****
*Author POV*
“Kau
lihat ini? Ini dinamakan lay up!
Ambil langkah tiga kali dari garis 2 point lalu melompat pada kaki kirimu di
bawah ring basket dan shoot!” teriak
Justin melangkah tiga kali dan melompat sambil melempar bola basket ke dalam
ringnya dan ia memang selalu berhasil. Tiga anak lelaki berkulit hitam dengan
rambut keriting yang menatap Justin bermain basket itu mengangguk-anggukan
kepalanya. Justin menemukan tiga lelaki remaja ini sedang berada di pinggir
jalan sambil merokok seperti orang bodoh. Tanpa berpikir panjang, Justin
mengajak mereka untuk pergi ke rumahnya dan bermain basket di lapangan basket
miliknya–belakang rumahnya. Justin hanya merasa kasihan dengan tiga remaja ini
yang hanya membuang-buang waktu mereka untuk merokok. Disaat Justin membutuhkan
jantung dan paru-paru yang sehat, mereka berusaha untuk merusak diri mereka.
Sebelum mereka mendapatkan penyakit yang sama seperti Justin, lebih baik Justin
memberikan mereka sebuah aktivitas yang lebih berguna.
“Dan
ini di namakan free throw,” ujar Justin yang berdiri di dalam garis yang
menghasilkan dua point itu. Kemudian ia melemparkan bola basket itu ke dalam
ring, ia berhasil kembali memasukannya. “Tapi kau tidak akan mendapatkan point
sebanyak 2. Kau hanya mendapatkan 1 point dan kau hanya diberikan 1 point.
Seberapa pun point yang kau dapatkan, itu sangat penting untuk tim-mu.
Mengerti?” tanya Justin mengambil bola yang memantul ke arahnya. Tiga orang
remaja itu mengangguk-anggukan kepalanya dan mengerti.
“Mike
dan Jake, maju ke sini,” ujar Justin berjalan dengan santai menuju
tengah-tengah lapangan. Dua lelaki remaja yang memakai jaket biru dan putih itu
maju bersama-sama. Salah satu di antara mereka yang bernama Mike melepaskan
jaketnya dan melemparkannya di pinggiran lapangan. Nafas Justin sudah tak
karuan, jantungnya berdegup dengan kencang. Bahkan keringatnya sudah menembus
baju basketnya. Kulitnya yang putih sudah lembab karena keringat yang terus
mengucur.
Justin
memposisikan Mike dan Jake di tengah-tengah lapangan. Tepat pada sebuah
bundaran kecil dengan garis tengah berwarna putih yang membatasi mereka berdua.
Justin berdiri di tengah-tengah garis putih itu.
“Ingat
apa yang akan kulakukan sekarang?”
“Rebound?” tanya Mike yang tangannya
sudah bergemetar ingin mengambil bola basket yang akan segera Justin lempar ke
udara. Justin menganggukan kepalanya dan mendongakan kepalanya, mengambil
nafasnya. Dia bisa melewati hari-harinya seperti ini. Dia bisa!
“Kalian
siap?” tanya Justin yang sudah bersiap-siap ingin melemparkan bola basket itu
ke langit. “Nikmatilah!” bisik Justin sambil melempar bola bakset itu ke langit
dan langsung menjauh dari Mike dan Jake yang mulai mencoba untuk merebut bola
basket yang masih berada di udara. Jake mendapatkan bola pertamanya dan ia
mulai membawa bola basket itu menuju ring milikMike. Justin masih berjalan
tergopoh-gopoh menuju kursi besi yang berwarna hijau miliknya dan terduduk di
sana. Mengambil tempat minum yang telah ia siapkan dan langsung meneguknya.
Tapi tetap saja, minuman yang ia minum tidak dapat mengurangi kecepatan detak
jantungnya sekarang.
*Justin Bieber POV*
Rebound. Free Throw. Jump Ball. Underbasket.
Fake. Drive. Lay up. Hanya sedikit istilah yang dapat kuberikan kepada tiga
remaja yang baru saja kutemui. Mereka cukup menyenangkan untuk diajak bermain.
Setelah aku berusaha untuk membujuk mereka membuang rokok yang mereka hisap,
akhirnya mereka tertarik saat aku menawarkan mereka untuk bermain basket di
rumahku. Oh, sial. Jantungku tidak pernah bisa berkompromi disaat-saat aku
sedang latihan. Entah mengapa, aku berhasil dipertandingan dengan jantung yang
tidak begitu lemah. Namun saat latihan, aku gagal karena jantung yang lemah.
Bahkan sangat lemah. Seperti sekarang, aku berusaha untuk bernafas namun
rasanya sulit sekali. Kuraih handuk putih yang berada di sebelahku dan mengelap
keringatku yang dari tadi mengucur.
Aku
sering berbohong pada Theo karena banyak alasan. Sebenarnya, aku tidak begitu
nakal seperti yang diketahui oleh Theo. Tidak sama sekali. Aku hanya tidur
dengan beberapa gadis, tidak dengan banyak gadis. Bahkan sudah dua bulan ini
aku tidak meniduri seorang gadis. Mungkin hanya Joseph yang membawa kekasihnya
ke rumah ini dan berhubungan badan. Chaz dan Christian juga tinggal satu rumah
denganku. Sore ini, mereka semua sedang berada di tempat kuliah.
Mengambil
ponselku yang berada di sebelah tempat minumku, aku membukanya. Aku sudah tahu
apa yang akan kudapatkan di dalam ponselku. Pesan-pesan kekhawatiran dari Theo
dan pesan suara dari Theo. Rasanya bosan sekali jika Theo memperlakukanku
seperti ini terus. Tapi aku menghargai perhatiannya setelah sepeninggalnya
ibuku dari dunia ini. Setidaknya, ia dapat kuanggap seperti Mamaboy. Aku
menghubungi Theo. Kudekatkan ponselku pada telingaku dan menunggu. Berpikir,
pasti Theo sedang berkeringat sekarang. Kadang jika Theo sedang berada dalam
perasaan kalut, aku yang berkeringat.
“Hey,
Justin,” sapanya dengan suara yang bersemangat. Bersemangat? Ah ya, aku baru
ingat. Pasti dia baru saja mendapatkan Beep. Sial, aku penasaran sekali dengan
yang namanya Beep itu. Mataku melihat ke arah pintu belakang rumahku yang
terbuka. Christian muncul dengan pakaian yang sudah tidak rapi lagi.
“Whoa!
Teman baru? Baiklah, mari kita mengenal satu sama lain,” teriak Christian
berlari dengan riang menuju lapangan basket dan menarik tangan Drake, salah
satu remaja yang belum bermain bersama dengan Mike dan Jake.
“Kau
masih di sana Justin?” tanya Theo, kali ini dengan suara yang khawatir.
“Ya,
tentu saja,” aku berusaha untuk berbicara senormal mungkin.
“Kau
baik-baik saja? Tumben kau menelpon siang-siang seperti ini,”
“Tidak,
tidak apa-apa. Jadi bagaimana dengan Beep? Kau berhasil mendapatkannya?”
“Woohoo!
Sial Justin, dia gadis yang sangat menyenangkan. Apalagi sekarang ia sudah
menjadi kekasihku, aku sering mencium bibirnya. Rasanya sangat manis,”
“Senang
mendengarmu bisa mendapatkannya,” ujarku yang menahan nafasku. Oh, sial.
Jantungku, aku benar-benar tidak dapat bernafas.
“Justin!”
penglihatanku mulai buram akibat nafasku yang tercekat. Ponselku terlepas dari
tanganku karena tanganku mulai terasa begitu lemah. Aku tidak bisa berbuat
apa-apa sekarang selain terjatuh di atas lantai lapangan. Aku terbatuk-batuk
dan terus mencoba mendapatkan nafas. Namun jantungku tak mendukungnya, rasanya
begitu sakit. Semuanya seperti tertarik pada satu pusat. Jantungku. Aku meremas
dadaku dengan erat. Bagaimana bisa aku bertahan dalam tim Lakers?
“Justin!”
teriak Christian yang membuat segalanya tampak begitu damai melalui
teriakannya. Tampak damai melalui
teriakannya.
***
*Taylor Pulmer POV*
Mataku
terus menatap pada Theo yang sedang bermain piano di ruang tamunya. Bokongku
sudah menyentuh sofa ini sejak 10 menit yang lalu sambil memperhatikan Theo. Ia
benar-benar pintar dalam bermain music. Namun aku benar-benar bingung dengan
Theo. Saat ia mendapatkan telepon dari entah siapa, ia terus berkeringat sampai
sekarang. Bahkan sekarang nafasnya tak beraturan, mungkin ia sedang meresapi permainan
musiknya. Entah alunan karya siapa yang ia mainkan, tapi aku tidak pernah
mendengar aransemen ini sebelumnya. Namun alunannya benar-benar menggambarkan
sebuah perasaan melankolis. Apa yang Theo sekarang rasakan?
Aku
bingung dengan rumah Theo. Biasanya di rumah yang besar seperti ini akan banyak
sekali foto-foto keluarga yang diperlihatkan. Tapi di sini hanyalah foto ibunya
dan ayahnya. Tidak ada satupun foto Theo terpampang. Bahkan foto-foto yang
berada di kamar Theo hanyalah foto ibunya yang cantik. Sama denganku, ibu Theo
telah meninggal. Ayah Theo harus meninggalkan Justin dan Theo di Kanada untuk
mengurus usahanya, kata Theo. Tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di otakku.
Apakah dia memiliki adik atau kakak yang tidak tinggal bersama dengannya?
Karena rumah ini benar-benar kosong. Hanya diisi oleh pelayan-pelayan rumahnya.
Well, sebenarnya tidak benar-benar kosong. Teman-teman Theo juga sering datang
ke sini.
“Apa
kau memiliki adik, Theo?” tanyaku menelengkan kepalaku ke salah satu sisi.
Sontak Theo menghentikan gerakan jarinya di atas tuts piano dan terdiam
sejenak.
“Ya,
tapi ia tidak tinggal di sini,” bisik Theo dengan suara yang pelan. Aku merasa
khawatir sekarang dengan keadaannnya yang selama 10 menit terakhir ini dia
terdiam dan tidak banyak bicara. Sungguh, aku bersumpah. Setelah ia mendapatkan
telepon dari entah siapa orang itu, wajahnya langsung murung dan ia mengetik
pada ponselnya begitu cepat. Kadang ia menggigit pipi bagian dalamnya. Aku
bangkit dari atas sofa dan berjalan menuju dirinya. Dan ternyata ia memiliki
adik. Baiklah, tidak ada pertanyaan lagi untuknya. Aku benar-benar khawatir.
“Ada
apa denganmu?” tanyaku mulai mengangkanginya dan duduk di atas pangkuannya.
Kulingkarkan tanganku di sekitar lehernya dan menelengkan kembali kepalaku ke salah satu sisi.
“Ak-aku
hanya ..khawatir,” bisiknya dengan ketakutan. Oh, astaga, ada apa?
“Tentang
apa? Kau bisa memberitahunuya padaku, mungkin aku bisa membantumu,” bisiknya
mengelap keringat di sekitar dahinya. Ia sangat berkeringat. “Ceritakanlah,”
“Aku
mendapatkan kabar bahwa ..kakekku masuk rumah sakit,” aku tercekat. Oh,
benarkah?
“Mengapa?”
“Ia
mengalami sakit jantung,” bisiknya lagi. Aku ingin menangis saat melihat
wajahnya begitu ketakutan. Bahkan ia tidak menatap mataku, ia menatap pada
perutku. Mungkin ia sangat mencintai kakeknya sehingga ia merasa begitu
khawatir.
“Di
mana kakekmu?”
“Di
Los Angeles,” oh, ternyata satu Negara bagian dengan ayahku. Merasa begitu iba
karena kakeknya yang masuk ke dalam rumah sakit, aku langsung memeluknya dengan
erat. Oh, Theo-ku sayang. Mengapa rasanya begitu sakit melihatnya seperti ini?
Entahlah, dari matanya begitu banyak ketakutan yang tersimpan di sana.
“Semoga
ia cepat sembuh,” bisikku mengusap kepalanya yang berada tepat di tengah-tengah
dadaku. Aku tidak takut jika ia akan menyentuhku atau bahkan meniduriku. Selama
aku tahu ia tidak akan meninggalkanku, aku akan memberikannya. Dan aku tahu, ia
adalah lelaki yang setia.
“Aku
juga berharap seperti itu,” bisiknya menarik nafas dan menghembuskannya dengan
pelan.
*Theodore Bieber POV*
Aku
tidak ingin menceritakan tentang Justin pada Beep. Dan aku juga tidak berniat
untuk memberitahunya. Mungkin jika waktunya sudah tepat, aku akan memberitahu
padanya kalau aku memiliki saudara kembar. Dan Justin. Oh Tuhan, rasanya aku
benar-benar putus asa padanya. Sudah berkali-kali aku memberitahu dan memperingatinya
untuk datang ke dokter setiap seminggu dua kali untuk melihat kondisi
jantungnya. Dan bodohnya, mengapa ia harus diterima masuk ke dalam tim Lakers?
Apa pelatih tim Lakers tidak berpikir kalau adikku ini memiliki sakit jantung?
Aku tahu permainan Justin dalam basket tak dapat kuragukan lagi. Ia memang
pantas untuk masuk ke dalam tim Lakers. Karena Justin selalu memberitahu padaku
kalau ia selalu mencetak angka terbanyak dalam pertandingan. Untuk memasuki tim
Lakers dibutuhkan teknik bermain yang hebat dalam menaklukan lawan dan juga
seberapa banyak kau sering mencetak angka. Hanya itu dan Justin mendapatkan
posisinya. Sial!
Jantungku
dari tadi berdebar tak menentu saat aku mendengar teriakan dari seseorang yang
menyebut nama Justin. Bahkan sebelum itu, aku bisa tahu ponselnya terjatuh di
atas tanah. Sial, Justin, mengapa dia selalu membuatku khawatir? Aku telah
memberitahu pada ayahku untuk menghubungi Justin. Tapi sampai sekarang ayahku
belum mengirimiku pesan atau telepon.
Tiba-tiba
ponselku berbunyi. Beep yang masih memelukku langsung melepaskan pelukannya dan
aku merogoh kantong celanaku untuk mengambil ponsel. Kemudian aku membukanya.
Justin baik-baik saja. Sebuah pesan
singkat dari ayahku namun dapat membuat diriku ingin berjungkir balik dan
bersujud syukur pada Tuhan karena saudara kembarku baik-baik saja. Nafasku yang
dari tadi tak beraturan berangsur-angsur menjadi tarikan nafas yang normal.
Setelah ini aku akan memarahi Justin. Sial sekali dia!
****
*Author POV*
Beep
menutup pintu apartemennya dengan senyuman konyol di wajahnya. Tiap kali ia
berpisah dengan Theo, pasti Theo menyatakan cinta padanya. Itu cukup membuat
hatinya berbunga-bunga. Berjalan dengan lambat menuju kamarnya, ia mendengar
suara Caitlin yang berteriak-teriak di dalam kamar. Sontak ia berjalan lebih
cepat menuju kamar Caitlin, tangannya langsung membuka pintu kamar. Ternyata ia
mendapati Caitlin yang sedang melakukan Skype dengan Christian yang tinggal
bersama temannya di Los Angeles.
“Hey,
itu Christian?” kejut Beep tak percaya melihat bertumbuh dengan sangat cepat.
Padahal mereka baru saja berpisah satu tahun yang lalu, namun perawakan
Christian semakin lama semakin ideal. Beep berjalan setelah ia menutup pintu
kamar Caitlin dan beranjak naik ke atas tempat tidur, duduk di sebelah Caitlin.
Seorang lelaki dengan rambut yang semakin lebat dan kumis yang tipis terlihat
di layar laptop Caitlin.
“Oh
hey, Pokerface!” teriak Christian menyapa Beep. Beep hanya tertawa dan
melambaikan tangannya pada Christian. Ya, Christian sering memanggilnya
Pokerface karena Beep memang memiliki wajah yang datar dan sangat polos. Bahkan
jika Beep merasa terasingkan di suatu tempat, ia tidak memiliki sama sekali
ekspresi pada wajahnya.
“Bagaimana
kabarmu di sana?” tanya Christian yang matanya tidak menatap kamera laptopnya,
ia sedang berbicara dengan seseorang. “Hey, Justin. Kemarilah,” teriak
Christian.
“Aku
merasa hebat sekarang. Hey, bagaimana dengan permainan –“ omongan Beep terhenti
saat ia melihat seorang Justin yang terlihat di layar laptop Caitlin. Mulut
Beep menganga saat ia melihat seorang lelaki yang pernah ia lihat sebelumnya.
Apakah lelaki ini masih mengingat Beep saat mereka bertemu di bandara? Wajah
Beep dan Caitlin saling berhadapan, Caitlin memperlihatkan wajah yang
benar-benar tidak percaya. Bahkan sekarang Caitlin rasanya ingin mati. Seorang
Justin, sahabat dari adiknya, ternyata adalah saudara kembar dari Theo? Itu
adalah pertanyaan pertama yang berada di benak Caitlin. Setelah sekian lama ia
mendengar cerita dari adiknya tentang Justin, akhirnya Caitlin dapat melihat
Justin namun dengan wajah yang mengejutkan.
Beep membisikan sesuatu pada Caitlin dan
Caitlin menganggukan kepalanya.
“Hey,
siapa namamu? Aku Justin Bieber, kau bisa memanggilku dengan Biebs, Bieber
Twins, atau Super Bieber. Karena aku bisa terbang! Aku juga memiliki saudara
kembar dan yang tak lain dan tak bukan adalah Theodore Bieber. Apa kau
mengenalnya? Kau mengenalnya? Tentu saja tidak! Apa kita pernah bertemu
sebelumnya? Karena aku rasa aku pernah bertemu kau,”-Justin mengejek Theo
dengan tangannya yang bergerak-gerak tak jelas—“Jadi, siapa namamu?” tanya
Justin yang tertarik pada Taylor. Pipi Taylor memerah, tatapan matanya sama
seperti tatapan mata saat di bandara. Lelaki ini benar-benar cerewet tak
terhenti.
“Panggil
saja dia Pokerface,” celetuk Christian memukul tangan Justin. Justin hanya
menganggukan kepalanya dan sontak tertawa.
“Oh
hey, Pokerface. Kau sangat cantik,”
“Umm,
Christian. Bisakah aku mematikan Skype sekarang? Karena –“
“Tidak
apa-apa kakakku yang sangat cantik dan juga Pokerface-ku yang sangat cantik.
Tidak apa-apa. Aku tahu kalian akan menggosipi teman yang berada di sebelah—“
“Diamlah,”
celetuk Justin menyikuti Christian dan terkekeh pelan. “Selamat tinggal!”
kemudian mati.Caitlin langsung mengeluarkan program Skype dan menutup laptopnya
dengan cepat. Kemudian wajah Caitlin dan Beep berhadapan, terdiam sejenak lalu
mereka mengambil nafas secara berrsamaan.
“AAAAAAHH!
Aku tidak percaya, aku tidak percaya. Aku benar-benar tidak percaya!” jerit
Caitlin yang kedua tangannya mulai bergetar tak menentu. Beep juga berteriak
namun ia tidak berkomentar. Nafas mereka berdua tak menentu, apalagi Beep yang
tidak percaya bahwa tidak bukanlah Theo. Tentu saja itu bukan Theo. Itu pasti
adalah kembaran dari Theo. Beep benar-benar shock. Ia beranjak dari tempat
tidur Caitlin untuk mengambil sebuah kertas yang berada di atas meja belajar
berwarna merah muda milik Caitlin. Setelah mendapatkan sebuah kertas, ia
langsung mengipas dirinya dengan cepat. Ini sungguh di luar dugaannya. Tidak
mungkin seorang Theo Bieber memiliki saudara kembar yang sangat ..cerewet!
“Aku
tidak ..astaga, Tuhan. Tadi benar-benar ..astaga,” Beep tidak dapat
berkata-kata dan ia berjalan mondar-mandir di hadapan Caitlin yang juga meremas
bantal yang ia pegang bahkan menggigitnya.
“Astaga,
dia sama dengan Theo! Apa Theo pernah memberitahumu kalau ia memiliki saudara
kembar?”
“Tidak.
Ia hanya memberitahuku kalau ia memiliki adik. Jangan beritahu ini kepada siapa
pun Cait. Kau tahu aku, kau mengerti aku bukan?” tanya Beep yang tiba-tiba saja
merasa begitu panik. Ia tidak ingin Theo tahu kalau ia telah mengetahui bahwa
Theo memiliki saudara kembar. Karena pada dasarnya, Beep menyukai Theo
dikarenakan oleh Justin. Lelaki pertama yang membuatnya menyukai Theo karena
pertemuan mereka di bandara. Beep menyayangi Theo, tentu saja, tapi tiap kali
ia menatap mata Theo, ia selalu teringat dengan Justin.
Pantas
saja! Pantas saja ia seperti melihat Theo sebelumnya. Ia betul-betul ingat
wajah Theo yang mirip dengan seorang lelaki yang bertemu dengannya kira-kira
tiga bulan yang lalu di bandara. Astaga, mengapa ia baru menyadari itu? Adik.
Theo memiliki adik.
Beep
duduk di pinggiran tempat tidur Caitlin dan mengambil nafasnya dalam-dalam.
“Aku
tidak ingin kau menyinggung tentang ini pada Theo. Kumohon jangan beritahu
padanya kalau aku mengetahui ia memiliki saudara kembar. Aku mencintainya,
memang. Tapi ini semua berawal dari Justin, saudara kembarnya. Astaga, Caitlin,
rasanya aku sulit sekali untuk menjelaskan peras—“
“Aku
mengerti. Aku akan menutup mulutku. Aku berjanji,” ujar Caitlin menenangkan
Beep. Beep menganggukan kepalanya, percaya dengan Caitlin bahwa Caitlin tidak
akan memberitahu siapa pun tentang ini.
***
Hubungan
Theo dan Beep berjalan layaknya sepasang kekasih pada umumnya. Terkadang mereka
bertengkar namun pada akhirnya mereka akan menyelesaikan masalah mereka
bersama-sama. Theo tidak berani untuk menyentuh atau meniduri Beep. Ia akan
menjaga tubuh Beep sebaik mungkin. Hubungan mereka telah berjalan selama 7
bulan dan besok adalah hari di mana mereka akan memasuki bulan kedelapan.
Perasaan Beep makin lama makin pudar terhadap Theo. Karena hampir tiap hari,
Beep dan Caitlin berbicara dengan Justin melalui Skype. Meski Justin sampai
sekarang belum mengetahui nama asli dari Beep. Bahkan Justin masih memanggil
Beep dengan panggilan Pokerface. Beep lebih menyukai Justin dibanding dengan
Theo.
Caitlin
juga menutup mulutnya selama 7 bulan ini. Dan Beep tidak pernah menyinggung
keberadaan adik Theo –Justin-. Tapi tiap hari, cinta Theo terhadap Beep semakin
lama semakin bertumbuh. Ia bahkan lebih memerhatikan Beep dibandingkan dengan
musiknya. Biasanya ia akan mengesampingkan segalanya jika dibandingkan dengan
music. Ia mencintai Beep dan music. Perhatian Theo terhadap Justin semakin lama
semakin mengetat. Hampir tiap hari, pagi dan malam ia selalu menghubungi Justin
untuk memastikan apakah Justin baik-baik saja atau tidak. Beberapa kali Justin
harus masuk ke rumah sakit karena jantungnya yang sangat lemah. Tapi itu tidak
membuat Justin patah semangat, satu minggu sekali ia bermain dalam pertandingan
di dalam tim Lakers. Ia terbang ke Chicago atau Miami untuk mengikuti
pertandingan basket. Ia masuk televisi dan Beep selalu menyaksikan aksi Justin
di NBA. Begitu juga dengan Theo.
Pagi
ini, di Los Angeles, Justin sedang menikmati hari kesenggangannya di rumah
sambil meninum teh yang dibuatkan oleh pelayannya. Ia menatap pada lapangan
basket yang selalu menjadi tempat pelampiasan apa pun perasaanya. Marah atau
senang, ia akan melampiaskannya pada bola basket. Hatinya sakit mengetahui
jantungnya semakin lama semakin melemah, kemungkinan besar ia tidak dapat
bermain basket kembali.
“Aku
bisa,” gumamnya sambil meneguk tehnya. Satu tegukan telah mengalir melewati
kerongkongannya lalu ia merasakan kehangatan pada lehernya. Tiba-tiba
jantungnya seakan-akan terjepit dan sontak ia terjatuh dengan gelas teh yang ia
pegang. Tak dapat bernafas.
“Sial!”
umpatnya.
***
*Theodore Bieber POV*
Sebuah
pesan singkat masuk ke dalam ponselku saat aku sedang merenung, melihat pada
kolam renang rumahku yang hening. Berpikir mengapa selama ini Beep harus
membohongiku. Segalanya telah kuberikan untuknya, kuberikan waktuku untuknya
tapi mengapa Beep harus membohongiku? Caitlin memberitahuku karena aku
memaksanya, sebelumnya aku tidak pernah memaksa seseorang untuk memberitahu
sesuatu yang penting padaku. Tidak pernah. Tapi melihat perubahan tiap bulan
dari Beep membuatku cukup penasaran apa yang membuatnya berubah untuk berusaha
menjauhiku.
Hanya
bulan malam yang menemaniku dengan lampu-lampu taman belakang yang menyinariku.
Menatap pada air kolam renang yang begitu tenang seakan-akan tidak ada yang
mengganggunya atau mengancamnya. Beep sudah mengetahui keberadaan Justin. Sial,
dunia ini benar-benar sempit. Selama hampir 2 tahun ini ternyata adik Caitlin
berteman dengan Justin. Mengapa aku tidak pernah menyadari bahwa Christian yang
dimaksud Justin adalah Caitlin? Beep pernah memberitahuku keberadaan Christian,
adik Caitlin yang tinggal di LA. Tapi aku tidak pernah berpikir kalau Justin
akan bertemu dengan Christian di sana. Bahkan satu rumah dengan Justin.
Caitlin
menceritakan keseluruhannya tadi sore di Café bersamaku. Beep masih memiliki
satu mata pelajaran lagi yang harus ia ikuti sampai malam. Mungkin sekarang ia
sudah pulang dijemput oleh Caitlin. Kekecewaanku benar-benar besar terhadap
Beep. Saat Caitlin mengatakan bahwa ternyata Beep menyukaiku karena aku adalah
lelaki kedua yang membuatnya terpukau, tentunya lelaki pertama bagi Beep adalah
Justin. Mereka ternyata pernah bertemu di bandara. Sial, ini semua terdengar
masuk akal. Saat Beep menceritakan kepergian ayahnya yang bersamaan dengan
kepergian Justin. Dan, sial. Sungguh benar-benar sial. Aku berkeringat
sekarang.
Sengaja
tadi pagi aku tidak menghubungi Justin, begitu juga malam ini. Justin memang
pernah menceritakan tentang perempuan yang sering ia hubungi melalui Skype tiap
harinya, tapi aku tidak begitu penasaran dengan gadis itu. Tapi ternyata, sial,
yang dimaksud Justin adalah Beep. Entah ini adalah salahku atau salah Beep,
tapi yang jelas aku benar-benar kecewa dengan Beep. Caitlin juga bilang, setiap
ada Lakers Game di televisi NBA, Beep sering menontonnya hanya untuk melihat
Justin. Ya, Justin mulai aktif di dalam tim Lakers dan aku salut dengannya
karena kehebatannya dalam bermain basket. Bahkan Justin tidak terlihat seperti
lelaki yang memiliki penyakit jantung.
Tapi
entah mengapa aku tidak begitu peduli dengan Justin sekarang. Apalagi dengan
Beep. Tentu saja aku cemburu dengan Justin yang lebih diperhatikan oleh Beep.
Tentu saja aku tidak menerima jika kekasihku ternyata selama ini berselingkuh
dengan lelaki lain. Mengapa Beep tidak mengatakan yang sebenarnya saja padaku?
Selama tujuh bulan! Apa kalian bisa membayangkannya seberapa kecewanya diriku
terhadap Beep yang telah menyembunyikan rahasia ini padaku? Maksudku, untuk
apa? Ia mencintaiku karena semua berawal dari Justin. Dia tidak sama sekali
mencintaiku apa adanya. Ya Tuhan, mengapa rasanya begitu sulit untuk
menenangkan pikiranku?
Gadis
sepertinya sangat langka kudapat. Maksudku, perhatiannya dan kebaikannya
terhadapku. Segala kekurangannya kuterima. Ia gadis yang tepat waktu dan
..astaga, dia gadis impianku selama ini. Besok adalah hari jadiku bersama
dengan Beep yang kedelapan bulan. Aku mendesah pelan. Jika seperti ini, aku
tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Jika lebih mencintai Justin dan aku
kecewa, lebih baik aku melepaskannya. Ia tidak mencitnaiku selama 7 bulan ini.
Aku rasa, aku harus mengakhiri hubungan ini.
***
“Aku
rasa kita harus mengakhiri hubungan ini,” bersamaan dengan ucapanku, sebuah
suara pesan masuk ke dalam ponselku. Tapi aku mengabaikannya. Mataku tidak
menatap pada mata Beep yang berada di sebelahku. Rasanya aku tidak sanggup
untuk melihatnya. Taman Nasional terasa begitu sejuk dan tampak begitu asri.
Danau yang berada di tengahnya tampak tenang bersama dengan angsa-angsa putih
dan hitam yang berenang di atasnya. Mereka sangat cantik. Tapi pemandangan yang
berada di hadapanku tidak sama sekali sama dengan perasaanku sekarang.
“Tapi
mengapa?” tanya Beep bergetar. Sial, dia menangis. Aku tidak menatapnya, masih
menatap lurus pada danau.
“Aku
kecewa padamu Beep. Selama delapan bulan ini aku memberikan waktuku untukmu.
Setiap rasaku untukmu. Maksudku, aku percaya padamu Beep. Kau penyemangatku
tiap harinya. Tapi kurasa kau tidak merasakannya. Ini berakhir. Kau tidak
mencintaiku dan aku tidak dapat memaksamu,” jelasku padanya. Mengapa ia tidak
langsung saja pergi dari hadapanku? Dia sungguh mempersulit segalanya. Tidak,
aku tidak ingin menciumnya. Aku tidak akan membentaknya atau marah padanya.
Hanya saja, ini sudah berakhir.
“Aku
benar-benar minta maaf –“
“Tidak
perlu meminta maaf, Beep. Semuanya sudah berakhir, kau tahu, kau dan aku
..sudah tidak ada apa-apa lagi. Apa kau ingin pergi? Atau aku yang akan pergi?”
tanyaku, akhrinya membalikan kepalaku padanya. Sial! Dia sudah menangis. Aku
tidak bisa melihatnya menangis seperti ini. Dengan cepat aku memeluknya dan
menaruh kepalanya di atas dadaku. Tangisannya memecah. Dia benar-benar
mempersulit keadaan ini. Dan rasanya aku tidak bisa kembali masuk ke dalam
realita. Kenyataan bahwa tidak aka nada gadis yang dapat menerimaku apa adanya.
Atau hanya aku yang pemilih? Sialan.
“Bisakah
aku pergi?” tanyaku menarik pundaknya agar lepas dari pelukanku. Ia menyeka
hidungnya dengan punggung tangannya dan mengangguk.
“Bagus.
Jaga dirimu baik-baik. Atau kau ingin aku mengantarmu pulang?”
“Tidak
perlu. Ini hanya ..ya Tuhan, Theo. Aku benar-benar minta maaf. Ini semua
salahku. Aku egois dan aku telah menyakiti hatimu. Ini sangat ..”
“Aku
pulang,” aku beranjak dari tempatku dan meninggalkannya. Apa pun yang ia
katakan hanyalah omong kosong. Sekalipun ia meminta maaf, itu tidak ada
gunanya. Itu tidak akan memperbaiki segalanya kecuali jika aku dan ia
benar-benar mengakhiri hubungan ini. Tidak akan ada yang bisa mengembalikan
lagi waktu ke belakang. Kecuali ini adalah mimpi, aku akan bangun dari mimpi
ini.
Meninggalkannya
memang terasa begitu sulit. Tapi aku harus melakukannya. Seperti banyak orang
bilang, disetiap pertemuan akan ada perpisahan. Tapi setidaknya, aku
mengucapkan selamat tinggal padanya. Lagu Adele tidak akan pernah masuk dalam
pikiranku sekarang. Aku tidak akan mencari gadis seperti Beep lagi. Tapi aku
mengharapkan yang terbaik juga untuknya. Saat aku keluar dari taman nasional,
aku mencari mobilku yang kuparkir di pinggir jalan.
Membuka
kunci pintu mobil, aku masuk ke dalamnya. Kuhembuskan nafasku dan merogoh
kantong celanaku untuk mengambil ponsel. Berada di genggamanku, aku
menyalakannya dan melihat satu pesan masuk di sana. Justin masuk rumah sakit. Dia kritis. Pesan dari Justin, aku tahu
ini pasti dari temannya. Sial! Mengapa rasanya sore ini aku tidak dapat menjadi
orang yang tenang dan bersikap normal seperti dulu? Justin! Sial, dia masuk
rumah sakit dan kritis. Apa ayah sudah mengetahuinya? Tubuhku melemah
tiba-tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar