*Alexis Bledel POV*
Pagi
ini aku berusaha untuk melupakan kejadian kemarin siang dan malam. Akan kucoba
untuk tidak mengingat gudang itu. Aaron telah bangun dari tidurnya, ia dengan
pintarnya mengoles rotinya sendiri dengan selai cokelat kesukaannya. Kata
Justin, sejak Aaron tinggal bersama denganku, ia lebih pintar dan penurut.
Namun hanya denganku dan dirinya. Aku tidak ingin Aaron tumbuh menjadi anak
lelaki yang nakal seperti ayahnya. Ia harus displin, namun tidak disiplin
dengan keras. Ia mengoles rotinya dengan belepotan. Jarinya kotor karena selai
cokelatnya. Namun ia menikmati pekerjaannya. Aku hanya dapat tersenyum
melihatnya begitu ceria pagi ini.
Justin
belum terbangun. Tentu saja. Waktu masih menunjukan pukul 6.30 pagi. Biasanya
Justin terbangun jam 7 pagi. Tadi malam Justin tampak berpikir keras tentang
pertanyaanku. Well, aku tidak ingin ia terintimidasi hanya karena pertanyaan
tentang gudang itu. Aku ingin ia memiliki waktu yang siap untuk menceritakan
apa isi dari gudang itu. Well, aku tidak ingin memaksanya. Aku tidak suka
memaksa seseorang. Aku juga belum siap untuk menceritakan tentang kehidupanku
padanya. Aku adalah seorang anak angkat dan hubunganku selalu kandas dengan
seseorang jika aku menceritakan kehidupanku di masa lalu. Lelaki-lelaki itu
bilang aku adalah seorang gadis yang munafik dan pembohong. Munafik karena aku
ingin menjaga keperawananku untuk suamiku. Namun pada akhirnyapun keperawananku
hilang oleh seorang lelaki yang salah untukku. Dan pembohong. Mereka bilang aku
bohong tentang aku adalah anak angkat. Namun aku tidak peduli. Aku tidak ingin
memaksa mereka percaya padaku atau tidak. Itu semua hanya masalah padanya. Dan
aku takut jika Justin sama seperti lelaki-lelaki seperti mereka.
Sehingga
sekarang aku hanya hidup bersama dengan seorang sahabat setia seperti Brad.
Entah apa kesetiaannya akan selalu ada jika aku memiliki hubungan bersama
dengan Justin. Aku memang tidak menjawab Ya atau Tidak pada Justin. Namun
Justin berkata padaku, ia akan membuatku mengatakan Ya padanya. Aku masih ragu
dengan Justin. Tentang ia memukulku dan istrinya yang banyak. Itu sudah jelas
ia bukanlah lelaki yang baik-baik. Aku butuh lelaki yang benar-benar tepat
untukku. Mungkin bukan Justin. Tapi aku ingin menjalankan hubungan bersama
dengan Justin. Kelihatan tadi malam ia begitu serius padaku. Kuharap ia tidak
main-main. Kuharap ia tidak mencari gadis lain lagi. Aku hanya ingin ia
mencintaiku, Aaron dan anaknya yang lain kelak. Mungkin anakku dan anaknya. Aku
tidak tahu. Lamarannya tadi malam benar-benar di luar dugaanku dan tentunya
mengejutkan. Well, dia seorang lelaki yang memang tidak ragu untuk mengambil
sebuah keputusan.
Seorang
lelaki yang kucintai –aku gila memang—muncul di hadapanku dan Aaron. Ia tidak
memakai baju atasan, hanya memakai selembar celana yang menutupi pinggangnya
hingga lututnya. Rambutnya yang seksi teracak-acak. Terlihat sekali ia baru
saja terbangun dari tidurnya.
“Hey,
little boy,” sapa Justin, suaranya parau. Sekarang baru kuingat, tadi malam ia
tidak mengajakku untuk berhubungan badan.
“Hai,
daddy,” balas Aaron, semangat melihat ayahnya.
“Hey,
Mrs.Bieber,”
“Justin
..aku belum menjawab apa-apa,” bisikku menggelengkan kepala.
“Menjawab
apa mommy?” Aaron benar-benar kritis. Ya Tuhan! Aku menggelengkan kepalaku pada
Aaron. Seperti biasanya, Aaron tidak peduli jika pertanyaannya telah dijawab.
Ia kembali menggigit roti buatannya dengan mantap. Justin tersenyum padaku,
penuh dengan arti lalu tangannya mengambil selembar roti dan selai. “Daddy mau
rotiku?” tanya Aaron memiringkan kepalanya, ia memperlihatkan wajah manisnya
pada Justin. “Aku membuatnya sendiri,” lanjut Aaron saat ia merasa ia tidak
dijawab oleh ayahnya.
“Kau
membuatnya sendiri?”
“Hmm,
rasa cokelat. Mau?” tanyanya lagi. Justin mengangguk lalu menjulurkan kepalanya
pada roti yang Aaron sodorkan padanya. Giginya mulai menggigit roti Aaron
dengan ukuran yang besar membuat Aaron lansgung menarik rotinya. “Jangan
banyak-banyak daddy!” protesnya, tidak suka. Justin tertawa lalu mengangguk.
Ragu-ragu Aaron menyodorkan kembali rotinya pada Justin, kali ini Justin
menggigitnya dengan ukuran kecil lalu mengunyahnya.
“Mmm,”
gumam Justin memejamkan matanya, “Ini roti terenak yang pernah daddy rasakan,”
puji Justin menelan rotinya. Aaron tersenyum dengan bangga dan menggigit
rotinya juga. Sedangkan aku dari tadi hanya mengagumi percakapan ayah dan anak
di hadapanku. Justin benar-benar lelaki yang baik. Namun aku tahu pasti ia
memiliki sisi yang benar-benar buruk selain mengganti-ganti pelacur dan juga
banyak istri. Ia menyembunyikan sesuatu dariku yang ia sembunyikan di rumah
ini. Namun aku tidak ingin mempertanyakannya untuk sekarang ini.
“Kapan
Aaron akan sekolah Justin?” tanyaku membuka topik pembicaraan yang lebih
menarik.
“Dia
sekolah di rumah. Aku –“
“Apa?
Apa kau serius? Ia tidak akan memiliki teman jika seperti itu. Ya Tuhan,
Justin,” aku melenguh pelan. Aku tidak percaya dengan ucapan Justin. Ia ingin
melakukan home school untuk anaknya
sendiri? Aaron juga harus berbaur bersama dengan anak-anak yang seumuran
dengannya. Ia butuh teman juga. Tentu saja ia tidak dapat terus bermain
denganku dan Justin saja. Ia tidak akan bertumbuh jika begitu. Justin mendesah
pelan.
“Aku
tidak ingin terjadi apa-apa dengan Aaron,”
“Tapi
ia juga butuh teman, Justin,” kali ini aku memaksa. Well, semuanya berada di
tangan Justin. Justin adalah orang tua sah dari Aaron. Ia dapat melakukan apa
pun pada Aaron –kecuali kekerasan. Justin menatap kedua mataku secara
bergantian, mulutnya terbuka sedikit lalu ia menarik nafas. Aaron terdiam,
bibirnya yang mungil ia olesi dengan selai cokelat yang berada di permukaan
roti.
“Baiklah.
Baiklah. Aku akan menyekolahkannya tahun depan,” pasrah Justin, akhirnya.
Hatiku tersenyum. “Mengapa wajahmu pucat?” tanya Justin. Aku langsung menyentuh
pipiku. Apa aku terlihat pucat? Tidak. Aku tentu saja tidak pucat. Aaron
mendongak dan melihat padaku, ia menautkan alisnya. Namun kembali ia sibuk
dengan rotinya.
“Tidak,
aku tidak,”
“Jangan
terlalu memikirkan kejadian tadi malam, Alex,” saran Justin, mendesah pelan.
Sepertinya, Justin tidak ingin membicarakan hal tadi malam padaku. Itu dapat
kulihat dari raut wajahnya yang berubah lebih muram.
“Aku
tidak memikirkan itu,” aku berbohong.
“Kau
polos, gadis perawan. Kau tidak bisa berbohong. Percaya padaku, kau akan tahu
nanti,” ujarnya, tampak memelas padaku untuk tidak terlalu memikirkan gudang
itu. Aku mengangguk. Well, hari ini aku ingin bertemu dengan Brad. Sudah lebih
dari satu minggu aku tidak bertemu dengannya. Bahkan hanya satu kali saja aku
berbicara dengannya lewat telepon.
“Aku
ingin pergi ke apartemen Brad. Apa kau mengizinkannya?” tanyaku, hati-hati.
Kepala Justin langsung terdongak saat aku melontarkan pertanyaan itu. Matanya
melotot padaku.
“Aku
mencintaimu,” gumam Aaron tiba-tiba lalu mulutnya mengerucut setelah ia
menggumam, ia melirik sebentar Alex lalu kembali lagi pada rotinya yang tinggal
sedikit.
“Apa?
Apa ‘Aku mencintaimu’?” tanya Justin bingung. Sorot mata Justin pada Alex
benar-benar mencekam dan menuntut jawaban dari Alex. Dapat kuakui, Aaron adalah
seorang pengingat yang baik. Padahal ia masih kecil dan kejadian itu sudah
lewat beberapa hari yang lalu. Justin menautkan kedua alisnya, tangannya
bersandar pada sisi meja makan. Beberapa pelayan tiba-tiba saja muncul dengan
makanan yang langsung mereka hidangkan di hadapan kami.
“Kembalikan
semua makanan itu ke tempat semula. Aku sedang tidak berada dalam keadaan
lapar,” ujar Justin, membentak. Namun aku tahu, ia tidak ingin membentak
seseorang di depan Aaron. Melihat ayahnya yang membentak pelayan-pelayan itu,
Aaron mendongak melihat pada ayahnya. Pelayan-pelayan itu langsung menarik
kembali piring-piring yang telah mereka taruh dari meja.
“Jadi
apa maksudnya ‘aku mencintaimu’?” tanya Justin, kembali pada topik pembicaraan.
Aku tidak dapat menyalahkan Aaron. Aaron tidak tahu apa-apa tentang ini.
“Aku
hanya bersahabat dengannya Justin,”
“Kau
tidak dapat bertemu dengannya,”
“Ya
Tuhan, Justin. Aku benar-benar hanya bersahabat dengannya, aku memang selalu
berkata seperti itu pada Brad. Dia satu-satunya sahabatku, aku mencintainya
sebagai kakakku. Tidak lebih,”
“Semua
wanita selalu membuat alasan seperti itu,” gumam Justin, terkekeh, tak percaya
juga. “Lucy! Bawa Aaron ke ruang keluarga,” teriak Justin. Tidak butuh waktu
lama, seorang pelayan muncul dan langsung menggendong Aaron. Pagi ini Aaron
menurut. Bagus. Justin membuang roti yang awalnya ia pegang ke sembarang tempat
dan melipat tangannya di atas meja makan. “Namun pada akhirnya, mereka
berselingkuh,” lanjutnya, mengisyaratkan sesuatu.
“Aku
tidak pernah berpacaran sebelumnya,”
“Oh,
benarkah? Mengapa aku tidak terdengar begitu terkejut?”
“Ada
apa denganmu pagi ini Justin?” aku bingung dengannya. Sebenarnya, apa yang
sedang ia permasalahkan? Ini sungguh aneh.
“Alex,
aku telah mengutarakan maksudku tadi malam padamu secara tidak langsung.
Tidakkah kau sadar? Aku –kalian semua yang berada di balik tembok dapur, aku
akan menghukum kalian jika kalian tidak pergi dari sana—“ Justin memperingati
para pelayan yang berada di balik tembok. Benarkah? Aku tidak tahu. Ia terdiam
sejenak. Mengambil nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya.
“Aku
mencintaimu,” bisiknya. Aku tertawa dalam hati. Apa aku tidak salah dengar?
Maksudku, satu minggu? Benarkah? Aku tidak ingin bermain-main dalam sebuah
hubungan yang serius. Tidak, aku tidak membalas ucapannya. Hatiku juga
ragu-ragu untuk membalas ucapannya. Aku mencintainya tulus? Aku tidak tahu.
Pikiranku berkata tidak, namun hatiku berkata ya. Namun, aku tidak yakin dengan
kedua jawaban yang kumiliki.
“Justin,
aku tidak ingin kau bermain-main dalam hubungan ini,”
“Apa
aku terlihat main-main, Alexis Bledel yang terhormat? Aku tidak pernah
mengutarakan perasaanku setulus ini pada seseorang sebelumnya. Aku tidak pernah
merendahkan diri hanya untuk meminta maaf pada seorang wanita. Aku tidak pernah
bermain bersama dengan Aaron sebelumnya, semuanya karenamu. Kau membuat
kelakuan burukku berubah,” jelas Justin, kesal.
“Itu
tidak dapat membuktikan apa pun Justin. Kita baru saja menjalani hubungan ini
kurang dari dua puluh empat jam. Bagaimana bisa aku tahu kau mencintaiku?”
tanyaku, namun aku tidak ingin meneruskan topik pembicaraan ini. “Kumohon,
izinkan aku bertemu dengan Brad?”
“Ajak
Aaron jika kau benar-benar pergi. Jangan pulang –“
“Justin,
aku bukan anak kecil. Aku hanya berkunjung ke rumah Brad. Itu saja. Tidak lebih
dan aku akan mengajak Aaron,” janjiku pada Justin. Justin menarik nafasnya dan
mengangguk pasrah. Hell yeah! Akhirnya aku bisa keluar dari rumah ini tanpa
Justin! Well, meski aku harus mengajak Aaron. Tapi itu terdengar begitu
menyenangkan. Kuharap Brad menyukai Aaron sama seperti aku menyukai Aaron.
***
“Hai,
Brad! Ya Tuhan! Aku benar-benar merindukanmu!” seruku kegirangan saat Brad
membuka pintu apartemennya. Hari ini ia tidak bekerja sehingga ia memiliki
waktu luang untuk bertemu denganku. Aku melepaskan pegangan tanganku pada Aaron
dan langsung memeluk Brad, menumpah kerinduanku padanya. Brad membalas
pelukanku dan menepuk-nepuknya, lalu ia melepaskannya.
“Hey,
Alex. Kau tampak begitu berbeda,” ujar Brad, lalu matanya melihat Aaron yang
memiliki wajah polos, “Tentu saja,” bisiknya, menyiratkan bahwa yang berbeda
dariku adalah Aaron.
“Ini
Aaron. Aaron ini Brad,” ujarku berjongkok dan mengambil tangan Aaron untuk
berjabat tangan dengan Brad. Tangannya yang mungil itu diraih oleh Brad yang
memiliki tangan yang besar. “Aaron,” bisiknya, malu-malu. Brad tertawa
mendengar suara Aaron yang kecil. Lalu Brad berjongkok di depan Aaron.
“Apa?
Aku tidak bisa mendengarnya,”
“Aaron,”
bisik Aaron malu-malu, lagi. “Aaron Bieber,” bisikku di telinganya. Aaron yang
menggigit jari telunjuk langsung melepaskan jarinya.
“Aaron
Bieber,” serunya kali ini lebih keras.
“Whoa.
Aaron Bieber. Nama yang keren,” seru Brad memberikan ibu jari pada Aaron. “Aku
Brad. Kau bisa memanggilku Brad. Braddy. Brad Pitt jika kau perlu,”
“Brad!
Dia tidak mengerti apa yang kaubicarakan,” seruku memukul lengan Brad. Kemudian
aku menggendong Aaron . “Masuklah,” suruh Brad. Tentu saja aku masuk! Aku
memutar bola mataku sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam apartemen.
“Jadi,
London eh?” tanya Brad menutup pintu.
“Hmm.
Menyenangkan. Aaron dan aku melihat angsa,” ujarku duduk di atas sofa dan
mendudukan Aaron di pangkuanku. Brad berjalan dengan tubuhnya yang tegap itu,
rambutnya yang berwarna cokelat keemasan itu tampak lebih tua dari hari-hari
sebelumnya. Bahkan ia memiliki janggut sekarang. Apa dia tidak bercukur?
“Kau
tampak lebih sehat dan jernih,”
“Oh
Brad. Kau tahu aku tidak suka dikomentari tentang fisikku,” ujarku, melenguh.
Bersama dengan Brad berbeda dengan Justin. Bersama dengan Justin aku
terintimidasi.Tidak sebebas ini. Brad mengangguk.
“Jadi,
apa yang membawamu datang ke sini?”
“Well,
tentang pesta dansa,”
“Ya,
ada apa dengan itu?” tanyanya sambil mengitari bibirnya dengan jari telunjuk.
“Justin,
ayah Aaron ingin ikut ke sana. Bersama denganku,”
“Woo,
tunggu dulu Alex. Aku sudah memberitahu dari awal tentang aku telah mengajakmu
terlebih dahulu dari bajingan-bajingan di luar sana bukan? Karena ini tidak
lucu. Aku hanya ingin bersamamu.” Brad tidak setuju. Baiklah.
***
Sudah
tiga hari aku menjalani hubungan “pacaran” dengan Justin. Justin bersikap
normal denganku. Caitlin dan Candice belum pulang dari Inggris. Aaron mulai
bisa menghitung angka hingga sepuluh. Tapi ia masih belum bisa tidur tanpa
dadaku. Ia menangis beberapa hari terakhir ini karena aku tidak menuruti
permintaannya sebelum ia tertidur sehingga aku terpaksa memberikan dadaku
untuknya agar ia cepat tidur, itu semua kulakukan agar aku bisa bersama dengan
Justin. Well, aku menikmati berhubungan badan dengan Justin akhir-akhir ini. Ia
tidak meminta yang aneh-aneh namun ia luar biasa hebat –harus kuakui—di
ranjang. Bahkan aku bisa mendapatkan pelepasan sebanyak tiga kali hanya dalam
satu kali permainan. Justin tidak lagi menjadi seorang lelaki yang egois. Namun
ia lebih pendiam, tidak menggodaku. Bahkan ia terlihat lebih dewasa. Well,
memang dia sudah dewasa. Hanya saja ia lebih pengertian. Ia memberitahuku kalau
ia menjadi lelaki nakal sejak ia remaja, pantas. Well, setidaknya ia lebih
terbuka. Ia tidak tinggal dengan ayah dan ibunya. Tapi dengan bibinya yang
bernama Ayreen. Justin menceritakan kehidupannya jika kami memiliki
waktu-tanpa-Aaron.
Tiap
hari aku pergi berkunjung ke rumah Brad. Tapi aku tidak latihan berdansa
dengannya, hanya dengan Justin. Aku belum memberitahu pada Justin tentang Brad
tidak setuju jika Justin harus ikut jika pasangan itu adalah aku. Well, ini
seperti siapa cepat, dia dapat. Mungkin. Aaron dan Brad juga semakin dekat,
Brad mengajarkan Aaron mewarnai gambar. Bahkan Brad membelikan Aaron buku
gambar untuk diwarnai di rumah. Seperti sekarang. Brad dan Aaron sedang berada
di atas karpet merah yang tipis sedang mewarnai sebuah gambar. Gambar
robot-robotan berwarna biru dan merah juga abu-abu –seperti contohnya—membuat
Aaron tampak bersemangat mewarnainya. Meski ia mewarnai melewati garis
gambarannya, tapi setidaknya ia sudah pintar mewarnai untuk anak seumurannya.
“Peepee,”
gumamnya, menggesek-gesekan krayon merah pada permukaan buku gambarnya,
mulutnya mengerucut –seperti ingin mencium seseorang. “Mengapa kau tidak ikut
mewarnai?”
“Peepee
tidak bisa mewarnai,” celetuk Brad, membuatku melemparkan majalah yang kupegang
padanya. “Aw! Baiklah, baiklah. Peepee juara satu lomba menggambar ..saat ia
masih kelas 1 SD,” ujar Brad yang membuatku tertawa.
“Peepee
tidak suka mewarnai sayang,” balasku, lembut.
“Daddy
juga tidak suka mewarnai,”
“Oh,
berarti kau harus mengajak daddy untuk mewarnai,” usulku. “Atau kau yang
mengajari daddy mewarnai,” tambahku. Aaron mengangguk-anggukan kepalanya dengan
wajahnya yang imut itu, masih fokus pada gambar yang ia warnai. Brad hanya
membantu Aaron pada bagian warna abu-abu, well, tentu saja Brad yang lebih rapi
mewarnai dibanding dengan Aaron. Aku melirik pada jam dinding di ruang tamu
yang berada di atas beberapa meter dari televisi. Sudah jam 3 sore, aku harus
pulang. Karena Justin akan pulang dua jam lagi. Bahkan kadang-kadang ia pulang
jam 4 sore.
“Brad,
aku harus pulang,”
“Tapi
kau baru saja datang dua jam yang lalu,”
“Well,
Justin menyuruhku untuk pulang jam 3. Ayo Aaron,” ajakku bangkit dari sofa.
Brad bangkit dari tengkurapnya setelah tiga puluh menit ia memposisikan
tubuhnya seperti itu. Tersirat di wajahnya, ia tidak setuju aku pulang
sekarang. “Tunggu sebentar, mommy,” gumam Aaron masih mewarnai.
“Alex,
yang benar saja. Aku masih ingin bersama kalian berdua,”
“Tapi
Justin memang akan segera pulang, Brad. Mengertilah sedikit,”
“Apa
kau memiliki hubungan khusus dengannya? Jika ya, kau harus segera pergi dari
rumahnya,”
“Brad,
kau tidak berhak atas aku berhubungan dengan siapa. Kau tidak mengetahui
Justin, jadi ..kumohon jangan campuri hubunganku dengan Justin,” ujarku
mengangkat kedua tanganku lalu dengan segera melangkah menuju Aaron,
menggendongnya yang masih mewarnai itu. “Okay?”
“Alex,
dia berbahaya. Aku bisa melihatnya dari sorot matanya. Bahkan, lihat kau
sekarang! Kau tidak bebas untuk berteman bukan?” tanyanya, membentangkan kedua
tangannya di depanku. Aku mendesah pelan. “Gambarku!” rengek Aaron, aku
langsung menunduk dan mengambil buku gambarnya dan krayonnya.
“Brad.
Aku harus pulang. Pastikan dirimu tampan dua hari ke depan, okay?” aku
mengalihkan topik pembicaraan. Entah mengapa aku tidak menyukai jika seseorang
mengikut campuri hubunganku. Sekalipun ia adalah sahabatku. Brad mendesah pelan
lalu mengangguk pasrah.
“Aku
akan selalu ada jika kau membutuhkanku,” ujarnya mengambil tas selempangku dari
atas sofa lalu memberikannya padaku. Aku mengangguk lalu mencium pipinya. “Itu
lebih baik,” gumamnya. Kuberikan ia senyumku. Perasaanku tiba-tiba saja kalut,
entah mengapa tiba-tiba aku merasa seperti ini, tapi aku harus cepat-cepat
keluar dari apartemen Brad. Brad membukakan pintu apartemen lalu aku keluar.
“Hati-hati
di jalan,” ujar Brad di mulut pintu. Kubalikan tubuhku dan mencium pipinya
kembali. “Tentu saja. Hari Sabtu! Berdandanlah setampan mungkin,” aku berteriak
menuruni tangga luar apartemen.
“Oh,
tentu saja tuan puteri. Begitu pun kau!” teriaknya.
“Aku
berjanji!”
***
Kuturunkan
Aaron saat kami sudah berada di ruang tamu. Ia yang memegang buku gambarnya
langsung berlari kesenangan menuju ruang keluarga. Huh. Aku tidak tahu Justin
sudah pulang secepat ini. Kulihat mobilnya di luar sana. Kulangkahkan kakiku
juga menuju ruang keluarga, Aaron bersama dengan Justin di atas karpet ruang
keluarga sedang mewarnai. Justin duduk bersilang, ia menopang dagunya di
tangannya dengan siku-siku berada di ujung lututnya. Memperhatikan Aaron yang
meneruskan kerjaannya yang tertunda.
“Hmm,
Brad yang mengajarkanku,” gumam Aaron. “Peepee tidak suka mewarnai,” lanjut
Aaron sibuk dengan gambarnya. Tangannya masih kotor karena krayonnya. Aku
menghampiri mereka dan duduk di sebelah Justin.
“Hey,”
sapaku. Saat suaraku terdengar di telinga Justin, Justin menegakan tubuhnya
lalu membalikan kepalanya padaku. Senyumnya mengembang dan tangannya yang besar
langsung meraih kepalaku agar ia dapat mencium bibirku singkat.
“Hey,”
suara Justin terdengar lembut di telingaku. “Kau tidak menceritakan padaku
tentang Aaron suka mewarnai,” ujar Justin mengelus kepalaku dengan lembut. Aku
hanya menggumam, menyandarkan kepalaku pada bahunya. Entahlah. Perasanku yang
gelisah membuatku enggan berbicara. Pikiran tentang gudang itu selalu datang
tiap harinya. Well, mungkin aku gelisah karena Justin menyembunyikan sesuatu yang
tidak pernah kusangka sebelumnya. Tangan Justin yang besar mengelus pipiku
dengan lembut, sementara pikiranku terus berpikir tentang rahasia yang Justin
sembunyikan dariku. Sungguh, aku penasaran sekali mengapa di sana bau darah,
mayat, dan ..feses. Sekitar itu. Aku bahkan sudah tidak berani menghampiri
gudang itu. Aku curiga itu adalah ruang bawah tanah. Karena dua hari yang lalu
aku bangun subuh-subuh dan melihat dua lelaki bertubuh besar keluar dari gudang
itu. Pertanyaannya adalah apa yang mereka lakukan di dalam sana? Bersenggama?
Mereka tidak terlihat seperti lelaki homo. Tapi mereka juga memakai masker
oksigen agar mereka bisa bernafas. Apa Justin sering masuk ke dalam sana? Tapi
aku tidak pernah melihatnya masuk ke dalam sana. Banyak sekali pertanyaan di
pikiranku.
“Apa
yang kaulakukan dengan Brad?” tanya Justin yang membuyarkan lamunanku.
“Hanya
bersenang-senang bersama Aaron. Lihat Aaron sekarang, ia lebih pintar karena
bergaul dengan Brad dibanding denganmu,”
“Hey,
itu karena aku tidak memiliki waktu untuk mengajarkannya sesuatu,” ia protes,
tak suka dihina seperti itu. Responku hanyalah tawaan. Tak tahu apa yang harus
kubicarakan lagi dengannya. Pertanyaan Justin tidak mengejutkanku. Tiap hari ia
selalu bertanya apa yang kulakukan dengan Brad. Kemudian aku teringat untuk
memberitahu Justin tentang Brad yang tidak setuju dengan ajakan Justin untuk
berdansa bersama di pesta dansa nanti. Bahkan, demi Tuhan! Justin telah membeli
dua tiket untukku dan dirinya. Namun tentu saja aku akan lebih memilih Brad.
“Justin,”
gumamku.
“Hmm,”
ia menggumam.
“Well,
Brad tidak ingin kau dan aku berdansa bersama di pesta dansa itu. Sebenarnya,
memang dari awal Brad yang pertama mengajakku. Jadi ..maaf, aku tidak bisa
denganmu,”
“Tapi
kita berpacaran bukan?”
“Justin,
tidak. Tidak dengan alasan itu,” aku menggelengkan kepalaku. “Aku telah
berjanji padanya. Kumohon, ajaklah Caitlin atau Candice,” sungutku. Aku tidak
ingin dibilang menjadi seorang wanita pembohong. Atau pengingkar janji. Aku
harus memenuhi janjiku pada seseorang.Tidak pernah sekalipun aku mengingkar
janji pada Brad. Sungguh tidak sopan jika aku membatalkan dansa bersama
dengannya. Beberapa menit aku menunggunya untuk membalas, namun ia tidak
membalas ucapanku. Ia malah bangkit dari duduknya yang membuat aku duduk dengan
tegap kembali.
“Kau
ingin pudding cokelat, blue bird?” Justin bertanya sambil ia berjalan masuk ke
dalam dapur. Tubuhnya tegap, bokongnya terlihat menggiurku dan bahunya
benar-benar lebar. Tubuh yang sempurna. “Aku mau dua daddy!”
“Well,
daddy ingin mendengar hitunganmu sampai sepuluh,” teriak Justin dari dalam
dapur. Merasa terpanggil dari isyarat ucapan Justin, aku langsung bangkit dari
karpet lalu melangkah pergi ke dapur. Oh Justin. Apa dia cemburu? Kumohon, ia
harus tahu aku mencintainya. Well, aku tidak pernah menyatakan cinta padanya.
Dan aku juga memang masih ragu dengan cinta ini. Selama aku mencintai Justin,
aku bisa pastikan diriku tidak akan jatuh dalam pelukan lelaki lain. Ia harus
percaya padaku, aku tidak sama seperti wanita-wanita yang lain. Kulihat Justin
yang mengeluarkan sebuah tempat pudding dengan bentuk yang bervariasi.
“Justin,
kumohon. Hanya satu kali saja. Tidak akan lagi,”
“Di
sini masalahnya, sayang. Kau dan aku berpacaran. Dia hanya sahabatmu. Aku berhak
atasmu, kau tahu itu,” ia menyandarkan kedua tangannya yang besar itu di sisi
meja.
“Justin
..aku tahu aku tidak pernah memberitahu ini padamu. Tapi percaya padaku, aku
mencintaimu. Dan jika kau percaya aku mencintaimu, apa pun yang kulakukan, aku
akan selalu menjadi untukmu,” jelasku mendesah pelan. Ya Tuhan. Kuharap ini
adalah hal yang benar untukku kulakukan. Justin tidak membalas, kusandarkan
pula tanganku di sisi meja makan. Oh, astaga. Sekarang aku terdengar seperti
orang bodoh lalu Justin tertawa pelan.
“Kau
benar-benar mengatakannya? Akhirnya,” gumamnya mengeluarkan pudding dari
tempatnya ke sebuah piring kecil untuk Aaron. “Apa itu sekedar ucapan atau..?”
“Justin,
tolong jangan buat aku merasa kau adalah bajingan-bajingan yang lain,” bisikku
pelan.
“Baiklah,
baiklah. Aku percaya. Satu kali ini lalu tidak ada lagi, mengerti?”
“Oh,
Bieber,” aku mendesah pelan lalu menghampirinya, memeluk tubuhnya yang besar.
“Aku tahu kau akan mengizinkanku,” bisikku.
“Aku
memang yang terbaik,” bisiknya.
***
*Author POV*
Malam
berikutnya, Alex sedang mengeloni Aaron di dalam kamarnya. Tangan Aaron
memelintir puting Alex dengan gemas sedangkan jarinya yang lain dimasukan ke
dalam mulutnya. Pikiran Alex berkecamuk sejak dari tadi pagi hingga sekarang.
Pikiran tentang Justin marah pada dirinya karena memaksa Justin untuk menerima
Alex dan Brad berdansa bersama besok. Bahkan malam ini Justin belum pulang dari
tempat kerjanya, membuat Alex cukup khawatir dengan Justin. Biasanya Justin
akan menghubunginya jika ia terlambat pulang. Namun sekarang tidak. Justin
tidak menghubunginya sama sekali. Tubuhnya dari tadi ingin menggeliat, tapi ia
tidak melakukannya karena takut membangunkan Aaron. Ia mendesah. Tak lama
pelintiran jari Aaron terhadap putingnya berhenti seketika, tanda Aaron telah
tertidur nyenyak. Pelan-pelan Alex bangkit dari tempat tidur, tangannya menarik
selimut yang berada di bawah kaki Aaron hingga sampai pada pinggang Aaron agar
Aaron tidak merasa kedinginan. Ciuman kecil ditinggalkan pada pipi Aaron yang
tembam itu dari Alex lalu ia melangkah pergi dari kamarnya.
Perasaan
Alex kalut. Samar-samar ia mendengar dari bawah suara jeritan dari seorang
wanita. Apa Justin sudah pulang ke rumah? Tapi mengapa ada suara seorang wanita
genit? Ya Tuhan. Alex mempercepat langkahannya melewati lorong lalu anak
tangga. Kamar. Kamar tamu? Mungkin. Dengan cepat ia membawa tubuhnya menuju
kamar tamu.
“Jangan
berikan aku tawamu. Itu menjijikan,” perintah Justin, membentak.
“Mengapa?”
“Karena
aku sedang marah, kau bodoh!” teriak Justin, lagi. “Menungging,”
“Apa
yang akan kaulakukan?”
“Memukulmu
sampai kau menangis!” bentak Justin lagi. Perasaan Alex terpukul. Apa yang
sebenarnya Justin lakukan di dalam sana? Penasaran, Alex memegang knop pintu
lalu menekannya ke bawah. Membuka pintu itu dengan pelan. Matanya ingin keluar
dari tempatnya setelah ia melihat seorang pelacur yang memakai lingerie seksi
sedang menungging. Justin masih berpakaian lengkap namun keadaannya benar-benar
rusak. Justin telah memegang pecutan di tangannya untuk memukul pelacur itu,
namun tertahan karena seseorang baru saja membuka pintu kamar mereka. Bagaimana
bisa Alex tidak mendengar suara kedatangan Justin? Ya Tuhan. Mata Justin
terbuka lebar. Ini ..ya Tuhan.
“Ap-apa
yang –kupikir kau tidak akan mencari gadis lain lagi,” ujar Alex menitikan air
mata. Justin tidak merasa kasihan melihat wanita yang berada di hadapannya
telah menitikan air mata. Ia menghampiri Alex lalu menarik tangannya untuk
keluar dari kamar. Justin membanting pintu kamar itu lalu kembali menarik Alex
keluar dari rumahnya menuju taman.
“Tidak,
aku tidak ingin pergi ke gudang itu,” sungut Alex, menahan tarikan tangan
Justin.
“Apa?
Apa kau sudah tahu isi tempat itu? Apa lagi yang kau sembunyikan dariku? Apa
yang telah kau ketahui tentang diriku, Alex?”
“Justin,
aku tidak mengerti apa yang kaubicarakan,” tangis Alex, tiba-tiba merasa
jantungnya tertusuk. Sebenarnya, apa yang sedang Justin bicarakan? Apa
hubungannya dengan kejadian tadi? Pegangan tangan Justin dapat membuat tulang
Alex patah saat itu juga. “Kupikir kau tidak akan mencari gadis lain,”
“Well,
ya memang. Itu sebelum kau memeluk, mencium Brad selama aku tidak bersama
denganmu. Bagaimana bisa aku mempercayaimu di pesta dansa nanti sedangkan kau
saja telah mencium atau memeluk Brad? Kau pikir aku tidak tahu tentang kau
selalu menciumnya tiap kali kau bertemu atau pulang dari apartemennya? Selama
tiga hari aku bertahan untuk tidak mengungkit masalah ini. Tiap kali aku
bertanya padamu tentang apa yang kaulakukan dengan Brad, kau selalu bilang
padaku bahwa kau hanya bersenang-senang,” Justin menarik nafasnya, “Dan aku
yakin kau memang bersenang-senang di
dalam sana bersamanya bukan? Jadi mengapa aku juga tidak bisa melakukan itu?”
“Justin,
apa-apaan! Aku –Ya Tuhan, mengapa kau tidak pernah berpikir positif tentangku
Justin? Aku tidak seperti pelacur-pelacurmu! Bahkan Caitlin atau Candice. Atau
Weronika, istri yang paling kau cintai itu!” teriak Alex. Sedetik kemudian
Justin menampar pipinya. “Kau telah berjanji padaku untuk tidak memukulku lagi
Justin!”
“Aku
sudah tidak tahan lagi tinggal bersama dengan pembohong sepertimu. Aku yakin
kau tidur dengannya di apartemen itu. Kau boleh meninggalkan rumah ini,” ujar
Justin. “Sekarang,” lanjutnya.
“Oh?
Terima kasih, kau Bieber sialan! Aku tidak membutuhkanmu, tapi kau yang
membutuhkanku. Kau mengerti itu? Well, sebelum itu, Mr.Bieber. Aku ingin
bertemu Aaron sebelum aku meninggalkan rumah ini, kau pembunuh!”
“Aku
bukan pembunuh!”
“Yeah,
dengan bau darah dan mayat bukanlah pembunuh,” seru Alex muak dengan Justin
yang tidak percaya padanya. Langsung saja ia berlari dari hadapan Justin.
“Alex!”
teriak Justin, mengejar Alex.
“Apa?
Apa lagi?” tanya Alex menghentikan lariannya dan membalikan tubuhnya lalu
menatap Justin dengan tajam.
“Aku
bukan pembunuh! Ingat itu!”
“Hanya
itu? Aku yakin kau pembunuh yang menyembunyikan mayat-mayatnya ke dalam gudang.
Tapi sayang, aku terlalu takut untuk melapor pada polisi karena aku terlalu
mencintaimu!” teriak Alex tepat di depan wajah Justin.
“Peepee,”
suara Aaron dari atas terdengar menangis. “Peepee,” muncul Aaron yang menuruni
tangga pelan-pelan. “Daddy, apa yang terjadi?” tanya Aaron dengan suara yang
parau.
“Kau
boleh pergi sekarang,”
“Peepee
harus pergi sayang,” ujar Justin, lembut. “Dia harus bertemu dengan Brad,”
“Aku
ikut Peepee,” seru Aaron bersemangat, bahkan Aaron tidak tahu apa yang terjadi
sekarang.
“Tidak,
Aaron tidak bisa ikut,” ujar Justin menghalangi Aaron lalu menggendongnya. Langsung
saja Aaron menggigit bahu Justin. “Aku ingin ikut!” seru Aaron gemas.
“Kau
tidak bisa sayang,” bisik Justin. “Pergi dari rumahku sekarang,” suruh Justin
begitu dingin.
“Tidak!
Peepee!” terdengar tangis Aaron sekarang. “Aku ingin ikut,” teriak Aaron lagi.
Namun Alex berusaha untuk mengabaikan tangisan Aaron. “Peepee, aku berjanji
tidak akan memainkan dadamu! Aku akan membuat rotiku sendiri! Peepee! Jangan
pergi! Aku ingin ikut!” tangis Aaron membesar.
Namun
punggung Alex telah menghilang dari balik tembok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar