Jumat, 02 Agustus 2013

Bieber Biker Bab 1

Aku menatap dengan angkuh kepada semua lelaki yang berada di depanku. Mereka tampak begitu bergaya dan membuatku ingin meninju wajah mereka satu per satu. Mereka bahkan baru masuk ke dalam kampus ini. Mereka tidak tahu siapa aku. Yeah, memang semua orang belum tahu siapa aku. Aku menatap motor mereka satu per satu. Tidak ada yang mengesankan. Semuanya kalah telak dengan motor yang kupakai. Pemberian dari kakekku memang hebat setelah aku mencoba untuk mendesain motor ini agar lebih bagus. Gauman dari motor mereka memang besar, tapi lihat saja. Motor siapa yang lebih cepat melesat nanti.
            Mataku kemudian terjatuh kepada seorang wanita seksi yang memakai pakaian putih sampai atas pusarnya. Celana berwarna merah muda pendek sekali –bahkan terlihat seperti celana dalam—itu menghampiriku dengan rambut ikal berwarna pirang yang ia mainkan. Dadanya besar, membuatku menyukai tubuhnya. Ia sudah berada di depanku dan memegang dada bidangku dengan lembut. Oh, astaga, gadis ini sekarang adalah milikku, malam ini. Hanya malam ini. Aku tahu ia tak lebih dari seorang pelacur tapi ia akan menjadi pelacurku untuk satu malam. Tak sabar untuk mengikuti balap motor kali ini. Hadiahnya cukup besar. Well, aku juga memang harus membayar, tapi bagiku, uang yang kukeluarkan tidak lebih banyak dari apa yang akan kuterima nanti.
            “Hey, Bieber Biker,” godanya dengan suaranya yang seksi. Aku tak menyukainya, tapi aku menyukai tubuhnya. Aku hanya terdiam dan menganggukan kepalaku.
            “Bersamaku malam ini?” tanyaku sambil merangkul bahunya dan mendekatkan hidungku dengan hidungnya. Ia menganggukan kepalanya.
            “Hey, Bieber Biker! Sudah waktunya,” teriak Ferdinan, panitia dari lomba balap motor, padaku. Aku melepaskan rangkulanku dari gadis ini dan menganggukan kepalaku pada Ferdinan. Aku mulai menaiki motorku yang tadi kusandar lalu aku memakai helm bergambar tengkorak milikku ke kepalaku. Flynn, Finn, dan Roger sudah siap di garis strat. Aku membawa motorku dengan cepat ke sana dan memposisikan motorku di tengah-tengah. Aku memalingkan kepalaku ke kiri dan melihat para penonton yang bersorak-sorak. Seorang gadis berkulit hitam manis dengan pakaiannya yang benar-benar seksi telah berdiri di depan kami. Di tengah-tengah. Oh, dia benar-benar seksi.
            “Oh, God! Dia Bieber Biker!” teriak beberapa gadis di kedua belah sisi penonton. Aku membuka kaca helmku dan melihat kepada salah satu gadis yang memiliki rambut ikal panjang dan cokelat. Kemudian aku memainkan mataku padanya, ia langsung berteriak kesenangan. Hell yeah, aku memang hebat dalam menggoda gadis-gadis kampus. Kemudian aku menutup kembali kaca helmku dan memfokuskan mataku pada jalur pembalap. Gadis yang masih berada di depanku terus berpose sambil melepaskan bra warna merah mudanya dari dalam kaos putihnya. Sial!
            “3…” teriaknya sambil memainkan bra miliknya di langit-langit.
            “2…” teriaknya, kali ini sedikit mendesah. Kemudian bra itu ia jatuhkan. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menggas motorku hingga kecepatan 50mm/jam. Tak berpikir, aku tahu aku telah meninggalkan para pecundang di belakang sana. Area perlombaan balap motor kali ini lebih seru dan menegangkan. Aku sebenarnya sudah mempelajari belokan-belokan yang akan kulewati. Aku dan Lyle sering bermain di sini dan bodohnya Ferdinan malah memilih jalur di sini. Aku mulai memasukan motorku ke dalam lorong. Untung memotong jalan.  Aku mempercepat hingga 100!
            Penuh ketenangan, aku semakin mempercepat kecepatan motorku hingga 200! Aku tak peduli jika speedometerku rusak hanya karena aku terlalu cepat menggas! Sial, aku benar-benar menikmati lomba ini. Motorku meliuk-liuk dengan cepat saat aku melewati lorong-lorong dengan cepat. Bahkan aku melewati ibu-ibu yang entah sedang apa malam-malam seperti ini dengan roll di rambutnya. Ia berteriak padaku. Seperti biasa, panggilan terkenalku setelah meniduri gadis-gadis kampus : Berengsek, Sialan.
            “Hey Bieber Biker sialan!” teriak Flynn dari belakang. Aku membalikan kepalaku dan mulai menaikan kaca helmku dan tertawa terbahak-bahak melihatnya. Kemudian disusul kemunculan Roger dan Finn, juga para anak baru sialan itu.
            “Eat my shit, bro!” teriakku, kemudian aku menolehkan kepalaku lagi ke depan untuk fokus ke jalur.
            “Damn you, Bieber!” teriak Finn dari belakang yang telah menyusul Flynn, kurasa.
            Kemudian aku sudah berada di jalan raya kembali. Ini hanya tinggal lurus-lurus dan lurus. Tanpa pikir panjang, aku mulai mempercepat kembali kecepatan motorku hingga 240! Motorku bahkan standing selama beberapa detik dan lalu kembali jatuh ke jalanan dan berlari secepat mungkin. Aku membungkukan tubuhku untuk melawan angin yang menerpa tubuhku. Aku memang sudah memakai jaket kulit berwarna hitam dengan tulisan Bieber Biker di belakangnya. Yeah, orang-orang sering memanggilku. Mataku sudah mulai melihat orang-orang yang berteriak penuh kesenangan dan meneriak-teriakan namaku penuh riang! Aku memang hebat. Lalu aku melesat, melewati garis finish dan menghentikan motorku secara tiba-tiba. Motorku kembali standing ke depan, kali ini. Lalu aku berhenti di sisi jalanan.
            “Hell yeah, Bieber Biker. Aku rasa aku mulai bosan untuk mengikuti balap motor ini. Untuk yang kesekian kalinya, 10,000 dollar, dude!” teriak Ferdinan menghampiriku. Kemudian semua orang mengerubungiku. Flynn dan yang lainnya juga telah sampai di garis finish dan menggumamkan kata-kata kotor. Bahkan salah satu di antara mereka menendang motornya. Aku langsung merebut segepok uang yang tebal itu dari tangan Ferdinan. Gadis-gadis mengerubungiku dan meneriakiku. Namun gadis yang tadi kutemui menghampiriku lagi dan mulai menjatuhkan tangannya pada bahuku, menatap kepada gadis-gadis lain bahwa aku adalah miliknya. Hell no! Aku tidak mungkin ingin bersamanya. Mungkin, ya, hanya satu malam saja.
            “Naiklah,” ujarku pada gadis ini. Kemudian ia menaiki motorku di belakang dan aku mengantongi uang yang kudapat ke dalam kantong jaketku. Hmm, gadis pirang ini pasti rasanya akan sangat lezat. Tunggu sayang, aku akan memberikanmu malam yang tak akan terlupakan dalam hidupmu lalu kau akan memanggilku: Berengsek. Tak masalah. Sudah terbiasa.
            Aku melesatkan motorku, membelah jalan raya menuju apartemenku.

***

            “Kau berengsek Justin!” teriaknya padaku sambil memakai kembali pakaian yang sudah kulepaskan. Yeah, aku tahu ia akan memanggilku seperti itu. Tapi aku tak peduli. Aku memakai boxerku kembali dan berjalan masuk ke dalam kamarku dan membiarkannya memakai pakaiannya.Aku mengusirnya. Seperti gadis-gadis lain, ia meminta nomor teleponku untuk melanjutkan hubungan kami. Oh, tentu saja aku menolaknya. Mereka hanya memandangku sebagai Bieber Biker yang tampan. Aku tahu. Tapi tidak, aku tidak ingin bersama dengan gadis murahan sepertinya. Aku yakin, sudah banyak sekali barang lelaki yang masuk ke dalam tubuh wanita itu. Setelah aku memakai kaos berwarna putih yang kuambil dari kasur, aku keluar dari kamarku.
            Melihat gadis itu yang terduduk di atas sofa dan menangis di sana.
            “Hey, aku sudah bilang padamu untuk pergi dari apartemenku,”       
            “Aku tidak mau!” sanggahnya, menolak perkataanku. Oh, mengapa ia membuat ini menjadi lebih rumit?
            “Hey, aku hanya bilang ini untuk yang terakhir kalinya. Kau pulang atau aku akan menendangmu dari sini agar cepat keluar dari apartemenku. Aku tak akan main-main,” ujarku lebih tegas. Pasrah, ia mendesahkan pelan dan menghapus air matanya dan berjalan ke arahku. Lalu tangannya yang kecil itu menampar wajahku dengan kencang. Auch! Yeah, cukup menyakitkan.
            “Kau benar-benar berengsek!” teriaknya berjalan menuju pintu apartemenku dan membanting pintu apartemenku. Aku hanya tertawa konyol melihat tingkah. Well, aku tahu sebenarnya ini adalah salahku karena aku belum memberitahunya kalau aku tidak menjalani hubungan lebih lanjut selain one-night-stand. Bersamaan saat aku ingin mengunci pintu apartemenku, tiba-tiba saja terbuka dari luar.
            “Sial, Justin. Gadis itu benar-benar seksi. Ia menangis dan terus memaki-makimu di depanku. Whoa, aku tidak akan membuangnya jika ia seseksi itu,” sembur Lyle yang tiba-tiba saja masuk, bersama dengan Logan yang menyusul dari belakang. Mereka berdua adalah sahabatku dan kami tinggal bersama-sama. Mereka tahu aku akan melakuka ini setiap Jumat malam. Bukankah semua orang seperti itu juga setiap Jumat malam? Aku menutup pintu dan menguncinya. Kemudian mataku terjatuh pada  jam dinding. Sudah jam 3 pagi. Yeah, jam balap motor tadi ditunda hingga jam 12 malam. Biasanya jam 11 malam kita sudah bermain.
            “Yeah, aku tahu. Tapi dia sudah tidak perawan,” ujarku asal dan berjalan melewati mereka berdua yang sudah berada di atas sofa dan menyalakan televisi. Mereka membawa beberapa makanan dari luar dan aku tidak ingin menyentuhnya. Aku sudah makan gadis tadi, aku butuh tidur. Untunglah besok adalah hari Sabtu. Aku bisa pergi ke tempat penari telanjang, yeah, Barney’s Bar. Biasa aku datang ke sana. Dan aku terkenal di sana.
            Yeah. Terkenal sebagai seseorang.
            Bieber Biker.

***

            Melewati Sabtu dan Minggu seperti biasa, hari ini adalah hari Senin. Oh, permainan tadi malam bersama Angela benar-benar penuh dengan gairah. Aku menyukai cara bermainnya. Bahkan aku benar-benar lelah karenanya. Tapi aku tak peduli. Hari ini aku harus bertemu dengan Mr. Whitmore untuk meminta nilaiku yang sebenarnya di pelajarannya. Sial, padahal saat itu aku mengerjakan makalahku dan aku mendapatkan nilai A+. Aku juga ingin lulus. Meski sebenarnya, tinggal dua  tahun lagi. Aku peduli dengan nilai-nilaiku di kampus, sekalipun aku pembalap motor.
            Kakiku menghantar tubuhku melewati lorong kampus. Aku ingin mengambil bukuku yang berada di loker. Namun mataku berhenti kepada seroang gadis berambut cokelat panjang yang masuk ke dalam kantor Mr. Whitmore. Sial. Dia cantik. Tak peduli, aku mulai membuka lokerku dan mengambil makalahku untuk diperlihatkan pada Mr.Pulmer.

*Kate William Whitmore POV*

            Aku melihat seorang lelaki berambut cokelat berjalan masuk ke dalam ruangan ayahku. Aku tidak tahu siapa dia, tapi ia benar-benar tampan. Yang membuatnya tidak tampan adalah ada tattoo di tangannya. Tatto-nya pun tidak begitu bagus, menurutku. Karena aku memang tidak menyukai tattoo. Pendengaranku terganggu saat dua orang gadis masuk ke dalam ruangan ayahku juga. Aku ke sini karena dia adalah ayahku. Seperti yang tadi aku bilang. Aku baru pindah dari New York ke Atlanta. Ayahku memutuskan agar aku pindah ke sini dengan ibuku karena ia bosan pulang-pergi dari New York ke Atlanta satu minggu satu kali. Sehingga, di sinilah aku. Kate William Whitmore, berdiri di kantor ayahku, dan merasa terganggu dengan cekikian dua gadis yang menatap lelaki tampan di sebelahku.
            “Ada apa Mr. Bieber?” tanya ayahku menatap Justin di balik kacamatanya. Dengan tak sopan, lelaki yang dipanggil Bieber oleh ayahku melempar buku miliknya ke atas meja ayahku. Penuh kesabaran, ayahku membuka buku miliknya.
            “Maksudmu?”
            “Aku telah melakukan apa yang kaubilang, Mr. Whitmore. Tapi saat kau menyebutkan nilaiku adalah C- sedangkan dibuku itu tertulis A+ , aku tidak menerimanya,” ujarnya yang membuatku muak. Tapi saat ia melirikku, aku mengurung niatku untuk menegurnya. Tatapan matanya, sial! Ia benar-benar tampan.
            “Ah, ya. Maaf Mr.Bieber. Biar kuperbaiki,” ucap ayahku dan mengambil lembaran untuk nilai mahasiswanya. Aku ikut masuk ke dalam kampus ini. Ini adalah tahun pertamaku mengikutinya. Dan kurasa sangat menyenangkan. Apalagi, ayahku adalah dosen di sini. Meski aku tidak mengambil mata kuliahnya. Setelah ayahku memberikan nilai yang sebenarnya pada Bieber, ia mengambil kertas –makalah kurasa—miliknya dan berjalan keluar. Aku menatapnya dan ia mengedipkan salah satu matanya padaku. Saat itu juga, kakiku rasanya susah sekali untuk menahan tubuhku.
            “Mr. Whitmore!” seru kedua gadis yang dari tadi cekikan itu. Kemudian aku menjatuhkan bokongku ke atas kursi untuk menunggu mereka. Aku ingin berbicara dengan ayahku tentang orang-orang di sini. Di kampus ini.

***

            “Kate,” panggil Lucy, teman baruku saat aku keluar dari ruang kelas. Aku telah selesai mengikuti pelajaran pertamaku di sini. Dan Lucy, kenalanku tadi pagi memanggilku. Ia langsung menoleh padaku dan ia juga telah keluar dari kelasnya. Aku menghampirinya dengan gembira, namun kegembiraanku surut saat melihat lelaki yang tadi kutemui di ruangan ayahku. Oh, astaga, dia benar-benar tampan. Aku justru sekarang sangat senang. Sangat. Ia melewatiku dan aku menatapnya, untuk yang kedua kalinya, ia mengedipkan salah satu matanya padaku lalu aku meleleh. Mataku tak lepas darinya namun senyumku menghilang saat lelaki itu merangkul seorang gadis berambut pirang yang ia lewati. Apa dia adalah pacar lelaki itu? Kurasa.
            Aku membalikan kepalaku dan kembali menatap Lucy dengan lesu. Dan aku penasaran dengan lelaki tadi. Siapa dia?
            “Dia Bieber Biker,” ujar Lucy, menjawab pertanyaanku yang tak terucap. Aku memberikan Lucy tatapan ‘Hah?’. Ia menganggukan kepalanya.
            “Well, ia seorang pembalap motor. Ia selalu menang perlombaan selama 3 tahun ini. Hebat bukan? Mungkin hanya beberapa kali ia tidak menang,” ujar Lucy menjelaskan. Aku hanya menganggukan kepalaku namun mengharapkan berita yang lebih banyak darinya.
            “Dan yah, dia dipanggil Bieber Biker karena kemenangannya itu. Tapi ia adalah seorang berengsek. Kau lihat tadi? Gadis tadi adalah mangsanya untuk yang entah yang ke berapa kalinya,” jelas Lucy lagi. Aku melotot padanya.
            “Aku serius. Dan ..yeah, kau ingin ikut Jumat malam nanti untuk menonton lomba balap motor? Kau tahu, untuk melihatnya dan sedikit bersenang-senang,” ujar Lucy mengajak. Oh, tentu saja! Aku penasaran sekali dengan itu. Yeah, aku ingin tahu Bieber Biker. Ia sungguh berkarisma, mengingat senyumannya tadi. Kemudian aku menganggukan kepalaku dan berkata: “Tentu saja!”
***

            “Dad,” aku memanggil ayahku saat aku masuk ke dalam ruang kerjanya. Aku berdiri di ambang pintu dan melihat ayahku yang sedang melihat sebuah kertas di balik kaca lensa yang ia pakai. Ia tidak mendongak, namun matanya melihat ke arahku. Aku masuk ke dalam ruang kerjanya dan melihat-lihat pada lemari buku milik ayahku. Aku ingin meminta izin padanyan untuk pergi ke tempat balap motor malam ini. Ini adalah Jumat malam dan aku ingin melihat Bieber Biker yang akan tampil di sana. Dan kurasa aku juga harus membawa uang yang banyak untuk membayar sang pemenang.
            “Ada apa, sayang?” tanya ayahku melepaskan kacamatanya, meski mataku menatap buku-buku tebal berwarna merah, hijau, kuning ini, mataku masih bisa melirik ke arahnya.
            “Aku ingin pergi malam ini,” aku mendesah pelan, mencoba untuk menguatkan diri. Ini yang kedua kalinya aku pergi keluar Jumat malam, itu pun yang pertama karena prom night di sekolahku.
            “Bersama dengan siapa?” tanyaku. Sudah kuduga! Pasti ayahku akan bertanya dengan siapa. Untung saja aku pergi bersama Lucy. Jika dengan lelaki, well, aku tidak tahu apa reaksi ayahku karena aku tidak pernah membicarakan lelaki di depannya. Dan sepertinya, ia biasa-biasa saja dengan teman-teman lelakiku semasa aku duduk di bangku SMA.
            “Lucy, teman baruku. Lucy Archamn. Dia baik sekali, dad,” ujarku akhirnya menoleh kepada ayahku dan memberikan wajah yang bersungut padanya. Di samping itu, aku ingin pergi ke perlombaan itu karena aku ingin berkenalan dengan Justin.Dia sudah berkali-kali memainkan matanya padaku! Apa dia seperti itu pada banyak gadis? Kurasa begitu, setelah aku melihatnya menggandeng banyak gadis. Bahkan kemarin aku satu kelas dengannya. Dan ia terlihat begitu mempesona.
            “Kate, kemarilah,” suruh ayahku yang sudah berdiri dan merentangkan tangannya untukku. Aku berjalan ke arahnya dan memeluknya dengan erat. Oh, mengapa rasanya aku tidak bisa menolak ayahku? Maksudku, jika ia melarangku, pasti aku akan menurutinya. Aku tidak bisa membantahnya.
            “Kau sudah besar nak. Kau sudah 18 tahun. Kau tahu apa yang harus kaulakukan. Dad tidak ingin menjadi pengekang dalam kehidupanmu, Kate. Hanya saja, kau harus berhati-hati sayang. Kau mata biruku yang cantik dan aku tidak ingin ada seseorang yang akan menyakitimu,” ujar ayahku mengelus rambut kepalaku dan aku hanya menganggukan kepalaku dengan lemah. Oh, ini dia. Hanya ingin pergi keluar Jumat malam ayahku seperti ini? Oh, kumohon ayah. Jangan buat aku terlihat lemah dan menangis di hadapanmu sekarang. Aku bukan anak kecil lagi. Aku melepaskan pelukan ayahku dan menganggukan kepala.
            “Apa mom sudah memberikanmu uang untuk pergi malam ini?” tanya ayahku. Aku tertawa pelan dan menggelengkan kepalaku. Well, sebenarnya, uangku banyak sekali di bank. Hanya saja aku belum mengambilnya. Ayahku sering memberikanku uang saku di bank untuk satu bulan. Dan well, entah sudah beberapa tahun terakhir ini, aku tidak begitu membutuhkannya. Kecuali saat aku sibuk sekali untuk mencari gaun saat prom night.
            “Ya sudah. Jaga dirimu baik-baik. Kalau kau tidak pulang malam ini, kirim aku pesan singkat,” ucap ayahku. Aku hanya menganggukan kepalaku dan melangkah keluar dari ruang kerjanya! Hell yeah! Akhirnya aku bisa keluar malam ini. Setelah bertahun-tahun aku dikekang di rumah oleh ibuku yang overprotectif karena tidak ayah, akhirnya aku bisa keluar dari rumah dan menikmati masa mudaku! Kupikir aku tidak akan pernah bersenang-senang, tapi ini sudah menjadi kenyataan! Aku berteriak dalam hati dan naik melalui tangga untuk mengganti pakaianku.

***

            Telingaku hampir lepas saat aku mendengar teriakan-teriakan orang-orang saat motor para pembalap mulai berada di posisi mereka. Aku tidak melihat Bieber Biker. Tangan Lucy terus memegang tanganku. Ia takut kehilanganku. Bagaimana pun juga, aku adalah tanggungjawabnya karena ia yang telah mengajakku, apalagi aku adalah anak dari dosen, katanya. Aku hanya menganggukan kepalaku dan terus berjalan ke sisi jalanan untuk melihat lebih jelas, siapa saja yang membalap malam ini. Well, penonton di sini cukup banyak. Dan kebanyakan gadis-gadis di sini memakai pakaian yang sungguh seksi. Mungkin hanya aku yang memakai pakaian tertutup. Aku memakai baju lengan panjang berwarna ungu dan celana jins hitam panjang bersama dengan sepatu converse berwarna putih. Lucy juga memakai baju seksi, sebenarnya, tapi ia menutupinya dengan jaket yang ia pakai.
            Orang-orang di sini terus berseru nama Bieber Biker. Namun aku tidak dapat menemukan di mana ia berada. Mungkin di tengah-tengah atau di ujung seberang jalanku. Aku tidak begitu pendek atau begitu tinggi, tapi di sini banyak sekali orang tinggi yang membuatku kesusahan.
            Seorang wanita berambut ikal cokelat berdiri di tengah-tengah jalan, beberapa meter di depan garis start. Wanita itu kemudian melepas bra yang ia pakai dari dalam bajunya dan aku menganga. Astaga, apa dia serius baru saja melakukan itu? Karena itu sungguh keren. Aku tersenyum melihat keliaran di sini! Aku tidak pernah merasa begitu bebas! Ia menghitung.
            Sedetik kemudian wanita itu menjatuhkan bra miliknya. Tiba-tiba salah satu motor yang kuyakini ialah Bieber Biker melesat secepat mungkin. Gila! Apa yang sedang ia lakukan? Aku menganga dan tidak percaya. Semua orang langsung menyalakan ponsel mereka. Ternyata mereka dapat melihat perlombaan ini dengan hanya sebuah ponsel karena banyak kamera yang mereka pasang di sepanjang jalur perlombaan. Kurasa begitu, itu kata Lucy kemarin. Lucy juga mengeluarkan ponselnya, aku melihat Bieber Biker yang membawa motornya begitu cepat. Apa dia gila? Aku tidak tahu bagaimana rasanya jika ia kecelakaan.
            Kami menunggu sambil sibuk dengan ponsel kami masing-masing. Ada dua motor. Dua motor yang sejajar dan aku melihat Bieber Biker di sana. Karena aku bisa melihat tulisan di belakang jaketnya. Motor yang berada di sana mencoba untuk menendang motor Bieber, tapi langsung saja Bieber menjauh dan ia memberikan jari tengahnya pada motor itu. Aku tertawa pelan.
            “Sial!”
            “Apa-apaan!”
            “Berengsek!”
            Aku selalu mendengar gumaman orang-orang di sini yang berseru jika salah satu motor tiba-tiba saja jatuh. Karena banyak sekali pembalap motor yang ikut. Aku tidak tahu ada berapa banyak, tapi sungguh banyak sekali. Tapi mataku hanya terjatuh kepada Bieber Biker. Senyumannya padaku saat aku melihatnya keluar dari kelasnya bersama dengan Lucy yang berjalan di belakangnya. Mereka selalu saja sekelas dan Lucy sangat beruntung. Anting yang ia pakai tidak cocok untuknya, tapi aku pernah mendengar suaranya dari jarak jauh saat ia bertemu dengan temannya. Suarnya benar-benar indah. Bahunya begitu tegap saat ia berjalan. Tapi satu yang baru kusadari, ia tidak pernah memakai jaket itu di dalam kampus. Kurasa. Karena aku baru saja melihat jaket yang malam ini ia pakai. Dan Lucy juga bilang begitu. Katanya, ia tidak ingin banyak dosen yang mengetahuinya kalau ia adalah Bieber Biker. Orang tua Bieber adalah pemberi sumbangan terbanyak ke kampus ini. Dan Bieber tidak ingin mempermalukan orang tuanya karena tingkahnya di malam hari. Itu rumornya.
            “BIEBER BIKER!” kemudian orang-orang berteriak. Aku baru sadar kalau Bieber telah memenangkannya. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku.
            “Oh, Justin. Sungguh, aku sudah bosan mengikutsertakan kau ke perlombaan ini. Selamat untuk yang kesekian kalinya, bro!” tepuk sang panitia memberikan uang kepada Justin. Setelah itu banyak sekali gadis-gadis yang mengerubunginya.
            Oh, ternyata namanya adalah Justin Bieber. Aku baru tahu. Sedetik kemudian, motor-motor lain sudah melesat dan berhenti ke sisi jalanan. Banyak sekali di antara mereka yang menggumamkan kata kotor dan marah sekali. Hei, ini adalah perlombaan dan pasti dan tentu akan ada yang menang atau kalah. Mereka seharusnya lebih bijak lagi untuk menerima kekalahan!
            Lucy menarik tanganku untuk berjalan menuju Justin. Aku juga ingin berkenalan dengan Justin. Saat kami sudah sampai di tempat Justin, mataku bertemu dengan matanya. Oh, sial! Itu begitu indah. Tapi kali ini ia terlihat berbeda. Ia tidak memainkan matanya padaku dan aku cukup bersyukur. Karena jika ia melakukannya, aku mungkin akan meleleh di tempat. Aku melepaskan tangan Lucy dan menerobos gadis-gadis yang mengurubunginya hanya untuk melihatnya. Hei, lebih seru jika kita berbicara pada orangnya. Aku yakin pasti ia tidak sombong. Ia pasti merespon dengan apa yang kita ucapkan. Meski penampilannya tidak begitu baik, pasti ia adalah orang baik, sebenarnya. Aku yakin.
            “Hei, aku Kate,” saat itulah aku menyatakan diriku adalah orang teridiot di dunia. Apa yang baru saja kulakukan? Aku menyapanya dengan menyebutkan namaku? Kemudian Justin melihatku dari bawah hingga atas dan ia tertawa pelan.
            “Yeah, kau Kate. Angela, bisakah kau naik ke atas motorku sekarang?” Justin mengacuhkanku dan senyumanku langsung surut. Itu benar-benar sakit. Kemudian, muncullah seorang wanita seksi yang memakai sepatu boots berwarna putih yang tinggi dan pakaiannya ..ya Tuhan, berbeda drastic dengan pakaian yang kupakai. Pantas saja Justin menolakku.
            “Hei, Chieke. Jauhi Justin atau kau yang akan kusingkirkan,” ujar Angela, wanita yang dipanggil Justin itu, kepadaku. Aku hanya menganggukan kepalaku dan memundurkan langkahku agar Justin bisa pergi dengan cepat. Oh, astaga. Aku tidak tahu mengapa aku merasa sakit hati. Tapi saat Justin mengabaikanku, rasanya begitu sakit. Itu sungguh berbeda dengan apa yang kuharapkan. Kupikir ia memang ramah. Tapi ternyata tidak.
            “Kate, jauhi tempat ini nak jika kau masih ingin hidup dengan duniamu,” ujar Justin memakai helmnya. Aku tersinggung. Apa yang ia bicarakan?
            “Yeah, benar! Jauhi tempat ini sayang,” peluk Angela di sekitar pinggang Justin dan memberikanku senyum kemenangannya. Ish! Kemudian motor Justin menjauh dari tempat kami berdiri. Begitu juga dengan gadis-gadis yang mengerubungi Justin. Aku menundukan kepalaku dengan lesu. Aku tak percaya Justin baru saja mengusirku dari tempat ini. Ini adalah tempat yang menyenangkan, menurutku. Meski aku belum menikmati perlombaannya.
            Aku mendongak saat kaki Lucy terlihat oleh penglihatanku, kemudian aku mendongak. Ia memberikanku wajah, Apa-apaan tadi? Apa kau gila? Yeah, aku gila. Aku berujar pada diriku sendiri.
            “Apa yang kaulakukan? Untung saja Justin menolak! Gila. Kate, jangan pernah lakukan itu. Dia adalah bajingan!” seru Lucy memarahiku. Aku menganggukan kepalaku, tapi dalam hati aku menggeleng. Aku tidak ingin semudah itu menjauh dari Justin. Dia lelaki yang manis, menurutku. Tapi entah apa yang terjadi dengannya malam ini. Intinya, hatiku hancur.
            “Apa kau lapar? McDonald buka 24 jam,” ujar Lucy menarik tanganku. Aku menganggukan kepalaku dengan lesu. Mungkin makanan dapat membuat hatiku lebih baik.

***

            Aku berlari dengan santai, mengelilingi taman di Atlanta. Well, taman kota di Atlanta tak kalah kerennya dengan New York. Hanya saja di Atlanta lebih kecil ukurannya. Seperti taman kota biasa, ada danau di tengah-tengahnya dengan angsa-angsa yang berenang di atasnya. Sungguh indah. Aku sedang mendengarkan lagu rapp untuk mendukung lari pagiku. Sabtu pagi ini udaranya begitu segar dan sejuk. Aku menyukainya. Tapi kelelahan. Mungkin sudah beberapa putaran aku mengelilingi taman ini.
            Mencoba untuk mencari tempat yang nyaman, aku mendapatkan sebuah pohon yang tidak disandari oleh siapa pun. Aku berlari kecil ke arah pohon itu dan duduk di bawahnya. Mengambil air minumku yang kubawa lari dari tadi. Kemudian aku meneguknya. Memejamkan mata untuk menenangkan diri. Keringatku sudah bercucuran. Biasanya ayah berada di sampingku untuk memberikan sapu tangannya untukku atau handuknya. Ia tidak suka memakai handuknya. Entah mengapa, ia tidak pernah memberi tahunya padaku.
            Mengingat kejadian tadi malam benar-benar memuakan. Suara Angela yang dibuat-buat mendesah itu membuatku ingin muntah di depannya. Rasanya ia mencari muka pada Justin.
            “Butuh teman?” suara berat terdenga di telingaku. Membuka mataku, tiba-tiba aku membeku. Justin Bieber berada di depanku dengan kaos putih yang basah melekat di tubuhnya? Holy shit! Ini terlalu berlebihan. Aku meleleh dan aku tidak mendapatkan suaraku. Rasanya begitu .. astaga, aku tidak tahu kalau ia akan seseksi ini. Aku menelan ludahku dengan susah payah. Ia terduduk di sebelahku. Oh, Tuhan! Ini benar-benar memalukan. Aku hanya memakai tank-top berwarna merah muda dengan handuk yang melingkar di sekitar leherku dan celana ketat selutut berwarna hitam! Ini sungguh memperlihatkan lekuk tubuhku pada Justin dan ini sungguh memalukan.
            “Kau seksi,” puji Justin duduk di sebelahku. Lengannya yang berkeringat, bersentuhan dengan lenganku. Tubuhku bergetar. Astaga, apa yang sebenarnya ia lakukan?
            “Mengapa kau tampaknya pendiam pagi ini, Kate?” tanya Justin, menekan namaku. Namaku dibelai oleh lidahnya.
            “Ak-aku tidak tahu,” akhirnya aku menemukan suaraku, meski aku gugup.
            “Apa yang kaulakukan tadi malam di arena perlombaan?” tanya Justin.
            “Aku hanya penasaran,” jawabku dengan suara yang lebih baik, namun aku masih tegang.
            “Anak baru,” gumamnya, kemudian ia tertawa. Astaga, suara tawaannya yang pertama kudengar. Itu adalah suara terindah yang pernah kudengar setelah tawa dari ayahku. Kutelan ludahku dengan susah, berusaha untuk tidak menatapnya.
            “Kau seharusnya meninggalkan tempat itu cepat-cepat, Miss Whitmore,” ujarnya yang membuatku tersentak. Bagaimana ia tahu kalau aku adalah anak dari Whitmore sang dosen? Ini benar-benar memalukan. Kurasa pipiku memerah.
            “Kau tahu namaku dari mana?” tanyaku, hati-hati.
            “Di absen. Yeah, kau duduk di depan dan aku di belakang. Saat aku ingin menanda tangani kehadiranku, aku melihat namamu paling atas. Kate Whitmore, tenyata anak dosen,” ujar mengelap keringatnya dengan handuk dan ia langsung merebut botol air minum yang kupegang dan ia langsung meminumnya tanpa ragu.
            Mata melebar, menatapnya, tentu saja aku terkejut! Ia meminum air minumku, otomatis aku berciuman secara tidak langsung dengannya. Dan lalu ia mendesah pelan setelah ia selesai minum.
 “Aaah, lezat sekali,” gumamnya mendongakan kepalanya dan mengambil nafas dalam-dalam.
            “Aku tidak percaya,” gumamku.
            “Apa? Aku meminum air minummu? Well, ini juga yang pertama kalinya. Kate, kau ingin pergi sarapan bersamaku? Jika kau mau.” ujar Justin mengajakku. Aku benar-benar ingin mati!

***

            Tanganku menutup pintu kamar yang terukir dengan indah. Punggungku mencium belakang pintu dan mataku tertutup. Berpikir apakah tindakan tadi adalah tindakan yang tepat? Bisa kupastikan itu adalah bukan tindakan yang tepat. Aku telah menolak Justin dan ia tidak mengatakan apa-apa setelah aku menolaknya. Melangkah pergi meninggalkannya dan kepalaku kembali menoleh untuk melihatnya, ia ternyata memperhatikanku namun dengan senyuman miring. Entah apa itu adalah senyuman miring licik atau lucu atau ..aku tidak tahu.
            Dan sekarang aku ada di sini. Menyesali segalanya. Seharusnya aku menerima ajakannya. Hei, wanita-wanita murahan di sana aku cemburu melihatku sarapan bersama dengan Justin seorang pembalap motor yang kalah hanya kurang dari 50 kali. Namun aku berpikir kembali. Aku tidak ingin menjadi gadis yang sama saat bersamanya. Meski aku tahu aku telah menolak kesempatan emas itu. Dan aku yakin aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi. Tapi tidak apa-apa. Justin bukanlah satu-satunya lelaki yang tampan di planet ini bukan?
            Mendesah pelan aku berjalan meninggalkan pintu untuk mandi pagi. Setelah keringat yang melengket di tubuhku, aku butuh kesegaran yang maksimal. Hari ini aku harus pergi keluar bersama ayahku untuk mencari apartemen untukku.
            Aku mengambil handuk. Yeah, kata ayahku aku harus hidup mandiri. Dan ayahku belajar untuk melepaskanku darinya. Ayahku adalah orang bijak yang selalu berhasil membuatku menangis. Rasanya tak tega untuk melepaskannya. Untuk meninggalkannya. Setelah apa yang ia lakukan sepanjang hidupku. Kukunci pintu kamar mandiku dan mengaitkan handukku pada gantungan handuk.
            Mungkin memang benar. Aku harus hidup mandiri.

***

            “Apa kau yakin ini apartemen yang kauinginkan, Kate?” tanya ayahku tidak yakin saat aku melihat sebuah apartemen yang benar-benar mengagumkan, untukku. Karena ..kau tahulah. Ini tidak begitu besar atau kecil. Ini cocokku. Aku bisa memasak di sini. Ada dua kamar dan satu kamar mandi. Juga dapur yang dekat dengan ruang tamu. Apa kurangnya? Bahkan ada gudang di lorong. Aku menyukainya. Apartemen ini masih kosong dan kurasa aku harus mendekorasinya.
            “Kurasa aku membutuhkan banyak uang untuk ini, dad,”
            “Yeah, kau benar. Kau bisa mengecat—“
            “Dad! Aku bukan ingin membeli apartemen ini,” ujarku melepaskan rangkulan dari ayahku dan berjalan menyusuri, lagi, apartemen ini. Sungguh, aku menyukainya. Mungkin aku dan Lucy bisa tinggal berdua di sini. Aku tidak ingin tinggal di asrama kampus karena ..well, aku tidak tahu juga. Hanya saja orang-orang kampus mengenalku sebagai Miss Whitmore, anak dosen. Dan tentunya mereka akan bertanya-tanya tentang mata pelajaran yang ayahku ajarkan pada mereka. Itu sungguh membuatku muak. Meski aku baru 3 bulan –karena libur musim panas—dan dua minggu sejak aku masuk ke kampus, tetap saja aku yakin mereka akan bertanya-tanya. Oh, aku tidak bisa membayangkan jika mereka menanyakan soal-soal tes yang akan diberikan oleh ayahku pada mereka.
            Mungkin Lucy bisa tinggal di sini. Dan tagihan apartemen ini tidak begitu mahal. Ayahku mampu membayarnya. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi aku memang kaya. Atau lebih tepatnya, ayahku yang sungguh kaya. Sebelum menjadi dosen, ayahku memiliki perkebunan anggur di Prancis. Tapi setelah ia berumur 40 tahun, ia ingin menghabiskan masa tuanya untuk memupukan ilmu pada orang-orang Amerika. Yeah, dia tidak ingin pensiun di kampus ini hingga dia benar-benar tidak bisa mengajar lagi.
            Mataku menatap langit-langit ruang tamu. Kita bisa membeli lampu yang cocok. Dan kurasa aku memang harus membersihkan apartemen ini secepat mungkin. Karena hari ini aku benar-benar akan pindah. Ibuku sudah membereskan barang-barangku tiga hari yang lalu untuk apartemenku yang baru. Dan ayahku juga sudah membeli perabotan yang kubutuhkan. Intinya, saat aku memulai kehidupanku selama 5 tahun di apartemen ini, aku harus mandiri dan mencari pekerjaan untuk tidak membebani orang tuaku.
            “Kau akan tinggal di sini dengan aman. Beritahu aku jika kau membutuhkan sesuatu, sayang. Aku selalu ada untukmu. Kau tahu itu,” ujar ayahku memelukku dan aku menyandarkan kepalaku pada dada ayahku. Hmm, meninggalkan orang tua rasanya berat sekali. Tapi inilah yang kuingin selama ini. Aku ingin hidup tanpa aturan orang tua lagi. Umurku telah menginjak 18 tahun dan aku tahu apa yang benar dan yang salah.
            Tinggal di apartemen baru. Kuharap ini adalah yang terbaik. Aku tersenyum kecil.

***

            “Butuh bantuan?” suara berat yang kukenal membuatku tersentak saat aku ingin mengangkat satu buah kardus lagi untuk dibawa ke dalam apartemenku. Saat aku membalikan tubuhku, aku menutup mataku selama beberapa detik dan membukanya. Kuharap ia tidak satu gedung denganku. Astaga, jika ia adalah tetanggaku, aku mungkin akan meleleh tiap hari.
            Justin dengan anting yang selalu ia pakai berdiri di bawahku –kami sedang berada di tangga—menjulurkan tangannya padaku sambil tersenyum. Sial! Tapi dengan cepat aku menggelengkan kepalaku. Di gedung ini terdapat 6 apartemen. Dan aku tidak tahu Justin berada di apartemen mana, tentu saja, bodohnya aku! Aku hampir melepaskan tanganku untuk menepuk keningku.
            Karena keheningan yang lama, Justin langsung mengambil kardus yang kupegang dan berjalan melewatiku untuk menaiki tangga.
            “Di mana apartemenmu?” tanya Justin terus berjalan.
            “Di nomor 5,” ujarku mengikutinya. Mencapai tangga terakhir, kami berhenti di depan pintu apartemenku dan Justin langsung membuka apartemenku yang tidak terkunci. Oh, sial! Dia terlihat begitu santai setelah apa yang terjadi tadi pagi. Ini benar-benar membuatku gugup.
            “Kau ingin aku taruh ini di mana?” tanya Justin masih memegang kardus berat yang ia bawa.
            “Taruh saja di dekat sofa,” ujarku sambil berjalan menuju dapur. Apartemenku akhirnya penuh. Setelah dari tadi siang aku dan ayahku membereskan perabotan di dalam apartemenku. Yeah, kau tahu, seperti tempat tidur –ayahku membelikan aku dua tempat tidur—sofa, peralatan mandiku dan tirai untuk di kamar mandi, meja makan, televisi, dan masih banyak sekali barang yang ia beli untukku –bahkan ia membelikan aku kulkas. Untuk mencukupi peralatanku. Jika seperti ini, aku tidak mandiri! Tapi aku tidak akan meminta uang sakuku.
            Justin dengan santainya terduduk di atas sofa dan mendesah dengan nyaman. Kepalanya mengadah ke atas dan ia tersenyum sambil memejamkan matanya. Terlihat sekali ia menganggap apartemenku adalah apartemennya.
            “Apartemenku bersebelahan dengan apartemenmu,” ujarnya menyambung pikiranku tentang apartemennya. Aku menganggukan kepalaku sambil mengisi air minum untuk Justin. Setelah terisi aku berjalan ke arahnya dan memberikannya padanya. Matanya terbuka.
            “Oh, terima kasih banyak,” ujarnya sambil meraih gelas yang kupegang lalu meneguknya. Aku berdiri, memperhatikannya. Dia begitu seksi dan membuatku ..oh Tuhan, ini adalah getaran yang sangat aneh. Melihat bibirnya mencium gelas itu, membuatku ingin mencium bibirnya. Ah, tidak mungkin! Aku menepis segala pikiranku yang negatif. Yeah, kau tahu. Seks? Tidak, terima kasih jika itu bukan dengan kekasihku.
            “Jadi, ada apa dengan Mr. Whitmore?” tanya Justin membungkukan tubuhnya dan matanya menatapku dari bawah sana. Aku mengangkat kedua bahuku dan meraih kardus yang tadi ia bawa lalu aku terduduk di atas karpet sambil membuka selotip yang menutup kardusku.
            “Yeah, kau tahu, seorang ayah yang ingin anaknya hidup mandiri,” ujarku sambil membuka kasar kardus lalu melihat begitu banyak buku yang berada di dalamnya. Buku pelajaranku dan tentunya novel-novel kuno yang kukoleksi.
            “Kau suka buku dan mengikat rambut eh?” tanya Justin merosot ke bawah dan duduk di depanku. Dibatasi oleh kardus, aku menatapnya dan mengangkat kedua bahuku kembali dengan acuh. Dan aku memang mengikat rambutku menjadi satu. Itu karena aku tahu aku akan berkeringat.
            “Yeah, aku perempuan,”
            “Tapi tidak semua perempuan menyukai buku sepertimu. Coba kau beritahu aku, apa kau suka mewarnai kuku-kukumu dengan merah?” tanya Justin yang membuatku menaikan salah satu alisku. Sebenarnya, apa yang ia bicarakan? Aku menggelengkan kepalaku dan menunduk untuk mengeluarkan buku-buku. Dan oh ya, baiknya ayahku telah memberikanku satu lemari buku yang ia taruh di dalam ruang tamu, dekat televisi. Aku jadi mudah untuk mengambilnya, dibanding di kamar.
            “Apa kau suka membeli barang-barang seperti tas? Sepatu?” tanya Justin lagi.
            “Tidak. Aku hanya suka membeli barang seperti itu juga dibutuhkan,” ujarku, yeah, aku tidak terlalu menyukai barang-barang semacam itu. Maksudku, satu sudah cukup. Atau paling banyak itu adalah tiga. Jadi tidak begitu banyak sepatu yang kubeli. Mungkin hanya tiga sepatu. Sepatu untuk pergi ke acara pesta, sepatu olah raga dan sepatu untuk pergi ke kampus.
            “Mengapa kau menolakku tadi pagi? Serius, kau wanita pertama yang menolakku,”
            “Oh?”
            “Yeah, kau cukup mengesalkan,” ujar Justin tampak acuh. Aku mendongak dan melihatnya yang telah bersandar pada sofa dan kedua tangannya berada di belakang kepalanya.
            “Hanya membalas dendam,”
            “Untuk?”
            “Baiklah, bukan untuk membalas dendam. Hanya saja aku jarang mendapatkan tawaran seperti itu,” ujarku dengan jujur, itu adalah kenyataan. Dan  yeah, aku tahu. Kehidupanku sangat menyedihkan dengan segala yang kumiliki, mungkin hanya satu yang kurang. Seorang lelaki atau pacar. Tidak pernah aku memiliki pacar sebelumnya.
            “Apa kau telah memiliki pacar? Karena aku tidak pernah melihatmu berjalan dengan lelaki,” saat itu berucap seperti itu, aku kesal padanya! Tidakkah dia sadar aku sedang memberinya kode untuk meminta maaf padaku karena kemarin malam? Aku tidak percaya dia tidak begitu peka. Bersabar, aku mencoba untuk menjawabnya.
            “Itu adalah masalahnya. Aku tidak berpengalaman dengan lelaki,”
            “Perawan?” tanyanya yang membuatku tersentak. Aku tidak menjawabnya, melainkan tanganku langsung meraih buku-buku yang telah kukeluarkan dan berjalan pada lemari buku yang belum terisi oleh buku. Aku menaruh buku yang kupegang dengan rapi.
            “Tidak perlu menjawab, aku telah mendapatkan jawabannya. Mau kubantu?” tanya Justin. Aku membalikan tubuhku dan mendecak pinggang padanya.
            “Sebenarnya kau siapa? Apa kau seorang pembantu di rumah seseorang?” tanyaku menggelengkan kepala lalu berjalan, mengambil buku-buku yang lain. Kemudian kembali berjalan pada lemari buku.
            “Aku hanya menawarkan bantuan. Jika kau tidak mau, ya sudah. Apa kau butuh bantuan?” tanya Justin yang membuatku bingung.
            “Kau tahu, kau masih perawan, mau kubantu untuk membuatmu tidak perawan lagi? Aku cukup hebat di ranjang,” ujar Justin yang membuatku kakiku melemas dan aku cukup marah dengan apa yang ia katakan. Apa-apaan yang ia katakan! Itu benar-benar membuatku tersinggung. Maksudku, itu membuatku merasa tidak laku. Seperti tidak ada lelaki saja yang menginginkan aku. Aku marah padanya.
            “Baiklah, aku minta maaf,” ujarnya saat aku mengambil kasar novel-novelku dan tidak menjawabnya, lagi. “Tapi aku serius,” lanjutnya. Sebenarnya, apa yang sedang ia bicarakan? Menghinaku? Aku tidak tahu. Dan mengapa ia terus berada di dalam apartemenku?
            “Bisakah kau pergi sekarang?” tanyaku membalikan tubuhku dan menautkan kedua  alisku padanya. Ia berdiri dari karpet dan meninggalkan gelasnya di sana.
            “Kau serius mengusirku?”
            “Menurutmu?”
            “Whoa, Kate. Aku tidak serius dengan perkataanku. Tapi melihat tubuhmu yang tercetak dengan indah dan wajahmu yang cantik membuatku ingin melakukan sesuatu di ranjang,” ujarnya dengan jujur. Bahkan sangat jujur. Aku ingin dan mau-mau saja berhubungan badan dengan lelaki. Tapi lelaki seperti Justin? Aku tidak tahu. Aku tidak ingin menjadi salah satu wanita murahan miliknya. Kurasa pipiku juga memerah karena ia bilang kalau aku itu cantik. Aku dipuji oleh seorang Justin Bieber. Tapi dengan siapa saja ia telah mengatakan itu? Aku tidak ingin mencari tahunya.
            “Aku ingin melakukan hubungan badan denganmu. Tapi tidak, kau bukan kekasihku. Dan kurasa kau sudah sering sekali berganti-ganti pasangan,”
            “Aku memakai kondom,”
            “Biar kau memakai kondom juga, aku tidak peduli. Masalahnya di sini adalah aku tidak ingin memberikan keperawananku kepada orang yang salah,” semburku tanpa berpikir panjang karena kurasa itu adalah kenyataannya. Ia mungkin tampan dan seksi. Tapi aku tidak ingin memberikannya pada orang yang salah sepertinya. Ia mengambil keperawananku dan pergi meninggalkanku begitu saja. Maksudku, yang benar saja! Itu sangat menyakitkan.
            “Whoa, Kate. Kau benar-benar ..aneh. Untuk yang pertama kalinya aku ditolak,”
            “Mungkin kau harus belajar bagaimana rasanya ditolak,”
            “Kau benar. Tapi apa kau yakin kau tidak ingin melakukan itu denganku? Oh, Tuhan,”        “Teruslah mengoceh Bieber. Aku hanya ingin kau keluar dari apartemenku,” ujarku dengan acuh dan merapikan buku-buku yang sudah tertata tapi belum rapi. Memunggunginya karena aku tidak ingin berdebat lagi dengannya.
            “Apa kau yakin, sayang?” tanya Justin yang tiba-tiba berada di belakangku dan melingkarkan tangannya di sekitar pinggangku. Membuatku benar-benar membeku dan otakku tak dapat berpikir. Kakiku bergetar dan melemas. Hembusan nafasnya yang berada di lehermu.
            “Lebih indah jika kau menggeraikan rambutmu sayang,” bisik Justin melepas ikatan rambutku. “Apa kau yakin tidak ingin bersenang-senang denganku, Kate?” tanyanya menekan namaku. Aku terkesiap dengan ucapannya. Haruskah?


1 komentar:

  1. wooaaaaa justin menggoda kate! jangan mau kateeee! nanti ujung2nya nangis dan sakit hati -_-
    Eat my shit, bro! ngakak pas baca ini. haha justin kocak xD

    BalasHapus