Selasa, 06 Agustus 2013

Lust of Love Bab 9


***

            “No! I want Peepee!” teriak Aaron memukul-mukul punggung ayahnya bahkan telah menggigit bahu ayahnya berkali-kali. Air matanya masih mengalir dan ia benar-benar gemas dengan ayahnya. Dari tadi Aaron menjambak rambut Justin agar Justin menurunkannya.
            “Shut up, Aaron!” bentak Justin yang membuat Aaron tersentak.
            “But I want Peepee back,” gumam Aaron menitik air matanya kembali, bibirnya menyembul terbalur oleh air liur dan air matanya. Alex telah benar-benar pergi dari rumah Justin. Pelacur yang berada di kamar tamu itu telah diamankan oleh Jordy. Justin sekarang benar-benar kesal. Ia butuh salah satu wanita dari ruang bawah tanahnya yang dapat ia siksa. Namun melihat keadaan Aaron yang menangis seperti ini menutup kemungkinan Justin dapat menumpahkan amarahnya pada wanita-wanita itu. Justin telah menghubungi Caitlin dan Candice untuk pulang ke rumah malam ini juga. Justin muak dengan dirinya sendiri. Ia jatuh ke dalam lubang yang sama lagi. Mengapa bisa-bisanya ia dibohongi oleh wanita polos seperti Alex? Justin sebenarnya sudah tahu ini akan terjadi, tapi bodohnya ia mempertahankan Alex. Tentu saja Alex akan berbohong tentang hubungannya bersama dengan Brad. Setelah Justin menyuruh Jordy untuk mengikuti Alex dan Aaron jika Alex pergi ke rumah Brad, laporan dari Brad benar-benar membuat Justin kecewa dengan Alex. “Aku mencintaimu” , “Berdandanlah setampan mungkin” , atau mungkin memang benar apa yang dikatakan Justin tentang bersenang-senang. Pikiran Justin benar-benar berkecamuk sekarang. Ia telah mengingkari janjinya untuk tidak menampar Alex, namun nyatanya ia menampar Alex. Hatinya pun terpukul saat ia melakukannya. Mengusir Alex dari rumahnya adalah keputusan terberat dan tercepat yang pernah ia ambil. Justin bukanlah seorang lelaki yang sabar. Ia telah menunggu selama tiga hari untuk bersabar, namun nyatanya Alex tidak pernah berkata jujur. Selalu ia mendapatkan jawaban yang sama. Bersenang-senang. Ya, bersenang-senang diraba, dicium oleh lelaki sialan itu. Darah Justin benar-benar mendidih di dalam tubuhnya. Ia berusaha untuk tidak meremas pinggang anaknya yang dapat ia retakan tulangnya. Dan kali ini pula Justin membentak Aaron.
            “I want Peepee,” tangis Aaron saat Justin membaringkannya di atas tempat tidur. “Aku akan membuat rotiku sendiri, daddy,” bisik Aaron menatap Justin dengan tatapan memohon. Ya Tuhan. Inilah yang selama ini Justin takuti. Ia memang telah mengambil keputusan yang salah. Inilah mengapa ia tidak pernah ingin memukul Alex agar Alex tidak pergi. Aaron pasti akan merengek terus menerus agar Alex kembali. Namun kenyataannya sekarang yang sedang terjadi adalah Justin sendiri yang mengusirnya.
            “Daddy tahu sayang. Sekarang tidur,”
            “Aku tidak akan memegang dadanya lagi. Aku akan menghitung angka sampai sepuluh lagi. Aku ingin Peepee, kumohon daddy. Aku akan menjaga Peepee,”
            “Aaron, dari mana kautahu kata-kata itu sayang? Ayo tidur,” bujuk Justin membaringkan tubuhnya di sebelah Aaron lalu mengelus kepala Aaron.
            “Aku tidak ingin Peepee pergi. Aku tidak akan nakal lagi, aku berjanji,” bisik Aaron mulai mengisap ibu jarinya. Sebisa mungkin Aaron tertidur saat Justin mengelus lembut kepalanya, pada akhirnya ia tertidur juga. Meski dalam rasa sakit hati yang mendalam. Ia kecewa dengan ayahnya sendiri.

***

            Alex meringkuk di atas tempat tidurnya bagaikan janin yang berada dalam perut ibu. Tangisannya telah mengering setelah beberapa jam ini ia menangisi seorang Justin. Setidaknya, ia telah berhasil melawan Justin sebelum ia keluar dari rumah Justin. Awalnya Alex berpikir hubungan ini akan berjalan dengan baik. Kelembutan Justin tiap harinya. Kebersamaannya bersama dengan Justin. Ia berpikir ini akan berjalan selama mungkin. Namun Justin sama seperti bajingan lainnya. Selalu menganggap Alex adalah seorang pembohong. Alex bukanlah seorang pembohong. Ia hanya seorang gadis yang menunggu waktu yang tepat untuk berbicara. Namun ternyata kemarin adalah waktu yang tidak tepat untuk membicarakan hal yang membuat Justin jengkel. Mengapa Justin tidak sama sekali mempercayainya? Ia tidak pernah berbohong pada Justin karena ia memang tidak pernah berhasil dalam membohongi orang. Terlalu polos untuk mengatakan kebenaran. Tamparan dari Justin masih sangat terasa di pipinya. Wajah Aaron yang sedih masih terbayang-bayang di pikirannya. Besok adalah hari yang seharusnya menjadi indah, ia berharap besok adalah hari yang indah. Namun mengingat perasaannya yang rusak, ia kurang yakin dengan hari yang indah.
            Brad bersumpah akan memukul Justin jika besok Justin benar-benar datang ke pesta dansa. Ia terus mencaci maki Justin di depan Alex, namun Alex menyuruh Brad diam. Menghina Justin tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kenyataannya adalah Brad memang menyayangi Alex sebagai saudaranya. Adiknya. Ia tidak ingin satu orangpun menyakiti Alex, sekalipun itu adalah Justin. Brad telah memperingati Alex untuk tidak memutuskan Justin. Karena ia tahu Justin akan menyakiti Alex. Ya Tuhan. Sungguh berat rasanya melihat seseorang yang kita sayangi tersakiti oleh hal yang membuat dirinya merasa sia-sia. Tengah malam ini Brad sedang memikirkan cara bagaimana ia membalas perbuatan Justin terhadap Alex. Ini tentu saja tidak dapat Brad diamkan. Justin juga harus mendapatkan balasan yang sepadan. Menyalahkan Alex bahwa Alex seorang wanita pembohong dan berselingkuh dengan dirinya membuat Brad muak terhadap Justin. Justin tidak tahu apa-apa tentang hubungan mereka. Mereka tidak akan berpacaran, tentu saja. Brad bahkan telah memiliki kekasih! Sungguh sial. Brad terbaring di atas sofanya lalu memejamkan matanya. Besok adalah hari dimana ia harus membuat Alex tersenyum.
            Detik demi detik berlalu. Matahari mulai muncul dari ufuk timur memancarkan sinar senyum paginya pada manusia-manusia yang tinggal di Altanta. Jam telah menunjukan pukul 9 pagi. Brad telah terbangun dari tidurnya sejak dua jam yang lalu. Menghabiskan waktu liburnya dengan menonton acara pagi terlebih dahulu ditemani dengan sereal kesukaannya dan Alex. Alex baru saja membuka pintu kamar lamanya dengan rambut yang acak-acakan. Matanya membengkak. Hidungnya memerah. Pipinya bahkan berubah menjadi warna merah muda. Kakinya membawa tubuh mungilnya melewati tangga untuk menemui Brad. Biasanya ia bangun jam enam pagi bersama dengan Aaron, namun pagi ini terasa begitu berbeda. Tidak ada jambakan rambut di pagi hari dari Aaron yang biasa Aaron lakukan. Tidak ada yang bertanya-tanya tentang ayahnya atau mommy Oreo. Atau mommy Caitlin dan Candice. Tidak ada lagi yang mengoles rotinya sendiri dengan tangannya yang belepotan dengan selai. Tidak ada yang berseru “Aku menyukai roti” lagi. Ini benar-benar memukul perasaan Alex.
            “Hey Brad,” sapa Alex dengan suaranya yang parau.
            “Ya Tuhan!” kejut Brad saat ia melihat wajah Alex yang benar-benar kusut. “Apa yang kaulakukan tadi malam? Aku benar-benar ..” suara Brad menghilang begitu saja. Ia menaruh mangkuk yang ia pegang ke atas meja yang berada di hadapannya.
            “Jangan biarkan lelaki itu membuat dirimu lemah,” saran Brad menyentuh pundak Alex. Alex menaruh nafasnya lalu mengusap-usap wajahnya dengan kedua telapak tangannya sambil menganggukan kepalanya. “Aku tahu kau kuat,”
            “Hmm, yeah. Apa pun yang kaukatakan,”
            “Well, aku baru saja mendapatkan kiriman gaun dari Justin –“
            “Aku tidak ingin menerima kiriman apa pun darinya,”
            “Tapi ini adalah gaunmu yang kau siapkan untuk nanti malam. Bersama dengan sepatunya,” ujar Brad yang mengambil sekotak kardus yang berwarna biru di sebelahnya lalu memberikannya pada Alex. “Kita jadi pergi nanti malam bukan?”
            “Tentu saja, aku tidak ingin hanya karena masalahku, acara malam ini rusak,” seru Alex berusaha untuk tersenyum. Namun hatinya, hatinya menangis.

***

            Pagi ini Aaron tampak tidak begitu bersemangat. Ia benar-benar merindukan Peepee-nya. Mommy Caitlin, Candice, juga Wero telah kembali subuh tadi hanya karena Justin menyuruh mereka untuk menjaga Aaron. Aaron mengolesi rotinya sendiri pagi ini, sama seperti apa yang ia katakan tadi malam. Weronika berusaha untuk membantu Aaron membuat rotinya, namun Aaron memberontak dengan mulutnya yang cemberut. Ia tidak ingin dibantu. Ia bisa melakukannya sendiri. Asal apa yang ia perbuat akan memulangkan Peepee-nya kembali. Namun kenyataannya Peepee-nya belum pulang juga.
            “Aku mau Peepee,” gumamnya untuk yang kesekian kalinya.
            Justin sedang berada di gudang untuk memeriksa wanita-wanitanya, mencari seorang wanita yang pas untuk ia pukul pagi ini. Gudang itu semakin lama semakin bau. Bahkan orang-orang yang masuk ke dalam sana harus memakai masker oksigen agar dapat bernafas di dalamnya. Di dalam sana seperti tidak ada nafas. Caitlin, Candice dan Weronika telah mengetahui gudang ini. Semua istrinya telah tahu tentang gudang ini. Kecuali Alex. Ia bahkan tidak tahu status hubungannaya bersama dengan Alex.
            Di tangan Justin, ia telah memegang pecutan dari rotan. Itu pasti akan menyakitkan jika menyerang bokong seorang wanita pagi ini. Ia telah memutuskan untuk pergi ke pesta dansa bersama dengan Caitlin. Tentu saja. Mata Justin melihat pada seorang wanita yang menatap Justin dengan tatapan kebencian.
            “Aku mau dia,” ujar Justin pada Jordy. Detik itupun juga Jordy membuka sel penjara wanita ini. Justin masuk ke dalam bersama dengan Jordy yang memegang tali yang cukup panjang. “Ikat dia,”
            “Apa? Apa yang akan kaulakukan?” tanya wanita itu ketakutan dan berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya, berniat untuk berlari. Namun dengan cepat Jordy memegang wanita menjijikan ini, mengikat kedua tangannya ke belakang. “Oh, apa yang akan kaulakukan?” lenuh wanita itu kesakitan saat tangan Justin yang dilapisi dengan sarung tangan plastic itu mendorong kepala wanita ini ke permukaan tempat tidur. Sehingga sekarang wanita itu menungging di hadapan Justin.
            “Ya Tuhan!” jerit wanita itu saat pecutan yang terbuat dari rotan itu memukul bokongnya. Justin sungguh kesal. Mengapa ia harus mencintai wanita itu? Mengapa wanita itu harus tampak begitu memikat? Apa yang wanita itu lakukan padanya? Mengapa ia harus cemburu dengan anaknya sendiri hanya karena wanita ini? Apa yang sebenarnya wanita ini miliki dan wanita lain tidak miliki yang dapat membuatnya benar-benar tertarik? Ia berusaha untuk mencari daya tarik itu, namun ia tidak menemukannya. Ia sungguh benci perasaan aneh ini. Jatuh cinta, namun jatuh cinta ini terasa lebih nyata. Tapi mengapa wanita itu harus seperti dengan wanita yang lain? Ia sudah cukup merasakan sakit hati dan wanita itu berbohong padanya tentang sahabatnya. Pasti mereka telah berhubungan badan! Pukulan terakhir membuat bokong wanita itu berdarah. Wanita itu menangis, benar-benar menangis. Ya Tuhan, mengapa harus ada seorang lelaki sekejam Justin? Jordy hanya dapat menarik nafasnya di balik masker ini. Ia harus memberitahu Alex tentang ini agar Justin berubah. Karena hanya Alex yang dapat membujuk Justin untuk merubah dirinya. Memang, karena hanya Alex yang Justin inginkan sekarang, namun tidak sejak kemarin.

***

            Wanita bermata biru tampak begitu cantik malam ini. Rambutnya ia gerai tanpa dihiasi oleh apa pun. Namun terlihat begitu elegan. Ia hanya memakai pelembab bibir malam ini. Brad memberikan Alex sebuah kalung yang harus ia pakai malam ini. Sungguh, malam ini Alex benar-benar cantik. Ia terduduk di atas kursi mobil, menatap pada jalan raya sementara mobil terus melaju. Brad mencoba untuk fokus dengan jalanannya karena dari tadi ia tidak dapat fokus akan kecantikan Alex. Well, Brad juga memakai pakaian formal malam ini. Ia juga memakai parfum terwangi yang pernah ia pakai. Kekasih Brad awalnya tidak setuju dengan pesta dansanya bersama dengan Alex, namun akhirnya juga kekasih Brad mengerti.
            Mobil Brad berhenti di parkiran gedung besar, di pinggir jalan yang kosong. Untunglah ada tempat parkir yang masih ada. Banyak sekali orang yang masu ke dalam gedung tinggi itu. Pesta dansa di adakan di lantai paling atas. Acara pasti telah dimulai beberapa menit yang lalu. Pelan-pelan, kaki panjang Alex muncul dari mobil. Ia berusaha untuk mengangkat gaunnya sedikit agar ia mudah keluar dari mobil Brad. Penjaga parkir tersenyum manis pada Alex, membantu Alex keluar dari mobil.
            “Terima kasih,” gumam Alex. Lalu ia melangkah menuju gedung dan menggandeng tangan Brad yang juga telah keluar dari mobilnya. “Kau tampak cantik malam ini Ms. Bledel,” ucap Brad.
            “Begitu pun kau Mr. Knight,” ujar Alex yang tidak sadar mereka telah berada di dalam lift. Lalu penjaga lift menekankan tombol paling atas. Tentu saja penjaga lift itu menekan tombol lantai paling atas, terlihat dari pakaian Alex dan Brad. Hening di dalam lift itu selama beberapa menit. Selama itu juga, penjaga lift itu bersenandung. TING! Bunyi lift itu saat mereka telah berada di lantai atas lalu pintu terbuka. Mata Alex dan Brad langsung disambut oleh para manusia-manusia yang telah siap untuk berdansa bersama-sama. Namun ada sesuatu yang membuat Alex terkesiap setengah mati. Lelaki bermata harimau itu tampak bersenang-senang malam ini bersama dengan istri keduanya di tengah-tengah ruangan yang luas ini. Musik memang sudah terputar, namun ini bukanlah musik untuk berdansa. Brad dan Alex ikut bergabung dengan manusia-manusia yang sibuk berbincang-bincang. Setelah beberapa menit Alex menatap Justin, sebuah suara yang nyaring terdengar dari panggung. Pembawa acara pesta dansa ini terus berbicara sampai pada akhirnya, semua manusia itu diperintah untuk memposisikan dirinya masing-masing. Setelah tertib, suara lembut dari Mandy Moore terdengar di telinga mereka semua. I See The Lights mengiringi dansa mereka. Alex mengingat ajaran Justin, mereka tidak begitu sering latihan, namun ia berusaha untuk mengabaikan Justin yang berada di pikirannya. Tapi tentu saja tidak bisa! Justin berada dalam satu ruangan yang sama dengan Alex. Mereka berdansa dengan lemah gemulai sampai pada akhirnya, Justin dan Caitlin berdansa bersebelahan dengan Alex dan Brad. Mata Justin dan Alex tiba-tiba saja bertemu.
            “Oh yeah, kita mainkan ini sayang,” bisik Justin menempatkan dagunya pada bahu Caitlin yang telanjang lalu mengecupnya, menatap Alex dengan sorot mata yang tajam. “Oh yeah,”
            Tiba-tiba perut Alex merasa ingin mengeluarkan sesuatu. Ia merasa mual. Ia harus pergi ke toilet sekarang juga. “Aku harus ke toilet, Brad.” Ujarnya pergi dari hadapan Brad dan Justin. Mata Justin melebar seketika.

***

            Mata Justin melebar seketika saat ia melihat wanita yang ia cintai tersandung akibat sepatunya sendirinya. Saat tersandung, Brad dengan sigap menahan Alex agar tidak terjatuh. Tentu saja mata Justin melebar saat tangan besar itu menyentuh perut Alex dengan leluasa. Namun dengan cepat Alex menggeleng-gelengkan kepalanya saat Brad menanyakan keadaannya. Bunyi dari langkahan kakinya terdengar sementara Justin terus berdansa namun matanya tak lepas dari Alex yang keluar dari ruangan. Dari jarak jauh tadi Justin dapat melihat Alex yang menutup mulutnya. Entah menangis atau apa, namun Justin benar-benar khawatir. Setelah apa yang baru saja ia lakukan beberapa menit yang lalu, ia merasa begitu bodoh. Untuk apa ia melakukan hal itu pada Alex? Itu tidak akan memperbaiki masalah mereka. Ia ingin berbicara dengan Alex kembali, membicarakan tentang tuduhan Alex pada Justin tentang pembunuhan itu. Juga dengan gudang itu. Namun ia pikir, ia tidak akan melakukan itu setelah beberapa detik kemudian ia mengingat keberadaan Brad di ruangan ini. Brad terdiam di tengah-tengah ruangan layaknya orang bodoh. Seperti ia mencari tahu di mana keberadaan si Justin bodoh yang telah menyakiti Alex. Jarak antara Brad dan Justin benar-benar dekat, namun tubuh Brad sedang memunggungi Justin. Musik masih teralun lalu berhenti kemudian.
            Semua orang tiba-tiba saja berbaur, membuat Brad semakin susah mencari Justin. Pasti! Pasti Justin berada di dalam ruangan ini, pikirnya. Justin langsung melepaskan Caitlin dari pegangannya setelah music berhenti, ia ingin mencari Alex. Tidak ingin berbicara dengannya, namun ingin melihat keadaan wanita yang masih ia cintai. Meski seharusnya, Alex berada di ruang bawah tanah. Namun rasanya Justin tak sampai hati untuk melakukan itu. Justin yakin Alex berada di dalam toilet, tentu saja. Kakinya melangkah pada sebuah lorong yang berada di sebelah kiri ruang pesta dansa, ia melihat tanda ‘toilet’ di atas atap sebelum ia masuk ke dalam lorong itu. Nafas Justin benar-benar tak karuan. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa tak dapat bernafas. Ia melepaskan dasi kupu-kupu hitam miliknya agar ia dapat menarik nafas lebih lagi. Saat ia melihat satu pintu toilet, ia langsung membukanya.
            “Ya Tuhan! Astaga!” jerit seorang wanita yang sedang dicumbui oleh seorang lelaki yang memunggungi Justin. Langsung saja mereka berdua saling berjauhan. Justin menggeleng-gelengkan kepalanya. Keringat mulai mengucur. Ada apa ini? Ia berpikir. Di mana Alex? Apa dia baik-baik saja? Oh, Tuhan. Entah mengapa perasaan Justin tak menentu. Di satu sisi ia mencintai Alex. Namun di satu sisi yang lain ia benci dengan Alex karena kebohongan yang dibuat oleh Alex sendiri. Melihat kedua orang tadi yang keluar, Justin mulai membuka satu per satu pintu toilet. Pintu pertama, tidak ada. Kedua, tidak ada. Ketiga, terkunci. Apa di dalam sana adalah Alex? Pelan-pelan Justin mengetuk pintu toilet itu.
            “Al-Alex?” suara Justin berbisik. Dan tentu saja di dalam sana ialah Alex! Gadis yang memakai gaun panjang nan cantik itu sedang menundukan kepalanya dengan air mata yang mengalir. Ia berpikir, ya Tuhan. Apa aku hamil? Namun Justin telah menolakku. Tidak mungkin ia menginginkanku lagi. Mual-mual yang terjadi beberapa menit yang lalu semakin membuat Alex kalut. Selama ia berhubungan badan dengan Justin mereka tidak pernah memakai pengaman sebelumnya. Ia tidak memakai alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Adik Aaron. Pikir Alex saat itu juga. Namun ia benar-benar tidak habis pikir, masalah yang ia hadapi semakin berat.
            “Al—“
            “Alexis Bledel!” teriak Brad yang tiba-tiba saja muncul di dalam toilet. Matanya langsung melihat pada Justin yang berada di depan pintu toilet, menatapnya penuh dengan api kebencian yang membara. “Kau sialan! Apa yang kaulakukan pada Alex?”
            Namun reaksi Justin dengan bentakan Brad tidak membuat Justin bergetar. Justru Justin menatapnya dengan tatapan dingin. Kaki Justin melangkah mundur beberapa langkah dari depan toilet, melihat-lihat Brad dari atas hingga bawah berulang-ulang kali. Menilai-nilai, mengapa Alex ingin ditiduri oleh lelaki sialan ini? Apa yang lelaki siala ini miliki dan Justin tidak miliki? Lalu Justin terkekeh pelan. Alex yang berada di dalam toilet itu terkesiap mendengar teriakan Brad beberapa detik yang lalu, namun ia tidak berani keluar. Pasti di luar sana adalah Justin. Ia tidak ingin melihat wajah Justin untuk saat ini akan apa yang baru saja yang Justin lakukan padanya tadi. Mencium Caitlin pada bahunya yang telanjang itu. Hatinya terbakar seketika.
            “Well, katakan padaku Brad. Apa yang membuat Alex ingin tidur denganmu?” tanya Justin mengangkat salah satu alisnya, lalu melipat tangannya di depan dadanya.
            “Apa-apaan yang kau katakan? Kau tidak sama sekali tahu tentang kami, Justin yang Terhormat,”
            “Oh, aku tahu. Kau pikir aku lelaki yang bodoh?”
            “Sebelumnya, aku ingin meminta maaf, Mr.Bieber. Namun memang kau bodoh,”
            “Dan, apa yang dapat kaukatakan untuk membuktikan itu adalah benar?”
            “Aaron,” bisik Brad. Tentu saja jawaban yang paling jujur di dunia ini adalah seorang Aaron bagi Justin! Aaron tidak pernah berbohong. Ia adalah anak kecil yang jujur. Namun bagaimana cara mereka mempertanyakan masalah tidur itu pada Aaron? Oh, tentu saja. Brad tahu apa yang dapat membuat Justin tercekat nanti. Merasa tertantang, Justin memberikan senyuman miring pada Brad lalu terkekeh. Apa yang sedang ia bicarakan? Tanya Justin dalam hati. Terjadi keheningan yang panjang kemudian yang membuat keadaan semakin mencekam.
            “Aaron? Kau akan bertanya pada Aaron? Anakku?” tanya Justin melangkah maju ke arah Brad, ingin meninju wajah Brad yang putih itu. Justin benar-benar muak melihat wajah sialan ini di hadapannya. Lelaki yang telah membuat Alex berselingkuh! Ia benar-benar serius dengan hubungan ini namun Alex telah merusaknya! Atau ….dia sendiri yang merusaknya? Pintu toilet yang terkunci, terbuka begitu saja. Memperlihatkan seorang wanita cantik dengan rambut yang tergerai –tidak begitu rapi—matanya benar-benar basah sekarang.
            “Dia selalu mengatakan hal yang jujur, Justin. Tanyakanlah pada Aaron. Dan katakan padanya, aku merindukannya sangat,” ujar Alex menarik nafasnya, menyeka hidungnya dengan punggung tangannya. Lalu matanya melihat pada Brad yang melihat Justin dengan angkuh. “Aku ingin pulang,” bisik Alex, memutuskan untuk pulang. Dengan cepat Brad menggandeng lengan Alex untuk keluar dari toilet, meninggalkan Justin yang tercengang melihat Alex yang terlihat begitu depresi. Tanyakanlah pada Aaron. Suara Alex masih terngiang-ngiang di pikirannya. Suaranya yang lembut itu benar-benar menghipnotis dirinya. Haruskah ia bertanya pada anaknya yang polos dan tidak tahu apa-apa itu? Apa anaknya masih mengingat apa yang terjadi di rumah Brad dan mengatakan apa yang benar-benar terjadi? Justin tertegun.

***

            Anak kecil bermata harimau itu tampak begitu menikmati apa yang sedang ia lakukan. Mewarnai gambar-gambar dari sebuah buku gambar yang diberikan Brad dua hari yang lalu. Ia melakukannya di dalam kamarnya, dengan tubuh yang tengkurap. Kakinya bergerak-gerak melayang di udara. Kembali, bibir mungil itu mengerucut bagaikan seorang anak kecil yang ingin mencium ibunya. Ia sedang menggambar robot yang lain. Kali ini berwarna kuning, hitam, dan abu-abu. Brad benar-benar pintar mengajarkan Aaron macam-macam warna, well, Brad cocok menjadi seorang guru seniman. Aaron masih merindukan Peepee-nya. Tiap kali ibu yang masuk ke dalam kamarnya untuk menawarkannya makanan, ia pasti bertanya, di mana Peepee-ku? Namun jawabannya masih tetap sama. Peepee tidak ada. Itu membuat harinya benar-benar terasa lesu. Ia bahkan masih berumur 3 tahun! Well, ia memang benar-benar menyayangi Peepee-nya. Sebuah pudding telah berada di hadapannya, pudding cokelat kesukaannya. Namun ia tidak sama sekali menyentuh pudding cokelat yang diberikan mommy Caitlin. Ia ingin Peepee menyuapinya saat ini juga.
            Pintu kamarnya terbuka begitu saja, membuat Aaron mendongakan kepalanya. Pekerjaannya terhenti seketika. Dua bola mata yang berwarna cokelat-emas terang itu menatap lembut padanya. Aaron tersenyum singkat dan mulai memposisikan dirinya agar terduduk di atas karpet kamarnya.
            “Daddy,” sapanya, masih memegang krayon di tangannya. “Di mana Peepee?”
            “Hey, blue bird,” Justin masuk ke dalam kamarnya, mendesah pelan. Berusaha untuk melupakan apa yang baru saja terjadi di luar sana. Ia ingin melakukan apa yang Alex katakan. “Hey, little boy. Apa yang kaulakukan?” tanya Justin terduduk bersilang di hadapan anaknya, tidak menjawab pertanyaan Aaron.
            “Mewarnai,” jawab Aaron singkat. Benar-benar perubahan yang pesat!
            “Apa daddy boleh ikut mewarnai?” tanya Justin, tertarik.
            “Peepee bilang daddy tidak suka mewarnai, sama seperti Peepee,” jawab Aaron, sekenanya. Justin mendesah pelan dan tertawa. Lalu Justin mengambil warna kuning untuk membantu Aaron mewarnai, ia melihat pada contoh yang ada di buku gambar. Lalu Justin membantu Aaron mewarnai. Tidak peduli, Aaron ikut mewarnai bersama dengan Justin. Keheningan membentang di antara anak dan ayah ini. Justin menarik nafas. Benar kata Alex. Ia tidak suka mewarnai. Menurutnya, itu hanya membuang-buang waktu. Justin langsung melepaskan krayon dari tangannya dan melenguh pelan.
            “Aaron,” panggilan Justin kali ini lebih tegas, membuat Aaron mendongak dengan mulut yang mengerucut. “Daddy ingin bertanya,” lanjut Justin memegang bibir Aaron dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, menekan-nekan bibirnya bagaikan paruh penguin. Lalu Aaron tertawa.
            “Apa itu daddy?” tanyanya, kali ini Aaron tertawa dan mengikuti apa yang ayahnya lakukan. Menekan-nekan bibirnya sendiri dengan ibu jari dan telunjuknya.
            “Apa yang kaulakukan selama kau berada di rumah Brad?” tanya Justin, berharap anaknya mengerti apa yang ia katakan. Dan memang. Aaron tentu saja mengerti apa yang ayahnya katakan.
            “Bermain. Mewarnai. Menghitung,” ujarnya Aaron tanpa henti.
            “Apa Brad dan Peepee masuk ke dalam kamar bersama-sama?” tanya Justin, ya Tuhan! Justin berseru dalam hati. Ini adalah pertanyaan yang paling berani yang pernah ia tanyakan pada anaknya. Dan ia berharap Aaron mengerti juga. Lalu Aaron menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa Brad sering mencium Peepee?” tanya Justin. Kembali Aaron menggelengkan kepalanya. Brad tidak pernah mencium Alex, namun Alex memang sering mencium pipi Brad. Itu yang diingat oleh Aaron.
            “Brad memeluk Peepee. Dan aku,” jelas Aaron, kembali menekan-nekan bibirnya setelah ia berbicara. “Brad membelikanku es krim. Peepee dan Brad mengajarku menghitung satu sampai sepuluh,”
            “Daddy ingin mendengar kau menghitung satu sampai sepuluh,” suruh Justin. Dengan semangat, Aaron menegakan tubuhnya lalu tersenyum penuh dengan kebanggaan. Kemudian Aaron mulai menghitung. Sementara Aaron menghitung Justin berpikir bersama dengan otaknya. Ya Tuhan! Justin memejamkan matanya. Ia benar-benar berpra-sangka buruk terhadap wanita yang ia cintai. Ini baru satu hari dan Justin merasa sudah kehilangan selama bertahun-tahun. Bagaimana jika Alex tidak kembali lagi padanya? Ini benar-benar di luar pikirannya. Selama Aaron berucap, hatinya seperti tertusuk oleh jarum. Bahkan matanya pun terasa tertusuk sekarang. Ingin menangis dengan apa yang ia lakukan pada Alex. Ya Tuhan. Ia telah menampar Alex. Ia telah menuduh Alex yang tidak-tidak. Yang tidak Alex lakukan. Ia tidak pernah berpikir positif terhadap wanita yang ia cintai. Sekarang apa yang harus ia lakukan selain membujuk Alex untuk kembali ke rumahnya? Menimang Aaron sebagai anaknya kembali? Ia akan melakukan apa pun untuk menebus segala kesalahannya pada Alex.
            Mengingat tangisan Alex terakhir kali di rumahnya, berteriak padanya. Membentak pada Alex. Itu adalah tindakan yang benar-benar tidak Justin harapkan. Justin terlalu diliputi oleh amarah saat itu. Perasaannya saat itu tidak menentu. Hari sebelumnya, sebelum Justin memarahi Alex, ia telah menahan diri untuk tidak mengungkit masalah Alex mencium Brad. Ia berpikir, membalas dendam adalah jalan keluar untuk mengungkapkan segalanya. Namun ternyata ia salah besar. Ia telah menuduh Alex berselingkuh. Membuat hubungan mereka kandas akibat ulahnya sendiri.
            Justin harus memperbaiki hubungan mereka secepat mungkin.
            “Sepuluh!” seru Aaron senang. Lalu Justin mengedip.

***

            Tubuh Alex terasa begitu lemah saat ini. Untuk berjalan saja rasanya begitu sulit. Batin dan fisiknya sangat lelah. Begitu pun dengan hatinya. Ia benar-benar hamil. Tapi mengapa rasanya begitu cepat? Apa dirinya terlalu subur untuk umurnya yang masih muda? Tidak mungkin! Memang mereka sering berhubungan badan selama ini, tapi itu ..ya Tuhan. Alex baru ingat sekarang! Ia belum datang bulan selama tiga hari terakhir ini. Mengapa ia tidak pernah menyadarinya? Ia telat datang bulan. Ini benar-benar membuktikan dirinya memang benar-benar hamil, ditambah lagi dengan alat tes kehamilan yang baru saja ia beli sebelum ia sampai di rumah. Meski Brad bertanya apa yang ia beli setelah ia sampai kembali ke dalam mobil, ia tentu saja tidak dapat berkata jujur pada Brad untuk masalah ini. Ia hanya berharap ..Justin datang, menjemputnya kembali dan merawat dirinya sebaik mungkin. Namun untuk sekarang ini, ia sedang tidak ingin bertemu dengan Justin.
            Brad telah terbaring di atas tempat tidurnya. Merasa begitu lelah dengan apa yang baru saja terjadi. Tidak dengan Alex yang menatap kosong pada layar televisi yang berada di hadapannya. Tidak menyala. Namun otak Alex masih menyala dengan baik. Berpikir dengan baik. Sekarang. Ia sedang mengandung anak dari seorang Justin Bieber. Mengandung. Ia tersentak saat ia menyentuh perutnya. Dramatis, ia seperti dapat merasakan getaran di dalam sana. Mengandung. Pikirnya kembali. Jam telah menunjukan pukul 12 malam, Alex masih terjaga. Ia tidak mengantuk. Bagaimana bisa ia tertidur sedangkan sekarang ia sedang berpikir masalah calon manusia sedang bertumbuh dalam dirinya? Justin? Bagaimana mungkin? Ketukan pintu tiba-tiba saja terdengar, membuat Alex mendongak melihat ke arah pintu apartemen. Siapa orang gila yang mengetuk pintu rumah malam-malam? Dengan lesu, ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen. Ia membuka pintu tanpa membuka rantai kunci apartemennya. Justin yang muncul.
            “Alex,” bisik Justin, memberikan senyum kecil.
            “Ap-apa yang kaulakukan –Ya Tuhan!” seru Alex kecil dan memejamkan matanya. “Tuhan! Aku benar-benar ingin mencekikmu!” seru Alex, lagi.
            “Alex, kumohon buka pintunya. Lalu kita bicarakan ini pelan-pelan,”
            “Justin, ini sudah malam. Pulanglah,” usir Alex tanpa berpikir.

***

            Mata mereka saling bertatapan di dalam satu ruangan. Keheningan sedang berlangsung di sekitar mereka. Alex menggenggam alat tes kehamilannya di dalam tangannya. Merasa takut ingin memberitahu Justin. Tidak pernah ada satu pun istri Justin yang melahirkan, Alex yakin seratus persen Justin yang melarang mereka untuk memberikannya keturunan sehingga mereka memakai alat kontrasepsi. Kaki Justin bergerak sedikit, lalu menarik nafas.
            “Bicaralah sedikit,” ujar Justin.
            “Apa yang harus kubicarakan?”
            “Tentang perasaanmu sekarang,” ujar Justin. Oh, mengapa pertanyaan Justin seperti ini? Alex berusaha untuk tidak menangis atau marah pada Justin. Mengapa Justin harus bertanya tentang perasaannya? Apa semuanya tidak terlihat jelas di depan matanya? Ia sakit hati! Sedih! Kecewa! Tidak termaafkan. Dan ..demi Tuhan! Alex benar-benar ingin mencekik lelaki yang berada di hadapannya. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Alex setelah satu menit berlalu. Tangan Alex meremas alat tes kehamilannya. “Apa yang kau pegang?” tanya Justin, menatap pada kepalan tangan Alex.
            “Bukan apa-apa,”
            “Alex, jangan menyembunyikan sesuatu dariku, kumohon,”
            “Dan kau bisa menyembunyikan sesuatu dariku. Adil,” ujar Alex, menyunggingkan senyum miring yang lesu. Justin benar-benar lelaki yang egois. Tidak pengertian. Selalu berpikir negatif. Tidak percaya pada pasangannya. Tidak setia. Lelaki yang tidak tahu bagaimana merawat anak dengan baik! Begitu banyak caci maki dari Alex dalam pikirannya. Namun ia tak kuasa untuk mengucapnya melalui mulutnya yang pernah dicium oleh lelaki sialan ini.
            “Aku sudah tahu tentang kebenarannya,” bisik Justin.
            “Bagus,”
            “Aku memang pembunuh,”
            “Aku tahu,” bisik Alex, angkuh.
            “Aku hidup dalam keluarga yang kekurangan. Menjadi anak terakhir dalam empat bersaudara benar-benar tidak menyenangkan. Seharusnya aku terlahir menjadi perempuan, ibuku ingin anak terakhirnya adalah perempuan karena kakak-kakakku adalah seorang lelaki. Namun saat aku terlahir ke dunia, aku adalah seorang lelaki. Ibuku berharap aku meninggal saat itu. Ayah sialku pergi meninggalkanku saat aku masih bayi. Ia tidak ingin bertanggungjawab lagi. Kakak-kakakku selalu menghinaku, memukul, dan menyiksaku. Aku dikirim kepada bibi Ayreen di umurku yang ke delapan. Sungguh senang rasanya aku memiliki bibi sepertinya. Aku bertumbuh menjadi seorang lelaki nakal saat umurku menginjak empat belas tahun,” Justin menarik nafas.
            “Mulai dari sana aku mencari begitu banyak wanita. Aku berpacaran berkali-kali selama aku remaja hingga aku dewasa. Sebenarnya, aku adalah lelaki yang setia. Namun, tiap kali aku memiliki kekasih, mereka selalu berselingkuh. Gudang itu. Gudang itu adalah di mana wanita-wanita yang mengkhianatiku kukurung di dalam sana. Menyiksanya sama seperti mereka menyiksa hatiku saat mereka berselingkuh. Aku adalah lelaki yang senang membalas dendam,”
            “Lalu aku bertemu denganmu,” bisik Justin, tersenyum kecil. “Polos. Jujur. Mulut yang lancang. Penyayang anak kecil. Peepee bagi Aaron. Aku menyukaimu sejak pertama kali kau menatap mataku. Lalu, kau masuk ke dalam kehidupanku. Membuat kedamaian dalam hidupku. Membuat hidupku terasa begitu nyata. Mengajariku hal-hal yang baru. Lalu aku melamarmu, kau adalah wanita pertama yang menolakku. Kita menjalani hubungan dan aku memang salah. Aku tidak pernah berpikir positif tentangmu jika kau sedang bersama dengan lelaki lain. Ini dikarenakan begitu seringnya aku dipermainkan oleh banyak wanita. Lalu aku membalas dendam padamu, namun tidak dengan cara yang kasar. Meski begitu, aku yakin kau tersakiti,” Justin menarik nafas lagi.
            “Alex, apa kau ingin memaafkanku? Aku tidak dapat menjanjikan apa pun, namun hatiku,”
            “Aku hamil.” Kata-kata itu meluncur bagaikan pisau yang menusuk jantung Justin. Detak jantung Justin berhenti sejenak. Sekelebat kata melintas di otaknya dalam waktu beberapa detik.
            Hamil.


1 komentar: