***
“Peepee,
buka mulutmu,” suruh Aaron pada Alex di saat mereka sedang sarapan bersama.
Tidak ada Weronika pagi ini. Candice dan Caitlin belum bangun dari tidur
mereka. Penuh perhatian, Aaron memasukan sesobek roti dengan selai cokelat yang
dibuat oleh Peepee-nya ke mulut Alex. Senyum singkat muncul di wajah Aaron saat
Alex mengunyah rotinya. “Aku suka roti,” serunya mengangkat roti yang ia pegang
ke udara dan tertawa kesenangan. Justin juga belum terbangun dari tidurnya
sehingga hanya mereka berdua saja yang sudah bangun di pagi hari.
“Whoa.
Anak daddy ternyata sudah bangun bersama dengan ..sial,” gumam Justin saat ia
sadar Alex masih memakai pakaian tidurnya yang sangat tipis.
“Apa
itu sial daddy?” tanya Aaron yang memasukan roti ke dalam mulutnya dan
mengunyah dengan lahap. “Bukan apa-apa,” jawab Justin menarik kursi di sebelah
Alex.
“Mengapa
semuanya bilang bukan apa-apa?” bingung Aaron, lagi. “Mau roti daddy?” tanya
Aaron tersenyum dan memiringkan kepalanya, memberikan wajah imut pada Justin.
Tangannya yang memegang roti bekas gigitannya yang menyisakan air liur itu
disodorkan pada ayahnya yang melipat tangannya di atas meja makan.
“Oh,
rasa apa itu blue bird? Daddy ingin rasa strawberry,” ujar Justin, melirik pada
Alex. Alex hanya terkekeh pelan namun Aaron tertawa terbahak-bahak. Bahkan roti
yang belum ia kunyah ia benar di dalam mulutnya terlihat.
“Rasa
strawberry. Peepee,” tunjuk Aaron memberikan mata sipitnya pada Alex, menggoda
Alex layaknya ciri khas anak kecil saat sedang bercanda. “Aku memegangnya tadi
malam,” beritahu Aaron dengan bangga pada ayahnya.
“Oh
ya? Bagaimana rasanya?” tanya Justin, membuat Aaron tersipu malu. Ia tidak
menjawab pertanyaan ayahnya. Ia tidak tahu bagaimana cara memberitahu pada
ayahnya. Kosa kata yang ia tahu tidak banyak karena ia selalu tinggal di rumah.
Tidak ada teman sebayanya yang dapat berbicara dengannya. Karena malu, Aaron
menggigit kembali rotinya dan mengunyahnya sambil menundukan kepalanya. Kakinya
yang berada di udara tidak bisa diam, selalu saja ia gerak-gerakan.
“Kau
ingin roti Justin? Aku bisa membuatkannya untukmu,” ujar Alex sambil mengambil
beberapa selai yang ada di hadapannya. Ia mengambil salah satu lembar roti
untuk Justin. “Kau ingin rasa apa?”
“Strawberry,
Peepee,” tiap kata yang meluncur dari mulut Justin benar-benar mengartikan
sesuatu. “Kau rasa apa blue bird?” tanya Justin.
“Cokelat.
Daddy rasa strawberry, hihi,” ujar Aaron cekikikan. Tangannya yang tidak
memegang roti menutup mulutnya malu-malu dan melirik pada Alex.
“Hahaha,
Aaron. Kau benar-benar membuat Peepee malu,” ucap Alex yang membuat Aaron
bingung. Aaron tidak begitu mengerti apa yang Alex katakan tapi ia masih
cekikikan karena ayahnya yang suka sekali menggodanya. Alex melipat rotinya
setelah ia selesai mengolesi selai strawberry di permukaannya lalu ia
memberikannya pada Justin.
“Ini
rotimu Mr.Bieber,”
“Apa
itu Mr.Bieber?” tanya Aaron, bingung. Aaron bahkan belum tahu nama belakangnya
sendiri! Alex benar-benar bingung. Sebenarnya, siapa yang selalu menjaga Aaron
di rumah? Mengapa Aaron tampaknya tidak mengetahui apa-apa selain dada
perempuan dan warna-warna? Mata Justin melebar saat ia baru saja menggigit
rotinya.
“Kau
tidak tahu apa itu Mr.Bieber? Mr.Bieber adalah kau, Mr.Bieber,” ujar Justin
yang semakin membuat Aaron bingung. Apa yang sebenarnya ayahku bicarakan? Bisik
Aaron dalam hati. Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan, ujarnya dalam hati
lagi. Kedua alisnya menaut dalam kebingungan.
“Daddy,
mengapa kau tidak tidur denganku tadi malam?” Aaron bertanya. Anak ini seperti
tidak ada habisnya untuk memberikan pertanyaan yang tidak penting pada orang
tuanya. Bisa dipastikan, orang tua kandung Aaron adalah orang tua yang cerewet.
Mungkin dari ibunya. Ketampanannya mungkin dari ayahnya. Tapi kita tidak tahu.
Tidak ada yang tahu orang tua Aaron seperti apa. Dan beruntungnya Aaron adalah
ia dapat diangkat oleh seorang lelaki setampan Justin. Dan sebaik Justin, hanya
pada anak-anak saja. Jika dengan wanita, tidak ada yang dapat menjamin itu.
“Mmm,
daddy tidur dengan mommy Oreo,”
“Aku
tidak suka mommy Oreo,” ujar Aaron, acuh dan kembali menggigit rotinya yang tak
habis-habis. Tentu saja! Bibirnya yang mungil dan kapasitas mulutnya yang
memang kecil tidak dapat menampung banyak makanan. Tapi anak ini, untunglah,
senang memakan makanan. Tentu saja.
“Aaron,
kau tidak boleh seperti itu sayang. Itu ibumu,” ujar Alex mengelus kepala Aaron
dengan lembut. Tapi Aaron masih dengan pendiriannya. Ia masih tidak menyukai
mommy Oreo setelah kemarin ia dibentak oleh mommy Oreo. Dan tangannya masih
terasa sakit karena cengkraman mantan ibu angkat yang dulu ia sayangi.
“Aku
suka Peepee,” Aaron membalas ucapan Alex dengan acuh. Dapat dipastikan, di masa
depannya kelak Aaron akan menjadi seorang yang acuh. Ini tidak bisa dibiarkan.
Aaron harus menjadi seorang anak yang menghargai orang lain. Alex terdiam. “Aku
ingin melihat angsa lagi,”
“Kau
ingin melihatnya lagi? Tapi kita ingin pergi ke festival makanan sayang,”
“Makanan?
Aku mau,” gumam Aaron tersenyum-senyum senang. Makanan. Pikirnya di otak
kecilnya. Ia benar-benar menyukai makanan. “Tapi siang ini kita akan
berjalan-jalan untuk membeli pakaianmu dan Peepee,”
“Aku
mau bersama Peepee,” ujar Aaron menarik lengan Alex dan memeluknya. Lalu
kepalanya yang mungil itu bersandar di sana, memejamkan mata sambil mengunyah
rotinya. “Aku mau roti lagi,” ujar Aaron menari kepalanya dari lengan Alex.
Justin tertawa dalam hati. Mengapa anaknya begitu menggemaskan? Tapi di satu
sisi juga Justin selalu memanggilnya setan kecil karena dengan kemanisannya, ia
dapat menarik perhatian banyak wanita. Termasuk Alex. Justin cukup cemburu
karena itu.
***
“Bola!”
seru Aaron kegirangan saat ia mendapatkan sebuah boneka bola berwarna
biru-putih dari ayahnya. Ya, Justin juga membelikan boneka bola sekaligus bola
asli untuk anaknya agar anaknya dapat bermain bola di rumah. Candice dan
Caitlin juga ikut ke Mall bersama dengan Justin, Alex dan Aaron. Siang ini
Justin benar-benar mengeluarkan uang banyak. Candice dan Caitlin banyak membawa
tas yang berisikan pakaian milik mereka, Aaron dan Alex. Alex tidak membawa tas
belanjaan karena ia sedang menggendong Aaron. Justin juga dengan topi hitam dan
kalung salib yang menggantung di lehernya memegang banyak belanjaan. Sialnya
mereka tidak membawa Jordy. Tentu saja. Jordy harus menjaga para wanita di
rumah Justin setelah memang kemarin ia datang hanya untuk membawakan
koper-koper milik keluarga Bieber dan Alex. Lalu ia pulang.
Hari
ini Justin terlihat begitu tampan. Ia memakai kacamata hitam, topi hitam, kaos
berwarna putih dan celana pendek bercorak tentara menempel di tubuhnya. Ia
bahkan tidak terlihat seperti seorang bapak-bapak. Bahkan di umurnya Justin
yang ke-28 ini ia terlihat seperti 20 tahun. Sengaja Justin memakai kacamata
karena ia berpikir, ia tidak ingin wanita-wanita yang melihatnya akan jatuh
pingsan saat melihat matanya. Ya, Justin adalah seorang lelaki yang benar-benar
percaya diri. Itu semua dikarenakan Bibi Ayreen.
“Peepee,
aku suka bola ini,” gumam Aaron, kepalanya menghadap ke belakang dengan dagunya
yang bersandar pada bahu Alex. “Aku sayang daddy,” tambah Aaron lagi. Melihat
kedua ibunya berada di belakang, Aaron menjulurkan lidahnya yang pendek pada
Caitlin dan Candice.
“Kau
menyukainya?”
“Hmm,”
gumamnya lalu tertawa saat Candice memberikan mata julingnya pada Aaron. Aaron
tertawa lepas dan melempar boneka bola yang ia pegang pada Candice hingga
Caitlin tertawa. “Mommy! Don’t do that!” teriak Aaron tertawa terbahak-bahak
lalu ia menggigit bahu Alex.
“Aw!
Aaron!”
“Blue
bird!” Justin langsung berbalik.
“Sorry
Peepee. Mommy Candice membuatku tertawa!” ujar Aaron, meminta maaf. “
“Tidak
apa-apa, sweet heart,” bisik Alex yang melotot pada Justin karena Justin
berteriak pada Aaron. Padahal Alex tidak begitu kesakitan karena gigitan Aaron.
Caitlin telah mengambil bola Aaron.
“Bolaku,”
seru Aaron yang menjulurkan kedua tangannya pada Caitlin. Kesusahan, Caitlin
memberikan bolanya pada Aaron. Senyum Aaron benar-benar mengembang. “Daddy, aku
ingin ke festival makanan,” ujar Aaron yang mulai merasa bosan.
“Setelah
ini kita akan pergi ke sana sayang, sabar,” ujar Justin yang menginjakan
kakinya ke atas permukaan escalator.
***
Dalam
keramaian, Alex merasakan persaan yang aneh. Ia merasakan kekhawatiran. Seperti
kehilangan sesuatu. Melupakan sesuatu. Namun apa? Ia berpikir, apa yang ia
lupakan? Matanya melihat-lihat pada makanan khas Eropa yang disajikan untuk
para pengunjung. Justin menggendong Aaron dan Aaron selalu saja ingin mencoba
makanan-makanan yang berada di atas meja yang berjajar dengan rapi. Caitlin dan
Candice selalu bersama, Weronika berada di sebelah Justin dan mencoba untuk
menarik perhatian Aaron. Tapi tetap saja Aaron tidak menggubris ibunya. Alex
hanya berjalan-jalan dengan perlahan di belakang Justin, tidak ingin mengganggu
kebersamaan Justin dan Weronika. Alex juga harus menghargai Weronika sebagai
bos-nya.
Entah
mengapa festival ini membuatnya teringat sesuatu. Namun apa? Brad! Pikirannya
berteriak padanya. Brad! Ia telah melupakan Brad. Ya Tuhan. Untunglah ia tidak
menjanjikan latihan bersama dengan Brad untuk pesta dansa minggu depan. Dan
pertanyaannya sekarang adalah sampai kapan ia berada di London? Ia harus
membicarakan ini bersama dengan Justin.
“Ya
Tuhan! Sial!” Weronika menggumamkan kata kotor sama seperti yang Justin lakukan
tadi pagi. Ponsel Weronika baru saja berdering dan langsung saja ia pergi dari
sebelah Justin untuk menjawab panggilan teleponnya.
“Kemarilah,”
ujar Justin yang sepertinya memiliki kontak dengan Alex saat Alex ingin
mendekat pada Justin. Alex berlari kecil menuju Justin dan berdiri di
sebelahnya. “Peepee mau?” tanya Aaron yang memegang sebuah roti di tangannya,
menawarkannya pada Alex. Alex menggelengkan kepalanya sambil tersenyum manis.
“Justin,
ada yang ingin kukatakan,”
“Hmm,
apa itu?” tanya Justin sambil melihat-lihat makanan yang berada di hadapannya,
tidak menatap Alex.
“Aku
memiliki janji bersama dengan Brad minggu depan untuk pergi ke pesta dansa.
Well, dia telah membelikan tiketnya untukku. Sangat tidak sopan jika aku
membatalkan janjiku dengannya, kau tahu maksudku bukan?”
“Tidak,
aku tidak mengerti,”
“Kapan
kita pulang dari London?” tanya Alex, langsung pada intinya.
“Minggu
depan,”
“Sial,”
bisik Alex sekecil mungkin, “apa yang kita lakukan di sini?”
“Bersenang-senang.
Banyak tempat yang akan kita kunjungi,”
“Tapi
Justin aku benar-benar harus pulang ke Amerika, aku juga harus latihan dansa
bersama dengannya,” sungut Alex, merajuk. Mata Alex melihat pada makanan yang
berada di hadapannya namun ia tidak sama sekali tertarik dengan makanan itu.
Jarinya mengetuk-ketuk meja dan menggigit pipi dalamnya. Menunggu jawaban
Justin. Hanya Justin yang dapat mengembalikannya ke Amerika.
“Baiklah.
Tapi aku memiliki syarat, Mrs.Bieber,”
“Mengapa
kau selalu memanggilku Mrs.Bieber? Aku bukan istrimu,” protes Alex.
“Oh
begitu? Ya sudah. Aku tidak akan mengizinkanmu,”
“Ya
Tuhan! Mengapa daddy mu sungguh menyebalkan Aaron?” teriak Alex menatap langit,
gemas dengan Justin. “Baiklah, apa syaratnya?”
***
Aaron
tampak begitu nyaman dengan posisi tidurnya sekarang. Dalam perjalanan, Aaron
yang masih kecil itu tertidur di atas tubuh Alex. Tangannya memeluk leher Alex
dengan erat sedang kepalanya berada pada pundak Alex. Pipinya menyembul,
terbalur oleh air liurnya yang menetes. Alex juga begitu lelah setelah
perjalanan beberapa jam di pesawat hanya untuk pulang dan latihan menari. Hanya
untuk Brad. Syarat Justin sungguh mudah dan sangat membantu Alex. Rencananya
adalah selama satu minggu ini Justin akan mengajarkan Alex berdansa. Tidak
begitu berat. Syarat yang mudah. Yang berat hanyalah Alex harus menerima
kenyataan bahwa ia yakin, tangan Justin tidak akan bisa diam di pingganngya
..atau bokongnya. Caitiln dan Candice tidak pulang dari London. Hanya Justin
dan Aaron yang pulang bersama dengan Alex. Justin tampak begitu diam tengah
malam ini.
Ia
tidak banyak berbicara. Biasanya ia akan menggoda Alex, tapi kali ini tidak. Ia
tidak melakukannya. Tapi itu bagus untuk Alex. Setidaknya ia mempunyai waktu
untuk berdiam diri dan memikirkan bagaimana caranya ia memberitahu Brad tentang
selama dua hari ini ia menghilang dari Amerika. Apalagi Brad belum tentu dapat
menghubungi ponsel Alex. Alex juga tidak menyalakan ponselnya sekarang. Alex
memejamkan matanya dan mengelus punggung Aaron dengan lembut. Ia juga berusaha
untuk terlelap.
“Kapan
kau akan pergi ke pesta dansa itu? Mengapa itu terdengar begitu murahan?” tanya
Justin yang membuat Alex membuka matanya.
“Well,
acara itu diadakan untuk mendanai panti asuhan St.Martina di Atlanta. Uang yang
didapatkan akan disumbangkan ke sana, lalu Brad membeli tiketnya untukku dan
dirinya,” jelas Alex dengan suara yang kecil agar tidak membangunkan Aaron.
“Hmm,
menarik. St.Martina? Aku pernah ke sana,”
“Aku
dulu dari sana,” bisik Alex membuat Justin membalikan kepalanya ke belakang.
Sopir yang berada di sebelah Justin berusaha untuk tidak mendengar apa yang
sedang mereka bicarakan. Alex juga tidak begitu ingin membahas ini sebenarnya,
tapi mulutnya yang bodoh itu telah meluncurkan kata-katanya dan tentu saja
Justin akan bertanya-tanya apa maksud Alex di sini. Bukankah Alex memiliki
orang tua? Yeah, orang tua angkat lebih tepatnya. Ia memang seorang anak panti
asuhan dari St.Martina.
“Kau
anak dari panti asuhan?”
“Hmm,
saat umurku yang keenam belas aku diangkat menjadi salah satu keluarga Bledel,”
“Pantas
kau perawan,” ujar Justin, tidak berpikir di sebelahnya adalah seorang sopir.
Namun sopir di sebelahnya tidak begitu memikirkan ucapan Justin, hanya saja ia
melirik dari kaca spion bagian dalam mobil dan melihat Alex di belakang yang
telah memejamkan matanya. Hmm, polos. Pikirnya dalam hati. Alex tidak membalas
ucapan Justin, terlalu lelah untuk menjelaskan kehidupannya yang tidak sama
sekali menyenangkan pada Justin. Apalagi sekarang sudah tengah malam, ia bahkan
tidak tahu apa ia masih kuat untuk menggendong Aaron nanti saat sampai di
rumah.
***
Alex
sedang bersembunyi di balik sofa ruang tamu agar Aaron tidak dapat
menemukannya. Mereka sedang bermain petak umpet di rumahnya. Justin telah pergi
kembali bekerja. Sebenarnya ia telah berjanji untuk tidak kembali selama satu
minggu lebih, tapi karena permintaan Alex yang benar-benar membuatnya kesal, ia
kembali pulang. Siang ini Aaron tidak tampak begitu bersemangat seperti yang
kemarin-kemarin, namun saat Alex mengajaknya bermain petak umpet. Aaron bahkan
baru bisa menghitung sampai dengan angka lima. Berada di ruang makan, Aaron
melepaskan kepalanya dari tembok setelah ia memejamkan matanya.
“Lima!”
serunya begitu senang. “Peepee,” teriaknya bersemangat. Dengan kakinya yang
mungil ia berjalan keluar dari ruang makan. “Di mana kau Peepee?” teriak Aaron
menundukan kepalanya melihat pada kolong meja ruang keluarganya. Seperti orang
gila, Aaron tertawa-tawa gemas. Kemana Peepee yang ia sayangi? Jangan bilang ia
menghilang!
“Aku
di sini!” teriak Alex dari ruang tamu. Namun Aaron tidak tahu di mana suara itu
berasal. Kembali kakinya yang mungil melangkah mengelilingi ruang keluarga
mencari Peepee-nya. Aaron kembali tertawa saat ia tidak menemukan Peepee-nya di
ruang keluarga. Tidak ingin menyerah, Aaron berlari dengan cepat menuju ruang
tamu lalu berhenti seketika saat ia sampai pada mulut pintu ruang tamu. Tangan
kanannya yang mungil menutup mulutnya. Matanya menyipit, ia menahan senyumnya.
“Peepee?”
panggil Aaron berjalan perlahan-lahan menuju karpet ruang tamu, saat kakinya
menyentuh karpet ia tersentak. “Peepee? Di mana kau?” tanyanya dengan tangan
yang menyentuh sofa yang tingginya lebih dari tinggi tubuhnya. Alex yang tadinya
berada di balik sofa, ternyata dari tadi telah berada di atas sofa panjang yang
sekarang Aaron pegang. Lalu kepala Aaron tiba-tiba saja muncul dan tersenyum
saat ia melihat Peepee-nya yang tidur tengkurap di atas sofa. Alex berusaha
untuk menahan tawanya, ia tahu Aaron telah mendapatkannya namun ia masih diam
di tempatnya.
“Peepee?”
panggil Aaron lagi melangkahkan kakinya sampai ia berada di depan sofa dan
menyentuhkan tangannya pada punggung Alex. “Peepee!” pukul Aaron tepat di atas
punggungnya.
“Whoa!
Kau mendapatkan aku!” teriak Alex langsung mengangkat kepalanya hingga membuat
Aaron terkejut. Saat Aaron terkejut, Aaron terdiam sebentar lalu tertawa
terbahak-bahak. Bahkan saat Alex mengagetkannya, Aaron melangkahkan kakinya ke
belakang karena takut. Namun akhirnya ia tertawa juga.
“Sekarang
kau yang jaga Peepee! Ayo,” ujar Aaron yang menarik tangan Alex setelah Alex
terduduk. Lalu Alex berdiri dan ikut dengan tarikan tangan Aaron yang
membawanya menuju ruang makan lagi.
Aaron benar-benar tidak sabar untuk bersembunyi di tempat yang jauh agar Peepee
tidak mendapatkan dia. Ia tahu tempat yang bagus di mana ia harus bersembunyi.
Di balik pohon besar! Saat sampai di ruang makan, Alex menutup matanya dilapisi
dengan telapak tangannya.
“Jangan
mengintip Peepee,” ujar Araon yang membalikan tubuh Alex agar berbalik pada
tembok. Alex hanya mengangguk.
“Kuhitung
sampai sepuluh. Mengerti?”
“Okay!
Jangan mengintip!” teriak Aaron mulai berlari-lari kesenangan, keluar dari
ruang makan lalu keluar dari rumah keluarga hingga ia sampai di taman.
“Satu
..dua ..sepuluh! Siap atau tidak, aku akan mendapatkanmu!” teriak Alex, licik.
Tapi Alex juga tidak cepat-cepat mencari Aaron. Aaron telah berada di luar, di
taman, bersembunyi di balik pohon yang besar. Tubuhnya yang mungil dapat
tertutupi oleh pohon itu. Tentu saja. Kaki Alex membawa tubuhnya yang kecil itu
keluar dari ruang tamu lalu matanya langsung melihat ke arah taman. Ia tahu. Ia
tahu Aaron pergi keluar rumah, tentu saja Aaron pergi ke taman. Suara tawa Aaron
tadi benar-benar membuat Alex tahu di mana Aaron bersembunyi di mana. Namun ia
tidak tahu tepatnya di mana, tapi ia yakin Aaron berada di sekitar taman.
“Aaron,”
goda Alex melewati kolam renang. Matanya mencari-cari di mana Aaron. Aaron yang
bersembunyi itu menutup mulutunya agar ia dapat menahan tawanya. Taman ini
begitu luas dengan banyak pohon yang berada di setiap sisi taman. Namun mata
Alex terhenti pada sebuah gudang kayu yang membuatnya begitu percaya diri,
Aaron bersembunyi di dalam sana. Berjinjit, Alex berjalan ke arah gudang kayu
itu. Mengapa ia tidak pernah menanyakan gudang misterius ini pada Justin? Meski
ia sudah melihatnya berkali-kali, ia tidak pernah menghampiri gudang ini.
Namun, saat ia benar-benar menghampiri gudang itu. Ia mencium aroma bau yang
aneh, yang benar-benar membuatnya ingin muntah. Apa-apaan! Tentu saja Aaron
tidak mungkin berada di dalam sana. Ya Tuhan! Mengapa baunya benar-benar
..tidak dapat digambarkan dengan kata-kata? Itu adalah tempat terbau yang
pernah Alex cium. Bahkan ia belum masuk ke dalamnya.
“Mommy!”
teriak Aaron yang berlari menuju Alex. Tidak ingin Aaron muntah karena
menghampiri Alex, Alex juga berlari menuju Aaron dan menangkap tubuh Aaron
begitu saja. “Mommy, apa yang kaulakukan di sana?” tanya Aaron polos.
“Tidak,
tidak ada. Peepee mencarimu, kau tahu. Kau bersembunyi di mana? Peepee susah
sekali mencarimu,” ujar Alex, berusaha untuk melupakan tempat tadi. Tapi ia
tidak dapat melupakannya. Maksudnya, tempat apa itu? Bau mayat, darah, dan
..entahlah bercampur menjadi satu di sana. Untuk apa Justin menyimpan tempat
seperti itu di dalam rumahnya? Apa ia tidak takut Aaron muntah hanya karena
Aaron penasaran gudang apa itu lalu menghampirinya. Ya Tuhan. Banyak sekali
pertanyaan yang jatuh pada otak Alex yang harus segera terjawab.
“Aku
lapar,” ujar Aaron, tidak menjawab pertanyaan Alex.
***
Justin
menempatkan tangannya pada pinggang Alex yang ramping. Sebuah laptop memutarkan
lagu I See The Lights yang akan dimainkan satu minggu ke depan di pesta dansa. Alex
tidak memakai gaun yang ia siapkan untuk ke pesta dansa nanti, namun ia memakai
gaun yang Justin belikan tadi siang untuknya. Malam ini dengan lampu-lampu yang
menyala di sekitar mereka bersama dengan bulan malam menemani mereka. Suara
lembut dari seorang wanita muncul begitu lembut. Justin mulai menempatkan
tangan Alex pada bahunya dan tangannya yang satu lagi memegang tangan Alex yang
lain.
Tidak
akan ada yang melihat mereka di taman remang-remang ini. Semua pintu dan
jendela tertutup. Aaron telah tertidur. Tidak menutup kemungkinan, Justin dapat
melakukan gilirannya yang tertunda. Namun dalam pikiran Justin sekarang adalah
bersama dengan wanita ini. Kaki mereka bergerak bersama-sama. Denyut jantung
mereka sama-sama berdetak begitu kencang. Mereka mengitari taman,
berputar-putar bersama dengan lagu yang lembut.
Perlahan-lahan
senyum Justin sedikit mengembang saat tangan Alex kembali menyentuh pundaknya
setelah ia memutarkan tubuh Alex dengan lambat. Bahkan Alex terlihat seperti
dapat menari. Justin merasa dibodohi sekarang.
All those days
chasing down a daydream
All those years living in a blur
All that time never truly seeing
Things the way they were
Now she's here shining in the
starlight
Now she's here, suddenly I know
If she's here, it's crystal
Lagu
terputar begitu damai. Alex tidak dapat menahan senyumnya, ia menggigit pipi
bagian dalamnya saat tangan Justin meremas tangannya. Pakaian yang ia pakai
benar-benar terbuka untuk Justin. Khususnya di bagian dadanya. Pakaian ini
dirancang oleh seorang wanita dari Inggris sehingga pakaian ini tampak begitu
ketat, rumbai-rumbai berada di sisi pakaiannya, gaunnya mengembang dengan
lengan panjang. Rambutnya terkepang panjang ke bawah, bunga-bungaan menghias
kepala Alex. Semua itu dilakukan oleh Justin yang menyewa seorang penata rias
yang menghasilkan Alex versi Inggris.
“Aku
tidak pernah menyadari ini. Matamu ternyata yang membuat aku hanyut ke dalam
dirimu,”
“Begitu
juga dengan matamu. Namun ..matamu sedikit ganas,” bisik Alex, menahan senyum.
“Kau
tidak pintar untuk menjaga keromantisan bukan, Mrs.Bieber?”
“Maafkan
aku, Yang Mulia. Aku bukan gadis yang menyukai keromantisan,” ujar Alex
menikmati percakapan ini. Namun Justin hanya terdiam, menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Kau tampan malam ini,”
“Kau
sempurna malam ini. Sama seperti malam-malam sebelumnya,” bisik Justin,
menggoda Alex. Pipi Alex memerah lalu ia menundukan kepalanya. Melipat bibirnya
ke dalam, ia mendongak kembali. Menatap langsung pada mata Justin yang berwarna
cokelat-madu. “Aku lebih memilih kau berdansa denganku nanti dibanding kau
bersama dengan Brad,”
“Kau
bisa mengajak Caitlin jika kau mau,” usul Alex. Tak terasa, lagu terganti.
Menjadi sebuah lagu yang lebih lambat dan mengartikan sesuatu penyesalan. Stay.
Mengapa lagu ini terdapat di laptop Justin? Alex berpikir, bukankah tadi pagi
ia hanya memberitahu Justin untuk mengunduh lagu wajib yang akan diputar di
pesta nanti? Stay. Ini adalah lagu kesukaannya jika ia sedang berada dalam
keadaan sedih. Kemudian Alex melingkarkan tangannya di sekitar leher Justin.
Justin menggelengkan kepalanya.
“Aku
telah menyiapkan semua ini hanya untukmu. Dirimu juga. Sekarang ..ada yang
ingin kukatakan selain masalah dansa konyol ini,” gumam Justin.
“Apa
itu?” Alex tidak tersenyum, keningnya berkerut.
“Apa
kau ingin menjadi istriku, Alex?” pertanyaan itu meremas jantung Alex seketika
itu juga. Alex terdiam, kakinya juga ikut terdiam. Hatinya tidak berkata
apa-apa. Begitu juga dengan pikirannya. Apa-apaan? Tidak ada. Tidak ada
penerimaan dalam lamaran ini. Ia ..ia tidak habis pikir. Apa Justin memang selama ini menyamakan Alex dengan
istri-istrinya yang lain? Ia tidak semudah itu menerima Justin. Hanya karena
Justin adalah seorang lelaki yang muda, tampan, dan kaya, ia akan menerima
Justin. Tidak. Ini semua tentang kesetiaan dan kepercayaan. Sudah terlihat dari
kehidupan Justin, ia bukanlah lelaki yang setia dan mudah percaya dengan
seseorang. Justin juga tidak menggerakan kakinya. Lagu masih terputar. Alex
menatap pada rumput yang ia pijak, ia menggigit bibir atasnya lalu
melepaskannya. Menelan ludah, ia mencoba untuk mendongak dan menatap Justin.
“Justin,
ini sungguh salah. Kita bahkan baru mengenal satu sama lain selama satu minggu.
Bagaimana kau tahu tentang aku? Dan ..sekalipun kau tahu tentang diriku dank au
mengajukan lamaran seperti ini tanpa meninggalkan semua istrimu, aku tidak akan
menerima dirimu. Aku tidak sama sekali sama seperti mereka,”
“Memang
kau bukan,” bisik Justin.
“Lalu
mengapa kau melamarku dalam keadaan yang ..ya Tuhan. Apa kau tidak
menyadarinya? Aku tidak dapat menerima dirimu,”
“Aku
berjanji akan menceraikan mereka semua. Hanya untukmu Alex. Lalu kita akan
menjalankan hubungan ini bersama-sama hingga kau siap untuk menikah denganku,”
ujar Justin, memegang kedua lengan Alex yang dibaluti oleh pakaian kuno yang
dirancang begitu cantik.
“Kau
berjanji akan menjalani hubungan ini bersama-sama?”
“Selalu.
Dengan hati ini,”
“Apa
yang ada di dalam gudang itu?” tanya Alex, akhirnya mengutarakan perasaannya
yang begitu penasaran terhadap gudang yang berjarak beberapa meter darinya dan
Justin. Jantung Justin berdetak kencang.
“Me-mengapa
kau bertanya tentang itu? Apa hubungannya?”
“Aku
ingin tahu kehidupanmu. Cerita dari rumah ini.”
***
Mata
biru itu termenung pada gudang kayu itu dari balkon kamar Aaron. Ia telah
mengganti pakaiannya. Justin belum ingin memberitahu apa isi gudang itu.
Katanya, Justin belum siap untuk menceritakannya pada Alex. Ia menyadari itu.
Alex menyadari itu. Justin belum bisa terbuka dengan dirinya. Ia juga belum
bisa terbuka dengan Justin. Malam ini Alex mengajar Aaron untuk tidur tanpa
memegang dada seorang ibu. Awalnya Aaron merengek-rengek dan sempat marah pada
Alex, tapi pada akhirnya ia tertidur tanpa memegang dada Alex. Sehingga
sekarang ia tampak tertidur dengan damai, jarinya yang mungil masuk ke dalam
mulutnya dan menghisapnya lambat.
Namun
gadis yang baru saja dilamar oleh seorang Justin Bieber ini masih penasaran
dengan isi dari gudang itu. Pertanyaan tentang Justin seorang pembunuh dan
mayatnya ditaruh di sana telah dipertanyakan Alex dan ia juga telah bertanya
soal itu pada Justin. Namun Justin menggelengkan kepalanya. Ia bukanlah
pembunuh. Ia seorang lelaki yang membalas dendam dengan cara yang begitu kejam
yang dimana kekejamannya dapat membawa orang itu pada akhir hidupnya. Nafasnya
teratur berbalut dengan kedinginan yang menusuk tulangnya yang kecil. Masih
tidak habis pikir dengan apa yang baru saja Justin lakukan padanya. Baru satu
minggu mereka bertemu dan belum mengetahui satu sama lain, namun setidaknya,
Justin tidak memaksakan kehendaknya yang egois itu. Ia ingin menjalankan
hubungan yang baik bersama dengan Alex. Membuat sebuah keintiman. Mereka akan
mengetahui masa kelam mereka satu sama lain. Lalu menjalankan masa sekarang
yang memang seharusnya mereka jalani. Alex tidak tahu apa yang Justin sukai.
Alex bahkan tidak tahu kapan Justin berulang tahun. Namun Justin, ia tahu
tentang Alex dari Jordy. Namun masa lalu. Justin tidak tahu tentang masa lalu Alex.
“Peepee,”
suara kecil Aaron terdengar dari dalam kamar. Aaron telah berdiri di mulut
pintu antara balkon dan kamarnya. Tangannya yang mungil mengucek matanya dengan
keadaan masih tekantuk. “Apa yang kaulakukan?” tanya Aaron, terdengar lebih
merengek. Alex yang telah berbalik tersenyum dan berjalan pada Aaron lalu
menggendongnya.
“Ayo
kita tidur,”
“Aku
ingin memegang dadamu,”
“Tidak,
tapi kau boleh memelukku,”
“Hmm,”
cemberut Aaron masih mengucek matanya saat Alex telah menutup pintu dan berjalan
menuju tempat tidur Aaron. “Kumohon,” sungutnya setelah Alex menaruh di atas
tempat tidur. Namun dengan manis, Alex menggelengkan kepalanya dan membaringkan
tubuhnya di sebelah Aaron.
“Tidak,
kemarilah,” suruh Alex memeluk kepala Aaron dan menyandarkannya pada dadanya
yang menyembul. Tangan Aaron yang mungil ditempatkan pada pinggang Alex, begitu
juga dengan kakinya yang mungil. Lalu ia memejamkan matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar