*****
Justin meminta supir Bus untuk
berhenti di sebuah Supermarket. Aku tidak tahu ia akan membeli apa. Yang pasti
sekarang, bus ini berhenti di depan Supermarket dan aku hanya bisa berdoa.
Berdoa bahwa Justin harus selamat diluar sana. Karena, aku yakin. Pasti banyak
sekali fans diluar sana. Kenny dan Justin masuk
sambil membawa 1 kantung kertas belanjaan. Well, inilah Amerika. Seperti
yang kalian tahu, kita cinta alam. Jadi, harus memakai kantung kertas dan bukan
kantung plastic karena plastic susah sekali diurai. Butuh beratus tahun untuk
menghancurkannya. Kulihat Kenny melihatku sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Apa dia sudah tahu kalau aku hamil?! Tapi kemudian Kenny tersenyum
padaku. Dasar Hitam Baik Hati. Aku menyayanginya.
“Bubu,” panggil Justin sambil
tangannya menyuruhku untuk masuk ke dalam kamarnya. Aku berdiri sedangkan bus
sudah berjalan kembali. Kulihat wajah Justin terlihat begitu serius. Untung
saja, Nicki dan Carly juga para kru sedang tertidur. Well, sekarang tengah
malam. Maksudku sudah jam 2 malam. Aku masuk ke dalam kamar Justin dan melihat
Justin tersenyum lalu ia memamerkan susu hamil yang ia pegang dengan dua
tangannya dan mendekatkannya pada dada kanannya. Seperti iklan susu hamil.
Yeah, Justin cocok menjadi bintang iklan susu hamil. Aku tertawa kecil.
“Ini air panas, nah. Kau buat
sendiri, untuk bayi kita,” ucap Justin mendekatkan dirinya pada diriku dan lalu
mengelus pundakku. Ia menatap mataku lalu bibirku dan seperti itu terus secara
bergantian. Dan lalu ia mengelus perutku yang membuatku sedikit bergetar geli.
“Dia belum menjadi bayi Justin,
ini baru beberapa hari yang lalu,” ucapku protes. Justin hanya memutarkan bola
matanya dan mengangguk-angguk. Oh, aku benci susu. Tapi, apa memang aku harus
minum susu?! Baiklah, tidak apa-apa. Untuk janin ini. Tapi ini kan baru
beberapa hari?! Untuk apa aku minum susu? Aku tidak mau.
“Bagaimana rasanya dipegang
tangan oleh Zayn?” tanya Justin yang mulai kelihatannya ingin bertengkar
denganku. Ia memperlihatkan wajah dingin sekarang. Astaga, kapan ia akan segera
normal?! Aku tidak menjawabnya. Aku bahkan tidak berani.
*****
Aku sedang berjalan-jalan bersama
Harry di taman Hotel yang besar sekali dan indah. Justin harus latihan koreografi
bersama Ryan dan beberapa dancers
jadi aku dan Harry lebih baik berjalan-jalan. Ia memegang tanganku dengan erat
dan daritadi ia terus menanyakkan hal-hal yang bersangkutan dengan diriku dan
hidupku. Kadang aku bosan untuk menjawab pertanyaannya. Tapi, sebagai perempuan
yang baik ..aku menjawabnya.
“Eh, Nicki bilang kau hamil. Apa
benar?” tanya Harry yang membuatku tersentak. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku
secara spontan.
“Tapi waktu di Bus, aku melihatmu
dan Justin …Dan aku yakin itu bukan untuk yang pertama kalinya,” ucap Harry
kembali menerka dan itu benar. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku lagi. Tentu
saja aku tidak mau memberitahunya. Ini masih harus dirahasiakan. Kemudian, dia
mengangguk-angguk percaya.
“Harry, aku juga yakin kau sering
melakukan itu,” ucapku dengan tawaan renyah. Harry ikut tertawa dan memetik
setangkai bunga. Ih! Padahal sudah ada peringatan untuk tidak memetik bunga.
“Haha, yayaya ..Kau benar. Tapi
itu dulu, tidak sama seperti sekarang,” ucapnya tersenyum. Berarti dulu dia
sering bermain dengan perempuan di sekolahnya. Iiih, bahaya juga jika kita
berteman dengan Harry. Apalagi jika kalian seksi. Aku tidak bisa
membayangkannya lagi.
“Kenapa bisa seperti itu?”
tanyaku lagi. Ia berhenti melangkah, aku juga berhenti melangkah. Dia menatap
mataku dalam-dalam sambil tersenyum dengan manis.
“Sejak Scooter memperlihatkan
fotomu dan aku mulai berpikir untuk mendapatkanmu,” ucap Harry yang membuatku
tersentak. Aku tidak bisa bernapas. Tolong bangunkan aku jika aku hanya
bermimpi.
****
Justin sedang mengadakan Meet N’
Greet di Kanada. Yeah, aku sedang berada
di Kanada sekarang. Saskatoon. Well, menurutku orang Saskatoon itu orang-orang
aneh karena cara berpikir mereka yang lebih mengedepankan ‘Maize’ , aku bahkan
tidak tahu apa itu ‘Maize’. Oh yeah, Maize itu jagung. Well, seperti yang
kalian sudah tahu, banyak sekali wanita-wanita yang datang untuk bertemu dengan
Justin. Begitu juga dengan anak kecil dan tak jarang Justin mencium mereka. Dan
itu manis. Aku sungguh tidak rela jika Justin harus kehilangan mereka hanya
karena diriku yang hamil. Astaga, air mataku terjatuh begitu saja.
Aku sedang berada di dalam bus,
dan seperti biasa. Scooter memberikan benda canggih itu. Jadi aku bisa melihat
Justin yang sedang tersenyum bahagia. Tiba-tiba pintu bus terbuka saat para kru
sedang berada diluar sana. Bus ini gelap sekali jadi aku tidak tahu siapa yang
datang. Eh, Harry. Oh yeah, Harry. Dia ..Dia menyukaiku. Dan aku tidak tahu
harus berbuat apa padanya. Maksudku, aku tidak memang benar-benar tidak tahu.
“Hei, sedang melihat Justin?”
tanya Harry duduk di sebelahku. Aku hanya mengangguk tanpa melihat Harry. Dan
aku melihat Justin menggendong seorang anak bayi yang kelihatannya masih
berumur beberapa bulan dan itu manis sekali. Aku memegang perutku.
“Kau hamil,” ucap Harry yang
melihatku memegang perut. Aku menoleh ke arahnya dan memasangkan wajah Tidak.
Kemudian Harry memegang perut. Aku menggelengkan kepalaku. Tapi Harry
mendiamkanku. Dia malah mendorong tubuhku ke sisi Bus. Well, seperti yang
kalian tahu kalau aku duduk paling belakang sudut. Ia menindih tubuhku dan
menatapku dalam-dalam, mata hijaunya benar-benar indah. Eh, aku tidak bisa
melakukan ini. Tapi ia sudah menempelkan bibirnya pada bibirku. Aku sudah tahu itu.
“Harry, tidak,” ucapku mendorong
tubuhnya lalu mengelap mulutku. Astaga, aku pasti membuat hatinya sakit. Dia
menatapku dengan tatapan Aku Minta Maaf.
Aku menganggukkan kepalaku. Aku sungguh takut kalau tiba-tiba ada
seseorang yang datang dan memergokiku berciuman dengan Harry. Mungkin para fans
Harry akan membunuhku. Astaga, kenapa aku harus hidup dikalangan para Artis?
Bunuh aku saja.
****
Aku sedang berjalan bersama para
kru untuk masuk ke dalam sebuah Kebun Binatang dan Justin yang memintanya.
Katanya dia butuh kesegaran meski ia tahu kalau ia pasti akan bertemu dengan
fans-nya. Aku mengerat jaket dari The North Face milik Justin karena udara di
Kanada memang benar-benar dingin. Tapi daritadi Justin mengabaikan diriku yang
berjalan sendiri. Di belakang para kru. Well, sebenarnya Justin tidak
mengabaikanku tapi ia sedang membuat video yang akan disimpan di Laptop-nya.
Daritadi Nicki dan Carly bersikap begitu genit dengan Justin dan aku akui kalau
aku benar-benar ingin membunuh mereka. Aku berjalan dengan wajah yang datar
sambil sesekali melihat binatang-binatang disini.
Udara dingin benar-benar tidak
cocok untukku. Aku ingin cepat-cepat musim panas. Tiba-tiba Zayn merangkulku
setelah tadi aku liat berhenti melangkah sejenak dan lalu saat aku melewatinya
ia merangkulku.
“Kedinginan ‘huh?” tanya Zayn
padaku. Aku hanya menganggukkan kepalaku.
“Zayn, hari ini kita akan
latihan. Kau tahu itu bukan?” tanyaku padanya. Ia hanya menganggukkan kepalanya
dan tersenyum padaku. Kulihat Justin berbalik ke belakang dan melihatiku dengan
Zayn dengan tatapan dingin. Tuhan, semoga ia tidak marah. Aku dan Zayn hanya
sekedar teman. Tapi kenapa aku berbicara seperti itu? Justin saja tidak pernah
mengungkapkan perasannya terhadapku.
Selama perjalanan, aku selalu
tertawa dengan Zayn. Well, Zayn adalah orang yang menyenangkan untuk diajak
berbicara. Dan orang yang manis. Tapi, kesenanganku selalu saja sirna saat
melihat Justin yang terlihat begitu tidak suka dengan Zayn. Aku bahkan tidak
mengerti dengannya sekarang.
***
“LALU APA MAKSUDNYA IA MERANGKUL
DIRIMU HAH?!” tanya Justin membentakku saat aku dan Justin sedang berada di
kamar Hotel. Ia begitu marah saat di kebun binatang tadi. Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku dan mengeluarkan air mata perih. Air mata
kesedihan hatiku. Aku menunduk. Tiba-tiba saja menarik daguku ke atas dengan
kasar. Astaga, dia kasar sekali.
“Jawab, kau bodoh!” ucap Justin
membentak lagi. Aku tidak tahu dan tidak menyangka kalau Justin akan marah
seperti ini padaku. Aku memejamkan mataku.
“Lihat aku. LIHAT AKU!” bentak
Justin. Aku membuka mataku dan air mataku mengalir begitu saja. Aku menatap
Justin dengan wajah yang sangat-sangat kecewa.
“Jadi kau berpikir aku tidak
peduli denganmu? Ha? Aku sungguh kecewa, sangat kecewa,” ucap Justin yang
melepaskan tangannya yang daritadi memegang daguku. Kemudian dia mengacak-acak
rambutnya hingga berantakan. Tapi tetap saja ia terlihat tampan. Astaga, kenapa
disaat yang seperti ini aku masih bisa memuji Justin?
“Tapi Justin, aku hanya dirangkul
olehnya. Memangnya kenapa?” tanyaku bingung. Justin menatapku dengan tatapan
iblis. Kulihat tangan Justin ingin menamparku. Tapi Justin langsung saja
mengepalkan tangannya dan meninju kasur ini. Aku tahu ia marah sekali. Nafasnya
naik-turun tak beraturan.
“KAU SEDANG HAMIL! ANAKKU! APA
KAU TIDAK MENGERTI? AKU MENCINTAIMU BODOH!” teriak Justin menatapku dengan mata
yang berapi-api. Aku tersentak. Air mataku terjatuh kembali. Tidak sakit. Tapi
bahagia. Hening sejenak. Nafas Justin masih begitu terdengar ditelingaku. Justin
mulai menegapkan tubuhnya dan menatapku.
Tiba-tiba tangan Justin menarik
wajahku dan ia langsung menempelkan kepalaku tepat di dadanya. Dan lalu ia
memelukku. Aku tidak menangis lagi. Jantungnya begitu terasa di kepalaku.
Berdetak lebih kencang daripada biasanya. Justin mengambil nafas dalam-dalam
lalu membuangnya.
“Aku benar-benar mencintaimu,”
ucap Justin dengan suara yang melemah. Aku menganggukkan kepalaku. Aku dicintai
Justin. Aku benar-benar merasa bahagia. Cintaku terbalaskan. Ini sungguh
menakjubkan. Banyak wanita diluar sana yang mencintai Justin, bahkan mereka
lebih mencintai Justin dibanding aku mencintai Justin. Kurasa, tapi Justin
mencintaiku. Itu sebuah ..keajaiban. Kemudian, Justin menarik tanganku untuk
berdiri. Wajahku sudah berhadapan dengan wajahnya yang terlihat begitu memerah.
Dan lalu ia menempelkan bibirnya pada bibirku.
“Maaf aku telah membentakmu, itu
karena aku mencintaimu, aku terlalu cemburu,” ucap Justin mengecup bibirku
berkali-kali. Aku mengerti, Justin.
****
Justin merangkul tubuhku terus
menerus selama perjalanan untuk pergi ke tempat konser selanjutnya. Aku tidak
tahu di mana. Well, aku tidak bertanya. Sebenarnya tadi Zayn ingin berbicara
padaku, tapi dengan sewotnya Justin menyingkirkan Zayn. Kurang baik. Aku tahu
dia mencintaiku, tapi apakah harus berlebihan seperti itu?
“Just, bagaimana jika aku mati?”
tanyaku berbisik. Dan kurasa tidak akan ada yang mendengarkannya karena
semuanya sibuk berbicara dengan oranglain. Aku dan Justin duduk di ..kurasa
kalian tahu di mana. Justin yang merangkul leherku menarik nafasnya dengan
panjang.
“Jangan berbicara seperti itu,”
ucap Justin tidak suka. Aku menganggukkan kepalaku sambil menatap jalan raya.
Banyak sekali orang yang berada di dalam mobil menatap Bus ini. Tentu saja.
BIEBER. Tulisan disamping Bus ini.
“Tapi, kemungkinan besar aku akan
meninggal karena kehamilan ini,” ucapku dengan suara yang semakin mengecil.
Justin memegang dadaku. Bukan ‘dada’ku yang lain. Tepat di tengah.
“Percaya, itu akan menjadi anak
kita yang pertama,” ucap Justin berbisik tepat ditelingaku. Hampir tidak
terdengar. Aku hanya mengangguk percaya. Tapi aku benar-benar takut jika aku
akan meninggal nanti.
Bus melaju dengan kencang. Hari
mulai sore, mengingatkanku pada saat pertama kali aku bekerja pada Justin. Aku
begitu menyendiri. Tapi tidak untuk
sekarang, ada Justin yang akan selalu menemaniku.
****
3 bulan berlalu begitu cepatnya.
Sekarang aku dan kru Bieber, juga Justin sedang berada di Eropa. Atau lebih
tepatnya di London, Inggris. Perutku semakin lama semakin kelihatan menimbul.
Aku selalu memakai jaket walau banyak yang bertanya mengapa. Aku dan Justin
masih merahasiakannya. Justin masih belum berani. Begitu juga denganku. Dan aku
sekarang sering meminum susu secara diam-diam. Di kamar Justin. Untung saja
Justin mengingatkan semuanya untuk tidak masuk ke dalam kamarnya yang berada di
dalam bus. Dan sekarang Justin sedang berada di salah satu stasiun radio
London. Banyak sekali pertanyaan yang terlontar untuk Justin yang kadang
membuat Justin bingung menjawabnya.
“Apa kau pernah bercinta?” tanya Albert,
pembawa acara radio ini. Kurasa Justin tersentak. Aku sedang tidak berada di
studio-nya. Aku sedang berada di parkiran sambil menyandarkan tubuhku pada bus.
Aku mendengarkannya lewat ponsel.
“Uh, aku bahkan tidak mengerti
apa yang kau bicarakan,” ucap Justin tertawa. Aku hanya tersenyum-senyum mendengarkannya.
Albert sangat penasaran kurasa karena dia memaksa Justin untuk mengatakan yang
sebenarnya.
“Okay, baiklah. Aku tidak pernah
melakukannya,” ucap Justin begitu gemas dan tertawa kembali. Suara tepuk tangan
terdengar di sana. Padahal tidak perlu diberi tepuk tangan. Itu sangat
berlebihan. Menurutku. Aku tertawa.
“Hei,” sapa seseorang yang
tiba-tiba mengejutkanku. Huh, astaga! Aku hampir mati dibuatnya. Kulihat Zayn
muncul dengan rambutnya yang berjambul itu. Keren. Tapi lebih keren Justin.
“Oh, hei Zayn,” sapaku melepaskan
ear-phone yang kukenakan. Aku menatapnya diantara remang-remang ini. Aku tidak
begitu menyukai kondisi ini.
Aku menatap mata Zayn bercahaya.
Aneh. Ia hampir sama seperti Justin. Matanya berubah warna terus menerus dan
itu sangat indah. Well, tidak seperti mata yang lain. Kalau boleh, aku ingin
meminta seliter warna mereka dan memasukkannya ke dalam mataku agar ada
keajaiban di sana. Tiba-tiba saja Zayn menarik retsleting jaketku. Aku
tersentak. Dengan cepat aku menyingkirkan tangannya dan menarik retsletingku ke
atas. Dia tertawa sejenak. Aku bingung apa yang sedang ia lakukan sekarang.
“Kenapa?” tanya Zayn dengan
tatapan menyelidik dan masih terkekeh. Aku gugup. Apa dia memang sudah tahu
kalau aku itu hamil? Tapi jaket ini masih bisa menutupi bulatnya perutku.
Lagipula ini masih 3 bulan.
“Dingin,” jawabku sekenanya.
Kemudian dia melangkahkan kakinya untuk maju satu langkah dan lalu ia
menatapiku dari bawah hingga atas. Astaga, apa dia memang sudah benar-benar
tahu kalau aku hamil? Kalau ya, kuharap ia tidak memberitahu siapa-siapa. Ini
untuk Justin. Bukan untukku. Aku tidak peduli jika aku harus mati karena
kehamilan ini.
“Kenapa kau gugup sekali? Aku
hanya bertanya, haha,” tawa Zayn renyah. Aku bahkan tidak ikut tertawa. Karena
memang aku gugup. Well, aku terlalu ketakutan. Bahkan dengan lelaki yang baru
saja aku kenal selama 3 bulan ini. Tapi tidak apa-apa bukan jika kita hanya
ketakutan? Karena semuanya bisa terjadi di dunia ini. Kecuali untuk pohon tauge yang tingginya 200 meter. Itu tidak
mungkin. Mungkin kalian bisa beritahu aku tentang hal-hal yang tak bisa terjadi
di dunia ini.
Perasaanku benar-benar sama
seperti saat Nicki bertanya-tanya pada Justin tentang tubuhku yang semakin lama
semakin besar. Well tidak besar. Setidaknya lebih besar daripada sebelumnya.
Tapi Justin selalu menjawab dengan sekenanya. Setelah kejadian dia memarahiku,
ia terlalu protectif terhadapku. Aku bahkan tidak nyaman dengan ini tapi
anehnya itu membuatku semakin mencintainya. Dan, memang seharusnya aku
mencintai lebih lagi. Kurasa wawancara di radio sudah selesai setelah aku
melihat Kenny yang muncul begitu saja. Aku tersenyum padanya dan meninggalkan
Zayn yang masih terdiam bagaikan orang bodoh. Dia tampan, tapi kalau otaknya
lama berjalan?! Jangan pernah memacari orang yang otaknya lama berjalan kecuali
jika kau sabar. Aku mulai naik bus setelah aku melihat Justin yang berjalan
dengan cool-nya dan tersenyum pada
para paparazzi. Untung saja paparazzi tadi tidak melihatku dengan Zayn. Jika
ya, uh ..kurasa kalian tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Justin mengamuk
dan fans Zayn mengamuk. Hidup itu sulit, maka jangan menambahkan kesulitan di
dalamnya. Jadi, lebih baik aku menjalaninya tanpa mengeluh. Tapi kurasa aku
harus mencobanya.
***
“Sudah, Justin. Jangan
menyangkal,” ucap Nicki dengan ketusnya saat ia mendapatkan aku sedang membuka
baju di dalam kamar Justin dan ia melihat perutku yang sudah berbentuk. Dan itu
adalah tindakan teraneh yang pernah aku alami. Maksudku, aku sedang berada di
dalam kamar bus Justin. Dan membuka baju lalu Nicki datang padahal Justin tidak
mengizinkan oranglain masuk selain diriku?! Oh astaga, itu benar-benar
memalukan. Dan lagi, Justin ada di kamar saat itu. Dan sekarang aku dan Justin
sedang dihakimi oleh Nicki, Ibu Justin, Scooter dan Ryan.
Daritadi Justin menyangkal semua
perkataan Nicki tentang kehamilanku. Sedangkan aku hanya bisa tertunduk diam.
Ibu Justin hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya daritadi dan menatapku
dengan tatapan kecewa. Mungkin ia berpikir, ia tak habis pikir karena anaknya
telah menghamili anak dari seorang pecandu Narkoba. Maksudku, orangtuaku kan
pecandu Narkoba. Dan pastinya ia benar-benar kecewa. Sedangkan Scooter sudah
berkali-kali menyuruh Nicki untuk diam. Dan aku? Aku sekarang tidak memakai
jaket. Sehingga perutku begitu terlihat berbentuk.
“Kita tidak mungkin memberitahu
para fans Justin,” ucap Ryan. Aku mendongakkan kepalaku. Karenaku, semuanya
menjadi seperti ini. Karena aku dan Justin, lebih tepatnya.
“Kita harus,” ucap Scooter
menyela. Jantung berdetak lebih kencang daripada biasanya. Aku memegang tangan
Justin yang sudah berkeringat daritadi. Aku memegang perutku.
“Maksudmu?” tanya Justin yang
angkat bicara. Kulihat Scooter menganggukkan kepalanya kepada Ibu Justin. Dan
ibu Justin menganggukkan kepalanya.
“Kita harus memberitahu para
fans-mu. Aku tahu itu berat, tapi jika kita rahasiakan ini terus menerus. Apa
yang akan dikatakan para public nanti? Ketidakjujuran dari seorang Justin
Bieber? Fans sejati, tidak akan pernah meninggalkanmu, Bieber,” ucap Scooter
terdengar ..bijaksana?! Tidak. Dia tidak bijaksana. Justin menelan ludahnya
dengan begitu susah. Dan lalu ibu Justin mendekatiku dan berbisik.
“Aku tahu itu berat, maafkan
anakku,” ucap Ibu Justin meminta maaf. Aku bahkan tidak mengerti. Seharusnya
aku yang meminta maaf secara teknis. Karena memang aku yang hamil. Well,
seharusnya aku dan Justin yang meminta maaf. Ibu Justin tersenyum padaku. Nicki
terlihat begitu kesal dengan Scooter. Ia merasa kurang jika ia tidak melihatku
menderita. Maksudku, aku yakin dalam hatinya yang paling dalam ..ia ingin aku
mati atau dibenci oleh semua orang –paling minimal itu. Scooter meninggalkan
ruangan latihan vokalku dan Justin. Well, kita sudah kembali di Atlanta. Dan
seharusnya kita pergi ke Asia. Maksudku, walau seharusnya minggu depan, kita
kan bisa bersenang-senang lebih dahulu nanti di Jepang. Aku tahu Justin menyukai
Jepang. Nicki mendengus kesal sambil keluar dari ruangan ini sedangkan Ryan,
dia seperti orang tolol saja. Hanya terdiam dan melipat tangannya di depan dada
dan lalu meninggalkan tempat ini.
Hening.
Kulihat Justin sedang mengetik
sesuatu melalui ponselnya. Aku membacanya. ‘Sekalipun aku menghamili anak
orang, aku tahu kalian tetap mencintaiku’ dan ia menyebarkannya melalui
jejaring social Twitter. Oh yeah,
kerjaan yang bagus Justin. Aku harap Scooter bahagia karena ini. Aku kasihan
dengan Justin. Justin mematikan ponselnya. Dan lalu ia menatapku dengan raut
wajah yang datar. Aku kasihan. Justin menarik wajahku agar ia dapat menciumku.
Bunyi cepakan ciuman kita begitu terdengar.
“Aku tidak ingin kehilangan
mereka, aku juga tidak ingin kehilangan dirimu,” ucap Justin merangkulku. Air
mata Justin mulai terjatuh dan mengenai tanganku. Aku hanya dapat mengusap
dadanya dengan lembut. Berusaha membuatnya
tenang.
****
Benar saja. Reaksi para fans
Justin begitu memukau. Seluruh fans Justin begitu kesal. 1 juta pengikut Justin
berkurang begitu saja dan menjadi benci karena diriku. Aku benar-benar merasa
bersalah. Tapi dari 28 juta fans Justin mendukungku dan ada yang biasa-biasa
saja menanggapinya. Intinya, Justin beruntung telah memiliki fans sejati seperti
mereka. Padahal aku dan Justin telah membuat kesalahan yang benar-benar fatal.
Dan sekarang, aku sedang melihat
Justin yang sedang latihan sambil 50 orang fans Justin datang 3 hari sebelum
konser Justin di Madison Square ini. Aku hanya dapat berdiri bersama Harry yang
memegang tanganku di samping panggung. Aku lihat Justin berinteraksi dengan
para fans-nya.
“Ada yang ingin bertanya?” tanya
Justin. Para fans Justin mengangkat tangannya dan Justin memilih 1 orang anak
yang berumur sekitar 13 tahun itu. Dia perempuan dan rambutnya benar-benar
bergelombang juga panjang. Aku sampai terpukai hanya karena melihat itu.
“Di mana wanita yang kau hamili?”
tanya perempuan itu yang membuatku tertegun. Justin terdiam sejenak. Kemudian
ia melihat ke arahku dan memanggilku untuk muncul di depan para fans Justin.
Aku siap untuk ditusuk. Siapa tahu mereka handal dalam mencoblos sesuatu dengan
pisau. Well, aku terlalu parno sekarang. Aku melepaskan pegangan tangan Harry
dan berjalan menuju Justin.
“Whoa, dia cantik sekali,” ucap
salah seorang dari mereka.
“Aku ingin sekali memiliki rambut
sepanjangnya, indah sekali,”
“Astaga! Aku ingin memiliki dress
yang ia pakai,”
Pujian-pujian mulai terdengar di
telingaku. Aku hanya bisa tersenyum manis kepada mereka semua. Justin
merangkulku dengan erat dan lalu menarik daguku dan mencium bibirku di depan
mereka. Astaga, apa harus seperti itu? Itu pasti membuat mereka cemburu. Ew!
Salah satu dari mereka begitu jijik melihat adegan tadi. Justin tertawa
“Eww,” ucap Justin seperti wanita
yang manja. Seperti mengejek mereka. Dan lalu fans Justin tertawa-tawa tidak
jelas. Kebersamaan bersama para fans Justin memang menyenangkan.
“Aku ingin bertanya, dia sudah
berapa bulan?” tanya seorang wanita muda yang kira-kira seumur dengan kami. Dia
cantik, rambutnya juga pirang. Aku suka rambut pirang.
“Sekitar 5 bulan. Jika anakku
sudah lahir, aku janji akan memamerkan dia pada kalian,” ucap Justin tertawa.
Aku hanya dapat mengigit bibirku untuk tertawa. Aku masih malu sekarang. Di
depan para fans Justin dalam keadaan hamil? Oh c’mon. Selena Gomez yang artis
saja pernah ingin dibunuh padahal ia baik-baik saja. Dan aku? Hamil anak dari
Justin Bieber. Jadi, kemungkinan besar ..itu sangat tidak mungkin.
***
Aku tidak tahu apa yang sekarang
terjadi. Aku seperti buta sekarang. Celana yang kupakai basah. Justin
mendorongku dengan kursi roda untuk masuk ke dalam ruang persalinan. Aku tidak
tahu kalau aku akan melahirkan. Meski seharusnya aku melahirkan 1 minggu lagi.
Diluar sana –di parkiran Rumah Sakit- banyak sekali yang mendukungku. Fans
Justin. Aku tidak tahu mengapa mereka mendukungku. Atau karena aku akan
melahirkan kloning Justin? Sehingga mereka bisa jatuh cinta dengan anak Justin
nanti?! Aku tidak tahu. Yang pasti sekarang, aku ingin sekali mengeluarkan anak
ini dari perutku. Aku hanya bisa menarik nafasku dan membuangnya secara cepat.
Perutku sudah besar sekali. Ibu Justin
ikut berlari dari belakang sedangkan aku terus memegang perutku dan berusaha
untuk tidak merasakan sakit ini. Air ketubanku sudah pecah sejak 10 menit yang
lalu. Dan aku belum pernah belajar pernafasan. Padahal dulu, 3 bulan yang lalu,
aku dan Justin pernah datang ke dokter kandungan, dan katanya aku harus latihan
pernafasan. Agar saat melahirkan nanti aku bisa mengatur nafasku dengan baik.
Tapi aku selalu menolak ajakkan Justin.
Pintu ruang bersalin telah
terbuka. Aku melihat kosong sekali tempat ini. Dengan kuatnya, Justin
mengangkat tubuhku untuk naik ke atas tempat tidur. Ia menaikkan kasur ini
sehingga aku terduduk. Sungguh perhatian. Aku terus mengatur nafasku. Justin
memegang tanganku dengan erat tapi sedetik kemudian dia mengambil ponsel yang
berada di saku celananya. Hebatnya, ia mengetik di jejaring social Twitter. Dan
menyebarkan berita bahwa aku akan melahirkan. Hebat sekali!
“Arrh! Justin, kau hebat sekali,”
ucapku yang hampir saja juling karena tidak kuat menahan rasa sakit ini. Ibu
Justin menatapku dengan senyuman dibibirnya. Aku tidak tahu apa aku harus
tersenyum karena kenyataannya adalah aku memang tidak bisa tersenyum sekarang.
“Yeah, memang aku hebat,” ucap
Justin tersenyum padaku. Uh! Aku ingin sekali menarik bibirnya.Tiba-tiba pintu
ruanganku terbuka dan mendapati Scooter yang terlihat tergesa-gesa dengan
cakaran diwajahnya. Astaga, dia kenapa? Keringat mulai mengucur dikeningku.
Huh, ini sudah memakai alat pendingin tapi tetap saja aku berkeringat.
“Scoot, kau kenapa?” tanya Justin
dengan suara yang tenang. Astaga! Aku ingin mati sekarang. Aku meremas kasur
ini dengan kencang. Ibu Justin menghampiriku dengan mengelap keringatku dengan
tissue yang ia pegang. Aku tersenyum padanya, ia hanya mengangguk. Seperti ia
mengatakan ‘Kau Pasti Bisa’. Aku hanya mengangguk.
“OH MY GOD! Di mana bidan tolol
itu?! Ini benar-benar sakit!” teriakku seperti suara beruang. Justin dan
Scooter terdiam sedangkan Ibu Justin pergi keluar dari ruang bersalin. Kurasa
ia ingin memanggil Bidan. Aku ingin muntah sekarang.
Well, okay. Aku akan bercerita
sebentar kepada kalian mengapa aku bisa melahirkan sekarang. Jadi, beberapa
bulan yang lalu. Astaga! Ini sakit sekali. Saat umur kandunganku mulai
menginjak 4 bulan. Ibu Justin dan para kru termasuk Scooter curiga dengan diriku
dan Justin. Well, jadi sekarang. Kurasa kalian sudah AH! Astaga! Aku ingin mati
saja. Kurasa kalian sudah tahu maksudku apa. Aku dan Justin sudah memberitahu
semua kejadian ini dan menjelaskan secara rinci kepada Ibu Justin dan Scooter.
Dan Justin, huh ..Ia memberitahu semuanya kepada para Beliebers-nya. Tangisan,
dan kekesalan tentunya melanda rasa para fans Justin. Aku bahkan diancam agar
dibunuh secepat mungkin. Well, untuk beberapa fans Justin. Tapi, sebagian besar
..mereka merelakan Justin bersamaku. Jadi, semua bayang-bayang burukku terhadap
fans Justin harus dihapuskan.. Dan Harry juga Zayn benar-benar kecewa denganku.
Walau sebenarnya, mereka mencoba untuk bercinta denganku. Oh, astaga! Aku baru
sadar kalau kehidupanku benar-benar rumit. Maka Ahh..Astaga. Aku butuh bidan
sekarang. Maksudku, baiklah. Aku bertele-tele. Kurasa kalian sudah tahu
maksudku apa. Aku bahkan sudah memberitahunya kepada kalian.
Tiba-tiba seorang bidan masuk
dengan tangannya yang sudah dilapisi dengan sarung tangan karet juga masker. Ia
langsung menarik tubuhku ke depan dan memakaikanku baju pasien. Dan lalu ia
memeloroti celana biasa yang kupakai dengan santainya. Di depan Scooter dan Ibu
Justin. Aku tidak peduli dengan Justin. Ia sudah pernah melihatnya. Untung saja
baju pasien ini panjang. Aku mulai mengatur nafasku.
“Okay, keadaanmu sekarang. Dari
skala 1-10, berapa?” tanya Bidan ini padaku.
“8, kurasa,” ucapku dengan nafas
yang tergesa-gesa. Dia menganggukkan kepalanya dan mulai melihat-lihat bagian
bawahku dengan teliti dan lalu …Ahhh.. Aku ingin mati sekarang.
“Tarik nafasmu dalam-dalam, yeah.
Seperti itu, lalu dorong!” ucapnya menyemangatiku. Dengan sekuat tenaga aku
mengeluarkan bayi ini. Ini lebih sakit daripada saat aku dicueki oleh Justin.
Okay, selamat tinggal.
*****
Aku tidak tahu aku sedang berada
dimana sekarang. Jantungku berdetak lebih kencang daripada biasanya. Aku
merasakan darahku semakin lama semakin berkurang. Bisikkan-bisikkan mulai
terdengar ditelingaku setelah aku sadar sekarang bahwa aku sedang tak sadarkan
diri. Aku ingin mati. Suara Justin mulai terdengar samar-samar ditelingaku.
Isak tangis ..Tunggu dulu. Isak tangis?! Isak tangis Justin mulai terdengar
ditelingaku juga. Pegangan tangannya begitu erat ditanganku tapi aku mati rasa
sekarang. Dan lalu mulai merasa tanganku seperti ditusuk sesuatu tapi aku
merasakan ada sesuatu yang mengalir ditubuhku. Aku mulai membuka mataku
perlahan. Penglihatanku benar-benar buram lalu aku menutup mataku kembali dan
lalu aku membukanya lagi. Eh ..darahku sudah tidak mengalir lagi. Tapi aku
merasakan bibirku begitu basah. Justin mencium bibirku.
“Bubu,” ucapnya mengecup bibirku
berkali-kali. Aku tidak meninggal. Setelah aku sadar bahwa aku memang tidak
meninggal. Aku salah satu diantara semua anak muda yang hidup. Well, umurku
sudah menginjak 19 tahun, bulan lalu. Aku menutup mataku kembali dan masih bisa
mendengar apa-apa ditempat ini.
“Aku tidak ingin kehilangan
dirimu, karena senyummu mengawali hariku,” ucap Justin disaat-saat yang tidak
tepat. Ia berbisik padaku. Aku tidak memberikan reaksi apapun karena tubuhku
benar-benar lemas dan seperti ..tulang-tulang hilang begitu saja.
“Mrs. Bieber,” ucap Justin lagi.
Aku mulai tersenyum.
----
Tangisanku memecah begitu saja
saat aku diperhadapkan kepada anak bayiku dan Justin. Aku tidak percaya bahwa
aku baru saja melakukannya. Justin tersenyum sambil memberikan bayi kami. Dia
seorang perempuan. Ah, lucu sekali. Dan ini mirip sekali dengan diriku dan
Justin. Kain putih telah membedong anak kami. Kemudian Justin mengatur kamera
yang ia pegang sekarang. Aku bahkan tidak tahu mengapa tiba-tiba ia memegang
kamera itu. Kemudian aku tersenyum sambil menghadap ke arah kamera itu dan
*BLITZ* Kilatan cahaya mulai terlihat. Membuat mataku tidak stabil sekarang.
“Sekarang, Bubu. Aku ingin
bertanya,” ucap Justin menatapku dan mulai berlutut di depan tempat tidurku.
Aku bahkan benar-benar bingung apa yang sedang ia lakukan sekarang. Aku
menanggukkan kepalaku.
“Voulez-vous devenir ma femme?”
tanya Justin dalam bahasa Perancis. Well aku tahu artinya apa. Aku
menganggukkan kepalaku. Mencintai-dicintai. Saling melengkapi. Persamaan.
Perbedaan. Semuanya. Aku menerima Justin menjadi suamiku. Aku tahu ia
mencintaiku dan aku mencintainya. Ia berdiri dan menarik kepalaku. Ia tersenyum
lalu mencium bibirku.
“Je T’aime.” ucap Justin menutup
segala lembaran terakhir dari kehidupanku yang lama. Aku membuka lembaran
kehidupanku yang baru. Aku selalu mencintaimu Justin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar