Jumat, 02 Agustus 2013

Fight for Love Bab 2



***

*Theodore Bieber POV*

            “Jadi kau tidak tinggal dengan orang tuamu?” tanya memperhatikan ia memakan makanannya. Entahlah, ia memintaku untuk makan di restoran junk food. Jarang sekali aku makan di tempat seperti ini, kau tahu McDonald.  Hari ini McDonald benar-benar penuh dengan orang-orang. Ada yang berlalu lalang mengambil pesanannya, ada yang ingin mencuci tangannya, mengambil saus dan semacamnya. Intinya McDonald benar-benar ramai. Yeah, aku tahu masa kecilku kurang menyenangkan hanya karena aku jarang mencicipi makanan seperti ini. Dan aku diizinkan memanggil Taylor dengan panggilan Beep. Entahlah, itu kedengaran lucu dan cocok untuknya. Rambutnya ia kepang dan ia memakai kemeja kotak-kotak berwarna ungu-putih dengan dalaman kaos berwarna putih juga dengan icon smiley senyum di sana. Dia terlihat lebih sederhana dibanding kemarin. Maksudku, pakaian kemarin benar-benar mencetak tubuhnya sehingga itu membuatku sedikit tak nyaman. Kurasa aku mengeras di ‘bawah’ sini.
            “Ibuku meninggal dan ayahku pergi ke Los Angeles kemarin subuh. Dan aku memiliki sahabat yang sudah mengenalku lebih dari 15 tahun. Kau tahu, Caitlin. Orang tuanya juga mendukung kami tinggal di apartemen bersama,”
            “Oh, apa kau memiliki adik atau ..sepupu yang tinggal di dekat sini?”
            “Tidak, tidak ada. Ayahku anak tunggal, ibuku juga. Sehingga aku tidak memiliki siapa-siapa di sini selain keluarga Beadles. Aku dekat dengan adik Caitlin, ia Christian,”
            “Kelihatannya kalian dekat sekali, apa ayahmu berteman dengan ayah mereka?”
            “Ya, benar. Kau pintar sekali,” pujinya dengan gemas, hidungnya mulai mengkerut dan itu benar-benar lucu. Maksudku, mengapa ia bilang itu adalah pintar? Maksudku, semua orang pasti dapat menebak kalau orang tuanya berteman dengan orang tua sahabatnya. Seperti yang ia bilang tadi, 15 tahun bersahabat. Entahlah, dia benar-benar polos sekarang.
            Kuambil kentang yang tadi kupesan dan kumasukan ke dalam mulut.
            “Itu biasa saja. Ingin kuantar pulang setelah ini?” tanyaku yang membuatnya menghentikan kunyahannya. Oh, semoga ia tidak terkejut dengan pertanyaanku. Dan kuharap ia tidak merasa kalau ini memang terlalu cepat. Hanya saja ..sialan! Aku benar-benar menyukai gadis ini. Kemudian ia menelan burger yang ia makan dengan cepat dan mengambil Pepsi yang tadi ia pesan.
            “Kau tidak akan memperkosaku, kan?” tanyanya kelihatan begitu khawatir. Mataku membulat.
            “Astaga, tidak Beep. Tentu saja, tidak. Aku tidak melakukan itu, jangan berpikir hal-hal yang negatif. Aku hanya mengantarmu karena kau adalah temanku,” jelasku berusaha untuk meyakinkannya bahwa aku tidak akan melakukan itu padanya. Astaga, dia benar-benar ..sial. Apakah aku kelihatan seperti orang jahat? Mungkin. Oh, atau Beep telah bertemu dengan Justin dan Justin menggodanya? Siapa tahu. Itu hanya pemikiran yang menurutku dangkal. Hanya bercanda dan itu tidak mungkin terjadi. Dan kuharap jangan sampai terjadi.
            “Kau berjanji?”
            “Aku justru bersumpah,” ucapku kali ini memberikan dua jariku padanya, menyatakan bahwa aku memang bersumpah. Kemudian ia tersenyum dan ia menganggukan kepalanya. Kemudian ia menaruh sisa burger yang ia makan di atas meja. Sambil mengunyah, ia menatap pada kukunya yang ia mainkan di atas meja.
            “Apa kau pernah berhubungan seks sebelumnya?” tanyanya kali ini lebih personal. Oh, sial.
            “Tidak, aku tidak pernah melakukannya. Mengapa?”
            “Karena aku pernah,” bisiknya dengan suara yang benar-benar kecil. Astaga. Dia pernah melakukannya? Berarti dia sudah tidak perawan. Sekarang pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut dirinya melakukan seks berjatuhan di otakku. Benarkah? Maksudku, aku tidak pernah menyangka ini.
            “Kau ingin berbagi?” tanyaku, ia mendongak dan tersenyum padaku.

***

            “Yeah, katanya ia pernah berhubungan badan sejak ia berumur 15 tahun. Dan ia sudah melakukannya sebanyak tiga kali. Hanya tiga kali karena dia tidak ingin merusak dirinya, sahabatnya yang menyarankannya sehingga ia bertobat,”
            “Sial! Aku jadi penasaran dengan Beep-mu. Omong-omong, nama panggilannya benar-benar lucu –ceritakan lagi tentangnya,” ujar Justin kali ini lebih tertarik dibanding kemarin. Aku bisa mendengar nafasnya yang semakin lama semakin memburu. Apa dia sudah meminum obatnya? Karena sekarang aku berkeringat. Yeah, ini aku dan Justin seperti memiliki kekuatan kembar. Jika Justin merasa lelah, kadang aku bisa merasakannya. Yah, kira-kira seperti itu.
            “Apa kau telah meminum obatmu?” tanyaku.
            “Oh sial. Ibu, aku akan meminumnya sebelum tidur,” gumamnya mengejekku, “bisakah kita membicarakan Beep yang kau sukai itu? Kurasa aku juga tertarik dengannya,”
            “Berengsek kau. Dia hanya milikku. Aku tidak rela membagikan apa yang akan menjadi milikku pada saudara kembar sepertimu. Aku tidak ingin ia rusak karenamu,”
            “Terserah apa katamu Theo. Ceritakanlah tentangnya,” paksanya padaku.
            “Well, ayahnya tinggal di Los Angeles. Sehingga ia sekarang tinggal berdua dengan sahabatnya,” ujarku. “Hanya saja sekarang aku tidak percaya dengan ucapannya tadi tentang dia telah berhubungan badan,”
            “Sial, Theo. Itu wajar jika ia telah melakukannya. Ia sudah dewasa, kau saja masih remaja,” nafas Justin mulai naik-turun tak beraturan.
            “Kapan kau meninggal Justin?”
            “Oh, shit! Sekaranghh!” teriaknya yang membuat mataku membulat begitu saja. Keringatku semakin mengucur dengan deras. “Oh, astaga. Theoh, Theoh,” suaranya melemah.
            “Justin? Kau masih di sana?” tanyaku dengan panik. “Theoh,” nafasnya tak beraturan.
            “Justin!” aku berteriak padanya, kali ini. “KENA KAU!”
***

*Justin Bieber POV*

            “Baiklah, ibu aku harus tidur sekarang,” ejekku pada Theo sambil meremas dadaku yang sakit. Jantungku berdenyut dengan kencang namun rasanya jantung ini tersedot oleh tubuhku sendiri. Sehingga denyutan begitu sakit. Seakan-akan seluruh otot yang berada di dadaku berusaha untuk memasukan dan menyembunyikan jantung ke dalam jeratan mereka. Aku mematikan ponselku dan melemparkannya ke atas sofa yang kududuki. Jantungku sekarang memang sangat sakit, aku berbohong pada Theo tadi. Sial, sial!
            “Argh! Sial,” erangku mengadahkan kepalaku ke atas. Aku berusaha untuk bisa bernafas. Namun sebisa mungkin aku menahan sakit ini. Sedikit demi sedikit aku memerosotkan tubuhku sehingga sekarang aku terlihat setengah terduduk. Cara lambatnya memang seperti ini jika ingin mendapatkan nafas yang normal.
            “Joseph!” aku berteriak dari sini. Joseph adalah sahabatku. Ia tinggal satu rumah denganku. Well, ini adalah rumahku. Rumahku cukup besar di Los Angeles. Sehingga tak jarang banyak teman-temanku yang akan menginap di sini. Dengan satu pelayan yang juga tinggal di sini untuk mengurusiku. Televisi ruang tamuku masih menyala, makanan ringan masih berada di atas meja, lalu Joseph turun dari lantai atas dengan bola basket yang berada di tangannya. Ia memutar-mutarkannya dengan lincah. Mengapa rasanya aku ingin menonjok lelaki ini?
            “Apa?” tanyanya setelah berdiri beberapa meter dariku.
            “Kau tahu apa pekerjaanmu setelah ini? Theo sebentar lagi akan menghubungiku. Dengan nafas seperti ini ..sialhh. Aku tahu ia berkeringat sekarang di sana. Kau tahu seberapa keibuannya saudara kembarku, bilang padanya aku telah tidur,”
            “Tidak,” tolaknya yang membuatku ingin mengeluarkan jantung ini secepat mungkin. Ini karena aku belum datang ke dokter dua hari yang lalu. Satu minggu ini aku belum datang ke dokter pribadiku yang tinggal cukup dekat dari rumahku.
            “Kau harus membantuku, sialan!”
            “Mengapa kau harus hidup dalam kebohongan?”
            “Aku tidak ingin satu di antara keluargaku merasa khawatir terhadapku,” ujarku kali ini membentak. Kemudian ponselku berdering.Sial, aku sudah tahu ia akan menghubungiku. Denyut jantungku semakin cepat berdetak dan nafasku semakin lama semakin tidak beraturan.
            “Angkat!”
            “Tidak!”
            “Angkat!” aku meraih ponselku.
            “Tidak,”
            “Angkat,” aku langsung menekan tombol hijau pada ponselku dan melemparnya pada Joseph yang langsung menangkapnya.
            “Halo, saya Joseph. Justin Bieber yang Anda cari sedang ..ya, aku temannya. Tidak, dia baik-baik saja ..aku yakin ..terima kasih. Iya, terima kasih kembali,” ujar Joseph yang langsung mematikan ponselnya. Kemudian detak jantungku akhirnya semakin lama berdetak dengan normal meski kepalaku sekarang begitu pening. Aku tidak tahu apa besok aku bisa pergi ke dokter untuk melihat bagaimana keadaanku sekarang. Hanya saja aku sudah bosan dengan hasil yang sama.Tidak akan ada kemajuan dari jantungku, justru jantungku semakin melemah. Rasanya aku ingin mengeluarkan jantungku sekarang juga.
            “Semoga kau tenang dengan hidupmu yang penuh dengan kebohongan,” gumamnya.
            “Aku harap kau mati!” teriakku pada Joseph yang melempar ponselku ke atas meja ruang tamu dan berjalan kembali menuju anak tangga. Berhenti melangkah di anak tangga yang kelima, ia berbalik dan memutarkan bola basket yang berada di tangannya.
            “Aku tidak tahu Justin, apakah aku atau kau yang akan lebih cepat mendapatkan kematian,”
            “Sial kau, Joe!” aku berteriak padanya dan tertawa. Aku tahu Joe –Joseph—sedang memiliki masalah sekarang sehingga ia cukup tidak peduli dengan keadaanku. Padahal masalahnya hanyalah karena kekasihnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Jika sudah seperti itu, untuk apa kita pertahankan lagi? Jika aku menjadi Joe, tentunya aku akan mencari gadis lain.
            Berbicara tentang gadis. Aku jadi penasaran dengan Beep yang Theo ceritakan. Kelihatan sekali bahwa Beep adalah seorang yang periang dan berbicara dengan jujur. Meski Theo bilang ia terlihat begitu polos. Well, mungkin hanya paras Beep yang polos. Sial, aku ingin bertemu dengan Beep. Untunglah 3 bulan lagi adalah Thanksgiving sehingga Theo bisa memperlihatkan Beep padaku. Kuharap Theo cepat-cepat berpacaran dengan Beep. Tapi aku meragukannya.
            Kurasa Theo itu seorang gay.

****

*Author POV*

            Tangan Theo gatal ingin memukul sesuatu. Sudah dari tadi pagi hingga sore seperti ini ia memikirkan Justin. Dan sudah berkali-kali ia menghubungi Justin namun Justin tidak mengangkatnya. Kemarin ia tahu sekali Justin berbohong padanya. Keringatnya kemarin mengucur deras tak menentu dan jantungnya juga berdetak dengan kencang, bersamaan dengan jantung milik Justin. Mereka kembar sehingga beberapa organ dalam tubuhnya sama dan tentu saja karena kontak batin yang sangat erat di antara mereka. Theo menunggu Beep yang belum keluar dari kelasnya sekarang.
            Sore ini Theo akan mengajak Beep untuk pergi ke Mall. Entahlah, Theo hanya ingin menghabiskan sisa waktunya dengan Beep hari ini. Dan pastinya Beep akan menerimanya. Bersandar di sebelah pintu masuk kelas Beep, Theo melipat tangannya dan menundukan kepalanya. Menit demi menit berlalu, Theo merasa begitu bosan dan pikirannya tak karuan memikirkan Justin. Apa Justin hari ini sudah pergi ke dokter? Karena ia telah mengirimi ia pesan suara para Justin. Semoga saja Justin menerima pesan itu. Kepala Theo terdongak sambil nafasnya menghembus dengan lambat. Tangannya mulai masuk ke dalam kantong celananya untuk mengambil ponselnya.
            Kembali ia menghubungi Justin. Ia mendekatkan ponselnya ke arah telinganya dan menunggu jawaban dari Justin.
            “Ya, ibu? Ada apa?” bersamaan dengan jawaban Justin, Theo langsung mematikan ponselnya karena pintu kelas Beep terbuka. Bermuncullah mahasiswa dengan wajah yang dapat menyiratkan bahwa pelajaran yang baru saja mereka lewati adalah pelajaran yang bosan atau mungkin dosen yang mengajar mereka sangat membosankan. Kemudian Beep muncul dengan wajah yang sama dengan mahasiswa yang sebelum-sebelumnya keluar.
            “Hey, Beep,” sapa Theo dengan girang. Tapi wajah Beep memperlihatkan wajah yang benar-benar lesu. Beep berjalan melewati Theo dan lalu berdiri di sebelah Theo, menyandarkan tubuhnya pada tembok dan mendesah pelan. Beep menggelengkan kepalanya, kelihatan sekali ia merasa bosan.
            “Di mana Caitlin?” tanya Theo membuka percakapan.
            “Oh. Dia sudah pulang dari tadi siang. Jadi sore ini aku harus pulang sendiri,” ujar Beep. Theo meraih tangan Beep yang berada di sebelah tubuhnya, sontak Beep terkesiap. Ia mendongakan kepalanya untuk menatap Theo.
            “Kau ingin pergi makan malam bersamaku? Kita bisa menghabiskan malam ini bersama-sama,”
            “Lagi?” tanya Beep bingung. Mengapa tampaknya Theo ingin sekali Beep menghabiskan waktu bersamanya? Beep memang menyukai ketampanan Theo, tapi bukan berarti setiap hari ia dan Theo akan menghabiskan waktu bersama-sama.
            “Kau tidak tertarik?” tanya Theo mencoba untuk menatap mata Beep. Tapi mata Beep terus menatap pada lantai, mengabaikan Theo. Keinginan terbesar Theo adalah Beep akan menatap matanya tiap kali Theo berbicara dengannya sebelum Beep benar-benar tidak dapat menatap mata Theo yang langka itu.
            “Tentu saja aku tertarik,” ujar Beep kali ini bersemangat. “Ayo!” serunya dengan riang. Beep adalah gadis Sanguin yang periang. Dan ia mudah sekali melupakan sesuatu. Sehingga jika ia merasa bosan dimenit pertama maka dimenit yang kedua biasanya ia akan menjadi gadis periang lagi. Sanguin selalu mendalami apa yang ia rasakan sehingga mereka terlihat seperti hiperbola.

***

            Beep memang sudah tidak perawan. Ya, tentu saja ia sudah tidak perawan. Kekasihnya yang memerawaninya. Ayah Beep belum tahu tentang ini. Hanya Caitlin, Christian, dan Theo yang mengetahui ini. Dan ya, Beep melakukannya sebanyak tiga kali bersama dengan kekasihnya. Namun Caitlin tidak ingin Beep merasa ketagihan untuk melakukan itu sehingga Beep mungkin akan meluncur ke dalam dunia pergaulan yang sangat bebas. Beep lebih menyayangi Caitlin –tentunya—dibanding dengan kekasihnya saat itu. Dan untungnya Beep masih memiliki otak untuk tidak melakukan itu lagi. Sehingga setelah Caitlin menyuruhnya untuk berhenti melakukan hubungan badan, Beep melepaskan kekasihnya begitu saja. Dapat diakui oleh Beep ia memang menikmatinya, tapi bagaimana pun juga, Beep adalah gadis yang polos. Polos karena setelah ia melakukan itu, ia tidak ingin mencari tahu lebih dalam lagi tentang hubungan badan. Diumurnya yang kesembilan belas ini, Beep ingin sekali memiliki kekasih. Ia ingin melakukan hubungan badan secara nyata, tidak sewaktu itu masih sebagai remaja yang sangat labil.
            Beep mulai menyukai Theo. Tentu saja ia menyukai lelaki ini. Namun tiap kali ia menatap Theo, kepalanya selalu mengingat pada lelaki yang ia temui di Bandara. Lelaki yang membantunya membawakan koper ayahnya saat Beep tak sengaja terjatuh sendiri oleh kakinya.  Tatapan lelaki itu sama seperti Theo menatapnya. Jantungnya berdetak kencang saat ia bertemu dengan lelaki itu dan ia berharap ia dapat bertemu dengannya secepat mungkin. Namun yang ada di hadapannya hanyalah Theo. Setidaknya, Theo adalah lelaki yang cukup membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
            Dan pertemanan Beep dan Theo membawa Beep kepada kehidupan yang baru yang lebih berwarna. Beep berharap, Theo dan dirinya akan semakin dekat. Ia tidak ingin pertemanannya akan cepat berakhir karena mungkin, Beep berpikir Theo akan menjadikan ia kekasihnya. Mungkin. Caitlin pasti akan mendukungnya.

***

*Theodore Bieber POV*

            “Woohoo! Sial, Theo. Kau tidak tahu seberapa senangnya aku saat aku ditawari untuk masuk ke dalam tim Lakers!” seru Justin yang melompat-lompat di atas ranjangnya. Kami sedang melakukan ‘Skype’ melalui laptop. Dan yah, Justin masuk sebagai pemain di dalam tim Lakers. Sudah dua bulan berlalu Justin selalu menceritakan seberapa ia sangat ingin masuk ke dalam tim basket itu. Justin tampak sehat-sehat saja dengan ototnya yang semakin berbentuk. Setelah lama melompat-lompat di atas kasur akhirnya lompatan terakhir, ia langsung berhenti dan terduduk bersilang di atas kasurnya dengan nafas yang tak beraturan. Baiklah, ini dia. Jantungnya pasti sudah terasa sakit makanya ia berhenti melompat. Rasakan itu!
            “Oh sial, Theo. Perasaan ini sangat menyenangkan,” ujarnya terbatuk-batuk dan mengambil sebuah kertas untuk mengipas dirinya sendiri. Ia sudah berkeringat, akupun begitu.
            “Ha, yeah. Selamat saudara kembarku. Kuharap kau tidak cepat meninggal,”
            “Apa kau ingin aku cepat meninggal?” tanya Justin merasa tersinggung. Hey! Aku hanya memperingatinya. Itu hanya seperti sebuah peringatan secara tak langsung. Aku juga tidak ingin ia cepat meninggal. Maksudku, aku tidak pernah menginginkan itu. Kurasa kalian sudah tahu mengapa.
            “Tidak, tentu saja tidak,” aku menjawabnya dengan tenang.
            “Hey, bagaimana kabar Beep? Mengapa kau tidak pernah ingin mengirim foto dirinya? Aku sungguh penasaran, siapa tahu aku mengenalnya,” gumamnya melantur. Aku tidak tahu apa yang sekarang memengaruhinya sehingga sekarang otaknya sedikit tidak waras atau mungkin sedikit bergeser karena senangnya ia mendapatkan kesempatan itu.
            “Justin, aku sudah berkali-kali menyebut nama lengkapnya padamu dan kurasa kau tidak  mengenalnya. Dan kau tidak perlu mengetahui bagaimana wajahnya. Intinya dia sangat cantik,”
            “Ha, aku tidak percaya. Aku tidak mungkin menyukai gadis yang kausukai. Kurasa Beep adalah seorang kutu buku oleh karena itu kau tidak berani memperlihatkan fotonya padaku? Oh, aku tahu. Atau mungkin kau malu karena ia memiliki sesuatu di wajah—“
            “Bisakah kau diam? Aku sedang berpikir keras di sini. Aku butuh saranmu,” bisikku kali ini lebih was-was. Kulipat kedua tanganku seperti aku ingin berdoa dan mulutku menggigiti jari jempolku. Oh, Tuhan. Kurasa besok adalah hari yang tepat untuk meminta Beep sebagai kekasihku. Aku sudah melewati waktu selama dua bulang bersama dengan Beep. Hubunganku dengannya semakin lama semakin dekat. Tak jarang ia menginap di kamarku, aku tidak berbohong. Sungguh, wajahnya sangat cantik saat ia tertidur.
            “Tentang apa? Kau tahu, aku selalu bisa kau andalkan,”
            “Kadang-kadang, ya, kau bisa diandalkan,” gumamku melepaskan jari jempol dari mulutku. “Aku ingin Beep menjadi kekasihku besok. Tapi bagaimana caranya?” tanyaku panik. Aku meremas rambutku dengan gemas. Sontak Justin jungkir balik ke belakang dan tertawa dengan sangat keras lalu ia berguling-guling di atas tempat tidurnya. Terkadang, jika ia selalu mengejekku, aku selalu menginginkan dia cepat meninggal. Maksudku, jungkir balik? Yang benar saja! Ia benar-benar keterlaluan. Aku menunggunya yang masih tertawa-tawa dan memukul-mukul kasurnya dengan kencang sampai berbunyi. Semoga tiba-tiba saja kasurnya rusak. Amin. Kemudian ia merangkak ke arah laptopnya lagi. Bibirnya ia gigit untuk menahan tawanya. Kemudian ia tertelungkup di atas kasurnya dan mengambil satu bantal untuk mengadahkan kepalanya dengan santai.
            “Oh Tuhan, aku tidak tahu mengapa aku memiliki saudara kembar sepertimu, Theo. Tapi demi Tuhan, kau benar-benar lucu,” gumamnya menggelengkan kepalanya.
            “Sudahlah. Cepat beritahu aku,”
            “Untuk memintanya sebagai kekasihmu? Mudah saja,” ujarnya sambil memperlihatkan kepalan tangannya padaku. “Satu,” –ia memunculkan jari telunjuknya—“Ajak dia ke tempat yang romantic,” ujarnya menghembuskan nafasnya, seakan-akan ia sedang mengajari seorang anak kecil yang tidak mengerti perbedaan apa itu tangan kiri dan tangan kanan.
            “Kedua, kau harus membicarakan masa-masa lalumu dengannya. Kau tahu, selama dua bulan ini. Apa kau mengerti?”
            “Aku tidak sebodoh dirimu,”
            “Ha, yeah. Aku tahu kau pintar dalam hal mata pelajaran, tapi dalam hal cinta? Kau saja saudara kembarku meminta saran bagaimana caranya melakukannya. Mungkin saat kau ingin berhubungan badan dengannya, kau akan memintaku bagaimana caranya,” ujarnya melantur. Aku hanya diam, tidak ingin menghentikannya berbicara. Apa pun yang ia katakan yang penting ia harus memberitahu padaku bagaimana caranya meminta Beep untuk menjadi kekasihku.
            “Ketiga, cium dia perlahan-lahan dan bilang padanya kalau kau ingin ia menjadi kekasihmu. Selesai. Theo, percayalah, kau itu setampan diri –meski aku lebih tampan darimu—dan kau harus optimis kalau kau akan mendapatkannya. Aku akan mendoakanmu,”
            “Kupikir kau tidak pernah berdoa,”
            “Sial kau, Theo! Tiap hari aku berdoa agar aku dapat masuk ke dalam Tim Lakers. Dan lihat? Aku masuk, saudara kembarku yang lucu! Aku masuk!” serunya kembali heboh. Seharusnya aku tidak membawa topik pembicaraan itu. Kuputar bola mataku dengan malas.
            “Apa kau sudah pergi ke dokter kemarin? Aku telah mengirimimu pesan suara,”
            “Sudah ibu. Theo, aku bingung denganmu,” gumamnya menggaruk kepalanya dan raut wajahnya memang memperlihatkan wajahnya bingung. “Sejak ibu meninggal, kurasa kau sangat perhatian padaku,” ujarnya tak menatapku. Baiklah, ini dia. Ya, ibuku meninggal sejak aku dan Justin masuk kuliah karena sakit jantung. Ayahku tidak berniat untuk mencari wanita lain sebagai istrinya, itu sungguh bagus. Karena aku juga tidak membutuhkan ibu baru. Well, sudah 4 tahun aku dan Justin ditinggalkan oleh ibuku. Justin mendapatkan penyakit keturunan dari kakek dan ibuku. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kusayangi lagi dengan kejadian dan penyakit yang sama. Maka dari itu aku sangat perhatian pada Justin sejak kepergian ibu.
            Aku terdiam cukup lama.
            “Kau tidak ingin menjawab? Ya, tidak apa-apa,” kali ini suaranya lebih tenang.
            “Tidak. Bukan. Hanya saja ..Justin, kau tahu ibu meninggal karena penyakit jantung yang lemah. Sama sepertimu. Aku tidak ingin kehilangan anggota keluarga kita dengan penyakit yang sama,”
            “Oooh, ibu. Kau sangat manis,” ujarnya seperti gadis remaja labil. Dia mengejekku.
            “Apa pun yang kaukatakan Justin, apa pun,” aku mengabaikannya karena kesal. Aku sedang serius tapi dia ..astaga, untung saja ia tidak berada di sebelahku.
            “Ya, jadi ingatlah kata-kataku tadi. Pergi ke tempat romantic. Beritahu masa-masa kebersamaan kalian. Lalu cium dan minta dia sebagai kekasihmu. Aku selalu melakukan itu,”
            “Dan kau diterima?”
            “Ya, tentu saja. Mama, aku tidak mengerti mengapa saudara kembarku tidak percaya,”
            “Hmm, baiklah. Aku akan melakukannya,”
            “Yeah, semoga beruntung saudara kembarku yang manis,”
            “Hey, kau akan datang minggu depan bukan?”
            “Ya, tentu saja. Aku akan membawa gadisku –“
            “Tidurlah,” aku memotongnya.
            “Ya, ibu. Aku pasti akan tidur. Aku mencintaimu, ibu,” ejeknya. Aku hanya mengabaikannya dan mematikan Skype lalu laptop-ku.
            Besok adalah hari besar bagiku. Aku akan meminta Beep untuk menjadi kekasihku!

***

            “Kau menyukainya?” tanyaku menyandarkan kedua tanganku pada pegangan jembatan merah sambil menatap Beep yang tersenyum menatap ke arah bawah. Sore ini benar-benar indah. Sungai yang berada di bawah kami mengalir dengan derasnya, angin sepoi-sepoi yang menerpa dirinya membuatnya menarik nafas dalam-dalam untuk merasakan kenyamanan dan keheningan tempat ini.
            “Aku sangat menyukainya,” bisiknya menolehkan kepalanya padaku dan menatap mataku. Sial, mata biru itu. Kami berdiri dengan jarak 1 meter, aku mengambil satu langkah lebih dekat padanya.
            “Beep, aku mengajakmu ke sini karena aku ingin memberitahumu sesuatu,”
            “Apa itu berhubungan dengan cinta?” tanyanya yang membuatku terkesiap, namun aku tidak memperlihatkan keterkejutanku padanya. Aku terdiam dan kemudian aku menganggukan kepalaku.
            “Ya, katakan saja,” bisiknya memberikanku sebuah senyuman kecil.
            “Seperti yang kita berdua tahu, kita telah menjalani pertemanan selama dua bulan. Kau dan aku terasa begitu dekat. Kebersamaan yang kita lalui tentu saja membuatku menyukaimu. Bahkan aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama,”
            “Benarkah?”
            “Aku menyukai matamu, Beep, saat pertama kali aku bertemu denganmu. Bahkan setiap kali aku berbicara denganmu, aku berharap kau menatap mataku terus menerus. Aku tidak ingin membicarakan omong kosong, tapi serius, matamu benar-benar tenang untuk dilihat,”
            “Benarkah? Aku juga menyukai matamu,”
            “Apa aku boleh menciummu?” tanyaku tanpa berpikir. Saat itulah aku merasa aku adalah orang terbodoh di dunia ini. Mengapa aku bertanya padanya? Tapi Beep tidak menjawab. Ia melangkah satu langkah lebih dekat padaku dan ia benar-benar membalikan tubuhnya ke arahku. Ia melipat bibirnya dan menelan ludahnya dengan susah.
            “Apa kau yakin?” tanyanya menyentuh tanganku, meraih lenganku. Aku tersenyum padanya dan menggelengkan kepalaku. Meraih kepalanya, aku langsung mengecup bibirnya.
            “Aku selalu yakin,” bisikku kali ini mencium lebih dalam lagi. Kupegang leher belakangnya dan memasukan lidahku ke dalam mulutnya. Ia mengerang pelan, membuat sesuatu yang berada di bawahku mengeras. Sialan! Aku menginginkannya. Ciuman ini semakin mendalam dan ia mengisap bibir bawahku. Sebisa mungkin aku tidak mengerang karenanya. Ia melingkarkan tangannya di sekitar leherku.
            “Apa kau mau, Beep?”
            “Apa jika aku menerimamu aku akan mendapatkan ciuman lebih panas?”
            “Kau adalah gadis berwajah polos yang nakal,”
            “Aku akan menjadi seperti itu, hanya untukmu,”
            “Maka ya, kau akan mendapatkannya,” Bisikku meraih bibirnya kembali pada bibirku. Kali ini ia melingkarkan kakinya di sekitar pinggangku. Tangannya meremas rambutku.

            “Aku mencintaimu,” bisiknya. Aku terdiam dan terus menciumnya. Beep adalah kekasihku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar