Jumat, 02 Agustus 2013

Fight for Love Bab 1



1 Maret 2006, Rabu, 06.31 a.m

            “Selamat ulang tahun sayang,” kecup ibunya kepada dua anak lelaki kembarnya yang berumur baru saja menginjak umur 12 tahun itu. Ayahnya memegang satu kue cokelat sedangkan ibunya memegang satu kue cokelat berwarna putih. Dua anak lelaki dengan wajah yang benar-benar identik itu masih memakai pakaian tidur mereka. Perbedaannya dapat dilihat dari mata mereka. Anak lelaki yang memakai piyama berwarna kuning bergambar Spongebob itu memiliki mata berwarna abu-abu, sama seperti ayahnya. Sedangkan lelaki yang memakai piyama berwarna biru bergambar Squidward itu memiliki mata berwarna cokelat hazel yang indah, seperti ibunya. Mereka baru saja terbangun dari tidurnya, ibu dan ayahnya memberikan kejutan ulang tahun di pagi hari. Jam menunjukan pukul 06.33, tepat kelahiran anak kembar pertamanya.
            “Sekarang tiup lilinnya Theo,” bisik ibunya dengan senang. Diam, Theo yang memakai piyama berwarna kuning itu meniup lilin umur kedua belasnya dengan cepat. Kembarannya bertepuk tangan dengan riang.
            “2 menit lagi adalah ulang tahunku,” ujar kembarannya masih bertepuk tangan. Mereka berdua duduk di atas tempat tidur yang sama. Tempat tidur mereka terpisah. Namun kali ini mereka terduduk di atas tempat tidur Theo. Theo hanya memutar bola matanya, bingung mengapa ia harus memiliki kembaran yang benar-benar cerewet. Ibunya hanya tertawa dengan suara yang lembut lalu mengecup pipi Theo sekali lagi.
            “Selamat ulang tahun sayang,” kembali ibunya memberikan ucapan. “Aku mencintaimu, anak ibu sudah besar,” bisiknya mengusap kepala Theo dengan lembut. Theo yang tersenyum manis pada ibunya dan menganggukan kepala. Ayahnya juga mengecup kening Theo dengan lembut.
            “Jadi anak yang kuat nak, seperti ayah,” ujar ayahnya memamerkan tattoo-nya pada Theo. Theo hanya tertawa dan menganggukan kepalanya. Tangan ayahnya ingin lepas karena memegang kue ulang tahun saudara kembar Theo.  Sekarang pukul 06.35, tepat kelahiran adik dari Theo.
            “Sekarang, tiup lilinnya Justin,” ujar ayahnya melihat ke arah jam radio yang berada di atas meja dekat tempat tidur anaknya. Dua menit telah berlalu. Justin, saudara kembar Theo langsung bertepuk tangan dengan riang lalu memejamkan matanya sebelum meniup lilinnya yang telah meleleh dari tadi. Beberapa detik kemudian Justin membuka matanya dan langsung meniup lilinnya. Justin bertepuk tangan bersama dengan ibunya juga. Ibunya telah menaruh kue milik Theo di atas tempat tidur dan lalu menghampiri Justin. Ia mengecup bibir Justin dengan kilat lalu pipinya.
            “Selamat ulang tahun sayang, kau sudah besar,” bisik ibunya mengusap kepalanya dan mengecup keningnya.
            “Oke. Jadi hadiahku apa hari ini?” tanya Justin langsung menagih kado ulang tahunnya pada orang tuanya. Theo yang berada di sebelahnya kembali memutar matanya. Merasa begitu risih dengan saudara kembarnya yang tidak memiliki pemikiran yang lebih sedikit dewasa. Tapi, hey! Mereka baru saja berumur 12 tahun, jadi tidak apa-apa jika Justin meminta hadiahnya pada orang tuanya. Theo mungkin anak pertama yang lebih bersikap dewasa dibanding dengan Justin yang masih kekanak-kanakan.
            “Kau ingin tahu? Kemarilah, kalian berdua,” ujar ayahnya menaruh kue ulang tahunnya di atas tempat tidur Justin. Kemudian dengan cepat Justin bangkit dari tempat tidur Theo, disusul dengan Theo yang lesu bangkit dari tempat tidurnya. Ibunya hanya terdiam di kamar kedua anaknya lalu mengambil dua kue ulang tahun anak kembarnya dan beranjak keluar dari kamar anak kembar tercintanya.
            Theo dan Justin turun dari lantai dua, melewati anak tangga dengan cepat, mengikuti ayahnya yang memimpin mereka di depan. Saat sudah sampai di lantai bawah, ayahnya langsung menghentikan langkahannya lalu membalikan tubuhnya dengan cepat. Membuat Theo dan Justin berhenti melangkahkan kakinya.
            “Tunggu dulu. Apa kalian benar-benar ingin melihat hadiah ulang tahun kalian?” tanya ayahnya mengeluarkan dua helai dasi berwarna hitam. “Berbalik, kalian harus ditutupi matanya terlebih dahulu,” ujar ayahnya dengan senang. Riang, Justin langsung memutar tubuhnya dan bersiap-siap karena matanya akan segera ditutup. Theo hanya bereaksi biasa saja, ia tidak berekspresi seperti Justin yang berisik. Bahkan dari tadi ia tidak mengeluarkan suara. Mata Theo ditutupi oleh dasi hitam milik ayahnya dan diikatnya dengan erat agar Theo benar-benar tak melihat, namun tidak berusaha untuk menyakiti Theo. Tangan Justin tak bisa diam karena begitu senang, hadiah apa yang akan kudapatkan? Pikir Justin dari tadi. Kemudian ia terkesiap saat ayahnya menutup matanya dengan dasi hitam yang lain.
            “Oh, ayah. Aku benar-benar tak sabar,”
            “Berisik,” gumam Theo tak suka dengan tingkah Justin. Kemudian ayahnya membalikan tubuh mereka lalu menarik kedua tangan mereka secara bersamaan.
            “Hati-hati dengan langkah kalian,” ujar ayahnya terdengar misterius. Justin menggigit bibirnya, tak sabar untuk melihat hadiah apa yang akan ia dapatkan. Mereka melewati ruang tamu yang penuh dengan barang-barang mahal seperti guci, gelas-gelas berharga, dan koleksi minuman anggur ayahnya.Melewati ruang tamu, ayahnya menghentikan langkahannya saat mereka berdiri di depan sebuah pintu menuju keluar kolam renang. Sebuah benda besar tertutup kain hitam yang besar juga telah berada di ruangan itu. Sengaja menempatkannya di sana karena menurut ibu mereka, hadiah ini cocok untuk ditempatkan di sana dan sekaligus untuk menginspirasikan anaknya. Apalagi cahaya yang begitu terang bisa mereka dapatkan dari sini.
            “Oh ayolah ayah, buka penutup mataku,” sungut Justin tak bisa diam.
            “Hadiahmu masih akan datang, Justin. Sabar. Saatnya Theo yang mendapatkan hadiahnya, kau ..setelah Theo, anak muda,” ujar ayahnya tertawa dengan tingkah Justin dan mengacak-acak rambut Justin dengan gemas. Theo hanya diam, berusaha untuk mengabaikan suara adik kembarnya. Melepaskan kedua tangan anaknya, ayah Theo kemudian berjalan menuju benda besar yang tertutup dengan kain itu lalu melepaskannya. Setelah itu ayah Theo menghampiri Theo dan menyentuh dasi hitamnya.
            “Jangan membuka matamu sebelum aku mengizinkannya, mengerti?” tanya ayahnya pada Theo. Theo hanya menganggukan kepalanya, tak banyak bicara. Theo tipe anak lelaki yang pendiam dan kalem, tak berekspresi. Kemudian ayahnya melepaskan ikatan dasi hitam itu dari kepala Theo. Theo belum membuka matanya.
            “Sekarang buka matamu,” bisik ayahnya memegang kedua bahu kecil Theo. Sedetik kemudian, Theo membuka matanya. Mulutnya menganga.
            “Whoa!” kali ini berekspresi, tak menyangka dengan hadiah yang diberikan oleh orang tuanya.
            “Apa itu?” tanya Justin membalikan kepalanya pada suara Theo yang dapat ia dengar.
            “Astaga, ayah! Ini benar-benar hadiah terbaik yang pernah kumiliki,” balik Theo langsung memeluk ayahnya yang berada di belakangnya. Ya, tentu saja Theo bahagia. Lelaki yang memiliki mata abu-abu seperti ayahnya ini baru saja mendapatkan piano besar dari ayahnya. Piano sungguhan yang ia idam-idamkan.
            “Oh ayolah, ayah. Beritahu itu apa,” ujar Justin tak bisa diam.
            “Sebuah piano sayang,” jawab ayahnya. Sontak Justin terdiam, ia benci dengan piano. Ia memang bisa bermain piano, dia bisa. Tapi, ia trauma dengan guru les piano yang perrnah ia ajarkan. Sewaktu ia berumur 8 tahun, ia dimarahi untuk yang pertama kalinya oleh guru les pianonya. Mulai dari sana ia membenci music. Justin tipe anak lelaki yang semangatnya mudah rusak jika seseorang memarahinya, jika ia dimarahi oleh gurunya, ia bisa mencap guru tersebut sebagai guru yang sangat jahat.
            “Kau menyukainya?” tanya ayah Theo pada Theo. Theo menganggukan kepalanya dan lalu melepaskan pelukannya dari ayahnya dan menghampiri piano besar baru miliknya. Bersamaan dengan itu, ibunya muncul dengan senyuman penuh bahagia.
            “Sekarang, hadiah untukmu,” ujar ayahnya menarik tangan Justin untuk keluar dari rumahnya. Ibunya menghampiri Theo yang telah duduk di atas kursi piano dan menekan tuts piano dengan gembira dan duduk di sebelah Theo. Sedangkan Justin, ia telah melewati kolam renang, lalu taman yang luas dan berakhir pada lapangan yang besar. Lapangan ini tak pernah diketahui oleh Justin, tidak sekali pun. Tentu saja mereka tidak tahu menahu tentang hadiah-hadiah yang mereka dapatkan hari ini. Karena selama 1 bulan penuh, mereka tinggal di rumah neneknya. Orang tuanya bekerja keras untuk memberikan hadiah terbaik bagi anak mereka. Sehingga kemarin malam, mereka baru saja pulang dari rumah neneknya.
            Justin berhenti melangkah bersamaan dengan ayahnya juga.
            “Kau siap untuk mendapatkan hadiahmu, Justin?” tanya ayah dari belakang dan memegang kedua bahu Justin. Justin melompat-lompat dengan girang dan menganggukan kepalanya.
            “Tentu saja ayah, oh kuharap apa yang kuharapkan terjadi. Amin!” seru Justin berhenti melompat dan melipat tangannya seperti berdoa. Lalu ayahnya membuka penutup mata Justin. Tanpa berpikir panjang, Justin langsung membuka matanya.
            “Ya Tuhan! Astaga! Sial ayah, ini benar-benar hadiah terbaik yang pernah kumiliki!” teriak Justin dengan girang lalu melompat sambil berbalik kepada ayahnya lalu memeluknya.
            “Aku senang kau menyukainya sayang,” bisik ayahnya membalas pelukan adik dari Theo ini, anak kembarnya. Tentu saja anak lelaki keduanya ini menyukai hadiahnya. Hadiah lapangan basket barunya yang selama ini ia mohonkan kepada orang tuanya agar dibuat di halaman belakang rumahnya, akhirnya terjadi. Impiannya selama ini akhirnya terjadi. Setelah selama 3 tahun ia belajar bermain basket karena trauma bermain piano, akhirnya ia memiliki cita-cita untuk menjadi pemain basket.
            “Bermainlah, Justin. Jangan sampai jantungmu melemah, kau harus jaga nafasmu juga. Tidak boleh sampai kau lelah sekali, mengerti?” tanya ayahnyam memberi nasihat pada Justin. Justin menganggukan kepalanya dan berlari menuju rak bola basket yang telah ayahnya siapkan di depan tiang ranjang bola basket. Banyak sekali bola basket yang ayahnya belikan. Justin berlari dengan penuh kesenangan yang amat sangat hingga ia hampir terjatuh. Ayahnya terkekeh dan tiba-tiba saja ibunya muncul dengan tangan yang terlipat.
            “Dia terlihat begitu senang,” gumam ibu Justin, berdiri di sebelah suaminya. Sontak suaminya merangkul istrinya dengan erat.
            “Yeah, mereka menyukainya. Tapi aku sangat khawatir dengan keadaan Justin, kuharap jantungnya masih dapat bekerja dengan baik. Aku tidak ingin ada sesuatu yang terjadi dengannya,” gumam ayah Justin menatap Justin yang telah bermain bola basket, berlari ke sana-sini dengan cepat. Seakan-akan ia tak kenal lelah.
            “Ya, aku harap begitu. Theo semakin mahir dalam bermain piano,”
            “Kurasa kita sudah tahu apa yang akan terjadi di masa depan,”
            “Aku tak sabar untuk melihat Theo bermain piano di depan banyak orang,”
            “Aku juga. Aku tidak sabar untuk melihat Justin mendapatkan medali dan piala kejuaraan dalam pertandingan basket. Aku rasa mereka akan sukses besar di masa depan,”
            “Sudah pasti,” gumam ibu Justin mengakhiri percakapan.

***

9 tahun kemudian …

            “Sial!” gumam seorang lelaki muda dengan paras seperti dewa Yunani itu saat ia mencoba untuk merapikan pakaiannya. Subuh ini ia harus sudah pergi dari rumah ini. Tapi melipat pakaian saja rasanya susah sekali. Mengapa orang tuanya tidak memesan pelayan lebih banyak lagi untuk merapikan pakaiannya? Meski ia tahu ia harus menahan malu karena tidak tahu bagaimana caranya melipat pakaian, menyetrika pakaian saja ia tidak bisa. Dan sebenarnya, banyak juga pelayan yang tinggal di rumahnya. Tapi tetap saja ia tidak mungkin berani untuk menyuruh pelayan untuk merapikan pakaiannya, bagaimana jika pelayan yang merapikan pakaiannya tertawa saat melihat celana dalam miliknya? Mata hazelnya menatap pakaian-pakaiannya yang berada di atas tempat tidurnya.
            “Sial Justin! Apa yang kaulakukan?” tanya Theo, kakak kembarnya yang berusaha untuk fokus pada gitarnya namun adik kembarnya dari tadi tidak bisa diam. Theo sedang mengaransemen music akustik untuk sebuah lagu yang akan ia berikan pada adik angkatannya. Dan Theo telah menguasai empat music umum sekarang. Piano, drum, gitar dan bass. Tapi dari tadi saudara kembarnya menggumamkan kata kotor yang membuat Theo susah untuk mengaransemen lagu ini.
            “Oh Theo, kau tidak tahu seberapa susahnya seorang pemain basket melipat pakaiannya,” gumam Justin mengangkat satu tangannya pada Theo agar Theo menutup mulutnya. Theo hanya memutar matanya dan kembali fokus pada kertas dan gitarnya. Justin mendesah pelan, bagaimana bisa ia memasukan pakaian-pakaian ini dalam waktu yang singkat? Pesawatnya akan terbang dalam waktu 4 jam lagi. Yeah, ia harus pergi ke Los Angeles dini hari. Dan sekarang jam sudah menunjukan pukul 11 malam.
            “Hey, bisakah kau membantuku untuk melipat semua pakaian ini?”
            “Apa setelah ini kau akan menutup mulut burungmu itu?” tanya Theo dengan ketus.
            “Tentu saja,” balas Justin dengan senyum sumringah. “Cepatlah! Gadis-gadisku sudah menunggu di sana. Aku harus bergegas!” tambah Justin mengeluh. Memutar bola mata, Theo langsung bangkit dari tempat tidurnya dan menyimpan gitarnya di atas tempat tidurnya dan berjalan menuju tempat tidur Justin. Justin memang harus meninggalkan New York, liburan musim panasnya telah habis. Yeah, Justin selalu pulang ke New York dari Los Angeles untuk berlibur di rumahnya selama 3 bulan. Dan seperti hari besar lainnya, ia akan datang ke New York. Kau tahu, hari Natal, Thanksgiving, tahun baru.
            Dengan penuh kesabaran, Theo mulai melipat pakaian-pakaian Justin. Justin berkuliah di Los Angeles sebagai pemain basket. Sebenarnya, keadaan Justin kurang mendukung untuk bermain basket. Jantung milik Justin tidak sekuat milik Theo sehingga Justin kadang mudah sekali kelelahan. Berbeda dengan Theo yang berkuliah di dunia permusikan. Ia ingin menjadi pengaransemen lagu, pencipta lagu, dan seorang guru musik. Justin terduduk di atas tempat tidur Theo lalu ia mengambil secarik kertas yang berisi dengan not-not dari sebuah lagu. Justin memang membenci piano, tapi ia tidak membenci musik.
            “Kau hebat dude,” ujar Justin gemetar memegang kertas itu lalu menaruhnya kembali. “Sebelum aku pergi, aku belum bertanya padamu selama liburan ini,”
            “Apa itu?” tanya Theo menumpukan pakaian Justin dengan lipatan yang rapi.
            “Kau sudah memiliki kekasih?” tanya Justin ragu-ragu. Ia menatap Theo yang tidak menatapnya, lalu kedua bahu Theo terangkat secara bersamaan.
            “Tidak pernah berpikir sampai ke sana,”
            “Whoa, dude. Kau harus meniduri seorang wanita, jika kau mencobanya, kau pasti tidak akan pernah ingin berhenti,” ujar Justin mengejek kakaknya. Theo hanya terkekeh pelan dan menggelengkan kepalanya.
            “Aku bukan lelaki berengsek seperti kau, Justin. Aku masih ingin mencari gadis impianku, bukan gadis yang hanya digunakan untuk bermain satu kali saja,” balas Theo yang membuat Justin terdiam. Namun Justin adalah Justin. Ia tidak akan pernah mendengar ucapan kakaknya yang sok bijaksana itu. Justin memang sering sekali dikelilingi oleh banyak wanita, sudah banyak sekali wanita pernah ia tiduri. Tentu saja, ia adalah seorang raja di kampusnya. Semua orang menyukainya.
            “Aku bersumpah, Theo, kau harus mencoba one-night-stand. Kau akan mendengar desahan dari gadis yang akan berteriak ‘Oh Theo, terus sayang’. Mungkin seperti itu,” ejek Justin.
            “Aku pikir kau akan menutup mulutmu jika aku melipat pakaianmu,” gumam Theo mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan ini. Justin hanya mengambil nafasnya dalam-dalam dan bangkit dari tempat tidur Theo. Lalu ia menepuk-nepuk bahu Theo dengan prihatin.
            “Kau harus mencobanya, Theo,”
            “Enyahlah!” usir Theo.

***

*Taylor Christina Pulmer POV*

            Aku gugup. Sial, aku benar-benar gugup. Ini adalah hari pertamaku akan masuk kuliah dan rasanya aku ingin mati. Semua mahasiswa baru telah berdiri di tengah lapangan kampus sambil menghadap pada tiang bendera kebangsaan Amerika Serikat. Menghormatkan tangannya layaknya prajurit, begitu juga denganku. Selama satu hari penuh ini kami akan mengikuti ospek penerimaan mahasiswa baru. Entah mengapa kami harus melakukan itu, tapi kurasa ini tidak akan berjalan dengan menyenangkan. Kabarnya yang lalu, di kampus ini terdapat salah satu mahasiswa yang pingsan di dalam kampus karena harus mencari sebuah alat music yang akan disembunyikan namun ia tidak dapat menemukannya selama seharian penuh. Mungkin mahasiswa itu mempunyai penyakit ketakutan-tak-dapat-mendapatkan-sesuatu. Sehingga jika ia tidak menemukan barang yang harus ia dapatkan, ia akan pingsan. Baiklah, itu adalah hipotesis terbodoh yang pernah kubuat dalam hidupku.
            Sudah dari tadi siang kami melakukan ospek ini dan aku bersyukur pada Tuhan karena ospek ini hanya berjalan selama satu hari penuh. Well, memang hingga tengah malam. Entah mengapa dosen di sini tidak ikut campur tangan dalam ospek. Tapi ya Tuhan, ketua panitia ospek ini benar-benar tampan. Dan kurasa aku pernah menemuinya tadi subuh. Saat aku ingin mengantar ayahku yang akan pergi ke Los Angeles di bandara. Aku pernah melihat lelaki ini, lelaki yang berdiri di depan lapangan –dekat tiang bendera—di bandara tadi subuh. Entah apa yang berubah dengan dirinya, kurasa matanya dan juga gaya rambutnya yang berbeda. Ia dari tadi berteriak dengan tegas dan berwibawa, tak memberikan senyum sama sekali pada kami. Kemudian barisan-barisan paling depan maju satu per satu untuk mengambil sebuah kertas yang katanya berisikan dengan nama alat music yang harus kita cari di dalam kampus. Ini sudah sore menuju malam dan orang-orang yang berada di kampus mungkin tinggal sedikit. Oh, kuharap tidak begitu menyeramkan di dalam sana. Apalagi semua lampu telah dimatikan. Mungkin hanya sedikit lampu yang dinyalakan. Sial! Aku begitu paranoid.
            “Apa yang kaupikirkan? Bisakah kau lebih cepat? Kita harus melakukan ini dengan cepat,” ujar ketua panitia menegurku saat aku tenggelam dalam pikiranku. Aku bodoh. Dengan cepat aku maju ke depan, menghampirinya dan mengambil secarik kertas kecil yang berada di tangannya. Ia menatap mataku dengan tatapan lembut kali ini. Sial, kupikir ia benar-benar jahat. Dan ia begitu tampan dari jarak sedekat ini, jantungku berdebar tak menentu. Sama seperti saat aku melihat lelaki yang berada di bandara itu. Sial, sial, sial.
            “Lain kali kau harus berkonsentrasi, ambil senter di depan pintu masuk,” bisiknya di telingaku. “Omong-omong, matamu indah dan kau cantik,” lanjutnya berbisik. Aku hanya menganggukan kepalaku dan langsung pergi dari hadapannya. Kutarik nafasku. Baiklah, aku akan masuk ke dalam kampus itu dalam kegelapan. Tidak ada setan, tidak ada hantu, atau boneka Chuky! Sial! Mengapa aku harus memikirkan setan-setan itu? Tubuhku bergidik.

***

            “Ya Tuhan! Apa itu?” aku berteriak dan mengarahkan senter yang kupegang pada bagian kursi belakang di kelas yang begitu gelap. Sial! Aku harus mencari pianika yang kecil dan dari tadi aku belum mendapatkannya. Untung saja aku tahu pianika itu apa. Tentu saja, aku masuk di sekolah permusikan. Kemudian aku berjalan pelan menuju kursi yang tadi tiba-tiba bergerak dengan hati-hati. Tanganku bergetar dan ..tidak ada apa-apa.
            “Mencari pianika?”
            “Ya Tuhan! Pergi kau setan! Pergi!” aku langsung terperanjat ketakutan dan berteriak kepada siapa pun yang menghampiriku. Aku membalikan tubuhku dan rambut yang sudah teracak sekarang, sial! Itu adalah ketua panitia ospekku, omong-omong, namanya itu Theo. Theo Bieber, seperti yang ia katakan tadi saat perkenalan. Kudengar Theo terkekeh dan bersandar pada pintu kelas yang kumasuki.
            “Hey, tenanglah. Tidak ada setan di kampus ini. Siapa yang kautakutkan?” tanya Theo dengan santai. Aku mengarahkan senterku pada Theo dan menelan ludahku, dia terlihat tampan dari sini. Dan warna matanya benar-benar indah. Abu-abu mengkilap.
            “Aku hanya paranoid. Ap-apa yang kaulakukan di sini?” tanyaku gugup, aku menyandarkan tubuhku pada meja mahasiswa dengan salah satu tanganku yang tidak memegang senter. Theo bangkit dari sandarannya dan menghampiriku dengan sebuah pianika yang berada di tangannya.
            “Aku ingin membantumu,”
            “Tapi bagaimana jika orang-orang lain tahu kalau aku tidak berusaha sendiri?”
            “Siapa yang berani melakukan itu padaku?” tanya Theo, menggodaku. Mataku melebar dan aku mengedipkan mataku berkali-kali. Kemudian aku merapikan rambutku yang acak-acakan.
            “Oh, yeah. Yeah, tentu saja. Siapa yang berani?” tanyaku sambil terkekeh bagaikan orang bodoh. Aku terintimdasi akan kedatangannya. Tubuhnya yang tegap, rambutnya yang berwarna tembaga itu, dan sedikit rambutnya yang menggantung di keninginya bagaikan Superman yang lebih tampan, benar-benar mempesonaku.  Kemudian ia menyodorkan pianika yang ia pegang dan dengan cepat aku meraihnya.
            “Musik apa yang kautekuni?” Theo bertanya dengan kedekatan yang cukup dekat denganku.
            “Pi-piano,”
            “Kebetulan sekali, aku juga menyukai piano. Tapi sekarang aku ingin mempelajari Saxophone,” ceritanya padaku. Aku menganggukan kepala dan menurutku itu sangat menakjubkan. Tidak banyak orang ahli dalam bermain alat music saxophone. “Kau berkuliah di sini dengan siapa saja?” tanyanya, ingin tahu.
            “Oh, aku bersama sahabatku. Caitlin, dia pintar dalam bermain gitar,”
            “Oh, aku juga senang bermain gitar. Tertarik untuk belajar bermain gitar bersamaku?” tanyanya memainkan matanya padaku, sial, aku meleleh. “Aku memaksa.” Lanjutnya memegang tanganku. Aku bergetar.

***

            “Tidak, terima kasih,” tolakku dengan sopan pada Theo saat ia menawarkan tumpangan untuk pulang ke rumah. Tapi aku menolaknya. Aku hanya berpikir, kita baru saja bertemu dan ia telah menawarkan sebuah tumpangan. Ayahku bilang padaku untuk tidak mempercayai orang yang baru saja kita temui. Dan aku melakukannya untuk kebaikanku. Lagi pula, aku juga harus pulang ke apartemen bersama dengan Caitlin, sahabatku.
            “Apa kau yakin?” tanya Theo lagi. Aku menganggukan kepalaku dan melihat Caitlin yang muncul dari parkiran menuju halaman kampus, tempatku berdiri bersama dengan Theo. Ia telah memakai helm berwarna merah muda di kepalanya, kemudian motornya berhenti di depanku.
            “Kalian memakai vespa?” tanya Theo menunjuk vespa milik Caitlin.
            “Ya, tentu saja,” Caitlin menyahut dan memberikan helm berwarna hitam padaku. Aku mengambil helm itu dari tangannya dan memakainya di kepalaku. Kemudian aku menaiki motornya di bagian belakang Caitlin.
            “Kelihatannya kalian benar-benar akrab. Vespa merah muda. Kau kelihatannya menyukai merah muda, huh?” tanya Theo melipat kedua tangannya di depan dada. Aku ingin pingsan sekarang. Jika aku tidak memegang pundak Caitlin, mungkin sekarang aku telah jatuh ke belakang. Ia terlihat lebih tampan meski kerutan di hidungnya terlihat saat ia mendengus. Kemudian ibu jari tangan kanannya mengelus dagunya yang halus dengan seksama dan terus berbicara dengan Caitlin. Entahlah, suaranya benar-benar indah namun aku tidak menyerap setiap kata yang keluar dari mulutnya.
            Sesekali ia menatapku dengan ragu. Matanya berwarna abu-abu dan itu sangat indah. Sangat jarang aku bisa melihat mata seperti itu. Bulu matanya lentik. Pipinya terpahat bagaikan patung yang terukir dengan hati-hati namun dengan hasil yang sempurna. Dan ia tampak sama seperti lelaki yang kemarin subuh kulihat di Bandara. Sungguh, aku bersumpah demi Tuhan. Ia mengangguk-anggukan kepalanya dan kemudian menarik nafasnya, seakan-akan bosan.
            “Baiklah, kurasa aku dan Beep harus pulang Sudah jam 9 malam,” ujar Caitlin akhirnya mengundur diri dari Theo.Theo hanya menganggukan kepalanya dan matanya menatapku.
            “Beep?” Theo terkejut, yeah, itu adalah nama panggilanku.
            “Yeah, Beep. Panggilan untuk Taylor, ada masalah?”
            “Oh tidak, tentu saja tidak. Hati-hati di jalan, Beep,” ujar Theo menepuk bahuku kemudian meremasnya dengan lembut. Ia menekan  nama panggilanku dengan suaranya berat. Oh Tuhan, sentuhannya ..aku ingin jungkir balik sekarang. Kupu-kupu yang berada di perutku terasa begitu penuh membuatku ingin mual. Lalu motor Caitlin mulai melaju.

*Theodore Bieber POV*

            Aku tak menyangka aku akan bertemu dengan gadis polos seperti Taylor. Beep. Nama panggilannya benar-benar lucu. Itu membuatku teringat dengan Justin yang selalu membuat suara seperti robot. Tapi itu dulu, sekarang Justin tidak begitu banyak bicara seperti dulu. Hanya saja sekarang pikirannya telah dikotori oleh hal-hal yang berbau dengan seks. Berpikir dengan ucapannya kemarin malam, ia membuatku begitu penasaran. Apakah memang rasanya begitu nikmat saat berhubungan badan dengan seorang wanita? Aku juga ingin melakukannya. Tapi tidak dengan gadis sembarangan. Aku tidak ingin terjangkit penyakit seks yang dapat merusak tubuhku secara perlahan-lahan kemudian meninggal. Aku tidak sama seperti Justin yang jika melakukan sesuatu tidak memikirkan resiko yang akan didapatkan kelak.
            Beep tampak begitu manis dan polos saat ia berbicara denganku sepanjang perjalanan menuju halaman kampus. Sesekali ia tertawa jika ia berbicara denganku, kurasa itu untuk mengurangi rasa gugupnya. Aku bisa melihatnya dari caranya menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. Itu sungguh manis. Meski sesekali ia berkata ‘sial’. Entah dia memang polos atau tidak, tapi terkadang ia tidak mengerti dengan apa yang kubicarakan. Aku senang berbicara dengan seseorang yang selalu bertanya padaku, rasanya kita tidak akan pernah selesai dengan percakapan yang penuh dengan topik-topik pembicaraan yang berbeda-beda. Aku tahu ini terasa begitu cepat, tapi kurasa aku menyukai gadis itu.
            Justin harus mengetahui ini.

***

            “Yeah, aku menyukai gadis itu. Dan kau tahu, ia memiliki mata biru,” ujarku melalui ponsel pada Justin. Aku bisa tahu dari sini kalau Justin sedang bersama dengan seorang gadis, tapi aku tidak peduli jika aku mengganggu mereka. Setidaknya aku bisa mengulur waktu untuk gadis itu berpikir sebelum melakukan hal yang tidak benar dengan Justin. Aku bisa menjadi penyelamat bukan? Well, secara tidak langsung.
            “Kau menyukai gadis? Aku pikir kau gay,”
            “Sial kau,”
            “Jadi, kau menyukai seorang gadis eh? Siapa namanya?” tanyanya mulai tertarik dengan pembicaraan ini. Aku menatap pada gitar yang berada di hadapanku. Rencananya aku ingin menulis lagu untuk gadis itu. Entahlah, aku merasa kalau aku dan Beep dapat menjalin sebuah hubungan sebentar lagi.
            “Taylor,”
            “Sial, mengapa namanya seperti nama lelaki? Apa kau berbohongku kalau ia itu adalah wanita? Kedengaran seperti lelaki,” ejek Justin. Untung saja ia tidak ada di sebelahku, jika ia ada di sebelahku, aku tidak akan sungkan-sungkan untuk membanting gitarku pada kepalanya. Hanya saja, aku lebih mencintai gitarku dibanding kepalanya, jadi aku rasa aku tidak akan melakukan itu sebelum gitarku sendiri yang rusak. Kabarnya, saudara kembarku ini memiliki kekuatan super. Yeah, kepalanya tidak mudah pecah seperti orang-orang. Dan itu terbukti saat ia berlibur di sini. Saat ia bersandar pada sebuah speaker yang berada di dalam kamarku, sebuah bingkai foto yang terbuat dari batu yang kutaruh di atas speaker itu jatuh ke atas kepala Justin. Tapi anehnya, bingkai foto berbentuk buku itu terpecah menjadi dua namun kepala Justin tidak sama sekali pecah. Saudara kembarku cukup ajaib.
            “Taylor Christina Pulmer, sialan. Kurasa ia wanita yang periang dan—“
            “Whoa, tunggu dulu. ‘Kurasa ia wanita yang periang’? Yang benar saja, Theo. Kau harus mengenal wanita itu sebelum kau menyukainya,”
            “Hei, seperti kau tidak pernah melakukan itu saja. Kau itu lebih parah dibanding diriku, ingat itu. Kau juga langsung menyukai seorang wanita yang seksi lalu kau meniduri dirinya tanpa kau tahu apakah dia memiliki penyakit aids—“
            “Baiklah, baiklah. Aku mengalah, kau selalu benar –aku benci setiap kali kau menang beragumen—lalu mengapa kau memberitahuku tentang ini?” tanyanya akhirnya mengalah. Bagus. Sebenarnya aku juga malas untuk menceramahinya sekarang.
            “Aku hanya ingin tahu bagaimana caranya kau memikat seorang gadis dengan cepat,” setelah aku mengucapkan kalimat itu, Justin langsung tertawa meledak dan terbahak-bahak. Ha-ha, yeah sangat lucu. Entah untuk yang keberapa kalinya aku mengeluh kepada Tuhan tentang mengapa Ia memberikan saudara kembar yang aneh seperti Justin. Inilah. Inilah alasan mengapa aku tidak pernah menyinggung kepada siapa pun tentang aku memiliki kembaran. Karena aku merasa malu terhadap Justin. Jika aku dan Justin berhadapan, itu sama saja aku melihat diriku sendiri namun dengan warna mata yang berbeda. Tapi kelakuanku dan kelakuannya sangat berbeda jauh. Astaga, aku bersumpah demi Tuhan, aku lebih baik daripada Justin. Aku bisa meyakinkan itu, bahkan aku bisa bertaruhan.
            Lama tertawa, akhirnya Justin berhenti.
            “Kau benar-benar ingin tahu?”
            “Yeah, untuk yang kali ini. Aku benar-benar serius,”
            “Baiklah. Bro, ini hanya karena kau adalah kembaranku yang dapat kubanggakan dan abang tercinta dalam hidupku. Aku memberikan tips ini padamu,”
            “Sial Justin. Bisakah kau lebih cepat? Aku harus bangun pagi benar besok,”
            “Oke. Pertama, kau harus melewati masa-masa pendekatan. Kau benar-benar menyukainya bukan? Jika kau melakukan pendekatan yang baik, aku bisa pastikan ia akan menyukaimu. Kedua, jadikan ia pacar dan perlakukan dia bagaikan tuan puteri, kau mengerti saudara-kembar-kesayanganku?” tanya Justin yang membuatku ingin mencekiknya sekarang. Ya, tentu saja aku mengerti. Tapi bagaimana melakukan –pendekatan—yang—baik—dengan wanita? Ini adalah yang pertama kalinya aku menginginkan seorang gadis –bukan berarti dulu aku adalah gay.
            “Tapi bagaimana caranya?”
            “Untuk masa pendekatan? Dia satu kuliah denganmu maka antar-jemput dia setiap hari. Mengerti? Lalu ajak dia makan malam dan pergilah ke tempat-tempat yang menurutmu menyenangkan. Habiskan waktumu bersamanya, jangan dengan music sialanmu itu. Sial, kau benar-benar tidak tahu bagaimana caranya mendekati gadis? Lalu selama ini apa yang kaulakukan dalam hidupmu?” jelas Justin sekaligus menghinaku.
            “Setidaknya aku tidak membuang-buang waktu untuk meniduri wanita, aku masih memiliki hal yang lebih penting dibanding itu,” sindirku padanya. Kudengar ia mendengus kesal, hatiku tertawa.
            “Hmm,” ia menggumam, “apa pun yang kau katakan, Theo, aku tidak peduli. Ini adalah hidupku, aku tidak peduli jika aku harus meninggal karena jantungku melemah saat aku berhubungan badan atau bermain basket. Kau tak memiliki hak untuk mengatur kehidupanku,” sekarang aku merasa bersalah dengan ucapanku. Entahlah, kenyataannya adalah Justin selalu memakai jalan bicara seperti ini agar aku terdiam dan memikirkan apa yang kubicarakan sebelumnya padanya. Dan anehnya, ia selalu berhasil untuk membuatku meminta maaf padanya. Seberapapun aku membenci Justin, tapi ia adalah kembaranku. Kami satu kandungan. Ulang tahun kami sama. Aku selalu merasakan kesakitan jika aku sakit. Maksudku di sini adalah kami melengkapi satu sama lain. Dan jika aku kehilangan dirinya, aku tidak tahu apakah aku bisa hidup lebih baik daripada sekarang.
            “Sial, kau selalu berbicara seperti itu padaku,”
            “Aku tahu, aku memang hebat. Jadi, lakukan apa saja yang tadi kukatakan,”
            “Apa kau rutin pergi ke dokter?” tanyaku akhirnya was-was. Masalahnya, ia selalu lupa untuk pergi ke dokter jika aku tidak menghubunginya untuk pergi ke dokter. Contohnya adalah satu minggu yang lalu.
            “Oh yeah, aku pergi kemarin,”
            “Bagus. Jaga dirimu baik-baik. Kau ingat janji kita dari kecil sampai sekarang?”
            “Tidak akan ada yang menangis jika satu di antara kita pergi –meninggal—,” ujar kami berdua bersamaan. “Haha, itu lucu. Tidak akan ada satu di antara kita yang akan pergi bukan? Tapi aku berjanji untuk tidak menangis,” ujarnya.
            “Ha, yeah. Kau benar. Sudahlah, aku harus tidur,”
            “Tidur nyenyak anak ibu,” ejeknya padaku. Aku hanya mengabaikannya dan mematikan ponselku. Baiklah. Ajak Taylor berbicara besok siang. Yah, ajak juga dia pergi untuk makan siang bersama-sama. Jika aku harus mengajak sahabatnya juga, aku tidak keberatan. Selama aku masih bisa melihat Taylor di hadapanku, aku rela melakukan itu.

***

*Taylor Pulmer POV*

            “Beep, kurasa Theo menyukaimu,” gumam Caitlin sepanjang kami menyusuri koridor menuju loker kami. Aku tertawa dalam hati. Tidak mungkin Theo menyukaiku. Well, aku tidak begitu cantik seperti Caitlin yang memiliki rambut lebih indah dan lebat dibanding diriku. Hari ini Caitlin mengepang rambutku, katanya aku lebih cocok untuk dikepang. Well, aku lebih kelihatan seperti anak desa sekarang. Dan yah, ia hanya ..intinya ia lebih cantik dariku. Aku terdiam, tidak menjawab ucapannya. Langkahan kami terhenti di depan loker kami kemudian kami membuka kode pintu loker secara bersamaan. Dan pertanyaanku sekarang adalah mengapa tiba-tiba saja ia membicarakan hal ini? Ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu.
            “Aku serius,” gumamnya merasa terabaikan.
            “Yeah, aku tahu kau serius. Tapi kurasa itu tidak mungkin,”
            “Tentu saja itu mungkin. Aku bisa melihatnya dari cara ia menatapmu. Maksudku, ia berusaha agar kau terus menatap matanya, tapi kau aneh. Kau tidak menatap matanya,” ujar Caitlin. Hah? Apa yang ia bicarakan? Aku tidak mengerti. Maksudku, benarkah apa yang ia bicarakan? Karena itu cukup tidak masuk akal.
            “Bagaimana bisa kau tahu?”
            “Aku melihatnya dari jarak jauh saat kemarin aku di tempat parkiran untuk mengambil motor dan melihatmu bersama dengan Theo berbicara. Ia tertarik padamu, Beep,”
            “Berhenti memanggilku Beep di kampus. Kau mempermalukanku,”
            “Tapi aku menyukainya,” sebuah suara berat mengagetkanku dan Caitlin. Kemudian kami berbalik dan melihat Theo dengan wajahnya yang tampan tersenyum pada kami. Aku menjadi salah tingkah sekarang. Kuselipkan rambutku ke belakang telingaku, ia menatap mataku. Dengan intens.
            “Kurasa aku harus pergi,” ujar Caitlin meninggalkan kami.
            “Caitlin!” aku berteriak padanya.
            “Bersenang-senanglah kalian berdua,” balasnya berteriak. Apa? Apa yang baru saja ia katakan? Bersenang-senang? Tidak mungkin aku bisa bersenang-senang bersama dengan seorang Theo Bieber. Lelaki yang terkenal dengan kepintarannya bermain music –rumornya—malah membuatku gugup jika ia berdekatan denganku. Theo berjalan satu langkah di depan loker Caitlin dan menyandarkan tangannya dengan lurus pada pintu loker Caitlin.
            “Kau sudah selesai kuliah? Aku sudah. Rencananya aku ingin mengajakmu untuk pergi makan siang bersama,” ujarnya menggodaku, tatapannya maksudku yang menggodaku. Oke, ini untuk yang kesekian kalinya aku berbicara pada dirku sendiri tentang matanya yang benar-benar indah. Tapi ya Tuhan, matanya memang benar-benar indah.
            Kemudian pikiranku kembali pada pertanyaannya. Oh. Makan bersama? Tapi bagaimana jika ia adalah orang yang jahat? Tapi aku tidak yakin kalau ia adalah orang yang jahat. Memberinya kesempatan? Tentu saja.
            “Ya. Yeah, tentu saja. Sekarang?”

            “Yeah, sekarang,” dan ia memegang tanganku. Setelah itu aku membeku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar