Selasa, 06 Agustus 2013

Lust of Love Bab 7


***

            “Peepee, buka mulutmu,” suruh Aaron pada Alex di saat mereka sedang sarapan bersama. Tidak ada Weronika pagi ini. Candice dan Caitlin belum bangun dari tidur mereka. Penuh perhatian, Aaron memasukan sesobek roti dengan selai cokelat yang dibuat oleh Peepee-nya ke mulut Alex. Senyum singkat muncul di wajah Aaron saat Alex mengunyah rotinya. “Aku suka roti,” serunya mengangkat roti yang ia pegang ke udara dan tertawa kesenangan. Justin juga belum terbangun dari tidurnya sehingga hanya mereka berdua saja yang sudah bangun di pagi hari.
            “Whoa. Anak daddy ternyata sudah bangun bersama dengan ..sial,” gumam Justin saat ia sadar Alex masih memakai pakaian tidurnya yang sangat tipis.
            “Apa itu sial daddy?” tanya Aaron yang memasukan roti ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan lahap. “Bukan apa-apa,” jawab Justin menarik kursi di sebelah Alex.
            “Mengapa semuanya bilang bukan apa-apa?” bingung Aaron, lagi. “Mau roti daddy?” tanya Aaron tersenyum dan memiringkan kepalanya, memberikan wajah imut pada Justin. Tangannya yang memegang roti bekas gigitannya yang menyisakan air liur itu disodorkan pada ayahnya yang melipat tangannya di atas meja makan.
            “Oh, rasa apa itu blue bird? Daddy ingin rasa strawberry,” ujar Justin, melirik pada Alex. Alex hanya terkekeh pelan namun Aaron tertawa terbahak-bahak. Bahkan roti yang belum ia kunyah ia benar di dalam mulutnya terlihat.
            “Rasa strawberry. Peepee,” tunjuk Aaron memberikan mata sipitnya pada Alex, menggoda Alex layaknya ciri khas anak kecil saat sedang bercanda. “Aku memegangnya tadi malam,” beritahu Aaron dengan bangga pada ayahnya.
            “Oh ya? Bagaimana rasanya?” tanya Justin, membuat Aaron tersipu malu. Ia tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Ia tidak tahu bagaimana cara memberitahu pada ayahnya. Kosa kata yang ia tahu tidak banyak karena ia selalu tinggal di rumah. Tidak ada teman sebayanya yang dapat berbicara dengannya. Karena malu, Aaron menggigit kembali rotinya dan mengunyahnya sambil menundukan kepalanya. Kakinya yang berada di udara tidak bisa diam, selalu saja ia gerak-gerakan.
            “Kau ingin roti Justin? Aku bisa membuatkannya untukmu,” ujar Alex sambil mengambil beberapa selai yang ada di hadapannya. Ia mengambil salah satu lembar roti untuk Justin. “Kau ingin rasa apa?”
            “Strawberry, Peepee,” tiap kata yang meluncur dari mulut Justin benar-benar mengartikan sesuatu. “Kau rasa apa blue bird?” tanya Justin.
            “Cokelat. Daddy rasa strawberry, hihi,” ujar Aaron cekikikan. Tangannya yang tidak memegang roti menutup mulutnya malu-malu dan melirik pada Alex.
            “Hahaha, Aaron. Kau benar-benar membuat Peepee malu,” ucap Alex yang membuat Aaron bingung. Aaron tidak begitu mengerti apa yang Alex katakan tapi ia masih cekikikan karena ayahnya yang suka sekali menggodanya. Alex melipat rotinya setelah ia selesai mengolesi selai strawberry di permukaannya lalu ia memberikannya pada Justin.
            “Ini rotimu Mr.Bieber,”
            “Apa itu Mr.Bieber?” tanya Aaron, bingung. Aaron bahkan belum tahu nama belakangnya sendiri! Alex benar-benar bingung. Sebenarnya, siapa yang selalu menjaga Aaron di rumah? Mengapa Aaron tampaknya tidak mengetahui apa-apa selain dada perempuan dan warna-warna? Mata Justin melebar saat ia baru saja menggigit rotinya.
            “Kau tidak tahu apa itu Mr.Bieber? Mr.Bieber adalah kau, Mr.Bieber,” ujar Justin yang semakin membuat Aaron bingung. Apa yang sebenarnya ayahku bicarakan? Bisik Aaron dalam hati. Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan, ujarnya dalam hati lagi. Kedua alisnya menaut dalam kebingungan.
            “Daddy, mengapa kau tidak tidur denganku tadi malam?” Aaron bertanya. Anak ini seperti tidak ada habisnya untuk memberikan pertanyaan yang tidak penting pada orang tuanya. Bisa dipastikan, orang tua kandung Aaron adalah orang tua yang cerewet. Mungkin dari ibunya. Ketampanannya mungkin dari ayahnya. Tapi kita tidak tahu. Tidak ada yang tahu orang tua Aaron seperti apa. Dan beruntungnya Aaron adalah ia dapat diangkat oleh seorang lelaki setampan Justin. Dan sebaik Justin, hanya pada anak-anak saja. Jika dengan wanita, tidak ada yang dapat menjamin itu.
            “Mmm, daddy tidur dengan mommy Oreo,”
            “Aku tidak suka mommy Oreo,” ujar Aaron, acuh dan kembali menggigit rotinya yang tak habis-habis. Tentu saja! Bibirnya yang mungil dan kapasitas mulutnya yang memang kecil tidak dapat menampung banyak makanan. Tapi anak ini, untunglah, senang memakan makanan. Tentu saja.
            “Aaron, kau tidak boleh seperti itu sayang. Itu ibumu,” ujar Alex mengelus kepala Aaron dengan lembut. Tapi Aaron masih dengan pendiriannya. Ia masih tidak menyukai mommy Oreo setelah kemarin ia dibentak oleh mommy Oreo. Dan tangannya masih terasa sakit karena cengkraman mantan ibu angkat yang dulu ia sayangi.
            “Aku suka Peepee,” Aaron membalas ucapan Alex dengan acuh. Dapat dipastikan, di masa depannya kelak Aaron akan menjadi seorang yang acuh. Ini tidak bisa dibiarkan. Aaron harus menjadi seorang anak yang menghargai orang lain. Alex terdiam. “Aku ingin melihat angsa lagi,”
            “Kau ingin melihatnya lagi? Tapi kita ingin pergi ke festival makanan sayang,”        
            “Makanan? Aku mau,” gumam Aaron tersenyum-senyum senang. Makanan. Pikirnya di otak kecilnya. Ia benar-benar menyukai makanan. “Tapi siang ini kita akan berjalan-jalan untuk membeli pakaianmu dan Peepee,”
            “Aku mau bersama Peepee,” ujar Aaron menarik lengan Alex dan memeluknya. Lalu kepalanya yang mungil itu bersandar di sana, memejamkan mata sambil mengunyah rotinya. “Aku mau roti lagi,” ujar Aaron menari kepalanya dari lengan Alex. Justin tertawa dalam hati. Mengapa anaknya begitu menggemaskan? Tapi di satu sisi juga Justin selalu memanggilnya setan kecil karena dengan kemanisannya, ia dapat menarik perhatian banyak wanita. Termasuk Alex. Justin cukup cemburu karena itu.

***

            “Bola!” seru Aaron kegirangan saat ia mendapatkan sebuah boneka bola berwarna biru-putih dari ayahnya. Ya, Justin juga membelikan boneka bola sekaligus bola asli untuk anaknya agar anaknya dapat bermain bola di rumah. Candice dan Caitlin juga ikut ke Mall bersama dengan Justin, Alex dan Aaron. Siang ini Justin benar-benar mengeluarkan uang banyak. Candice dan Caitlin banyak membawa tas yang berisikan pakaian milik mereka, Aaron dan Alex. Alex tidak membawa tas belanjaan karena ia sedang menggendong Aaron. Justin juga dengan topi hitam dan kalung salib yang menggantung di lehernya memegang banyak belanjaan. Sialnya mereka tidak membawa Jordy. Tentu saja. Jordy harus menjaga para wanita di rumah Justin setelah memang kemarin ia datang hanya untuk membawakan koper-koper milik keluarga Bieber dan Alex. Lalu ia pulang.
            Hari ini Justin terlihat begitu tampan. Ia memakai kacamata hitam, topi hitam, kaos berwarna putih dan celana pendek bercorak tentara menempel di tubuhnya. Ia bahkan tidak terlihat seperti seorang bapak-bapak. Bahkan di umurnya Justin yang ke-28 ini ia terlihat seperti 20 tahun. Sengaja Justin memakai kacamata karena ia berpikir, ia tidak ingin wanita-wanita yang melihatnya akan jatuh pingsan saat melihat matanya. Ya, Justin adalah seorang lelaki yang benar-benar percaya diri. Itu semua dikarenakan Bibi Ayreen.
            “Peepee, aku suka bola ini,” gumam Aaron, kepalanya menghadap ke belakang dengan dagunya yang bersandar pada bahu Alex. “Aku sayang daddy,” tambah Aaron lagi. Melihat kedua ibunya berada di belakang, Aaron menjulurkan lidahnya yang pendek pada Caitlin dan Candice.
            “Kau menyukainya?”
            “Hmm,” gumamnya lalu tertawa saat Candice memberikan mata julingnya pada Aaron. Aaron tertawa lepas dan melempar boneka bola yang ia pegang pada Candice hingga Caitlin tertawa. “Mommy! Don’t do that!” teriak Aaron tertawa terbahak-bahak lalu ia menggigit bahu Alex.
            “Aw! Aaron!”
            “Blue bird!” Justin langsung berbalik.
            “Sorry Peepee. Mommy Candice membuatku tertawa!” ujar Aaron, meminta maaf. “
            “Tidak apa-apa, sweet heart,” bisik Alex yang melotot pada Justin karena Justin berteriak pada Aaron. Padahal Alex tidak begitu kesakitan karena gigitan Aaron. Caitlin telah mengambil bola Aaron.
            “Bolaku,” seru Aaron yang menjulurkan kedua tangannya pada Caitlin. Kesusahan, Caitlin memberikan bolanya pada Aaron. Senyum Aaron benar-benar mengembang. “Daddy, aku ingin ke festival makanan,” ujar Aaron yang mulai merasa bosan.
            “Setelah ini kita akan pergi ke sana sayang, sabar,” ujar Justin yang menginjakan kakinya ke atas permukaan escalator.

***

            Dalam keramaian, Alex merasakan persaan yang aneh. Ia merasakan kekhawatiran. Seperti kehilangan sesuatu. Melupakan sesuatu. Namun apa? Ia berpikir, apa yang ia lupakan? Matanya melihat-lihat pada makanan khas Eropa yang disajikan untuk para pengunjung. Justin menggendong Aaron dan Aaron selalu saja ingin mencoba makanan-makanan yang berada di atas meja yang berjajar dengan rapi. Caitlin dan Candice selalu bersama, Weronika berada di sebelah Justin dan mencoba untuk menarik perhatian Aaron. Tapi tetap saja Aaron tidak menggubris ibunya. Alex hanya berjalan-jalan dengan perlahan di belakang Justin, tidak ingin mengganggu kebersamaan Justin dan Weronika. Alex juga harus menghargai Weronika sebagai bos-nya.
            Entah mengapa festival ini membuatnya teringat sesuatu. Namun apa? Brad! Pikirannya berteriak padanya. Brad! Ia telah melupakan Brad. Ya Tuhan. Untunglah ia tidak menjanjikan latihan bersama dengan Brad untuk pesta dansa minggu depan. Dan pertanyaannya sekarang adalah sampai kapan ia berada di London? Ia harus membicarakan ini bersama dengan Justin.
            “Ya Tuhan! Sial!” Weronika menggumamkan kata kotor sama seperti yang Justin lakukan tadi pagi. Ponsel Weronika baru saja berdering dan langsung saja ia pergi dari sebelah Justin untuk menjawab panggilan teleponnya.
            “Kemarilah,” ujar Justin yang sepertinya memiliki kontak dengan Alex saat Alex ingin mendekat pada Justin. Alex berlari kecil menuju Justin dan berdiri di sebelahnya. “Peepee mau?” tanya Aaron yang memegang sebuah roti di tangannya, menawarkannya pada Alex. Alex menggelengkan kepalanya sambil tersenyum manis.
            “Justin, ada yang ingin kukatakan,”
            “Hmm, apa itu?” tanya Justin sambil melihat-lihat makanan yang berada di hadapannya, tidak menatap Alex.
            “Aku memiliki janji bersama dengan Brad minggu depan untuk pergi ke pesta dansa. Well, dia telah membelikan tiketnya untukku. Sangat tidak sopan jika aku membatalkan janjiku dengannya, kau tahu maksudku bukan?”
            “Tidak, aku tidak mengerti,”   
            “Kapan kita pulang dari London?” tanya Alex, langsung pada intinya.
            “Minggu depan,”
            “Sial,” bisik Alex sekecil mungkin, “apa yang kita lakukan di sini?”
            “Bersenang-senang. Banyak tempat yang akan kita kunjungi,”
            “Tapi Justin aku benar-benar harus pulang ke Amerika, aku juga harus latihan dansa bersama dengannya,” sungut Alex, merajuk. Mata Alex melihat pada makanan yang berada di hadapannya namun ia tidak sama sekali tertarik dengan makanan itu. Jarinya mengetuk-ketuk meja dan menggigit pipi dalamnya. Menunggu jawaban Justin. Hanya Justin yang dapat mengembalikannya ke Amerika.
            “Baiklah. Tapi aku memiliki syarat, Mrs.Bieber,”
            “Mengapa kau selalu memanggilku Mrs.Bieber? Aku bukan istrimu,” protes Alex.
            “Oh begitu? Ya sudah. Aku tidak akan mengizinkanmu,”
            “Ya Tuhan! Mengapa daddy mu sungguh menyebalkan Aaron?” teriak Alex menatap langit, gemas dengan Justin. “Baiklah, apa syaratnya?”

***
           
            Aaron tampak begitu nyaman dengan posisi tidurnya sekarang. Dalam perjalanan, Aaron yang masih kecil itu tertidur di atas tubuh Alex. Tangannya memeluk leher Alex dengan erat sedang kepalanya berada pada pundak Alex. Pipinya menyembul, terbalur oleh air liurnya yang menetes. Alex juga begitu lelah setelah perjalanan beberapa jam di pesawat hanya untuk pulang dan latihan menari. Hanya untuk Brad. Syarat Justin sungguh mudah dan sangat membantu Alex. Rencananya adalah selama satu minggu ini Justin akan mengajarkan Alex berdansa. Tidak begitu berat. Syarat yang mudah. Yang berat hanyalah Alex harus menerima kenyataan bahwa ia yakin, tangan Justin tidak akan bisa diam di pingganngya ..atau bokongnya. Caitiln dan Candice tidak pulang dari London. Hanya Justin dan Aaron yang pulang bersama dengan Alex. Justin tampak begitu diam tengah malam ini.
            Ia tidak banyak berbicara. Biasanya ia akan menggoda Alex, tapi kali ini tidak. Ia tidak melakukannya. Tapi itu bagus untuk Alex. Setidaknya ia mempunyai waktu untuk berdiam diri dan memikirkan bagaimana caranya ia memberitahu Brad tentang selama dua hari ini ia menghilang dari Amerika. Apalagi Brad belum tentu dapat menghubungi ponsel Alex. Alex juga tidak menyalakan ponselnya sekarang. Alex memejamkan matanya dan mengelus punggung Aaron dengan lembut. Ia juga berusaha untuk terlelap.
            “Kapan kau akan pergi ke pesta dansa itu? Mengapa itu terdengar begitu murahan?” tanya Justin yang membuat Alex membuka matanya.
            “Well, acara itu diadakan untuk mendanai panti asuhan St.Martina di Atlanta. Uang yang didapatkan akan disumbangkan ke sana, lalu Brad membeli tiketnya untukku dan dirinya,” jelas Alex dengan suara yang kecil agar tidak membangunkan Aaron.
            “Hmm, menarik. St.Martina? Aku pernah ke sana,”
            “Aku dulu dari sana,” bisik Alex membuat Justin membalikan kepalanya ke belakang. Sopir yang berada di sebelah Justin berusaha untuk tidak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Alex juga tidak begitu ingin membahas ini sebenarnya, tapi mulutnya yang bodoh itu telah meluncurkan kata-katanya dan tentu saja Justin akan bertanya-tanya apa maksud Alex di sini. Bukankah Alex memiliki orang tua? Yeah, orang tua angkat lebih tepatnya. Ia memang seorang anak panti asuhan dari St.Martina.
            “Kau anak dari panti asuhan?”
            “Hmm, saat umurku yang keenam belas aku diangkat menjadi salah satu keluarga Bledel,”
            “Pantas kau perawan,” ujar Justin, tidak berpikir di sebelahnya adalah seorang sopir. Namun sopir di sebelahnya tidak begitu memikirkan ucapan Justin, hanya saja ia melirik dari kaca spion bagian dalam mobil dan melihat Alex di belakang yang telah memejamkan matanya. Hmm, polos. Pikirnya dalam hati. Alex tidak membalas ucapan Justin, terlalu lelah untuk menjelaskan kehidupannya yang tidak sama sekali menyenangkan pada Justin. Apalagi sekarang sudah tengah malam, ia bahkan tidak tahu apa ia masih kuat untuk menggendong Aaron nanti saat sampai di rumah.

***

            Alex sedang bersembunyi di balik sofa ruang tamu agar Aaron tidak dapat menemukannya. Mereka sedang bermain petak umpet di rumahnya. Justin telah pergi kembali bekerja. Sebenarnya ia telah berjanji untuk tidak kembali selama satu minggu lebih, tapi karena permintaan Alex yang benar-benar membuatnya kesal, ia kembali pulang. Siang ini Aaron tidak tampak begitu bersemangat seperti yang kemarin-kemarin, namun saat Alex mengajaknya bermain petak umpet. Aaron bahkan baru bisa menghitung sampai dengan angka lima. Berada di ruang makan, Aaron melepaskan kepalanya dari tembok setelah ia memejamkan matanya.
            “Lima!” serunya begitu senang. “Peepee,” teriaknya bersemangat. Dengan kakinya yang mungil ia berjalan keluar dari ruang makan. “Di mana kau Peepee?” teriak Aaron menundukan kepalanya melihat pada kolong meja ruang keluarganya. Seperti orang gila, Aaron tertawa-tawa gemas. Kemana Peepee yang ia sayangi? Jangan bilang ia menghilang!
            “Aku di sini!” teriak Alex dari ruang tamu. Namun Aaron tidak tahu di mana suara itu berasal. Kembali kakinya yang mungil melangkah mengelilingi ruang keluarga mencari Peepee-nya. Aaron kembali tertawa saat ia tidak menemukan Peepee-nya di ruang keluarga. Tidak ingin menyerah, Aaron berlari dengan cepat menuju ruang tamu lalu berhenti seketika saat ia sampai pada mulut pintu ruang tamu. Tangan kanannya yang mungil menutup mulutnya. Matanya menyipit, ia menahan senyumnya.
            “Peepee?” panggil Aaron berjalan perlahan-lahan menuju karpet ruang tamu, saat kakinya menyentuh karpet ia tersentak. “Peepee? Di mana kau?” tanyanya dengan tangan yang menyentuh sofa yang tingginya lebih dari tinggi tubuhnya. Alex yang tadinya berada di balik sofa, ternyata dari tadi telah berada di atas sofa panjang yang sekarang Aaron pegang. Lalu kepala Aaron tiba-tiba saja muncul dan tersenyum saat ia melihat Peepee-nya yang tidur tengkurap di atas sofa. Alex berusaha untuk menahan tawanya, ia tahu Aaron telah mendapatkannya namun ia masih diam di tempatnya.
            “Peepee?” panggil Aaron lagi melangkahkan kakinya sampai ia berada di depan sofa dan menyentuhkan tangannya pada punggung Alex. “Peepee!” pukul Aaron tepat di atas punggungnya.
            “Whoa! Kau mendapatkan aku!” teriak Alex langsung mengangkat kepalanya hingga membuat Aaron terkejut. Saat Aaron terkejut, Aaron terdiam sebentar lalu tertawa terbahak-bahak. Bahkan saat Alex mengagetkannya, Aaron melangkahkan kakinya ke belakang karena takut. Namun akhirnya ia tertawa juga.
            “Sekarang kau yang jaga Peepee! Ayo,” ujar Aaron yang menarik tangan Alex setelah Alex terduduk. Lalu Alex berdiri dan ikut dengan tarikan tangan Aaron yang membawanya  menuju ruang makan lagi. Aaron benar-benar tidak sabar untuk bersembunyi di tempat yang jauh agar Peepee tidak mendapatkan dia. Ia tahu tempat yang bagus di mana ia harus bersembunyi. Di balik pohon besar! Saat sampai di ruang makan, Alex menutup matanya dilapisi dengan telapak tangannya.
            “Jangan mengintip Peepee,” ujar Araon yang membalikan tubuh Alex agar berbalik pada tembok. Alex hanya mengangguk.
            “Kuhitung sampai sepuluh. Mengerti?”
            “Okay! Jangan mengintip!” teriak Aaron mulai berlari-lari kesenangan, keluar dari ruang makan lalu keluar dari rumah keluarga hingga ia sampai di taman.
            “Satu ..dua ..sepuluh! Siap atau tidak, aku akan mendapatkanmu!” teriak Alex, licik. Tapi Alex juga tidak cepat-cepat mencari Aaron. Aaron telah berada di luar, di taman, bersembunyi di balik pohon yang besar. Tubuhnya yang mungil dapat tertutupi oleh pohon itu. Tentu saja. Kaki Alex membawa tubuhnya yang kecil itu keluar dari ruang tamu lalu matanya langsung melihat ke arah taman. Ia tahu. Ia tahu Aaron pergi keluar rumah, tentu saja Aaron pergi ke taman. Suara tawa Aaron tadi benar-benar membuat Alex tahu di mana Aaron bersembunyi di mana. Namun ia tidak tahu tepatnya di mana, tapi ia yakin Aaron berada di sekitar taman.
            “Aaron,” goda Alex melewati kolam renang. Matanya mencari-cari di mana Aaron. Aaron yang bersembunyi itu menutup mulutunya agar ia dapat menahan tawanya. Taman ini begitu luas dengan banyak pohon yang berada di setiap sisi taman. Namun mata Alex terhenti pada sebuah gudang kayu yang membuatnya begitu percaya diri, Aaron bersembunyi di dalam sana. Berjinjit, Alex berjalan ke arah gudang kayu itu. Mengapa ia tidak pernah menanyakan gudang misterius ini pada Justin? Meski ia sudah melihatnya berkali-kali, ia tidak pernah menghampiri gudang ini. Namun, saat ia benar-benar menghampiri gudang itu. Ia mencium aroma bau yang aneh, yang benar-benar membuatnya ingin muntah. Apa-apaan! Tentu saja Aaron tidak mungkin berada di dalam sana. Ya Tuhan! Mengapa baunya benar-benar ..tidak dapat digambarkan dengan kata-kata? Itu adalah tempat terbau yang pernah Alex cium. Bahkan ia belum masuk ke dalamnya.
            “Mommy!” teriak Aaron yang berlari menuju Alex. Tidak ingin Aaron muntah karena menghampiri Alex, Alex juga berlari menuju Aaron dan menangkap tubuh Aaron begitu saja. “Mommy, apa yang kaulakukan di sana?” tanya Aaron polos.
            “Tidak, tidak ada. Peepee mencarimu, kau tahu. Kau bersembunyi di mana? Peepee susah sekali mencarimu,” ujar Alex, berusaha untuk melupakan tempat tadi. Tapi ia tidak dapat melupakannya. Maksudnya, tempat apa itu? Bau mayat, darah, dan ..entahlah bercampur menjadi satu di sana. Untuk apa Justin menyimpan tempat seperti itu di dalam rumahnya? Apa ia tidak takut Aaron muntah hanya karena Aaron penasaran gudang apa itu lalu menghampirinya. Ya Tuhan. Banyak sekali pertanyaan yang jatuh pada otak Alex yang harus segera terjawab.
            “Aku lapar,” ujar Aaron, tidak menjawab pertanyaan Alex.

***

            Justin menempatkan tangannya pada pinggang Alex yang ramping. Sebuah laptop memutarkan lagu I See The Lights yang akan dimainkan satu minggu ke depan di pesta dansa. Alex tidak memakai gaun yang ia siapkan untuk ke pesta dansa nanti, namun ia memakai gaun yang Justin belikan tadi siang untuknya. Malam ini dengan lampu-lampu yang menyala di sekitar mereka bersama dengan bulan malam menemani mereka. Suara lembut dari seorang wanita muncul begitu lembut. Justin mulai menempatkan tangan Alex pada bahunya dan tangannya yang satu lagi memegang tangan Alex yang lain.
            Tidak akan ada yang melihat mereka di taman remang-remang ini. Semua pintu dan jendela tertutup. Aaron telah tertidur. Tidak menutup kemungkinan, Justin dapat melakukan gilirannya yang tertunda. Namun dalam pikiran Justin sekarang adalah bersama dengan wanita ini. Kaki mereka bergerak bersama-sama. Denyut jantung mereka sama-sama berdetak begitu kencang. Mereka mengitari taman, berputar-putar bersama dengan lagu yang lembut.
            Perlahan-lahan senyum Justin sedikit mengembang saat tangan Alex kembali menyentuh pundaknya setelah ia memutarkan tubuh Alex dengan lambat. Bahkan Alex terlihat seperti dapat menari. Justin merasa dibodohi sekarang.
            All those days chasing down a daydream
            All those years living in a blur
            All that time never truly seeing
            Things the way they were
            Now she's here shining in the starlight
            Now she's here, suddenly I know
            If she's here, it's crystal
            Lagu terputar begitu damai. Alex tidak dapat menahan senyumnya, ia menggigit pipi bagian dalamnya saat tangan Justin meremas tangannya. Pakaian yang ia pakai benar-benar terbuka untuk Justin. Khususnya di bagian dadanya. Pakaian ini dirancang oleh seorang wanita dari Inggris sehingga pakaian ini tampak begitu ketat, rumbai-rumbai berada di sisi pakaiannya, gaunnya mengembang dengan lengan panjang. Rambutnya terkepang panjang ke bawah, bunga-bungaan menghias kepala Alex. Semua itu dilakukan oleh Justin yang menyewa seorang penata rias yang menghasilkan Alex versi Inggris.
            “Aku tidak pernah menyadari ini. Matamu ternyata yang membuat aku hanyut ke dalam dirimu,”
            “Begitu juga dengan matamu. Namun ..matamu sedikit ganas,” bisik Alex, menahan senyum.
            “Kau tidak pintar untuk menjaga keromantisan bukan, Mrs.Bieber?”
            “Maafkan aku, Yang Mulia. Aku bukan gadis yang menyukai keromantisan,” ujar Alex menikmati percakapan ini. Namun Justin hanya terdiam, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau tampan malam ini,”
            “Kau sempurna malam ini. Sama seperti malam-malam sebelumnya,” bisik Justin, menggoda Alex. Pipi Alex memerah lalu ia menundukan kepalanya. Melipat bibirnya ke dalam, ia mendongak kembali. Menatap langsung pada mata Justin yang berwarna cokelat-madu. “Aku lebih memilih kau berdansa denganku nanti dibanding kau bersama dengan Brad,”
            “Kau bisa mengajak Caitlin jika kau mau,” usul Alex. Tak terasa, lagu terganti. Menjadi sebuah lagu yang lebih lambat dan mengartikan sesuatu penyesalan. Stay. Mengapa lagu ini terdapat di laptop Justin? Alex berpikir, bukankah tadi pagi ia hanya memberitahu Justin untuk mengunduh lagu wajib yang akan diputar di pesta nanti? Stay. Ini adalah lagu kesukaannya jika ia sedang berada dalam keadaan sedih. Kemudian Alex melingkarkan tangannya di sekitar leher Justin. Justin menggelengkan kepalanya.
            “Aku telah menyiapkan semua ini hanya untukmu. Dirimu juga. Sekarang ..ada yang ingin kukatakan selain masalah dansa konyol ini,” gumam Justin.
            “Apa itu?” Alex tidak tersenyum, keningnya berkerut.
            “Apa kau ingin menjadi istriku, Alex?” pertanyaan itu meremas jantung Alex seketika itu juga. Alex terdiam, kakinya juga ikut terdiam. Hatinya tidak berkata apa-apa. Begitu juga dengan pikirannya. Apa-apaan? Tidak ada. Tidak ada penerimaan dalam lamaran ini. Ia ..ia tidak habis pikir. Apa Justin memang  selama ini menyamakan Alex dengan istri-istrinya yang lain? Ia tidak semudah itu menerima Justin. Hanya karena Justin adalah seorang lelaki yang muda, tampan, dan kaya, ia akan menerima Justin. Tidak. Ini semua tentang kesetiaan dan kepercayaan. Sudah terlihat dari kehidupan Justin, ia bukanlah lelaki yang setia dan mudah percaya dengan seseorang. Justin juga tidak menggerakan kakinya. Lagu masih terputar. Alex menatap pada rumput yang ia pijak, ia menggigit bibir atasnya lalu melepaskannya. Menelan ludah, ia mencoba untuk mendongak dan menatap Justin.
            “Justin, ini sungguh salah. Kita bahkan baru mengenal satu sama lain selama satu minggu. Bagaimana kau tahu tentang aku? Dan ..sekalipun kau tahu tentang diriku dank au mengajukan lamaran seperti ini tanpa meninggalkan semua istrimu, aku tidak akan menerima dirimu. Aku tidak sama sekali sama seperti mereka,”         
            “Memang kau bukan,” bisik Justin.
            “Lalu mengapa kau melamarku dalam keadaan yang ..ya Tuhan. Apa kau tidak menyadarinya? Aku tidak dapat menerima dirimu,”
            “Aku berjanji akan menceraikan mereka semua. Hanya untukmu Alex. Lalu kita akan menjalankan hubungan ini bersama-sama hingga kau siap untuk menikah denganku,” ujar Justin, memegang kedua lengan Alex yang dibaluti oleh pakaian kuno yang dirancang begitu cantik.
            “Kau berjanji akan menjalani hubungan ini bersama-sama?”
            “Selalu. Dengan hati ini,”
            “Apa yang ada di dalam gudang itu?” tanya Alex, akhirnya mengutarakan perasaannya yang begitu penasaran terhadap gudang yang berjarak beberapa meter darinya dan Justin. Jantung Justin berdetak kencang.
            “Me-mengapa kau bertanya tentang itu? Apa hubungannya?”
            “Aku ingin tahu kehidupanmu. Cerita dari rumah ini.”

***

            Mata biru itu termenung pada gudang kayu itu dari balkon kamar Aaron. Ia telah mengganti pakaiannya. Justin belum ingin memberitahu apa isi gudang itu. Katanya, Justin belum siap untuk menceritakannya pada Alex. Ia menyadari itu. Alex menyadari itu. Justin belum bisa terbuka dengan dirinya. Ia juga belum bisa terbuka dengan Justin. Malam ini Alex mengajar Aaron untuk tidur tanpa memegang dada seorang ibu. Awalnya Aaron merengek-rengek dan sempat marah pada Alex, tapi pada akhirnya ia tertidur tanpa memegang dada Alex. Sehingga sekarang ia tampak tertidur dengan damai, jarinya yang mungil masuk ke dalam mulutnya dan menghisapnya lambat.
            Namun gadis yang baru saja dilamar oleh seorang Justin Bieber ini masih penasaran dengan isi dari gudang itu. Pertanyaan tentang Justin seorang pembunuh dan mayatnya ditaruh di sana telah dipertanyakan Alex dan ia juga telah bertanya soal itu pada Justin. Namun Justin menggelengkan kepalanya. Ia bukanlah pembunuh. Ia seorang lelaki yang membalas dendam dengan cara yang begitu kejam yang dimana kekejamannya dapat membawa orang itu pada akhir hidupnya. Nafasnya teratur berbalut dengan kedinginan yang menusuk tulangnya yang kecil. Masih tidak habis pikir dengan apa yang baru saja Justin lakukan padanya. Baru satu minggu mereka bertemu dan belum mengetahui satu sama lain, namun setidaknya, Justin tidak memaksakan kehendaknya yang egois itu. Ia ingin menjalankan hubungan yang baik bersama dengan Alex. Membuat sebuah keintiman. Mereka akan mengetahui masa kelam mereka satu sama lain. Lalu menjalankan masa sekarang yang memang seharusnya mereka jalani. Alex tidak tahu apa yang Justin sukai. Alex bahkan tidak tahu kapan Justin berulang tahun. Namun Justin, ia tahu tentang Alex dari Jordy. Namun masa lalu. Justin tidak tahu tentang masa lalu Alex.
            “Peepee,” suara kecil Aaron terdengar dari dalam kamar. Aaron telah berdiri di mulut pintu antara balkon dan kamarnya. Tangannya yang mungil mengucek matanya dengan keadaan masih tekantuk. “Apa yang kaulakukan?” tanya Aaron, terdengar lebih merengek. Alex yang telah berbalik tersenyum dan berjalan pada Aaron lalu menggendongnya.
            “Ayo kita tidur,”
            “Aku ingin memegang dadamu,”
            “Tidak, tapi kau boleh memelukku,”
            “Hmm,” cemberut Aaron masih mengucek matanya saat Alex telah menutup pintu dan berjalan menuju tempat tidur Aaron. “Kumohon,” sungutnya setelah Alex menaruh di atas tempat tidur. Namun dengan manis, Alex menggelengkan kepalanya dan membaringkan tubuhnya di sebelah Aaron.
            “Tidak, kemarilah,” suruh Alex memeluk kepala Aaron dan menyandarkannya pada dadanya yang menyembul. Tangan Aaron yang mungil ditempatkan pada pinggang Alex, begitu juga dengan kakinya yang mungil. Lalu ia memejamkan matanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar