***
“No!
I want Peepee!” teriak Aaron memukul-mukul punggung ayahnya bahkan telah
menggigit bahu ayahnya berkali-kali. Air matanya masih mengalir dan ia
benar-benar gemas dengan ayahnya. Dari tadi Aaron menjambak rambut Justin agar
Justin menurunkannya.
“Shut
up, Aaron!” bentak Justin yang membuat Aaron tersentak.
“But
I want Peepee back,” gumam Aaron menitik air matanya kembali, bibirnya
menyembul terbalur oleh air liur dan air matanya. Alex telah benar-benar pergi
dari rumah Justin. Pelacur yang berada di kamar tamu itu telah diamankan oleh
Jordy. Justin sekarang benar-benar kesal. Ia butuh salah satu wanita dari ruang
bawah tanahnya yang dapat ia siksa. Namun melihat keadaan Aaron yang menangis
seperti ini menutup kemungkinan Justin dapat menumpahkan amarahnya pada
wanita-wanita itu. Justin telah menghubungi Caitlin dan Candice untuk pulang ke
rumah malam ini juga. Justin muak dengan dirinya sendiri. Ia jatuh ke dalam
lubang yang sama lagi. Mengapa bisa-bisanya ia dibohongi oleh wanita polos seperti
Alex? Justin sebenarnya sudah tahu ini akan terjadi, tapi bodohnya ia
mempertahankan Alex. Tentu saja Alex akan berbohong tentang hubungannya bersama
dengan Brad. Setelah Justin menyuruh Jordy untuk mengikuti Alex dan Aaron jika
Alex pergi ke rumah Brad, laporan dari Brad benar-benar membuat Justin kecewa
dengan Alex. “Aku mencintaimu” , “Berdandanlah setampan mungkin” , atau mungkin
memang benar apa yang dikatakan Justin tentang bersenang-senang. Pikiran Justin benar-benar berkecamuk sekarang.
Ia telah mengingkari janjinya untuk tidak menampar Alex, namun nyatanya ia
menampar Alex. Hatinya pun terpukul saat ia melakukannya. Mengusir Alex dari
rumahnya adalah keputusan terberat dan tercepat yang pernah ia ambil. Justin
bukanlah seorang lelaki yang sabar. Ia telah menunggu selama tiga hari untuk
bersabar, namun nyatanya Alex tidak pernah berkata jujur. Selalu ia mendapatkan
jawaban yang sama. Bersenang-senang.
Ya, bersenang-senang diraba, dicium oleh lelaki sialan itu. Darah Justin
benar-benar mendidih di dalam tubuhnya. Ia berusaha untuk tidak meremas
pinggang anaknya yang dapat ia retakan tulangnya. Dan kali ini pula Justin
membentak Aaron.
“I
want Peepee,” tangis Aaron saat Justin membaringkannya di atas tempat tidur.
“Aku akan membuat rotiku sendiri, daddy,” bisik Aaron menatap Justin dengan
tatapan memohon. Ya Tuhan. Inilah yang selama ini Justin takuti. Ia memang
telah mengambil keputusan yang salah. Inilah mengapa ia tidak pernah ingin
memukul Alex agar Alex tidak pergi. Aaron pasti akan merengek terus menerus
agar Alex kembali. Namun kenyataannya sekarang yang sedang terjadi adalah
Justin sendiri yang mengusirnya.
“Daddy
tahu sayang. Sekarang tidur,”
“Aku
tidak akan memegang dadanya lagi. Aku akan menghitung angka sampai sepuluh
lagi. Aku ingin Peepee, kumohon daddy. Aku akan menjaga Peepee,”
“Aaron,
dari mana kautahu kata-kata itu sayang? Ayo tidur,” bujuk Justin membaringkan
tubuhnya di sebelah Aaron lalu mengelus kepala Aaron.
“Aku
tidak ingin Peepee pergi. Aku tidak akan nakal lagi, aku berjanji,” bisik Aaron
mulai mengisap ibu jarinya. Sebisa mungkin Aaron tertidur saat Justin mengelus
lembut kepalanya, pada akhirnya ia tertidur juga. Meski dalam rasa sakit hati
yang mendalam. Ia kecewa dengan ayahnya sendiri.
***
Alex
meringkuk di atas tempat tidurnya bagaikan janin yang berada dalam perut ibu.
Tangisannya telah mengering setelah beberapa jam ini ia menangisi seorang
Justin. Setidaknya, ia telah berhasil melawan Justin sebelum ia keluar dari
rumah Justin. Awalnya Alex berpikir hubungan ini akan berjalan dengan baik.
Kelembutan Justin tiap harinya. Kebersamaannya bersama dengan Justin. Ia
berpikir ini akan berjalan selama mungkin. Namun Justin sama seperti bajingan
lainnya. Selalu menganggap Alex adalah seorang pembohong. Alex bukanlah seorang
pembohong. Ia hanya seorang gadis yang menunggu waktu yang tepat untuk
berbicara. Namun ternyata kemarin adalah waktu yang tidak tepat untuk
membicarakan hal yang membuat Justin jengkel. Mengapa Justin tidak sama sekali
mempercayainya? Ia tidak pernah berbohong pada Justin karena ia memang tidak
pernah berhasil dalam membohongi orang. Terlalu polos untuk mengatakan
kebenaran. Tamparan dari Justin masih sangat terasa di pipinya. Wajah Aaron
yang sedih masih terbayang-bayang di pikirannya. Besok adalah hari yang
seharusnya menjadi indah, ia berharap besok adalah hari yang indah. Namun
mengingat perasaannya yang rusak, ia kurang yakin dengan hari yang indah.
Brad
bersumpah akan memukul Justin jika besok Justin benar-benar datang ke pesta
dansa. Ia terus mencaci maki Justin di depan Alex, namun Alex menyuruh Brad
diam. Menghina Justin tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kenyataannya
adalah Brad memang menyayangi Alex sebagai saudaranya. Adiknya. Ia tidak ingin
satu orangpun menyakiti Alex, sekalipun itu adalah Justin. Brad telah
memperingati Alex untuk tidak memutuskan Justin. Karena ia tahu Justin akan
menyakiti Alex. Ya Tuhan. Sungguh berat rasanya melihat seseorang yang kita
sayangi tersakiti oleh hal yang membuat dirinya merasa sia-sia. Tengah malam
ini Brad sedang memikirkan cara bagaimana ia membalas perbuatan Justin terhadap
Alex. Ini tentu saja tidak dapat Brad diamkan. Justin juga harus mendapatkan
balasan yang sepadan. Menyalahkan Alex bahwa Alex seorang wanita pembohong dan
berselingkuh dengan dirinya membuat Brad muak terhadap Justin. Justin tidak
tahu apa-apa tentang hubungan mereka. Mereka tidak akan berpacaran, tentu saja.
Brad bahkan telah memiliki kekasih! Sungguh sial. Brad terbaring di atas
sofanya lalu memejamkan matanya. Besok adalah hari dimana ia harus membuat Alex
tersenyum.
Detik
demi detik berlalu. Matahari mulai muncul dari ufuk timur memancarkan sinar
senyum paginya pada manusia-manusia yang tinggal di Altanta. Jam telah
menunjukan pukul 9 pagi. Brad telah terbangun dari tidurnya sejak dua jam yang
lalu. Menghabiskan waktu liburnya dengan menonton acara pagi terlebih dahulu
ditemani dengan sereal kesukaannya dan Alex. Alex baru saja membuka pintu kamar
lamanya dengan rambut yang acak-acakan. Matanya membengkak. Hidungnya memerah.
Pipinya bahkan berubah menjadi warna merah muda. Kakinya membawa tubuh
mungilnya melewati tangga untuk menemui Brad. Biasanya ia bangun jam enam pagi
bersama dengan Aaron, namun pagi ini terasa begitu berbeda. Tidak ada jambakan
rambut di pagi hari dari Aaron yang biasa Aaron lakukan. Tidak ada yang
bertanya-tanya tentang ayahnya atau mommy Oreo. Atau mommy Caitlin dan Candice.
Tidak ada lagi yang mengoles rotinya sendiri dengan tangannya yang belepotan
dengan selai. Tidak ada yang berseru “Aku menyukai roti” lagi. Ini benar-benar
memukul perasaan Alex.
“Hey
Brad,” sapa Alex dengan suaranya yang parau.
“Ya
Tuhan!” kejut Brad saat ia melihat wajah Alex yang benar-benar kusut. “Apa yang
kaulakukan tadi malam? Aku benar-benar ..” suara Brad menghilang begitu saja.
Ia menaruh mangkuk yang ia pegang ke atas meja yang berada di hadapannya.
“Jangan
biarkan lelaki itu membuat dirimu lemah,” saran Brad menyentuh pundak Alex.
Alex menaruh nafasnya lalu mengusap-usap wajahnya dengan kedua telapak
tangannya sambil menganggukan kepalanya. “Aku tahu kau kuat,”
“Hmm,
yeah. Apa pun yang kaukatakan,”
“Well,
aku baru saja mendapatkan kiriman gaun dari Justin –“
“Aku
tidak ingin menerima kiriman apa pun darinya,”
“Tapi
ini adalah gaunmu yang kau siapkan untuk nanti malam. Bersama dengan
sepatunya,” ujar Brad yang mengambil sekotak kardus yang berwarna biru di
sebelahnya lalu memberikannya pada Alex. “Kita jadi pergi nanti malam bukan?”
“Tentu
saja, aku tidak ingin hanya karena masalahku, acara malam ini rusak,” seru Alex
berusaha untuk tersenyum. Namun hatinya, hatinya menangis.
***
Pagi
ini Aaron tampak tidak begitu bersemangat. Ia benar-benar merindukan
Peepee-nya. Mommy Caitlin, Candice, juga Wero telah kembali subuh tadi hanya
karena Justin menyuruh mereka untuk menjaga Aaron. Aaron mengolesi rotinya
sendiri pagi ini, sama seperti apa yang ia katakan tadi malam. Weronika
berusaha untuk membantu Aaron membuat rotinya, namun Aaron memberontak dengan
mulutnya yang cemberut. Ia tidak ingin dibantu. Ia bisa melakukannya sendiri.
Asal apa yang ia perbuat akan memulangkan Peepee-nya kembali. Namun
kenyataannya Peepee-nya belum pulang juga.
“Aku
mau Peepee,” gumamnya untuk yang kesekian kalinya.
Justin
sedang berada di gudang untuk memeriksa wanita-wanitanya, mencari seorang
wanita yang pas untuk ia pukul pagi ini. Gudang itu semakin lama semakin bau.
Bahkan orang-orang yang masuk ke dalam sana harus memakai masker oksigen agar
dapat bernafas di dalamnya. Di dalam sana seperti tidak ada nafas. Caitlin,
Candice dan Weronika telah mengetahui gudang ini. Semua istrinya telah tahu
tentang gudang ini. Kecuali Alex. Ia bahkan tidak tahu status hubungannaya
bersama dengan Alex.
Di
tangan Justin, ia telah memegang pecutan dari rotan. Itu pasti akan menyakitkan
jika menyerang bokong seorang wanita pagi ini. Ia telah memutuskan untuk pergi
ke pesta dansa bersama dengan Caitlin. Tentu saja. Mata Justin melihat pada
seorang wanita yang menatap Justin dengan tatapan kebencian.
“Aku
mau dia,” ujar Justin pada Jordy. Detik itupun juga Jordy membuka sel penjara
wanita ini. Justin masuk ke dalam bersama dengan Jordy yang memegang tali yang
cukup panjang. “Ikat dia,”
“Apa?
Apa yang akan kaulakukan?” tanya wanita itu ketakutan dan berusaha untuk
bangkit dari tempat tidurnya, berniat untuk berlari. Namun dengan cepat Jordy
memegang wanita menjijikan ini, mengikat kedua tangannya ke belakang. “Oh, apa
yang akan kaulakukan?” lenuh wanita itu kesakitan saat tangan Justin yang
dilapisi dengan sarung tangan plastic itu mendorong kepala wanita ini ke
permukaan tempat tidur. Sehingga sekarang wanita itu menungging di hadapan
Justin.
“Ya
Tuhan!” jerit wanita itu saat pecutan yang terbuat dari rotan itu memukul
bokongnya. Justin sungguh kesal. Mengapa ia harus mencintai wanita itu? Mengapa
wanita itu harus tampak begitu memikat? Apa yang wanita itu lakukan padanya?
Mengapa ia harus cemburu dengan anaknya sendiri hanya karena wanita ini? Apa
yang sebenarnya wanita ini miliki dan wanita lain tidak miliki yang dapat
membuatnya benar-benar tertarik? Ia berusaha untuk mencari daya tarik itu,
namun ia tidak menemukannya. Ia sungguh benci perasaan aneh ini. Jatuh cinta,
namun jatuh cinta ini terasa lebih nyata. Tapi mengapa wanita itu harus seperti
dengan wanita yang lain? Ia sudah cukup merasakan sakit hati dan wanita itu
berbohong padanya tentang sahabatnya. Pasti mereka telah berhubungan badan!
Pukulan terakhir membuat bokong wanita itu berdarah. Wanita itu menangis,
benar-benar menangis. Ya Tuhan, mengapa harus ada seorang lelaki sekejam
Justin? Jordy hanya dapat menarik nafasnya di balik masker ini. Ia harus
memberitahu Alex tentang ini agar Justin berubah. Karena hanya Alex yang dapat
membujuk Justin untuk merubah dirinya. Memang, karena hanya Alex yang Justin
inginkan sekarang, namun tidak sejak kemarin.
***
Wanita
bermata biru tampak begitu cantik malam ini. Rambutnya ia gerai tanpa dihiasi
oleh apa pun. Namun terlihat begitu elegan. Ia hanya memakai pelembab bibir
malam ini. Brad memberikan Alex sebuah kalung yang harus ia pakai malam ini.
Sungguh, malam ini Alex benar-benar cantik. Ia terduduk di atas kursi mobil,
menatap pada jalan raya sementara mobil terus melaju. Brad mencoba untuk fokus
dengan jalanannya karena dari tadi ia tidak dapat fokus akan kecantikan Alex.
Well, Brad juga memakai pakaian formal malam ini. Ia juga memakai parfum
terwangi yang pernah ia pakai. Kekasih Brad awalnya tidak setuju dengan pesta
dansanya bersama dengan Alex, namun akhirnya juga kekasih Brad mengerti.
Mobil
Brad berhenti di parkiran gedung besar, di pinggir jalan yang kosong. Untunglah
ada tempat parkir yang masih ada. Banyak sekali orang yang masu ke dalam gedung
tinggi itu. Pesta dansa di adakan di lantai paling atas. Acara pasti telah
dimulai beberapa menit yang lalu. Pelan-pelan, kaki panjang Alex muncul dari
mobil. Ia berusaha untuk mengangkat gaunnya sedikit agar ia mudah keluar dari
mobil Brad. Penjaga parkir tersenyum manis pada Alex, membantu Alex keluar dari
mobil.
“Terima
kasih,” gumam Alex. Lalu ia melangkah menuju gedung dan menggandeng tangan Brad
yang juga telah keluar dari mobilnya. “Kau tampak cantik malam ini Ms. Bledel,”
ucap Brad.
“Begitu
pun kau Mr. Knight,” ujar Alex yang tidak sadar mereka telah berada di dalam
lift. Lalu penjaga lift menekankan tombol paling atas. Tentu saja penjaga lift
itu menekan tombol lantai paling atas, terlihat dari pakaian Alex dan Brad.
Hening di dalam lift itu selama beberapa menit. Selama itu juga, penjaga lift
itu bersenandung. TING! Bunyi lift itu saat mereka telah berada di lantai atas
lalu pintu terbuka. Mata Alex dan Brad langsung disambut oleh para
manusia-manusia yang telah siap untuk berdansa bersama-sama. Namun ada sesuatu
yang membuat Alex terkesiap setengah mati. Lelaki bermata harimau itu tampak
bersenang-senang malam ini bersama dengan istri keduanya di tengah-tengah
ruangan yang luas ini. Musik memang sudah terputar, namun ini bukanlah musik
untuk berdansa. Brad dan Alex ikut bergabung dengan manusia-manusia yang sibuk
berbincang-bincang. Setelah beberapa menit Alex menatap Justin, sebuah suara
yang nyaring terdengar dari panggung. Pembawa acara pesta dansa ini terus
berbicara sampai pada akhirnya, semua manusia itu diperintah untuk memposisikan
dirinya masing-masing. Setelah tertib, suara lembut dari Mandy Moore terdengar
di telinga mereka semua. I See The Lights mengiringi dansa mereka. Alex
mengingat ajaran Justin, mereka tidak begitu sering latihan, namun ia berusaha
untuk mengabaikan Justin yang berada di pikirannya. Tapi tentu saja tidak bisa!
Justin berada dalam satu ruangan yang sama dengan Alex. Mereka berdansa dengan
lemah gemulai sampai pada akhirnya, Justin dan Caitlin berdansa bersebelahan
dengan Alex dan Brad. Mata Justin dan Alex tiba-tiba saja bertemu.
“Oh
yeah, kita mainkan ini sayang,” bisik Justin menempatkan dagunya pada bahu
Caitlin yang telanjang lalu mengecupnya, menatap Alex dengan sorot mata yang
tajam. “Oh yeah,”
Tiba-tiba
perut Alex merasa ingin mengeluarkan sesuatu. Ia merasa mual. Ia harus pergi ke
toilet sekarang juga. “Aku harus ke toilet, Brad.” Ujarnya pergi dari hadapan
Brad dan Justin. Mata Justin melebar seketika.
***
Mata
Justin melebar seketika saat ia melihat wanita yang ia cintai tersandung akibat
sepatunya sendirinya. Saat tersandung, Brad dengan sigap menahan Alex agar
tidak terjatuh. Tentu saja mata Justin melebar saat tangan besar itu menyentuh
perut Alex dengan leluasa. Namun dengan cepat Alex menggeleng-gelengkan
kepalanya saat Brad menanyakan keadaannya. Bunyi dari langkahan kakinya
terdengar sementara Justin terus berdansa namun matanya tak lepas dari Alex
yang keluar dari ruangan. Dari jarak jauh tadi Justin dapat melihat Alex yang
menutup mulutnya. Entah menangis atau apa, namun Justin benar-benar khawatir.
Setelah apa yang baru saja ia lakukan beberapa menit yang lalu, ia merasa
begitu bodoh. Untuk apa ia melakukan hal itu pada Alex? Itu tidak akan
memperbaiki masalah mereka. Ia ingin berbicara dengan Alex kembali,
membicarakan tentang tuduhan Alex pada Justin tentang pembunuhan itu. Juga
dengan gudang itu. Namun ia pikir, ia tidak akan melakukan itu setelah beberapa
detik kemudian ia mengingat keberadaan Brad di ruangan ini. Brad terdiam di
tengah-tengah ruangan layaknya orang bodoh. Seperti ia mencari tahu di mana
keberadaan si Justin bodoh yang telah menyakiti Alex. Jarak antara Brad dan
Justin benar-benar dekat, namun tubuh Brad sedang memunggungi Justin. Musik
masih teralun lalu berhenti kemudian.
Semua
orang tiba-tiba saja berbaur, membuat Brad semakin susah mencari Justin. Pasti!
Pasti Justin berada di dalam ruangan ini, pikirnya. Justin langsung melepaskan
Caitlin dari pegangannya setelah music berhenti, ia ingin mencari Alex. Tidak
ingin berbicara dengannya, namun ingin melihat keadaan wanita yang masih ia cintai. Meski seharusnya, Alex
berada di ruang bawah tanah. Namun rasanya Justin tak sampai hati untuk
melakukan itu. Justin yakin Alex berada di dalam toilet, tentu saja. Kakinya
melangkah pada sebuah lorong yang berada di sebelah kiri ruang pesta dansa, ia
melihat tanda ‘toilet’ di atas atap sebelum ia masuk ke dalam lorong itu. Nafas
Justin benar-benar tak karuan. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa tak dapat
bernafas. Ia melepaskan dasi kupu-kupu hitam miliknya agar ia dapat menarik
nafas lebih lagi. Saat ia melihat satu pintu toilet, ia langsung membukanya.
“Ya
Tuhan! Astaga!” jerit seorang wanita yang sedang dicumbui oleh seorang lelaki
yang memunggungi Justin. Langsung saja mereka berdua saling berjauhan. Justin
menggeleng-gelengkan kepalanya. Keringat mulai mengucur. Ada apa ini? Ia
berpikir. Di mana Alex? Apa dia baik-baik saja? Oh, Tuhan. Entah mengapa
perasaan Justin tak menentu. Di satu sisi ia mencintai Alex. Namun di satu sisi yang lain ia benci dengan Alex karena kebohongan yang
dibuat oleh Alex sendiri. Melihat kedua orang tadi yang keluar, Justin mulai
membuka satu per satu pintu toilet. Pintu pertama, tidak ada. Kedua, tidak ada.
Ketiga, terkunci. Apa di dalam sana adalah Alex? Pelan-pelan Justin mengetuk
pintu toilet itu.
“Al-Alex?”
suara Justin berbisik. Dan tentu saja di dalam sana ialah Alex! Gadis yang
memakai gaun panjang nan cantik itu sedang menundukan kepalanya dengan air mata
yang mengalir. Ia berpikir, ya Tuhan. Apa aku hamil? Namun Justin telah
menolakku. Tidak mungkin ia menginginkanku lagi. Mual-mual yang terjadi
beberapa menit yang lalu semakin membuat Alex kalut. Selama ia berhubungan
badan dengan Justin mereka tidak pernah memakai pengaman sebelumnya. Ia tidak
memakai alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Adik Aaron. Pikir Alex saat itu juga. Namun ia benar-benar tidak
habis pikir, masalah yang ia hadapi semakin berat.
“Al—“
“Alexis
Bledel!” teriak Brad yang tiba-tiba saja muncul di dalam toilet. Matanya langsung
melihat pada Justin yang berada di depan pintu toilet, menatapnya penuh dengan
api kebencian yang membara. “Kau sialan! Apa yang kaulakukan pada Alex?”
Namun
reaksi Justin dengan bentakan Brad tidak membuat Justin bergetar. Justru Justin
menatapnya dengan tatapan dingin. Kaki Justin melangkah mundur beberapa langkah
dari depan toilet, melihat-lihat Brad dari atas hingga bawah berulang-ulang
kali. Menilai-nilai, mengapa Alex ingin ditiduri oleh lelaki sialan ini? Apa
yang lelaki siala ini miliki dan Justin tidak miliki? Lalu Justin terkekeh
pelan. Alex yang berada di dalam toilet itu terkesiap mendengar teriakan Brad
beberapa detik yang lalu, namun ia tidak berani keluar. Pasti di luar sana
adalah Justin. Ia tidak ingin melihat wajah Justin untuk saat ini akan apa yang
baru saja yang Justin lakukan padanya tadi. Mencium Caitlin pada bahunya yang
telanjang itu. Hatinya terbakar seketika.
“Well,
katakan padaku Brad. Apa yang membuat Alex ingin tidur denganmu?” tanya Justin
mengangkat salah satu alisnya, lalu melipat tangannya di depan dadanya.
“Apa-apaan
yang kau katakan? Kau tidak sama sekali tahu tentang kami, Justin yang
Terhormat,”
“Oh,
aku tahu. Kau pikir aku lelaki yang bodoh?”
“Sebelumnya,
aku ingin meminta maaf, Mr.Bieber. Namun memang kau bodoh,”
“Dan,
apa yang dapat kaukatakan untuk membuktikan itu adalah benar?”
“Aaron,”
bisik Brad. Tentu saja jawaban yang paling jujur di dunia ini adalah seorang
Aaron bagi Justin! Aaron tidak pernah berbohong. Ia adalah anak kecil yang
jujur. Namun bagaimana cara mereka mempertanyakan masalah tidur itu pada Aaron? Oh, tentu saja. Brad tahu apa yang dapat
membuat Justin tercekat nanti. Merasa tertantang, Justin memberikan senyuman
miring pada Brad lalu terkekeh. Apa yang sedang ia bicarakan? Tanya Justin dalam
hati. Terjadi keheningan yang panjang kemudian yang membuat keadaan semakin
mencekam.
“Aaron?
Kau akan bertanya pada Aaron? Anakku?” tanya Justin melangkah maju ke arah
Brad, ingin meninju wajah Brad yang putih itu. Justin benar-benar muak melihat
wajah sialan ini di hadapannya. Lelaki yang telah membuat Alex berselingkuh! Ia
benar-benar serius dengan hubungan ini namun Alex telah merusaknya! Atau ….dia
sendiri yang merusaknya? Pintu toilet yang terkunci, terbuka begitu saja.
Memperlihatkan seorang wanita cantik dengan rambut yang tergerai –tidak begitu
rapi—matanya benar-benar basah sekarang.
“Dia
selalu mengatakan hal yang jujur, Justin. Tanyakanlah pada Aaron. Dan katakan
padanya, aku merindukannya sangat,” ujar Alex menarik nafasnya, menyeka hidungnya
dengan punggung tangannya. Lalu matanya melihat pada Brad yang melihat Justin
dengan angkuh. “Aku ingin pulang,” bisik Alex, memutuskan untuk pulang. Dengan
cepat Brad menggandeng lengan Alex untuk keluar dari toilet, meninggalkan
Justin yang tercengang melihat Alex yang terlihat begitu depresi. Tanyakanlah pada Aaron. Suara Alex
masih terngiang-ngiang di pikirannya. Suaranya yang lembut itu benar-benar
menghipnotis dirinya. Haruskah ia bertanya pada anaknya yang polos dan tidak
tahu apa-apa itu? Apa anaknya masih mengingat apa yang terjadi di rumah Brad
dan mengatakan apa yang benar-benar terjadi? Justin tertegun.
***
Anak
kecil bermata harimau itu tampak begitu menikmati apa yang sedang ia lakukan.
Mewarnai gambar-gambar dari sebuah buku gambar yang diberikan Brad dua hari
yang lalu. Ia melakukannya di dalam kamarnya, dengan tubuh yang tengkurap.
Kakinya bergerak-gerak melayang di udara. Kembali, bibir mungil itu mengerucut
bagaikan seorang anak kecil yang ingin mencium ibunya. Ia sedang menggambar
robot yang lain. Kali ini berwarna kuning, hitam, dan abu-abu. Brad benar-benar
pintar mengajarkan Aaron macam-macam warna, well, Brad cocok menjadi seorang
guru seniman. Aaron masih merindukan Peepee-nya. Tiap kali ibu yang masuk ke
dalam kamarnya untuk menawarkannya makanan, ia pasti bertanya, di mana
Peepee-ku? Namun jawabannya masih tetap sama. Peepee tidak ada. Itu membuat
harinya benar-benar terasa lesu. Ia bahkan masih berumur 3 tahun! Well, ia
memang benar-benar menyayangi Peepee-nya. Sebuah pudding telah berada di
hadapannya, pudding cokelat kesukaannya. Namun ia tidak sama sekali menyentuh
pudding cokelat yang diberikan mommy Caitlin. Ia ingin Peepee menyuapinya saat
ini juga.
Pintu
kamarnya terbuka begitu saja, membuat Aaron mendongakan kepalanya. Pekerjaannya
terhenti seketika. Dua bola mata yang berwarna cokelat-emas terang itu menatap
lembut padanya. Aaron tersenyum singkat dan mulai memposisikan dirinya agar
terduduk di atas karpet kamarnya.
“Daddy,”
sapanya, masih memegang krayon di tangannya. “Di mana Peepee?”
“Hey,
blue bird,” Justin masuk ke dalam kamarnya, mendesah pelan. Berusaha untuk
melupakan apa yang baru saja terjadi di luar sana. Ia ingin melakukan apa yang
Alex katakan. “Hey, little boy. Apa yang kaulakukan?” tanya Justin terduduk
bersilang di hadapan anaknya, tidak menjawab pertanyaan Aaron.
“Mewarnai,”
jawab Aaron singkat. Benar-benar perubahan yang pesat!
“Apa
daddy boleh ikut mewarnai?” tanya Justin, tertarik.
“Peepee
bilang daddy tidak suka mewarnai, sama seperti Peepee,” jawab Aaron, sekenanya.
Justin mendesah pelan dan tertawa. Lalu Justin mengambil warna kuning untuk
membantu Aaron mewarnai, ia melihat pada contoh yang ada di buku gambar. Lalu
Justin membantu Aaron mewarnai. Tidak peduli, Aaron ikut mewarnai bersama
dengan Justin. Keheningan membentang di antara anak dan ayah ini. Justin
menarik nafas. Benar kata Alex. Ia tidak suka mewarnai. Menurutnya, itu hanya
membuang-buang waktu. Justin langsung melepaskan krayon dari tangannya dan
melenguh pelan.
“Aaron,”
panggilan Justin kali ini lebih tegas, membuat Aaron mendongak dengan mulut
yang mengerucut. “Daddy ingin bertanya,” lanjut Justin memegang bibir Aaron
dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, menekan-nekan bibirnya bagaikan paruh
penguin. Lalu Aaron tertawa.
“Apa
itu daddy?” tanyanya, kali ini Aaron tertawa dan mengikuti apa yang ayahnya
lakukan. Menekan-nekan bibirnya sendiri dengan ibu jari dan telunjuknya.
“Apa
yang kaulakukan selama kau berada di rumah Brad?” tanya Justin, berharap
anaknya mengerti apa yang ia katakan. Dan memang. Aaron tentu saja mengerti apa
yang ayahnya katakan.
“Bermain.
Mewarnai. Menghitung,” ujarnya Aaron tanpa henti.
“Apa
Brad dan Peepee masuk ke dalam kamar bersama-sama?” tanya Justin, ya Tuhan!
Justin berseru dalam hati. Ini adalah pertanyaan yang paling berani yang pernah
ia tanyakan pada anaknya. Dan ia berharap Aaron mengerti juga. Lalu Aaron
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa Brad sering mencium Peepee?” tanya Justin.
Kembali Aaron menggelengkan kepalanya. Brad tidak pernah mencium Alex, namun
Alex memang sering mencium pipi Brad. Itu yang diingat oleh Aaron.
“Brad
memeluk Peepee. Dan aku,” jelas Aaron, kembali menekan-nekan bibirnya setelah
ia berbicara. “Brad membelikanku es krim. Peepee dan Brad mengajarku menghitung
satu sampai sepuluh,”
“Daddy
ingin mendengar kau menghitung satu sampai sepuluh,” suruh Justin. Dengan
semangat, Aaron menegakan tubuhnya lalu tersenyum penuh dengan kebanggaan.
Kemudian Aaron mulai menghitung. Sementara Aaron menghitung Justin berpikir
bersama dengan otaknya. Ya Tuhan! Justin memejamkan matanya. Ia benar-benar
berpra-sangka buruk terhadap wanita yang ia cintai. Ini baru satu hari dan
Justin merasa sudah kehilangan selama bertahun-tahun. Bagaimana jika Alex tidak
kembali lagi padanya? Ini benar-benar di luar pikirannya. Selama Aaron berucap,
hatinya seperti tertusuk oleh jarum. Bahkan matanya pun terasa tertusuk sekarang.
Ingin menangis dengan apa yang ia lakukan pada Alex. Ya Tuhan. Ia telah
menampar Alex. Ia telah menuduh Alex yang tidak-tidak. Yang tidak Alex lakukan.
Ia tidak pernah berpikir positif terhadap wanita yang ia cintai. Sekarang apa
yang harus ia lakukan selain membujuk Alex untuk kembali ke rumahnya? Menimang
Aaron sebagai anaknya kembali? Ia akan melakukan apa pun untuk menebus segala
kesalahannya pada Alex.
Mengingat
tangisan Alex terakhir kali di rumahnya, berteriak padanya. Membentak pada
Alex. Itu adalah tindakan yang benar-benar tidak Justin harapkan. Justin
terlalu diliputi oleh amarah saat itu. Perasaannya saat itu tidak menentu. Hari
sebelumnya, sebelum Justin memarahi Alex, ia telah menahan diri untuk tidak
mengungkit masalah Alex mencium Brad. Ia berpikir, membalas dendam adalah jalan
keluar untuk mengungkapkan segalanya. Namun ternyata ia salah besar. Ia telah
menuduh Alex berselingkuh. Membuat hubungan mereka kandas akibat ulahnya
sendiri.
Justin
harus memperbaiki hubungan mereka secepat mungkin.
“Sepuluh!”
seru Aaron senang. Lalu Justin mengedip.
***
Tubuh
Alex terasa begitu lemah saat ini. Untuk berjalan saja rasanya begitu sulit.
Batin dan fisiknya sangat lelah. Begitu pun dengan hatinya. Ia benar-benar
hamil. Tapi mengapa rasanya begitu cepat? Apa dirinya terlalu subur untuk
umurnya yang masih muda? Tidak mungkin! Memang mereka sering berhubungan badan
selama ini, tapi itu ..ya Tuhan. Alex baru ingat sekarang! Ia belum datang
bulan selama tiga hari terakhir ini. Mengapa ia tidak pernah menyadarinya? Ia
telat datang bulan. Ini benar-benar membuktikan dirinya memang benar-benar
hamil, ditambah lagi dengan alat tes kehamilan yang baru saja ia beli sebelum
ia sampai di rumah. Meski Brad bertanya apa yang ia beli setelah ia sampai kembali
ke dalam mobil, ia tentu saja tidak dapat berkata jujur pada Brad untuk masalah
ini. Ia hanya berharap ..Justin datang, menjemputnya kembali dan merawat
dirinya sebaik mungkin. Namun untuk sekarang ini, ia sedang tidak ingin bertemu
dengan Justin.
Brad
telah terbaring di atas tempat tidurnya. Merasa begitu lelah dengan apa yang
baru saja terjadi. Tidak dengan Alex yang menatap kosong pada layar televisi
yang berada di hadapannya. Tidak menyala. Namun otak Alex masih menyala dengan
baik. Berpikir dengan baik. Sekarang. Ia sedang mengandung anak dari seorang
Justin Bieber. Mengandung. Ia
tersentak saat ia menyentuh perutnya. Dramatis, ia seperti dapat merasakan
getaran di dalam sana. Mengandung.
Pikirnya kembali. Jam telah menunjukan pukul 12 malam, Alex masih terjaga. Ia
tidak mengantuk. Bagaimana bisa ia tertidur sedangkan sekarang ia sedang
berpikir masalah calon manusia sedang bertumbuh dalam dirinya? Justin?
Bagaimana mungkin? Ketukan pintu tiba-tiba saja terdengar, membuat Alex
mendongak melihat ke arah pintu apartemen. Siapa orang gila yang mengetuk pintu
rumah malam-malam? Dengan lesu, ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju pintu
apartemen. Ia membuka pintu tanpa membuka rantai kunci apartemennya. Justin
yang muncul.
“Alex,”
bisik Justin, memberikan senyum kecil.
“Ap-apa
yang kaulakukan –Ya Tuhan!” seru Alex kecil dan memejamkan matanya. “Tuhan! Aku
benar-benar ingin mencekikmu!” seru Alex, lagi.
“Alex,
kumohon buka pintunya. Lalu kita bicarakan ini pelan-pelan,”
“Justin,
ini sudah malam. Pulanglah,” usir Alex tanpa berpikir.
***
Mata
mereka saling bertatapan di dalam satu ruangan. Keheningan sedang berlangsung
di sekitar mereka. Alex menggenggam alat tes kehamilannya di dalam tangannya.
Merasa takut ingin memberitahu Justin. Tidak pernah ada satu pun istri Justin
yang melahirkan, Alex yakin seratus persen Justin yang melarang mereka untuk
memberikannya keturunan sehingga mereka memakai alat kontrasepsi. Kaki Justin
bergerak sedikit, lalu menarik nafas.
“Bicaralah
sedikit,” ujar Justin.
“Apa
yang harus kubicarakan?”
“Tentang
perasaanmu sekarang,” ujar Justin. Oh, mengapa pertanyaan Justin seperti ini?
Alex berusaha untuk tidak menangis atau marah pada Justin. Mengapa Justin harus
bertanya tentang perasaannya? Apa semuanya tidak terlihat jelas di depan
matanya? Ia sakit hati! Sedih! Kecewa! Tidak termaafkan. Dan ..demi Tuhan! Alex
benar-benar ingin mencekik lelaki yang berada di hadapannya. Tidak ada suara
yang keluar dari mulut Alex setelah satu menit berlalu. Tangan Alex meremas
alat tes kehamilannya. “Apa yang kau pegang?” tanya Justin, menatap pada
kepalan tangan Alex.
“Bukan
apa-apa,”
“Alex,
jangan menyembunyikan sesuatu dariku, kumohon,”
“Dan
kau bisa menyembunyikan sesuatu dariku. Adil,” ujar Alex, menyunggingkan senyum
miring yang lesu. Justin benar-benar lelaki yang egois. Tidak pengertian.
Selalu berpikir negatif. Tidak percaya pada pasangannya. Tidak setia. Lelaki
yang tidak tahu bagaimana merawat anak dengan baik! Begitu banyak caci maki
dari Alex dalam pikirannya. Namun ia tak kuasa untuk mengucapnya melalui
mulutnya yang pernah dicium oleh lelaki sialan ini.
“Aku
sudah tahu tentang kebenarannya,” bisik Justin.
“Bagus,”
“Aku
memang pembunuh,”
“Aku
tahu,” bisik Alex, angkuh.
“Aku
hidup dalam keluarga yang kekurangan. Menjadi anak terakhir dalam empat
bersaudara benar-benar tidak menyenangkan. Seharusnya aku terlahir menjadi
perempuan, ibuku ingin anak terakhirnya adalah perempuan karena kakak-kakakku
adalah seorang lelaki. Namun saat aku terlahir ke dunia, aku adalah seorang
lelaki. Ibuku berharap aku meninggal saat itu. Ayah sialku pergi meninggalkanku
saat aku masih bayi. Ia tidak ingin bertanggungjawab lagi. Kakak-kakakku selalu
menghinaku, memukul, dan menyiksaku. Aku dikirim kepada bibi Ayreen di umurku
yang ke delapan. Sungguh senang rasanya aku memiliki bibi sepertinya. Aku
bertumbuh menjadi seorang lelaki nakal saat umurku menginjak empat belas
tahun,” Justin menarik nafas.
“Mulai
dari sana aku mencari begitu banyak wanita. Aku berpacaran berkali-kali selama
aku remaja hingga aku dewasa. Sebenarnya, aku adalah lelaki yang setia. Namun,
tiap kali aku memiliki kekasih, mereka selalu berselingkuh. Gudang itu. Gudang
itu adalah di mana wanita-wanita yang mengkhianatiku kukurung di dalam sana.
Menyiksanya sama seperti mereka menyiksa hatiku saat mereka berselingkuh. Aku
adalah lelaki yang senang membalas dendam,”
“Lalu
aku bertemu denganmu,” bisik Justin, tersenyum kecil. “Polos. Jujur. Mulut yang
lancang. Penyayang anak kecil. Peepee bagi Aaron. Aku menyukaimu sejak pertama
kali kau menatap mataku. Lalu, kau masuk ke dalam kehidupanku. Membuat
kedamaian dalam hidupku. Membuat hidupku terasa begitu nyata. Mengajariku
hal-hal yang baru. Lalu aku melamarmu, kau adalah wanita pertama yang
menolakku. Kita menjalani hubungan dan aku memang salah. Aku tidak pernah
berpikir positif tentangmu jika kau sedang bersama dengan lelaki lain. Ini
dikarenakan begitu seringnya aku dipermainkan oleh banyak wanita. Lalu aku
membalas dendam padamu, namun tidak dengan cara yang kasar. Meski begitu, aku
yakin kau tersakiti,” Justin menarik nafas lagi.
“Alex,
apa kau ingin memaafkanku? Aku tidak dapat menjanjikan apa pun, namun hatiku,”
“Aku
hamil.” Kata-kata itu meluncur bagaikan pisau yang menusuk jantung Justin.
Detak jantung Justin berhenti sejenak. Sekelebat kata melintas di otaknya dalam
waktu beberapa detik.
Hamil.
hahahaha next thor ;d
BalasHapus