Jumat, 02 Agustus 2013

Fight for Love Bab 5



***

            Taylor dan Caitlin terus menunggu mobil Christian yang belum muncul juga. Taylor melepaskan jaket putih garis-garis hitamnya karena kepanasan. Tubuhnya yang indah itu tercetak begitu cantik dengan kaos ketat berwarna hitamnya. Ia dan Caitlin memakai topi biru dengan tulisan yang sama. You Only Live Once. Caitlin berpakaian cukup sopan dibanding dengan Taylor. Ya, Taylor cukup terbuka dalam berpakaian menuju LA. Kata ayahnya, LA akan panas maka dari itu Taylor memakai pakaian yang cukup terbuka. Dan itu terbukti. Ia merasa cukup panas di LA.
            Sebuah mobil hitam hitam berhenti di depan mereka, sebelum berhenti mobil itu telah mengklaksoni mereka dari jarak jauh. Caitlin tersenyum saat Christian menurunkan kaca mobilnya dan tersenyum dengan kacamata yang tergantung di hidungnya. Jari-jari Christian kemudian menaikan kacamata hitamnya sampai pada kepalanya, menyangganya di sana.
            “Sudah siap?” tanya Christian menganggukan kepalanya, kode untuk Caitlin dan Beep masuk ke dalam. Langsung saja Caitlin membuka pintu belakang dan Beep membuka pintu depan. Ya, Beep suka sekali untuk duduk di mobil bagian depan. Caitlin lebih menyukai duduk di belakang. Jika Caitlin yang menyetir, Christian yang akan duduk di belakang. Tidak, mereka tidak keberatan untuk melakukan itu pada Beep.
            Saat kedua pintu telah tertutup, Christian langsung menjalankan mobilnya kembali untuk keluar dari bandara. Ia mengikuti intruksi jalur keluar dari bandara. Mengingat perkataan Justin di rumah sakit Justin, Christian mulai menarik nafasnya.
            “Kau ingin tinggal di rumah Justin?” tanya Christian tiba-tiba. Beep yang sedang merenung itu tiba-tiba saja tersentak. Tinggal di rumah Justin Bieber? Tentu saja tidak! Ia akan menolaknya mentah-mentah. Itu semua akan menjadi bencana baginya. Bagaimana jika Justin tahu kalau selama ini Justin berbicara dengan kekasih kakak kembarnya? Karena selama ini, Justin memang tidak pernah mengetahui kalau Beep adalah kekasih dari kakaknya. Jika Justin bertanya tentang kekasih Beep, Beep hanya menjawabnya dengan singkat: dia baik-baik saja, tidak akan cemburu. Hanya itu. Tapi kenyataannya, Theo kecewa. Tentu saja Theo baik-baik saja dan tidak cemburu, Beep saja tidak pernah memberitahu pada Theo yang sebenarnya. Kecuali satu minggu terakhir ini. Semuanya tampak begitu menyakitkan. Beep terlalu sering hidup dalam omong kosong. Beep selalu berbohong agar kehidupannya berjalan dengan baik tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
            Hidup dalam kebohongan memang nyaman, namun akan berakhir tragis pada akhirnya. Begitu kehidupan Beep sekarang. Entah apakah ia akan melanjutkan kehidupan omong kosongnya atau ia akan masuk ke dalam dunia nyata yang sebenarnya. Segala kebohongannya benar-benar menutupi kehidupan rusaknya, tapi justru kebohongan itu semakin merusak kehidupannya yang memang sudah rusak. Kehidupan Beep begitu rumit dikarenakan masa kecilnya yang kelam.
            “Ide yang bagus,” sahut Caitlin dengan senang.
            “Tidak, aku tidak bisa,”
            “Hey! Kau bisa bertemu dengan Justin. Justin Bieber pemain basket! Di mana memangnya dia?” tanya Caitlin mulai memajukan tubunya. Kedua siku-siku bersandar pada kedua kursi depan dan wajahnya menghadap pada Christian. Taylor terdiam, memikirkan kata-kata Caitlin. Selama ini ia ingin bertemu dengan Justin dan sekarang dengan mudahnya ia akan bertemu dengan Justin. Tapi bagaimana jika Justin tahu kalau selama ini ia memiliki hubungan bersama dengan kakak kembarnya? Apa Justin sudah tahu kalau Beep telah berbohong pada Theo? Telinganya seakan-akan tertutup oleh penutup botol bir, matanya mulai terpejam. Ia ingin menenangkan pikirannya yang sudah lelah karena terus berpikir tentang Theo yang tak muncul selama seminggu lebih.
            “Oh astaga, ya dia pernah menceritakan pada kami tentang penyakit jantungnya. Jadi bagaimana keadaannya?” tanya Caitlin dengan suara yang kecil. Taylor telah terlelap dalam tidurnya. Ia mengalami jetlag. Christian menghembuskan nafasnya dengan pelan.
            “Kau tahu bukan kalau Justin memiliki kakak bernama Theo?” tanya Chris memutar kepalanya ke belakang untuk melihat Caitlin. Cait menganggukan kepalanya. “Theo yang memberikan jantungnya pada Justin,” setelah bisikan itu terucap dari mulut Christian, Caitlin terjerembap. Matanya melihat pada setir mobil yang dipegang oleh Christian. Seluruh dunianya seakan-akan terhenti. Theodore, memberikan jantungnya pada Justin? Astaga. Mata Cait mulai melirik pada Beep yang telah terlelap. Apakah ia harus merahasiakan ini pada Beep? Ia belum tahu pasti.
            “Astaga,” gumam Caitlin tak percaya, akhirnya.
            “Ya, pengorbanan yang benar-benar mengharukan. Aku bahkan menangis,” gumam Christian menoleh pada Beep yang kepalanya tergoyang-goyang karena mobil yang berjalan, “jadi kau ingin tinggal di rumah Justin?”
            “Tentu saja. Aku akan dan Beep akan membicarakannya nanti malam. Apa sekarang kita akan menjenguk Justin?” tanya Cait. Caitlin juga ingin bertemu dengan Justin selama mereka melakukan Skype. Bagaimana pun juga Caitlin adalah gadis yang normal, ia tahu wajah Justin sangat tampan. Tapi ia juga tidak begitu menginginkan Justin. Beep yang selama ini menginginkan Justin, lebih daripada ia menginginkan Theo.
            “Ya,” bisik Christian mulai fokus pada jalanan yang dipenuhi oleh mobil yang melaju.

