Selasa, 06 Agustus 2013

Lust of Love Bab 8

***

*Alexis Bledel POV*

            Pagi ini aku berusaha untuk melupakan kejadian kemarin siang dan malam. Akan kucoba untuk tidak mengingat gudang itu. Aaron telah bangun dari tidurnya, ia dengan pintarnya mengoles rotinya sendiri dengan selai cokelat kesukaannya. Kata Justin, sejak Aaron tinggal bersama denganku, ia lebih pintar dan penurut. Namun hanya denganku dan dirinya. Aku tidak ingin Aaron tumbuh menjadi anak lelaki yang nakal seperti ayahnya. Ia harus displin, namun tidak disiplin dengan keras. Ia mengoles rotinya dengan belepotan. Jarinya kotor karena selai cokelatnya. Namun ia menikmati pekerjaannya. Aku hanya dapat tersenyum melihatnya begitu ceria pagi ini.
            Justin belum terbangun. Tentu saja. Waktu masih menunjukan pukul 6.30 pagi. Biasanya Justin terbangun jam 7 pagi. Tadi malam Justin tampak berpikir keras tentang pertanyaanku. Well, aku tidak ingin ia terintimidasi hanya karena pertanyaan tentang gudang itu. Aku ingin ia memiliki waktu yang siap untuk menceritakan apa isi dari gudang itu. Well, aku tidak ingin memaksanya. Aku tidak suka memaksa seseorang. Aku juga belum siap untuk menceritakan tentang kehidupanku padanya. Aku adalah seorang anak angkat dan hubunganku selalu kandas dengan seseorang jika aku menceritakan kehidupanku di masa lalu. Lelaki-lelaki itu bilang aku adalah seorang gadis yang munafik dan pembohong. Munafik karena aku ingin menjaga keperawananku untuk suamiku. Namun pada akhirnyapun keperawananku hilang oleh seorang lelaki yang salah untukku. Dan pembohong. Mereka bilang aku bohong tentang aku adalah anak angkat. Namun aku tidak peduli. Aku tidak ingin memaksa mereka percaya padaku atau tidak. Itu semua hanya masalah padanya. Dan aku takut jika Justin sama seperti lelaki-lelaki seperti mereka.
            Sehingga sekarang aku hanya hidup bersama dengan seorang sahabat setia seperti Brad. Entah apa kesetiaannya akan selalu ada jika aku memiliki hubungan bersama dengan Justin. Aku memang tidak menjawab Ya atau Tidak pada Justin. Namun Justin berkata padaku, ia akan membuatku mengatakan Ya padanya. Aku masih ragu dengan Justin. Tentang ia memukulku dan istrinya yang banyak. Itu sudah jelas ia bukanlah lelaki yang baik-baik. Aku butuh lelaki yang benar-benar tepat untukku. Mungkin bukan Justin. Tapi aku ingin menjalankan hubungan bersama dengan Justin. Kelihatan tadi malam ia begitu serius padaku. Kuharap ia tidak main-main. Kuharap ia tidak mencari gadis lain lagi. Aku hanya ingin ia mencintaiku, Aaron dan anaknya yang lain kelak. Mungkin anakku dan anaknya. Aku tidak tahu. Lamarannya tadi malam benar-benar di luar dugaanku dan tentunya mengejutkan. Well, dia seorang lelaki yang memang tidak ragu untuk mengambil sebuah keputusan.
            Seorang lelaki yang kucintai –aku gila memang—muncul di hadapanku dan Aaron. Ia tidak memakai baju atasan, hanya memakai selembar celana yang menutupi pinggangnya hingga lututnya. Rambutnya yang seksi teracak-acak. Terlihat sekali ia baru saja terbangun dari tidurnya.
            “Hey, little boy,” sapa Justin, suaranya parau. Sekarang baru kuingat, tadi malam ia tidak mengajakku untuk berhubungan badan.
            “Hai, daddy,” balas Aaron, semangat melihat ayahnya.
            “Hey, Mrs.Bieber,”
            “Justin ..aku belum menjawab apa-apa,” bisikku menggelengkan kepala.
            “Menjawab apa mommy?” Aaron benar-benar kritis. Ya Tuhan! Aku menggelengkan kepalaku pada Aaron. Seperti biasanya, Aaron tidak peduli jika pertanyaannya telah dijawab. Ia kembali menggigit roti buatannya dengan mantap. Justin tersenyum padaku, penuh dengan arti lalu tangannya mengambil selembar roti dan selai. “Daddy mau rotiku?” tanya Aaron memiringkan kepalanya, ia memperlihatkan wajah manisnya pada Justin. “Aku membuatnya sendiri,” lanjut Aaron saat ia merasa ia tidak dijawab oleh ayahnya.
            “Kau membuatnya sendiri?”
            “Hmm, rasa cokelat. Mau?” tanyanya lagi. Justin mengangguk lalu menjulurkan kepalanya pada roti yang Aaron sodorkan padanya. Giginya mulai menggigit roti Aaron dengan ukuran yang besar membuat Aaron lansgung menarik rotinya. “Jangan banyak-banyak daddy!” protesnya, tidak suka. Justin tertawa lalu mengangguk. Ragu-ragu Aaron menyodorkan kembali rotinya pada Justin, kali ini Justin menggigitnya dengan ukuran kecil lalu mengunyahnya.
            “Mmm,” gumam Justin memejamkan matanya, “Ini roti terenak yang pernah daddy rasakan,” puji Justin menelan rotinya. Aaron tersenyum dengan bangga dan menggigit rotinya juga. Sedangkan aku dari tadi hanya mengagumi percakapan ayah dan anak di hadapanku. Justin benar-benar lelaki yang baik. Namun aku tahu pasti ia memiliki sisi yang benar-benar buruk selain mengganti-ganti pelacur dan juga banyak istri. Ia menyembunyikan sesuatu dariku yang ia sembunyikan di rumah ini. Namun aku tidak ingin mempertanyakannya untuk sekarang ini.
            “Kapan Aaron akan sekolah Justin?” tanyaku membuka topik pembicaraan yang lebih menarik.
            “Dia sekolah di rumah. Aku –“
            “Apa? Apa kau serius? Ia tidak akan memiliki teman jika seperti itu. Ya Tuhan, Justin,” aku melenguh pelan. Aku tidak percaya dengan ucapan Justin. Ia ingin melakukan home school untuk anaknya sendiri? Aaron juga harus berbaur bersama dengan anak-anak yang seumuran dengannya. Ia butuh teman juga. Tentu saja ia tidak dapat terus bermain denganku dan Justin saja. Ia tidak akan bertumbuh jika begitu. Justin mendesah pelan.
            “Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Aaron,”
            “Tapi ia juga butuh teman, Justin,” kali ini aku memaksa. Well, semuanya berada di tangan Justin. Justin adalah orang tua sah dari Aaron. Ia dapat melakukan apa pun pada Aaron –kecuali kekerasan. Justin menatap kedua mataku secara bergantian, mulutnya terbuka sedikit lalu ia menarik nafas. Aaron terdiam, bibirnya yang mungil ia olesi dengan selai cokelat yang berada di permukaan roti.
            “Baiklah. Baiklah. Aku akan menyekolahkannya tahun depan,” pasrah Justin, akhirnya. Hatiku tersenyum. “Mengapa wajahmu pucat?” tanya Justin. Aku langsung menyentuh pipiku. Apa aku terlihat pucat? Tidak. Aku tentu saja tidak pucat. Aaron mendongak dan melihat padaku, ia menautkan alisnya. Namun kembali ia sibuk dengan rotinya.
            “Tidak, aku tidak,”
            “Jangan terlalu memikirkan kejadian tadi malam, Alex,” saran Justin, mendesah pelan. Sepertinya, Justin tidak ingin membicarakan hal tadi malam padaku. Itu dapat kulihat dari raut wajahnya yang berubah lebih muram.
            “Aku tidak memikirkan itu,” aku berbohong.
            “Kau polos, gadis perawan. Kau tidak bisa berbohong. Percaya padaku, kau akan tahu nanti,” ujarnya, tampak memelas padaku untuk tidak terlalu memikirkan gudang itu. Aku mengangguk. Well, hari ini aku ingin bertemu dengan Brad. Sudah lebih dari satu minggu aku tidak bertemu dengannya. Bahkan hanya satu kali saja aku berbicara dengannya lewat telepon.
            “Aku ingin pergi ke apartemen Brad. Apa kau mengizinkannya?” tanyaku, hati-hati. Kepala Justin langsung terdongak saat aku melontarkan pertanyaan itu. Matanya melotot padaku.
            “Aku mencintaimu,” gumam Aaron tiba-tiba lalu mulutnya mengerucut setelah ia menggumam, ia melirik sebentar Alex lalu kembali lagi pada rotinya yang tinggal sedikit.
            “Apa? Apa ‘Aku mencintaimu’?” tanya Justin bingung. Sorot mata Justin pada Alex benar-benar mencekam dan menuntut jawaban dari Alex. Dapat kuakui, Aaron adalah seorang pengingat yang baik. Padahal ia masih kecil dan kejadian itu sudah lewat beberapa hari yang lalu. Justin menautkan kedua alisnya, tangannya bersandar pada sisi meja makan. Beberapa pelayan tiba-tiba saja muncul dengan makanan yang langsung mereka hidangkan di hadapan kami.
            “Kembalikan semua makanan itu ke tempat semula. Aku sedang tidak berada dalam keadaan lapar,” ujar Justin, membentak. Namun aku tahu, ia tidak ingin membentak seseorang di depan Aaron. Melihat ayahnya yang membentak pelayan-pelayan itu, Aaron mendongak melihat pada ayahnya. Pelayan-pelayan itu langsung menarik kembali piring-piring yang telah mereka taruh dari meja.
            “Jadi apa maksudnya ‘aku mencintaimu’?” tanya Justin, kembali pada topik pembicaraan. Aku tidak dapat menyalahkan Aaron. Aaron tidak tahu apa-apa tentang ini.
            “Aku hanya bersahabat dengannya Justin,”
            “Kau tidak dapat bertemu dengannya,”
            “Ya Tuhan, Justin. Aku benar-benar hanya bersahabat dengannya, aku memang selalu berkata seperti itu pada Brad. Dia satu-satunya sahabatku, aku mencintainya sebagai kakakku. Tidak lebih,”
            “Semua wanita selalu membuat alasan seperti itu,” gumam Justin, terkekeh, tak percaya juga. “Lucy! Bawa Aaron ke ruang keluarga,” teriak Justin. Tidak butuh waktu lama, seorang pelayan muncul dan langsung menggendong Aaron. Pagi ini Aaron menurut. Bagus. Justin membuang roti yang awalnya ia pegang ke sembarang tempat dan melipat tangannya di atas meja makan. “Namun pada akhirnya, mereka berselingkuh,” lanjutnya, mengisyaratkan sesuatu.
            “Aku tidak pernah berpacaran sebelumnya,”
            “Oh, benarkah? Mengapa aku tidak terdengar begitu terkejut?”
            “Ada apa denganmu pagi ini Justin?” aku bingung dengannya. Sebenarnya, apa yang sedang ia permasalahkan? Ini sungguh aneh.
            “Alex, aku telah mengutarakan maksudku tadi malam padamu secara tidak langsung. Tidakkah kau sadar? Aku –kalian semua yang berada di balik tembok dapur, aku akan menghukum kalian jika kalian tidak pergi dari sana—“ Justin memperingati para pelayan yang berada di balik tembok. Benarkah? Aku tidak tahu. Ia terdiam sejenak. Mengambil nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya.
            “Aku mencintaimu,” bisiknya. Aku tertawa dalam hati. Apa aku tidak salah dengar? Maksudku, satu minggu? Benarkah? Aku tidak ingin bermain-main dalam sebuah hubungan yang serius. Tidak, aku tidak membalas ucapannya. Hatiku juga ragu-ragu untuk membalas ucapannya. Aku mencintainya tulus? Aku tidak tahu. Pikiranku berkata tidak, namun hatiku berkata ya. Namun, aku tidak yakin dengan kedua jawaban yang kumiliki.
            “Justin, aku tidak ingin kau bermain-main dalam hubungan ini,”
            “Apa aku terlihat main-main, Alexis Bledel yang terhormat? Aku tidak pernah mengutarakan perasaanku setulus ini pada seseorang sebelumnya. Aku tidak pernah merendahkan diri hanya untuk meminta maaf pada seorang wanita. Aku tidak pernah bermain bersama dengan Aaron sebelumnya, semuanya karenamu. Kau membuat kelakuan burukku berubah,” jelas Justin, kesal.
            “Itu tidak dapat membuktikan apa pun Justin. Kita baru saja menjalani hubungan ini kurang dari dua puluh empat jam. Bagaimana bisa aku tahu kau mencintaiku?” tanyaku, namun aku tidak ingin meneruskan topik pembicaraan ini. “Kumohon, izinkan aku bertemu dengan Brad?”
            “Ajak Aaron jika kau benar-benar pergi. Jangan pulang –“
            “Justin, aku bukan anak kecil. Aku hanya berkunjung ke rumah Brad. Itu saja. Tidak lebih dan aku akan mengajak Aaron,” janjiku pada Justin. Justin menarik nafasnya dan mengangguk pasrah. Hell yeah! Akhirnya aku bisa keluar dari rumah ini tanpa Justin! Well, meski aku harus mengajak Aaron. Tapi itu terdengar begitu menyenangkan. Kuharap Brad menyukai Aaron sama seperti aku menyukai Aaron.

***

            “Hai, Brad! Ya Tuhan! Aku benar-benar merindukanmu!” seruku kegirangan saat Brad membuka pintu apartemennya. Hari ini ia tidak bekerja sehingga ia memiliki waktu luang untuk bertemu denganku. Aku melepaskan pegangan tanganku pada Aaron dan langsung memeluk Brad, menumpah kerinduanku padanya. Brad membalas pelukanku dan menepuk-nepuknya, lalu ia melepaskannya.
            “Hey, Alex. Kau tampak begitu berbeda,” ujar Brad, lalu matanya melihat Aaron yang memiliki wajah polos, “Tentu saja,” bisiknya, menyiratkan bahwa yang berbeda dariku adalah Aaron.
            “Ini Aaron. Aaron ini Brad,” ujarku berjongkok dan mengambil tangan Aaron untuk berjabat tangan dengan Brad. Tangannya yang mungil itu diraih oleh Brad yang memiliki tangan yang besar. “Aaron,” bisiknya, malu-malu. Brad tertawa mendengar suara Aaron yang kecil. Lalu Brad berjongkok di depan Aaron.
            “Apa? Aku tidak bisa mendengarnya,”
            “Aaron,” bisik Aaron malu-malu, lagi. “Aaron Bieber,” bisikku di telinganya. Aaron yang menggigit jari telunjuk langsung melepaskan jarinya.
            “Aaron Bieber,” serunya kali ini lebih keras.
            “Whoa. Aaron Bieber. Nama yang keren,” seru Brad memberikan ibu jari pada Aaron. “Aku Brad. Kau bisa memanggilku Brad. Braddy. Brad Pitt jika kau perlu,”
            “Brad! Dia tidak mengerti apa yang kaubicarakan,” seruku memukul lengan Brad. Kemudian aku menggendong Aaron . “Masuklah,” suruh Brad. Tentu saja aku masuk! Aku memutar bola mataku sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam apartemen.
            “Jadi, London eh?” tanya Brad menutup pintu.
            “Hmm. Menyenangkan. Aaron dan aku melihat angsa,” ujarku duduk di atas sofa dan mendudukan Aaron di pangkuanku. Brad berjalan dengan tubuhnya yang tegap itu, rambutnya yang berwarna cokelat keemasan itu tampak lebih tua dari hari-hari sebelumnya. Bahkan ia memiliki janggut sekarang. Apa dia tidak bercukur?
            “Kau tampak lebih sehat dan jernih,”
            “Oh Brad. Kau tahu aku tidak suka dikomentari tentang fisikku,” ujarku, melenguh. Bersama dengan Brad berbeda dengan Justin. Bersama dengan Justin aku terintimidasi.Tidak sebebas ini. Brad mengangguk.
            “Jadi, apa yang membawamu datang ke sini?”
            “Well, tentang pesta dansa,”
            “Ya, ada apa dengan itu?” tanyanya sambil mengitari bibirnya dengan jari telunjuk.
            “Justin, ayah Aaron ingin ikut ke sana. Bersama denganku,”
            “Woo, tunggu dulu Alex. Aku sudah memberitahu dari awal tentang aku telah mengajakmu terlebih dahulu dari bajingan-bajingan di luar sana bukan? Karena ini tidak lucu. Aku hanya ingin bersamamu.” Brad tidak setuju. Baiklah.

***

            Sudah tiga hari aku menjalani hubungan “pacaran” dengan Justin. Justin bersikap normal denganku. Caitlin dan Candice belum pulang dari Inggris. Aaron mulai bisa menghitung angka hingga sepuluh. Tapi ia masih belum bisa tidur tanpa dadaku. Ia menangis beberapa hari terakhir ini karena aku tidak menuruti permintaannya sebelum ia tertidur sehingga aku terpaksa memberikan dadaku untuknya agar ia cepat tidur, itu semua kulakukan agar aku bisa bersama dengan Justin. Well, aku menikmati berhubungan badan dengan Justin akhir-akhir ini. Ia tidak meminta yang aneh-aneh namun ia luar biasa hebat –harus kuakui—di ranjang. Bahkan aku bisa mendapatkan pelepasan sebanyak tiga kali hanya dalam satu kali permainan. Justin tidak lagi menjadi seorang lelaki yang egois. Namun ia lebih pendiam, tidak menggodaku. Bahkan ia terlihat lebih dewasa. Well, memang dia sudah dewasa. Hanya saja ia lebih pengertian. Ia memberitahuku kalau ia menjadi lelaki nakal sejak ia remaja, pantas. Well, setidaknya ia lebih terbuka. Ia tidak tinggal dengan ayah dan ibunya. Tapi dengan bibinya yang bernama Ayreen. Justin menceritakan kehidupannya jika kami memiliki waktu-tanpa-Aaron.
            Tiap hari aku pergi berkunjung ke rumah Brad. Tapi aku tidak latihan berdansa dengannya, hanya dengan Justin. Aku belum memberitahu pada Justin tentang Brad tidak setuju jika Justin harus ikut jika pasangan itu adalah aku. Well, ini seperti siapa cepat, dia dapat. Mungkin. Aaron dan Brad juga semakin dekat, Brad mengajarkan Aaron mewarnai gambar. Bahkan Brad membelikan Aaron buku gambar untuk diwarnai di rumah. Seperti sekarang. Brad dan Aaron sedang berada di atas karpet merah yang tipis sedang mewarnai sebuah gambar. Gambar robot-robotan berwarna biru dan merah juga abu-abu –seperti contohnya—membuat Aaron tampak bersemangat mewarnainya. Meski ia mewarnai melewati garis gambarannya, tapi setidaknya ia sudah pintar mewarnai untuk anak seumurannya.
            “Peepee,” gumamnya, menggesek-gesekan krayon merah pada permukaan buku gambarnya, mulutnya mengerucut –seperti ingin mencium seseorang. “Mengapa kau tidak ikut mewarnai?”
            “Peepee tidak bisa mewarnai,” celetuk Brad, membuatku melemparkan majalah yang kupegang padanya. “Aw! Baiklah, baiklah. Peepee juara satu lomba menggambar ..saat ia masih kelas 1 SD,” ujar Brad yang membuatku tertawa.
            “Peepee tidak suka mewarnai sayang,” balasku, lembut.
            “Daddy juga tidak suka mewarnai,”
            “Oh, berarti kau harus mengajak daddy untuk mewarnai,” usulku. “Atau kau yang mengajari daddy mewarnai,” tambahku. Aaron mengangguk-anggukan kepalanya dengan wajahnya yang imut itu, masih fokus pada gambar yang ia warnai. Brad hanya membantu Aaron pada bagian warna abu-abu, well, tentu saja Brad yang lebih rapi mewarnai dibanding dengan Aaron. Aku melirik pada jam dinding di ruang tamu yang berada di atas beberapa meter dari televisi. Sudah jam 3 sore, aku harus pulang. Karena Justin akan pulang dua jam lagi. Bahkan kadang-kadang ia pulang jam 4 sore.
            “Brad, aku harus pulang,”
            “Tapi kau baru saja datang dua jam yang lalu,”
            “Well, Justin menyuruhku untuk pulang jam 3. Ayo Aaron,” ajakku bangkit dari sofa. Brad bangkit dari tengkurapnya setelah tiga puluh menit ia memposisikan tubuhnya seperti itu. Tersirat di wajahnya, ia tidak setuju aku pulang sekarang. “Tunggu sebentar, mommy,” gumam Aaron masih mewarnai.
            “Alex, yang benar saja. Aku masih ingin bersama kalian berdua,”
            “Tapi Justin memang akan segera pulang, Brad. Mengertilah sedikit,”
            “Apa kau memiliki hubungan khusus dengannya? Jika ya, kau harus segera pergi dari rumahnya,”
            “Brad, kau tidak berhak atas aku berhubungan dengan siapa. Kau tidak mengetahui Justin, jadi ..kumohon jangan campuri hubunganku dengan Justin,” ujarku mengangkat kedua tanganku lalu dengan segera melangkah menuju Aaron, menggendongnya yang masih mewarnai itu. “Okay?”
            “Alex, dia berbahaya. Aku bisa melihatnya dari sorot matanya. Bahkan, lihat kau sekarang! Kau tidak bebas untuk berteman bukan?” tanyanya, membentangkan kedua tangannya di depanku. Aku mendesah pelan. “Gambarku!” rengek Aaron, aku langsung menunduk dan mengambil buku gambarnya dan krayonnya.
            “Brad. Aku harus pulang. Pastikan dirimu tampan dua hari ke depan, okay?” aku mengalihkan topik pembicaraan. Entah mengapa aku tidak menyukai jika seseorang mengikut campuri hubunganku. Sekalipun ia adalah sahabatku. Brad mendesah pelan lalu mengangguk pasrah.
            “Aku akan selalu ada jika kau membutuhkanku,” ujarnya mengambil tas selempangku dari atas sofa lalu memberikannya padaku. Aku mengangguk lalu mencium pipinya. “Itu lebih baik,” gumamnya. Kuberikan ia senyumku. Perasaanku tiba-tiba saja kalut, entah mengapa tiba-tiba aku merasa seperti ini, tapi aku harus cepat-cepat keluar dari apartemen Brad. Brad membukakan pintu apartemen lalu aku keluar.
            “Hati-hati di jalan,” ujar Brad di mulut pintu. Kubalikan tubuhku dan mencium pipinya kembali. “Tentu saja. Hari Sabtu! Berdandanlah setampan mungkin,” aku berteriak menuruni tangga luar apartemen.
            “Oh, tentu saja tuan puteri. Begitu pun kau!” teriaknya.
            “Aku berjanji!”

***

            Kuturunkan Aaron saat kami sudah berada di ruang tamu. Ia yang memegang buku gambarnya langsung berlari kesenangan menuju ruang keluarga. Huh. Aku tidak tahu Justin sudah pulang secepat ini. Kulihat mobilnya di luar sana. Kulangkahkan kakiku juga menuju ruang keluarga, Aaron bersama dengan Justin di atas karpet ruang keluarga sedang mewarnai. Justin duduk bersilang, ia menopang dagunya di tangannya dengan siku-siku berada di ujung lututnya. Memperhatikan Aaron yang meneruskan kerjaannya yang tertunda.
            “Hmm, Brad yang mengajarkanku,” gumam Aaron. “Peepee tidak suka mewarnai,” lanjut Aaron sibuk dengan gambarnya. Tangannya masih kotor karena krayonnya. Aku menghampiri mereka dan duduk di sebelah Justin.
            “Hey,” sapaku. Saat suaraku terdengar di telinga Justin, Justin menegakan tubuhnya lalu membalikan kepalanya padaku. Senyumnya mengembang dan tangannya yang besar langsung meraih kepalaku agar ia dapat mencium bibirku singkat.
            “Hey,” suara Justin terdengar lembut di telingaku. “Kau tidak menceritakan padaku tentang Aaron suka mewarnai,” ujar Justin mengelus kepalaku dengan lembut. Aku hanya menggumam, menyandarkan kepalaku pada bahunya. Entahlah. Perasanku yang gelisah membuatku enggan berbicara. Pikiran tentang gudang itu selalu datang tiap harinya. Well, mungkin aku gelisah karena Justin menyembunyikan sesuatu yang tidak pernah kusangka sebelumnya. Tangan Justin yang besar mengelus pipiku dengan lembut, sementara pikiranku terus berpikir tentang rahasia yang Justin sembunyikan dariku. Sungguh, aku penasaran sekali mengapa di sana bau darah, mayat, dan ..feses. Sekitar itu. Aku bahkan sudah tidak berani menghampiri gudang itu. Aku curiga itu adalah ruang bawah tanah. Karena dua hari yang lalu aku bangun subuh-subuh dan melihat dua lelaki bertubuh besar keluar dari gudang itu. Pertanyaannya adalah apa yang mereka lakukan di dalam sana? Bersenggama? Mereka tidak terlihat seperti lelaki homo. Tapi mereka juga memakai masker oksigen agar mereka bisa bernafas. Apa Justin sering masuk ke dalam sana? Tapi aku tidak pernah melihatnya masuk ke dalam sana. Banyak sekali pertanyaan di pikiranku.
            “Apa yang kaulakukan dengan Brad?” tanya Justin yang membuyarkan lamunanku.
            “Hanya bersenang-senang bersama Aaron. Lihat Aaron sekarang, ia lebih pintar karena bergaul dengan Brad dibanding denganmu,”
            “Hey, itu karena aku tidak memiliki waktu untuk mengajarkannya sesuatu,” ia protes, tak suka dihina seperti itu. Responku hanyalah tawaan. Tak tahu apa yang harus kubicarakan lagi dengannya. Pertanyaan Justin tidak mengejutkanku. Tiap hari ia selalu bertanya apa yang kulakukan dengan Brad. Kemudian aku teringat untuk memberitahu Justin tentang Brad yang tidak setuju dengan ajakan Justin untuk berdansa bersama di pesta dansa nanti. Bahkan, demi Tuhan! Justin telah membeli dua tiket untukku dan dirinya. Namun tentu saja aku akan lebih memilih Brad.
            “Justin,” gumamku.
            “Hmm,” ia menggumam.
            “Well, Brad tidak ingin kau dan aku berdansa bersama di pesta dansa itu. Sebenarnya, memang dari awal Brad yang pertama mengajakku. Jadi ..maaf, aku tidak bisa denganmu,”
            “Tapi kita berpacaran bukan?”
            “Justin, tidak. Tidak dengan alasan itu,” aku menggelengkan kepalaku. “Aku telah berjanji padanya. Kumohon, ajaklah Caitlin atau Candice,” sungutku. Aku tidak ingin dibilang menjadi seorang wanita pembohong. Atau pengingkar janji. Aku harus memenuhi janjiku pada seseorang.Tidak pernah sekalipun aku mengingkar janji pada Brad. Sungguh tidak sopan jika aku membatalkan dansa bersama dengannya. Beberapa menit aku menunggunya untuk membalas, namun ia tidak membalas ucapanku. Ia malah bangkit dari duduknya yang membuat aku duduk dengan tegap kembali.
            “Kau ingin pudding cokelat, blue bird?” Justin bertanya sambil ia berjalan masuk ke dalam dapur. Tubuhnya tegap, bokongnya terlihat menggiurku dan bahunya benar-benar lebar. Tubuh yang sempurna. “Aku mau dua daddy!”
            “Well, daddy ingin mendengar hitunganmu sampai sepuluh,” teriak Justin dari dalam dapur. Merasa terpanggil dari isyarat ucapan Justin, aku langsung bangkit dari karpet lalu melangkah pergi ke dapur. Oh Justin. Apa dia cemburu? Kumohon, ia harus tahu aku mencintainya. Well, aku tidak pernah menyatakan cinta padanya. Dan aku juga memang masih ragu dengan cinta ini. Selama aku mencintai Justin, aku bisa pastikan diriku tidak akan jatuh dalam pelukan lelaki lain. Ia harus percaya padaku, aku tidak sama seperti wanita-wanita yang lain. Kulihat Justin yang mengeluarkan sebuah tempat pudding dengan bentuk yang bervariasi.
            “Justin, kumohon. Hanya satu kali saja. Tidak akan lagi,”
            “Di sini masalahnya, sayang. Kau dan aku berpacaran. Dia hanya sahabatmu. Aku berhak atasmu, kau tahu itu,” ia menyandarkan kedua tangannya yang besar itu di sisi meja.
            “Justin ..aku tahu aku tidak pernah memberitahu ini padamu. Tapi percaya padaku, aku mencintaimu. Dan jika kau percaya aku mencintaimu, apa pun yang kulakukan, aku akan selalu menjadi untukmu,” jelasku mendesah pelan. Ya Tuhan. Kuharap ini adalah hal yang benar untukku kulakukan. Justin tidak membalas, kusandarkan pula tanganku di sisi meja makan. Oh, astaga. Sekarang aku terdengar seperti orang bodoh lalu Justin tertawa pelan.
            “Kau benar-benar mengatakannya? Akhirnya,” gumamnya mengeluarkan pudding dari tempatnya ke sebuah piring kecil untuk Aaron. “Apa itu sekedar ucapan atau..?”
            “Justin, tolong jangan buat aku merasa kau adalah bajingan-bajingan yang lain,” bisikku pelan.
            “Baiklah, baiklah. Aku percaya. Satu kali ini lalu tidak ada lagi, mengerti?”
            “Oh, Bieber,” aku mendesah pelan lalu menghampirinya, memeluk tubuhnya yang besar. “Aku tahu kau akan mengizinkanku,” bisikku.
            “Aku memang yang terbaik,” bisiknya.

***

*Author POV*

            Malam berikutnya, Alex sedang mengeloni Aaron di dalam kamarnya. Tangan Aaron memelintir puting Alex dengan gemas sedangkan jarinya yang lain dimasukan ke dalam mulutnya. Pikiran Alex berkecamuk sejak dari tadi pagi hingga sekarang. Pikiran tentang Justin marah pada dirinya karena memaksa Justin untuk menerima Alex dan Brad berdansa bersama besok. Bahkan malam ini Justin belum pulang dari tempat kerjanya, membuat Alex cukup khawatir dengan Justin. Biasanya Justin akan menghubunginya jika ia terlambat pulang. Namun sekarang tidak. Justin tidak menghubunginya sama sekali. Tubuhnya dari tadi ingin menggeliat, tapi ia tidak melakukannya karena takut membangunkan Aaron. Ia mendesah. Tak lama pelintiran jari Aaron terhadap putingnya berhenti seketika, tanda Aaron telah tertidur nyenyak. Pelan-pelan Alex bangkit dari tempat tidur, tangannya menarik selimut yang berada di bawah kaki Aaron hingga sampai pada pinggang Aaron agar Aaron tidak merasa kedinginan. Ciuman kecil ditinggalkan pada pipi Aaron yang tembam itu dari Alex lalu ia melangkah pergi dari kamarnya.
            Perasaan Alex kalut. Samar-samar ia mendengar dari bawah suara jeritan dari seorang wanita. Apa Justin sudah pulang ke rumah? Tapi mengapa ada suara seorang wanita genit? Ya Tuhan. Alex mempercepat langkahannya melewati lorong lalu anak tangga. Kamar. Kamar tamu? Mungkin. Dengan cepat ia membawa tubuhnya menuju kamar tamu.
            “Jangan berikan aku tawamu. Itu menjijikan,” perintah Justin, membentak.
            “Mengapa?”
            “Karena aku sedang marah, kau bodoh!” teriak Justin, lagi. “Menungging,”
            “Apa yang akan kaulakukan?”
            “Memukulmu sampai kau menangis!” bentak Justin lagi. Perasaan Alex terpukul. Apa yang sebenarnya Justin lakukan di dalam sana? Penasaran, Alex memegang knop pintu lalu menekannya ke bawah. Membuka pintu itu dengan pelan. Matanya ingin keluar dari tempatnya setelah ia melihat seorang pelacur yang memakai lingerie seksi sedang menungging. Justin masih berpakaian lengkap namun keadaannya benar-benar rusak. Justin telah memegang pecutan di tangannya untuk memukul pelacur itu, namun tertahan karena seseorang baru saja membuka pintu kamar mereka. Bagaimana bisa Alex tidak mendengar suara kedatangan Justin? Ya Tuhan. Mata Justin terbuka lebar. Ini ..ya Tuhan.
            “Ap-apa yang –kupikir kau tidak akan mencari gadis lain lagi,” ujar Alex menitikan air mata. Justin tidak merasa kasihan melihat wanita yang berada di hadapannya telah menitikan air mata. Ia menghampiri Alex lalu menarik tangannya untuk keluar dari kamar. Justin membanting pintu kamar itu lalu kembali menarik Alex keluar dari rumahnya menuju taman.
            “Tidak, aku tidak ingin pergi ke gudang itu,” sungut Alex, menahan tarikan tangan Justin.
            “Apa? Apa kau sudah tahu isi tempat itu? Apa lagi yang kau sembunyikan dariku? Apa yang telah kau ketahui tentang diriku, Alex?”
            “Justin, aku tidak mengerti apa yang kaubicarakan,” tangis Alex, tiba-tiba merasa jantungnya tertusuk. Sebenarnya, apa yang sedang Justin bicarakan? Apa hubungannya dengan kejadian tadi? Pegangan tangan Justin dapat membuat tulang Alex patah saat itu juga. “Kupikir kau tidak akan mencari gadis lain,”
            “Well, ya memang. Itu sebelum kau memeluk, mencium Brad selama aku tidak bersama denganmu. Bagaimana bisa aku mempercayaimu di pesta dansa nanti sedangkan kau saja telah mencium atau memeluk Brad? Kau pikir aku tidak tahu tentang kau selalu menciumnya tiap kali kau bertemu atau pulang dari apartemennya? Selama tiga hari aku bertahan untuk tidak mengungkit masalah ini. Tiap kali aku bertanya padamu tentang apa yang kaulakukan dengan Brad, kau selalu bilang padaku bahwa kau hanya bersenang-senang,” Justin menarik nafasnya, “Dan aku yakin kau memang bersenang-senang di dalam sana bersamanya bukan? Jadi mengapa aku juga tidak bisa melakukan itu?”
            “Justin, apa-apaan! Aku –Ya Tuhan, mengapa kau tidak pernah berpikir positif tentangku Justin? Aku tidak seperti pelacur-pelacurmu! Bahkan Caitlin atau Candice. Atau Weronika, istri yang paling kau cintai itu!” teriak Alex. Sedetik kemudian Justin menampar pipinya. “Kau telah berjanji padaku untuk tidak memukulku lagi Justin!”
            “Aku sudah tidak tahan lagi tinggal bersama dengan pembohong sepertimu. Aku yakin kau tidur dengannya di apartemen itu. Kau boleh meninggalkan rumah ini,” ujar Justin. “Sekarang,” lanjutnya.
            “Oh? Terima kasih, kau Bieber sialan! Aku tidak membutuhkanmu, tapi kau yang membutuhkanku. Kau mengerti itu? Well, sebelum itu, Mr.Bieber. Aku ingin bertemu Aaron sebelum aku meninggalkan rumah ini, kau pembunuh!”
            “Aku bukan pembunuh!”
            “Yeah, dengan bau darah dan mayat bukanlah pembunuh,” seru Alex muak dengan Justin yang tidak percaya padanya. Langsung saja ia berlari dari hadapan Justin.
            “Alex!” teriak Justin, mengejar Alex.
            “Apa? Apa lagi?” tanya Alex menghentikan lariannya dan membalikan tubuhnya lalu menatap Justin dengan tajam.
            “Aku bukan pembunuh! Ingat itu!”
            “Hanya itu? Aku yakin kau pembunuh yang menyembunyikan mayat-mayatnya ke dalam gudang. Tapi sayang, aku terlalu takut untuk melapor pada polisi karena aku terlalu mencintaimu!” teriak Alex tepat di depan wajah Justin.
            “Peepee,” suara Aaron dari atas terdengar menangis. “Peepee,” muncul Aaron yang menuruni tangga pelan-pelan. “Daddy, apa yang terjadi?” tanya Aaron dengan suara yang parau.
            “Kau boleh pergi sekarang,”
            “Peepee harus pergi sayang,” ujar Justin, lembut. “Dia harus bertemu dengan Brad,”
            “Aku ikut Peepee,” seru Aaron bersemangat, bahkan Aaron tidak tahu apa yang terjadi sekarang.
            “Tidak, Aaron tidak bisa ikut,” ujar Justin menghalangi Aaron lalu menggendongnya. Langsung saja Aaron menggigit bahu Justin. “Aku ingin ikut!” seru Aaron gemas.
            “Kau tidak bisa sayang,” bisik Justin. “Pergi dari rumahku sekarang,” suruh Justin begitu dingin.
            “Tidak! Peepee!” terdengar tangis Aaron sekarang. “Aku ingin ikut,” teriak Aaron lagi. Namun Alex berusaha untuk mengabaikan tangisan Aaron. “Peepee, aku berjanji tidak akan memainkan dadamu! Aku akan membuat rotiku sendiri! Peepee! Jangan pergi! Aku ingin ikut!” tangis Aaron membesar.
            Namun punggung Alex telah menghilang dari balik tembok.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar