang yang memiliki
kepribadian ganda dan ia telah membunuh ibunya. Tapi aku rasa ia tak seperti
itu. Ia baik padaku –tapi tidak untuk 1 bulan terakhir. Ia begitu sombong,
menurutku. Dan ia tak pernah ingin berbicara denganku. Rasanya begitu aneh.
Sehari sebelum ia menjadi pendiam –walau sebenarnya ia memang pendiam- padaku,
ia terlihat baik-baik saja. Masih ingin berbicara denganku. Tapi besoknya, ia
tak ingin berbicara denganku lagi. Sungguh aneh.
Aku
pernah mencoba untuk mendekatinya lagi, tapi dengan halus Justin menolakku
mentah-mentah. Ia tidak memiliki teman. Tidak.Tapi kadang, jika ia sedang baik,
ia akan menghampiriku. Itu pun hanya 5 kali dalam 1 bulan ini. Ia sedang labil.
Aku cukup prihatin dengan keadaannya sekarang. Mungkin ia sedang memiliki
masalah. Aku tak peduli dengan perkataan orang lain dengan rumor yang beredar.
Banyak orang bilang kalau ia adalah seorang pembunuh. Seperti yang kubilang
tadi, ia telah membunuh ibunya tapi aku tidak percaya itu. Karena dia adalah
temanku yang cukup dekat denganku selain dengan Nicola. Nicola McYeard. Nama
yang cukup aneh. Tapi tidak seperti orangnya. Ia orang yang sungguh bersahabat.
Tapi ia tidak setuju jika aku berdekatan dengan Justin. Ia takut jika aku
terbunuh oleh Justin. Dan aku hanya tertawa dan tak menanggapinya lagi.
Aku
sungguh dan harus mencari tahu tentang Justin. Percayalah, ia tidak seburuk
yang teman-teman kira. Aku yakin itu. Kalau pun ia punya penyakit kegilaan atau
mental, aku akan membawanya ke Rumah Sakit atau Psikiater.
****
Aku
gugup saat Justin ingin aku datang ke rumahnya untuk yang pertama kalinya. Ia
menaiki motor Ninja terbaru. Menurutku , tak terlalu keren. Karena aku tidak
menyukainya. Maksudku, aku tidak suka dengan motor ini. Aku memeluk tubuh
Justin dengan erat. Well, ini memang
terdengar memalukan. Aku sebenarnya tak berani naik motor. Apalagi Justin
selalu saja mengebut, membuat jantungku berdetak lebih kencang dari pada
biasanya. Aku bisa mendengar tawaan Justin. Untuk yang pertama kalinya, hari
ini lebih tepatnya ia tertawa. Aku suka mendengar tawanya.
“Jangan
takut, aku tidak akan membunuhmu,” ucap Justin lembut, paling lembut yang
pernah kudengar. Itu sungguh menakjubkan. Pipiku langsung memerah. Kurasa. Aku
sungguh malu. Kucium wangi parfum Justin, meski aku tidak tahu parfum apa yang
ia pakai.
Motor
Justin berhenti tepat di depan sebuah rumah yang cukup besar dengan tatanan
yang begitu indah. Maksudku , tamannya. Pintu gerbang yang bergigi itu terbuka
dengan sendirinya. Sungguh keren. Untuk orang yang sepertiku. Kau tahu, setiap
hari aku berpacaran dengan buku. Dan jarang sekali aku keluar dari rumah. Kau
tahu, orangtua ku yang terlalu berlebihan melindungiku.
Dan,
huh. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ini untuk pertama kalinya aku tidak
meminta izin pada orangtua ku untuk datang ke rumah teman. Dan aku baru sadar
kalau aku sudah turun dari motor Justin dan sudah berada di depan rumah Justin.
Lebih tepatnya, di atas tangga yang lebar ini. Rumah ini sungguh berlebihan
atau memang rumahku yang terlalu sederhana? Rumahku tak sebesar ini.
Justin
menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumahnya. Dan, saat ia membuka pintu
rumahnya. Sungguh luar biasa! Ini rumah yang benar-benar mewah. Meski rumahku
juga memiliki kolam renang. Tapi, kalian harus melihat perabotan-perabotan dan
vas-vas langka miliknya yang kuyakini harga akan sangat mahal. Aku tidak tahu
kalau Justin akan sekaya ini. Tapi aku mulai sadar dengan pikiranku saat aku
berada di sekolah. Aku harus mencari tahu tentang Justin. Mengapa, perasaannya
selalu saja berubah-ubah dan pendiam.
Aku
terduduk di atas sofa ini dan menatapi langit-langit ruang tamu ini. Sungguh
menakjubkan. Ukiran-ukiran gambar dari
Elaine of Astolat terlihat begitu menyedihkan berada di atas ranjangnya.
Seperti mengeluarkan air mata. Meninggal karena cintanya yang tak diterima oleh
Lancelot. Sungguh menyedihkan.
“Tunggu
di sini,” ucap Justin dengan suara yang berbeda. Maksudku, suara yang terdengar
seperti bulan lalu. Saat ia masih dekat denganku. Dan raut wajahnya juga
berubah seperti dulu. Mungkin dalam sebulan ini, aku hanya bisa melihatnya
wajahnya yang seperti ini sebanyak 5 kali. Dan itu tidak cukup. Senyumannya
benar-benar manis. Rambutnya yang Mohawk
sangat cocok dengan warna rambutnya yang berwarna coklat keemasan dengan warna
mata yang sama dengan rambutnya, meski rambutnya lebih gelap. Dan bibirnya yang
begitu berwarna merah muda dan rasanya sangat mengundang untuk dicium.
Tiba-tiba
saja Justin muncul dengan baju kaos Bilabong yang terlihat begitu longgar di
tubuhnya dan celana pendek yang berwarna coklat keabu-abuan. Sangat senada
dengan kaos Bilabong-nya yang berwarna hitam. Sungguh modis. Ia tersenyum
padaku dan pergi ke dapur yang terlihat dari dapur sini.
“Elianor,”
panggil Justin yang terdengar aneh di telingaku. Elianor? Maksudnya? Untuk
pertama kalinya aku dipanggil Elianor.
“Amor,”
panggil Justin lagi yang membuatku berbunga-bunga. Amor? Makusdku, aku Eleanor. Dan dia memanggilku
Amor? Ah! Aku tidak peduli. Aku berdiri dan menghampiri Justin yang berada di
dapur ini. Ia sedang meneguk segelas minuman. Dan aku melihat satu gelas air
putih juga telah Justin isi. Dan kurasa itu untukku.
“Justin,
untuk apa kau memintaku datang ke rumahmu?” tanyaku dengan bingung. Justin
terkekeh sebentar. Dan lalu ia menatapku. Aku melihat setiap helaian bulu mata
Justin yang berwarna hitam kecoklatan itu terkibas-kibas dengan indah. Sungguh,
aku benar-benar menyukainya.
“Kau
tahu, orangtuaku sedang sibuk. Dan, apa kau bisa menemaniku sampai besok?
Maksudku, kau menginap di rumah ini,” pinta Justin yang membuatku terkejut
setengah mati. Maksudku, aku sedikit percaya dengan perkataan teman-temanku.
Tentang Justin membunuh ibunya. Aku takut jika arwah ibu Justin bergentayangan.
Baiklah, itu sungguh berlebihan. Maksudku, siapa tahu Justin memang membunuh
ibunya? Aku sungguh takut.
“Amor,
jangan takut. Aku tahu kau berpikir apa, aku tidak akan membunuhmu. Aku bukan
psikopat atau apa. Aku hanya Justin, temanmu,” ucap Justin dengan lembut. Aku
yakin Justin tidak berbohong.
“Memang
aku sedang memikirkan apa?” tanyaku ingin tahu. Siapa tahu sebenarnya ia tidak
tahu.
“Tentang,
aku membunuh ibuku. Oh, yang benar saja Amor. Aku tidak seperti itu. Aku masih
normal,” ucap Justin, aku menatapnya dengan keraguan, “Aku tidak berbohong,
Amor,” lanjut Justin meyakinkan. Au hanya menganggukkan kepalaku. Baiklah,
mungkin satu malam bisa. Mungkin. Aku masih tetap harus meminta izin kepada
ibuku atau ayahku.
“Ini,
telpon orangtuamu,” ucap Justin memberikan sebuah telepon rumah tanpa kabel.
Aku langsung menerimanya dan menekan nomor telepon rumahku.
“Mrs.
Walton berbicara,” ucap ibuku dengan suara yang sopan. “Mom,” balasku langsung.
Aku menghela nafasku dan berpikir. Kebohongan apa yang harus kuberikan.
Maksudku, aku jarang berbohong. Oh, untunglah! Aku tahu Nicola orang yang
pintar berimprovisasi. Aku yakin itu. Ia sering seperti itu kepada orangtuaku
jika aku berusaha untuk berbohong dan orangtuaku tak mempercayainya.
“Aku
harus menginap di rumah Nicola hari ini, besok aku akan kembali. Besok hari Sabtu
bukan?” tanyaku berbohong.
“Oh,
baiklah. Jaga diri baik-baik,” ucap ibuku yang membuatku ingin muntah sekarang.
Kemudian, telepon tertutup.
Apa
ibuku baru saja mempercayai kebohonganku? Oh yang benar saja. Aku menatap
Justin yang tersenyum dengan penuh arti setelah tadi dia pergi sebentar dari
hadapanku dan menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
“Amor,
kau mau?” tanya Justin yang memperlihatkan sebuah bikini. Astaga, ia mengajakku
untuk berenang. Ia menaik turunkan kedua alisnya. Aku hanya menganggukkan
kepalaku setelah aku melihat alisnya yang tebal itu . Wajahnya sungguh tampan.
---
Aku
mengapung dengan Justin di atas perahu karet Justin. Aku dan Justin satu perahu
karet. Yeah, perahu karet ini cukup untuk berdua. Dari tadi Justin diam dan
melihat langit-langit sore yang indah dengan kaca mata hitamnya, begitu juga
denganku.
“Aku
tak tahu kalau ternyata, wanita sepertimu itu begitu seksi,” ucap Justin
tiba-tiba. Pipiku memerah.
***
Aku
hanya dapat tersipu malu akan perkataan Justin yang memuji. Tiba-tiba saja
Justin mendorong tubuhku untuk masuk ke dalam air. Refleks aku memejamkan
mataku. Air ini sungguh hangat. Kurasakan Justin memegang pinggangku dari dalam
air juga. Kubuka mataku dan melihat Justin yang sudah berada di depan mataku.
Memang buram. Tapi ia tersenyum padaku. Ia memelukku dan langsung mencium
bibirku dengan manisnya. Aku memejamkan mataku. Merasakan rasa tenggelam dan
rasa ciuman ini. Aku tak bisa bernafas lagi. Kudorong tubuh Justin dan mencari
nafas.
Kutarik
nafasku dalam-dalam. Dan menghapus air yang membasahi wajahku. Dan kulihat
Justin sudah berada di hadapanku lagi. Kenapa ia begitu cepat muncul? Maksudku,
ini cukup menyeramkan. Setelah tadi ia mendorongku dan tiba-tiba ia sudah
berada dalam air juga dan berhadapan denganku. Sekarang, aku muncul dari dalam
air dan menemukan Justin sudah tersenyum dengan manisnya. Kemudian, aku
teringat tentang ciuman tadi. Antara senang dan terkejut dan juga merasa aneh.
Maksudku, itu adalah ciuman pertamaku. Dengan lelaki yang belum tentu kucintai.
Aku ingin ciuman pertamaku diambil oleh lelaki yang kucintai di malam yang
begitu terang karena adanya bintang-bintang yang bertebaran di langit. Dengan
lampu-lampu yang remang-remang. Aku ingin yang seperti itu. Terlihat seperti
lebih romantic. Aku suka hal yang romantic. Kulihat Justin yang melihatku
dengan bingung. Tapi kemudian, ia tersenyum kembali dan mendekatiku. Ia menarik
pinggangku hingga wajahnya dengan wajahku begitu dekat. Hembusan nafasnya
menerpa wajahku. Kutatapi matanya yang berwarna coklat keemasan itu dengan
seksama. Dan lalu, aku melihat bulu matanya yang berwarna hitam kecoklatan
terkibas dengan indah. Ia mengedipkan matanya. Membuat bulu matanya terlihat
begitu indah dan lentik. Aku sungguh menyukai pemandangan ini. Dan lalu ia
memejamkan matanya. Berniat untuk menciumku. Kupejamkan mataku juga. Aku tidak
tahu tapi rasanya aku ingin ia menciumku lagi. Tapi tunggu dulu ..ini tidak
benar! Aku langsung mendorong tubuh Justin agar menjauh dari tubuhku.
“Maaf
Justin, tapi kita tidak bisa berciuman seperti itu. Di dalam rumah yang sepi
seperti ini,” ucapku dengan gugup. Justin menatapku dengan bingung.
“Maksudmu
apa? Kita tidak berdua di sini. Kau tidak lihat? Itu Benny. Di sana, yeah. Di
sebelahmu,” ucap Justin yang membuatku bingung. Maksudnya Benny? Aku tidak
mengerti. Aku melihat ke sebelah kanan-kiriku. Tak ada siapa-siapa. Maksud dia
apa? Aku jadi takut.
“Aku
tidak mengerti Justin,” ucapku dengan bingung. Justin menghelakan nafasnya. Dan
lalu terkekeh.
“Yeah,
aku lupa. Kau itu tidak mempunyai indra ke enam sepertiku. Benny, kenalkan. Ini
Amor. Sahabatku,” ucap Justin yang melihat ke arah belakangku. Bukan melihatku.
Aku berbalik dan tidak melihat siapa-siapa. Sungguh ini menyeramkan. Justin
memiliki indra ke enam? Oh yang benar saja. Itu tidak lucu.
“Justin,
kurasa aku harus pulang saja,” ucapku ketakutan. Aku langsung menaiki tangga
kolam renang ini. Tiba-tiba saja Justin menarikku untuk masuk kembali dalam
kolam renang. Ia langsung menyuduti tubuhku di pinggiran kolam ini. Wajahnya
sungguh dekat denganku. Dan tersenyum. Kurasa ia gila. Benar. Kasus untuk
mencaritahu tentang Bieber dibatalkan. Aku tidak sanggup lagi jika Justin
bertingkah seperti orang bodoh seperti ini. Ini sudah jelas gila. Benny? Siapa
dia? Indra ke enam? Justin tak pernah membicarakan kelebihannya yang
menakjubkan sekaligus mengerikan itu. Sungguh.
“Aku
tidak gila, percaya padaku,” ucap Justin yang sepertinya bisa membaca
pikiranku, tapi tak semuanya, “Benny. Dia teman masa kecilku. Sahabatku, tapi
dia sudah meninggal,” ucap Justin yang membuat bulu kudukku merinding. Sudah
kuduga! Pasti di rumah ini akan ada hantunya. Aku tidak ingin menginap di sini
kalau begitu. Sungguh menyeramkan. Bayangkan saja jika Benny menggangguku. Dan
aku tak bisa tidur. Sungguh, aku sangat takut dengan hantu. Bukan, bukan hantu.
Tapi aku takut dengan sentakan yang terjadi pada tubuhku. Maksudku, hantu itu
pintar membuat orang tersentak dan terkejut begitu saja.Bagaimana jika aku
mati? Aku tidak ingin mati sebelum aku menjadi milik seseorang. Menikah,
maksudku.
“Yeah,
tapi Justin. Benny, aku takut jik –“
“Iya.
Aku tahu kau takut jika ia mengganggumu. Tapi ia tidak akan mengganggu.
Sebenarnya, jika kau bisa melihatnya, dia tampan. Tapi ia masih kecil namun
otaknya sudah seperti orang dewasa. Percayalah, temani aku. Please? Kau boleh tidur di sebelahku
jika kau mau,” ucap Justin yang membuatku tersentak. Tidur bersamanya? Oh yah,
itu adalah ide yang bagus. Dan disaat aku bangun pagi, Benny yang berada di
sebelahku. Atau bukan, Benny akan merasuki Justin dan Justin bersikap seperti
anak-anak?! HAHAHAHA! Itu sungguh tidak lucu. Aku tertawa. Kau tahu maksudku.
****
Justin
mengantarku ke rumah Nicola sekarang. Sudah pagi. Aku tahu, aku terlalu rajin
untuk datang ke rumah Nicola pagi-pagi seperti ini. Tapi, aku tak ingin
berlama-lama di rumah Justin. Aku yakin, ibuku akan mencariku di rumah Nicola.
Aku turun dari atas motor dan sejenak aku berdiri di depan Justin dan
tersenyum. Justin membuka kaca helm yang ia pakai.
“Kau
tahu? Terima kasih untuk kemarin karena telah menemaniku,” ucap Justin yang
terdengar begitu lembut di telingaku. Aku mengangguk dengan manis. Kemudian,
aku langsung berlari dari hadapan Justin. Kudengar motor Justin sudah berlalu.
Aku harap, ia akan seperti ini sampai seterusnya. Bersikap manis padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar