“Selamat
ulang tahun sayang,” kecup ibunya kepada dua anak lelaki kembarnya yang berumur
baru saja menginjak umur 12 tahun itu. Ayahnya memegang satu kue cokelat
sedangkan ibunya memegang satu kue cokelat berwarna putih. Dua anak lelaki
dengan wajah yang benar-benar identik itu masih memakai pakaian tidur mereka.
Perbedaannya dapat dilihat dari mata mereka. Anak lelaki yang memakai piyama
berwarna kuning bergambar Spongebob itu memiliki mata berwarna abu-abu, sama
seperti ayahnya. Sedangkan lelaki yang memakai piyama berwarna biru bergambar
Squidward itu memiliki mata berwarna cokelat hazel yang indah, seperti ibunya.
Mereka baru saja terbangun dari tidurnya, ibu dan ayahnya memberikan kejutan
ulang tahun di pagi hari. Jam menunjukan pukul 06.33, tepat kelahiran anak
kembar pertamanya.
“Sekarang
tiup lilinnya Theo,” bisik ibunya dengan senang. Diam, Theo yang memakai piyama
berwarna kuning itu meniup lilin umur kedua belasnya dengan cepat. Kembarannya
bertepuk tangan dengan riang.
“2
menit lagi adalah ulang tahunku,” ujar kembarannya masih bertepuk tangan.
Mereka berdua duduk di atas tempat tidur yang sama. Tempat tidur mereka
terpisah. Namun kali ini mereka terduduk di atas tempat tidur Theo. Theo hanya
memutar bola matanya, bingung mengapa ia harus memiliki kembaran yang
benar-benar cerewet. Ibunya hanya tertawa dengan suara yang lembut lalu
mengecup pipi Theo sekali lagi.
“Selamat
ulang tahun sayang,” kembali ibunya memberikan ucapan. “Aku mencintaimu, anak
ibu sudah besar,” bisiknya mengusap kepala Theo dengan lembut. Theo yang
tersenyum manis pada ibunya dan menganggukan kepala. Ayahnya juga mengecup
kening Theo dengan lembut.
“Jadi
anak yang kuat nak, seperti ayah,” ujar ayahnya memamerkan tattoo-nya pada
Theo. Theo hanya tertawa dan menganggukan kepalanya. Tangan ayahnya ingin lepas
karena memegang kue ulang tahun saudara kembar Theo. Sekarang pukul 06.35, tepat kelahiran adik
dari Theo.
“Sekarang,
tiup lilinnya Justin,” ujar ayahnya melihat ke arah jam radio yang berada di
atas meja dekat tempat tidur anaknya. Dua menit telah berlalu. Justin, saudara
kembar Theo langsung bertepuk tangan dengan riang lalu memejamkan matanya
sebelum meniup lilinnya yang telah meleleh dari tadi. Beberapa detik kemudian
Justin membuka matanya dan langsung meniup lilinnya. Justin bertepuk tangan
bersama dengan ibunya juga. Ibunya telah menaruh kue milik Theo di atas tempat
tidur dan lalu menghampiri Justin. Ia mengecup bibir Justin dengan kilat lalu
pipinya.
“Selamat
ulang tahun sayang, kau sudah besar,” bisik ibunya mengusap kepalanya dan
mengecup keningnya.
“Oke.
Jadi hadiahku apa hari ini?” tanya Justin langsung menagih kado ulang tahunnya
pada orang tuanya. Theo yang berada di sebelahnya kembali memutar matanya.
Merasa begitu risih dengan saudara kembarnya yang tidak memiliki pemikiran yang
lebih sedikit dewasa. Tapi, hey! Mereka baru saja berumur 12 tahun, jadi tidak
apa-apa jika Justin meminta hadiahnya pada orang tuanya. Theo mungkin anak
pertama yang lebih bersikap dewasa dibanding dengan Justin yang masih
kekanak-kanakan.
“Kau
ingin tahu? Kemarilah, kalian berdua,” ujar ayahnya menaruh kue ulang tahunnya
di atas tempat tidur Justin. Kemudian dengan cepat Justin bangkit dari tempat
tidur Theo, disusul dengan Theo yang lesu bangkit dari tempat tidurnya. Ibunya
hanya terdiam di kamar kedua anaknya lalu mengambil dua kue ulang tahun anak
kembarnya dan beranjak keluar dari kamar anak kembar tercintanya.
Theo
dan Justin turun dari lantai dua, melewati anak tangga dengan cepat, mengikuti
ayahnya yang memimpin mereka di depan. Saat sudah sampai di lantai bawah, ayahnya
langsung menghentikan langkahannya lalu membalikan tubuhnya dengan cepat.
Membuat Theo dan Justin berhenti melangkahkan kakinya.
“Tunggu
dulu. Apa kalian benar-benar ingin melihat hadiah ulang tahun kalian?” tanya
ayahnya mengeluarkan dua helai dasi berwarna hitam. “Berbalik, kalian harus
ditutupi matanya terlebih dahulu,” ujar ayahnya dengan senang. Riang, Justin
langsung memutar tubuhnya dan bersiap-siap karena matanya akan segera ditutup.
Theo hanya bereaksi biasa saja, ia tidak berekspresi seperti Justin yang
berisik. Bahkan dari tadi ia tidak mengeluarkan suara. Mata Theo ditutupi oleh
dasi hitam milik ayahnya dan diikatnya dengan erat agar Theo benar-benar tak
melihat, namun tidak berusaha untuk menyakiti Theo. Tangan Justin tak bisa diam
karena begitu senang, hadiah apa yang akan kudapatkan? Pikir Justin dari tadi.
Kemudian ia terkesiap saat ayahnya menutup matanya dengan dasi hitam yang lain.
“Oh,
ayah. Aku benar-benar tak sabar,”
“Berisik,”
gumam Theo tak suka dengan tingkah Justin. Kemudian ayahnya membalikan tubuh
mereka lalu menarik kedua tangan mereka secara bersamaan.
“Hati-hati
dengan langkah kalian,” ujar ayahnya terdengar misterius. Justin menggigit
bibirnya, tak sabar untuk melihat hadiah apa yang akan ia dapatkan. Mereka
melewati ruang tamu yang penuh dengan barang-barang mahal seperti guci,
gelas-gelas berharga, dan koleksi minuman anggur ayahnya.Melewati ruang tamu,
ayahnya menghentikan langkahannya saat mereka berdiri di depan sebuah pintu
menuju keluar kolam renang. Sebuah benda besar tertutup kain hitam yang besar
juga telah berada di ruangan itu. Sengaja menempatkannya di sana karena menurut
ibu mereka, hadiah ini cocok untuk ditempatkan di sana dan sekaligus untuk
menginspirasikan anaknya. Apalagi cahaya yang begitu terang bisa mereka
dapatkan dari sini.
“Oh
ayolah ayah, buka penutup mataku,” sungut Justin tak bisa diam.
“Hadiahmu
masih akan datang, Justin. Sabar. Saatnya Theo yang mendapatkan hadiahnya, kau
..setelah Theo, anak muda,” ujar ayahnya tertawa dengan tingkah Justin dan
mengacak-acak rambut Justin dengan gemas. Theo hanya diam, berusaha untuk
mengabaikan suara adik kembarnya. Melepaskan kedua tangan anaknya, ayah Theo
kemudian berjalan menuju benda besar yang tertutup dengan kain itu lalu
melepaskannya. Setelah itu ayah Theo menghampiri Theo dan menyentuh dasi
hitamnya.
“Jangan
membuka matamu sebelum aku mengizinkannya, mengerti?” tanya ayahnya pada Theo.
Theo hanya menganggukan kepalanya, tak banyak bicara. Theo tipe anak lelaki
yang pendiam dan kalem, tak berekspresi. Kemudian ayahnya melepaskan ikatan
dasi hitam itu dari kepala Theo. Theo belum membuka matanya.
“Sekarang
buka matamu,” bisik ayahnya memegang kedua bahu kecil Theo. Sedetik kemudian,
Theo membuka matanya. Mulutnya menganga.
“Whoa!”
kali ini berekspresi, tak menyangka dengan hadiah yang diberikan oleh orang
tuanya.
“Apa
itu?” tanya Justin membalikan kepalanya pada suara Theo yang dapat ia dengar.
“Astaga,
ayah! Ini benar-benar hadiah terbaik yang pernah kumiliki,” balik Theo langsung
memeluk ayahnya yang berada di belakangnya. Ya, tentu saja Theo bahagia. Lelaki
yang memiliki mata abu-abu seperti ayahnya ini baru saja mendapatkan piano
besar dari ayahnya. Piano sungguhan yang ia idam-idamkan.
“Oh
ayolah, ayah. Beritahu itu apa,” ujar Justin tak bisa diam.
“Sebuah
piano sayang,” jawab ayahnya. Sontak Justin terdiam, ia benci dengan piano. Ia
memang bisa bermain piano, dia bisa. Tapi, ia trauma dengan guru les piano yang
perrnah ia ajarkan. Sewaktu ia berumur 8 tahun, ia dimarahi untuk yang pertama
kalinya oleh guru les pianonya. Mulai dari sana ia membenci music. Justin tipe
anak lelaki yang semangatnya mudah rusak jika seseorang memarahinya, jika ia
dimarahi oleh gurunya, ia bisa mencap guru tersebut sebagai guru yang sangat
jahat.
“Kau
menyukainya?” tanya ayah Theo pada Theo. Theo menganggukan kepalanya dan lalu
melepaskan pelukannya dari ayahnya dan menghampiri piano besar baru miliknya.
Bersamaan dengan itu, ibunya muncul dengan senyuman penuh bahagia.
“Sekarang,
hadiah untukmu,” ujar ayahnya menarik tangan Justin untuk keluar dari rumahnya.
Ibunya menghampiri Theo yang telah duduk di atas kursi piano dan menekan tuts
piano dengan gembira dan duduk di sebelah Theo. Sedangkan Justin, ia telah
melewati kolam renang, lalu taman yang luas dan berakhir pada lapangan yang
besar. Lapangan ini tak pernah diketahui oleh Justin, tidak sekali pun. Tentu
saja mereka tidak tahu menahu tentang hadiah-hadiah yang mereka dapatkan hari
ini. Karena selama 1 bulan penuh, mereka tinggal di rumah neneknya. Orang
tuanya bekerja keras untuk memberikan hadiah terbaik bagi anak mereka. Sehingga
kemarin malam, mereka baru saja pulang dari rumah neneknya.
Justin
berhenti melangkah bersamaan dengan ayahnya juga.
“Kau
siap untuk mendapatkan hadiahmu, Justin?” tanya ayah dari belakang dan memegang
kedua bahu Justin. Justin melompat-lompat dengan girang dan menganggukan
kepalanya.
“Tentu
saja ayah, oh kuharap apa yang kuharapkan terjadi. Amin!” seru Justin berhenti
melompat dan melipat tangannya seperti berdoa. Lalu ayahnya membuka penutup
mata Justin. Tanpa berpikir panjang, Justin langsung membuka matanya.
“Ya
Tuhan! Astaga! Sial ayah, ini benar-benar hadiah terbaik yang pernah kumiliki!”
teriak Justin dengan girang lalu melompat sambil berbalik kepada ayahnya lalu memeluknya.
“Aku
senang kau menyukainya sayang,” bisik ayahnya membalas pelukan adik dari Theo
ini, anak kembarnya. Tentu saja anak lelaki keduanya ini menyukai hadiahnya.
Hadiah lapangan basket barunya yang selama ini ia mohonkan kepada orang tuanya
agar dibuat di halaman belakang rumahnya, akhirnya terjadi. Impiannya selama
ini akhirnya terjadi. Setelah selama 3 tahun ia belajar bermain basket karena
trauma bermain piano, akhirnya ia memiliki cita-cita untuk menjadi pemain
basket.
“Bermainlah,
Justin. Jangan sampai jantungmu melemah, kau harus jaga nafasmu juga. Tidak
boleh sampai kau lelah sekali, mengerti?” tanya ayahnyam memberi nasihat pada
Justin. Justin menganggukan kepalanya dan berlari menuju rak bola basket yang
telah ayahnya siapkan di depan tiang ranjang bola basket. Banyak sekali bola
basket yang ayahnya belikan. Justin berlari dengan penuh kesenangan yang amat
sangat hingga ia hampir terjatuh. Ayahnya terkekeh dan tiba-tiba saja ibunya
muncul dengan tangan yang terlipat.
“Dia
terlihat begitu senang,” gumam ibu Justin, berdiri di sebelah suaminya. Sontak
suaminya merangkul istrinya dengan erat.
“Yeah,
mereka menyukainya. Tapi aku sangat khawatir dengan keadaan Justin, kuharap
jantungnya masih dapat bekerja dengan baik. Aku tidak ingin ada sesuatu yang
terjadi dengannya,” gumam ayah Justin menatap Justin yang telah bermain bola
basket, berlari ke sana-sini dengan cepat. Seakan-akan ia tak kenal lelah.
“Ya,
aku harap begitu. Theo semakin mahir dalam bermain piano,”
“Kurasa
kita sudah tahu apa yang akan terjadi di masa depan,”
“Aku
tak sabar untuk melihat Theo bermain piano di depan banyak orang,”
“Aku
juga. Aku tidak sabar untuk melihat Justin mendapatkan medali dan piala
kejuaraan dalam pertandingan basket. Aku rasa mereka akan sukses besar di masa
depan,”
“Sudah
pasti,” gumam ibu Justin mengakhiri percakapan.
***
9 tahun kemudian …
“Sial!”
gumam seorang lelaki muda dengan paras seperti dewa Yunani itu saat ia mencoba
untuk merapikan pakaiannya. Subuh ini ia harus sudah pergi dari rumah ini. Tapi
melipat pakaian saja rasanya susah sekali. Mengapa orang tuanya tidak memesan
pelayan lebih banyak lagi untuk merapikan pakaiannya? Meski ia tahu ia harus
menahan malu karena tidak tahu bagaimana caranya melipat pakaian, menyetrika
pakaian saja ia tidak bisa. Dan sebenarnya, banyak juga pelayan yang tinggal di
rumahnya. Tapi tetap saja ia tidak mungkin berani untuk menyuruh pelayan untuk
merapikan pakaiannya, bagaimana jika pelayan yang merapikan pakaiannya tertawa
saat melihat celana dalam miliknya? Mata hazelnya menatap pakaian-pakaiannya
yang berada di atas tempat tidurnya.
“Sial
Justin! Apa yang kaulakukan?” tanya Theo, kakak kembarnya yang berusaha untuk
fokus pada gitarnya namun adik kembarnya dari tadi tidak bisa diam. Theo sedang
mengaransemen music akustik untuk sebuah lagu yang akan ia berikan pada adik
angkatannya. Dan Theo telah menguasai empat music umum sekarang. Piano, drum,
gitar dan bass. Tapi dari tadi saudara kembarnya menggumamkan kata kotor yang
membuat Theo susah untuk mengaransemen lagu ini.
“Oh
Theo, kau tidak tahu seberapa susahnya seorang pemain basket melipat
pakaiannya,” gumam Justin mengangkat satu tangannya pada Theo agar Theo menutup
mulutnya. Theo hanya memutar matanya dan kembali fokus pada kertas dan
gitarnya. Justin mendesah pelan, bagaimana bisa ia memasukan pakaian-pakaian
ini dalam waktu yang singkat? Pesawatnya akan terbang dalam waktu 4 jam lagi.
Yeah, ia harus pergi ke Los Angeles dini hari. Dan sekarang jam sudah
menunjukan pukul 11 malam.
“Hey,
bisakah kau membantuku untuk melipat semua pakaian ini?”
“Apa
setelah ini kau akan menutup mulut burungmu itu?” tanya Theo dengan ketus.
“Tentu
saja,” balas Justin dengan senyum sumringah. “Cepatlah! Gadis-gadisku sudah
menunggu di sana. Aku harus bergegas!” tambah Justin mengeluh. Memutar bola
mata, Theo langsung bangkit dari tempat tidurnya dan menyimpan gitarnya di atas
tempat tidurnya dan berjalan menuju tempat tidur Justin. Justin memang harus
meninggalkan New York, liburan musim panasnya telah habis. Yeah, Justin selalu
pulang ke New York dari Los Angeles untuk berlibur di rumahnya selama 3 bulan.
Dan seperti hari besar lainnya, ia akan datang ke New York. Kau tahu, hari
Natal, Thanksgiving, tahun baru.
Dengan
penuh kesabaran, Theo mulai melipat pakaian-pakaian Justin. Justin berkuliah di
Los Angeles sebagai pemain basket. Sebenarnya, keadaan Justin kurang mendukung
untuk bermain basket. Jantung milik Justin tidak sekuat milik Theo sehingga
Justin kadang mudah sekali kelelahan. Berbeda dengan Theo yang berkuliah di
dunia permusikan. Ia ingin menjadi pengaransemen lagu, pencipta lagu, dan
seorang guru musik. Justin terduduk di atas tempat tidur Theo lalu ia mengambil
secarik kertas yang berisi dengan not-not dari sebuah lagu. Justin memang
membenci piano, tapi ia tidak membenci musik.
“Kau
hebat dude,” ujar Justin gemetar memegang kertas itu lalu menaruhnya kembali.
“Sebelum aku pergi, aku belum bertanya padamu selama liburan ini,”
“Apa
itu?” tanya Theo menumpukan pakaian Justin dengan lipatan yang rapi.
“Kau
sudah memiliki kekasih?” tanya Justin ragu-ragu. Ia menatap Theo yang tidak
menatapnya, lalu kedua bahu Theo terangkat secara bersamaan.
“Tidak
pernah berpikir sampai ke sana,”
“Whoa,
dude. Kau harus meniduri seorang wanita, jika kau mencobanya, kau pasti tidak
akan pernah ingin berhenti,” ujar Justin mengejek kakaknya. Theo hanya terkekeh
pelan dan menggelengkan kepalanya.
“Aku
bukan lelaki berengsek seperti kau, Justin. Aku masih ingin mencari gadis
impianku, bukan gadis yang hanya digunakan untuk bermain satu kali saja,” balas
Theo yang membuat Justin terdiam. Namun Justin adalah Justin. Ia tidak akan
pernah mendengar ucapan kakaknya yang sok bijaksana itu. Justin memang sering
sekali dikelilingi oleh banyak wanita, sudah banyak sekali wanita pernah ia
tiduri. Tentu saja, ia adalah seorang raja di kampusnya. Semua orang
menyukainya.
“Aku
bersumpah, Theo, kau harus mencoba one-night-stand.
Kau akan mendengar desahan dari gadis yang akan berteriak ‘Oh Theo, terus
sayang’. Mungkin seperti itu,” ejek Justin.
“Aku
pikir kau akan menutup mulutmu jika aku melipat pakaianmu,” gumam Theo mencoba
untuk mengalihkan topik pembicaraan ini. Justin hanya mengambil nafasnya
dalam-dalam dan bangkit dari tempat tidur Theo. Lalu ia menepuk-nepuk bahu Theo
dengan prihatin.
“Kau
harus mencobanya, Theo,”
“Enyahlah!”
usir Theo.
***
*Taylor Christina Pulmer POV*
Aku
gugup. Sial, aku benar-benar gugup. Ini adalah hari pertamaku akan masuk kuliah
dan rasanya aku ingin mati. Semua mahasiswa baru telah berdiri di tengah
lapangan kampus sambil menghadap pada tiang bendera kebangsaan Amerika Serikat.
Menghormatkan tangannya layaknya prajurit, begitu juga denganku. Selama satu
hari penuh ini kami akan mengikuti ospek penerimaan mahasiswa baru. Entah
mengapa kami harus melakukan itu, tapi kurasa ini tidak akan berjalan dengan
menyenangkan. Kabarnya yang lalu, di kampus ini terdapat salah satu mahasiswa
yang pingsan di dalam kampus karena harus mencari sebuah alat music yang akan
disembunyikan namun ia tidak dapat menemukannya selama seharian penuh. Mungkin
mahasiswa itu mempunyai penyakit ketakutan-tak-dapat-mendapatkan-sesuatu.
Sehingga jika ia tidak menemukan barang yang harus ia dapatkan, ia akan
pingsan. Baiklah, itu adalah hipotesis terbodoh yang pernah kubuat dalam hidupku.
Sudah
dari tadi siang kami melakukan ospek ini dan aku bersyukur pada Tuhan karena
ospek ini hanya berjalan selama satu hari penuh. Well, memang hingga tengah
malam. Entah mengapa dosen di sini tidak ikut campur tangan dalam ospek. Tapi
ya Tuhan, ketua panitia ospek ini benar-benar tampan. Dan kurasa aku pernah
menemuinya tadi subuh. Saat aku ingin mengantar ayahku yang akan pergi ke Los
Angeles di bandara. Aku pernah melihat lelaki ini, lelaki yang berdiri di depan
lapangan –dekat tiang bendera—di bandara tadi subuh. Entah apa yang berubah
dengan dirinya, kurasa matanya dan juga gaya rambutnya yang berbeda. Ia dari
tadi berteriak dengan tegas dan berwibawa, tak memberikan senyum sama sekali
pada kami. Kemudian barisan-barisan paling depan maju satu per satu untuk
mengambil sebuah kertas yang katanya berisikan dengan nama alat music yang
harus kita cari di dalam kampus. Ini sudah sore menuju malam dan orang-orang
yang berada di kampus mungkin tinggal sedikit. Oh, kuharap tidak begitu
menyeramkan di dalam sana. Apalagi semua lampu telah dimatikan. Mungkin hanya
sedikit lampu yang dinyalakan. Sial! Aku begitu paranoid.
“Apa
yang kaupikirkan? Bisakah kau lebih cepat? Kita harus melakukan ini dengan
cepat,” ujar ketua panitia menegurku saat aku tenggelam dalam pikiranku. Aku
bodoh. Dengan cepat aku maju ke depan, menghampirinya dan mengambil secarik
kertas kecil yang berada di tangannya. Ia menatap mataku dengan tatapan lembut
kali ini. Sial, kupikir ia benar-benar jahat. Dan ia begitu tampan dari jarak
sedekat ini, jantungku berdebar tak menentu. Sama seperti saat aku melihat
lelaki yang berada di bandara itu. Sial, sial, sial.
“Lain
kali kau harus berkonsentrasi, ambil senter di depan pintu masuk,” bisiknya di
telingaku. “Omong-omong, matamu indah dan kau cantik,” lanjutnya berbisik. Aku
hanya menganggukan kepalaku dan langsung pergi dari hadapannya. Kutarik
nafasku. Baiklah, aku akan masuk ke dalam kampus itu dalam kegelapan. Tidak ada
setan, tidak ada hantu, atau boneka Chuky! Sial! Mengapa aku harus memikirkan
setan-setan itu? Tubuhku bergidik.
***
“Ya
Tuhan! Apa itu?” aku berteriak dan mengarahkan senter yang kupegang pada bagian
kursi belakang di kelas yang begitu gelap. Sial! Aku harus mencari pianika yang
kecil dan dari tadi aku belum mendapatkannya. Untung saja aku tahu pianika itu
apa. Tentu saja, aku masuk di sekolah permusikan. Kemudian aku berjalan pelan
menuju kursi yang tadi tiba-tiba bergerak dengan hati-hati. Tanganku bergetar
dan ..tidak ada apa-apa.
“Mencari
pianika?”
“Ya
Tuhan! Pergi kau setan! Pergi!” aku langsung terperanjat ketakutan dan
berteriak kepada siapa pun yang menghampiriku. Aku membalikan tubuhku dan
rambut yang sudah teracak sekarang, sial! Itu adalah ketua panitia ospekku,
omong-omong, namanya itu Theo. Theo Bieber, seperti yang ia katakan tadi saat
perkenalan. Kudengar Theo terkekeh dan bersandar pada pintu kelas yang
kumasuki.
“Hey,
tenanglah. Tidak ada setan di kampus ini. Siapa yang kautakutkan?” tanya Theo
dengan santai. Aku mengarahkan senterku pada Theo dan menelan ludahku, dia
terlihat tampan dari sini. Dan warna matanya benar-benar indah. Abu-abu
mengkilap.
“Aku
hanya paranoid. Ap-apa yang kaulakukan di sini?” tanyaku gugup, aku
menyandarkan tubuhku pada meja mahasiswa dengan salah satu tanganku yang tidak
memegang senter. Theo bangkit dari sandarannya dan menghampiriku dengan sebuah
pianika yang berada di tangannya.
“Aku
ingin membantumu,”
“Tapi
bagaimana jika orang-orang lain tahu kalau aku tidak berusaha sendiri?”
“Siapa
yang berani melakukan itu padaku?” tanya Theo, menggodaku. Mataku melebar dan
aku mengedipkan mataku berkali-kali. Kemudian aku merapikan rambutku yang
acak-acakan.
“Oh,
yeah. Yeah, tentu saja. Siapa yang berani?” tanyaku sambil terkekeh bagaikan
orang bodoh. Aku terintimdasi akan kedatangannya. Tubuhnya yang tegap,
rambutnya yang berwarna tembaga itu, dan sedikit rambutnya yang menggantung di
keninginya bagaikan Superman yang lebih tampan, benar-benar mempesonaku. Kemudian ia menyodorkan pianika yang ia
pegang dan dengan cepat aku meraihnya.
“Musik
apa yang kautekuni?” Theo bertanya dengan kedekatan yang cukup dekat denganku.
“Pi-piano,”
“Kebetulan
sekali, aku juga menyukai piano. Tapi sekarang aku ingin mempelajari
Saxophone,” ceritanya padaku. Aku menganggukan kepala dan menurutku itu sangat
menakjubkan. Tidak banyak orang ahli dalam bermain alat music saxophone. “Kau
berkuliah di sini dengan siapa saja?” tanyanya, ingin tahu.
“Oh,
aku bersama sahabatku. Caitlin, dia pintar dalam bermain gitar,”
“Oh,
aku juga senang bermain gitar. Tertarik untuk belajar bermain gitar bersamaku?”
tanyanya memainkan matanya padaku, sial, aku meleleh. “Aku memaksa.” Lanjutnya
memegang tanganku. Aku bergetar.
***
“Tidak,
terima kasih,” tolakku dengan sopan pada Theo saat ia menawarkan tumpangan
untuk pulang ke rumah. Tapi aku menolaknya. Aku hanya berpikir, kita baru saja
bertemu dan ia telah menawarkan sebuah tumpangan. Ayahku bilang padaku untuk
tidak mempercayai orang yang baru saja kita temui. Dan aku melakukannya untuk
kebaikanku. Lagi pula, aku juga harus pulang ke apartemen bersama dengan
Caitlin, sahabatku.
“Apa
kau yakin?” tanya Theo lagi. Aku menganggukan kepalaku dan melihat Caitlin yang
muncul dari parkiran menuju halaman kampus, tempatku berdiri bersama dengan
Theo. Ia telah memakai helm berwarna merah muda di kepalanya, kemudian motornya
berhenti di depanku.
“Kalian
memakai vespa?” tanya Theo menunjuk vespa milik Caitlin.
“Ya,
tentu saja,” Caitlin menyahut dan memberikan helm berwarna hitam padaku. Aku
mengambil helm itu dari tangannya dan memakainya di kepalaku. Kemudian aku
menaiki motornya di bagian belakang Caitlin.
“Kelihatannya
kalian benar-benar akrab. Vespa merah muda. Kau kelihatannya menyukai merah
muda, huh?” tanya Theo melipat kedua tangannya di depan dada. Aku ingin pingsan
sekarang. Jika aku tidak memegang pundak Caitlin, mungkin sekarang aku telah
jatuh ke belakang. Ia terlihat lebih tampan meski kerutan di hidungnya terlihat
saat ia mendengus. Kemudian ibu jari tangan kanannya mengelus dagunya yang
halus dengan seksama dan terus berbicara dengan Caitlin. Entahlah, suaranya
benar-benar indah namun aku tidak menyerap setiap kata yang keluar dari
mulutnya.
Sesekali
ia menatapku dengan ragu. Matanya berwarna abu-abu dan itu sangat indah. Sangat
jarang aku bisa melihat mata seperti itu. Bulu matanya lentik. Pipinya terpahat
bagaikan patung yang terukir dengan hati-hati namun dengan hasil yang sempurna.
Dan ia tampak sama seperti lelaki yang kemarin subuh kulihat di Bandara.
Sungguh, aku bersumpah demi Tuhan. Ia mengangguk-anggukan kepalanya dan
kemudian menarik nafasnya, seakan-akan bosan.
“Baiklah,
kurasa aku dan Beep harus pulang Sudah jam 9 malam,” ujar Caitlin akhirnya
mengundur diri dari Theo.Theo hanya menganggukan kepalanya dan matanya
menatapku.
“Beep?”
Theo terkejut, yeah, itu adalah nama panggilanku.
“Yeah,
Beep. Panggilan untuk Taylor, ada masalah?”
“Oh
tidak, tentu saja tidak. Hati-hati di jalan, Beep,” ujar Theo menepuk bahuku
kemudian meremasnya dengan lembut. Ia menekan
nama panggilanku dengan suaranya berat. Oh Tuhan, sentuhannya ..aku
ingin jungkir balik sekarang. Kupu-kupu yang berada di perutku terasa begitu
penuh membuatku ingin mual. Lalu motor Caitlin mulai melaju.
*Theodore Bieber POV*
Aku
tak menyangka aku akan bertemu dengan gadis polos seperti Taylor. Beep. Nama
panggilannya benar-benar lucu. Itu membuatku teringat dengan Justin yang selalu
membuat suara seperti robot. Tapi itu dulu, sekarang Justin tidak begitu banyak
bicara seperti dulu. Hanya saja sekarang pikirannya telah dikotori oleh hal-hal
yang berbau dengan seks. Berpikir dengan ucapannya kemarin malam, ia membuatku
begitu penasaran. Apakah memang rasanya begitu nikmat saat berhubungan badan
dengan seorang wanita? Aku juga ingin melakukannya. Tapi tidak dengan gadis
sembarangan. Aku tidak ingin terjangkit penyakit seks yang dapat merusak
tubuhku secara perlahan-lahan kemudian meninggal. Aku tidak sama seperti Justin
yang jika melakukan sesuatu tidak memikirkan resiko yang akan didapatkan kelak.
Beep
tampak begitu manis dan polos saat ia berbicara denganku sepanjang perjalanan
menuju halaman kampus. Sesekali ia tertawa jika ia berbicara denganku, kurasa
itu untuk mengurangi rasa gugupnya. Aku bisa melihatnya dari caranya
menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. Itu sungguh manis. Meski sesekali
ia berkata ‘sial’. Entah dia memang polos atau tidak, tapi terkadang ia tidak
mengerti dengan apa yang kubicarakan. Aku senang berbicara dengan seseorang
yang selalu bertanya padaku, rasanya kita tidak akan pernah selesai dengan
percakapan yang penuh dengan topik-topik pembicaraan yang berbeda-beda. Aku
tahu ini terasa begitu cepat, tapi kurasa aku menyukai gadis itu.
Justin
harus mengetahui ini.
***
“Yeah,
aku menyukai gadis itu. Dan kau tahu, ia memiliki mata biru,” ujarku melalui
ponsel pada Justin. Aku bisa tahu dari sini kalau Justin sedang bersama dengan
seorang gadis, tapi aku tidak peduli jika aku mengganggu mereka. Setidaknya aku
bisa mengulur waktu untuk gadis itu berpikir sebelum melakukan hal yang tidak
benar dengan Justin. Aku bisa menjadi penyelamat bukan? Well, secara tidak
langsung.
“Kau
menyukai gadis? Aku pikir kau gay,”
“Sial
kau,”
“Jadi,
kau menyukai seorang gadis eh? Siapa namanya?” tanyanya mulai tertarik dengan
pembicaraan ini. Aku menatap pada gitar yang berada di hadapanku. Rencananya
aku ingin menulis lagu untuk gadis itu. Entahlah, aku merasa kalau aku dan Beep
dapat menjalin sebuah hubungan sebentar lagi.
“Taylor,”
“Sial,
mengapa namanya seperti nama lelaki? Apa kau berbohongku kalau ia itu adalah
wanita? Kedengaran seperti lelaki,” ejek Justin. Untung saja ia tidak ada di
sebelahku, jika ia ada di sebelahku, aku tidak akan sungkan-sungkan untuk
membanting gitarku pada kepalanya. Hanya saja, aku lebih mencintai gitarku
dibanding kepalanya, jadi aku rasa aku tidak akan melakukan itu sebelum gitarku
sendiri yang rusak. Kabarnya, saudara kembarku ini memiliki kekuatan super. Yeah,
kepalanya tidak mudah pecah seperti orang-orang. Dan itu terbukti saat ia
berlibur di sini. Saat ia bersandar pada sebuah speaker yang berada di dalam
kamarku, sebuah bingkai foto yang terbuat dari batu yang kutaruh di atas
speaker itu jatuh ke atas kepala Justin. Tapi anehnya, bingkai foto berbentuk
buku itu terpecah menjadi dua namun kepala Justin tidak sama sekali pecah.
Saudara kembarku cukup ajaib.
“Taylor
Christina Pulmer, sialan. Kurasa ia wanita yang periang dan—“
“Whoa,
tunggu dulu. ‘Kurasa ia wanita yang periang’? Yang benar saja, Theo. Kau harus
mengenal wanita itu sebelum kau menyukainya,”
“Hei,
seperti kau tidak pernah melakukan itu saja. Kau itu lebih parah dibanding
diriku, ingat itu. Kau juga langsung menyukai seorang wanita yang seksi lalu
kau meniduri dirinya tanpa kau tahu apakah dia memiliki penyakit aids—“
“Baiklah,
baiklah. Aku mengalah, kau selalu benar –aku benci setiap kali kau menang
beragumen—lalu mengapa kau memberitahuku tentang ini?” tanyanya akhirnya
mengalah. Bagus. Sebenarnya aku juga malas untuk menceramahinya sekarang.
“Aku
hanya ingin tahu bagaimana caranya kau memikat seorang gadis dengan cepat,”
setelah aku mengucapkan kalimat itu, Justin langsung tertawa meledak dan
terbahak-bahak. Ha-ha, yeah sangat lucu. Entah untuk yang keberapa kalinya aku
mengeluh kepada Tuhan tentang mengapa Ia memberikan saudara kembar yang aneh
seperti Justin. Inilah. Inilah alasan mengapa aku tidak pernah menyinggung
kepada siapa pun tentang aku memiliki kembaran. Karena aku merasa malu terhadap
Justin. Jika aku dan Justin berhadapan, itu sama saja aku melihat diriku
sendiri namun dengan warna mata yang berbeda. Tapi kelakuanku dan kelakuannya
sangat berbeda jauh. Astaga, aku bersumpah demi Tuhan, aku lebih baik daripada
Justin. Aku bisa meyakinkan itu, bahkan aku bisa bertaruhan.
Lama
tertawa, akhirnya Justin berhenti.
“Kau
benar-benar ingin tahu?”
“Yeah,
untuk yang kali ini. Aku benar-benar serius,”
“Baiklah.
Bro, ini hanya karena kau adalah kembaranku yang dapat kubanggakan dan abang
tercinta dalam hidupku. Aku memberikan tips ini padamu,”
“Sial
Justin. Bisakah kau lebih cepat? Aku harus bangun pagi benar besok,”
“Oke.
Pertama, kau harus melewati masa-masa pendekatan. Kau benar-benar menyukainya
bukan? Jika kau melakukan pendekatan yang baik, aku bisa pastikan ia akan
menyukaimu. Kedua, jadikan ia pacar dan perlakukan dia bagaikan tuan puteri,
kau mengerti saudara-kembar-kesayanganku?” tanya Justin yang membuatku ingin
mencekiknya sekarang. Ya, tentu saja aku mengerti. Tapi bagaimana melakukan
–pendekatan—yang—baik—dengan wanita? Ini adalah yang pertama kalinya aku
menginginkan seorang gadis –bukan berarti dulu aku adalah gay.
“Tapi
bagaimana caranya?”
“Untuk
masa pendekatan? Dia satu kuliah denganmu maka antar-jemput dia setiap hari.
Mengerti? Lalu ajak dia makan malam dan pergilah ke tempat-tempat yang
menurutmu menyenangkan. Habiskan waktumu bersamanya, jangan dengan music
sialanmu itu. Sial, kau benar-benar tidak tahu bagaimana caranya mendekati
gadis? Lalu selama ini apa yang kaulakukan dalam hidupmu?” jelas Justin
sekaligus menghinaku.
“Setidaknya
aku tidak membuang-buang waktu untuk meniduri wanita, aku masih memiliki hal
yang lebih penting dibanding itu,” sindirku padanya. Kudengar ia mendengus
kesal, hatiku tertawa.
“Hmm,”
ia menggumam, “apa pun yang kau katakan, Theo, aku tidak peduli. Ini adalah
hidupku, aku tidak peduli jika aku harus meninggal karena jantungku melemah
saat aku berhubungan badan atau bermain basket. Kau tak memiliki hak untuk
mengatur kehidupanku,” sekarang aku merasa bersalah dengan ucapanku. Entahlah,
kenyataannya adalah Justin selalu memakai jalan bicara seperti ini agar aku
terdiam dan memikirkan apa yang kubicarakan sebelumnya padanya. Dan anehnya, ia
selalu berhasil untuk membuatku meminta maaf padanya. Seberapapun aku membenci Justin,
tapi ia adalah kembaranku. Kami satu kandungan. Ulang tahun kami sama. Aku
selalu merasakan kesakitan jika aku sakit. Maksudku di sini adalah kami
melengkapi satu sama lain. Dan jika aku kehilangan dirinya, aku tidak tahu
apakah aku bisa hidup lebih baik daripada sekarang.
“Sial,
kau selalu berbicara seperti itu padaku,”
“Aku
tahu, aku memang hebat. Jadi, lakukan apa saja yang tadi kukatakan,”
“Apa
kau rutin pergi ke dokter?” tanyaku akhirnya was-was. Masalahnya, ia selalu
lupa untuk pergi ke dokter jika aku tidak menghubunginya untuk pergi ke dokter.
Contohnya adalah satu minggu yang lalu.
“Oh
yeah, aku pergi kemarin,”
“Bagus.
Jaga dirimu baik-baik. Kau ingat janji kita dari kecil sampai sekarang?”
“Tidak
akan ada yang menangis jika satu di antara kita pergi –meninggal—,” ujar kami
berdua bersamaan. “Haha, itu lucu. Tidak akan ada satu di antara kita yang akan
pergi bukan? Tapi aku berjanji untuk tidak menangis,” ujarnya.
“Ha,
yeah. Kau benar. Sudahlah, aku harus tidur,”
“Tidur
nyenyak anak ibu,” ejeknya padaku. Aku hanya mengabaikannya dan mematikan
ponselku. Baiklah. Ajak Taylor berbicara besok siang. Yah, ajak juga dia pergi
untuk makan siang bersama-sama. Jika aku harus mengajak sahabatnya juga, aku
tidak keberatan. Selama aku masih bisa melihat Taylor di hadapanku, aku rela
melakukan itu.
***
*Taylor Pulmer POV*
“Beep,
kurasa Theo menyukaimu,” gumam Caitlin sepanjang kami menyusuri koridor menuju
loker kami. Aku tertawa dalam hati. Tidak mungkin Theo menyukaiku. Well, aku
tidak begitu cantik seperti Caitlin yang memiliki rambut lebih indah dan lebat
dibanding diriku. Hari ini Caitlin mengepang rambutku, katanya aku lebih cocok
untuk dikepang. Well, aku lebih kelihatan seperti anak desa sekarang. Dan yah,
ia hanya ..intinya ia lebih cantik dariku. Aku terdiam, tidak menjawab
ucapannya. Langkahan kami terhenti di depan loker kami kemudian kami membuka
kode pintu loker secara bersamaan. Dan pertanyaanku sekarang adalah mengapa
tiba-tiba saja ia membicarakan hal ini? Ini bukan waktu yang tepat untuk
membicarakan itu.
“Aku
serius,” gumamnya merasa terabaikan.
“Yeah,
aku tahu kau serius. Tapi kurasa itu tidak mungkin,”
“Tentu
saja itu mungkin. Aku bisa melihatnya dari cara ia menatapmu. Maksudku, ia
berusaha agar kau terus menatap matanya, tapi kau aneh. Kau tidak menatap
matanya,” ujar Caitlin. Hah? Apa yang ia bicarakan? Aku tidak mengerti.
Maksudku, benarkah apa yang ia bicarakan? Karena itu cukup tidak masuk akal.
“Bagaimana
bisa kau tahu?”
“Aku melihatnya dari jarak jauh saat kemarin aku di tempat parkiran untuk mengambil motor dan melihatmu bersama dengan Theo berbicara. Ia tertarik padamu, Beep,”
“Aku melihatnya dari jarak jauh saat kemarin aku di tempat parkiran untuk mengambil motor dan melihatmu bersama dengan Theo berbicara. Ia tertarik padamu, Beep,”
“Berhenti
memanggilku Beep di kampus. Kau mempermalukanku,”
“Tapi
aku menyukainya,” sebuah suara berat mengagetkanku dan Caitlin. Kemudian kami
berbalik dan melihat Theo dengan wajahnya yang tampan tersenyum pada kami. Aku
menjadi salah tingkah sekarang. Kuselipkan rambutku ke belakang telingaku, ia
menatap mataku. Dengan intens.
“Kurasa
aku harus pergi,” ujar Caitlin meninggalkan kami.
“Caitlin!”
aku berteriak padanya.
“Bersenang-senanglah
kalian berdua,” balasnya berteriak. Apa? Apa yang baru saja ia katakan?
Bersenang-senang? Tidak mungkin aku bisa bersenang-senang bersama dengan
seorang Theo Bieber. Lelaki yang terkenal dengan kepintarannya bermain music
–rumornya—malah membuatku gugup jika ia berdekatan denganku. Theo berjalan satu
langkah di depan loker Caitlin dan menyandarkan tangannya dengan lurus pada
pintu loker Caitlin.
“Kau
sudah selesai kuliah? Aku sudah. Rencananya aku ingin mengajakmu untuk pergi
makan siang bersama,” ujarnya menggodaku, tatapannya maksudku yang menggodaku.
Oke, ini untuk yang kesekian kalinya aku berbicara pada dirku sendiri tentang
matanya yang benar-benar indah. Tapi ya Tuhan, matanya memang benar-benar
indah.
Kemudian
pikiranku kembali pada pertanyaannya. Oh. Makan bersama? Tapi bagaimana jika ia
adalah orang yang jahat? Tapi aku tidak yakin kalau ia adalah orang yang jahat.
Memberinya kesempatan? Tentu saja.
“Ya.
Yeah, tentu saja. Sekarang?”
“Yeah,
sekarang,” dan ia memegang tanganku. Setelah itu aku membeku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar