Attention: Part selanjutnya ada di awal-awalan post. Terima kasih.
***
***
*Alexis Bledel POV*
Justin Bieber Akui Theo
Calvancanti Sebagai Kekasihnya
Dengan
penuh rasa ingin tahu, aku membaca artikel yang menarik ini. Astaga, benarkah
Justin Bieber seorang yang gay? Mengapa aku tidak pernah menyadarinya? Itu sangat
menjijikan. Aku membaca satu baris, dua baris, lalu seterusnya. Justin tampak tidak ingin menyembunyikan
hubungan asmaranya bersama Theo Calvancanti. Ia mengungkapkan pada Forbes
beberapa hari yang lalu “Aku tidak pernah menutup-nutupi hubunganku dengan
siapa pun. Sangat menyenangkan untuk memberitahu hubunganku dengan penggemarku,”
ujarnya. Aku benar-benar terkikik saat membaca berita ini. Benarkah Justin
Bieber seorang gay? Karena aku tidak pernah melihatnya begitu mesra bersama
seorang lelaki. Astaga, dia pintar sekali menutupi hubungannya yang gay ini.
Well, aku tidak pernah menyukainya dari dulu. Meski aku tahu, ia seorang aktor
yang sangat berbakat. Bahkan ia bisa bernyanyi. Wajahnya tampan pula. Tapi
sayang, gadis-gadis di luar sana yang menyukai Justin harus iri pada Theo
Calvancanti karena hubungan mereka. Oh, astaga, berita ini pasti sangat
menggemparkan dunia perfilman. Dan aku ..aku sangat senang sekali!
Astaga,
aku senang sekali. Kau tahu karena apa? Karena reputasi Justin Bieber akan menurun!
Well, kau tahu, aku juga seorang aktris. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah
bertemu dengan Justin di sebuah studio salah satu stasiun televisi. Well, jika
dilihat secara langsung dia memang tampan. Tapi gila, dia sombong sekali.
Tersenyum padaku saja tidak. Saat itu kami akan berakting di sebuah acara
komedi. Dan kalian tahu apa yang tiba-tiba saja terjadi? Dia mencium bibirku!
Sialan, kurang ajar! Aku menamparnya saat itu dan itu membuat penonton di
studio tertawa. Mungkin mereka berpikir kalau itu adalah salah satu adegan yang
akan kami mainkan. Padahal bukan! Itu hanya improvisasi. Bahkan sang pengambil
gambar terkejut dengan apa yang Justin lakukan padaku. Tapi hebatnya Justin
adalah dia mudah berimprovisasi. Saat aku menamparnya, ia malah melucu. Sialan,
bibirku terasa gatal sekarang. Aku telah dicium oleh lelaki gay! GAY!
Kusentuh
bibirku dengan jari-jariku. Bulu romaku berdiri, merinding karena mengingat ia
pernah menciumku.
“Alex,
ada apa?” tanya ibuku yang tiba-tiba saja muncul dari dapur. Aku yang sedang
sibuk dengan pikiranku sendiri, terperanjat begitu saja. Dengan linglung aku
menatap ibuku, kutarik tanganku dari bibirku.
“Oh,
tidak apa-apa, Mom. Hanya saja, coba Mom lihat ini,” ucapku memberikan surat
kabar yang kupegang dan memberikannya pada ibuku. Sofa yang dari tadi kududuki
sudah sangat panas, jadi aku pikir aku harus bangkit dari sofa ini sebelum sofa
ini akan terbakar. Ibuku mengambil surat kabar itu setelah aku berdiri dari
sofa dan ia membaca halaman pertama.
“Oh
astaga,” gumam ibuku terkejut, terlihat dari raut wajahnya. Ia menyukai Justin
Bieber juga. Ish, aku jadi berpikiran kalau nama Justin Bieber itu adalah nama
kotor. Tubuhku menggigil dan aku memejamkan mataku. Kuusap lenganku agar
tubuhku yang merinding ini sedikit rileks. Kemudian aku mengedipkan mataku agar
aku bisa membuka mataku.
Setelah
bersantai ria di pagi hari dalam pangkuan sofa, aku memutuskan untuk mencicipi
pancake buatan ibuku yang dari tadi sudah menggugah seleraku untuk sarapan.
Kuhantar kakiku menuju dapur dan melihat setumpuk pancake yang terlihat sangat
..lezat. Mataku berbinar-binar saat aku menyentuhnya, ibuku menggumam lagi di
ruang tamu. Lucu sekali. Ibuku adalah salah satu wanita yang harus cemburu pada
lelaki yang sangat (tidak) beruntung telah memiliki Justin. Untung aku bukan salah satu dari mereka.
“Alexis,
Mom tidak percaya ini benar-benar terjadi pada Justin. Astaga, Mom bisa
seharian memikirkannya hanya karena dia gay,” ujar ibuku menghampiriku dengan
surat kabar yang masih berada di tangannya. Ia menatapku dengan raut wajah
pucat. Astaga, ibuku bereaksi secara berlebihan. Seharusnya ibuku senang!
Karena impianku agar reputasi Justin Bieber menurun sedang terjadi. Astaga, ini
seperti dendam yang terjadi tanpa perencanaan. Jadi aku tidak perlu bersusah
payah untuk mencari seorang gadis untuk menggoda Justin Bieber dan bercinta
dengannya sehingga Justin Bieber digossipkan sebagai seorang lelaki berengsek!
Ini lebih baik. Lebih dari yang kuharapkan.
“Mom.
Mom tidak perlu memikirkan hal bodoh ini. Itu urusan mereka. Dan mereka tidak
akan peduli dengan apa yang kita bicarakan. Sekarang, aku hanya ingin memuji
pancake yang Mom buat. Ini sangat lezat,” ujarku menggigit potong pancake
terakhirku. Sudah selesai. Aku hanya butuh dua potong pancake. Ini karena aku
terlalu kenyang karena kesenangan di pagi hari, ditambah dengan pancake buatan
ibuku membuatku semakin kenyang. Aku bangkit dari kursi sarapan dan berjalan
keluar dari dapur.
Oh,
baiklah, aku harus bertemu dengan manajerku. Apa yang akan kulakukan hari ini?
Aku sangat berharap aku bisa bertemu dengan Sam Sullivan. Dia seorang aktor
baru yang sangat tampan. Dan dia akan muncul dalam serial televisi yang dimana
aku menjadi pemeran utama di sana. Oh, aku berharap naskahnya ada adegan ciuman
bersama dengan Sam. Itu akan membuat hariku semakin menyenangkan!
****
“E.
L James?” aku ternganga saat aku melihat seorang penulis sehebat sepanjang masa
berada di depanku. Dan ..tersenyum padaku! Tubuhku menegang. Apa yang akan ia
lakukan padaku? Apa yang ingin ia bicarakan padaku? Aku butuh pegangan sekarang
karena aku sangat terguncang. Mengapa ini terlihat seperti hanya bayangan? Apa
aku sedang bermimpi? Oh, aku sangat jatuh cinta dengan bukunya yang berjudul
Fifty Shades itu. Gila, itu adalah novel terkeren yang pernah kubaca. Sialan,
aku pernah dengar rumor bahwa novel itu akan dijadikan film. Apa aku akan
ditawarkan untuk memainkan peran Anastasia Steele di dalam film itu? Oh, tidak.
Aku akan sangat dengan senang hati menerimanya. Tapi, sebelum itu aku harus
tahu siapa yang akan menjadi lawan mainku.
“Halo,
Alexis. Senang bertemu denganmu,” ujarnya dengan suaranya yang khas
keibu-ibuan. Astaga, aku sedang berbicara dengan E. L James. Dengan ramah, aku
menjulurkan tanganku untuk menjabat tangannya.
“Kami
datang ke sini karena kami ingin membicarakan sesuatu padamu,” ujarnya sambil
menunjukan dua orang lelaki di belakangnya. Sialan, Dravin tidak memberitahuku
kalau hari ini aku akan bertemu dengan E. L James di tempat syutingku. Secara
mendadak pula. Kutatapi Dravin –manajerku- dengan tatapan Kurang Ajar! Tapi ia
hanya mengangkat kedua bahunya dan tersenyum ragu-ragu padaku.
“Lewat
sini,” ujar Dravin mengajak kami untuk pergi ke ruang tamu. Well, untung saja
aku sedang syuting di sebuah rumah. Jadi kita tidak membutuhkan waktu yang lama
untuk mencari tempat yang nyaman untuk berbicara.
Kami
semua terduduk di atas 3 sofa yang terdapat di ruang tamu dengan satu meja yang
berada di tengah-tengah. Lelaki berambut putih keabu-abuan itu menatapku dengan
sebuah senyuman. Ia memegang sebuah koper dan membukanya. Entah itu apa, aku
tidak bisa melihat apa isinya karena terhalang oleh penutup koper itu. Beberapa
detik kemudian, ia membalikan koper itu. Gila! U.A.N.G. Uang itu banyak sekali.
Apa yang akan ia lakukan dengan uang itu?
“Kau
bisa panggil aku Mr. Toubdeaux. Miss Bledel, kami ingin menawarkan pekerjaan
padamu,” ujar lelaki lain yang memakai sweeter berwarna abu-abu itu. E. L James
terhimpit di antara kedua lelaki tua itu dengan wajahnya yang tak pernah lepas
dari senyuman.
“Ya,
tentu saja. Apa itu?” aku berusaha menjawabnya dengan se-profesional mungkin.
Kutegakan tubuhku untuk bersiap-siap dengan apa yang akan ia katakan.
“Ini
adalah sebuah kontrak kerja. Kami ingin Anda memainkan peran untuk Anastasia
Steele dalam film Fifty Shades of Grey. Di sini kami ingin bertanya beberapa
hal pada Anda,” ujar Mr. Toubdeaux padaku. Kuanggukan kepalaku dan merapatkan
bibirku. Sialan, ia membuatku tegang.
“Apa
kau pernah membaca novel Fifty Shades?” Kuanggukan kepalaku satu kali.
“Bagus.
Apa kau yakin kau bisa memainkan peran Anastasia Steele?”
“Kurasa
aku pantas untuk memainkan peran ini,” ujarku dengan penuh keyakinan.
“Mengapa?”
“Karena
aku mampu membuat karakter Anastasia lebih hidup dalam film ini. Aku sangat
cocok memerankan Anastasia Steele,” ucapku dengan optimis.
“Kau
diterima. Silahkan tanda tangan di sini,” Mr. Toubdeaux menyodorkan kertas
kontrakan itu. Tanpa membaca, aku menanda tangani surat kontrakan ini. Aku akan
memainkan peran Anastasia Steele.
****
*Justin Bieber POV*
Aku
tersenyum dengan sumringah saat aku melihat lelaki yang sangat kucintai sedang
tertidur tenang di atas kasur. Astaga, dia sangat tampan dan aku sangat
mencintainya. Aku tidak peduli apa yang akan dikatakan orang tentang hubunganku
dengannya. Dia sempurna bagiku dan tidak ada yang bisa menghentikanku untuk
tidak mencintainya. Rasanya aku ingin kembali lagi ke atas tempat tidur itu dan
tidur bersamanya. Tapi aku tidak bisa. Aku harus pergi ke tempat syuting
sekarang. Hari ini aku memiliki jadwal yang sangat padat. Dan ah, aku jadi ingat berita kemarin. Surat
kabar telah mengumbarkan hubunganku dengan Theo. Dan, ya, aku merasa senang dan
lega. Setidaknya, aku tidak akan merasa terintimidasi dengan
pernyataan-pernyataan Theo yang mengatakan kalau ia malu karena aku berpacaran
dengannya. Tentu saja aku tidak malu padanya!
Dan
hari ini aku harus bertemu dengan orang-orang penting. Sialan.
Kutatapi
cermin yang berada di depanku. Tanganku dengan terampil merapikan dasi merah
yang kupakai. Tanganku menyelipkan dasi merah ini ke dalam jas abu-abu-ku.
Mataku menatap diriku sendiri dari bawah kaki sampai pada ujung rambutku.
Sempurna. Aku sudah siap bekerja. Kurasa Theo akan sangat senang jika aku
meninggalkan kecupan pada keningnya.
Kubalikan
tubuhku dan berjalan, melangkah menuju lelaki yang sangat kucintai ini.
Nafasnya teratur. Matanya tertutup dengan nyamannya. Kudekatkan bibirku pada
keningnya. Lalu bibirnya.
“Selamat
pagi, Theo,” aku menyapanya saat ia terbangun dari tidurnya. Senyuman
melengkung pada wajahnya yang tampan, membuatku semakin jatuh cinta padanya.
“Selamat
pagi, sayang,” ia menyapaku dan meregangkan otot-ototnya.
“Aku
sudah menyiapkan sarapan untukmu. Makanlah. Aku harus pergi bekerja,” ujarku
kembali membenarkan jas-ku.
“Ya,
tentu saja. Semoga berhasil,” ucapnya mendoakanku. Kuanggukan kepalaku dan
berjalan keluar dari kamar. Baiklah, aku harus bekerja sekarang.
“Aku
mencintaimu!” aku berteriak dari luar.
“Aku
juga mencintaimu, sayang!” ia membalas teriakanku. Baiklah, itu adalah semangat
pagiku dan aku tidak boleh merusaknya. Hari ini aku harus terlihat sempurna di
depan sutradara.
****
“E..
E. L James?” aku tergagap saat aku melihat seorang penulis terhebat sepanjang
masa. Sialan, apakah benar itu dia? Karena aku sangat menyukai karyanya yang
berjudul Fifty Shades itu. Theo yang menyarankanku untuk membaca novel itu.
Sebenarnya aku tidak suka membaca novel, tapi karena Theo yang memintaku jadi
lebih baik aku menurutinya. Dan ternyata memang novel itu sangat mengagumkan.
Aku bahkan mencari tahu siapa penulisnya. Dan sekarang, penulis novel itu
sedang berdiri di depanku dengan dua lelaki tua di belakangnya.Astaga.
“Ya,
dan kau Justin Bieber, bukan?” ujarnya dengan penuh rasa kedekatan. Astaga, ini
benar-benar menyenangkan. Aku ingin marah pada Advis –asistenku- ia tidak
memberitahuku dengan siapa aku akan bertemu. Ternyata aku bertemu dengan E. L
James. Sialan.
“Ya,
senang bertemu denganmu,”
“Aku
juga. Aku dan teman-teman ingin memberitahu sesuatu padamu,” ujarnya padaku.
“Ayo,
kita harus pergi ke tempat yang lebih nyaman,” Advis yang berada di sebelahku
mengajak kami berjalan menuju tenda berwarna orange ini. Ini tempat
peristirahatanku jika sedang diberikan istirahat syuting. Kami masuk ke dalam dan terduduk di atas 5
kursi di sana. Kebetulan sekali.
Aku
duduk berdampingan bersama Advis, sedangkan E. L James terhimpit di antara dua
lelaki tua itu. Lelaki yang memakai topi hitam dengan rambut putih
keabu-abuannya itu memegang sebuah koper. Ia membukanya dan langsung
memperlihatkan isinya padaku. Whoa! Uang itu banyak sekali. Sialan, apa yang
akan mereka lakukan pada uang itu? Oh, aku tahu. Pasti mereka akan menawarkan
sebuah peran padaku. Aku tidak dapat menahan senyumanku.
“Aku
ingin bertanya beberapa hal padamu,” ujar lelaki yang memegang koper itu,
“panggil aku James,” tambahnya. Aku menganggukan kepalaku.
“Aku
ingin kau memerankan Christian Grey dalam Fifty Shades of Grey. Apa sebelumnya
kau pernah membaca buku itu?” tanyanya.
“Tentu
saja. Siapa yang tidak tahu buku sehebat itu?” ujarku dengan penuh rara percaya
diri. Penulis Fifty Shades itu tersenyum padaku, memerah. Oh, aku baru saja
menggodanya.
“Mengapa
kau bisa memerankan Christian Grey? Mengapa?” tanya James lagi padaku.
“Karena
aku cocok untuk memainkan peran itu. Omong-omong, siapa yang akan memerankan
Anastasia Steele?” tanyaku dengan penuh rasa ketetarikan.
“Alexis
Bledel. Kau tahu dia bukan? Dia sudah menerima kerja kontrak ini. Dan apa kau
ingin menandatangani kontrak kerja ini?” tanya James memberikan sebuah kertas
padaku. Aku tersenyum miring pada mereka.
“Laters
Baby,” aku menggoda mereka semua dan mengambil pulpen yang berada di kantong
jas-ku lalu tanpa berpikir panjang aku menandatangani kontrak kerja ini. Itu
uang yang banyak dan aku tidak bisa menolaknya. Sialan, Alexis Bledel? Ah, itu
bukan masalah.
Aku
akan memerankan Christian Grey. Laters Baby.
*****
*Alexis Bledel POV*
Mataku
membulat. Perutku terasa begitu penuh. Mulutku sekarang ingin mengeluarkan
muntahan yang sebentar lagi akan keluar. Aku memegang perutku dan meremasnya
dengan pelan. Lalu aku meringis pelan. Kepalaku mulai pusing. Aku baru saja
membaca naskah yang diberikan oleh sutradara untukku dan aku membaca
pemain-pemainnya di sana. Justin Bieber sebagai Christian Grey? Apa? Aku ingin
mati sekarang. Christian Grey yang sempurna dalam imajinasiku dan hancur dalam
dunia nyata? Bagaimana bisa ini terjadi? Ini semua sangat salah.
Sedang
berada di ruang tata rias, aku menatap ke sekeliling ruanganku. Sebenarnya, aku
sudah ikut casting. Bukan ikut. Disuruh lebih tepatnya. Padahal aku sudah
menandatangani surat perjanjian kontrak film itu. Tapi tentu saja, aku masih terpilih
menjadi Anastasia Steele. Tapi Justin Bieber? Christian Grey? Astaga, aku akan
bertemu dengannya hari ini. Baru beberapa hari aku senang karena mendapatkan
pekerjaan ini, tapi tiba-tiba saja kesenanganku hilang! Hilang karena seorang
Justin Bieber yang gay. Dia pernah ciuman bersamaku. Dan pastinya, ciuman itu
bekas dari bibir seorang lelaki yang ia cintai. Theo Calvancanti.
Sebentar
lagi. Sebentar lagi lelaki sialan itu akan berada di dalam ruang tata rias
artis. Aku sudah bertemu dengan Kellan Lutz.
Aku tidak percaya ia memerankan Taylor.
Taylor, pengawal Christian Grey. Aku tidak sabar akan bermain film
bersama dengannya. Tubuhnya benar-benar tegap.
“Alexis,
ada apa?” tanya Dravin yang tiba-tiba saja muncul di depanku. Aku yang memegang
naskah langsung terperanjat dari tempat dudukku dan hampir melemparkan naskah
ini ke wajah Dravin.
“Kenapa
kau tidak memberitahuku kalau Christian Grey akan diperankan oleh Justin Bieber
sialan itu?” aku membisik tepat di telinganya sambil menggeram. Blake Lively,
pemain Kate Kavanagh telah hadir dengan rambut pirangnya yang cantik itu. Dia
akan menjadi sahabatku di film ini. Oh Tuhan, aku sudah membayangkan bagaimana
nanti Justin menyentuh dadaku atau pahaku. Aku berharap Gavin Michel –sutradara
film Fifty Shades- akan meminta pemeran penggantiku saat adegan seks nanti.
“Justin
Bieber!” seru Blake –dia perempuan- dengan penuh kegirangan saat Justin masuk
ke dalam ruang tata rias. Ia memaki jas berwarna hitam pekat dengan dasi
berwarna merah bergaris-garis putih. Sangat rapi dan tentu saja tampan. Astaga,
aku memuji? Well, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau dia tampan.
Tapi sayang, dia gay. Kasihan sekali dirinya. Hampir sempurna. Coba saja dia
normal, dia akan menjadi lelaki sempurna.
“Di
mana Anastasia Steele-ku?” ia mengedarkan penglihatannya di sekitar sini dan
melewatkanku yang terduduk ini.
“Di
sini,” ujar Dravin yang ingin kutampar. Tolol sekali. Aku tidak ingin berjabat
tangan dengan seorang Justin Bieber yang gay. Astaga, aku anti gay. Sangat. Ini
sangat berat. Aku akan membaca kontrak kerjaku nanti. Siapa tahu aku bisa
mengundurkan diri. Tapi, apa bisa? Aku tidak tahu.
“Ini
dia, si cantik Alexis Bledel,” ujar Justin menghampiriku dengan senyuman
miringnya. Para pemeran pembantu di dalam ruangan ini terdiam dan menatap
Justin yang berjalan ke arahku yang terduduk dengan kaki yang terlipat. Dengan
professional, aku berdiri dari tempat dudukku dan menjabat tangannya yang
terulur. Hangat dan ..kekar. Sialan. Mengapa dia bisa jadi gay? Sayang sekali.
“Justin
Bieber,” ujarnya memperkenalkan diri.
“Semua
orang tahu kau Justin,” ucapku ingin ada nada santai dalam percakapan kami.
Tapi kurasa itu tidak akan berhasil. Aku tidak dalam mood untuk bercanda dengannya. Ini hanyalah sebuah pendekatanku
dengan Justin. Dan kalian tahu apa? Aku tidak tahu apa yang sedang kubicarakan!
“Tentu
saja,” ujarnya dengan sombong, sial. “Jadi kau akan memerankan Anastasia
Steele, huh? Aku Christian Grey, pacarmu selama delapan bulan ke depan,”
ujarnya mendekatkan tubuhnya pada tubuhku. Tiba-tiba ia menarik pinggangku
hingga bersentuhan dengan perutnya yang ..berotot. Sialan. Padahal itu tertutup
oleh jas-nya yang berwarna hitam itu, tapi itu sangat keras. Mataku bertemu
dengan matanya. Dalam. Berwarna abu-abu. Seperti Christian Grey dalam
imajinasiku.
“Ini
hanyalah delapan bulang, sayang,” bisiknya di telingaku dan meremas pinggangku
dengan lembut. Kemudian ia mencium pipiku dengan lembut dan melepaskan aku.
Nafasku yang tercekat langsung terhembus dengan pelan agar aku tidak terlihat
begitu gugup.
“Whoa!”
seru orang-orang di sekitar kami dan bertepuk tangan dengan meriahnya. Begitu
juga dengan penata rias yang sedang merias artis-artis lain. Justin dengan
hormat, membungkukan tubuhnya dan berterima kasih pada mereka semua. Sedangkan
aku hanya membeku, terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa.
“Kalian
adalah pasangan tercocok yang pernah kutemui,” ujar ..entah siapa. Yang pasti
ia juga pemeran pembantu di film ini. Kurasa ia pemeran Leila. Karena ia
memiliki rambut cokelat sama sepertiku. Matanya juga berwarna biru. Sialan.
Film ini pasti akan keren dan aku tidak bisa berhenti bermain di film ini. Aku
harus bisa memainkannya meski aku harus memiliki lawan main yang gay. Tidak
apa-apa. Kuhembuskan nafasku untuk menenangkan diri.
“Apa
Anastasia Steele sudah siap? Astaga, ayo cepat. Kita harus membuat
premiere-nya. Kita hanya memiliki waktu Sembilan bulan. Dan satu bulan itu
hanya untuk premiere. Astaga, Fransesco. Kenapa kau lama sekali? Cepat-cepat!”
seru seorang lelaki yang bergaya seperti sutradara muncul di ruangan ini. Dia
bukan Gavin. Tapi kurasa dia pembantu Gavin. Ia menatap Fransesco dengan
tatapan marah dan seperti ingin memakan Fransesco.
Dengan
cepat, Fransesco mendorong tubuhku agar aku terduduk kembali pada kursiku dan
memutarkannya agar aku menatap pada cermin yang sekarang berada di hadapanku.
Fransesco berada di belakangku dan Justin berdiri di belakangnya. Menatapnya
dengan tatapan ..sinis? Maksudnya apa? Aku tidak mengerti. Kemudian aku
mengalihkan pandanganku dari Justin dan menatap mata biruku. Baiklah, saatnya
dirias.
****
“Kamera!”
teriak sutradara.
“Rolling!”
teriak kameramen.
“Dan
..Action!” teriak sutradara.
Dengan
cepat aku turun dari mobil Beetle-ku dan berlari menuju gedung Christian Grey.
Aku harus benar-benar memahami karakter Anastasia. Kakiku yang mungil
menghantarkanku sampai pada resepsionis yang berdiri dibalik konter yang
berbentuk bulan sabit itu. Ia memang earphone di sebelah telinganya dan
tersenyum padaku.
“Aku
Anastasia Steele,” ujarku dengan sopan dan menelan ludahku dengan susah, “Aku
ke sini untuk sebagai pengganti Kate Kavanagh,” tambahku mengingat naskah yang
tadi sudah kuhafal. Wanita setengah baya berambut pirang yang disanggul itu
menunjukan jari telunjuknya padaku.
“Tunggu
sebentar Miss Steele,” ujarnya. Aku menganggukan kepalaku dan menatapi gedung
yang besar ini. Astaga, ini sangat besar. Sekarang aku merasa seperti Anastasia
Steele. Datang ke tempat sebesar dan berkualitas seperti ini tapi hanya memakai
jaket tentara berwarna biru dengan celana jins panjang yang kupakai. Astaga,
sangat memalukan. Tapi meski aku sedang akting, aku harus tahu sudut pandang
mataku pada kamera. Di sekelilingku sudah ada empat kamera berada di dalam
ruang ini, belum lagi di dalam lift. Lalu di ruangan Christian Grey di lantai
dua puluh. Ini butuh pengeluaran uang yang sangat banyak dan pastinya aku tidak
boleh mengecewakan sutradara dan penonton nanti.
“Miss
Steele. Silahkan tanda tangan di sini,” ujar wanita ini padaku dan memberikan
kertas yang bertuliskan ‘Daftar Pengunjung’.
Oh, tentu saja. Aku hanya pengunjung dengan pakaian seperti ini. Ini
sangat cocok. Dengan penuh senyum semangat, aku menandatangi kertas ini dan
menuliskan namaku di sana.
“Dari
sini Anda bisa menggunakan lift paling ujung , lalu ke lantai dua puluh,”
ucapnya dengan penuh ramah tamah. Gila, wanita ini pintar sekali akting. Aku
menganggukan kepalaku dan melangkahkan kakiku menuju lift paling ujung.
Kuketuk-ketuk kakiku dengan tas selempang yang kubawa. Ting! Pintu lift terbuka
dan aku langsung masuk.
“Cut!”
teriak sutradara. Kutekan tombol pintu buka agar pintu lift masih terbuka.
Kemudian aku keluar. Syukurlah. Adegan keempat! Pengambilan gambar yang ke 40.
Bayangkan, 40 pengambilan gambar!
“Akting
yang sangat bagus, Miss Steele,” puji Gavin bangkit dari kursi sutradaranya.
Aku hanya bisa menganggukan kepalaku dan tersipu malu akan pujiannya. Bukankah
seharusnya aku akting dengan baik? “Tapi kita tidak bisa berlama-lama. Ayo
cepat, kita harus mengambil adegan kelima. Cepat, cepat, cepat!” teriak Gavin
setelah itu dan bertepuk tangan, tanda ia menyuruh para pengambil gambar,
pengambil suara dan yang lainnya. Aku tersenyum dalam hati.
****
“Apa
kau gay Mr. Grey?” tanyaku setelah aku mengambil adegan kelima. Justin sudah
terduduk di depanku dan mendalami perannya. Astaga, dia benar-benar seperti ada
yang di dalam imajinasiku. Ia Christian Grey yang sempurna. Kepalanya ia
miringkan ke satu sisi, sama seperti yang ada di dalam buku. Sama seperti yang
ada di dalam naskah. Matanya melotot padaku.
“Tidak
Miss Steele, aku tidak,” ia berbicara dengan nada yang dingin. Bukan Justin
Bieber. Ini bukan Justin Bieber yang pernah mencium bibirku di dalam acara
komedi beberapa bulan yang lalu. Yang menjadi ciuman itu menjadi bahan tawa.
Astaga, Alexis! Kau harus focus.
“Ini
bukan pertanyaanku. Ini ada di dalam daftar pertanyaan,” ujarku setelah aku
sadar, aku harus focus.
“Bukan
pertanyaanmu, Miss Steele?”
“Ya,
Kate Ka ..Miss Kavanagh yang menuliskannya,” ucapku lagi. Ia tersenyum miring
padaku dan memiringkan kepalanya ke satu sisi lagi. Kemudian ia membuatku
bengong. Astaga, inikah Justin Bieber yang gay? Tersenyum miring padaku. Bukan
senyuman kesombongan. Tapi senyuman yang sangat tampan. Benarkah dia gay?
Karena kurasa dia bukan. Kualihkan pandanganku pada bibirnya. Bibir itu pernah
menyentuh bibirku. Astaga, aku ingin menciumnya. Bukan sebagai Justin Bieber,
tapi sebagai Christian Grey.
“Cut!”
teriak sutradara mengagetkanku. Kualihkan pandanganku pada Gavin dan melihat
dia sudah berdiri dari tempatnya. Untung saja ini baru pengambilan gambar
pertama dalam adegan kelima.
“Alex!
Apa yang kaulakukan?” tanya Gavin tampak marah. Aku tersentak dan berdiri dari
tempatku.
“Astaga,
aku minta maaf. Aku hanya ..aku astaga, aku sangat minta maaf,” aku memohon
padnaya. Ia menatapku, marah. Tapi ia menahan amarahnya dan menarik nafasnya.
Kurasa ia menghitung sampai sepuluh dan lalu ia membuka matanya.
“Kurasa
kita harus istirahat dulu,” ujarnya membubarkan kami.
Aku
merosot ke dalam sofa Christian Grey dan menatap Justin yang dengan dinginnya
masih terduduk di atas sofanya. Menatapku dengan wajah datarnya dan lalu
menggelengkan kepalanya padaku. Semua kru audio-visual keluar dari ruang kerja
Christian Grey. Kuhembuskan nafasku untuk menenangkan diriku sendiri. Apa yang
terjadi padaku tadi? Astaga, tadi itu sangat bodoh. Mengapa aku memuji-muji
Justin? Tidak. Aku tidak memuji Justin. Tapi aku memuji Justin yang memerankan
Christian Grey. Berarti aku memuji Christian Grey yang tampan. Itu saja.
“Ada
apa denganmu, Miss Steele?” tanyanya dengan panggilan Miss Steele padaku.
Kukedipkan mataku agar aku bisa membuka mata. Menatapnya dengan rasa malas, ia
sudah kembali. Ia adalah Justin Bieber yang mempermalukanku dengan candaan.
“Aku
hanya ..”
“Terpana
akan ketampananku?” tanyanya dengan penuh rasa percaya diri dan sombong sekali.
Apa? Apa dia baru saja mengatakan ‘Terpana akan ketampanannya’ ? Yang benar
sajalah! Tidak mungkin. Aku hanya menganggapnya sebagai Christian Grey , makanya
aku memujinya dalam hati kalau dia tampan. Tidak, dia tidak tampan sekali. Tapi
sial! Dia memang tampan.
“Jangan
menggigit bibirmu, Miss Steele. Kau tahu apa pengaruhnya apa bagiku,” ujarnya
seperti Christian Grey. Astaga, dia sampai hafal bagian itu. Ini padahal baru
bagian untuk premiere. Maksudku, trailer.
“Justin,
apa kau serius?” tanyaku dengan nada pura-pura malas.
“Aku
hanya sedang menguji kehebatan aktingku,” ucapnya membalasku dengan alasan yang
cukup masuk akal. Kuputar bola mataku.
“Jangan
memutar bola matamu, Miss Steele. Tidak sopan,” tegurnya lagi. Astaga, ternyata
jika kupikir-pikir, jika ada Christian Grey ada di dunia ini –benar-benar di
dunia ini- aku akan gila. Dia benar-benar gila control. E . L James pintar
sekali membuat cerita.
Tiba-tiba
saja Justin bangkit dari tempat duduknya dan menghampiriku. Ia berdiri tepat di
depanku. Kedua tangannya berada di dalam kantong celana panjangnya dan
melihatku dari bawah hingga atas. Kemudian senyuman miringnya kembali muncul.
“Kau
sangat gugup tadi. Ada apa? Apa kau menyukaiku?” tanyanya dengan sombong, kali
ini. Aku melotot padanya. Kemudian aku menggelengkan kepalaku. “Jangan bohong,”
“Astaga,
Justin. Aku hanya gugup di depan kamera,”
“Tidak
mungkin. Kau pemain film. Dan pasti kau sudah terbiasa dengan kamera di
sekelilingmu,’ ucapnya mengelakku, “Apa kau gugup karena aku seperti Christian
Grey dalam imajinasimu?” tanyanya berbisik, ia sudah menundukan tubuhnya
sehingga pipi kanannya sudah berada di pipi kiriku. Nafasnya terhembus, terasa
pada telinga kananku.
“Bilang
saja kau suka padaku, Miss Bledel.” bisiknya benar-benar seksi di telingaku.
Semuanya menjurus pada pangkal pahaku. Dan tiba-tiba ia menjilat telingaku,
merangsangku. Sialan!
***
“Tapi,
maaf Miss Steele,” ujar Justin mengangkat kepalanya dari samping kepalaku dan
berdiri di depanku dengan wajah dingin, namun ia memberiku senyuman. Senyuman
miring yang begitu angkuh dan sombong. Sialan. Aku merapatkan kedua pahaku.
Tidak seharusnya Justin bersikap begitu percaya diri di depanku. Maksudku, ia
memang boleh percaya diri. Tapi maksudku, aku tidak pernah mendapatkan teman
main filmku yang begitu percaya seperti dirinya. Percaya diri bukan untuk
menunjukan candaan atau apa, ini percaya diri menunjukan kesombongannya.
Membuatku sedikit muak akan permainannya. Seharusnya kita bersantai ria. Apa
dia memiliki dendam yang sama seperti aku padanya? Tapi kurasa tidak. Aku yang
pantas dendam padanya. Dia tidak pantas dendam padaku. Aku sudah berada di
dunia nyata, tapi Justin terus mengajakku masuk ke dalam dunia syutingnya lagi.
Dia memang hebat membawa suasana.
“Maaf
untuk?” tanyaku bingung saat ia mulai melenggang pergi dari hadapanku. Kemudian
ia berhenti dan membalikan tubuhnya. Oh, Justin. Kapan kau berhenti untuk tidak
berakting? Aku cukup tidak menyukainya jika seperti ini –atau mungkin aku
memang sudah lama tidak menyukainya.
“Aku
tidak bisa menyukaimu, Miss Steele,” ujarnya, “Untuk pertanyaan ‘apa kau gay,
Mr. Grey?’, mungkin aku menjawab tidak. Tapi jika kau bertanya ‘apa kau gay,
Mr. Bieber?’ , mungkin aku menjawab ya,” lanjutnya yang membuatku sedikit
terkejut atas ucapannya. Dia mengakuinya tepat di depanku. Nafasku tercekat.
Maksudku, apa dia tidak malu dengan apa yang baru saja ia katakan padaku? Astaga.
Aku ternganga.
“Jangan
kecewa, Miss Bledel. Kupikir kau sudah tahu itu dari kemarin,” ujarnya kemudian
membalikan tubuhnya, lenyap dari balik pintu ruangan ini. Aku masih menganga.
Astaga. Dia baru saja mengatakan kalau ia gay di depanku. Di. Depan. Diriku.
Apa dia tahu malu? Kurasa ia tidak tahu malu. Kupejamkan mataku, perutku merasa
mual sekarang.
Beberapa
adegan lagi aku akan berciuman dengannya. Ia akan meremas pinggangku. Lalu ia
akan melesakan lidahnya ke dalam mulutku. Lidah yang pernah menyentuh lidah
seorang lelaki yang ia cintai. Aku bergetar. Tubuhku menggeliat begitu saja.
Bagaimana mungkin aku bisa mencium seorang yang gay? Kurasa aku tidak kuat.
Astaga. Istirahat berapa menit lagi sebenarnya? Gavin benar-benar tidak
memberitahu kapan waktunya selesai istirahat.
“Alexis!
Astaga, maaf. Maaf aku meninggalkanmu. Astaga, sungguh. Ini untukmu,” ujar Dravin yang tiba-tiba saja muncul di
depanku dengan sebotol air mineral di tangannya. Dengan cepat aku meraih botol
itu dan membuka penutupnya. Meneguknya seperti aku tidak pernah minum.
“Ada
apa tadi?” tanyanya kelihatan bingung.
“Aku
kehilangan konsentrasi,”
“Astaga,
mengapa?” tanyanya dengan nafas yang belum teratur. Terlihat sekali di balik
lensa kacamata yang ia pakai, ia khawatir denganku. Manajerku ini sudah seperti
saudara lelaki bagiku. Aku mencintainya sebagai saudara lelaki. Abangku.
Kebetulan dia sedang lajang. Belum ada gadis yang tepat di hatinya.Entahlah,
padahal sudah banyak sekali gadis-gadis yang mendaftar sebagai pacarnya. Tapi
tetap saja, Dravin selalu membuang mereka mentah-mentah. Kasihan sekali mereka
tidak bisa merasakan kebaikan Dravin.
“Justin
mirip sekali dengan Christian Grey yang ada di imajinasiku,” ucapku jujur.
“Itu
bagus,”
“Ya,
memang bagus. Untuk sesaat, memang aku akan senang bisa menciumnya sebagai
Christian Grey,” aku menekan nama Christian Grey padanya, “Tapi setelah Gavin
bilang ‘Cut!’ ,semuanya pudar. Aku merasa ciuman dari seorang gay yang sangat
…iuh, menjijikan. Sudah, aku ingin makan,” ucapku tidak ingin percakapan ini
berkelanjutan. Gravin menganggukan kepalanya dan menarik tanganku untuk berdiri
dari sofa. Kurasa makan adalah jalan pintas yang baik untuk mempertahankan
konsentrasi nanti.
****
*Justin Bieber POV*
Aku
melihat Theo, kekasihku sedang tertawa-tawa dengan Blake –pemeran Kate- di
sebelahnya. Mereka tampak akur. Theo tampan sekali sore ini. Dia memakai baju
santai kali ini dan ia membawa makan siang untukku. Ia memakai sweeter yang manis untuk tubuhnya dan
celana jins hitam panjang. Membuatnya terlihat begitu feminism dan aku
menyukainya. Untung saja aku memberitahunya di mana aku syuting. Ia kegirangan
saat ia tahu Alexis Bledel adalah lawan mainku. Ya, aku belum memberitahu
Alexis adalah lawan mainku. Tapi sekarang dia sudah tahu. Sebenarnya, aku bisa
lihat dari wajahnya kalau ia cemburu pada Alexis karena aku akan mencium Alexis
dalam beberapa adegan. Maksudku bukan beberapa, tapi sebagian adegan. Gadis itu
sungguh menggemaskan. Entahlah, dia lucu sekali saat aku menggodanya tadi di
ruangan Christian Grey. Ia tampak gugup.
Aku
menyandarkan tubuhku ke sofa setelah aku selesai memakan sandwich buatan
kekasih tercintaku yang pintar sekali memasak. Dia lelaki terhebat yang pernah
kutemui. Astaga, sekarang aku sangat bergairah untuk menciumnya. Tawaannya
adalah suara terindah dalam hidupku. Melihatnya tertawa dengan Blake membuat
hatiku berseri. Pekerjaanku adalah untuk membahagiakan dirinya. Theo
Calvancanti. Kapan aku akan menikah dengannya? Aku tidak sabar untuk mengubah
namanya menjadi Theo Bieber. Dia tampan sekali sekarang.
Sekarang
kita sedang berada di lobi bawah gedung Christian Grey. Alexis belum
turun-turun dari lantai dua puluh. Entah mengapa. Aku tak peduli. Aku hanya
ingin impian Theo tercapai. Dia ingin sekali bertemu dengan Alexis. Ting!
Panjang umurnya! Alexis muncul dari lift bersama dengan manajernya yang
berjalan di belakangnya. Dengan cepat aku berdiri dari sofa.
“Alexis!”
aku memanggilnya, berteriak. Saat ia ingin keluar dari gedung ini, ia berhenti.
Ia menoleh, melihatku dengan wajah ‘Apa?’. Bibirnya sangat lucu. Seperti bibir
Theo.
“Ya?”
dia berjalan melangkah, ke arahku. Aku melirik pada Theo yang menganga, berdiri
dari sofanya bersama dengan Blake di sebelahnya. Alexis mengedipkan matanya
berkali-kali saat ia melihat Theo. Kurasa ia sudah tahu siapa itu Theo.
Wajahnya benar-benar lucu jika ia sedang bingung atau linglung. Beruntung
sekali aku bisa bermain film dengannya. Aku bisa bercanda dengannya terus
menerus. Wajahnya benar-benar polos namun kelihatan cerdas, sepetri Anastasia
Steele dalam imajinasiku. Tapi tentu saja aku tidak akan tertarik padanya. Aku
hanya tertarik pada Theo. Theo seorang.
“Kenalkan,
ini pacarku,” ujarku menarik Theo dalam rangkulanku. Theo menganggukan kepalanya.
“Astaga,
kau Alexis Bledel? Aku tidak percaya aku bertemu denganmu!” jerit Theo
kegirangan. Aku menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh perhatian. Theo menjabat
tangan Alexis dengan kegirangan dan meloncat-loncat seperti anak kecil. Sungguh
menggemaskan.
“Ya,
senang bertemu juga denganmu Theo,” ujar Alex tampak ramah pada kekasihku.
Bagus. Ini awal yang bagus. Tapi aku bisa lihat dari raut wajah Alex, ia tampak
ragu dengan apa yang sedang berada di depannya. Dua lelaki yang saling
mencintai, apa salahnya? Kita berhak mencintai siapa saja. Dan aku mencintai
Theo Calvancanti. Aku tidak peduli dengan apa pendapat orang lain. Dan sekali
lagi, aku tidak akan malu untuk memberitahu siapa itu Theo.
“Astaga,
aku suka sekali dengan film-film yang kau mainkan,” seru Theo lagi.
“Terima
kasih banyak,” Alex membalasnya dengan ramah lagi.
“Ya,
tentu saja,” balas Theo menganggukan kepalanya, “apa kau ingin makan siang
bersama kami? Kami masih mempunyai banyak sandwich di sini,” ujar Theo menarik
tangan Alex dengan gembira untuk membawanya ke sofa panjang yang tadi ia
duduki. Aku menatap Dravin dan Dravin hanya mengangkat kedua bahunya. Aku bisa
tahu namanya melalui tanda pengenalnya yang tergantung di lehernya. Aku
tersenyum miring. Selama itu bisa menyenangkan hati Theo, aku akan melakukan
apa saja untuknya.
“Ya,
bergabunglah bersama kami,” ujarku terduduk di sofa yang hanya muat untuk satu
orang. Alexis menganggukan kepalanya ragu-ragu padaku dan menerima sandwich
yang diberikan oleh Theo dan mereka mulai berbicara.
Aku
menumpu salah satu sikuku ke sisi sofa dan mengelus bibir bawahku sambil
mengamat-amati Alexis yang mulai santai berbicara dengan Theo. Mereka tampak
akrab. Blake sudah pergi dari hadapan kami saat manajernya memanggilnya. Suara
Alexis sangat imut dan lembut. Aku tidak menyukainya, tapi ia adalah wanita
yang menarik. Aktingnya juga sangat bagus, harus kuakui. Dan aku jadi ingat
saat aku pernah mencium bibirnya beberapa bulan yang lalu. Astaga, dia langsung
menamparku. Dan tamparan itu adalah tamparan pertama yang pernah kudapat dari
wanita seumur hidupku. Biasanya dari lelaki –aku punya mantan gay yang sangat
banyak. Tapi waktu itu dari wanita dan rasanya begitu panas sekali. Tapi aku
tahu, aku hebat dalam berimprovisasi sehingga aku bisa membuat tamparan yang
dibuat Alexis begitu lucu di depan mata mereka. Padahal pipiku benar-benar
kesakitan.
“Ayo
cepat! Kita harus mengulangnya lagi! Justin, Alexis! Ayo, ayo!” teriak Gavin
yang tiba-tiba muncul dari pintu masuk gedung ini. Ia menepuk-nepuk tangannya
dengan cepat tanda kami harus bergerak cepat. Alexis langsung berpamitan pada
Theo.
Kuberikan
senyuman permintamaafanku pada Theo. Kemudian aku merentangkan tanganku agar ia
bisa memelukku. Ia langsung memelukku dengan erat.
“Apa
kau ingin aku menunggumu?” tanyanya dengan suara yang benar-benar imut. Aku
merapikan rambutnya yang ia sengaja panjangkan untukku. Kugelengkan kepalaku.
Dia tidak perlu menunggu karena ini akan berakhir lama sekali.
“Ya
sudah. Aku akan pulang. Aku akan merindukanmu,” ujarnya mengambil kotak makan
yang berada di atas meja. Kemudian ia mendekatkan wajahnya padaku agar ia bisa
mencium bibirku sekilas. Kubalas kecupannya.
“Aku
akan pulang secepat mungkin,”
“Ya,
tentu saja. Jaga dirimu baik-baik sayang, aku mencintaimu,” ujarnya berlalu
dari hadapanku. Aku menatapi bokongnya yang sangat seksi itu bergoyang-goyang.
Astaga, dia sangat menggiurkan.
“Aku
mencintaimu juga,” aku membalasnya dengan suara yang kecil. Kemudian sejenak ia
membalikan tubuhnya dan melambaikan tangannya padaku lalu meniupkan sebuah
ciuman dengan tangannya. Aku hanya melambaikan tanganku dan tersenyum padanya.
Aku
harus kembali bekerja lagi.
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar