“Ya
Tuhan, Anna!” teriak Justin yang membuatku mendongak. Astaga, mengapa dia
begitu berlebihan? Aku hanya ingin kiriman paket dari Max. Well, kotaknya
memang besar sekali. Aku tidak tahu ini dari siapa tapi ini diperuntukan
untukku. Dan astaga, mengapa Justin begitu berlebihan? Aku menaruh kembali
kotak ini. Kurasa itu adalah tempat tidur untuk bayi. Astaga, aku senang
sekali. Tapi dari siapa? Mungkin orang tua Justin.
Justin
mendekatiku dan melihatku dengan tatapan khawatir dan langsung memegang kedua bahuku.
Ini adalah kehamilanku yang kelima bulan dan ini adalah hari terakhirnya.
Perutku sudah sangat besar.
“Justin
ini hanyalah sebuah kotak, tidak masalah,” ujarku memegang tangannya yang
berada di pundakku. “Tidak apa-apa,” lanjutku lagi. Ia mendesah pelan dan
menurunkan tangannya pada perutku. Aku tertawa geli akibat elusannya. Tiba-tiba
saja perutku ditendang oleh si kecil. Justin terkejut dan matanya langsung
melebar. Aku tertawa, meringis.
“Tidak
apa-apa,” bisikku lagi. Justin menghembuskan nafas lega dan lalu tangannya
mulai mendekati pada kotak yang dibungkus oleh kertas cokelat. Ia membukanya
dengan semangat dan benar saja! Itu adalah tempat tidur untuk si kecil. Justin
berjongkok dan mengamati kardus itu. Ia membaca bagian belakangnya dan kemudian
ia mendongak. Senyumnya mengembang.
“Dari
orang tuaku,” ujarnya. “Apa kau ingin memasang ini sekarang?” tanyanya. Aku
menganggukan kepalaku dengan penuh semangat. Lalu tangan Justin kembali
menjamah perutku dan mengelusnya dengan lembut.
“Yeah,
ayahmu mempunyai pekerjaan baru nak. Hargai ayahmu jika kau sudah keluar dari
perut ibumu,” ujar Justin dengan suara yang benar-benar serius, “jangan
mengompol di atas sana nanti,”
“Justin!”
aku menegurnya. Kemudian Justin tertawa konyol. Aku jadi ikut tertawa konyol
bersamanya. Kemudian aku berjalan menaiki tangga. Ah, kakiku benar-benar sakit
jika harus menaiki tangga. Perutku terlalu besar. Dan tubuhku begitu mungil.
Berat badanku tidak terlalu naik drastis. Justru kata Dr. Connel, badanku tidak
mengalami perubahan besar seperti ibu-ibu lainnya. Justin bahkan sering
memanjakanku untuk membeli makanan yang si kecil inginkan. Tapi tubuhku tidak
banyak mengalami perubahan.
“Pelan-pelan
Anna,” ujar Justin yang berjalan di belakangku. Aku hanya menggumam dan berjalan
melewati tangga sambil memegang pinggangku agar perutku lebih menyembul. Itu
bisa mengurangi rasa beratnya.
Ah,
akhirnya. Aku mendesah pelan saat aku sudah berada di lantai atas. Huh, cukup
melelahkan untuk melewati tangga tadi. Kami berjalan melewati lorong, melewati
kamar kami dan masuk ke dalam kamarku yang dulu. Memang kamar ini cukup besar
untuk bayi. Tapi tidak apa-apa. Jika kami memiliki dua anak, mereka akan tidur
di sini. Mataku menatap ke seluruh penjuru ruangan ini. Kami belum memutuskan untuk
mencatnya warna apa. Meski Dr. Connel bilang bahwa anak kami ternyata adalah
anak laki-laki. Tapi Justin bilang padaku untuk tidak melakukan itu
cepat-cepat. Entahlah, aku ingin tembok ini dicat bergambar anak-anak anjing
dengan penuh warna.
Justin
sudah membuka kardus besar itu dan mengeluarkan bagian-bagian dari tempat tidur
yang masih terpisah-pisah. Kemudian ia mengambil buku panduan. Aku terduduk di
atas tempat tidur yang masih berada di dalam ruangan ini. Menatap Justin yang
mulai membagi-bagi bagian tempat tidur si kecil dengan rapi. Ia terlihat begitu
tampan jika sudah berkonsentrasi seperti ini.
Ia
seperti malaikat yang tercipta untukku. Sungguh beruntungnya aku akan
mendapatkannya dan mendapatkan si kecil. Apalagi si kecil adalah seorang lelaki.
Well, apa yang bisa kukatakan? Justin cukup kesal saat ia tahu anak kami adalah
anak lelaki. Ia benar-benar cemburu dan kadang ia selalu marah padaku jika aku
menolaknya untuk tidak berhubungan badan. Well, yeah, kita masih sering
berhubungan badan, kata Dr. Connel tidak apa-apa. Tapi saat kehamilanku
menginjak 5 bulan –sebentar lagi akan 6 bulan. Justin bilang padaku kalau aku
lebih mencintai anak ini dibanding dirinya. Cukup konyol disaat ia cemburu pada
anaknya sendiri. Itu tidak masuk akal. Tapi aku hanya menanggapinya dengan
tawaan dan meyakinkan dirinya bahwa aku mencintainya sama seperti aku mencintai
anak kami.
“Apa?”
tanya Justin menyadari kalau aku mengamatinya. Aku hanya menggelengkan kepalaku
dan tersenyum konyol padanya. “Kau tidak ingin membantuku?”
“Kau
ingin aku membantumu?”
“Tidak!
Sial, tidak!” Justin langsung berteriak, membuatku terkekeh. Dia memang seperti
ini. Dia overprotetif. Membuatku sedikit muak dengan tingkahnya. Bahkansaat aku
ingin mengambil air minumku sendiri di bawah sana, di dapur, ia berteriak
padaku agar aku tidak turun dari lantai atas. Ia tidak ingin aku kesusahan
untuk naik ke atas lagi. Ia benar-benar takut aku akan keguguran. Oh, Mr.
Bieber-ku yang tampan. Ia terlihat begitu lucu saat ia mengkhawatirkanku.
“Tidak
apa-apa, Justin,” aku menggodanya dan aku mulai bangkit berdiri. Justin yang
sedang memegang bagian sisi tempat tidur bayi kami langsung menjulurkan benda
itu padaku dan menatapku dengan tatapan garang. Oh, astaga, aku ingin tertawa.
Ia benar-benar marah.
“Anna
Bieber, duduk. Jangan sampai aku marah padamu, Anna,” ujarnya lagi. Aku masih
berdiri dan tidak mau menuruti perkataannya.
“Anna,”
ia memperingatkanku.
“Aku
hanya ingin membantu suamiku,” ujarku lagi, menggodanya.
“Ya
Tuhan, Anna! Kubilang duduk, apa kau tidak kasihan melihat suamimu yang hanya
meminta seorang istrinya untuk duduk? Kau juga bisa melihat pemandangan jika
kau duduk manis di atas sana,” ujar Justin memuji dirinya. Sendiri aku tertawa
pelan dan menggumamkan sesuatu lalu kembali terduduk. Sengaja, ia membuka
bajunya sehingga aku bisa melihat tubuhnya yang berotot. Oh, ya. Justin
memiliki tattoo di dadanya. Tulisannya Anna. Yeah, namaku. Dan aku juga
memiliki tattoo. Tentu saja bukan di dadaku. Gila saja. Well, di pinggangku. Di
sisi pinggangku. Tulisan Prancis, Bieber. Yeah, itu mengartikan bahwa aku
adalah milik Bieber.
“Menikmati
pemandangan?” tanya Justin melirik padaku, menggodaku lebih tepatnya. Aku
tertawa pelan dan menggelengkan kepalaku.
“Tidak.
Aku sedang berpikir saja,”
“Berpikir
tentang apa?”
“Tentang
kau dan aku –“
“Adalah
sebuah kesempurnaan?” lanjut Justin memotong ucapanku. Kurasa pipiku memerah
dan ia menganggukan kepalanya. “Well, Anna. Itu adalah faktanya. Kau dan aku
jika disatukan adalah sebuah kesempurnaan yang abadi,”
“Abadi?”
“Baiklah,
hingga kita meninggal nanti,” ujarnya memutar matanya dan menggelengkan
kepalanya lalu kembali pada pekerjaannya. Aku bangkit dan Justin langsung
mendongak. Sial, mengapa matanya seperti macan? Ia seperti lumba-lumba yang
bisa mendengar gerakanku dari jarak jauh.
“Kau
ingin kemana?” tanyanya mulai bangkit. Aku berjalan mendekatinya dan mulai
menggelanyutkan tanganku pada leher Justin dan memiringkan kepalaku ke salah
satu sisi dan mengamat-amati wajah Justin. Aku ingin membayangkan wajah anak
kami nanti jika lahir. Rambut berwarna cokelat seperti Justin, mata
cokelat-emas milik Justin, bibir, hidung, sebuah kesempurnaan. Anak kami akan
menjadi anak tertampan yang akan lahir. Well, semua ibu-ibu di dunia ini selalu
mengatakan itu kepada anak-anak mereka bukan? Justin menaikan salah satu
alisnya, menatapku dengan bingung. Dan alis tebal itu akan diwarisi kepada si
kecil.
“Apa
yang kaupikir, Mine?” tanyanya memegang pinggangku. Aku menggelengkan kepalaku.
“Kau
adalah kesempurnaan, Justin,”
“Tidak,
tidak. Bukan itu, dengarkan ini,” ujar Justin, “Aku dan kau adalah
kesempurnaan. Aku tanpamu, aku benar-benar hancur. Bukan sebuah kesempurnaan.
Maka dari itu, kau harus selalu bersama denganku. Agar aku menjadi sebuah kesempurnaan.
Aku tanpamu begitu hampa,” ujarnya begitu manis. Kumajukan wajahku untuk
mengecup bibirnya yang manis.
“Benarkah?”
“Aku
mencintaimu, Anna. Aku tidak sempurna tanpamu,”
“Begitu
pun aku Justin. Aku mencintaimu,”
“Kata-kata
itu..” Justin mulai mencium bibirku dan semakin mendekatkan tubuhku pada
tubuhnya.
***
“Kathleen!”
aku berjalan pelan menuju dirinya. Aku tidak dapat berlari. Oh, astaga. Setelah
sekian lama aku tidak bertemu dengannya, akhirnya aku dapat menemui Kathleen.
Justin akhirnya mengizinkan Kathleen datang. Aku memeluk Kathleen dan tersenyum
puas akan kedatangannya. Oh, aku ingin sekali menceritakan kehamilanku yang
sudah menginjak 9 bulan. Well, kau tahu apa? Aku dan Justin telah mengecat
ruangan si kecil dengan warna biru muda. Dan well, kami dibantu juga oleh
tukang cat untuk membuat garis putih sempurna. Kata Justin ia tidak ingin
menggambarinya dengan gambar anjing. Ia ingin burung. Well, gambar burungnya
sederhana saja. Dan itu benar-benar indah.
“Pelan-pelan
Anna,” tegur Justin yang berada di belakangku. Aku melepaskan pelukanku dari
Kathleen dan menarik tangannya untuk berjalan menuju ruang tamu. Tentu saja
dengan langkah yang pelan. Justin mengamat-amatiku dengan tatapan serius.
Mengapa ia seperti elang? Aku duduk di atas kursi dengan hati-hati bersama
dengan Kathleen.
“Astaga,
aku akan menjadi seorang bibi,” ujarnya dengan girang. Justin duduk di sofa
seberang kami. Mengangkat salah satu kakinya dan menumpunya pada kakinya yang
lain, jari telunjuknya menelusuri bibirnya. Aku menatapnya dengan risih dan
memutar bola mataku, ia tersenyum kecil padaku.
“Yeah,
dia laki-laki kau tahu,”
“Oh
aku tak sabar ia akan lahir. Ini bulan yang kesembilan bukan?” tanya Kath
terharu dengan kehamilanku. Oh, kumohon jangan seperti ini. Aku hanya
menganggukan kepalaku.
“Apa
kau sering berkontraksi?” tanyanya, aku menggelengkan kepalaku. Bersamaan
dengan gelengan kepalaku, aku meringis pelan. Oh Tuhan, aku rasa perutku
berkontraksi. Aku memegang tangan Kathleen dan mulai menjerit kesakitan.
“Anna!”
teriak Justin yang tiba-tiba saja sudah menggendongku. Oh, Tuhan. Rasanya
benar-benar sakit dan tak dapat kutahan. Tanganku sudah berada di leher Justin
dan mengadah kepalaku ke belakang saking sakit yang tak tertahan. Oh, kumohon.
Siapa pun! Hentikan rasa sakit ini.
“Bertahan,
Anna, bertahan,” bisik Justin dipenuhi rasa kekhawatiran.
***
“Oh
Justin, kumohon,” aku merasakan kesakitan yang sangat luar biasa. Justin telah
memakai pakaian berwarna hijau, memegang tanganku dengan erat. Aku bisa melihat
matanya yang basah. Ini benar-benar sakit dan kurasakan tanganku yang lain
disuntik oleh suster. Obat bius. Aku dapat merasakan sakit yang luar biasa di
bawah sana. Dr. Connel dari tadi berteriak-teriak. Ia bilang bahwa leher bayiku
terlilit oleh tali plasentanya. Membuatku harus melakukan caesar.
“Bertahan
Anna, bertahan,” ujar Justin terus menerus. Aku menganggukan kepalaku dan
berusaha untuk tersenyum padanya. Selama ia berada di sisiku, aku akan
bertahan. Kemudian tiba-tiba saja sebuah kain membatasi perutku dan dadaku.
Sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi di sana. Aku mati rasa. Tapi dalam
tubuhku, aku bisa merasakan sesuatu di bawah sana.
“Oh
astaga, Tuhan,” Justin berbisik, menatap ke arah bawah. Matanya melebar.
“Apa
itu Justin?” tanyaku sambil memegang tangannya semakin erat.
“Tuhan
..Tuhan ..Astaga,” mata Justin semakin melebar dan itu membuatku ingin
menamparnya. Apa yang ia lihat di bawah sana? Aku tidak bisa merasakan apa-apa
sekarang. Ini akibat obat bius dan rasanya aku ingin tertidur. Mataku sudah
sayu menatap Justin. Kemudian aku merasakan kekosongan di bawah sana dan aku
bisa mendengar jerit tangis seorang bayi. Oh, anakku. Astaga, dia sudah lahir
ke dunia ini. Aku benar-benar ..ini sungguh luar biasa.
“Anak
Anda laki-laki Mr. Bieber,” ujar Dr. Connel. Aku bisa mendengar suara senyuman
dari Dr. Connel. Tangisan anak laki-laki itu masih terdengar. Dan aku bisa
melihat bayiku yang dibawa oleh Dr. Connel kepada Justin. Masih merah, berambut
cokelat dan matanya terpejam. Tangisannya membuat suster-suster di sini hampir
tertawa.
“Darren
William Bieber,” bisik Justin menangis. Oh, aku ikut menangis akibat
kebahagiaan yang tak terkira ini. Aku telah memiliki anak dengan Justin. Ini
adalah anugerah terindah dalam hidupku. Tapi kemudian aku begitu mengantuk
sehingga aku menutup mataku. Aku benar-benar lelah dengan segala keringat yang
telah keluar dari tubuhku. Aku butuh istirahat.
***
“Kau
telah melakukannya dengan baik, Anna,” ujar Justin sambil menggendong anak kami
yang menangis dalam gendongannya. Aku sudah bangun dari tidur lamaku. Oh,
untunglah tidak terlalu lama. Sehingga aku bisa melihat buah cintaku. Willy.
Oh, lucu sekali. Aku terduduk dan mulai membuka pakaian rumah sakit dan
menggendong Brandy dengan penuh kasih sayang. Dia sangat lapar. Kemudian aku
langsung memberikannya asi. Pipinya yang montok benar-benar menggemaskan.
Ia
langsung terdiam dan mulai mengemut putingku agar ia mendapatkan makanan. Aku
tersenyum dan mengelus kepalanya dengan lembut lalu aku mendongak. Justin
tersenyum penuh dengan kebahagiaan. Oh, senyuman itu.
“Ini
adalah anugerah terbesar yang pernah kudapatkan,” ujar Justin sambil mengelus
kepala Brandy juga. Aku memposisikan gendonganku agar Willy –William- dapat
meminum asi-ku dengan nyaman. Ia terlihat begitu bersemangat untuk mengeluarkan
air susuku. Aku ingin tertawa.
“Oh,
Justin. Aku juga begitu sayang, aku tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti
ini,” ujarku mendongak, menatapnya kembali. Tapi kemudian, tiba-tiba saja
Justin menjauh, berjalan menuju sofa dan menggelengkan kepalanya. Ia cemburu.
Mengapa tiba-tiba ia seperti itu lagi? Sungguh, tingkah seperti anak kecil.
Justin mengeluarkan ponselnya dan mulai bermain. Oh, Justin. Mengapa kau
seperti ini?
“Justin?”
aku memanggilnya. Plop! Tiba-tiba saja putingku sudah tak terbungkus oleh mulut
Willy. Ia telah tertidur. Oh, astaga. Bibirnya benar-benar mungil. Dan pipinya
benar-benar montok. Ia sudah kenyang. Kemudian Justin mendongak dan matanya
melebar. Sial! Aku harus cepat-cepat memasukan dadaku pada bra. Jika tidak
..kau pasti tahu apa yang kumaksud. Tapi terlambat. Justin telah berdiri dari
sofa dan mulai mendekatiku. Aku tak dapat memasukan kembali dadaku ke dalam bra
karena aku menggendong si kecil. Tapi perkiraanku salah. Justin justru
memasukan dadaku ke dalam bra dan itu membuatku kegelian. Ia tertawa.
“Anna,
aku tahu ini konyol. Tapi kau tidak akan mengurangi kadar cintamu terhadapku kan?”
tanya Justin dengan pertanyaan konyolnya.
“Tidak
mungkin Justin. Siapa yang dapat menolakmu Justin?”
“Kau,”
baiklah, Justin ingin memulainya. Tapi aku hanya diam, tak membalasnya.
“Baiklah,” ia mendesah pelan dan mengelus kepalaku.
“Orang
tuaku akan ke sini sebentar lagi, Kathleen sedang pergi keluar untuk menjemput
Sam,” ujar Justin lagi. Aku menganggukan kepalaku.
“Aku
mencintaimu, Justin dan si kecil,” ujarku mendongak padanya. Ia menganggukan
kepalanya.
“Aku
juga mencintaimu, Anna. Dan tentunya kembaranku si kecil,” ujarnya sambil
mengecup bibirku kilat lalu ia mengecup kening Willy dengan lembut. Penuh kasih
seperti yang dilakukan ayah terhadap anaknya. Willy tidak akan pernah
kekurangan kasih sayang sepertiku. Aku tidak ingin nasib Willy sama sepertiku.
Aku ingin Willy bertumbuh dengan cinta yang aku dan Justin tanamkan untuknya.
***
“Selamat
datang kembali ke rumah sayang,” ujar Justin membukakan pintu untukku. Kemudian
aku berjalan dengan si kecil yang berada di gendonganku. Aku berjalan untuk
masuk ke dalam rumah. Dan yang membuatku aneh adalah kali ini lampu ruang tamu
dimatikan. Mengapa? Tiba-tiba saja lampu ruang tamu menyala.
“KEJUTAN!”
teriak sekumpulan keluarga Justin dengan Kathleen dan Sam. Willy yang sedang
tertidur terkejut dan langsung menangis. Membuat semua orang tertawa di dalam
rumah ini. Aku ikut tertawa melihat keterkejutan Willy. Kemudian aku berusaha
untu menenangkannya. Tangan Justin berada di pundakku. Aku melihat ke
sekeliling. Astaga, benar-benar meriah. Ada spanduk yang menggantung di
langit-langit rumah ini. Selamat Datang Kembali ke Rumah Anna! Itu tulisannya.
Aku tersenyum penuh dengan kebahagiaan. Willy mulai berhenti menangis.
“Oh,
Anna. Anak kalian benar-benar lucu sekali. Cucu pertamaku,” ujar Pattie
mendekatiku dan mulai mencoba untuk menggendong Willy.
“William,
ibu,” ujar Justin. Pattie hanya menganggukan kepalanya dan menggendong bayi
kami lalu ia berbaur kepada sepupu-sepupu Justin. Aku benar-benar senang dengan
kedatangan mereka. Makanan ringan tersedia di atas meja ruang tamu. Tapi aku
benar-benar tak tahu tentang ini. Merasa penasaran, aku menarik tangan Justin
menuju dapur. Dan kami berhenti di dalamnya. Xavier dan D’aman langsung keluar
dari dapur.
“Mengapa
kau tidak memberitahu ini padaku?”
“Kejutan!”
ujar Justin menarik pinggangku pada agar aku dekat dengannya. Wajah kami
benar-benar dekat sekarang.
“Mengapa?”
“Aku
ingin kau merasa spesial,” ujar Justin. Aku mendesah pelan dan memejamkan
mataku sebentar lalu membukanya lagi.
“Justin,
dicintai dirimu sudah membuatku spesial,” ujarku menggelanyutkan tanganku pada
lehernya.
“Selamat
ulang tahun sayang,” ujar Justin mengecup bibirku. Oh, astaga? Benarkah hari
ini adalah hari ulang tahunku? Mengapa aku bisa melupakannya? Bahkan sampai
malam seperti ini aku lupa hari ulang tahunku sendiri?
“Aku
tahu kau lupa sayang.Kau terlalu senang akan kelahiran si kecil hingga ulang
tahunmu saja kau lupa,” ujar Justin mulai mengecup leherku. Aku mendesah pelan.
Oh, astaga, aku sudah berumur 21 tahun. Satu setengah tahun aku bersama Justin
dan rasanya begitu menakjubkan.
“Ada
hadiah yang menunggumu di kamar sayang,” bisik Justin di telingaku.
“Apa
itu?”
“Kau
harus mencari tahu, tapi tidak sekarang,” ujar Justin meremas bokongku.
“Oh
Justin! Kau membuatku begitu penasaran,”
“Aku
senang membuat istriku penasaran dan kau akan menyukainya,”
“Aku
benci saat suamiku membuatku penasaran dan aku tidak tahu apa aku menyukainya
atau tidak,”
“Astaga,
Anna. Mengapa kau begitu manis? Aku benar-benar mencintaimu,” ujar Justin.
“Aku
mencintaimu juga, Justin,” ujarku menarik lehernya dan mencium bibirnya dengan
penuh nafsu.
“Apa
pun hadiah yang kuberikan, Anna. Ingat satu hal, aku mencintaimu,”
“Ya,
Justin! Aku mendengarnya, Justin. Aku juga mencintaimu. Bisakah kita berhenti
dan bergabung dengan keluarga?” tanyaku melepaskan ciuman ini. Justin
menganggukan kepalaku.
Tiba-tiba
aku mendengar suara tangisan dari Willy lagi. Secepat mungkin aku menarik
tangan Justin untuk kembali ke ruang tamu. Kulihat Pattie menggendong Willy dan
berusaha untuk menenangkannya.
“Aku
dan keluargaku mencintaimu, Anna. Kau tidak akan pernah kekurangan kasih sayang,
aku mencintaimu, selalu.” bisik Justin di telingaku. Aku mengecup pipinya
dengan cepat dan mulai berbaur dengan keluarga aku dan Justin. Oh, Dominan-ku,
aku benar-benar mencintaimu!
Aku
mencintai Justin. Darren. Dan keluarga ini, selamanya.
***
“William,”
tegur Justin pada Willy saat Willy mencoba untuk mengambil mainan Lucinda, adik
perempuannya yang sedang bermain. Tapi dengan cepat Willy menundukan kepalanya
dengan sedih. Ia ingin menangis. Kami sedang berada di taman bersama dengan
Willy dan anak kedua kami bernama Lucinda. Tapi biasanya ia dipanggil Lucy.
Lucy memiliki mata seperti Justin sedangkan Willy memiliki warna mata
sepertiku. Dan Justin tampaknya tidak menyukai tingkah Willy yang ingin
mengambil boneka beruang yang Lucy sedang mainkan. Willy sudah berumur 3 tahun
dan Lucy baru berumur 9 bulan. Tapi Lucy sudah bisa duduk dan berdiri. Mereka
berdua benar-benar tampan dan cantik.
Yeah,
layaknya ibu yang baik, aku langsung memeluk Willy yang berjalan ke arahku. Ia
memeluk leherku dan menangis seperti anak kecil pada umumnya. Aku menatap
Justin yang terduduk di atas kain yang kami gelar di sini. Semacam piknik
kecil. Kupelototi Justin agar ia meminta maaf pada Willy. Willy masih menangis
dalam pelukanku, kepalanya berbalik pada leherku, sehingga aku dapat merasakan
air matanya di sana. Aku juga sedang hamil satu bulan. Entahlah, tapi kurasa
ini terlalu cepat. Namun menyenangkan.
“Daddy
jahat!” teriak Willy semakin mengeratkan pelukannya pada leherku. Aku mengelus
kepalanya, rambutnya benar-benar halus. Kemudian aku menggendong Willy dan
berdiri.
“Sssh,
iya sayang. Sudah jangan menangis, nanti ibu belikan mainan yang baru. Sssh,
sudah jangan menangis. Daddy!” aku menegur Justin dan memelototinya. Lucy
tampak asyik dengan mainannya dan tidak mempeduli abangnya yang sedang
menangis. Justin mendesah pelan dan berdiri dari tempatnya. Dagu Willy berada
di bahuku dan ia membuang mukanya dari ayahnya. Dasar Justin! Mengapa ia tidak
pernah sehari saja tidak menegur William? Aku tahu William memiliki banyak
mainan, tapi setidaknya Justin bisa menegur William baik-baik. Dia masih 3
tahun dan belum mengerti apa-apa selain berbicara, membuka pintu, berlari,
bermain.
Justin
berada di punggungku untuk melihat wajah Willy. Tapi langsung saja, Willy membuang
mukanya lagi dari Justin. Willy memposisikan wajahnya ke arah leherku lagi agar
Justin tidak dapat melihatnya.
“Aku
hanya ingin dengan mommy,” tangisnya lagi sesenggukan. Oh, anak pertamaku yang
kusayang, rasanya lucu jika ia menangis seperti ini. Tapi di sisi lain juga aku
kesal dengan Justin karena telah membuatnya menangis.
“Willy,
dad minta maaf. Kau ingin bermain bersama dad?” tanya Justin dengan suara penuh
penyesalan di belakang sana. Aku tidak berbalik. Aku ingin membiarkan Willy
untuk mendongakan kepalanya pada ayahnya. Tapi Willy menggelengkan kepalanya.
“Dad
akan berikan es krim cokelat setelah bermain,” ujar Justin menggodanya.
Beberapa detik dalam isak tangis, Willy mendongakan kepalanya. Ia menaruh
dagunya kembali pada bahuku dan kurasa ia sedang menatap Justin.
“Ayo
Papa’s Blue Eyes. Kau tidak ingin bermain terbang-terbangan bersama daddy?”
tanya Justin lagi.
“Aku
ingin es krim,” bisik Willy dengan suara yang cukup parau setelah ia menangis.
Ia sudah berhenti menangis, namun ia masih sesenggukan.
“Iya,
daddy pasti akan berikan. Mau daddy gendong?” tanya Justin. Kurasakan Willy
menganggukan kepalanya dan langsung saja aku membalikan tubuhku untuk
memberikan Willy pada Justin. Dengan cepat Willy menjulurkan tangannya pada
Justin dan Justin langsung berlari mengitari taman bersama dengan Willy yang
langsung tertawa. Oh astaga, Willy benar-benar mudah sekali menjadi senang. Dia
benar-benar sanguinis. Mungkin. Kemudian aku terduduk, berhadapan dengan Lucy
yang masih bermain dengan bonekanya. Air liurnya terus menetes sedangkan ia
mata cokelatnya memerhatikan boneka beruang ungunya dengan serius. Apa yang
gadis kecil ini pikirkan?
“Hey,
little girl. Apa yang kaulakukan?” tanyaku dengan suara yang lembut. Ia
mendongak dan bibirnya yang mungil benar-benar basah. Aku langsung mengambil
sapu tangan milik Justin yang berada di kantong celana pendekku dan mengelap
mulutnya yang basah karena air liur.
“Dada,”
ujarnya dengan suaranya yang benar-benar lucu. Pipinya montok dan bulu matanya panjang-lentik.
Aku tertawa dan mulai menggendongnya. “Dada,” ujarnya lagi yang membuatku
mencubit pipinya dengan gemas.
“Apa?
Kau ingin bermain dengan ayahmu?” tanyaku sambil berjalan menghampiri Justin
yang memegang kedua tangan Willy dan memutar-mutarkannya hingga Willy melayang.
Oh Tuhan. Astaga, jangan sampai pegangan tangan Justin terlepas. Sial! Aku jadi
khawatir dengan perminan ‘terbang-terbangan’ yang dibuat oleh Justin.
“Ahaha!
Daddy!” tawa Willy menggelegar dan Justin semakin memutar-mutarkan tubuhnya
hingga Willy terus melayang. Jangan sampai jatuh, jangan sampai jatuh. Aku
membisikan doa itu. Kemudian Justin berhenti memutarnya dan langsung memeluk
Willy. Kurasa Willy pusing, namun ia terus tertawa.
“Kau
mencintaiku, Willy?” tanya Justin memegang kepala Willy dan menempatkan Willy
pada pinggangnya. Willy terdiam namun beberapa detik kemudian ia menganggukan
kepalanya. “Karena daddy sangat mencintaimu, sayang,” ujar Justin mengecup pipi
montok Willy.
“Aku
ingin es krim daddy,” ujar Willy yang tidak melupakan janji ayahnya. Kemudian
Justin berjalan menghampiriku. Lucy tidak bersuara, mungkin ia telah tertidur
karena kurasakan air liurnya di bahuku, basah. Astaga, anak ini benar-benar
menggemaskan. Kupegang kepala Lucy agar tidak terjatuh ke samping.
“Apa
dia tidur?” tanyaku sambil membalikan tubuhku untuk berjalan menuju rumah.
Justin menggumam. Yeah, kurasa Lucy sudah benar-benar mengantuk. Ini sudah
siang dan ia memang butuh tidur. Kami berjalan melewati kolam renang dan masuk
ke dalam rumah. Willy dari tadi tidak berhenti mengoceh pada Justin sehingga
membuat Justin tertawa.
***
“Akhirnya
kita memiliki waktu berduaan sayang,” ujar Justin saat aku baru saja merebahkan
tubuhku di atas tempat tidur. Justin ikut merebahkan tubuhnya di sampingku
namun dengan cepat ia menangkup tubuhku. Memiringkan tubuhku sehingga kami
berhadapan. Oh, astaga, ini sudah malam dan aku benar-benar lelah. Tangan
Justin tak bisa diam di belakang punggungku. Jari-jarinya memegang pengait
braku dan menggodaku. Aku tertawa kecil dan menaruh tanganku di lehernya.
“Apa
yang kaulakukan?” tanyaku sedikit mendesah saat ia melepaskannya.
“Menggoda
istriku,” bisiknya mendekatkan wajahnya pada wajahku. “Kumohon Anna, bermainlah
malam ini. Aku tersiksa selama 3 hari ini,” ujarnya memohon.
“Kau
yakin?” tanyaku, menggodanya. Tanpa menjawab pertanyaanku, Justin langsung
mendorong bibirku dengan bibirnya dan mulai menelentangkan tubuhku sehingga
sekarang ia berada di atasku. Lidah kami terus bertarung dan saling menghisap.
Tangan Justin tak bisa diam, ia menarik gaun tidur putihku ke atas sehingga
kami terpaksa untuk melepaskan ciuman ini agar Justin dapat melepaskan
pakaianku. Justin melempar gaunku ke segala arah sehingga sekarang kedua
tangannya mulai memegang kepalaku dan mencium mulutku kembali. Lebih dalam dan
aku merasakan getaran yang sama. Oh, kumohon agar Justin melakukannya dengan
lembut.
Kemudian
lidahnya mulai bermain di leherku, menghisapnya, membuatku bergetar di
bawahnya. “Selalu indah,” gumamnya di sela-sela ciumannya. Aku tidak memakai
bra malam ini, yeah, jika aku ingin tidur biasanya aku melepasnya. Mulut Justin
langsung membungkus puting dadaku dengan buas dan bermain-main di sana.
Membuatku menggeliat dan meremas rambutnya.
“Oh,
kumohon,” aku memohon, merintih dan memecah. Salah satu tangannya mulai meremas
dadaku dan tangannya yang satunya lagi mulai mengelus perutku yang telanjang.
Hanya sekain celana dalam yang menutupi tubuhku. Dan jari-jari panjangnya mulai
bermain di sana. Tangannya bermain di atas celana dalamku dan mengelusnya.
Membuatku semakin basah dan mendongakan kepalaku ke belakang. Ini terlalu
nikmat.
“Tenang
sayang, semuanya akan baik-baik saja,” ujarnya sambil menarik kepalaku agar
kembali menatapnya. “Sekarang, biarkan aku membuatmu mendapatkan pelepasan.
Tatap mataku sayang,” ujar Justin menatap mataku intens. Tangannya mulai masuk
ke dalam celana dalamku.
“Oh,
sial Anna! Kau sudah siap untukku,” erangnya mulai memasukan salah satu jarinya
ke dalam tubuhku sehingga aku mendongakan kepalaku ke belakang, memejamkan
mataku. Jarinya terus keluar-masuk secara teratur dan aku mengikuti gerakan
tangannya. Pinggulku bergoyang-goyang mengikutinya.
“Tatap
mataku Anna!” Justin berteriak padaku dan aku mengedipkan mata, mencoba untuk
membuka mataku. Aku menatap matanya, ia benar-benar menatapku dengan intens.
Dan aku terus mengerang dan mendesah tak tahan. Pelepasanku mulai terbangun dan
Justin semakin mempercepat gerakan jarinya bahkan ia menambahkan jarinya yang
lain ke dalam tubuhku, membuatku semakin bergairah dan terus
menggoyang-goyangkan pinggulku untuk mendapatkan pelepasanku.
“Oh,
Justin! Ngh, sial ..Oh!” aku meneriakan pelepasanku yang benar-benar indah dan
terus menatap Justin dengan liar. Justin mendengus dan semakin mempercepat
jarinya di dalam sana. Oh, asataga, ini benar-benar indah. Tak terasa, Justin
mulai melepaskan celana dalamku dan ia juga telah menelanjangi dirinya sendiri.
Aku
dapat merasakan benda tumpul di bawah sana dan mulai mendorong padaku tubuhku.
Kedua tangan Justin sudah berada di samping kepalaku dan menatap mataku, ia
mendengus. Kedua tanganku sudah memegang tangan Justin. Dan seluruhnya masuk,
ia mendesaknya. Membuatku mengerang dan mendongakan kepalaku ke belakang.
“Oh,
Anna. Kau selalu terasa nikmat,” erang Justin mulai memaju-mundur pinggulnya
dengan cepat. Membuatku terus mendesah dan menggigit bibirku. Oh, kumohon. Aku
belum mendapatkan nafas saat aku baru saja mendapatkan pelepasan.
“Yah,
Anna! Oh, Tuhan! Astaga Anna,” teriak Justin terus menggoyang pinggulnya dengan
cepat.
“Oh,
Justin! Aa –ohh Tuhan!” aku mendesah mendapatkan pelepasan yang begitu cepat,
beberapa detik kemudian Justin melolong cepat. “Anna,” gumamnya terus menerus
dan masih menggoyangkan pinggulnya sampai ia berhenti. Kelelahan.
“Aku
mencintaimu Justin,” bisikku saat kepala Justin berada di samping kepalaku,
dagunya bersandar pada bahuku. Tanganku melingkar di sekitar lehernya. Tapi
tubuh Justin tidak begitu menekan perutku.
“Aku
lebih mencintaimu Anna dan anak kita. Aku mencintaimu, selalu.” Bisiknya
terengah-engah.
Aku
belajar dari film Disney dan aku mendapatkannya. Cinta bisa datang kapan saja
dan berakhir dengan kehidupan yang bahagia. Beruntungnya aku telah mendapatkan
Justin. Dan aku bisa merasakan akhir yang bahagia ..selamanya.
Cinta bisa datang kapan saja dan berakhir dengan kehidupan yang bahagia.
BalasHapusSemoga itu terjadi di kehidupan gue nanti, amin O:)
J
Bagusssssssssssss...i like this story
BalasHapus