Minggu, 22 Desember 2013

Cerpen: Bieber is Psychopath Part 1





Anak lelaki itu menangis dengan air mata yang mengucur begitu deras. Bersembunyi dalam kolong tempat tidurnya dengan raut wajah ketakutan dan sedih. BRAK! Pintu kamarnya dibanting oleh seorang wanita paruh baya yang bukan ibunya. Selalu saja terjadi setiap malam. Kehidupannya terlalu sulit dalam masa kanak-kanaknya. Dia Justin. Justin Bieber. Seorang anak kelahiran 1 Maret 1994 itu sering sekali dipukuli dan disiksa oleh ibu angkatnya. Goresan-goresan dan bekas-bekas pukulan wanita paruh baya tadi selalu saja membuatnya sakit hati. Seharusnya tidak seperti ini, pikir Justin dalam benaknya setiap kali ia pergi ke sekolah. Tak ada teman. Tidak dapat bersosialisasi. Membuat dia berimajinasi dengan tingginya. Imajinasi menjadi seorang lelaki yang tampan dengan uang yang banyak dan memiliki banyak teman. Diumurnya yang ke-7 tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya membuat ia terlihat begitu tertekan secara mental dan batin. Terlalu sakit bagi anak yang berumur 7 tahun dengan kondisi keluarga yang seperti ini.
                       
            Menjelang hari keduanya ia sekolah. Ia tampak tak senang. Dia bahkan tak pernah senang selama kehidupannya yang suram ini. Ia masih kecil. Belum tahu apa-apa. Tapi, ia bisa merasakan kesakitan dalam dirinya. Semua orang tertawa akan kedatangannya di sekolah. Membuat dirinya semakin membenci setiap orang yang berada di sekitarnya dan berangan-angan akan memiliki wajah yang tampan, mempunyai banyak uang, dan wanita cantik dan juga banyak teman. Sangat ingin. Tapi untuk sekarang, impiannya dan imajinasinya belum pernah terjalan dengan baik. Bahkan sedetikpun tak pernah. Membuat dirinya antisocial. Mungkin, selamanya.


****

9 tahun kemudian …

            Justin sudah menginjak umur 16 tahun. Ia masih sama seperti dulu. Hanya dia menambahkan satu kepribadian dalam dirinya. Dengan kepribadian yang bertolakbelakang terhadap kepribadiannya dulu. Tapi ia lebih sering memakai kepribadiannya yang dulu dengan sikap yang lebih keras. Ia masih antisocial. Kadang membuat teman-temannya dalam kepribadiannya yang lain terlihat begitu aneh. Kadang mereka takut jika Justin membentaki mereka. Mungkin hanya ada 1 wanita yang membuatnya nyaman. Hanya ada satu. Eleanor. Eleanor Walton. Seorang wanita yang begitu mengerti perasaan Justin yang menurun teman-temannya aneh. Membuatnya ingin membunuh siapapun yang mengejek Eleanor atau dirinya sendiri. Tapi, itu dulu.
            Sekarang, Justin sudah tidak seperti itu lagi. Justin sekarang lebih sering bersikap jahat terhadap orang-orang. Hampir ia membunuh orang, untung saja selalu ada guru atau mungkin polisi yang menghadang Justin. Tapi satu yang telah Justin selesaikan. Ia telah membunuh ibu angkatnya. Tapi itu tidak pernah membuat Justin puas. Rasanya, ia ingin membunuh setiap orang yang sejak dulu membuatnya terkucilkan. Meski, ia memiliki kepribadian lain yang lebih baik dari pada kepribadiannya yang asli.

            Eleanor. Wanita ini sebaya dengan Justin. Memiliki wajah yang manis sekaligus cantik, badan yang ramping, dengan kecerdasan yang ia miliki. Tapi sayangnya, hanya 1 kelemahan dari Eleanor. Ia sangat lemah jika ia harus diperhadapkan dengan seorang lelaki yang tampan, seperti Justin. Atau mungkin Finn, lelaki popular di sekolah mereka. Lututnya akan selalu melemah jika ia melihat seorang lelaki tampan dan gagah. Tak bisa ia pungkiri, ia bersedia untuk bercumbu dengan lelaki itu. Tapi ia masih memiliki harga diri.
            Eleanor terus melihat Justin yang sedang terduduk sendirian di dalam kelas dengan kepala yang tertunduk seperti biasanya. Membuat Eleanor tambah mengkhawatirkan keadaan temannya yang satu ini. Sudah 1 bulan Justin seperti ini, pikir Eli. Ia tidak tahu apa yang dialami oleh Justin. Dan ia ingin sekali mencari tahu. Sangat.

*Eleanor POV*

            Aku terus menatap Justin yang terduduk dengan kepala yang ia tundukkan. Aku tidak tahu apa yang salah dengannya. Tapi aku sungguh penasaran dengan dirinya. Ia begitu misterius. Ia tidak pernah mengajakku untuk pergi ke rumah –seperti saat Finn mengajakku untuk datang ke rumahnya. Finn anak popular di sekolah ini. Finn Bultcher. Dia seorang yang tampan tapi tak cerdas seperti diriku.
            Aku anak pertama dari keluarga Walton. Namaku, Eleanor Walton. Dan aku memiliki adik yang bernama Will Walton. Dia lelaki. Umurnya 2 tahun lebih muda dibanding dengan diriku. Aku suka dengan namaku. Dan aku sangat bangga menjadi anak pertama di keluarga Walton.
            Pikiranku kembali pada Justin. Ada yang bilang kalau ia adalah seorang yang memiliki kepribadian ganda dan ia telah membunuh ibunya. Tapi aku rasa ia tak seperti itu. Ia baik padaku –tapi tidak untuk 1 bulan terakhir. Ia begitu sombong, menurutku. Dan ia tak pernah ingin berbicara denganku. Rasanya begitu aneh. Sehari sebelum ia menjadi pendiam –walau sebenarnya ia memang pendiam- padaku, ia terlihat baik-baik saja. Masih ingin berbicara denganku. Tapi besoknya, ia tak ingin berbicara denganku lagi. Sungguh aneh.
            Aku pernah mencoba untuk mendekatinya lagi, tapi dengan halus Justin menolakku mentah-mentah. Ia tidak memiliki teman. Tidak.Tapi kadang, jika ia sedang baik, ia akan menghampiriku. Itu pun hanya 5 kali dalam 1 bulan ini. Ia sedang labil. Aku cukup prihatin dengan keadaannya sekarang. Mungkin ia sedang memiliki masalah. Aku tak peduli dengan perkataan orang lain dengan rumor yang beredar. Banyak orang bilang kalau ia adalah seorang pembunuh. Seperti yang kubilang tadi, ia telah membunuh ibunya tapi aku tidak percaya itu. Karena dia adalah temanku yang cukup dekat denganku selain dengan Nicola. Nicola McYeard. Nama yang cukup aneh. Tapi tidak seperti orangnya. Ia orang yang sungguh bersahabat. Tapi ia tidak setuju jika aku berdekatan dengan Justin. Ia takut jika aku terbunuh oleh Justin. Dan aku hanya tertawa dan tak menanggapinya lagi.

            Aku sungguh dan harus mencari tahu tentang Justin. Percayalah, ia tidak seburuk yang teman-teman kira. Aku yakin itu. Kalau pun ia punya penyakit kegilaan atau mental, aku akan membawanya ke Rumah Sakit atau Psikiater.


****

            Aku gugup saat Justin ingin aku datang ke rumahnya untuk yang pertama kalinya. Ia menaiki motor Ninja terbaru. Menurutku , tak terlalu keren. Karena aku tidak menyukainya. Maksudku, aku tidak suka dengan motor ini. Aku memeluk tubuh Justin dengan erat. Well, ini memang terdengar memalukan. Aku sebenarnya tak berani naik motor. Apalagi Justin selalu saja mengebut, membuat jantungku berdetak lebih kencang dari pada biasanya. Aku bisa mendengar tawaan Justin. Untuk yang pertama kalinya, hari ini lebih tepatnya ia tertawa. Aku suka mendengar tawanya.         
            “Jangan takut, aku tidak akan membunuhmu,” ucap Justin lembut, paling lembut yang pernah kudengar. Itu sungguh menakjubkan. Pipiku langsung memerah. Kurasa. Aku sungguh malu. Kucium wangi parfum Justin, meski aku tidak tahu parfum apa yang ia pakai.
            Motor Justin berhenti tepat di depan sebuah rumah yang cukup besar dengan tatanan yang begitu indah. Maksudku , tamannya. Pintu gerbang yang bergigi itu terbuka dengan sendirinya. Sungguh keren. Untuk orang yang sepertiku. Kau tahu, setiap hari aku berpacaran dengan buku. Dan jarang sekali aku keluar dari rumah. Kau tahu, orangtua ku yang terlalu berlebihan melindungiku.
            Dan, huh. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ini untuk pertama kalinya aku tidak meminta izin pada orangtua ku untuk datang ke rumah teman. Dan aku baru sadar kalau aku sudah turun dari motor Justin dan sudah berada di depan rumah Justin. Lebih tepatnya, di atas tangga yang lebar ini. Rumah ini sungguh berlebihan atau memang rumahku yang terlalu sederhana? Rumahku tak sebesar ini.
            Justin menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumahnya. Dan, saat ia membuka pintu rumahnya. Sungguh luar biasa! Ini rumah yang benar-benar mewah. Meski rumahku juga memiliki kolam renang. Tapi, kalian harus melihat perabotan-perabotan dan vas-vas langka miliknya yang kuyakini harga akan sangat mahal. Aku tidak tahu kalau Justin akan sekaya ini. Tapi aku mulai sadar dengan pikiranku saat aku berada di sekolah. Aku harus mencari tahu tentang Justin. Mengapa, perasaannya selalu saja berubah-ubah dan pendiam.
            Aku terduduk di atas sofa ini dan menatapi langit-langit ruang tamu ini. Sungguh menakjubkan. Ukiran-ukiran gambar dari  Elaine of Astolat terlihat begitu menyedihkan berada di atas ranjangnya. Seperti mengeluarkan air mata. Meninggal karena cintanya yang tak diterima oleh Lancelot. Sungguh menyedihkan.
            “Tunggu di sini,” ucap Justin dengan suara yang berbeda. Maksudku, suara yang terdengar seperti bulan lalu. Saat ia masih dekat denganku. Dan raut wajahnya juga berubah seperti dulu. Mungkin dalam sebulan ini, aku hanya bisa melihatnya wajahnya yang seperti ini sebanyak 5 kali. Dan itu tidak cukup. Senyumannya benar-benar manis. Rambutnya yang Mohawk sangat cocok dengan warna rambutnya yang berwarna coklat keemasan dengan warna mata yang sama dengan rambutnya, meski rambutnya lebih gelap. Dan bibirnya yang begitu berwarna merah muda dan rasanya sangat mengundang untuk dicium.
            Tiba-tiba saja Justin muncul dengan baju kaos Bilabong yang terlihat begitu longgar di tubuhnya dan celana pendek yang berwarna coklat keabu-abuan. Sangat senada dengan kaos Bilabong-nya yang berwarna hitam. Sungguh modis. Ia tersenyum padaku dan pergi ke dapur yang terlihat dari dapur sini.
            “Elianor,” panggil Justin yang terdengar aneh di telingaku. Elianor? Maksudnya? Untuk pertama kalinya aku dipanggil Elianor.
            “Amor,” panggil Justin lagi yang membuatku berbunga-bunga. Amor?  Makusdku, aku Eleanor. Dan dia memanggilku Amor? Ah! Aku tidak peduli. Aku berdiri dan menghampiri Justin yang berada di dapur ini. Ia sedang meneguk segelas minuman. Dan aku melihat satu gelas air putih juga telah Justin isi. Dan kurasa itu untukku.
            “Justin, untuk apa kau memintaku datang ke rumahmu?” tanyaku dengan bingung. Justin terkekeh sebentar. Dan lalu ia menatapku. Aku melihat setiap helaian bulu mata Justin yang berwarna hitam kecoklatan itu terkibas-kibas dengan indah. Sungguh, aku benar-benar menyukainya.
            “Kau tahu, orangtuaku sedang sibuk. Dan, apa kau bisa menemaniku sampai besok? Maksudku, kau menginap di rumah ini,” pinta Justin yang membuatku terkejut setengah mati. Maksudku, aku sedikit percaya dengan perkataan teman-temanku. Tentang Justin membunuh ibunya. Aku takut jika arwah ibu Justin bergentayangan. Baiklah, itu sungguh berlebihan. Maksudku, siapa tahu Justin memang membunuh ibunya? Aku sungguh takut.
            “Amor, jangan takut. Aku tahu kau berpikir apa, aku tidak akan membunuhmu. Aku bukan psikopat atau apa. Aku hanya Justin, temanmu,” ucap Justin dengan lembut. Aku yakin Justin tidak berbohong.
            “Memang aku sedang memikirkan apa?” tanyaku ingin tahu. Siapa tahu sebenarnya ia tidak tahu.
            “Tentang, aku membunuh ibuku. Oh, yang benar saja Amor. Aku tidak seperti itu. Aku masih normal,” ucap Justin, aku menatapnya dengan keraguan, “Aku tidak berbohong, Amor,” lanjut Justin meyakinkan. Au hanya menganggukkan kepalaku. Baiklah, mungkin satu malam bisa. Mungkin. Aku masih tetap harus meminta izin kepada ibuku atau ayahku.
            “Ini, telpon orangtuamu,” ucap Justin memberikan sebuah telepon rumah tanpa kabel. Aku langsung menerimanya dan menekan nomor telepon rumahku.

            “Mrs. Walton berbicara,” ucap ibuku dengan suara yang sopan. “Mom,” balasku langsung. Aku menghela nafasku dan berpikir. Kebohongan apa yang harus kuberikan. Maksudku, aku jarang berbohong. Oh, untunglah! Aku tahu Nicola orang yang pintar berimprovisasi. Aku yakin itu. Ia sering seperti itu kepada orangtuaku jika aku berusaha untuk berbohong dan orangtuaku tak mempercayainya.
            “Aku harus menginap di rumah Nicola hari ini, besok aku akan kembali. Besok hari Sabtu bukan?” tanyaku berbohong.
            “Oh, baiklah. Jaga diri baik-baik,” ucap ibuku yang membuatku ingin muntah sekarang. Kemudian, telepon tertutup.

            Apa ibuku baru saja mempercayai kebohonganku? Oh yang benar saja. Aku menatap Justin yang tersenyum dengan penuh arti setelah tadi dia pergi sebentar dari hadapanku dan menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
            “Amor, kau mau?” tanya Justin yang memperlihatkan sebuah bikini. Astaga, ia mengajakku untuk berenang. Ia menaik turunkan kedua alisnya. Aku hanya menganggukkan kepalaku setelah aku melihat alisnya yang tebal itu . Wajahnya sungguh tampan.


---

            Aku mengapung dengan Justin di atas perahu karet Justin. Aku dan Justin satu perahu karet. Yeah, perahu karet ini cukup untuk berdua. Dari tadi Justin diam dan melihat langit-langit sore yang indah dengan kaca mata hitamnya, begitu juga denganku.
            “Aku tak tahu kalau ternyata, wanita sepertimu itu begitu seksi,” ucap Justin tiba-tiba. Pipiku memerah.


***

            Aku hanya dapat tersipu malu akan perkataan Justin yang memuji. Tiba-tiba saja Justin mendorong tubuhku untuk masuk ke dalam air. Refleks aku memejamkan mataku. Air ini sungguh hangat. Kurasakan Justin memegang pinggangku dari dalam air juga. Kubuka mataku dan melihat Justin yang sudah berada di depan mataku. Memang buram. Tapi ia tersenyum padaku. Ia memelukku dan langsung mencium bibirku dengan manisnya. Aku memejamkan mataku. Merasakan rasa tenggelam dan rasa ciuman ini. Aku tak bisa bernafas lagi. Kudorong tubuh Justin dan mencari nafas.
            Kutarik nafasku dalam-dalam. Dan menghapus air yang membasahi wajahku. Dan kulihat Justin sudah berada di hadapanku lagi. Kenapa ia begitu cepat muncul? Maksudku, ini cukup menyeramkan. Setelah tadi ia mendorongku dan tiba-tiba ia sudah berada dalam air juga dan berhadapan denganku. Sekarang, aku muncul dari dalam air dan menemukan Justin sudah tersenyum dengan manisnya. Kemudian, aku teringat tentang ciuman tadi. Antara senang dan terkejut dan juga merasa aneh. Maksudku, itu adalah ciuman pertamaku. Dengan lelaki yang belum tentu kucintai. Aku ingin ciuman pertamaku diambil oleh lelaki yang kucintai di malam yang begitu terang karena adanya bintang-bintang yang bertebaran di langit. Dengan lampu-lampu yang remang-remang. Aku ingin yang seperti itu. Terlihat seperti lebih romantic. Aku suka hal yang romantic. Kulihat Justin yang melihatku dengan bingung. Tapi kemudian, ia tersenyum kembali dan mendekatiku. Ia menarik pinggangku hingga wajahnya dengan wajahku begitu dekat. Hembusan nafasnya menerpa wajahku. Kutatapi matanya yang berwarna coklat keemasan itu dengan seksama. Dan lalu, aku melihat bulu matanya yang berwarna hitam kecoklatan terkibas dengan indah. Ia mengedipkan matanya. Membuat bulu matanya terlihat begitu indah dan lentik. Aku sungguh menyukai pemandangan ini. Dan lalu ia memejamkan matanya. Berniat untuk menciumku. Kupejamkan mataku juga. Aku tidak tahu tapi rasanya aku ingin ia menciumku lagi. Tapi tunggu dulu ..ini tidak benar! Aku langsung mendorong tubuh Justin agar menjauh dari tubuhku.
            “Maaf Justin, tapi kita tidak bisa berciuman seperti itu. Di dalam rumah yang sepi seperti ini,” ucapku dengan gugup. Justin menatapku dengan bingung.
            “Maksudmu apa? Kita tidak berdua di sini. Kau tidak lihat? Itu Benny. Di sana, yeah. Di sebelahmu,” ucap Justin yang membuatku bingung. Maksudnya Benny? Aku tidak mengerti. Aku melihat ke sebelah kanan-kiriku. Tak ada siapa-siapa. Maksud dia apa? Aku jadi takut.
            “Aku tidak mengerti Justin,” ucapku dengan bingung. Justin menghelakan nafasnya. Dan lalu terkekeh.
            “Yeah, aku lupa. Kau itu tidak mempunyai indra ke enam sepertiku. Benny, kenalkan. Ini Amor. Sahabatku,” ucap Justin yang melihat ke arah belakangku. Bukan melihatku. Aku berbalik dan tidak melihat siapa-siapa. Sungguh ini menyeramkan. Justin memiliki indra ke enam? Oh yang benar saja. Itu tidak lucu.
            “Justin, kurasa aku harus pulang saja,” ucapku ketakutan. Aku langsung menaiki tangga kolam renang ini. Tiba-tiba saja Justin menarikku untuk masuk kembali dalam kolam renang. Ia langsung menyuduti tubuhku di pinggiran kolam ini. Wajahnya sungguh dekat denganku. Dan tersenyum. Kurasa ia gila. Benar. Kasus untuk mencaritahu tentang Bieber dibatalkan. Aku tidak sanggup lagi jika Justin bertingkah seperti orang bodoh seperti ini. Ini sudah jelas gila. Benny? Siapa dia? Indra ke enam? Justin tak pernah membicarakan kelebihannya yang menakjubkan sekaligus mengerikan itu. Sungguh.
            “Aku tidak gila, percaya padaku,” ucap Justin yang sepertinya bisa membaca pikiranku, tapi tak semuanya, “Benny. Dia teman masa kecilku. Sahabatku, tapi dia sudah meninggal,” ucap Justin yang membuat bulu kudukku merinding. Sudah kuduga! Pasti di rumah ini akan ada hantunya. Aku tidak ingin menginap di sini kalau begitu. Sungguh menyeramkan. Bayangkan saja jika Benny menggangguku. Dan aku tak bisa tidur. Sungguh, aku sangat takut dengan hantu. Bukan, bukan hantu. Tapi aku takut dengan sentakan yang terjadi pada tubuhku. Maksudku, hantu itu pintar membuat orang tersentak dan terkejut begitu saja.Bagaimana jika aku mati? Aku tidak ingin mati sebelum aku menjadi milik seseorang. Menikah, maksudku.
            “Yeah, tapi Justin. Benny, aku takut jik –“
            “Iya. Aku tahu kau takut jika ia mengganggumu. Tapi ia tidak akan mengganggu. Sebenarnya, jika kau bisa melihatnya, dia tampan. Tapi ia masih kecil namun otaknya sudah seperti orang dewasa. Percayalah, temani aku. Please? Kau boleh tidur di sebelahku jika kau mau,” ucap Justin yang membuatku tersentak. Tidur bersamanya? Oh yah, itu adalah ide yang bagus. Dan disaat aku bangun pagi, Benny yang berada di sebelahku. Atau bukan, Benny akan merasuki Justin dan Justin bersikap seperti anak-anak?! HAHAHAHA! Itu sungguh tidak lucu. Aku tertawa. Kau tahu maksudku.


****

            Justin mengantarku ke rumah Nicola sekarang. Sudah pagi. Aku tahu, aku terlalu rajin untuk datang ke rumah Nicola pagi-pagi seperti ini. Tapi, aku tak ingin berlama-lama di rumah Justin. Aku yakin, ibuku akan mencariku di rumah Nicola. Aku turun dari atas motor dan sejenak aku berdiri di depan Justin dan tersenyum. Justin membuka kaca helm yang ia pakai.
            “Kau tahu? Terima kasih untuk kemarin karena telah menemaniku,” ucap Justin yang terdengar begitu lembut di telingaku. Aku mengangguk dengan manis. Kemudian, aku langsung berlari dari hadapan Justin. Kudengar motor Justin sudah berlalu. Aku harap, ia akan seperti ini sampai seterusnya. Bersikap manis padaku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar