Jumat, 02 Agustus 2013

Fight for Love Bab 4



***

            Aku mendapatkan tiga pesan dari Beep dan satu pesan dari ayahku. Tapi aku membuka pesan dari ayahku terlebih dahulu. Justin, aku berada di LA sekarang. Aku telah mengirimimu pesawatku untuk menjemputmu datang ke LA tengah malam ini, Josh akan datang. Justin membutuhkanmu, nak. Itu isinya. Tentu saja aku akan datang. Saudara kembarku benar-benar membuatku khawatir dan ingin mati sekarang. Aku terduduk di atas tempat tidurku dan membuka pesan pertama dari Beep.
            1: Maaf telah membuatmu kecewa. Dan maaf jika aku sudah tidak dapat kaupercayai lagi.
            2: Aku mencintaimu, maaf telah berbohong tentang saudara kembarmu.
            3: Sial, Theo. Aku benar-benar minta maaf dengan segala yang kesalahan yang pernah kubuat padamu. Ini semua memang salahku. Aku tidak pernah membicarakan ini padamu dan merahasiakan tentang saudara kembarmu. Tapi dari semuanya yang ingin kuberitahu padamu, Theo, aku mencintaimu.
            Omong kosong. Apa pun yang ia katakan, aku tidak peduli. Melempar ponselku ke atas tempat tidur, aku bangkit dan berjalan menuju lemari pakaian untuk merapikan pakaianku. Apa yang terjadi pada Justin? Dia mengalami kritis dan aku tidak merasakan apa-apa sejak kemarin. Kecuali saat ayahku mengirimi pesan tentang Justin mengalami kritis. Aku berkeringat. Mungkin jika ia bangun dari tempat tidurnya, aku akan langsung memarahinya karena kelalaiannya tidak pergi rutin ke dokter. Dan sial, mengapa ia harus diterima masuk ke dalam tim Lakers? Ia memang tampak hebat, tapi apakah ia tidak berpikir dengan keadaan jantungnya yang semakin lama semakin hancur? Lemah? Sakit? Sial! Aku butuh waktu untuk tenang.

***

            “Ya Tuhan! Kenapa harus macet seperti ini?” aku terburu-buru pagi ini untuk pergi menuju rumah sakit. Tapi lalu lintas tidak mendukungnya. Dari tadi ayahku mengirimiku pesan bahwa semakin lama jantung Justin semakin lemah. Ya Tuhan, aku juga merasa seperti itu. Bahkan sekarang sapu tangan yang sedang kupegang mungkin sekarang dapat diperas, mengeluarkan kembali keringatku.
            “Josh! Sial, lebih baik aku berjalan saja. Berapa blok lagi dari sini?” gertakku.
            “Tiga blok dari sini, lalu belok ke kanan. Di ujung sana maka kau akan mendapatkan rumah sakit. Berlarilah,” ujar Josh menyuruhku. Aku mengangguk, mengerti. Kubuka pintu mobil ayahku dan keluar. Ya Tuhan. Telingaku rasanya ingin pecah sekarang. Bunyi-bunyi klakson menyeruak, masuk ke telingaku. Bapak-bapak berteriak meminta agar mobilnya dapat bergerak. Mungkin tiga blok dari sini lalu lintas akan berjalan dengan baik.
            Aku berlari menuju sisi trotoar dan mengeluarkan ponselku. Satu pesan masuk kembali. Justin meninggal. Sebuah pesan singkat yang membuat seluruh syaraf dalam tubuhku rasanya putus. Tiba-tiba saja kakiku melemah dan jantungku juga melemah. Ini benar-benar ..astaga Tuhan. Aku telah meninggalkan Justin selama dua hari dan tidak mendengarkan suaranya ..lalu sekarang ia telah pergi meninggalkanku. Ayahku tidak mungkin membohongiku hanya agar aku berlari lebih cepat menuju rumah sakit. Aku berlari lebih cepat.
            Tak terasa air mataku mengalir saat aku berlari, tanpa memikirkan apa pun selain Justin. Ya Tuhan, jangan ambil dia. Jangan ambil dia. Jangan ambil dia. Ucapan doa itu selalu terputar di dalam otakku dan aku berharap agar semua itu benar-benar terjadi.

*Author POV*

            Theo berlari cepat tanpa berpikir lalu lintas Los Angeles yang padat. Ia telah melewati dua blok dengan air mata yang terus mengalir. Hatinya sakit. Setelah ia kehilangan kekasih terbaiknya bahkan kekasih pertamanya, ia telah kehilangan saudara kembar yang ia cintai. Saudara kembarnya memang telah dipanggil oleh Tuhan untuk kembali ke rumahNya. Namun tentu saja Theo tidak akan menerima itu. Ia membutuhkan Justin. Dirinya dan Theo harus saling melengkapi.
            Pikirannya terus berkecamuk. Ia berhenti di pinggir jalan untuk menyeberang. Rumah sakit telah berada di hadapannya. Rumah sakit, tempat di mana saudara kembarnya telah dipanggil naik ke surga itu. Ia langsung berlari tanpa melihat kiri-kanan. Sebuah mobil yang melaju dengan cepat, tidak ada lampu merah di dekat rumah sakit ini, dan pinggangnya tertabrak dengan kencang. Ia terpental cukup jauh dari tempatnya.
            “Ya Tuhan!”
            “Astaga!”
            “Holy crap!”
            “Keren!”

            Suara-suara dari orang-orang yang berada di pinggir jalan tampak terkejut melihat pemandangan yang cukup tragis. Tubuh Theo terkulai di atas jalan raya dengan darah yang mengalir di kepalanya yang terbentur keras pada aspal yang keras. Dua orang lelaki yang melihat kejadian itu langsung berlari ke arah Theo yang sudah tidak sadarkan diri. Setidaknya, mobil itu mungkin tidak akan merusak organ tubuhnya atau tulang-tulangnya. Hanya kepalanya.
            Dua orang itu mengangkat tubuh Theo untuk masuk ke dalam rumah sakit yang berada di hadapan mereka. Para perawat rumah sakit yang keluar-masuk dari rumah sakit langsung melihat pada Theo yang digendong. Sontak mereka langsung mengeluarkan tempat tidur beroda dari dalam rumah sakit dan membaringkan Theo di atasnya. Membawa Theo ke dalam rumah sakit, ke ruang UGD.

***

            Sedangkan di ruangan Justin, Justin telah menutup kehidupannya dengan hembusan nafas terakhirnya. Wajahnya pucat, banyak orang dari tim Lakers yang datang untuk menjenguk seorang Justin. Ayahnya tampak putus asa dan menangis. Setelah ia kehilangan istrinya yang sangat ia cintai, sekarang ia harus kehilangan anak kembarnya dengan kejadian dan penyakit yang sama. Tapi lebih dari semua itu, ia benar-benar mengharapkan kedatangan dari anak pertamanya. Anak pendiamnya. Mengapa lama sekali anak kembarnya yang lain?
            Matanya menatap pada wajah Justin yang pucat pasi di atas tempat tidur. Ia tidak ingin anaknya di bawa ke ruang mayat sebelum saudara kembarnya hadir. Saudara kembarnya harus melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Jantung Justin sudah tidak berdetak lagi. Tidak sama dengan Theo yang berada di ruang UGD, yang jantungnya masih kuat berdetak. Satu dokter telah menanganinya dengan baik. Kepalanya memang terbentur dengan kencang, namun sebisa mungkin, Theo bangkit dan bangun dari ketidaksadarannya. Dalam waktu 30 menit, hanya dalam waktu 30 menit kepala Theo telah diperbaiki. Hanya saja luka-luka di tubuhnya memang masih harus dibersihkan oleh suster-suster yang memakai sarung tangan karet dengan kapas basah yang berada di tangan mereka.
            Mata Theo terbuka, namun penglihatannya masih buram. Pikirannya langsung berarah kepada saudara kembarnya yang telah dipanggil oleh Tuhan. Apa pun yang terjadi, Theo tidak boleh menangis. Selama ini hanya Justin yang menemaninya. Selama ini hanya Justin yang dapat membuatnya tertawa. Pikirannya kembali mengenang segalanya kenangan yang indah bersama Justin sebelum ia mengambil suatu keputusan yang sangat besar. Tapi ia mematahkan janjinya. Theo mematahkan janjinya dengan Justin sejak perjalan menuju rumah sakit. Ia menangis. Theo telah menangis saat ia tahu saudara kembarnya telah hilang dari dunia.
            “Tidak akan ada yang menangis jika satu di antara kita pergi –meninggal—,” kembali suara masa kecilnya dengan Justin terdengar. Jari kelingking mereka saling mengait. Berjanji untuk tidak menangis jika salah satu di antara mereka pergi. Tapi Theo mematahkannya.
            “Aku ..aku memiliki saudara kembar di atas sana. Mungkin kalian pernah melihatnya. Ia meninggal. Ia meninggal, bantu aku untuk menghidupinya. Lakukan transplantasi jantung dengannya. Ini sama dengan jantungnya, aku kembar. Lakukan ini untuknya. Jangan banyak membantahnya. Namanya Justin Bieber –“
            “Tapi Anda baru saja mengalami kecelakaan,” salah satu suster membantahnya.
            “Aku tidak peduli jika aku akan mati. Lakukan apa yang kukatakan, aku baik-baik saja. Semuanya sehat. Aku tidak ingin kehilangan saudara kembarku, aku Theo Bieber. Saudara kembar—“
            “Kami tahu ruang rawatnya di mana, Mr.Bieber. Kami akan melakukannya. Namun sebelum itu kami harus mengajukan surat izin dari orang tua Anda,”
            “Sial! Cepat lakukan apa yang harus kaulakukan. Lakukan transpaltasi jantung ini maka semuanya akan berjalan dengan baik,” suruh Theo kali ini berteriak dan ia berusaha untuk tidak merasakan denyut yang benar-benar sakit di kepalanya. Ia memejamkan matanya dengan erat.
            Jika jantungku dapat menghidupkannya kembali, aku akan melakukannya. Aku mencintai saudara kembarku, aku rela berkorban untuknya. Apa pun, aku lebih mencintai dirinya dibanding diriku sejak aku kehilangan ibuku. Segalanya akan kuberikan, jika itu dapat menghidupkannya.

***

            “Ya Tuhan, Theo. Aku tidak mungkin ingin kehilangan satu di antara kalian,” teriak ayahnya meremas rambutnya dengan frustrasi. Theo telah berada di ruang rawat inap, pihak rumah sakit telah meminta izin pada ayah Theo, namun ayah Theo belum mengambil keputusan apa pun.
            “Astaga, ayah. Apa kau tidak berpikir? Jika jantung ini dapat bekerja di dalam tubuh Justin, itu sama saja kau berbicara denganku ayah. Darahku, detak jantung Justin berarti sama dengan diriku. Anggap saja, satu tubuh dua kepribadian,” ujar Theo bersikeras agar jantungnya dapat didonorkan pada saudara kembarnya yang masih berada di ruang rawat yang lain. Masih belum dibawa ke dalam ruang mayat.
            “Kau yakin tentang ini Theo?”
            “Aku yakin asal kau tidak akan memberitahu pada Justin bahwa aku adalah pendonor jantung ini. Kau harus berjanji. Aku tidak ingin melihatnya menangis. Dia sudah berjanji padaku untuk tidak menangis jika salah satu di antara kami telah pergi,” ujar Theo dengan penuh kepastian. Ayahnya mengambil nafasnya dan menghembuskannya. Sontak ayah Theo langsung memeluk Theo. Pelukan terakhirnya. Ia tahu, setelah ini ia tidak akan pernah melihat anaknya yang pendiam dan bijak. Ia tidak akan pernah melihat lagi anaknya yang sering bermain piano. Tidak akan ada lagi.
            “Aku mencintaimu, Theo. Ayah selalu mencintaimu,”
            “Aku tahu, aku mencintaimu. Ayo, mari kita lakukan ini. Untuk Justin,” bisik Theo menarik nafasnya. Tubuhnya adalah tubuh Justin. Dan jantungnya adalah jantung Justin. Di setiap detak jantung yang akan berdetak nantinya, Justin akan selalu merasakan Theo di dalam sana. Di mana akan ada music yang akan mengalir dalam tubuh Justin.

***

            Ayah Justin, Joseph, Josh, dan Christian juga dengan pemain tim Lakers yang tersisa di ruang tunggu, sedang menunggu Justin dan Theo yang berada di dalam ruang operasi. Waktu demi waktu mereka menunggu. Ayah  Bieber kembar ini benar-benar khawatir. Bagaimana jika pendonoran jantung ini tidak berhasil? Sudah setengah hari ini mereka menunggu dokter keluar dari ruang operasi. Tapi tak ada satu pun mereka yang keluar. Dokter-dokter di sana sedang bekerja keras untuk membangkitkan kembali Justin yang telah meninggal selama kurang lebih satu jam sebelum kedatangan Theo. Jantung ayah Theo berhenti tiap kali beberapa suster keluar dengan sarung tangan penuh dengan darah. Begitu juga yang lain saat melihat suster-suster itu keluar. Semuanya tampak sibuk.
            Semuanya telah bekerja di dalam sana. Tinggal satu. Mereka semua yang menunggu di dalam ruang tunggu itu membisikan ucapan doa dalam pikiran dan hati mereka. Hanya butuh dari izin Tuhan maka semuanya akan terjadi. Jam demi jam berlalu, satu per satu orang mulai gugur dari ruang tunggu. Hanya tinggal Christian dan ayah Justin yang sedang menunggu. Joseph dan Josh harus membeli makanan dari luar.
            Malam menjelang, tiga orang dokter telah keluar dengan wajah yang puas. Mereka telah berhasil melakukannya. Mereka telah kembali menghidupkan Justin, namun Theo telah pergi. Ia telah pergi, meninggalkan segalanya. Kepahitan hatinya terhadap Taylor yang telah mengecewakannya dan patah hatinya terhadap Justin yang sempat meninggalkannya. Namun semuanya terlihat begitu sepadan dengan apa yang dirasakan Theo. Theo tidak ingin sakit hatinya berkelanjutan. Bukan berarti ia takut kepada ketakutan. Tapi ia tidak ingin tiap harinya meratapi kehidupannya tanpa pelengkapnya. Tanpa Justin yang selalu melengkapinya. Setidaknya, jantung yang telah ia persembahkan pada Justin akan selalu melengkapi Justin tanpa dalam bentuk fisik tapi itu nyata dari dalam tubuh Justin. Justin telah terlengkapi dengan sendirinya.
            Ayah Justin berdiri dengan wajah yang pucat.
            “Bagaimana?”
            “Justin kembali lagi ke dunia. Theo telah pergi selamanya,”
            “Ya Tuhan,” kejut Christian tak percaya.

***

            Theodore Drew Bieber telah pergi meninggalkan Justin Drew Bieber dengan meninggalkan satu-satunya sumber kehidupan bagi Justin. Jantungnya. Ia memberikan jantungnya dan meninggalkan segala kenangan buruknya di dunia. Ia telah tenang di dalam tanah dan pergi ke surga untuk selamanya. Makamnya terlihat begitu rapi, pendeta telah pergi dari makamnya. Theo dikubur di Los Angeles, tapi tentu saja Justin tidak akan pernah mengetahui kepergian saudara kembarnya sebelum ayahnya memberitahunya.
            Tapi setidaknya, Justin kembali hidup dengan jantung yang sehat dan bekerja dengan baik. Jantung dari saudara kembarnya yang berdetak berirama seperti music yang akan mengalir di tubuhnya. Justin akan segera mencintai music, Theo telah menjanjikan itu.
            Theodore Bieber telah masuk ke dalam tubuh Justin Bieber, selamanya.
***

            Segalanya tampak begitu berbeda. Matanya terbuka dengan cepat, ia mengerjap-kerjapkan matanya. Warna mata yang begitu indah terlihat sekarang. Detak jantungnya berdegup begitu teratur. Tiap detakannya ia merasakan sesuatu yang berbeda. Kepalanya tidak terasa pusing atau merasakan apa pun yang menyakitkan tubuhnya. Namun tiap detak jantungnya, telinganya begitu sakit. Sakit karena tiap suara yang masuk ke dalam telinganya terasa begitu indah. Tidak, ini bukan dirinya. Ia tidak pernah merasakan tubuh sesehat ini.
            Matanya melihat ke arah segalanya. Ruangan putih yang terasa begitu bau dengan obat-obatan. Tangannya terinfus dengan sempurna. Ia mencoba untuk bangkit dari tempat tidurnya agar ia terduduk dengan sempurna. Ini bukan dirinya. Setiap gerakan yang ia buat, ia merasa begitu aneh. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, sekali lagi. Ia berada di rumah sakit, tentunya. Tiba-tiba saja seornag suster dengan seragamnya masuk ke dalam ruangan lelaki yang memiliki kembaran atau lebih tepatnya baru saja kehilangan saudara kembarnya selama beberapa hari terakhir.
            “Mr. Bieber?” kejut suster itu menghampiri Justin yang melihat suster itu dengan bingung.
            “Di mana keluargaku? Apa mereka datang?” tanya Justin langsung mempertanyakan keberadaan ayahnya, atau lebih tepatnya ia mengharapkan kedatangan dari Theo. Tapi kenyataannya, Theo telah datang sebelum ia membuka matanya. Namun ia telah pergi juga sebelum ia membukanya. Setidaknya, sekarang, jantung Theo sedang berdetak dalam tubuhnya.
            “Kami harus memeriksa Anda terlebih dahulu, Mr.Bieber,” ujar suster itu keluar dari ruangannya.

*Justin Bieber POV*

            Detak jantungku. Aku merasa terlahir kembali. Sial, apa Theo sudah tahu kalau aku masuk rumah sakit? Pasti ia sudah tahu. Dan mengapa ia tidak menungguiku selama di rumah sakit? Atau ia telah datang namun ia pergi untuk sementara? Astaga, rasanya aku merasa kehilangan sesuatu namun aku juga merasakan sesuatu yang baru dalam tubuhku. Ini ..ini bukan sepenuhnya diriku. Hanya saja, tiap kali jantungku berdetak rasanya ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan tenang, lembut, dan diam di sini. Seakan-akan aku bisa memiliki dua kepribadian. Nafasku teratur, tidak seperti dulu.
            Ya Tuhan, mengapa rasanya begitu berbeda? Pintuku kembali terbuka dan aku melihat ayahku dan Christian yang muncul dengan pakaian mereka yang begitu rapi. Senyum ayahku terlihat begitu bahagia saat melihatku. Ada apa sebenarnya? Apa aku melewatkan sesuatu sejak aku tidak sadarkan diri? Tentu saja! Tapi untuk berapa lama? Ayah menghampiriku dan memegang tanganku yang terasa dingin.
            “Justin, bagaimana perasaanmu?”
            “Sudah berapa lama aku berada di sini?”
            “Satu minggu, kau mengalami koma—“
            “Di mana Theo?” aku langsung memotong ucapan ayahku. Aku benar-benar ingin bertemu dengan Theo. Tapi aku tidak merasakan keberadaannya sekarang. Semuanya terasa hilang namun hanya ada satu hal yang dapat mengisi segala kekosongan, segala kehilanganku. Tapi aku tidak tahu itu apa. Sial, apa Theo baik-baik saja? Kuharap ia tidak begitu khawatir dengan keadaanku. Aku butuh ponselku. Ayahku terdiam sejenak, kulihat wajah Christian yang tiba-tiba saja memucat. Ada apa?
            “Beberapa hari yang lalu ia datang ke sini untuk menjengukmu, nak. Tapi kau belum bangun, ia memiliki banyak tugas yang harus ia kerjakan, ia sibuk. Kau harus mengerti,”
            “Tapi kita bersaudara. Kembar pula. Mengapa ia tidak ingin menungguku sampai aku bangun? Tidak seperti biasanya. Biasanya ia akan begitu khawatir jika ia tahu aku masuk rumah sakit. Mungkin jika ia berada di sini, ia pasti akan memarahiku. Sudah dua hari aku tidak mendengarnya, ditambah lagi aku tidak bangun selama seminggu. Aku ingin mendengar suaranya,” jelasku, keringatku tiba-tiba saja mengalir. Astaga, mengapa rasanya aku ingin menangis? Aku butuh Theo, dia pelengkapku. Sepolos apa pun ia tentang cinta, ia masih tetap saudaraku. Sekalem apa pun Theo, ia adalah pelengkapku. Astaga, mengapa rasanya aku kehilangan dirinya? Ayahku dan Christian terdiam, lama berada di dalam keheningan, seorang suster masuk kembali bersama dengan seorang dokter berwajah Prancis. Hidungnya benar-benar mancung, sial. Aku iri.
            “Hello, Mr. Bieber. Bagaimana kabarmu hari ini? Saya Douglas yang akan memeriksa Anda,”
            “Aku ingin bertemu dengan Theo,” ujarku bersikeras ingin bertemu dengan Theo.
            “Justin, kau harus tenangkan dirimu. Theo baik-baik saja,” tukas ayahku mulai kesal dengan tingkahku. Aku menyerah. Tapi aku ingin bertemu dengan Theo setelah ini. Ada perasaan yang mengganjal pada perasaanku sekarang.

***

*Taylor Pulmer POV*

             Aku tidak bisa tinggal di New York. Segalanya telah berubah. Theo telah meninggalkanku. Aku memang mencintai Justin, aku memendam rasa padanya. Tapi lelaki pertama yang benar-benar kucintai adalah Theo, dia adalah orang pertama yang percaya padaku. Cintanya padaku tidak main-main. Ia menyadarkanku akan cinta yang sebenarnya. Selama satu minggu ini aku sudah tidak melihat Theo lagi. Aku mendatangi rumahnya, tapi kata pelayan di sana, Theo harus pergi ke LA. Tapi ia tidak kembali-kembali lagi. Mengapa? Ini semua jelas adalah salahku. Aku yang telah membuatnya kecewa terhadapku. Segala perjalananku di New York itu dibumbui oleh cinta dari Theo. Ia benar-benar mencintaiku, tapi aku mengabaikannya. Aku benar-benar bodoh.
            Setelah aku menyadari betapa besarnya cintanya padaku, aku sangat menyesal. Aku lebih memilih Justin yang memang lelaki pertama kusukai pada pandangan pertama dibanding dengan Theo yang mencintaiku apa adanya. Ia percaya padaku. Tapi aku merasa kepercayaannya terhadapku. Aku menyimpan rahasia padanya. Ketakutan terbesarku adalah jika aku kehilangan Theo melalui Justin. Semua ini sangat susah sekali untuk dijelaskan. Tidak akan ada yang dapat mengerti perasaan ini selain diriku. Kuharap daerah LA yang ayah maksud, bukanlah daerah di mana Theo berada. Aku benar-benar tidak mengetahui keberadaannya. Ia tidak menghubungiku.
            Pesawatku akan berangkat kira-kira 2 jam lagi. Pakaianku telah rapi di dalam koper. Caitlin ikut denganku. Kami akan membuka kehidupan yang baru di LA nanti. Segala kenangan kami yang berada di New York akan kami hapus dalam pikiran kami. Aku tidak akan pernah menyalahkan Caitlin tentang ia memberitahu kebohonganku pada Theo. Sebesar apa pun rahasia yang kubuat, pada akhirnyapun akan terungkap juga dengan sendirinya.
            “Kau sudah siap?” tanyaku pada Caitlin yang masih mengikat rambutnya menjadi satu. Ia memakai pakaian yang begitu rapi. Segalanya berwarna ungu. Setelah ia mengikat rambutnya, ia berbalik padaku. Mengambil koper yang berada di sebelahnya, ia melangkah ke arahku. Kami akan meninggalkan apartemen ini.
            “Jika kau siap,” ujarnya, tersenyum padaku. Baiklah, LA, kami datang!

***

*Author POV*

            “Aaa! Ini punyaku!” teriak anak lelaki berumur 2 tahun itu sambil terduduk di atas lantai.
            “Tidak, punyaku!”  teriak anak lelaki yang lain dengan umur yang sama. Mereka sedang merebut mainan mereka yang paling mereka suka. Namun tidak ada satu di antara mereka ingin mengalah. Boneka beruang berwarna ungu itu tampak menggemaskan dengan aroma strawberry. Boneka dari film kesukaan mereka –Toy Story—membuat mereka gemas untuk memainkannya. Ayahnya terus merekam pertengkaran mereka yang saling memukul kepala botak mereka. Ibunya tertawa melihat tingkah mereka. Mata biru dari Justin mulai berkaca-kaca. Theo yang memiliki mata abu-abu itu telah memeluk boneka yang sebesar tubuhnya itu dengan erat.
            Marah, Justin langsung memukul kepala botak milik Theo. Theo terkejut, matanya membulat, bibir bawahnya mulai cemberut, matanya berkaca-kaca kemudian ia berteriak. Menangis.
            “Punyaku!” teriak Justin langsung merebut boneka beruang itu dari Theo yang masih menangis akibat pukulan dari Justin yang kencang. Ayah dan ibunya langsung tertawa-tawa, namun ibunya langsung menggendong Theo.
            “Justin,” tegur ibunya masih tertawa.
            Justin tertawa melihat video masa kecilnya bersama dengan Theo yang direkam oleh ayahnya. Semuanya telah berada dalam sebuah kaset masa kecilnya yang dibuat oleh orang tuanya. Sudah banyak video masa kecilnya yang telah ia lihat. Laptop milik ayahnya terus memutar video dari masa kecilnya hingga ia remaja kemudian kembali ke masa kecilnya lagi. Justin menutup laptop ayahnya dan mengambil nafas dalam-dalam. Ayahnya bilang Theo tidak dapat menghubunginya. Justin akan menunggunya, ayahnya tidak memberikan Justin ponsel untuk sementara ini. Ketakutan terbesar ayah Justin adalah jika ayah Justin merusak janjinya terhadap Theo yang  telah tenang di surga sana.
            Setidaknya untuk sekarang ini, Justin masih bisa diam dengan video yang diberikan oleh ayahnya. Christian duduk di atas sofa sambil berbicara dengan Caitlin yang ternyata sudah sampai di LA.
            “Aku akan datang satu jam lagi. Kalian ..berkelilinglah di bandara selama mungkin. Aku akan datang secepatnya,” ujar Christian langsung menutup ponselnya.Ia bangkit dari sofa dan melihat pada Justin yang sedang berbicara dengan ayahnya mengenai teman-temannya di tim Lakers.
            “Aku harus menjemput Caitlin,” ujar Christian.
            “Oh?” kaget Justin yang kepalanya langsung menoleh pada Christian, “apa Pokerface juga ikut?” tanya Justin. Justin tidak sama sekali tahu mengenai ini. Dia tidak tahu bahwa Beep adalah mantan kekasih dari kakaknya. Kakaknya yang telah disakiti hatinya oleh Beep. Christian terdiam sejenak, Christian juga bahkan tidak tahu kalau Beep telah memiliki kekasih. Kecuali Caitlin, tentunya.
            “Tentu saja. Mereka pindah ke sini,”
            “Oh? Dan di mana mereka akan tinggal?”
            “Di sebuah apartemen yang telah kusewa,” jelas Christian yang tangannya mulai menyentuh gagang pintu ruang rawat Justin. Justin menganggukan kepalanya dan mengangguk.
            “Kupikir lebih baik jika Pokerface dan Caitlin tinggal di rumahku. Masih ada tempat untuk mereka, tapi aku tidak akan memaksa,” ujar Justin menyarankan. Christian tidak terkejut sama sekali, justru menurutnya itu adalah saran yang sangat bagus.
            “Aku akan bertanya pada mereka. Terima kasih sebelumnya,”

            “Kapan saja,” bisik Justin merasa senang. Jika Pokerface akan datang ke LA, berarti Justin akan bertemu dengannya secara langsung. Ia menyukai Pokerface sejak 7 bulan yang lalu. Ia benar-benar menyukai suara Pokerface. Meski sesekali ia bingung jika Caitlin memanggilnya Beep, itu mengingatkannya pada kekasih saudara kembarnya. Tapi ia berharap itu bukanlah kekasih dari kakak kembarnya.

1 komentar:

  1. “Ya Tuhan!”
    “Astaga!”
    “Holy crap!”
    “Keren!”
    kocak bagian itu. udah sedih2 gara2 theo ketabrak, eh malah ada yang bilang keren -.-
    oh iya, 1 blok itu seberapa jauh sih?

    BalasHapus