Aku
mendapatkan tiga pesan dari Beep dan satu pesan dari ayahku. Tapi aku membuka
pesan dari ayahku terlebih dahulu. Justin,
aku berada di LA sekarang. Aku telah mengirimimu pesawatku untuk menjemputmu
datang ke LA tengah malam ini, Josh akan datang. Justin membutuhkanmu, nak.
Itu isinya. Tentu saja aku akan datang. Saudara kembarku benar-benar membuatku
khawatir dan ingin mati sekarang. Aku terduduk di atas tempat tidurku dan
membuka pesan pertama dari Beep.
1:
Maaf telah membuatmu kecewa. Dan maaf
jika aku sudah tidak dapat kaupercayai lagi.
2:
Aku mencintaimu, maaf telah berbohong
tentang saudara kembarmu.
3:
Sial, Theo. Aku benar-benar minta maaf
dengan segala yang kesalahan yang pernah kubuat padamu. Ini semua memang
salahku. Aku tidak pernah membicarakan ini padamu dan merahasiakan tentang
saudara kembarmu. Tapi dari semuanya yang ingin kuberitahu padamu, Theo, aku
mencintaimu.
Omong
kosong. Apa pun yang ia katakan, aku tidak peduli. Melempar ponselku ke atas
tempat tidur, aku bangkit dan berjalan menuju lemari pakaian untuk merapikan
pakaianku. Apa yang terjadi pada Justin? Dia mengalami kritis dan aku tidak
merasakan apa-apa sejak kemarin. Kecuali saat ayahku mengirimi pesan tentang
Justin mengalami kritis. Aku berkeringat. Mungkin jika ia bangun dari tempat
tidurnya, aku akan langsung memarahinya karena kelalaiannya tidak pergi rutin
ke dokter. Dan sial, mengapa ia harus diterima masuk ke dalam tim Lakers? Ia
memang tampak hebat, tapi apakah ia tidak berpikir dengan keadaan jantungnya
yang semakin lama semakin hancur? Lemah? Sakit? Sial! Aku butuh waktu untuk
tenang.
***
“Ya
Tuhan! Kenapa harus macet seperti ini?” aku terburu-buru pagi ini untuk pergi
menuju rumah sakit. Tapi lalu lintas tidak mendukungnya. Dari tadi ayahku
mengirimiku pesan bahwa semakin lama jantung Justin semakin lemah. Ya Tuhan,
aku juga merasa seperti itu. Bahkan sekarang sapu tangan yang sedang kupegang
mungkin sekarang dapat diperas, mengeluarkan kembali keringatku.
“Josh!
Sial, lebih baik aku berjalan saja. Berapa blok lagi dari sini?” gertakku.
“Tiga
blok dari sini, lalu belok ke kanan. Di ujung sana maka kau akan mendapatkan
rumah sakit. Berlarilah,” ujar Josh menyuruhku. Aku mengangguk, mengerti.
Kubuka pintu mobil ayahku dan keluar. Ya Tuhan. Telingaku rasanya ingin pecah
sekarang. Bunyi-bunyi klakson menyeruak, masuk ke telingaku. Bapak-bapak
berteriak meminta agar mobilnya dapat bergerak. Mungkin tiga blok dari sini
lalu lintas akan berjalan dengan baik.
Aku
berlari menuju sisi trotoar dan mengeluarkan ponselku. Satu pesan masuk
kembali. Justin meninggal. Sebuah
pesan singkat yang membuat seluruh syaraf dalam tubuhku rasanya putus.
Tiba-tiba saja kakiku melemah dan jantungku juga melemah. Ini benar-benar
..astaga Tuhan. Aku telah meninggalkan Justin selama dua hari dan tidak
mendengarkan suaranya ..lalu sekarang ia telah pergi meninggalkanku. Ayahku
tidak mungkin membohongiku hanya agar aku berlari lebih cepat menuju rumah
sakit. Aku berlari lebih cepat.
Tak
terasa air mataku mengalir saat aku berlari, tanpa memikirkan apa pun selain
Justin. Ya Tuhan, jangan ambil dia. Jangan ambil dia. Jangan ambil dia. Ucapan
doa itu selalu terputar di dalam otakku dan aku berharap agar semua itu
benar-benar terjadi.
*Author POV*
Theo
berlari cepat tanpa berpikir lalu lintas Los Angeles yang padat. Ia telah
melewati dua blok dengan air mata yang terus mengalir. Hatinya sakit. Setelah
ia kehilangan kekasih terbaiknya bahkan kekasih pertamanya, ia telah kehilangan
saudara kembar yang ia cintai. Saudara kembarnya memang telah dipanggil oleh
Tuhan untuk kembali ke rumahNya. Namun tentu saja Theo tidak akan menerima itu.
Ia membutuhkan Justin. Dirinya dan Theo harus saling melengkapi.
Pikirannya
terus berkecamuk. Ia berhenti di pinggir jalan untuk menyeberang. Rumah sakit
telah berada di hadapannya. Rumah sakit, tempat di mana saudara kembarnya telah
dipanggil naik ke surga itu. Ia langsung berlari tanpa melihat kiri-kanan.
Sebuah mobil yang melaju dengan cepat, tidak ada lampu merah di dekat rumah
sakit ini, dan pinggangnya tertabrak dengan kencang. Ia terpental cukup jauh
dari tempatnya.
“Ya
Tuhan!”
“Astaga!”
“Holy
crap!”
“Keren!”
Suara-suara
dari orang-orang yang berada di pinggir jalan tampak terkejut melihat
pemandangan yang cukup tragis. Tubuh Theo terkulai di atas jalan raya dengan
darah yang mengalir di kepalanya yang terbentur keras pada aspal yang keras.
Dua orang lelaki yang melihat kejadian itu langsung berlari ke arah Theo yang
sudah tidak sadarkan diri. Setidaknya, mobil itu mungkin tidak akan merusak
organ tubuhnya atau tulang-tulangnya. Hanya kepalanya.
Dua
orang itu mengangkat tubuh Theo untuk masuk ke dalam rumah sakit yang berada di
hadapan mereka. Para perawat rumah sakit yang keluar-masuk dari rumah sakit
langsung melihat pada Theo yang digendong. Sontak mereka langsung mengeluarkan
tempat tidur beroda dari dalam rumah sakit dan membaringkan Theo di atasnya.
Membawa Theo ke dalam rumah sakit, ke ruang UGD.
***
Sedangkan
di ruangan Justin, Justin telah menutup kehidupannya dengan hembusan nafas
terakhirnya. Wajahnya pucat, banyak orang dari tim Lakers yang datang untuk
menjenguk seorang Justin. Ayahnya tampak putus asa dan menangis. Setelah ia
kehilangan istrinya yang sangat ia cintai, sekarang ia harus kehilangan anak
kembarnya dengan kejadian dan penyakit yang sama. Tapi lebih dari semua itu, ia
benar-benar mengharapkan kedatangan dari anak pertamanya. Anak pendiamnya.
Mengapa lama sekali anak kembarnya yang lain?
Matanya
menatap pada wajah Justin yang pucat pasi di atas tempat tidur. Ia tidak ingin
anaknya di bawa ke ruang mayat sebelum saudara kembarnya hadir. Saudara
kembarnya harus melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Jantung Justin sudah
tidak berdetak lagi. Tidak sama dengan Theo yang berada di ruang UGD, yang
jantungnya masih kuat berdetak. Satu dokter telah menanganinya dengan baik.
Kepalanya memang terbentur dengan kencang, namun sebisa mungkin, Theo bangkit
dan bangun dari ketidaksadarannya. Dalam waktu 30 menit, hanya dalam waktu 30
menit kepala Theo telah diperbaiki. Hanya saja luka-luka di tubuhnya memang
masih harus dibersihkan oleh suster-suster yang memakai sarung tangan karet
dengan kapas basah yang berada di tangan mereka.
Mata
Theo terbuka, namun penglihatannya masih buram. Pikirannya langsung berarah
kepada saudara kembarnya yang telah dipanggil oleh Tuhan. Apa pun yang terjadi,
Theo tidak boleh menangis. Selama ini hanya Justin yang menemaninya. Selama ini
hanya Justin yang dapat membuatnya tertawa. Pikirannya kembali mengenang
segalanya kenangan yang indah bersama Justin sebelum ia mengambil suatu
keputusan yang sangat besar. Tapi ia mematahkan janjinya. Theo mematahkan
janjinya dengan Justin sejak perjalan menuju rumah sakit. Ia menangis. Theo
telah menangis saat ia tahu saudara kembarnya telah hilang dari dunia.
“Tidak
akan ada yang menangis jika satu di antara kita pergi –meninggal—,” kembali
suara masa kecilnya dengan Justin terdengar. Jari kelingking mereka saling
mengait. Berjanji untuk tidak menangis jika salah satu di antara mereka pergi.
Tapi Theo mematahkannya.
“Aku
..aku memiliki saudara kembar di atas sana. Mungkin kalian pernah melihatnya.
Ia meninggal. Ia meninggal, bantu aku untuk menghidupinya. Lakukan
transplantasi jantung dengannya. Ini sama dengan jantungnya, aku kembar.
Lakukan ini untuknya. Jangan banyak membantahnya. Namanya Justin Bieber –“
“Tapi
Anda baru saja mengalami kecelakaan,” salah satu suster membantahnya.
“Aku
tidak peduli jika aku akan mati. Lakukan apa yang kukatakan, aku baik-baik
saja. Semuanya sehat. Aku tidak ingin kehilangan saudara kembarku, aku Theo
Bieber. Saudara kembar—“
“Kami
tahu ruang rawatnya di mana, Mr.Bieber. Kami akan melakukannya. Namun sebelum
itu kami harus mengajukan surat izin dari orang tua Anda,”
“Sial!
Cepat lakukan apa yang harus kaulakukan. Lakukan transpaltasi jantung ini maka
semuanya akan berjalan dengan baik,” suruh Theo kali ini berteriak dan ia
berusaha untuk tidak merasakan denyut yang benar-benar sakit di kepalanya. Ia
memejamkan matanya dengan erat.
Jika
jantungku dapat menghidupkannya kembali, aku akan melakukannya. Aku mencintai
saudara kembarku, aku rela berkorban untuknya. Apa pun, aku lebih mencintai
dirinya dibanding diriku sejak aku kehilangan ibuku. Segalanya akan kuberikan,
jika itu dapat menghidupkannya.
***
“Ya
Tuhan, Theo. Aku tidak mungkin ingin kehilangan satu di antara kalian,” teriak
ayahnya meremas rambutnya dengan frustrasi. Theo telah berada di ruang rawat
inap, pihak rumah sakit telah meminta izin pada ayah Theo, namun ayah Theo
belum mengambil keputusan apa pun.
“Astaga,
ayah. Apa kau tidak berpikir? Jika jantung ini dapat bekerja di dalam tubuh
Justin, itu sama saja kau berbicara denganku ayah. Darahku, detak jantung
Justin berarti sama dengan diriku. Anggap saja, satu tubuh dua kepribadian,”
ujar Theo bersikeras agar jantungnya dapat didonorkan pada saudara kembarnya
yang masih berada di ruang rawat yang lain. Masih belum dibawa ke dalam ruang
mayat.
“Kau
yakin tentang ini Theo?”
“Aku
yakin asal kau tidak akan memberitahu pada Justin bahwa aku adalah pendonor
jantung ini. Kau harus berjanji. Aku tidak ingin melihatnya menangis. Dia sudah
berjanji padaku untuk tidak menangis jika salah satu di antara kami telah
pergi,” ujar Theo dengan penuh kepastian. Ayahnya mengambil nafasnya dan
menghembuskannya. Sontak ayah Theo langsung memeluk Theo. Pelukan terakhirnya.
Ia tahu, setelah ini ia tidak akan pernah melihat anaknya yang pendiam dan
bijak. Ia tidak akan pernah melihat lagi anaknya yang sering bermain piano.
Tidak akan ada lagi.
“Aku
mencintaimu, Theo. Ayah selalu mencintaimu,”
“Aku
tahu, aku mencintaimu. Ayo, mari kita lakukan ini. Untuk Justin,” bisik Theo
menarik nafasnya. Tubuhnya adalah tubuh Justin. Dan jantungnya adalah jantung
Justin. Di setiap detak jantung yang akan berdetak nantinya, Justin akan selalu
merasakan Theo di dalam sana. Di mana akan ada music yang akan mengalir dalam
tubuh Justin.
***
Ayah
Justin, Joseph, Josh, dan Christian juga dengan pemain tim Lakers yang tersisa
di ruang tunggu, sedang menunggu Justin dan Theo yang berada di dalam ruang
operasi. Waktu demi waktu mereka menunggu. Ayah
Bieber kembar ini benar-benar khawatir. Bagaimana jika pendonoran
jantung ini tidak berhasil? Sudah setengah hari ini mereka menunggu dokter
keluar dari ruang operasi. Tapi tak ada satu pun mereka yang keluar.
Dokter-dokter di sana sedang bekerja keras untuk membangkitkan kembali Justin
yang telah meninggal selama kurang lebih satu jam sebelum kedatangan Theo.
Jantung ayah Theo berhenti tiap kali beberapa suster keluar dengan sarung
tangan penuh dengan darah. Begitu juga yang lain saat melihat suster-suster itu
keluar. Semuanya tampak sibuk.
Semuanya
telah bekerja di dalam sana. Tinggal satu. Mereka semua yang menunggu di dalam
ruang tunggu itu membisikan ucapan doa dalam pikiran dan hati mereka. Hanya
butuh dari izin Tuhan maka semuanya akan terjadi. Jam demi jam berlalu, satu
per satu orang mulai gugur dari ruang tunggu. Hanya tinggal Christian dan ayah
Justin yang sedang menunggu. Joseph dan Josh harus membeli makanan dari luar.
Malam
menjelang, tiga orang dokter telah keluar dengan wajah yang puas. Mereka telah
berhasil melakukannya. Mereka telah kembali menghidupkan Justin, namun Theo
telah pergi. Ia telah pergi, meninggalkan segalanya. Kepahitan hatinya terhadap
Taylor yang telah mengecewakannya dan patah hatinya terhadap Justin yang sempat
meninggalkannya. Namun semuanya terlihat begitu sepadan dengan apa yang
dirasakan Theo. Theo tidak ingin sakit hatinya berkelanjutan. Bukan berarti ia
takut kepada ketakutan. Tapi ia tidak ingin tiap harinya meratapi kehidupannya
tanpa pelengkapnya. Tanpa Justin yang selalu melengkapinya. Setidaknya, jantung
yang telah ia persembahkan pada Justin akan selalu melengkapi Justin tanpa
dalam bentuk fisik tapi itu nyata dari dalam tubuh Justin. Justin telah
terlengkapi dengan sendirinya.
Ayah
Justin berdiri dengan wajah yang pucat.
“Bagaimana?”
“Justin
kembali lagi ke dunia. Theo telah pergi selamanya,”
“Ya
Tuhan,” kejut Christian tak percaya.
***
Theodore
Drew Bieber telah pergi meninggalkan Justin Drew Bieber dengan meninggalkan
satu-satunya sumber kehidupan bagi Justin. Jantungnya. Ia memberikan jantungnya
dan meninggalkan segala kenangan buruknya di dunia. Ia telah tenang di dalam
tanah dan pergi ke surga untuk selamanya. Makamnya terlihat begitu rapi,
pendeta telah pergi dari makamnya. Theo dikubur di Los Angeles, tapi tentu saja
Justin tidak akan pernah mengetahui kepergian saudara kembarnya sebelum ayahnya
memberitahunya.
Tapi
setidaknya, Justin kembali hidup dengan jantung yang sehat dan bekerja dengan
baik. Jantung dari saudara kembarnya yang berdetak berirama seperti music yang
akan mengalir di tubuhnya. Justin akan segera mencintai music, Theo telah
menjanjikan itu.
Theodore
Bieber telah masuk ke dalam tubuh Justin Bieber, selamanya.
***
Segalanya
tampak begitu berbeda. Matanya terbuka dengan cepat, ia mengerjap-kerjapkan
matanya. Warna mata yang begitu indah terlihat sekarang. Detak jantungnya
berdegup begitu teratur. Tiap detakannya ia merasakan sesuatu yang berbeda.
Kepalanya tidak terasa pusing atau merasakan apa pun yang menyakitkan tubuhnya.
Namun tiap detak jantungnya, telinganya begitu sakit. Sakit karena tiap suara
yang masuk ke dalam telinganya terasa begitu indah. Tidak, ini bukan dirinya. Ia
tidak pernah merasakan tubuh sesehat ini.
Matanya
melihat ke arah segalanya. Ruangan putih yang terasa begitu bau dengan
obat-obatan. Tangannya terinfus dengan sempurna. Ia mencoba untuk bangkit dari
tempat tidurnya agar ia terduduk dengan sempurna. Ini bukan dirinya. Setiap
gerakan yang ia buat, ia merasa begitu aneh. Ia mengerjapkan matanya
berkali-kali, sekali lagi. Ia berada di rumah sakit, tentunya. Tiba-tiba saja
seornag suster dengan seragamnya masuk ke dalam ruangan lelaki yang memiliki
kembaran atau lebih tepatnya baru saja kehilangan saudara kembarnya selama
beberapa hari terakhir.
“Mr.
Bieber?” kejut suster itu menghampiri Justin yang melihat suster itu dengan
bingung.
“Di
mana keluargaku? Apa mereka datang?” tanya Justin langsung mempertanyakan
keberadaan ayahnya, atau lebih tepatnya ia mengharapkan kedatangan dari Theo.
Tapi kenyataannya, Theo telah datang sebelum ia membuka matanya. Namun ia telah
pergi juga sebelum ia membukanya. Setidaknya, sekarang, jantung Theo sedang berdetak
dalam tubuhnya.
“Kami
harus memeriksa Anda terlebih dahulu, Mr.Bieber,” ujar suster itu keluar dari
ruangannya.
*Justin Bieber POV*
Detak
jantungku. Aku merasa terlahir kembali. Sial, apa Theo sudah tahu kalau aku
masuk rumah sakit? Pasti ia sudah tahu. Dan mengapa ia tidak menungguiku selama
di rumah sakit? Atau ia telah datang namun ia pergi untuk sementara? Astaga,
rasanya aku merasa kehilangan sesuatu namun aku juga merasakan sesuatu yang
baru dalam tubuhku. Ini ..ini bukan sepenuhnya diriku. Hanya saja, tiap kali
jantungku berdetak rasanya ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan tenang,
lembut, dan diam di sini. Seakan-akan aku bisa memiliki dua kepribadian.
Nafasku teratur, tidak seperti dulu.
Ya
Tuhan, mengapa rasanya begitu berbeda? Pintuku kembali terbuka dan aku melihat
ayahku dan Christian yang muncul dengan pakaian mereka yang begitu rapi. Senyum
ayahku terlihat begitu bahagia saat melihatku. Ada apa sebenarnya? Apa aku
melewatkan sesuatu sejak aku tidak sadarkan diri? Tentu saja! Tapi untuk berapa
lama? Ayah menghampiriku dan memegang tanganku yang terasa dingin.
“Justin,
bagaimana perasaanmu?”
“Sudah
berapa lama aku berada di sini?”
“Satu
minggu, kau mengalami koma—“
“Di
mana Theo?” aku langsung memotong ucapan ayahku. Aku benar-benar ingin bertemu
dengan Theo. Tapi aku tidak merasakan keberadaannya sekarang. Semuanya terasa
hilang namun hanya ada satu hal yang dapat mengisi segala kekosongan, segala
kehilanganku. Tapi aku tidak tahu itu apa. Sial, apa Theo baik-baik saja? Kuharap
ia tidak begitu khawatir dengan keadaanku. Aku butuh ponselku. Ayahku terdiam
sejenak, kulihat wajah Christian yang tiba-tiba saja memucat. Ada apa?
“Beberapa
hari yang lalu ia datang ke sini untuk menjengukmu, nak. Tapi kau belum bangun,
ia memiliki banyak tugas yang harus ia kerjakan, ia sibuk. Kau harus mengerti,”
“Tapi
kita bersaudara. Kembar pula. Mengapa ia tidak ingin menungguku sampai aku
bangun? Tidak seperti biasanya. Biasanya ia akan begitu khawatir jika ia tahu
aku masuk rumah sakit. Mungkin jika ia berada di sini, ia pasti akan
memarahiku. Sudah dua hari aku tidak mendengarnya, ditambah lagi aku tidak
bangun selama seminggu. Aku ingin mendengar suaranya,” jelasku, keringatku
tiba-tiba saja mengalir. Astaga, mengapa rasanya aku ingin menangis? Aku butuh
Theo, dia pelengkapku. Sepolos apa pun ia tentang cinta, ia masih tetap
saudaraku. Sekalem apa pun Theo, ia adalah pelengkapku. Astaga, mengapa rasanya
aku kehilangan dirinya? Ayahku dan Christian terdiam, lama berada di dalam
keheningan, seorang suster masuk kembali bersama dengan seorang dokter berwajah
Prancis. Hidungnya benar-benar mancung, sial. Aku iri.
“Hello,
Mr. Bieber. Bagaimana kabarmu hari ini? Saya Douglas yang akan memeriksa Anda,”
“Aku
ingin bertemu dengan Theo,” ujarku bersikeras ingin bertemu dengan Theo.
“Justin,
kau harus tenangkan dirimu. Theo baik-baik saja,” tukas ayahku mulai kesal
dengan tingkahku. Aku menyerah. Tapi aku ingin bertemu dengan Theo setelah ini.
Ada perasaan yang mengganjal pada perasaanku sekarang.
***
*Taylor Pulmer POV*
Aku tidak bisa tinggal di New York. Segalanya
telah berubah. Theo telah meninggalkanku. Aku memang mencintai Justin, aku
memendam rasa padanya. Tapi lelaki pertama yang benar-benar kucintai adalah Theo, dia adalah orang pertama yang percaya
padaku. Cintanya padaku tidak main-main. Ia menyadarkanku akan cinta yang
sebenarnya. Selama satu minggu ini aku sudah tidak melihat Theo lagi. Aku
mendatangi rumahnya, tapi kata pelayan di sana, Theo harus pergi ke LA. Tapi ia
tidak kembali-kembali lagi. Mengapa? Ini semua jelas adalah salahku. Aku yang
telah membuatnya kecewa terhadapku. Segala perjalananku di New York itu
dibumbui oleh cinta dari Theo. Ia benar-benar mencintaiku, tapi aku
mengabaikannya. Aku benar-benar bodoh.
Setelah
aku menyadari betapa besarnya cintanya padaku, aku sangat menyesal. Aku lebih
memilih Justin yang memang lelaki pertama kusukai pada pandangan pertama
dibanding dengan Theo yang mencintaiku apa adanya. Ia percaya padaku. Tapi aku
merasa kepercayaannya terhadapku. Aku menyimpan rahasia padanya. Ketakutan
terbesarku adalah jika aku kehilangan Theo melalui Justin. Semua ini sangat
susah sekali untuk dijelaskan. Tidak akan ada yang dapat mengerti perasaan ini
selain diriku. Kuharap daerah LA yang ayah maksud, bukanlah daerah di mana Theo
berada. Aku benar-benar tidak mengetahui keberadaannya. Ia tidak menghubungiku.
Pesawatku
akan berangkat kira-kira 2 jam lagi. Pakaianku telah rapi di dalam koper.
Caitlin ikut denganku. Kami akan membuka kehidupan yang baru di LA nanti.
Segala kenangan kami yang berada di New York akan kami hapus dalam pikiran
kami. Aku tidak akan pernah menyalahkan Caitlin tentang ia memberitahu
kebohonganku pada Theo. Sebesar apa pun rahasia yang kubuat, pada akhirnyapun
akan terungkap juga dengan sendirinya.
“Kau
sudah siap?” tanyaku pada Caitlin yang masih mengikat rambutnya menjadi satu.
Ia memakai pakaian yang begitu rapi. Segalanya berwarna ungu. Setelah ia
mengikat rambutnya, ia berbalik padaku. Mengambil koper yang berada di
sebelahnya, ia melangkah ke arahku. Kami akan meninggalkan apartemen ini.
“Jika
kau siap,” ujarnya, tersenyum padaku. Baiklah, LA, kami datang!
***
*Author POV*
“Aaa!
Ini punyaku!” teriak anak lelaki berumur 2 tahun itu sambil terduduk di atas
lantai.
“Tidak,
punyaku!” teriak anak lelaki yang lain
dengan umur yang sama. Mereka sedang merebut mainan mereka yang paling mereka
suka. Namun tidak ada satu di antara mereka ingin mengalah. Boneka beruang
berwarna ungu itu tampak menggemaskan dengan aroma strawberry. Boneka dari film
kesukaan mereka –Toy Story—membuat mereka gemas untuk memainkannya. Ayahnya
terus merekam pertengkaran mereka yang saling memukul kepala botak mereka.
Ibunya tertawa melihat tingkah mereka. Mata biru dari Justin mulai
berkaca-kaca. Theo yang memiliki mata abu-abu itu telah memeluk boneka yang
sebesar tubuhnya itu dengan erat.
Marah,
Justin langsung memukul kepala botak milik Theo. Theo terkejut, matanya
membulat, bibir bawahnya mulai cemberut, matanya berkaca-kaca kemudian ia
berteriak. Menangis.
“Punyaku!”
teriak Justin langsung merebut boneka beruang itu dari Theo yang masih menangis
akibat pukulan dari Justin yang kencang. Ayah dan ibunya langsung tertawa-tawa,
namun ibunya langsung menggendong Theo.
“Justin,”
tegur ibunya masih tertawa.
Justin
tertawa melihat video masa kecilnya bersama dengan Theo yang direkam oleh
ayahnya. Semuanya telah berada dalam sebuah kaset masa kecilnya yang dibuat
oleh orang tuanya. Sudah banyak video masa kecilnya yang telah ia lihat. Laptop
milik ayahnya terus memutar video dari masa kecilnya hingga ia remaja kemudian
kembali ke masa kecilnya lagi. Justin menutup laptop ayahnya dan mengambil
nafas dalam-dalam. Ayahnya bilang Theo tidak dapat menghubunginya. Justin akan
menunggunya, ayahnya tidak memberikan Justin ponsel untuk sementara ini. Ketakutan
terbesar ayah Justin adalah jika ayah Justin merusak janjinya terhadap Theo
yang telah tenang di surga sana.
Setidaknya
untuk sekarang ini, Justin masih bisa diam dengan video yang diberikan oleh
ayahnya. Christian duduk di atas sofa sambil berbicara dengan Caitlin yang
ternyata sudah sampai di LA.
“Aku
akan datang satu jam lagi. Kalian ..berkelilinglah di bandara selama mungkin.
Aku akan datang secepatnya,” ujar Christian langsung menutup ponselnya.Ia
bangkit dari sofa dan melihat pada Justin yang sedang berbicara dengan ayahnya
mengenai teman-temannya di tim Lakers.
“Aku
harus menjemput Caitlin,” ujar Christian.
“Oh?”
kaget Justin yang kepalanya langsung menoleh pada Christian, “apa Pokerface
juga ikut?” tanya Justin. Justin tidak sama sekali tahu mengenai ini. Dia tidak
tahu bahwa Beep adalah mantan kekasih dari kakaknya. Kakaknya yang telah
disakiti hatinya oleh Beep. Christian terdiam sejenak, Christian juga bahkan
tidak tahu kalau Beep telah memiliki kekasih. Kecuali Caitlin, tentunya.
“Tentu
saja. Mereka pindah ke sini,”
“Oh?
Dan di mana mereka akan tinggal?”
“Di
sebuah apartemen yang telah kusewa,” jelas Christian yang tangannya mulai
menyentuh gagang pintu ruang rawat Justin. Justin menganggukan kepalanya dan
mengangguk.
“Kupikir
lebih baik jika Pokerface dan Caitlin tinggal di rumahku. Masih ada tempat
untuk mereka, tapi aku tidak akan memaksa,” ujar Justin menyarankan. Christian
tidak terkejut sama sekali, justru menurutnya itu adalah saran yang sangat
bagus.
“Aku
akan bertanya pada mereka. Terima kasih sebelumnya,”
“Kapan
saja,” bisik Justin merasa senang. Jika Pokerface akan datang ke LA, berarti
Justin akan bertemu dengannya secara langsung. Ia menyukai Pokerface sejak 7
bulan yang lalu. Ia benar-benar menyukai suara Pokerface. Meski sesekali ia
bingung jika Caitlin memanggilnya Beep, itu mengingatkannya pada kekasih
saudara kembarnya. Tapi ia berharap itu bukanlah kekasih dari kakak kembarnya.
“Ya Tuhan!”
BalasHapus“Astaga!”
“Holy crap!”
“Keren!”
kocak bagian itu. udah sedih2 gara2 theo ketabrak, eh malah ada yang bilang keren -.-
oh iya, 1 blok itu seberapa jauh sih?