***

*Justin Bieber POV*

            Jantungku berdegup lebih cepat saat aku melihat seorang malaikat yang berdiri di hadapanku. Inikah gadis yang selama ini kusukai? Ini gadis yang selama ini melakukan Skype bersama denganku? Astaga, ia benar-benar cantik. Jantungku berdegup dengan kencang saat aku melihat gadis ini. Entah ini adalah jantung siapa tapi rasanya ..jantung ini seakan-akan mengatakan sesuatu terhadap gadis ini. Gadis ini terasa begitu spesial.
            Darahku berdesir, bernyanyi-nyanyi di dalamnya saat Pokerface datang masuk ke dalam ruanganku. Ia tampak cantik seperti pada saat kami melakuakn Skype. Tapi kali ini ia mengepang rambutnya dengan begitu rapi. Matanya tampak berkantung, mengapa? Apakah ia memiliki masalah?
            “Akhirnya kita bertemu,” ujarku, “bagaimana perjalanan kalian?” tanyaku pada Pokerface dan Caitlin. Aku tidak pernah mengetahui nama asli Pokerface, tapi kurasa Pokerface sudah sangat pas untuknya. Atau Beep yang sering Caitlin panggil, meski nama itu terdengar seperti panggilan bagi kekasih Theo. Pokerface tampak begitu pendiam di dekat sofa dengan jaket yang ia pakai.
            “Panggil saja dia Beep, dia lebih terbiasa dipanggil seperti itu juga secara langsung,” ujar Christian memberitahuku. Baiklah, Beep. Itu memang cocok sekali bagi Pokerface. Oh Tuhan, kuharap ia akan tinggal di rumahku.
            “Apa kau akan tinggal di rumahku, Beep?” tanyaku menekan nada bicaraku saat menyebut namanya.
            “Tentu saja,” sahut Caitlin. Bagus. Ini akan menjadi sangat menyenangkan. Pertanyaan lain akan segera muncul untuk Beep. Oh, aku benar-benar menyukai gadis yang berada di hadapanku.
            “Ia sedang banyak pikiran, simpan pertanyaan-pertanyaanmu dulu Justin,” usul Christian padaku. Oh? Pantas saja matanya berkantung. Mungkin ia kurang tidur karena banyak berpikir. Mungkin saat aku akan pulang dari rumah sakit akan menjadi waktu yang sangat tepat.

***

*Taylor Pulmer POV*

            Terlahir menjadi anak yang ditolak oleh kedua orang tuanya sungguh menyakitkan. Saat seseorang menerimamu masuk ke dalam dunianya, kau akan merasa itu akan kurang. Karena semuanya bukan kenyataannya, tidak asli. Kehidupan yang kujalani sejak kecil selalu dipenuhi dengan kebohongan dan kepalsuan. Aku ditolak oleh ibuku, aku tidak tahu di mana ayahku. Menjadi anak adopsi tidak akan pernah memiliki perasaan puas. Segalanya tampak memang menyenangkan, namun sebenarnya tidak. Satu-satunya keluargaku tidak menginginkanku. Tidak ada. Panti asuhan adalah tempat asalku, di umurku yang ketiga, keluarga Pulmer mengadopsiku sebagai anaknya.
            Memang aku bertumbuh dalam keluarga yang tampak harmonis. Tapi sebenarnya tidak. Aku tidak sepolos yang orang-orang selama ini kira. Theo, Caitlin, bahkan ayahku tidak tahu siapa sebenarnya aku. Tidak akan ada yang tahu. Aku tidak pernah terbuka dalam kejujuran pada siapa pun. Termasuk Theo dan Justin. Aku lebih baik hidup dalam kebohongan dibanding dalam kenyataan. Aku memang mencintai Theo, tapi semua itu berawal dari Justin. Sejak pertama kali aku bertemu dengan mata Justin di bandara, aku yakin ia dan aku akan ditakdirkan. Sesuatu yang akan ditakdir pada diriku, aku rela akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya. Meski aku tahu pasti, aku akan mendapatkannya. Tapi sebelum aku mencapai takdir itu, selalu akan ada cobaan di sana. Kebohongan adalah kekuatan terbesarku untuk menutupi segala kekuranganku.
            Aku dibuang di panti asuhan oleh orang tua asliku. Aku diadopsi oleh keluarga Pulmer namun aku tidak begitu menginginkannya. Wajahku memang polos sehingga orang-orang yang berada di sekitarku tidak akan pernah tahu apa yang ada di pikiranku dan apa yang kurasakan. Aku selalu menunjukan wajah datar pada mereka kecuali pada orang-orang terdekatku. Tapi sedekat apa pun mereka, mereka tidak tahu sebenarnya aku. Tiap hari aku harus tertawa dan tersenyum dalam segala kepahitan dalam tubuhku. Aku masih belum bisa terjun masuk ke dalam kenyataan bahwa aku adalah orang yang ditolak sejak aku dilahirkan. Itu adalah kebenaran, namun aku berpura-pura untuk menerima kenyataan itu dengan segala kepalsuanku. Dengan segala tawaku dan rasa terima kasihku kepada orang-orang terdekatku.
            Saat Theo masuk ke dalam kehidupanku, aku kembali membuat sebuah kebohongan yang mengecewakan. Tentunya, setiap kebohongan memang baik untuk diri sendiri, namun pasti akan mengecewakan pada akhirnya. Theo sangat mencintaiku namun aku menolaknya. Aku memang bodoh telah menolak Theo dan segala ucapan permintamaafanku tidak akan pernah bisa memperbaiki segalanya kecuali jika Theo memang mau menerimaku kembali. Namun, kurasa itu tidak akan pernah berjalan dengan baik.
            Lalu sekarang aku bertemu dengan adik Theo, Justin yang sedang tertidur dalam mobil. Setelah beberapa hari tinggal di rumah sakit akhirnya Justin pulang. Caitlin memaksaku untuk tinggal di rumah Justin. Dan yah, kembali aku harus masuk dan terjerumus dalam kebohonganku yang baru. Caitlin juga tidak akan pernah memberitahu pada Justin tentang hubunganku dengan Theo yang telah tandas itu. Aku tahu ini akan menjadi sebuah bencana. Tapi aku tidak peduli, selama Justin tidak mengetahui tentang Theo adalah mantan kekasihku, semuanya akan baik-baik saja.
            Mataku tak pernah lepas dari Justin yang masih terlelap dengan wajahnya yang masih pucat. Kali ini Caitlin duduk di depan dengan Christian yang menyetir. Sedangkan aku duduk di belakang karena Justin yang menginginkannya. Entahlah, mungkin Justin menyukaiku. Senyuman kecil muncul di wajahku.

***

*Author POV*

            “Jadi kalian akan tidur di sini, huh?” tanya Justin pada Caitlin dan Beep yang berada di dalam sebuah kamar yang sangat besar dengan satu tempat tidur besar yang cukup untuk dua orang. Setelah lima hari tinggal di rumah Justin, perasaan Beep selalu kalut. Ia tidak pernah melupakan Theo yang hatinya telah ia sakiti kemudian sekarang ia harus berbohong pada Justin, adik Theo. Dan bagaimana jika Theo datang ke rumah Justin dan bertemu dengan Beep yang berada di dalam rumahnya? Beep masih belum mengetahui kepergian Theo dari dunia, Christian memberitahu Caitlin untuk tidak memberitahu masalah ini pada Justin. Dan Caitlin memutuskan untuk tidak memberitahu tentang kepergian Theo untuk sementara ini. Caitlin terduduk di atas tempat tidurnya dan Beep masih berdiri dan melipat tangannya di dekat pintu kamarnya.
            “Ya, kurasa di sini lebih nyaman,”
            “Kau bisa tidur di sebelahku jika kau mau,” goda Justin bersandar pada mulut pintu dan menatap Beep dengan intens. Caitlin yang melihat tatapan Justin yang sama seperti tatapan Theo itu langsung menggigit bibirnya untuk menahan tawanya. Astaga, adik-kakak yang benar-benar memiliki kesamaan. Tidak ingin menjadi penguping, Caitlin terbangkit dari tempat tidurnya dan pergi keluar dari kamar.
            “Kau ingin kemana Caitlin?” tanya Beep menjulurkan kepalanya.
            “Aku hanya ingin mengambil air minum,” ujar Caitlin melewati Justin dan menutup mulutnya. Justin dan Beep benar-benar cocok, sama seperti Theo dan Beep yang memang cocok dari awalnya, pikir Caitlin menuruni anak tangga agar sampai pada lantai bawah.
            Beep menjadi salah tingkah setelah Caitlin meninggalkannya. Tapi ia masih berada di tempatnya, namun tangannya mulai menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. Justin tertawa melihat Beep, dia benar-benar sempurna, pikir Justin.  Justin maju satu langkah lebih dekat pada Beep dan menarik tangan Beep. Jantung Justin berdegup lebih kencang saat tangannya bersentuhan dengan tangan Beep. Akhirnya ia dapat menyentuh tangan Beep secara personal tanpa dilihat oleh siapa pun dan rasanya benar-benar luar biasa menyenangkan. Beep terkejut saat tangannya tersentuh oleh tangan Justin, ia juga merasakan sesuatu yang aneh. Seperti inikah sesuatu yang intens dalam sebuah kamar? Atau ada yang lebih intens lagi dibanding dengan ini?
            “Ayo, kita pergi ke kamarku,” ujar Justin langsung menarik tangannya. Beep hanya terdiam dan mengikuti tarikan tangan Justin.

*Taylor Pulmer POV*

            Tanganku terus ditarik oleh Justin. Kami turun dari lantai atas, menelusuri anak tangga kemudian berjalan menuju sebuah lorong yang tidak begitu panjang. Lalu Justin berhenti di depan sebuah pintu dan tentunya ini adalah pintu kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya dan ..ya Tuhan, banyak sekali foto-foto dirinya dengan Theo yang berada terpampang di dindingnya. Mulai dari sejak ia masih kecil sampai mereka sudah besar. Apakah Justin benar-benar mencintai saudara kembarnya? Dan aku belum tahu di mana Theo berada sampai sekarang.
            “Omong-omong, di mana saudara kembarmu?” tanyaku masuk ke dalam kamarnya, Justin menutup pintu kamarnya dan menghembuskan nafas.
            “Aku tidak tahu, dia sudah tidak mempedulikanku lagi,” ujar Justin dengan suara yang kecewa. Kembali tangannya menyentuh tanganku dan menarikku untuk masuk ke dalam tempat tidurnya. Kami terduduk bersama dan Justin membaringkan tubuhnya. Tangannya masih memegang tanganku. Mata Justin seperti mata kucing, tapi tidak ada mata seindah Theo. Sekarang aku sudah tidak pernah bisa melihat mata Theo lagi. Dia telah membenciku. Mungkin sekarang ia telah pergi ke New York.
            “Jadi jantung siapa yang kaudapatkan?” tanyaku ingin tahu, mataku menatap pada Justin yang memejamkan matanya. Ia terdiam sejenak, aku menaikan tubuhku semakin ke atas kasur dan menyilangkan kakiku.
            “Tidak ada yang ingin memberitahuku. Aku telah mengirimi pesan pada Theo, dia juga tidak membalasnya. Entah dia sekarang berada di mana, ia sudah tidak menyayangiku,” bisik Justin dengan suara yang sedih. Theo memang selalu perhatian pada Justin, terbukti dari cerita-cerita Justin tiap harinya padaku. Justin memberitahu padaku kalau ia sangat mencintai Theo dan mereka juga telah membuat perjanjian untuk tidak menangis jika salah satu dari mereka pergi.
            “Aku sempat meninggal kata ayahku,” Justin memberitahu padaku. Aku sudah tahu itu, tapi aku juga tidak tahu siapa yang memberikan jantung untuk Justin. Yang penting, orang yang telah memberikan Justin jantung itu adalah orang yang sangat baik hati di dunia. Mungkin ia memang sudah tidak ingin hidup lagi. Aku tidak tahu. Yang jelas aku berterima kasih pada orang yang telah memberikan Justin jantung kembali. Karenanya, sekarang aku bisa bertemu dengan Justin secara langsung. Setelah beberapa hari aku merawat Justin di rumah sakit, aku merasa lebih tenang. Meski memang aku masih memikirkan Theo.
            “Siapa pun yang memberikan jantung ini, jantung ini terasa begitu sehat di dalam tubuhku,” ujar Justin menjelaskan. Aku senang jika ia dapat hidup dengan jantung yang lebih sehat. Setelah selama tujuh bulan Justin mengeluhkan sakit jantungnya padaku,  ia juga sering keluar masuk rumah sakit. Tapi itu tidak membuatnya berhenti bermain di dalam tim Lakers. Bahkan penampilannya saat bertanding sangat menakjubkan. Bahkan Justin tidak terlihat memiliki penyakit jantung.
            “Aku senang kau mendapatkan jantung yang lebih baik daripada jantungmu yang sebelumnya,”
            “Benarkah?” tanya Justin bangkit dari baringannya dan duduk bersilang di hadapanku. Aku tersenyum dan mengangguk penuh dengan keyakinan. Kelopak mata Justin terlihat lebih sayu sekarang, saat Justin menatap mata biruku sekarang lebih intens. Kemudian ia memiringkan kepalanya ke salah satu sisi dan tertawa. Adakah yang lucu?
            “Well, aku tahu ini terdengar gila. Tapi aku seperti pernah menatap matamu seperti ini,” ucapnya memberitahuku. Aku terdiam, tidak ingin membalas ucapannya. Biasanya aku cerewet untuk membalas ucapannya, tapi melihatnya secara langsung membuatku lebih banyak diam. Justin mengintimidasiku sekarang, bahkan sejak beberapa hari yang lalu. “Kau tampak pendiam,” bisik Justin meremas tanganku yang masih ia pegang. Aku tertawa pelan dan menggelengkan kepalaku.
            “Ak-aku tidak tahu, mungkin ini karena aku gugup,” aku tertawa pada akhirnya dan menarik tanganku dari remasannya dan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Ya, jika aku gugup, aku selalu melakukan ini. Aku merasa ada yang salah pada diriku sehingga aku ingin memperbaiki yang salah. Dan yang pertama kali kulakukan adalah menyelipkan rambutku ke belakang.
            “Kau tidak perlu gugup. Kita sudah berteman selama 7 bulan bukan? Kau tahu, aku menyukaimu,” ujar Justin yang membuatku tersentak, namun aku tidak memperlihatkan keterkejutanku padanya. “Apa bibirmu terasa manis?”
            “Aku tidak tahu. Mungkin,” bisikku malu-malu. Apa Justin akan mencium bibirku? Jika ya, aku adalah orang yang paling beruntung di dunia. Penggemar Justin mungkin akan cemburu karena aku akan segera dicium oleh seorang Justin. Justin tertawa dan menggelengkan kepalanya.
            “Apa aku boleh menciummu?” tanya Justin yang mengingatkanku pada Theo yang pertama kali ingin mencium bibirku. Namun kurasa bibir Justin akan lebih nyaman untuk dicium, aku tahu ini terdengar begitu egois, tapi aku lebih mencintai Justin dibanding Theo. Lagipula, Theo telah pergi dariku. Aku terdiam, tidak menjawabnya. Tapi tanpa aba-aba, Justin langsung menarik leherku dan mengecup bibirku dengan lembut. Aku memejamkan mataku, Justin tersentak, mataku kembali terbuka. Tiba-tiba saja Justin menarik wajahku untuk menjauh dari wajahnya. Ada apa?
            “Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” tanya Justin.
            “Bukankah kau pernah bertanya tentang ini? Kita pernah bertemu di bandara sebelumnya,” bisikku, sedikit kecewa dengan ucapannya. Mengapa ia tiba-tiba saja melepaskan ciuman ini dengan pertanyaan yang begitu membingungkan? Aku menggelengkan kepalaku.
            “Bibirmu seperti pernah kucium,” bisiknya dengan suara pelan. Hah? Apa yang ia katakan? Tidak, tentu saja tidak. Oh astaga, bibirku baru saja bertemu dengan bibirnya beberapa detik dan ia langsung menariknya kembali. Itu adalah sebuah kenyamanan tersendiri, tapi ia menariknya lepas dariku. “Tapi itu tidak penting lagi,” bisik Justin, ia tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya. Tangannya kembali menarik leherku dan bibir kami akhirnya bertemu. “Lingkarkan tanganmu di sekitar leherku,” perintahnya padaku. Aku melakukannya, memoncongkan tubuhku ke arahnya sambil kedua tanganku melingkar di sekitar lehernya. Bibirku belum terbuka untuknya, tapi aku juga ingin merasakan lidahnya di sana. Saat bibirku terbuka untuk Justin, ia mengerang dan melesakan lidahnya ke dalam mulutku dengan lembut. Membelai setiap inchi mulut dan lidahku. Oh, ini sangat menyenangkan. Kedua tangan Justin lagnsung menarik bokongku dan mengangkatnya sehingga sekarang aku mengangkanginya. Aku mendudukinya sekarang. Astaga, ia terasa begitu keras di bawah ini. Tiba-tiba saja aku ingin melakukan hubungan badan dengan Justin.
            Theo tidak pernah melakukan lebih dari ini, aku menginginkan ini. Hanya bersama dengan Justin, Theo sudah tidak dapat kuharapkan lagi. Ia telah membenciku. Tapi aku tidak ingin merusakan momen ini karena sakit hatiku yang kuperbuat. Lenganku memeluk leher Justin dan memperdalam ciuman ini.
            “Ya Tuhan,” gumam Justin mengakhiri ciuman ini. Aku melihat senyum di wajahnya yang ia berikan padaku. Aku ikut tersenyum, ciuman tadi adalah ciuman terpanas yang pernah kulakukan. Dan aku basah di bawah sini.
            “Kau ingin melakukannya?” tanya Justin yang membuatku tersentak. Astaga, tentu saja! Bersama dengan pemain basket? Pasti akan lebih menyenangkan. Meski sudah lama aku tidak pernah melakukannya. “Kapan terakhir kali kau berhubungan badan?” tanya Justin meremas bokongku, sontak aku langsung memukul punggungnya dengan pelan.
            “Saat aku berumur 15 tahun, Caitlin melarangku untuk melakukan itu lagi,”
            “Berarti masih sangat sempit,” ujar Justin terdengar begitu vulgar di telingaku. Ya Tuhan, mengapa ia berkata seperti itu? Telingaku rasa panas, tapi menggelikan juga. Aku tertawa dengan ucapannya. “Apa? Ada yang salah? Apa kau ingin mencari tahu?” tanya Justin menggodaku. Aku terdiam dan hanya menyeringai padanya. Ia tertawa pelan dan membaringkanku ke atas tempat tidur sedang tubuhnya berada di atasku. Kedua lututnya berada di samping pinggangku.
            “Kau ingin mencobanya denganku?” tanya Justin mengelus kepalaku.
            “Apa kau ingin mencobanya?”
            “Oh Tuhan,  Beep, sejak aku melihatmu aku sudah berpikir untuk melakukan ini,” ujarnya, tertawa pelan dan menjatuhkan kepalanya di sebelah kepalaku. Bibirnya berada di sebelah telingaku. Hembusan nafasnya benar-benar hangat di sana. Aku terkekeh pelan.
            “Maka, aku ingin mencobanya juga,” bisikku, memang ingin. “Oh!” aku tersentak saat sebuah benda menyentuh bagian bawahku.
            “Apa kau rasakan itu?” bisik Justin tepat di telingaku, di sampingku. Ya Tuhan, dia terasa begitu ..nikmat. Aku menganggukan kepalaku dengan pelan, kepala Justin mulai terangkat kembali berhadapan dengan wajahku. Matanya terlihat lebih bersinar, lampu kamarnya memang tidak menyala. Hanya cahaya dari bulan dan lampu kecil kamarnya. Tapi matanya ..bersinar dan itu unik. “Oh Tuhan!” erangkan mendesakan tubuhnya pada tubuhku kembali, aku mendesah pelan.
            “Aku selalu ingin melakukan ini denganmu, Beep,” bisiknya terus memaju-mundurkan tubuhnya di bawah sana. Aku mendesah pelan, kami masih memakai pakaian lengkap. Tapi aku rasa aku lepas sekarang hanya karena Justin melakukan ini.
            “Beep?” teriak seseorang dari luar, suara Christian. “Apa kau di dalam?” tanya Caitlin yang suaranya terdengar juga. Justin menggumamkan kata kotor dan bangkit dari tubuhku. Aku langsung mengambil nafas banyak. Astaga, setelah nafasku tertahan selama beberapa menit akhirnya aku bisa menarik nafas dengan bebas. Justin menarik tanganku untuk bangkit dari tempat tidurnya. Bersamaan kami turun dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Tangannya meraih knop pintu dan membukanya. Kami melihat dua orang dengan wajah yang benar-benar mirip berdiri di depan kami. Wajah mereka tampak datar melihat kami.
            “Apa?” tanya Justin merasa terganggu. Aku menunduk kepalaku, terkikik pelan karena melihat wajah Justin yang muram.
            “Makan malam sudah siap. Apa kau tidak ingin makan?” tanya Christian menunjuk pada lorong.
            “Ah ya, makan malam. Ayo kita makan,” ujar Justin langsung menarik tanganku untuk keluar dari kamarnya juga. Caitlin menatapku dengan tatapan penuh arti. Ia menahan senyumnya, aku tahu itu. Aku juga menahan tawaku. Ya Tuhan, ini benar-benar sangat lucu. Saat Justin ingin melakukan sesuatu padaku, Caitlin dan Christian merusaknya lalu wajah Justin tiba-tiba saja muram. Tapi Justin adalah lelaki yang sanguinis, maka pikirannya mudah teralihkan dengan makanan yang Christian tawarkan. Lalu Caitlin memberikan senyuman penuh arti dan juga tatapannya. Malam ini terlihat begitu lucu bagiku. Justin memegang tanganku dan kami sudah sampai di ruang makan.
            Saatnya makan bersama dengan Mr.Bieber. Oh, pemain basket kesukaanku. Aku meleleh.

***

*Author POV*

            Pagi ini ayah Justin sudah datang ke rumah Justin dengan pakaiannya yang formal. Ia ingin melihat perkembangan anaknya setelah kemarin ia tidak bertemu dengan Justin karena kesibukannya di Kanada benar-benar menyita waktunya, akhirnya pagi ini ia bisa bertemu dengan anaknya. Ayah Justin juga telah mengenal Beep dan juga Caitlin sejak kedatangan mereka ke rumah sakit. Ayah Justin benar-benar ramah pada Beep dan Caitlin.
            Kedatangan Mr.Bieber memang benar tak terduga. Justin sedang menonton acara televisi pagi ini dengan secangkir teh yang berada di atas meja ruang keluarganya. Beep dan Caitlin sedang membuat sarapan di dapur. Joseph masih tertidur di dalam kamarnya sedangkan Christian sedang melakukan olahraga di lapangan basket Justin. Mereka semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mr.Bieber membuka pintu utama rumah Justin, matanya langsung bertemu dengan ruang tamu yang kosong. Ia menutup pintu tamanya, kakinya mengiring tubuhnya untuk masuk lebih dalam lagi yaitu pada ruang keluarga Justin. Ia melihat anak satu-satunya sekarang yang sedang menonton acara televisi dengan serius.
            “Hey, ayah,” sapa Justin terkejut dengan kedatangan ayahnya, sontak ia langsung bangkit dari sofanya dan berjalan pada ayahnya. Ia memeluk ayahnya dengan erat.
            “Bagaimana kabarmu, nak?” tanya Mr.Bieber melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahu Justin. Kedua bahu Justin terangkat bersamaan dan ia mendecak lalu mendesah.
            “Yah, seperti ini. Aku lebih sehat sekarang,” ujar Justin menarik tubuhnya dari jeratan tangan ayahnya. Berjalan menuju sofa lagi, ayah Justin mengikuti Justin dan duduk di sofa yang lain. Ia menaikan salah satu kakinya dan menumpunya pada ujung lututnya yang lain. Memperhatikan anaknya yang memang terlihat lebih sehat setelah keluar dari rumah sakit. Tapi hatinya cukup sakit karena ia tidak dapat melihat anak kembarnya yang lebih pendiam dan lebih suka bermain dengan music. Matanya langsung melihat pada layar televisi yang Justin tontoni, ternyata acara musik. Terlihat sebuah senyuman tersungging dari wajah Mr.Bieber.
            “Sejak kapan kau menyukai music?” tanya ayah Justin, bingung. Justin juga bingung. Mengapa pagi ini ia tidak menonton berita olahraga? Biasanya ia akan melihat itu.Tapi akhir-akhir ini ia lebih tertarik dengan music dibanding dengan olahraga. Bahkan sekarang jari-jari Justin gatal untuk menekan suatu alat music, misalnya piano. Setidaknya, Justin masih ingat bagaimana caranya bermain piano. Kedua bahu Justin kembali terangkat, acuh, membalas ucapan ayahnya.
            “Aku juga tidak tahu,” gumam Justin yang matanya terus melihat kepada presenter wanita yang membawa acara music itu. Mata ayah Justin kembali melihat pada Justin yang serius menonton. Bulu matanya lentik, hidungnya benar-benar mancung, bibirnya sempurna. Warna matanya sama seperti warna mata ibunya, tapi ia tidak dapat melihat matanya kloningnya yang diturunkan pada anak kembarnya yang lain. Yang telah pergi. Theodore. Nama Theo terus terputar-putar di pikirannya, bersamaan dengan itu hatinya juga tersayat-sayat karena pengorbanan anak pertamanya yang lahir ke dunia pada anak lelaki keduanya.Wajah mereka sama, hanya saja mata mereka yang berbeda. Jika Justin menggunakan lensa mata berwarna abu-abu maka ia akan berubah menjadi Theo.
            Lama terdiam, Justin mulai merasa jenuh.
            “Di mana Theo? Kenapa dia tidak pernah menghubungiku lagi? Apa dia sudah tidak peduli denganku lagi? Ia sudah tidak menyayangiku lagi, padah aku merindukannya,”
            “Justin—“
            “Mungkin ia kesal karena aku tidak jadi meninggal, jadi dia tidak menghubungiku lagi,” ujar Justin asal bicara. Ayahnya berdiri dan langsung menampar pipi mulus Justin dengan kasar.

            “Jaga mulut sialanmu, Mr.Bieber!” bentak ayahnya. Semua orang di dalam rumah itu terdiam. Segalanya hening. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar