Selasa, 13 Agustus 2013

Rolling the Camera Bab 1

Attention: Part selanjutnya ada di awal-awalan post. Terima kasih. 


***

*Alexis Bledel POV*

Justin Bieber Akui Theo Calvancanti Sebagai Kekasihnya

            Dengan penuh rasa ingin tahu, aku membaca artikel yang menarik ini. Astaga, benarkah Justin Bieber seorang yang gay? Mengapa aku tidak pernah menyadarinya? Itu sangat menjijikan. Aku membaca satu baris, dua baris, lalu seterusnya. Justin tampak tidak ingin menyembunyikan hubungan asmaranya bersama Theo Calvancanti. Ia mengungkapkan pada Forbes beberapa hari yang lalu “Aku tidak pernah menutup-nutupi hubunganku dengan siapa pun. Sangat menyenangkan untuk memberitahu hubunganku dengan penggemarku,” ujarnya. Aku benar-benar terkikik saat membaca berita ini. Benarkah Justin Bieber seorang gay? Karena aku tidak pernah melihatnya begitu mesra bersama seorang lelaki. Astaga, dia pintar sekali menutupi hubungannya yang gay ini. Well, aku tidak pernah menyukainya dari dulu. Meski aku tahu, ia seorang aktor yang sangat berbakat. Bahkan ia bisa bernyanyi. Wajahnya tampan pula. Tapi sayang, gadis-gadis di luar sana yang menyukai Justin harus iri pada Theo Calvancanti karena hubungan mereka. Oh, astaga, berita ini pasti sangat menggemparkan dunia perfilman. Dan aku ..aku sangat senang sekali!
            Astaga, aku senang sekali. Kau tahu karena apa? Karena reputasi Justin Bieber akan menurun! Well, kau tahu, aku juga seorang aktris. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah bertemu dengan Justin di sebuah studio salah satu stasiun televisi. Well, jika dilihat secara langsung dia memang tampan. Tapi gila, dia sombong sekali. Tersenyum padaku saja tidak. Saat itu kami akan berakting di sebuah acara komedi. Dan kalian tahu apa yang tiba-tiba saja terjadi? Dia mencium bibirku! Sialan, kurang ajar! Aku menamparnya saat itu dan itu membuat penonton di studio tertawa. Mungkin mereka berpikir kalau itu adalah salah satu adegan yang akan kami mainkan. Padahal bukan! Itu hanya improvisasi. Bahkan sang pengambil gambar terkejut dengan apa yang Justin lakukan padaku. Tapi hebatnya Justin adalah dia mudah berimprovisasi. Saat aku menamparnya, ia malah melucu. Sialan, bibirku terasa gatal sekarang. Aku telah dicium oleh lelaki gay! GAY!
            Kusentuh bibirku dengan jari-jariku. Bulu romaku berdiri, merinding karena mengingat ia pernah menciumku.
            “Alex, ada apa?” tanya ibuku yang tiba-tiba saja muncul dari dapur. Aku yang sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, terperanjat begitu saja. Dengan linglung aku menatap ibuku, kutarik tanganku dari bibirku.
            “Oh, tidak apa-apa, Mom. Hanya saja, coba Mom lihat ini,” ucapku memberikan surat kabar yang kupegang dan memberikannya pada ibuku. Sofa yang dari tadi kududuki sudah sangat panas, jadi aku pikir aku harus bangkit dari sofa ini sebelum sofa ini akan terbakar. Ibuku mengambil surat kabar itu setelah aku berdiri dari sofa dan ia membaca halaman pertama.
            “Oh astaga,” gumam ibuku terkejut, terlihat dari raut wajahnya. Ia menyukai Justin Bieber juga. Ish, aku jadi berpikiran kalau nama Justin Bieber itu adalah nama kotor. Tubuhku menggigil dan aku memejamkan mataku. Kuusap lenganku agar tubuhku yang merinding ini sedikit rileks. Kemudian aku mengedipkan mataku agar aku bisa membuka mataku.
            Setelah bersantai ria di pagi hari dalam pangkuan sofa, aku memutuskan untuk mencicipi pancake buatan ibuku yang dari tadi sudah menggugah seleraku untuk sarapan. Kuhantar kakiku menuju dapur dan melihat setumpuk pancake yang terlihat sangat ..lezat. Mataku berbinar-binar saat aku menyentuhnya, ibuku menggumam lagi di ruang tamu. Lucu sekali. Ibuku adalah salah satu wanita yang harus cemburu pada lelaki yang sangat (tidak) beruntung telah memiliki Justin.  Untung aku bukan salah satu dari mereka. 
            “Alexis, Mom tidak percaya ini benar-benar terjadi pada Justin. Astaga, Mom bisa seharian memikirkannya hanya karena dia gay,” ujar ibuku menghampiriku dengan surat kabar yang masih berada di tangannya. Ia menatapku dengan raut wajah pucat. Astaga, ibuku bereaksi secara berlebihan. Seharusnya ibuku senang! Karena impianku agar reputasi Justin Bieber menurun sedang terjadi. Astaga, ini seperti dendam yang terjadi tanpa perencanaan. Jadi aku tidak perlu bersusah payah untuk mencari seorang gadis untuk menggoda Justin Bieber dan bercinta dengannya sehingga Justin Bieber digossipkan sebagai seorang lelaki berengsek! Ini lebih baik. Lebih dari yang kuharapkan.
            “Mom. Mom tidak perlu memikirkan hal bodoh ini. Itu urusan mereka. Dan mereka tidak akan peduli dengan apa yang kita bicarakan. Sekarang, aku hanya ingin memuji pancake yang Mom buat. Ini sangat lezat,” ujarku menggigit potong pancake terakhirku. Sudah selesai. Aku hanya butuh dua potong pancake. Ini karena aku terlalu kenyang karena kesenangan di pagi hari, ditambah dengan pancake buatan ibuku membuatku semakin kenyang. Aku bangkit dari kursi sarapan dan berjalan keluar dari dapur.
            Oh, baiklah, aku harus bertemu dengan manajerku. Apa yang akan kulakukan hari ini? Aku sangat berharap aku bisa bertemu dengan Sam Sullivan. Dia seorang aktor baru yang sangat tampan. Dan dia akan muncul dalam serial televisi yang dimana aku menjadi pemeran utama di sana. Oh, aku berharap naskahnya ada adegan ciuman bersama dengan Sam. Itu akan membuat hariku semakin menyenangkan!


****

            “E. L James?” aku ternganga saat aku melihat seorang penulis sehebat sepanjang masa berada di depanku. Dan ..tersenyum padaku! Tubuhku menegang. Apa yang akan ia lakukan padaku? Apa yang ingin ia bicarakan padaku? Aku butuh pegangan sekarang karena aku sangat terguncang. Mengapa ini terlihat seperti hanya bayangan? Apa aku sedang bermimpi? Oh, aku sangat jatuh cinta dengan bukunya yang berjudul Fifty Shades itu. Gila, itu adalah novel terkeren yang pernah kubaca. Sialan, aku pernah dengar rumor bahwa novel itu akan dijadikan film. Apa aku akan ditawarkan untuk memainkan peran Anastasia Steele di dalam film itu? Oh, tidak. Aku akan sangat dengan senang hati menerimanya. Tapi, sebelum itu aku harus tahu siapa yang akan menjadi lawan mainku.
            “Halo, Alexis. Senang bertemu denganmu,” ujarnya dengan suaranya yang khas keibu-ibuan. Astaga, aku sedang berbicara dengan E. L James. Dengan ramah, aku menjulurkan tanganku untuk menjabat tangannya.
            “Kami datang ke sini karena kami ingin membicarakan sesuatu padamu,” ujarnya sambil menunjukan dua orang lelaki di belakangnya. Sialan, Dravin tidak memberitahuku kalau hari ini aku akan bertemu dengan E. L James di tempat syutingku. Secara mendadak pula. Kutatapi Dravin –manajerku- dengan tatapan Kurang Ajar! Tapi ia hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum ragu-ragu padaku.
            “Lewat sini,” ujar Dravin mengajak kami untuk pergi ke ruang tamu. Well, untung saja aku sedang syuting di sebuah rumah. Jadi kita tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencari tempat yang nyaman untuk berbicara.

            Kami semua terduduk di atas 3 sofa yang terdapat di ruang tamu dengan satu meja yang berada di tengah-tengah. Lelaki berambut putih keabu-abuan itu menatapku dengan sebuah senyuman. Ia memegang sebuah koper dan membukanya. Entah itu apa, aku tidak bisa melihat apa isinya karena terhalang oleh penutup koper itu. Beberapa detik kemudian, ia membalikan koper itu. Gila! U.A.N.G. Uang itu banyak sekali. Apa yang akan ia lakukan dengan uang itu?
            “Kau bisa panggil aku Mr. Toubdeaux. Miss Bledel, kami ingin menawarkan pekerjaan padamu,” ujar lelaki lain yang memakai sweeter berwarna abu-abu itu. E. L James terhimpit di antara kedua lelaki tua itu dengan wajahnya yang tak pernah lepas dari senyuman.
            “Ya, tentu saja. Apa itu?” aku berusaha menjawabnya dengan se-profesional mungkin. Kutegakan tubuhku untuk bersiap-siap dengan apa yang akan ia katakan.
            “Ini adalah sebuah kontrak kerja. Kami ingin Anda memainkan peran untuk Anastasia Steele dalam film Fifty Shades of Grey. Di sini kami ingin bertanya beberapa hal pada Anda,” ujar Mr. Toubdeaux padaku. Kuanggukan kepalaku dan merapatkan bibirku. Sialan, ia membuatku tegang.
            “Apa kau pernah membaca novel Fifty Shades?” Kuanggukan kepalaku satu kali.
            “Bagus. Apa kau yakin kau bisa memainkan peran Anastasia Steele?”
            “Kurasa aku pantas untuk memainkan peran ini,” ujarku dengan penuh keyakinan.
            “Mengapa?”
            “Karena aku mampu membuat karakter Anastasia lebih hidup dalam film ini. Aku sangat cocok memerankan Anastasia Steele,” ucapku dengan optimis. 
            “Kau diterima. Silahkan tanda tangan di sini,” Mr. Toubdeaux menyodorkan kertas kontrakan itu. Tanpa membaca, aku menanda tangani surat kontrakan ini. Aku akan memainkan peran Anastasia Steele.


****


*Justin Bieber POV*

            Aku tersenyum dengan sumringah saat aku melihat lelaki yang sangat kucintai sedang tertidur tenang di atas kasur. Astaga, dia sangat tampan dan aku sangat mencintainya. Aku tidak peduli apa yang akan dikatakan orang tentang hubunganku dengannya. Dia sempurna bagiku dan tidak ada yang bisa menghentikanku untuk tidak mencintainya. Rasanya aku ingin kembali lagi ke atas tempat tidur itu dan tidur bersamanya. Tapi aku tidak bisa. Aku harus pergi ke tempat syuting sekarang. Hari ini aku memiliki jadwal yang sangat padat.  Dan ah, aku jadi ingat berita kemarin. Surat kabar telah mengumbarkan hubunganku dengan Theo. Dan, ya, aku merasa senang dan lega. Setidaknya, aku tidak akan merasa terintimidasi dengan pernyataan-pernyataan Theo yang mengatakan kalau ia malu karena aku berpacaran dengannya. Tentu saja aku tidak malu padanya!
            Dan hari ini aku harus bertemu dengan orang-orang penting. Sialan.
            Kutatapi cermin yang berada di depanku. Tanganku dengan terampil merapikan dasi merah yang kupakai. Tanganku menyelipkan dasi merah ini ke dalam jas abu-abu-ku. Mataku menatap diriku sendiri dari bawah kaki sampai pada ujung rambutku. Sempurna. Aku sudah siap bekerja. Kurasa Theo akan sangat senang jika aku meninggalkan kecupan pada keningnya.
            Kubalikan tubuhku dan berjalan, melangkah menuju lelaki yang sangat kucintai ini. Nafasnya teratur. Matanya tertutup dengan nyamannya. Kudekatkan bibirku pada keningnya. Lalu bibirnya.
            “Selamat pagi, Theo,” aku menyapanya saat ia terbangun dari tidurnya. Senyuman melengkung pada wajahnya yang tampan, membuatku semakin jatuh cinta padanya.
            “Selamat pagi, sayang,” ia menyapaku dan meregangkan otot-ototnya.
            “Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Makanlah. Aku harus pergi bekerja,” ujarku kembali membenarkan jas-ku.
            “Ya, tentu saja. Semoga berhasil,” ucapnya mendoakanku. Kuanggukan kepalaku dan berjalan keluar dari kamar. Baiklah, aku harus bekerja sekarang.
            “Aku mencintaimu!” aku berteriak dari luar.
            “Aku juga mencintaimu, sayang!” ia membalas teriakanku. Baiklah, itu adalah semangat pagiku dan aku tidak boleh merusaknya. Hari ini aku harus terlihat sempurna di depan sutradara.


****

            “E.. E. L James?” aku tergagap saat aku melihat seorang penulis terhebat sepanjang masa. Sialan, apakah benar itu dia? Karena aku sangat menyukai karyanya yang berjudul Fifty Shades itu. Theo yang menyarankanku untuk membaca novel itu. Sebenarnya aku tidak suka membaca novel, tapi karena Theo yang memintaku jadi lebih baik aku menurutinya. Dan ternyata memang novel itu sangat mengagumkan. Aku bahkan mencari tahu siapa penulisnya. Dan sekarang, penulis novel itu sedang berdiri di depanku dengan dua lelaki tua di belakangnya.Astaga.
            “Ya, dan kau Justin Bieber, bukan?” ujarnya dengan penuh rasa kedekatan. Astaga, ini benar-benar menyenangkan. Aku ingin marah pada Advis –asistenku- ia tidak memberitahuku dengan siapa aku akan bertemu. Ternyata aku bertemu dengan E. L James. Sialan.
            “Ya, senang bertemu denganmu,”
            “Aku juga. Aku dan teman-teman ingin memberitahu sesuatu padamu,” ujarnya padaku.
            “Ayo, kita harus pergi ke tempat yang lebih nyaman,” Advis yang berada di sebelahku mengajak kami berjalan menuju tenda berwarna orange ini. Ini tempat peristirahatanku jika sedang diberikan istirahat syuting.  Kami masuk ke dalam dan terduduk di atas 5 kursi di sana. Kebetulan sekali.
            Aku duduk berdampingan bersama Advis, sedangkan E. L James terhimpit di antara dua lelaki tua itu. Lelaki yang memakai topi hitam dengan rambut putih keabu-abuannya itu memegang sebuah koper. Ia membukanya dan langsung memperlihatkan isinya padaku. Whoa! Uang itu banyak sekali. Sialan, apa yang akan mereka lakukan pada uang itu? Oh, aku tahu. Pasti mereka akan menawarkan sebuah peran padaku. Aku tidak dapat menahan senyumanku.           
            “Aku ingin bertanya beberapa hal padamu,” ujar lelaki yang memegang koper itu, “panggil aku James,” tambahnya. Aku menganggukan kepalaku.
            “Aku ingin kau memerankan Christian Grey dalam Fifty Shades of Grey. Apa sebelumnya kau pernah membaca buku itu?” tanyanya.
            “Tentu saja. Siapa yang tidak tahu buku sehebat itu?” ujarku dengan penuh rara percaya diri. Penulis Fifty Shades itu tersenyum padaku, memerah. Oh, aku baru saja menggodanya.
            “Mengapa kau bisa memerankan Christian Grey? Mengapa?” tanya James lagi padaku.
            “Karena aku cocok untuk memainkan peran itu. Omong-omong, siapa yang akan memerankan Anastasia Steele?” tanyaku dengan penuh rasa ketetarikan.
            “Alexis Bledel. Kau tahu dia bukan? Dia sudah menerima kerja kontrak ini. Dan apa kau ingin menandatangani kontrak kerja ini?” tanya James memberikan sebuah kertas padaku. Aku tersenyum miring pada mereka.
            “Laters Baby,” aku menggoda mereka semua dan mengambil pulpen yang berada di kantong jas-ku lalu tanpa berpikir panjang aku menandatangani kontrak kerja ini. Itu uang yang banyak dan aku tidak bisa menolaknya. Sialan, Alexis Bledel? Ah, itu bukan masalah.
            Aku akan memerankan Christian Grey. Laters Baby.



*****

*Alexis Bledel POV*

            Mataku membulat. Perutku terasa begitu penuh. Mulutku sekarang ingin mengeluarkan muntahan yang sebentar lagi akan keluar. Aku memegang perutku dan meremasnya dengan pelan. Lalu aku meringis pelan. Kepalaku mulai pusing. Aku baru saja membaca naskah yang diberikan oleh sutradara untukku dan aku membaca pemain-pemainnya di sana. Justin Bieber sebagai Christian Grey? Apa? Aku ingin mati sekarang. Christian Grey yang sempurna dalam imajinasiku dan hancur dalam dunia nyata? Bagaimana bisa ini terjadi? Ini semua sangat salah.
            Sedang berada di ruang tata rias, aku menatap ke sekeliling ruanganku. Sebenarnya, aku sudah ikut casting. Bukan ikut. Disuruh lebih tepatnya. Padahal aku sudah menandatangani surat perjanjian kontrak film itu. Tapi tentu saja, aku masih terpilih menjadi Anastasia Steele. Tapi Justin Bieber? Christian Grey? Astaga, aku akan bertemu dengannya hari ini. Baru beberapa hari aku senang karena mendapatkan pekerjaan ini, tapi tiba-tiba saja kesenanganku hilang! Hilang karena seorang Justin Bieber yang gay. Dia pernah ciuman bersamaku. Dan pastinya, ciuman itu bekas dari bibir seorang lelaki yang ia cintai. Theo Calvancanti.
            Sebentar lagi. Sebentar lagi lelaki sialan itu akan berada di dalam ruang tata rias artis. Aku sudah bertemu dengan  Kellan Lutz. Aku tidak percaya ia memerankan Taylor.  Taylor, pengawal Christian Grey. Aku tidak sabar akan bermain film bersama dengannya. Tubuhnya benar-benar tegap.
            “Alexis, ada apa?” tanya Dravin yang tiba-tiba saja muncul di depanku. Aku yang memegang naskah langsung terperanjat dari tempat dudukku dan hampir melemparkan naskah ini ke wajah Dravin.
            “Kenapa kau tidak memberitahuku kalau Christian Grey akan diperankan oleh Justin Bieber sialan itu?” aku membisik tepat di telinganya sambil menggeram. Blake Lively, pemain Kate Kavanagh telah hadir dengan rambut pirangnya yang cantik itu. Dia akan menjadi sahabatku di film ini. Oh Tuhan, aku sudah membayangkan bagaimana nanti Justin menyentuh dadaku atau pahaku. Aku berharap Gavin Michel –sutradara film Fifty Shades- akan meminta pemeran penggantiku saat adegan seks nanti.
            “Justin Bieber!” seru Blake –dia perempuan- dengan penuh kegirangan saat Justin masuk ke dalam ruang tata rias. Ia memaki jas berwarna hitam pekat dengan dasi berwarna merah bergaris-garis putih. Sangat rapi dan tentu saja tampan. Astaga, aku memuji? Well, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau dia tampan. Tapi sayang, dia gay. Kasihan sekali dirinya. Hampir sempurna. Coba saja dia normal, dia akan menjadi lelaki sempurna.
            “Di mana Anastasia Steele-ku?” ia mengedarkan penglihatannya di sekitar sini dan melewatkanku yang terduduk ini.
            “Di sini,” ujar Dravin yang ingin kutampar. Tolol sekali. Aku tidak ingin berjabat tangan dengan seorang Justin Bieber yang gay. Astaga, aku anti gay. Sangat. Ini sangat berat. Aku akan membaca kontrak kerjaku nanti. Siapa tahu aku bisa mengundurkan diri. Tapi, apa bisa? Aku tidak tahu.
            “Ini dia, si cantik Alexis Bledel,” ujar Justin menghampiriku dengan senyuman miringnya. Para pemeran pembantu di dalam ruangan ini terdiam dan menatap Justin yang berjalan ke arahku yang terduduk dengan kaki yang terlipat. Dengan professional, aku berdiri dari tempat dudukku dan menjabat tangannya yang terulur. Hangat dan ..kekar. Sialan. Mengapa dia bisa jadi gay? Sayang sekali.
            “Justin Bieber,” ujarnya memperkenalkan diri.
            “Semua orang tahu kau Justin,” ucapku ingin ada nada santai dalam percakapan kami. Tapi kurasa itu tidak akan berhasil. Aku tidak dalam mood untuk bercanda dengannya. Ini hanyalah sebuah pendekatanku dengan Justin. Dan kalian tahu apa? Aku tidak tahu apa yang sedang kubicarakan!
            “Tentu saja,” ujarnya dengan sombong, sial. “Jadi kau akan memerankan Anastasia Steele, huh? Aku Christian Grey, pacarmu selama delapan bulan ke depan,” ujarnya mendekatkan tubuhnya pada tubuhku. Tiba-tiba ia menarik pinggangku hingga bersentuhan dengan perutnya yang ..berotot. Sialan. Padahal itu tertutup oleh jas-nya yang berwarna hitam itu, tapi itu sangat keras. Mataku bertemu dengan matanya. Dalam. Berwarna abu-abu. Seperti Christian Grey dalam imajinasiku.
            “Ini hanyalah delapan bulang, sayang,” bisiknya di telingaku dan meremas pinggangku dengan lembut. Kemudian ia mencium pipiku dengan lembut dan melepaskan aku. Nafasku yang tercekat langsung terhembus dengan pelan agar aku tidak terlihat begitu gugup.
            “Whoa!” seru orang-orang di sekitar kami dan bertepuk tangan dengan meriahnya. Begitu juga dengan penata rias yang sedang merias artis-artis lain. Justin dengan hormat, membungkukan tubuhnya dan berterima kasih pada mereka semua. Sedangkan aku hanya membeku, terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa.
            “Kalian adalah pasangan tercocok yang pernah kutemui,” ujar ..entah siapa. Yang pasti ia juga pemeran pembantu di film ini. Kurasa ia pemeran Leila. Karena ia memiliki rambut cokelat sama sepertiku. Matanya juga berwarna biru. Sialan. Film ini pasti akan keren dan aku tidak bisa berhenti bermain di film ini. Aku harus bisa memainkannya meski aku harus memiliki lawan main yang gay. Tidak apa-apa. Kuhembuskan nafasku untuk menenangkan diri.
            “Apa Anastasia Steele sudah siap? Astaga, ayo cepat. Kita harus membuat premiere-nya. Kita hanya memiliki waktu Sembilan bulan. Dan satu bulan itu hanya untuk premiere. Astaga, Fransesco. Kenapa kau lama sekali? Cepat-cepat!” seru seorang lelaki yang bergaya seperti sutradara muncul di ruangan ini. Dia bukan Gavin. Tapi kurasa dia pembantu Gavin. Ia menatap Fransesco dengan tatapan marah dan seperti ingin memakan Fransesco.

            Dengan cepat, Fransesco mendorong tubuhku agar aku terduduk kembali pada kursiku dan memutarkannya agar aku menatap pada cermin yang sekarang berada di hadapanku. Fransesco berada di belakangku dan Justin berdiri di belakangnya. Menatapnya dengan tatapan ..sinis? Maksudnya apa? Aku tidak mengerti. Kemudian aku mengalihkan pandanganku dari Justin dan menatap mata biruku. Baiklah, saatnya dirias.


****

            “Kamera!” teriak sutradara.
            “Rolling!” teriak kameramen.
            “Dan ..Action!” teriak sutradara.

            Dengan cepat aku turun dari mobil Beetle-ku dan berlari menuju gedung Christian Grey. Aku harus benar-benar memahami karakter Anastasia. Kakiku yang mungil menghantarkanku sampai pada resepsionis yang berdiri dibalik konter yang berbentuk bulan sabit itu. Ia memang earphone di sebelah telinganya dan tersenyum padaku.
            “Aku Anastasia Steele,” ujarku dengan sopan dan menelan ludahku dengan susah, “Aku ke sini untuk sebagai pengganti Kate Kavanagh,” tambahku mengingat naskah yang tadi sudah kuhafal. Wanita setengah baya berambut pirang yang disanggul itu menunjukan jari telunjuknya padaku.
            “Tunggu sebentar Miss Steele,” ujarnya. Aku menganggukan kepalaku dan menatapi gedung yang besar ini. Astaga, ini sangat besar. Sekarang aku merasa seperti Anastasia Steele. Datang ke tempat sebesar dan berkualitas seperti ini tapi hanya memakai jaket tentara berwarna biru dengan celana jins panjang yang kupakai. Astaga, sangat memalukan. Tapi meski aku sedang akting, aku harus tahu sudut pandang mataku pada kamera. Di sekelilingku sudah ada empat kamera berada di dalam ruang ini, belum lagi di dalam lift. Lalu di ruangan Christian Grey di lantai dua puluh. Ini butuh pengeluaran uang yang sangat banyak dan pastinya aku tidak boleh mengecewakan sutradara dan penonton nanti.
            “Miss Steele. Silahkan tanda tangan di sini,” ujar wanita ini padaku dan memberikan kertas yang bertuliskan ‘Daftar Pengunjung’.  Oh, tentu saja. Aku hanya pengunjung dengan pakaian seperti ini. Ini sangat cocok. Dengan penuh senyum semangat, aku menandatangi kertas ini dan menuliskan namaku di sana.
            “Dari sini Anda bisa menggunakan lift paling ujung , lalu ke lantai dua puluh,” ucapnya dengan penuh ramah tamah. Gila, wanita ini pintar sekali akting. Aku menganggukan kepalaku dan melangkahkan kakiku menuju lift paling ujung. Kuketuk-ketuk kakiku dengan tas selempang yang kubawa. Ting! Pintu lift terbuka dan aku langsung masuk.
            “Cut!” teriak sutradara. Kutekan tombol pintu buka agar pintu lift masih terbuka. Kemudian aku keluar. Syukurlah. Adegan keempat! Pengambilan gambar yang ke 40. Bayangkan, 40 pengambilan gambar!
            “Akting yang sangat bagus, Miss Steele,” puji Gavin bangkit dari kursi sutradaranya. Aku hanya bisa menganggukan kepalaku dan tersipu malu akan pujiannya. Bukankah seharusnya aku akting dengan baik? “Tapi kita tidak bisa berlama-lama. Ayo cepat, kita harus mengambil adegan kelima. Cepat, cepat, cepat!” teriak Gavin setelah itu dan bertepuk tangan, tanda ia menyuruh para pengambil gambar, pengambil suara dan yang lainnya. Aku tersenyum dalam hati.


****

            “Apa kau gay Mr. Grey?” tanyaku setelah aku mengambil adegan kelima. Justin sudah terduduk di depanku dan mendalami perannya. Astaga, dia benar-benar seperti ada yang di dalam imajinasiku. Ia Christian Grey yang sempurna. Kepalanya ia miringkan ke satu sisi, sama seperti yang ada di dalam buku. Sama seperti yang ada di dalam naskah. Matanya melotot padaku.
            “Tidak Miss Steele, aku tidak,” ia berbicara dengan nada yang dingin. Bukan Justin Bieber. Ini bukan Justin Bieber yang pernah mencium bibirku di dalam acara komedi beberapa bulan yang lalu. Yang menjadi ciuman itu menjadi bahan tawa. Astaga, Alexis! Kau harus focus.
            “Ini bukan pertanyaanku. Ini ada di dalam daftar pertanyaan,” ujarku setelah aku sadar, aku harus focus.
            “Bukan pertanyaanmu, Miss Steele?”
            “Ya, Kate Ka ..Miss Kavanagh yang menuliskannya,” ucapku lagi. Ia tersenyum miring padaku dan memiringkan kepalanya ke satu sisi lagi. Kemudian ia membuatku bengong. Astaga, inikah Justin Bieber yang gay? Tersenyum miring padaku. Bukan senyuman kesombongan. Tapi senyuman yang sangat tampan. Benarkah dia gay? Karena kurasa dia bukan. Kualihkan pandanganku pada bibirnya. Bibir itu pernah menyentuh bibirku. Astaga, aku ingin menciumnya. Bukan sebagai Justin Bieber, tapi sebagai Christian Grey.
            “Cut!” teriak sutradara mengagetkanku. Kualihkan pandanganku pada Gavin dan melihat dia sudah berdiri dari tempatnya. Untung saja ini baru pengambilan gambar pertama dalam adegan kelima.
            “Alex! Apa yang kaulakukan?” tanya Gavin tampak marah. Aku tersentak dan berdiri dari tempatku.
            “Astaga, aku minta maaf. Aku hanya ..aku astaga, aku sangat minta maaf,” aku memohon padnaya. Ia menatapku, marah. Tapi ia menahan amarahnya dan menarik nafasnya. Kurasa ia menghitung sampai sepuluh dan lalu ia membuka matanya.
            “Kurasa kita harus istirahat dulu,” ujarnya membubarkan kami.

            Aku merosot ke dalam sofa Christian Grey dan menatap Justin yang dengan dinginnya masih terduduk di atas sofanya. Menatapku dengan wajah datarnya dan lalu menggelengkan kepalanya padaku. Semua kru audio-visual keluar dari ruang kerja Christian Grey. Kuhembuskan nafasku untuk menenangkan diriku sendiri. Apa yang terjadi padaku tadi? Astaga, tadi itu sangat bodoh. Mengapa aku memuji-muji Justin? Tidak. Aku tidak memuji Justin. Tapi aku memuji Justin yang memerankan Christian Grey. Berarti aku memuji Christian Grey yang tampan. Itu saja.
            “Ada apa denganmu, Miss Steele?” tanyanya dengan panggilan Miss Steele padaku. Kukedipkan mataku agar aku bisa membuka mata. Menatapnya dengan rasa malas, ia sudah kembali. Ia adalah Justin Bieber yang mempermalukanku dengan candaan.
            “Aku hanya ..”
            “Terpana akan ketampananku?” tanyanya dengan penuh rasa percaya diri dan sombong sekali. Apa? Apa dia baru saja mengatakan ‘Terpana akan ketampanannya’ ? Yang benar sajalah! Tidak mungkin. Aku hanya menganggapnya sebagai Christian Grey , makanya aku memujinya dalam hati kalau dia tampan. Tidak, dia tidak tampan sekali. Tapi sial! Dia memang tampan.
            “Jangan menggigit bibirmu, Miss Steele. Kau tahu apa pengaruhnya apa bagiku,” ujarnya seperti Christian Grey. Astaga, dia sampai hafal bagian itu. Ini padahal baru bagian untuk premiere. Maksudku, trailer.
            “Justin, apa kau serius?” tanyaku dengan nada pura-pura malas.
            “Aku hanya sedang menguji kehebatan aktingku,” ucapnya membalasku dengan alasan yang cukup masuk akal. Kuputar bola mataku.
            “Jangan memutar bola matamu, Miss Steele. Tidak sopan,” tegurnya lagi. Astaga, ternyata jika kupikir-pikir, jika ada Christian Grey ada di dunia ini –benar-benar di dunia ini- aku akan gila. Dia benar-benar gila control. E . L James pintar sekali membuat cerita.
            Tiba-tiba saja Justin bangkit dari tempat duduknya dan menghampiriku. Ia berdiri tepat di depanku. Kedua tangannya berada di dalam kantong celana panjangnya dan melihatku dari bawah hingga atas. Kemudian senyuman miringnya kembali muncul.
            “Kau sangat gugup tadi. Ada apa? Apa kau menyukaiku?” tanyanya dengan sombong, kali ini. Aku melotot padanya. Kemudian aku menggelengkan kepalaku. “Jangan bohong,”
            “Astaga, Justin. Aku hanya gugup di depan kamera,”
            “Tidak mungkin. Kau pemain film. Dan pasti kau sudah terbiasa dengan kamera di sekelilingmu,’ ucapnya mengelakku, “Apa kau gugup karena aku seperti Christian Grey dalam imajinasimu?” tanyanya berbisik, ia sudah menundukan tubuhnya sehingga pipi kanannya sudah berada di pipi kiriku. Nafasnya terhembus, terasa pada telinga kananku.
            “Bilang saja kau suka padaku, Miss Bledel.” bisiknya benar-benar seksi di telingaku. Semuanya menjurus pada pangkal pahaku. Dan tiba-tiba ia menjilat telingaku, merangsangku. Sialan!
***

            “Tapi, maaf Miss Steele,” ujar Justin mengangkat kepalanya dari samping kepalaku dan berdiri di depanku dengan wajah dingin, namun ia memberiku senyuman. Senyuman miring yang begitu angkuh dan sombong. Sialan. Aku merapatkan kedua pahaku. Tidak seharusnya Justin bersikap begitu percaya diri di depanku. Maksudku, ia memang boleh percaya diri. Tapi maksudku, aku tidak pernah mendapatkan teman main filmku yang begitu percaya seperti dirinya. Percaya diri bukan untuk menunjukan candaan atau apa, ini percaya diri menunjukan kesombongannya. Membuatku sedikit muak akan permainannya. Seharusnya kita bersantai ria. Apa dia memiliki dendam yang sama seperti aku padanya? Tapi kurasa tidak. Aku yang pantas dendam padanya. Dia tidak pantas dendam padaku. Aku sudah berada di dunia nyata, tapi Justin terus mengajakku masuk ke dalam dunia syutingnya lagi. Dia memang hebat membawa suasana.
            “Maaf untuk?” tanyaku bingung saat ia mulai melenggang pergi dari hadapanku. Kemudian ia berhenti dan membalikan tubuhnya. Oh, Justin. Kapan kau berhenti untuk tidak berakting? Aku cukup tidak menyukainya jika seperti ini –atau mungkin aku memang sudah lama tidak menyukainya.
            “Aku tidak bisa menyukaimu, Miss Steele,” ujarnya, “Untuk pertanyaan ‘apa kau gay, Mr. Grey?’, mungkin aku menjawab tidak. Tapi jika kau bertanya ‘apa kau gay, Mr. Bieber?’ , mungkin aku menjawab ya,” lanjutnya yang membuatku sedikit terkejut atas ucapannya. Dia mengakuinya tepat di depanku. Nafasku tercekat. Maksudku, apa dia tidak malu dengan apa yang baru saja ia katakan padaku? Astaga. Aku ternganga.
            “Jangan kecewa, Miss Bledel. Kupikir kau sudah tahu itu dari kemarin,” ujarnya kemudian membalikan tubuhnya, lenyap dari balik pintu ruangan ini. Aku masih menganga. Astaga. Dia baru saja mengatakan kalau ia gay di depanku. Di. Depan. Diriku. Apa dia tahu malu? Kurasa ia tidak tahu malu. Kupejamkan mataku, perutku merasa mual sekarang.
            Beberapa adegan lagi aku akan berciuman dengannya. Ia akan meremas pinggangku. Lalu ia akan melesakan lidahnya ke dalam mulutku. Lidah yang pernah menyentuh lidah seorang lelaki yang ia cintai. Aku bergetar. Tubuhku menggeliat begitu saja. Bagaimana mungkin aku bisa mencium seorang yang gay? Kurasa aku tidak kuat. Astaga. Istirahat berapa menit lagi sebenarnya? Gavin benar-benar tidak memberitahu kapan waktunya selesai istirahat.
            “Alexis! Astaga, maaf. Maaf aku meninggalkanmu. Astaga, sungguh. Ini untukmu,”  ujar Dravin yang tiba-tiba saja muncul di depanku dengan sebotol air mineral di tangannya. Dengan cepat aku meraih botol itu dan membuka penutupnya. Meneguknya seperti aku tidak pernah minum.
            “Ada apa tadi?” tanyanya kelihatan bingung.
            “Aku kehilangan konsentrasi,”
            “Astaga, mengapa?” tanyanya dengan nafas yang belum teratur. Terlihat sekali di balik lensa kacamata yang ia pakai, ia khawatir denganku. Manajerku ini sudah seperti saudara lelaki bagiku. Aku mencintainya sebagai saudara lelaki. Abangku. Kebetulan dia sedang lajang. Belum ada gadis yang tepat di hatinya.Entahlah, padahal sudah banyak sekali gadis-gadis yang mendaftar sebagai pacarnya. Tapi tetap saja, Dravin selalu membuang mereka mentah-mentah. Kasihan sekali mereka tidak bisa merasakan kebaikan Dravin.
            “Justin mirip sekali dengan Christian Grey yang ada di imajinasiku,” ucapku jujur.
            “Itu bagus,”    
            “Ya, memang bagus. Untuk sesaat, memang aku akan senang bisa menciumnya sebagai Christian Grey,” aku menekan nama Christian Grey padanya, “Tapi setelah Gavin bilang ‘Cut!’ ,semuanya pudar. Aku merasa ciuman dari seorang gay yang sangat …iuh, menjijikan. Sudah, aku ingin makan,” ucapku tidak ingin percakapan ini berkelanjutan. Gravin menganggukan kepalanya dan menarik tanganku untuk berdiri dari sofa. Kurasa makan adalah jalan pintas yang baik untuk mempertahankan konsentrasi nanti.


****

*Justin Bieber POV*

            Aku melihat Theo, kekasihku sedang tertawa-tawa dengan Blake –pemeran Kate- di sebelahnya. Mereka tampak akur. Theo tampan sekali sore ini. Dia memakai baju santai kali ini dan ia membawa makan siang untukku.  Ia memakai sweeter yang manis untuk tubuhnya dan celana jins hitam panjang. Membuatnya terlihat begitu feminism dan aku menyukainya. Untung saja aku memberitahunya di mana aku syuting. Ia kegirangan saat ia tahu Alexis Bledel adalah lawan mainku. Ya, aku belum memberitahu Alexis adalah lawan mainku. Tapi sekarang dia sudah tahu. Sebenarnya, aku bisa lihat dari wajahnya kalau ia cemburu pada Alexis karena aku akan mencium Alexis dalam beberapa adegan. Maksudku bukan beberapa, tapi sebagian adegan. Gadis itu sungguh menggemaskan. Entahlah, dia lucu sekali saat aku menggodanya tadi di ruangan Christian Grey. Ia tampak gugup.
            Aku menyandarkan tubuhku ke sofa setelah aku selesai memakan sandwich buatan kekasih tercintaku yang pintar sekali memasak. Dia lelaki terhebat yang pernah kutemui. Astaga, sekarang aku sangat bergairah untuk menciumnya. Tawaannya adalah suara terindah dalam hidupku. Melihatnya tertawa dengan Blake membuat hatiku berseri. Pekerjaanku adalah untuk membahagiakan dirinya. Theo Calvancanti. Kapan aku akan menikah dengannya? Aku tidak sabar untuk mengubah namanya menjadi Theo Bieber. Dia tampan sekali sekarang.
            Sekarang kita sedang berada di lobi bawah gedung Christian Grey. Alexis belum turun-turun dari lantai dua puluh. Entah mengapa. Aku tak peduli. Aku hanya ingin impian Theo tercapai. Dia ingin sekali bertemu dengan Alexis. Ting! Panjang umurnya! Alexis muncul dari lift bersama dengan manajernya yang berjalan di belakangnya. Dengan cepat aku berdiri dari sofa.
            “Alexis!” aku memanggilnya, berteriak. Saat ia ingin keluar dari gedung ini, ia berhenti. Ia menoleh, melihatku dengan wajah ‘Apa?’. Bibirnya sangat lucu. Seperti bibir Theo.
            “Ya?” dia berjalan melangkah, ke arahku. Aku melirik pada Theo yang menganga, berdiri dari sofanya bersama dengan Blake di sebelahnya. Alexis mengedipkan matanya berkali-kali saat ia melihat Theo. Kurasa ia sudah tahu siapa itu Theo. Wajahnya benar-benar lucu jika ia sedang bingung atau linglung. Beruntung sekali aku bisa bermain film dengannya. Aku bisa bercanda dengannya terus menerus. Wajahnya benar-benar polos namun kelihatan cerdas, sepetri Anastasia Steele dalam imajinasiku. Tapi tentu saja aku tidak akan tertarik padanya. Aku hanya tertarik pada Theo. Theo seorang.
            “Kenalkan, ini pacarku,” ujarku menarik Theo dalam rangkulanku. Theo menganggukan kepalanya.
            “Astaga, kau Alexis Bledel? Aku tidak percaya aku bertemu denganmu!” jerit Theo kegirangan. Aku menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh perhatian. Theo menjabat tangan Alexis dengan kegirangan dan meloncat-loncat seperti anak kecil. Sungguh menggemaskan.
            “Ya, senang bertemu juga denganmu Theo,” ujar Alex tampak ramah pada kekasihku. Bagus. Ini awal yang bagus. Tapi aku bisa lihat dari raut wajah Alex, ia tampak ragu dengan apa yang sedang berada di depannya. Dua lelaki yang saling mencintai, apa salahnya? Kita berhak mencintai siapa saja. Dan aku mencintai Theo Calvancanti. Aku tidak peduli dengan apa pendapat orang lain. Dan sekali lagi, aku tidak akan malu untuk memberitahu siapa itu Theo.
            “Astaga, aku suka sekali dengan film-film yang kau mainkan,” seru Theo lagi.
            “Terima kasih banyak,” Alex membalasnya dengan ramah lagi.
            “Ya, tentu saja,” balas Theo menganggukan kepalanya, “apa kau ingin makan siang bersama kami? Kami masih mempunyai banyak sandwich di sini,” ujar Theo menarik tangan Alex dengan gembira untuk membawanya ke sofa panjang yang tadi ia duduki. Aku menatap Dravin dan Dravin hanya mengangkat kedua bahunya. Aku bisa tahu namanya melalui tanda pengenalnya yang tergantung di lehernya. Aku tersenyum miring. Selama itu bisa menyenangkan hati Theo, aku akan melakukan apa saja untuknya.
            “Ya, bergabunglah bersama kami,” ujarku terduduk di sofa yang hanya muat untuk satu orang. Alexis menganggukan kepalanya ragu-ragu padaku dan menerima sandwich yang diberikan oleh Theo dan mereka mulai berbicara.

            Aku menumpu salah satu sikuku ke sisi sofa dan mengelus bibir bawahku sambil mengamat-amati Alexis yang mulai santai berbicara dengan Theo. Mereka tampak akrab. Blake sudah pergi dari hadapan kami saat manajernya memanggilnya. Suara Alexis sangat imut dan lembut. Aku tidak menyukainya, tapi ia adalah wanita yang menarik. Aktingnya juga sangat bagus, harus kuakui. Dan aku jadi ingat saat aku pernah mencium bibirnya beberapa bulan yang lalu. Astaga, dia langsung menamparku. Dan tamparan itu adalah tamparan pertama yang pernah kudapat dari wanita seumur hidupku. Biasanya dari lelaki –aku punya mantan gay yang sangat banyak. Tapi waktu itu dari wanita dan rasanya begitu panas sekali. Tapi aku tahu, aku hebat dalam berimprovisasi sehingga aku bisa membuat tamparan yang dibuat Alexis begitu lucu di depan mata mereka. Padahal pipiku benar-benar kesakitan.       
            “Ayo cepat! Kita harus mengulangnya lagi! Justin, Alexis! Ayo, ayo!” teriak Gavin yang tiba-tiba muncul dari pintu masuk gedung ini. Ia menepuk-nepuk tangannya dengan cepat tanda kami harus bergerak cepat. Alexis langsung berpamitan pada Theo.
            Kuberikan senyuman permintamaafanku pada Theo. Kemudian aku merentangkan tanganku agar ia bisa memelukku. Ia langsung memelukku dengan erat.
            “Apa kau ingin aku menunggumu?” tanyanya dengan suara yang benar-benar imut. Aku merapikan rambutnya yang ia sengaja panjangkan untukku. Kugelengkan kepalaku. Dia tidak perlu menunggu karena ini akan berakhir lama sekali.
            “Ya sudah. Aku akan pulang. Aku akan merindukanmu,” ujarnya mengambil kotak makan yang berada di atas meja. Kemudian ia mendekatkan wajahnya padaku agar ia bisa mencium bibirku sekilas. Kubalas kecupannya.
            “Aku akan pulang secepat mungkin,”
            “Ya, tentu saja. Jaga dirimu baik-baik sayang, aku mencintaimu,” ujarnya berlalu dari hadapanku. Aku menatapi bokongnya yang sangat seksi itu bergoyang-goyang. Astaga, dia sangat menggiurkan.
            “Aku mencintaimu juga,” aku membalasnya dengan suara yang kecil. Kemudian sejenak ia membalikan tubuhnya dan melambaikan tangannya padaku lalu meniupkan sebuah ciuman dengan tangannya. Aku hanya melambaikan tanganku dan tersenyum padanya.
            Aku harus kembali bekerja lagi.













:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar