Jumat, 02 Agustus 2013

Fight for Love Bab 3



****

*Author POV*

            “Kau lihat ini? Ini dinamakan lay up! Ambil langkah tiga kali dari garis 2 point lalu melompat pada kaki kirimu di bawah ring basket dan shoot!” teriak Justin melangkah tiga kali dan melompat sambil melempar bola basket ke dalam ringnya dan ia memang selalu berhasil. Tiga anak lelaki berkulit hitam dengan rambut keriting yang menatap Justin bermain basket itu mengangguk-anggukan kepalanya. Justin menemukan tiga lelaki remaja ini sedang berada di pinggir jalan sambil merokok seperti orang bodoh. Tanpa berpikir panjang, Justin mengajak mereka untuk pergi ke rumahnya dan bermain basket di lapangan basket miliknya–belakang rumahnya. Justin hanya merasa kasihan dengan tiga remaja ini yang hanya membuang-buang waktu mereka untuk merokok. Disaat Justin membutuhkan jantung dan paru-paru yang sehat, mereka berusaha untuk merusak diri mereka. Sebelum mereka mendapatkan penyakit yang sama seperti Justin, lebih baik Justin memberikan mereka sebuah aktivitas yang lebih berguna.
            “Dan ini di namakan free throw,”  ujar Justin yang berdiri di dalam garis yang menghasilkan dua point itu. Kemudian ia melemparkan bola basket itu ke dalam ring, ia berhasil kembali memasukannya. “Tapi kau tidak akan mendapatkan point sebanyak 2. Kau hanya mendapatkan 1 point dan kau hanya diberikan 1 point. Seberapa pun point yang kau dapatkan, itu sangat penting untuk tim-mu. Mengerti?” tanya Justin mengambil bola yang memantul ke arahnya. Tiga orang remaja itu mengangguk-anggukan kepalanya dan mengerti.
            “Mike dan Jake, maju ke sini,” ujar Justin berjalan dengan santai menuju tengah-tengah lapangan. Dua lelaki remaja yang memakai jaket biru dan putih itu maju bersama-sama. Salah satu di antara mereka yang bernama Mike melepaskan jaketnya dan melemparkannya di pinggiran lapangan. Nafas Justin sudah tak karuan, jantungnya berdegup dengan kencang. Bahkan keringatnya sudah menembus baju basketnya. Kulitnya yang putih sudah lembab karena keringat yang terus mengucur.
            Justin memposisikan Mike dan Jake di tengah-tengah lapangan. Tepat pada sebuah bundaran kecil dengan garis tengah berwarna putih yang membatasi mereka berdua. Justin berdiri di tengah-tengah garis putih itu.
            “Ingat apa yang akan kulakukan sekarang?”
            “Rebound?” tanya Mike yang tangannya sudah bergemetar ingin mengambil bola basket yang akan segera Justin lempar ke udara. Justin menganggukan kepalanya dan mendongakan kepalanya, mengambil nafasnya. Dia bisa melewati hari-harinya seperti ini. Dia bisa!
            “Kalian siap?” tanya Justin yang sudah bersiap-siap ingin melemparkan bola basket itu ke langit. “Nikmatilah!” bisik Justin sambil melempar bola bakset itu ke langit dan langsung menjauh dari Mike dan Jake yang mulai mencoba untuk merebut bola basket yang masih berada di udara. Jake mendapatkan bola pertamanya dan ia mulai membawa bola basket itu menuju ring milikMike. Justin masih berjalan tergopoh-gopoh menuju kursi besi yang berwarna hijau miliknya dan terduduk di sana. Mengambil tempat minum yang telah ia siapkan dan langsung meneguknya. Tapi tetap saja, minuman yang ia minum tidak dapat mengurangi kecepatan detak jantungnya sekarang.

*Justin Bieber POV*

            Rebound. Free Throw. Jump Ball. Underbasket. Fake. Drive. Lay up. Hanya sedikit istilah yang dapat kuberikan kepada tiga remaja yang baru saja kutemui. Mereka cukup menyenangkan untuk diajak bermain. Setelah aku berusaha untuk membujuk mereka membuang rokok yang mereka hisap, akhirnya mereka tertarik saat aku menawarkan mereka untuk bermain basket di rumahku. Oh, sial. Jantungku tidak pernah bisa berkompromi disaat-saat aku sedang latihan. Entah mengapa, aku berhasil dipertandingan dengan jantung yang tidak begitu lemah. Namun saat latihan, aku gagal karena jantung yang lemah. Bahkan sangat lemah. Seperti sekarang, aku berusaha untuk bernafas namun rasanya sulit sekali. Kuraih handuk putih yang berada di sebelahku dan mengelap keringatku yang dari tadi mengucur.
            Aku sering berbohong pada Theo karena banyak alasan. Sebenarnya, aku tidak begitu nakal seperti yang diketahui oleh Theo. Tidak sama sekali. Aku hanya tidur dengan beberapa gadis, tidak dengan banyak gadis. Bahkan sudah dua bulan ini aku tidak meniduri seorang gadis. Mungkin hanya Joseph yang membawa kekasihnya ke rumah ini dan berhubungan badan. Chaz dan Christian juga tinggal satu rumah denganku. Sore ini, mereka semua sedang berada di tempat kuliah.
            Mengambil ponselku yang berada di sebelah tempat minumku, aku membukanya. Aku sudah tahu apa yang akan kudapatkan di dalam ponselku. Pesan-pesan kekhawatiran dari Theo dan pesan suara dari Theo. Rasanya bosan sekali jika Theo memperlakukanku seperti ini terus. Tapi aku menghargai perhatiannya setelah sepeninggalnya ibuku dari dunia ini. Setidaknya, ia dapat kuanggap seperti Mamaboy. Aku menghubungi Theo. Kudekatkan ponselku pada telingaku dan menunggu. Berpikir, pasti Theo sedang berkeringat sekarang. Kadang jika Theo sedang berada dalam perasaan kalut, aku yang berkeringat.
            “Hey, Justin,” sapanya dengan suara yang bersemangat. Bersemangat? Ah ya, aku baru ingat. Pasti dia baru saja mendapatkan Beep. Sial, aku penasaran sekali dengan yang namanya Beep itu. Mataku melihat ke arah pintu belakang rumahku yang terbuka. Christian muncul dengan pakaian yang sudah tidak rapi lagi.
            “Whoa! Teman baru? Baiklah, mari kita mengenal satu sama lain,” teriak Christian berlari dengan riang menuju lapangan basket dan menarik tangan Drake, salah satu remaja yang belum bermain bersama dengan Mike dan Jake.
            “Kau masih di sana Justin?” tanya Theo, kali ini dengan suara yang khawatir.
            “Ya, tentu saja,” aku berusaha untuk berbicara senormal mungkin.
            “Kau baik-baik saja? Tumben kau menelpon siang-siang seperti ini,”
            “Tidak, tidak apa-apa. Jadi bagaimana dengan Beep? Kau berhasil mendapatkannya?”
            “Woohoo! Sial Justin, dia gadis yang sangat menyenangkan. Apalagi sekarang ia sudah menjadi kekasihku, aku sering mencium bibirnya. Rasanya sangat manis,”
            “Senang mendengarmu bisa mendapatkannya,” ujarku yang menahan nafasku. Oh, sial. Jantungku, aku benar-benar tidak dapat bernafas.
            “Justin!” penglihatanku mulai buram akibat nafasku yang tercekat. Ponselku terlepas dari tanganku karena tanganku mulai terasa begitu lemah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang selain terjatuh di atas lantai lapangan. Aku terbatuk-batuk dan terus mencoba mendapatkan nafas. Namun jantungku tak mendukungnya, rasanya begitu sakit. Semuanya seperti tertarik pada satu pusat. Jantungku. Aku meremas dadaku dengan erat. Bagaimana bisa aku bertahan dalam tim Lakers?
            “Justin!” teriak Christian yang membuat segalanya tampak begitu damai melalui teriakannya. Tampak damai melalui teriakannya.

***

*Taylor Pulmer POV*

            Mataku terus menatap pada Theo yang sedang bermain piano di ruang tamunya. Bokongku sudah menyentuh sofa ini sejak 10 menit yang lalu sambil memperhatikan Theo. Ia benar-benar pintar dalam bermain music. Namun aku benar-benar bingung dengan Theo. Saat ia mendapatkan telepon dari entah siapa, ia terus berkeringat sampai sekarang. Bahkan sekarang nafasnya tak beraturan, mungkin ia sedang meresapi permainan musiknya. Entah alunan karya siapa yang ia mainkan, tapi aku tidak pernah mendengar aransemen ini sebelumnya. Namun alunannya benar-benar menggambarkan sebuah perasaan melankolis. Apa yang Theo sekarang rasakan?
            Aku bingung dengan rumah Theo. Biasanya di rumah yang besar seperti ini akan banyak sekali foto-foto keluarga yang diperlihatkan. Tapi di sini hanyalah foto ibunya dan ayahnya. Tidak ada satupun foto Theo terpampang. Bahkan foto-foto yang berada di kamar Theo hanyalah foto ibunya yang cantik. Sama denganku, ibu Theo telah meninggal. Ayah Theo harus meninggalkan Justin dan Theo di Kanada untuk mengurus usahanya, kata Theo. Tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di otakku. Apakah dia memiliki adik atau kakak yang tidak tinggal bersama dengannya? Karena rumah ini benar-benar kosong. Hanya diisi oleh pelayan-pelayan rumahnya. Well, sebenarnya tidak benar-benar kosong. Teman-teman Theo juga sering datang ke sini.
            “Apa kau memiliki adik, Theo?” tanyaku menelengkan kepalaku ke salah satu sisi. Sontak Theo menghentikan gerakan jarinya di atas tuts piano dan terdiam sejenak.
            “Ya, tapi ia tidak tinggal di sini,” bisik Theo dengan suara yang pelan. Aku merasa khawatir sekarang dengan keadaannnya yang selama 10 menit terakhir ini dia terdiam dan tidak banyak bicara. Sungguh, aku bersumpah. Setelah ia mendapatkan telepon dari entah siapa orang itu, wajahnya langsung murung dan ia mengetik pada ponselnya begitu cepat. Kadang ia menggigit pipi bagian dalamnya. Aku bangkit dari atas sofa dan berjalan menuju dirinya. Dan ternyata ia memiliki adik. Baiklah, tidak ada pertanyaan lagi untuknya. Aku benar-benar khawatir.
            “Ada apa denganmu?” tanyaku mulai mengangkanginya dan duduk di atas pangkuannya. Kulingkarkan tanganku di sekitar lehernya dan menelengkan kembali kepalaku  ke salah satu sisi.
            “Ak-aku hanya ..khawatir,” bisiknya dengan ketakutan. Oh, astaga, ada apa?
            “Tentang apa? Kau bisa memberitahunuya padaku, mungkin aku bisa membantumu,” bisiknya mengelap keringat di sekitar dahinya. Ia sangat berkeringat. “Ceritakanlah,”
            “Aku mendapatkan kabar bahwa ..kakekku masuk rumah sakit,” aku tercekat. Oh, benarkah?
            “Mengapa?”
            “Ia mengalami sakit jantung,” bisiknya lagi. Aku ingin menangis saat melihat wajahnya begitu ketakutan. Bahkan ia tidak menatap mataku, ia menatap pada perutku. Mungkin ia sangat mencintai kakeknya sehingga ia merasa begitu khawatir.
            “Di mana kakekmu?”
            “Di Los Angeles,” oh, ternyata satu Negara bagian dengan ayahku. Merasa begitu iba karena kakeknya yang masuk ke dalam rumah sakit, aku langsung memeluknya dengan erat. Oh, Theo-ku sayang. Mengapa rasanya begitu sakit melihatnya seperti ini? Entahlah, dari matanya begitu banyak ketakutan yang tersimpan di sana.
            “Semoga ia cepat sembuh,” bisikku mengusap kepalanya yang berada tepat di tengah-tengah dadaku. Aku tidak takut jika ia akan menyentuhku atau bahkan meniduriku. Selama aku tahu ia tidak akan meninggalkanku, aku akan memberikannya. Dan aku tahu, ia adalah lelaki yang setia.
            “Aku juga berharap seperti itu,” bisiknya menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan.

*Theodore Bieber POV*

            Aku tidak ingin menceritakan tentang Justin pada Beep. Dan aku juga tidak berniat untuk memberitahunya. Mungkin jika waktunya sudah tepat, aku akan memberitahu padanya kalau aku memiliki saudara kembar. Dan Justin. Oh Tuhan, rasanya aku benar-benar putus asa padanya. Sudah berkali-kali aku memberitahu dan memperingatinya untuk datang ke dokter setiap seminggu dua kali untuk melihat kondisi jantungnya. Dan bodohnya, mengapa ia harus diterima masuk ke dalam tim Lakers? Apa pelatih tim Lakers tidak berpikir kalau adikku ini memiliki sakit jantung? Aku tahu permainan Justin dalam basket tak dapat kuragukan lagi. Ia memang pantas untuk masuk ke dalam tim Lakers. Karena Justin selalu memberitahu padaku kalau ia selalu mencetak angka terbanyak dalam pertandingan. Untuk memasuki tim Lakers dibutuhkan teknik bermain yang hebat dalam menaklukan lawan dan juga seberapa banyak kau sering mencetak angka. Hanya itu dan Justin mendapatkan posisinya. Sial!
            Jantungku dari tadi berdebar tak menentu saat aku mendengar teriakan dari seseorang yang menyebut nama Justin. Bahkan sebelum itu, aku bisa tahu ponselnya terjatuh di atas tanah. Sial, Justin, mengapa dia selalu membuatku khawatir? Aku telah memberitahu pada ayahku untuk menghubungi Justin. Tapi sampai sekarang ayahku belum mengirimiku pesan atau telepon.
            Tiba-tiba ponselku berbunyi. Beep yang masih memelukku langsung melepaskan pelukannya dan aku merogoh kantong celanaku untuk mengambil ponsel. Kemudian aku membukanya.
            Justin baik-baik saja. Sebuah pesan singkat dari ayahku namun dapat membuat diriku ingin berjungkir balik dan bersujud syukur pada Tuhan karena saudara kembarku baik-baik saja. Nafasku yang dari tadi tak beraturan berangsur-angsur menjadi tarikan nafas yang normal. Setelah ini aku akan memarahi Justin. Sial sekali dia!

****

*Author POV*

            Beep menutup pintu apartemennya dengan senyuman konyol di wajahnya. Tiap kali ia berpisah dengan Theo, pasti Theo menyatakan cinta padanya. Itu cukup membuat hatinya berbunga-bunga. Berjalan dengan lambat menuju kamarnya, ia mendengar suara Caitlin yang berteriak-teriak di dalam kamar. Sontak ia berjalan lebih cepat menuju kamar Caitlin, tangannya langsung membuka pintu kamar. Ternyata ia mendapati Caitlin yang sedang melakukan Skype dengan Christian yang tinggal bersama temannya di Los Angeles.
            “Hey, itu Christian?” kejut Beep tak percaya melihat bertumbuh dengan sangat cepat. Padahal mereka baru saja berpisah satu tahun yang lalu, namun perawakan Christian semakin lama semakin ideal. Beep berjalan setelah ia menutup pintu kamar Caitlin dan beranjak naik ke atas tempat tidur, duduk di sebelah Caitlin. Seorang lelaki dengan rambut yang semakin lebat dan kumis yang tipis terlihat di layar laptop Caitlin.
            “Oh hey, Pokerface!” teriak Christian menyapa Beep. Beep hanya tertawa dan melambaikan tangannya pada Christian. Ya, Christian sering memanggilnya Pokerface karena Beep memang memiliki wajah yang datar dan sangat polos. Bahkan jika Beep merasa terasingkan di suatu tempat, ia tidak memiliki sama sekali ekspresi pada wajahnya.
            “Bagaimana kabarmu di sana?” tanya Christian yang matanya tidak menatap kamera laptopnya, ia sedang berbicara dengan seseorang. “Hey, Justin. Kemarilah,” teriak Christian.
            “Aku merasa hebat sekarang. Hey, bagaimana dengan permainan –“ omongan Beep terhenti saat ia melihat seorang Justin yang terlihat di layar laptop Caitlin. Mulut Beep menganga saat ia melihat seorang lelaki yang pernah ia lihat sebelumnya. Apakah lelaki ini masih mengingat Beep saat mereka bertemu di bandara? Wajah Beep dan Caitlin saling berhadapan, Caitlin memperlihatkan wajah yang benar-benar tidak percaya. Bahkan sekarang Caitlin rasanya ingin mati. Seorang Justin, sahabat dari adiknya, ternyata adalah saudara kembar dari Theo? Itu adalah pertanyaan pertama yang berada di benak Caitlin. Setelah sekian lama ia mendengar cerita dari adiknya tentang Justin, akhirnya Caitlin dapat melihat Justin namun dengan wajah yang mengejutkan.
             Beep membisikan sesuatu pada Caitlin dan Caitlin menganggukan kepalanya.
            “Hey, siapa namamu? Aku Justin Bieber, kau bisa memanggilku dengan Biebs, Bieber Twins, atau Super Bieber. Karena aku bisa terbang! Aku juga memiliki saudara kembar dan yang tak lain dan tak bukan adalah Theodore Bieber. Apa kau mengenalnya? Kau mengenalnya? Tentu saja tidak! Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Karena aku rasa aku pernah bertemu kau,”-Justin mengejek Theo dengan tangannya yang bergerak-gerak tak jelas—“Jadi, siapa namamu?” tanya Justin yang tertarik pada Taylor. Pipi Taylor memerah, tatapan matanya sama seperti tatapan mata saat di bandara. Lelaki ini benar-benar cerewet tak terhenti.
            “Panggil saja dia Pokerface,” celetuk Christian memukul tangan Justin. Justin hanya menganggukan kepalanya dan sontak tertawa.
            “Oh hey, Pokerface. Kau sangat cantik,”
            “Umm, Christian. Bisakah aku mematikan Skype sekarang? Karena –“
            “Tidak apa-apa kakakku yang sangat cantik dan juga Pokerface-ku yang sangat cantik. Tidak apa-apa. Aku tahu kalian akan menggosipi teman yang berada di sebelah—“
            “Diamlah,” celetuk Justin menyikuti Christian dan terkekeh pelan. “Selamat tinggal!” kemudian mati.Caitlin langsung mengeluarkan program Skype dan menutup laptopnya dengan cepat. Kemudian wajah Caitlin dan Beep berhadapan, terdiam sejenak lalu mereka mengambil nafas secara berrsamaan.
            “AAAAAAHH! Aku tidak percaya, aku tidak percaya. Aku benar-benar tidak percaya!” jerit Caitlin yang kedua tangannya mulai bergetar tak menentu. Beep juga berteriak namun ia tidak berkomentar. Nafas mereka berdua tak menentu, apalagi Beep yang tidak percaya bahwa tidak bukanlah Theo. Tentu saja itu bukan Theo. Itu pasti adalah kembaran dari Theo. Beep benar-benar shock. Ia beranjak dari tempat tidur Caitlin untuk mengambil sebuah kertas yang berada di atas meja belajar berwarna merah muda milik Caitlin. Setelah mendapatkan sebuah kertas, ia langsung mengipas dirinya dengan cepat. Ini sungguh di luar dugaannya. Tidak mungkin seorang Theo Bieber memiliki saudara kembar yang sangat ..cerewet!
            “Aku tidak ..astaga, Tuhan. Tadi benar-benar ..astaga,” Beep tidak dapat berkata-kata dan ia berjalan mondar-mandir di hadapan Caitlin yang juga meremas bantal yang ia pegang bahkan menggigitnya.
            “Astaga, dia sama dengan Theo! Apa Theo pernah memberitahumu kalau ia memiliki saudara kembar?”
            “Tidak. Ia hanya memberitahuku kalau ia memiliki adik. Jangan beritahu ini kepada siapa pun Cait. Kau tahu aku, kau mengerti aku bukan?” tanya Beep yang tiba-tiba saja merasa begitu panik. Ia tidak ingin Theo tahu kalau ia telah mengetahui bahwa Theo memiliki saudara kembar. Karena pada dasarnya, Beep menyukai Theo dikarenakan oleh Justin. Lelaki pertama yang membuatnya menyukai Theo karena pertemuan mereka di bandara. Beep menyayangi Theo, tentu saja, tapi tiap kali ia menatap mata Theo, ia selalu teringat dengan Justin.
            Pantas saja! Pantas saja ia seperti melihat Theo sebelumnya. Ia betul-betul ingat wajah Theo yang mirip dengan seorang lelaki yang bertemu dengannya kira-kira tiga bulan yang lalu di bandara. Astaga, mengapa ia baru menyadari itu? Adik. Theo memiliki adik.
            Beep duduk di pinggiran tempat tidur Caitlin dan mengambil nafasnya dalam-dalam.
            “Aku tidak ingin kau menyinggung tentang ini pada Theo. Kumohon jangan beritahu padanya kalau aku mengetahui ia memiliki saudara kembar. Aku mencintainya, memang. Tapi ini semua berawal dari Justin, saudara kembarnya. Astaga, Caitlin, rasanya aku sulit sekali untuk menjelaskan peras—“
            “Aku mengerti. Aku akan menutup mulutku. Aku berjanji,” ujar Caitlin menenangkan Beep. Beep menganggukan kepalanya, percaya dengan Caitlin bahwa Caitlin tidak akan memberitahu siapa pun tentang ini.

***

            Hubungan Theo dan Beep berjalan layaknya sepasang kekasih pada umumnya. Terkadang mereka bertengkar namun pada akhirnya mereka akan menyelesaikan masalah mereka bersama-sama. Theo tidak berani untuk menyentuh atau meniduri Beep. Ia akan menjaga tubuh Beep sebaik mungkin. Hubungan mereka telah berjalan selama 7 bulan dan besok adalah hari di mana mereka akan memasuki bulan kedelapan. Perasaan Beep makin lama makin pudar terhadap Theo. Karena hampir tiap hari, Beep dan Caitlin berbicara dengan Justin melalui Skype. Meski Justin sampai sekarang belum mengetahui nama asli dari Beep. Bahkan Justin masih memanggil Beep dengan panggilan Pokerface. Beep lebih menyukai Justin dibanding dengan Theo.
            Caitlin juga menutup mulutnya selama 7 bulan ini. Dan Beep tidak pernah menyinggung keberadaan adik Theo –Justin-. Tapi tiap hari, cinta Theo terhadap Beep semakin lama semakin bertumbuh. Ia bahkan lebih memerhatikan Beep dibandingkan dengan musiknya. Biasanya ia akan mengesampingkan segalanya jika dibandingkan dengan music. Ia mencintai Beep dan music. Perhatian Theo terhadap Justin semakin lama semakin mengetat. Hampir tiap hari, pagi dan malam ia selalu menghubungi Justin untuk memastikan apakah Justin baik-baik saja atau tidak. Beberapa kali Justin harus masuk ke rumah sakit karena jantungnya yang sangat lemah. Tapi itu tidak membuat Justin patah semangat, satu minggu sekali ia bermain dalam pertandingan di dalam tim Lakers. Ia terbang ke Chicago atau Miami untuk mengikuti pertandingan basket. Ia masuk televisi dan Beep selalu menyaksikan aksi Justin di NBA. Begitu juga dengan Theo.
            Pagi ini, di Los Angeles, Justin sedang menikmati hari kesenggangannya di rumah sambil meninum teh yang dibuatkan oleh pelayannya. Ia menatap pada lapangan basket yang selalu menjadi tempat pelampiasan apa pun perasaanya. Marah atau senang, ia akan melampiaskannya pada bola basket. Hatinya sakit mengetahui jantungnya semakin lama semakin melemah, kemungkinan besar ia tidak dapat bermain basket kembali.
            “Aku bisa,” gumamnya sambil meneguk tehnya. Satu tegukan telah mengalir melewati kerongkongannya lalu ia merasakan kehangatan pada lehernya. Tiba-tiba jantungnya seakan-akan terjepit dan sontak ia terjatuh dengan gelas teh yang ia pegang. Tak dapat bernafas.
            “Sial!” umpatnya.
***

*Theodore Bieber POV*

            Sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselku saat aku sedang merenung, melihat pada kolam renang rumahku yang hening. Berpikir mengapa selama ini Beep harus membohongiku. Segalanya telah kuberikan untuknya, kuberikan waktuku untuknya tapi mengapa Beep harus membohongiku? Caitlin memberitahuku karena aku memaksanya, sebelumnya aku tidak pernah memaksa seseorang untuk memberitahu sesuatu yang penting padaku. Tidak pernah. Tapi melihat perubahan tiap bulan dari Beep membuatku cukup penasaran apa yang membuatnya berubah untuk berusaha menjauhiku.
            Hanya bulan malam yang menemaniku dengan lampu-lampu taman belakang yang menyinariku. Menatap pada air kolam renang yang begitu tenang seakan-akan tidak ada yang mengganggunya atau mengancamnya. Beep sudah mengetahui keberadaan Justin. Sial, dunia ini benar-benar sempit. Selama hampir 2 tahun ini ternyata adik Caitlin berteman dengan Justin. Mengapa aku tidak pernah menyadari bahwa Christian yang dimaksud Justin adalah Caitlin? Beep pernah memberitahuku keberadaan Christian, adik Caitlin yang tinggal di LA. Tapi aku tidak pernah berpikir kalau Justin akan bertemu dengan Christian di sana. Bahkan satu rumah dengan Justin.
            Caitlin menceritakan keseluruhannya tadi sore di Café bersamaku. Beep masih memiliki satu mata pelajaran lagi yang harus ia ikuti sampai malam. Mungkin sekarang ia sudah pulang dijemput oleh Caitlin. Kekecewaanku benar-benar besar terhadap Beep. Saat Caitlin mengatakan bahwa ternyata Beep menyukaiku karena aku adalah lelaki kedua yang membuatnya terpukau, tentunya lelaki pertama bagi Beep adalah Justin. Mereka ternyata pernah bertemu di bandara. Sial, ini semua terdengar masuk akal. Saat Beep menceritakan kepergian ayahnya yang bersamaan dengan kepergian Justin. Dan, sial. Sungguh benar-benar sial. Aku berkeringat sekarang.
            Sengaja tadi pagi aku tidak menghubungi Justin, begitu juga malam ini. Justin memang pernah menceritakan tentang perempuan yang sering ia hubungi melalui Skype tiap harinya, tapi aku tidak begitu penasaran dengan gadis itu. Tapi ternyata, sial, yang dimaksud Justin adalah Beep. Entah ini adalah salahku atau salah Beep, tapi yang jelas aku benar-benar kecewa dengan Beep. Caitlin juga bilang, setiap ada Lakers Game di televisi NBA, Beep sering menontonnya hanya untuk melihat Justin. Ya, Justin mulai aktif di dalam tim Lakers dan aku salut dengannya karena kehebatannya dalam bermain basket. Bahkan Justin tidak terlihat seperti lelaki yang memiliki penyakit jantung.
            Tapi entah mengapa aku tidak begitu peduli dengan Justin sekarang. Apalagi dengan Beep. Tentu saja aku cemburu dengan Justin yang lebih diperhatikan oleh Beep. Tentu saja aku tidak menerima jika kekasihku ternyata selama ini berselingkuh dengan lelaki lain. Mengapa Beep tidak mengatakan yang sebenarnya saja padaku? Selama tujuh bulan! Apa kalian bisa membayangkannya seberapa kecewanya diriku terhadap Beep yang telah menyembunyikan rahasia ini padaku? Maksudku, untuk apa? Ia mencintaiku karena semua berawal dari Justin. Dia tidak sama sekali mencintaiku apa adanya. Ya Tuhan, mengapa rasanya begitu sulit untuk menenangkan pikiranku?
            Gadis sepertinya sangat langka kudapat. Maksudku, perhatiannya dan kebaikannya terhadapku. Segala kekurangannya kuterima. Ia gadis yang tepat waktu dan ..astaga, dia gadis impianku selama ini. Besok adalah hari jadiku bersama dengan Beep yang kedelapan bulan. Aku mendesah pelan. Jika seperti ini, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Jika lebih mencintai Justin dan aku kecewa, lebih baik aku melepaskannya. Ia tidak mencitnaiku selama 7 bulan ini. Aku rasa, aku harus mengakhiri hubungan ini.

***

            “Aku rasa kita harus mengakhiri hubungan ini,” bersamaan dengan ucapanku, sebuah suara pesan masuk ke dalam ponselku. Tapi aku mengabaikannya. Mataku tidak menatap pada mata Beep yang berada di sebelahku. Rasanya aku tidak sanggup untuk melihatnya. Taman Nasional terasa begitu sejuk dan tampak begitu asri. Danau yang berada di tengahnya tampak tenang bersama dengan angsa-angsa putih dan hitam yang berenang di atasnya. Mereka sangat cantik. Tapi pemandangan yang berada di hadapanku tidak sama sekali sama dengan perasaanku sekarang.
            “Tapi mengapa?” tanya Beep bergetar. Sial, dia menangis. Aku tidak menatapnya, masih menatap lurus pada danau.
            “Aku kecewa padamu Beep. Selama delapan bulan ini aku memberikan waktuku untukmu. Setiap rasaku untukmu. Maksudku, aku percaya padamu Beep. Kau penyemangatku tiap harinya. Tapi kurasa kau tidak merasakannya. Ini berakhir. Kau tidak mencintaiku dan aku tidak dapat memaksamu,” jelasku padanya. Mengapa ia tidak langsung saja pergi dari hadapanku? Dia sungguh mempersulit segalanya. Tidak, aku tidak ingin menciumnya. Aku tidak akan membentaknya atau marah padanya. Hanya saja, ini sudah berakhir.
            “Aku benar-benar minta maaf –“
            “Tidak perlu meminta maaf, Beep. Semuanya sudah berakhir, kau tahu, kau dan aku ..sudah tidak ada apa-apa lagi. Apa kau ingin pergi? Atau aku yang akan pergi?” tanyaku, akhrinya membalikan kepalaku padanya. Sial! Dia sudah menangis. Aku tidak bisa melihatnya menangis seperti ini. Dengan cepat aku memeluknya dan menaruh kepalanya di atas dadaku. Tangisannya memecah. Dia benar-benar mempersulit keadaan ini. Dan rasanya aku tidak bisa kembali masuk ke dalam realita. Kenyataan bahwa tidak aka nada gadis yang dapat menerimaku apa adanya. Atau hanya aku yang pemilih? Sialan.
            “Bisakah aku pergi?” tanyaku menarik pundaknya agar lepas dari pelukanku. Ia menyeka hidungnya dengan punggung tangannya dan mengangguk. 
            “Bagus. Jaga dirimu baik-baik. Atau kau ingin aku mengantarmu pulang?”
            “Tidak perlu. Ini hanya ..ya Tuhan, Theo. Aku benar-benar minta maaf. Ini semua salahku. Aku egois dan aku telah menyakiti hatimu. Ini sangat ..”
            “Aku pulang,” aku beranjak dari tempatku dan meninggalkannya. Apa pun yang ia katakan hanyalah omong kosong. Sekalipun ia meminta maaf, itu tidak ada gunanya. Itu tidak akan memperbaiki segalanya kecuali jika aku dan ia benar-benar mengakhiri hubungan ini. Tidak akan ada yang bisa mengembalikan lagi waktu ke belakang. Kecuali ini adalah mimpi, aku akan bangun dari mimpi ini.
            Meninggalkannya memang terasa begitu sulit. Tapi aku harus melakukannya. Seperti banyak orang bilang, disetiap pertemuan akan ada perpisahan. Tapi setidaknya, aku mengucapkan selamat tinggal padanya. Lagu Adele tidak akan pernah masuk dalam pikiranku sekarang. Aku tidak akan mencari gadis seperti Beep lagi. Tapi aku mengharapkan yang terbaik juga untuknya. Saat aku keluar dari taman nasional, aku mencari mobilku yang kuparkir di pinggir jalan.
            Membuka kunci pintu mobil, aku masuk ke dalamnya. Kuhembuskan nafasku dan merogoh kantong celanaku untuk mengambil ponsel. Berada di genggamanku, aku menyalakannya dan melihat satu pesan masuk di sana. Justin masuk rumah sakit. Dia kritis. Pesan dari Justin, aku tahu ini pasti dari temannya. Sial! Mengapa rasanya sore ini aku tidak dapat menjadi orang yang tenang dan bersikap normal seperti dulu? Justin! Sial, dia masuk rumah sakit dan kritis. Apa ayah sudah mengetahuinya? Tubuhku melemah tiba-tiba.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar