Taylor
dan Caitlin terus menunggu mobil Christian yang belum muncul juga. Taylor
melepaskan jaket putih garis-garis hitamnya karena kepanasan. Tubuhnya yang
indah itu tercetak begitu cantik dengan kaos ketat berwarna hitamnya. Ia dan
Caitlin memakai topi biru dengan tulisan yang sama. You Only Live Once. Caitlin berpakaian cukup sopan dibanding dengan
Taylor. Ya, Taylor cukup terbuka dalam berpakaian menuju LA. Kata ayahnya, LA
akan panas maka dari itu Taylor memakai pakaian yang cukup terbuka. Dan itu
terbukti. Ia merasa cukup panas di LA.
Sebuah
mobil hitam hitam berhenti di depan mereka, sebelum berhenti mobil itu telah
mengklaksoni mereka dari jarak jauh. Caitlin tersenyum saat Christian
menurunkan kaca mobilnya dan tersenyum dengan kacamata yang tergantung di
hidungnya. Jari-jari Christian kemudian menaikan kacamata hitamnya sampai pada
kepalanya, menyangganya di sana.
“Sudah
siap?” tanya Christian menganggukan kepalanya, kode untuk Caitlin dan Beep
masuk ke dalam. Langsung saja Caitlin membuka pintu belakang dan Beep membuka
pintu depan. Ya, Beep suka sekali untuk duduk di mobil bagian depan. Caitlin
lebih menyukai duduk di belakang. Jika Caitlin yang menyetir, Christian yang
akan duduk di belakang. Tidak, mereka tidak keberatan untuk melakukan itu pada
Beep.
Saat
kedua pintu telah tertutup, Christian langsung menjalankan mobilnya kembali
untuk keluar dari bandara. Ia mengikuti intruksi jalur keluar dari bandara.
Mengingat perkataan Justin di rumah sakit Justin, Christian mulai menarik
nafasnya.
“Kau
ingin tinggal di rumah Justin?” tanya Christian tiba-tiba. Beep yang sedang
merenung itu tiba-tiba saja tersentak. Tinggal di rumah Justin Bieber? Tentu
saja tidak! Ia akan menolaknya mentah-mentah. Itu semua akan menjadi bencana
baginya. Bagaimana jika Justin tahu kalau selama ini Justin berbicara dengan
kekasih kakak kembarnya? Karena selama ini, Justin memang tidak pernah
mengetahui kalau Beep adalah kekasih dari kakaknya. Jika Justin bertanya
tentang kekasih Beep, Beep hanya menjawabnya dengan singkat: dia baik-baik
saja, tidak akan cemburu. Hanya itu. Tapi kenyataannya, Theo kecewa. Tentu saja
Theo baik-baik saja dan tidak cemburu, Beep saja tidak pernah memberitahu pada
Theo yang sebenarnya. Kecuali satu minggu terakhir ini. Semuanya tampak begitu
menyakitkan. Beep terlalu sering hidup dalam omong kosong. Beep selalu
berbohong agar kehidupannya berjalan dengan baik tanpa memikirkan apa yang akan
terjadi selanjutnya.
Hidup
dalam kebohongan memang nyaman, namun akan berakhir tragis pada akhirnya.
Begitu kehidupan Beep sekarang. Entah apakah ia akan melanjutkan kehidupan
omong kosongnya atau ia akan masuk ke dalam dunia nyata yang sebenarnya. Segala
kebohongannya benar-benar menutupi kehidupan rusaknya, tapi justru kebohongan
itu semakin merusak kehidupannya yang memang sudah rusak. Kehidupan Beep begitu
rumit dikarenakan masa kecilnya yang kelam.
“Ide
yang bagus,” sahut Caitlin dengan senang.
“Tidak,
aku tidak bisa,”
“Hey!
Kau bisa bertemu dengan Justin. Justin Bieber pemain basket! Di mana memangnya
dia?” tanya Caitlin mulai memajukan tubunya. Kedua siku-siku bersandar pada
kedua kursi depan dan wajahnya menghadap pada Christian. Taylor terdiam,
memikirkan kata-kata Caitlin. Selama ini ia ingin bertemu dengan Justin dan
sekarang dengan mudahnya ia akan bertemu dengan Justin. Tapi bagaimana jika
Justin tahu kalau selama ini ia memiliki hubungan bersama dengan kakak
kembarnya? Apa Justin sudah tahu kalau Beep telah berbohong pada Theo?
Telinganya seakan-akan tertutup oleh penutup botol bir, matanya mulai terpejam.
Ia ingin menenangkan pikirannya yang sudah lelah karena terus berpikir tentang
Theo yang tak muncul selama seminggu lebih.
“Oh
astaga, ya dia pernah menceritakan pada kami tentang penyakit jantungnya. Jadi
bagaimana keadaannya?” tanya Caitlin dengan suara yang kecil. Taylor telah
terlelap dalam tidurnya. Ia mengalami jetlag.
Christian menghembuskan nafasnya dengan pelan.
“Kau
tahu bukan kalau Justin memiliki kakak bernama Theo?” tanya Chris memutar
kepalanya ke belakang untuk melihat Caitlin. Cait menganggukan kepalanya. “Theo
yang memberikan jantungnya pada Justin,” setelah bisikan itu terucap dari mulut
Christian, Caitlin terjerembap. Matanya melihat pada setir mobil yang dipegang
oleh Christian. Seluruh dunianya seakan-akan terhenti. Theodore, memberikan
jantungnya pada Justin? Astaga. Mata Cait mulai melirik pada Beep yang telah
terlelap. Apakah ia harus merahasiakan ini pada Beep? Ia belum tahu pasti.
“Astaga,”
gumam Caitlin tak percaya, akhirnya.
“Ya,
pengorbanan yang benar-benar mengharukan. Aku bahkan menangis,” gumam Christian
menoleh pada Beep yang kepalanya tergoyang-goyang karena mobil yang berjalan,
“jadi kau ingin tinggal di rumah Justin?”
“Tentu
saja. Aku akan dan Beep akan membicarakannya nanti malam. Apa sekarang kita
akan menjenguk Justin?” tanya Cait. Caitlin juga ingin bertemu dengan Justin
selama mereka melakukan Skype. Bagaimana pun juga Caitlin adalah gadis yang
normal, ia tahu wajah Justin sangat tampan. Tapi ia juga tidak begitu
menginginkan Justin. Beep yang selama ini menginginkan Justin, lebih daripada
ia menginginkan Theo.
“Ya,”
bisik Christian mulai fokus pada jalanan yang dipenuhi oleh mobil yang melaju.
***
*Justin Bieber POV*
Jantungku
berdegup lebih cepat saat aku melihat seorang malaikat yang berdiri di
hadapanku. Inikah gadis yang selama ini kusukai? Ini gadis yang selama ini melakukan
Skype bersama denganku? Astaga, ia benar-benar cantik. Jantungku berdegup
dengan kencang saat aku melihat gadis ini. Entah ini adalah jantung siapa tapi
rasanya ..jantung ini seakan-akan mengatakan sesuatu terhadap gadis ini. Gadis
ini terasa begitu spesial.
Darahku
berdesir, bernyanyi-nyanyi di dalamnya saat Pokerface datang masuk ke dalam
ruanganku. Ia tampak cantik seperti pada saat kami melakuakn Skype. Tapi kali
ini ia mengepang rambutnya dengan begitu rapi. Matanya tampak berkantung,
mengapa? Apakah ia memiliki masalah?
“Akhirnya
kita bertemu,” ujarku, “bagaimana perjalanan kalian?” tanyaku pada Pokerface
dan Caitlin. Aku tidak pernah mengetahui nama asli Pokerface, tapi kurasa
Pokerface sudah sangat pas untuknya. Atau Beep yang sering Caitlin panggil,
meski nama itu terdengar seperti panggilan bagi kekasih Theo. Pokerface tampak
begitu pendiam di dekat sofa dengan jaket yang ia pakai.
“Panggil
saja dia Beep, dia lebih terbiasa dipanggil seperti itu juga secara langsung,”
ujar Christian memberitahuku. Baiklah, Beep. Itu memang cocok sekali bagi
Pokerface. Oh Tuhan, kuharap ia akan tinggal di rumahku.
“Apa
kau akan tinggal di rumahku, Beep?” tanyaku menekan nada bicaraku saat menyebut
namanya.
“Tentu
saja,” sahut Caitlin. Bagus. Ini akan menjadi sangat menyenangkan. Pertanyaan
lain akan segera muncul untuk Beep. Oh, aku benar-benar menyukai gadis yang
berada di hadapanku.
“Ia
sedang banyak pikiran, simpan pertanyaan-pertanyaanmu dulu Justin,” usul
Christian padaku. Oh? Pantas saja matanya berkantung. Mungkin ia kurang tidur
karena banyak berpikir. Mungkin saat aku akan pulang dari rumah sakit akan
menjadi waktu yang sangat tepat.
***
*Taylor Pulmer POV*
Terlahir
menjadi anak yang ditolak oleh kedua orang tuanya sungguh menyakitkan. Saat
seseorang menerimamu masuk ke dalam dunianya, kau akan merasa itu akan kurang.
Karena semuanya bukan kenyataannya, tidak asli. Kehidupan yang kujalani sejak
kecil selalu dipenuhi dengan kebohongan dan kepalsuan. Aku ditolak oleh ibuku,
aku tidak tahu di mana ayahku. Menjadi anak adopsi tidak akan pernah memiliki
perasaan puas. Segalanya tampak memang menyenangkan, namun sebenarnya tidak.
Satu-satunya keluargaku tidak menginginkanku. Tidak ada. Panti asuhan adalah
tempat asalku, di umurku yang ketiga, keluarga Pulmer mengadopsiku sebagai
anaknya.
Memang
aku bertumbuh dalam keluarga yang tampak harmonis. Tapi sebenarnya tidak. Aku
tidak sepolos yang orang-orang selama ini kira. Theo, Caitlin, bahkan ayahku
tidak tahu siapa sebenarnya aku. Tidak akan ada yang tahu. Aku tidak pernah
terbuka dalam kejujuran pada siapa pun. Termasuk Theo dan Justin. Aku lebih
baik hidup dalam kebohongan dibanding dalam kenyataan. Aku memang mencintai
Theo, tapi semua itu berawal dari Justin. Sejak pertama kali aku bertemu dengan
mata Justin di bandara, aku yakin ia dan aku akan ditakdirkan. Sesuatu yang
akan ditakdir pada diriku, aku rela akan melakukan apa pun untuk
mendapatkannya. Meski aku tahu pasti, aku akan mendapatkannya. Tapi sebelum aku
mencapai takdir itu, selalu akan ada cobaan di sana. Kebohongan adalah kekuatan
terbesarku untuk menutupi segala kekuranganku.
Aku
dibuang di panti asuhan oleh orang tua asliku. Aku diadopsi oleh keluarga
Pulmer namun aku tidak begitu menginginkannya. Wajahku memang polos sehingga
orang-orang yang berada di sekitarku tidak akan pernah tahu apa yang ada di
pikiranku dan apa yang kurasakan. Aku selalu menunjukan wajah datar pada mereka
kecuali pada orang-orang terdekatku. Tapi sedekat apa pun mereka, mereka tidak
tahu sebenarnya aku. Tiap hari aku harus tertawa dan tersenyum dalam segala
kepahitan dalam tubuhku. Aku masih belum bisa terjun masuk ke dalam kenyataan
bahwa aku adalah orang yang ditolak sejak aku dilahirkan. Itu adalah kebenaran,
namun aku berpura-pura untuk menerima kenyataan itu dengan segala kepalsuanku.
Dengan segala tawaku dan rasa terima kasihku kepada orang-orang terdekatku.
Saat
Theo masuk ke dalam kehidupanku, aku kembali membuat sebuah kebohongan yang
mengecewakan. Tentunya, setiap kebohongan memang baik untuk diri sendiri, namun
pasti akan mengecewakan pada akhirnya. Theo sangat mencintaiku namun aku
menolaknya. Aku memang bodoh telah menolak Theo dan segala ucapan
permintamaafanku tidak akan pernah bisa memperbaiki segalanya kecuali jika Theo
memang mau menerimaku kembali. Namun, kurasa itu tidak akan pernah berjalan
dengan baik.
Lalu
sekarang aku bertemu dengan adik Theo, Justin yang sedang tertidur dalam mobil.
Setelah beberapa hari tinggal di rumah sakit akhirnya Justin pulang. Caitlin
memaksaku untuk tinggal di rumah Justin. Dan yah, kembali aku harus masuk dan
terjerumus dalam kebohonganku yang baru. Caitlin juga tidak akan pernah
memberitahu pada Justin tentang hubunganku dengan Theo yang telah tandas itu. Aku
tahu ini akan menjadi sebuah bencana. Tapi aku tidak peduli, selama Justin
tidak mengetahui tentang Theo adalah mantan kekasihku, semuanya akan baik-baik
saja.
Mataku
tak pernah lepas dari Justin yang masih terlelap dengan wajahnya yang masih
pucat. Kali ini Caitlin duduk di depan dengan Christian yang menyetir.
Sedangkan aku duduk di belakang karena Justin yang menginginkannya. Entahlah,
mungkin Justin menyukaiku. Senyuman kecil muncul di wajahku.
***
*Author POV*
“Jadi
kalian akan tidur di sini, huh?” tanya Justin pada Caitlin dan Beep yang berada
di dalam sebuah kamar yang sangat besar dengan satu tempat tidur besar yang
cukup untuk dua orang. Setelah lima hari tinggal di rumah Justin, perasaan Beep
selalu kalut. Ia tidak pernah melupakan Theo yang hatinya telah ia sakiti
kemudian sekarang ia harus berbohong pada Justin, adik Theo. Dan bagaimana jika
Theo datang ke rumah Justin dan bertemu dengan Beep yang berada di dalam
rumahnya? Beep masih belum mengetahui kepergian Theo dari dunia, Christian
memberitahu Caitlin untuk tidak memberitahu masalah ini pada Justin. Dan
Caitlin memutuskan untuk tidak memberitahu tentang kepergian Theo untuk
sementara ini. Caitlin terduduk di atas tempat tidurnya dan Beep masih berdiri
dan melipat tangannya di dekat pintu kamarnya.
“Ya,
kurasa di sini lebih nyaman,”
“Kau
bisa tidur di sebelahku jika kau mau,” goda Justin bersandar pada mulut pintu
dan menatap Beep dengan intens. Caitlin yang melihat tatapan Justin yang sama
seperti tatapan Theo itu langsung menggigit bibirnya untuk menahan tawanya.
Astaga, adik-kakak yang benar-benar memiliki kesamaan. Tidak ingin menjadi
penguping, Caitlin terbangkit dari tempat tidurnya dan pergi keluar dari kamar.
“Kau
ingin kemana Caitlin?” tanya Beep menjulurkan kepalanya.
“Aku
hanya ingin mengambil air minum,” ujar Caitlin melewati Justin dan menutup
mulutnya. Justin dan Beep benar-benar cocok, sama seperti Theo dan Beep yang
memang cocok dari awalnya, pikir Caitlin menuruni anak tangga agar sampai pada
lantai bawah.
Beep
menjadi salah tingkah setelah Caitlin meninggalkannya. Tapi ia masih berada di
tempatnya, namun tangannya mulai menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya.
Justin tertawa melihat Beep, dia benar-benar sempurna, pikir Justin. Justin maju satu langkah lebih dekat pada Beep
dan menarik tangan Beep. Jantung Justin berdegup lebih kencang saat tangannya
bersentuhan dengan tangan Beep. Akhirnya ia dapat menyentuh tangan Beep secara
personal tanpa dilihat oleh siapa pun dan rasanya benar-benar luar biasa
menyenangkan. Beep terkejut saat tangannya tersentuh oleh tangan Justin, ia
juga merasakan sesuatu yang aneh. Seperti inikah sesuatu yang intens dalam
sebuah kamar? Atau ada yang lebih intens lagi dibanding dengan ini?
“Ayo,
kita pergi ke kamarku,” ujar Justin langsung menarik tangannya. Beep hanya
terdiam dan mengikuti tarikan tangan Justin.
*Taylor Pulmer POV*
Tanganku
terus ditarik oleh Justin. Kami turun dari lantai atas, menelusuri anak tangga
kemudian berjalan menuju sebuah lorong yang tidak begitu panjang. Lalu Justin
berhenti di depan sebuah pintu dan tentunya ini adalah pintu kamarnya. Ia
membuka pintu kamarnya dan ..ya Tuhan, banyak sekali foto-foto dirinya dengan
Theo yang berada terpampang di dindingnya. Mulai dari sejak ia masih kecil
sampai mereka sudah besar. Apakah Justin benar-benar mencintai saudara
kembarnya? Dan aku belum tahu di mana Theo berada sampai sekarang.
“Omong-omong,
di mana saudara kembarmu?” tanyaku masuk ke dalam kamarnya, Justin menutup
pintu kamarnya dan menghembuskan nafas.
“Aku
tidak tahu, dia sudah tidak mempedulikanku lagi,” ujar Justin dengan suara yang
kecewa. Kembali tangannya menyentuh tanganku dan menarikku untuk masuk ke dalam
tempat tidurnya. Kami terduduk bersama dan Justin membaringkan tubuhnya.
Tangannya masih memegang tanganku. Mata Justin seperti mata kucing, tapi tidak
ada mata seindah Theo. Sekarang aku sudah tidak pernah bisa melihat mata Theo
lagi. Dia telah membenciku. Mungkin sekarang ia telah pergi ke New York.
“Jadi
jantung siapa yang kaudapatkan?” tanyaku ingin tahu, mataku menatap pada Justin
yang memejamkan matanya. Ia terdiam sejenak, aku menaikan tubuhku semakin ke
atas kasur dan menyilangkan kakiku.
“Tidak
ada yang ingin memberitahuku. Aku telah mengirimi pesan pada Theo, dia juga
tidak membalasnya. Entah dia sekarang berada di mana, ia sudah tidak
menyayangiku,” bisik Justin dengan suara yang sedih. Theo memang selalu
perhatian pada Justin, terbukti dari cerita-cerita Justin tiap harinya padaku.
Justin memberitahu padaku kalau ia sangat mencintai Theo dan mereka juga telah
membuat perjanjian untuk tidak menangis jika salah satu dari mereka pergi.
“Aku
sempat meninggal kata ayahku,” Justin memberitahu padaku. Aku sudah tahu itu,
tapi aku juga tidak tahu siapa yang memberikan jantung untuk Justin. Yang penting,
orang yang telah memberikan Justin jantung itu adalah orang yang sangat baik
hati di dunia. Mungkin ia memang sudah tidak ingin hidup lagi. Aku tidak tahu.
Yang jelas aku berterima kasih pada orang yang telah memberikan Justin jantung
kembali. Karenanya, sekarang aku bisa bertemu dengan Justin secara langsung.
Setelah beberapa hari aku merawat Justin di rumah sakit, aku merasa lebih
tenang. Meski memang aku masih memikirkan Theo.
“Siapa
pun yang memberikan jantung ini, jantung ini terasa begitu sehat di dalam
tubuhku,” ujar Justin menjelaskan. Aku senang jika ia dapat hidup dengan
jantung yang lebih sehat. Setelah selama tujuh bulan Justin mengeluhkan sakit
jantungnya padaku, ia juga sering keluar
masuk rumah sakit. Tapi itu tidak membuatnya berhenti bermain di dalam tim
Lakers. Bahkan penampilannya saat bertanding sangat menakjubkan. Bahkan Justin
tidak terlihat memiliki penyakit jantung.
“Aku
senang kau mendapatkan jantung yang lebih baik daripada jantungmu yang
sebelumnya,”
“Benarkah?”
tanya Justin bangkit dari baringannya dan duduk bersilang di hadapanku. Aku
tersenyum dan mengangguk penuh dengan keyakinan. Kelopak mata Justin terlihat
lebih sayu sekarang, saat Justin menatap mata biruku sekarang lebih intens.
Kemudian ia memiringkan kepalanya ke salah satu sisi dan tertawa. Adakah yang
lucu?
“Well,
aku tahu ini terdengar gila. Tapi aku seperti pernah menatap matamu seperti
ini,” ucapnya memberitahuku. Aku terdiam, tidak ingin membalas ucapannya.
Biasanya aku cerewet untuk membalas ucapannya, tapi melihatnya secara langsung
membuatku lebih banyak diam. Justin mengintimidasiku sekarang, bahkan sejak
beberapa hari yang lalu. “Kau tampak pendiam,” bisik Justin meremas tanganku
yang masih ia pegang. Aku tertawa pelan dan menggelengkan kepalaku.
“Ak-aku
tidak tahu, mungkin ini karena aku gugup,” aku tertawa pada akhirnya dan
menarik tanganku dari remasannya dan menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
Ya, jika aku gugup, aku selalu melakukan ini. Aku merasa ada yang salah pada
diriku sehingga aku ingin memperbaiki yang salah. Dan yang pertama kali
kulakukan adalah menyelipkan rambutku ke belakang.
“Kau
tidak perlu gugup. Kita sudah berteman selama 7 bulan bukan? Kau tahu, aku
menyukaimu,” ujar Justin yang membuatku tersentak, namun aku tidak memperlihatkan
keterkejutanku padanya. “Apa bibirmu terasa manis?”
“Aku
tidak tahu. Mungkin,” bisikku malu-malu. Apa Justin akan mencium bibirku? Jika
ya, aku adalah orang yang paling beruntung di dunia. Penggemar Justin mungkin
akan cemburu karena aku akan segera dicium oleh seorang Justin. Justin tertawa
dan menggelengkan kepalanya.
“Apa
aku boleh menciummu?” tanya Justin yang mengingatkanku pada Theo yang pertama
kali ingin mencium bibirku. Namun kurasa bibir Justin akan lebih nyaman untuk
dicium, aku tahu ini terdengar begitu egois, tapi aku lebih mencintai Justin
dibanding Theo. Lagipula, Theo telah pergi dariku. Aku terdiam, tidak
menjawabnya. Tapi tanpa aba-aba, Justin langsung menarik leherku dan mengecup
bibirku dengan lembut. Aku memejamkan mataku, Justin tersentak, mataku kembali
terbuka. Tiba-tiba saja Justin menarik wajahku untuk menjauh dari wajahnya. Ada
apa?
“Apa
sebelumnya kita pernah bertemu?” tanya Justin.
“Bukankah
kau pernah bertanya tentang ini? Kita pernah bertemu di bandara sebelumnya,”
bisikku, sedikit kecewa dengan ucapannya. Mengapa ia tiba-tiba saja melepaskan
ciuman ini dengan pertanyaan yang begitu membingungkan? Aku menggelengkan
kepalaku.
“Bibirmu
seperti pernah kucium,” bisiknya dengan suara pelan. Hah? Apa yang ia katakan?
Tidak, tentu saja tidak. Oh astaga, bibirku baru saja bertemu dengan bibirnya
beberapa detik dan ia langsung menariknya kembali. Itu adalah sebuah kenyamanan
tersendiri, tapi ia menariknya lepas dariku. “Tapi itu tidak penting lagi,”
bisik Justin, ia tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya. Tangannya kembali
menarik leherku dan bibir kami akhirnya bertemu. “Lingkarkan tanganmu di
sekitar leherku,” perintahnya padaku. Aku melakukannya, memoncongkan tubuhku ke
arahnya sambil kedua tanganku melingkar di sekitar lehernya. Bibirku belum
terbuka untuknya, tapi aku juga ingin merasakan lidahnya di sana. Saat bibirku
terbuka untuk Justin, ia mengerang dan melesakan lidahnya ke dalam mulutku
dengan lembut. Membelai setiap inchi mulut dan lidahku. Oh, ini sangat
menyenangkan. Kedua tangan Justin lagnsung menarik bokongku dan mengangkatnya
sehingga sekarang aku mengangkanginya. Aku mendudukinya sekarang. Astaga, ia
terasa begitu keras di bawah ini. Tiba-tiba saja aku ingin melakukan hubungan
badan dengan Justin.
Theo
tidak pernah melakukan lebih dari ini, aku menginginkan ini. Hanya bersama
dengan Justin, Theo sudah tidak dapat kuharapkan lagi. Ia telah membenciku.
Tapi aku tidak ingin merusakan momen ini karena sakit hatiku yang kuperbuat.
Lenganku memeluk leher Justin dan memperdalam ciuman ini.
“Ya
Tuhan,” gumam Justin mengakhiri ciuman ini. Aku melihat senyum di wajahnya yang
ia berikan padaku. Aku ikut tersenyum, ciuman tadi adalah ciuman terpanas yang
pernah kulakukan. Dan aku basah di bawah sini.
“Kau
ingin melakukannya?” tanya Justin yang membuatku tersentak. Astaga, tentu saja!
Bersama dengan pemain basket? Pasti akan lebih menyenangkan. Meski sudah lama
aku tidak pernah melakukannya. “Kapan terakhir kali kau berhubungan badan?”
tanya Justin meremas bokongku, sontak aku langsung memukul punggungnya dengan
pelan.
“Saat
aku berumur 15 tahun, Caitlin melarangku untuk melakukan itu lagi,”
“Berarti
masih sangat sempit,” ujar Justin terdengar begitu vulgar di telingaku. Ya
Tuhan, mengapa ia berkata seperti itu? Telingaku rasa panas, tapi menggelikan
juga. Aku tertawa dengan ucapannya. “Apa? Ada yang salah? Apa kau ingin mencari
tahu?” tanya Justin menggodaku. Aku terdiam dan hanya menyeringai padanya. Ia
tertawa pelan dan membaringkanku ke atas tempat tidur sedang tubuhnya berada di
atasku. Kedua lututnya berada di samping pinggangku.
“Kau
ingin mencobanya denganku?” tanya Justin mengelus kepalaku.
“Apa
kau ingin mencobanya?”
“Oh
Tuhan, Beep, sejak aku melihatmu aku
sudah berpikir untuk melakukan ini,” ujarnya, tertawa pelan dan menjatuhkan
kepalanya di sebelah kepalaku. Bibirnya berada di sebelah telingaku. Hembusan
nafasnya benar-benar hangat di sana. Aku terkekeh pelan.
“Maka,
aku ingin mencobanya juga,” bisikku, memang ingin. “Oh!” aku tersentak saat
sebuah benda menyentuh bagian bawahku.
“Apa
kau rasakan itu?” bisik Justin tepat di telingaku, di sampingku. Ya Tuhan, dia
terasa begitu ..nikmat. Aku menganggukan kepalaku dengan pelan, kepala Justin
mulai terangkat kembali berhadapan dengan wajahku. Matanya terlihat lebih
bersinar, lampu kamarnya memang tidak menyala. Hanya cahaya dari bulan dan
lampu kecil kamarnya. Tapi matanya ..bersinar dan itu unik. “Oh Tuhan!”
erangkan mendesakan tubuhnya pada tubuhku kembali, aku mendesah pelan.
“Aku
selalu ingin melakukan ini denganmu, Beep,” bisiknya terus memaju-mundurkan
tubuhnya di bawah sana. Aku mendesah pelan, kami masih memakai pakaian lengkap.
Tapi aku rasa aku lepas sekarang hanya karena Justin melakukan ini.
“Beep?”
teriak seseorang dari luar, suara Christian. “Apa kau di dalam?” tanya Caitlin
yang suaranya terdengar juga. Justin menggumamkan kata kotor dan bangkit dari
tubuhku. Aku langsung mengambil nafas banyak. Astaga, setelah nafasku tertahan
selama beberapa menit akhirnya aku bisa menarik nafas dengan bebas. Justin
menarik tanganku untuk bangkit dari tempat tidurnya. Bersamaan kami turun dari
tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Tangannya meraih knop pintu dan
membukanya. Kami melihat dua orang dengan wajah yang benar-benar mirip berdiri
di depan kami. Wajah mereka tampak datar melihat kami.
“Apa?”
tanya Justin merasa terganggu. Aku menunduk kepalaku, terkikik pelan karena
melihat wajah Justin yang muram.
“Makan
malam sudah siap. Apa kau tidak ingin makan?” tanya Christian menunjuk pada
lorong.
“Ah
ya, makan malam. Ayo kita makan,” ujar Justin langsung menarik tanganku untuk
keluar dari kamarnya juga. Caitlin menatapku dengan tatapan penuh arti. Ia
menahan senyumnya, aku tahu itu. Aku juga menahan tawaku. Ya Tuhan, ini benar-benar
sangat lucu. Saat Justin ingin melakukan sesuatu padaku, Caitlin dan Christian
merusaknya lalu wajah Justin tiba-tiba saja muram. Tapi Justin adalah lelaki
yang sanguinis, maka pikirannya mudah teralihkan dengan makanan yang Christian
tawarkan. Lalu Caitlin memberikan senyuman penuh arti dan juga tatapannya.
Malam ini terlihat begitu lucu bagiku. Justin memegang tanganku dan kami sudah
sampai di ruang makan.
Saatnya
makan bersama dengan Mr.Bieber. Oh, pemain basket kesukaanku. Aku meleleh.
***
*Author POV*
Pagi
ini ayah Justin sudah datang ke rumah Justin dengan pakaiannya yang formal. Ia
ingin melihat perkembangan anaknya setelah kemarin ia tidak bertemu dengan
Justin karena kesibukannya di Kanada benar-benar menyita waktunya, akhirnya
pagi ini ia bisa bertemu dengan anaknya. Ayah Justin juga telah mengenal Beep
dan juga Caitlin sejak kedatangan mereka ke rumah sakit. Ayah Justin
benar-benar ramah pada Beep dan Caitlin.
Kedatangan
Mr.Bieber memang benar tak terduga. Justin sedang menonton acara televisi pagi
ini dengan secangkir teh yang berada di atas meja ruang keluarganya. Beep dan
Caitlin sedang membuat sarapan di dapur. Joseph masih tertidur di dalam
kamarnya sedangkan Christian sedang melakukan olahraga di lapangan basket
Justin. Mereka semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mr.Bieber
membuka pintu utama rumah Justin, matanya langsung bertemu dengan ruang tamu
yang kosong. Ia menutup pintu tamanya, kakinya mengiring tubuhnya untuk masuk
lebih dalam lagi yaitu pada ruang keluarga Justin. Ia melihat anak satu-satunya
sekarang yang sedang menonton acara televisi dengan serius.
“Hey,
ayah,” sapa Justin terkejut dengan kedatangan ayahnya, sontak ia langsung
bangkit dari sofanya dan berjalan pada ayahnya. Ia memeluk ayahnya dengan erat.
“Bagaimana
kabarmu, nak?” tanya Mr.Bieber melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahu
Justin. Kedua bahu Justin terangkat bersamaan dan ia mendecak lalu mendesah.
“Yah,
seperti ini. Aku lebih sehat sekarang,” ujar Justin menarik tubuhnya dari
jeratan tangan ayahnya. Berjalan menuju sofa lagi, ayah Justin mengikuti Justin
dan duduk di sofa yang lain. Ia menaikan salah satu kakinya dan menumpunya pada
ujung lututnya yang lain. Memperhatikan anaknya yang memang terlihat lebih
sehat setelah keluar dari rumah sakit. Tapi hatinya cukup sakit karena ia tidak
dapat melihat anak kembarnya yang lebih pendiam dan lebih suka bermain dengan
music. Matanya langsung melihat pada layar televisi yang Justin tontoni,
ternyata acara musik. Terlihat sebuah senyuman tersungging dari wajah
Mr.Bieber.
“Sejak
kapan kau menyukai music?” tanya ayah Justin, bingung. Justin juga bingung.
Mengapa pagi ini ia tidak menonton berita olahraga? Biasanya ia akan melihat
itu.Tapi akhir-akhir ini ia lebih tertarik dengan music dibanding dengan
olahraga. Bahkan sekarang jari-jari Justin gatal untuk menekan suatu alat
music, misalnya piano. Setidaknya, Justin masih ingat bagaimana caranya bermain
piano. Kedua bahu Justin kembali terangkat, acuh, membalas ucapan ayahnya.
“Aku
juga tidak tahu,” gumam Justin yang matanya terus melihat kepada presenter
wanita yang membawa acara music itu. Mata ayah Justin kembali melihat pada
Justin yang serius menonton. Bulu matanya lentik, hidungnya benar-benar
mancung, bibirnya sempurna. Warna matanya sama seperti warna mata ibunya, tapi
ia tidak dapat melihat matanya kloningnya yang diturunkan pada anak kembarnya
yang lain. Yang telah pergi. Theodore. Nama Theo terus terputar-putar di
pikirannya, bersamaan dengan itu hatinya juga tersayat-sayat karena pengorbanan
anak pertamanya yang lahir ke dunia pada anak lelaki keduanya.Wajah mereka
sama, hanya saja mata mereka yang berbeda. Jika Justin menggunakan lensa mata
berwarna abu-abu maka ia akan berubah menjadi Theo.
Lama
terdiam, Justin mulai merasa jenuh.
“Di
mana Theo? Kenapa dia tidak pernah menghubungiku lagi? Apa dia sudah tidak
peduli denganku lagi? Ia sudah tidak menyayangiku lagi, padah aku merindukannya,”
“Justin—“
“Mungkin
ia kesal karena aku tidak jadi meninggal, jadi dia tidak menghubungiku lagi,”
ujar Justin asal bicara. Ayahnya berdiri dan langsung menampar pipi mulus
Justin dengan kasar.
“Jaga
mulut sialanmu, Mr.Bieber!” bentak ayahnya. Semua orang di dalam rumah itu
terdiam. Segalanya hening.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar