Aku menatap dengan
angkuh kepada semua lelaki yang berada di depanku. Mereka tampak begitu bergaya
dan membuatku ingin meninju wajah mereka satu per satu. Mereka bahkan baru
masuk ke dalam kampus ini. Mereka tidak tahu siapa aku. Yeah, memang semua
orang belum tahu siapa aku. Aku menatap motor mereka satu per satu. Tidak ada
yang mengesankan. Semuanya kalah telak dengan motor yang kupakai. Pemberian
dari kakekku memang hebat setelah aku mencoba untuk mendesain motor ini agar
lebih bagus. Gauman dari motor mereka memang besar, tapi lihat saja. Motor
siapa yang lebih cepat melesat nanti.
Mataku
kemudian terjatuh kepada seorang wanita seksi yang memakai pakaian putih sampai
atas pusarnya. Celana berwarna merah muda pendek sekali –bahkan terlihat
seperti celana dalam—itu menghampiriku dengan rambut ikal berwarna pirang yang
ia mainkan. Dadanya besar, membuatku menyukai tubuhnya. Ia sudah berada di
depanku dan memegang dada bidangku dengan lembut. Oh, astaga, gadis ini
sekarang adalah milikku, malam ini. Hanya malam ini. Aku tahu ia tak lebih dari
seorang pelacur tapi ia akan menjadi pelacurku untuk satu malam. Tak sabar
untuk mengikuti balap motor kali ini. Hadiahnya cukup besar. Well, aku juga
memang harus membayar, tapi bagiku, uang yang kukeluarkan tidak lebih banyak
dari apa yang akan kuterima nanti.
“Hey,
Bieber Biker,” godanya dengan suaranya yang seksi. Aku tak menyukainya, tapi
aku menyukai tubuhnya. Aku hanya terdiam dan menganggukan kepalaku.
“Bersamaku
malam ini?” tanyaku sambil merangkul bahunya dan mendekatkan hidungku dengan
hidungnya. Ia menganggukan kepalanya.
“Hey,
Bieber Biker! Sudah waktunya,” teriak Ferdinan, panitia dari lomba balap motor,
padaku. Aku melepaskan rangkulanku dari gadis ini dan menganggukan kepalaku
pada Ferdinan. Aku mulai menaiki motorku yang tadi kusandar lalu aku memakai
helm bergambar tengkorak milikku ke kepalaku. Flynn, Finn, dan Roger sudah siap
di garis strat. Aku membawa motorku dengan cepat ke sana dan memposisikan
motorku di tengah-tengah. Aku memalingkan kepalaku ke kiri dan melihat para
penonton yang bersorak-sorak. Seorang gadis berkulit hitam manis dengan
pakaiannya yang benar-benar seksi telah berdiri di depan kami. Di
tengah-tengah. Oh, dia benar-benar seksi.
“Oh,
God! Dia Bieber Biker!” teriak beberapa gadis di kedua belah sisi penonton. Aku
membuka kaca helmku dan melihat kepada salah satu gadis yang memiliki rambut
ikal panjang dan cokelat. Kemudian aku memainkan mataku padanya, ia langsung
berteriak kesenangan. Hell yeah, aku memang hebat dalam menggoda gadis-gadis
kampus. Kemudian aku menutup kembali kaca helmku dan memfokuskan mataku pada
jalur pembalap. Gadis yang masih berada di depanku terus berpose sambil
melepaskan bra warna merah mudanya dari dalam kaos putihnya. Sial!
“3…”
teriaknya sambil memainkan bra miliknya di langit-langit.
“2…”
teriaknya, kali ini sedikit mendesah. Kemudian bra itu ia jatuhkan. Tanpa
berpikir panjang, aku langsung menggas motorku hingga kecepatan 50mm/jam. Tak
berpikir, aku tahu aku telah meninggalkan para pecundang di belakang sana. Area
perlombaan balap motor kali ini lebih seru dan menegangkan. Aku sebenarnya
sudah mempelajari belokan-belokan yang akan kulewati. Aku dan Lyle sering
bermain di sini dan bodohnya Ferdinan malah memilih jalur di sini. Aku mulai
memasukan motorku ke dalam lorong. Untung memotong jalan. Aku mempercepat hingga 100!
Penuh
ketenangan, aku semakin mempercepat kecepatan motorku hingga 200! Aku tak
peduli jika speedometerku rusak hanya karena aku terlalu cepat menggas! Sial,
aku benar-benar menikmati lomba ini. Motorku meliuk-liuk dengan cepat saat aku
melewati lorong-lorong dengan cepat. Bahkan aku melewati ibu-ibu yang entah
sedang apa malam-malam seperti ini dengan roll di rambutnya. Ia berteriak
padaku. Seperti biasa, panggilan terkenalku setelah meniduri gadis-gadis kampus
: Berengsek, Sialan.
“Hey
Bieber Biker sialan!” teriak Flynn dari belakang. Aku membalikan kepalaku dan
mulai menaikan kaca helmku dan tertawa terbahak-bahak melihatnya. Kemudian
disusul kemunculan Roger dan Finn, juga para anak baru sialan itu.
“Eat
my shit, bro!” teriakku, kemudian aku menolehkan kepalaku lagi ke depan untuk
fokus ke jalur.
“Damn
you, Bieber!” teriak Finn dari belakang yang telah menyusul Flynn, kurasa.
Kemudian
aku sudah berada di jalan raya kembali. Ini hanya tinggal lurus-lurus dan
lurus. Tanpa pikir panjang, aku mulai mempercepat kembali kecepatan motorku
hingga 240! Motorku bahkan standing
selama beberapa detik dan lalu kembali jatuh ke jalanan dan berlari secepat
mungkin. Aku membungkukan tubuhku untuk melawan angin yang menerpa tubuhku. Aku
memang sudah memakai jaket kulit berwarna hitam dengan tulisan Bieber Biker di
belakangnya. Yeah, orang-orang sering memanggilku. Mataku sudah mulai melihat
orang-orang yang berteriak penuh kesenangan dan meneriak-teriakan namaku penuh
riang! Aku memang hebat. Lalu aku melesat, melewati garis finish dan
menghentikan motorku secara tiba-tiba. Motorku kembali standing ke depan, kali ini. Lalu aku berhenti di sisi jalanan.
“Hell
yeah, Bieber Biker. Aku rasa aku mulai bosan untuk mengikuti balap motor ini.
Untuk yang kesekian kalinya, 10,000 dollar, dude!” teriak Ferdinan
menghampiriku. Kemudian semua orang mengerubungiku. Flynn dan yang lainnya juga
telah sampai di garis finish dan menggumamkan kata-kata kotor. Bahkan salah
satu di antara mereka menendang motornya. Aku langsung merebut segepok uang
yang tebal itu dari tangan Ferdinan. Gadis-gadis mengerubungiku dan
meneriakiku. Namun gadis yang tadi kutemui menghampiriku lagi dan mulai
menjatuhkan tangannya pada bahuku, menatap kepada gadis-gadis lain bahwa aku
adalah miliknya. Hell no! Aku tidak mungkin ingin bersamanya. Mungkin, ya,
hanya satu malam saja.
“Naiklah,”
ujarku pada gadis ini. Kemudian ia menaiki motorku di belakang dan aku
mengantongi uang yang kudapat ke dalam kantong jaketku. Hmm, gadis pirang ini
pasti rasanya akan sangat lezat. Tunggu sayang, aku akan memberikanmu malam
yang tak akan terlupakan dalam hidupmu lalu kau akan memanggilku: Berengsek.
Tak masalah. Sudah terbiasa.
Aku
melesatkan motorku, membelah jalan raya menuju apartemenku.
***
“Kau
berengsek Justin!” teriaknya padaku sambil memakai kembali pakaian yang sudah
kulepaskan. Yeah, aku tahu ia akan memanggilku seperti itu. Tapi aku tak
peduli. Aku memakai boxerku kembali dan berjalan masuk ke dalam kamarku dan
membiarkannya memakai pakaiannya.Aku mengusirnya. Seperti gadis-gadis lain, ia
meminta nomor teleponku untuk melanjutkan hubungan kami. Oh, tentu saja aku
menolaknya. Mereka hanya memandangku sebagai Bieber Biker yang tampan. Aku
tahu. Tapi tidak, aku tidak ingin bersama dengan gadis murahan sepertinya. Aku
yakin, sudah banyak sekali barang lelaki yang masuk ke dalam tubuh wanita itu.
Setelah aku memakai kaos berwarna putih yang kuambil dari kasur, aku keluar
dari kamarku.
Melihat
gadis itu yang terduduk di atas sofa dan menangis di sana.
“Hey,
aku sudah bilang padamu untuk pergi dari apartemenku,”
“Aku
tidak mau!” sanggahnya, menolak perkataanku. Oh, mengapa ia membuat ini menjadi
lebih rumit?
“Hey,
aku hanya bilang ini untuk yang terakhir kalinya. Kau pulang atau aku akan
menendangmu dari sini agar cepat keluar dari apartemenku. Aku tak akan main-main,”
ujarku lebih tegas. Pasrah, ia mendesahkan pelan dan menghapus air matanya dan
berjalan ke arahku. Lalu tangannya yang kecil itu menampar wajahku dengan
kencang. Auch! Yeah, cukup menyakitkan.
“Kau
benar-benar berengsek!” teriaknya berjalan menuju pintu apartemenku dan
membanting pintu apartemenku. Aku hanya tertawa konyol melihat tingkah. Well,
aku tahu sebenarnya ini adalah salahku karena aku belum memberitahunya kalau
aku tidak menjalani hubungan lebih lanjut selain one-night-stand. Bersamaan saat aku ingin mengunci pintu
apartemenku, tiba-tiba saja terbuka dari luar.
“Sial,
Justin. Gadis itu benar-benar seksi. Ia menangis dan terus memaki-makimu di
depanku. Whoa, aku tidak akan membuangnya jika ia seseksi itu,” sembur Lyle
yang tiba-tiba saja masuk, bersama dengan Logan yang menyusul dari belakang.
Mereka berdua adalah sahabatku dan kami tinggal bersama-sama. Mereka tahu aku
akan melakuka ini setiap Jumat malam. Bukankah semua orang seperti itu juga
setiap Jumat malam? Aku menutup pintu dan menguncinya. Kemudian mataku terjatuh
pada jam dinding. Sudah jam 3 pagi.
Yeah, jam balap motor tadi ditunda hingga jam 12 malam. Biasanya jam 11 malam
kita sudah bermain.
“Yeah,
aku tahu. Tapi dia sudah tidak perawan,” ujarku asal dan berjalan melewati mereka
berdua yang sudah berada di atas sofa dan menyalakan televisi. Mereka membawa
beberapa makanan dari luar dan aku tidak ingin menyentuhnya. Aku sudah makan
gadis tadi, aku butuh tidur. Untunglah besok adalah hari Sabtu. Aku bisa pergi
ke tempat penari telanjang, yeah, Barney’s Bar. Biasa aku datang ke sana. Dan
aku terkenal di sana.
Yeah.
Terkenal sebagai seseorang.
Bieber
Biker.
***
Melewati
Sabtu dan Minggu seperti biasa, hari ini adalah hari Senin. Oh, permainan tadi
malam bersama Angela benar-benar penuh dengan gairah. Aku menyukai cara
bermainnya. Bahkan aku benar-benar lelah karenanya. Tapi aku tak peduli. Hari
ini aku harus bertemu dengan Mr. Whitmore untuk meminta nilaiku yang sebenarnya
di pelajarannya. Sial, padahal saat itu aku mengerjakan makalahku dan aku
mendapatkan nilai A+. Aku juga ingin lulus. Meski sebenarnya, tinggal dua tahun lagi. Aku peduli dengan nilai-nilaiku
di kampus, sekalipun aku pembalap motor.
Kakiku
menghantar tubuhku melewati lorong kampus. Aku ingin mengambil bukuku yang
berada di loker. Namun mataku berhenti kepada seroang gadis berambut cokelat
panjang yang masuk ke dalam kantor Mr. Whitmore. Sial. Dia cantik. Tak peduli,
aku mulai membuka lokerku dan mengambil makalahku untuk diperlihatkan pada
Mr.Pulmer.
*Kate William Whitmore POV*
Aku
melihat seorang lelaki berambut cokelat berjalan masuk ke dalam ruangan ayahku.
Aku tidak tahu siapa dia, tapi ia benar-benar tampan. Yang membuatnya tidak
tampan adalah ada tattoo di tangannya. Tatto-nya pun tidak begitu bagus,
menurutku. Karena aku memang tidak menyukai tattoo. Pendengaranku terganggu
saat dua orang gadis masuk ke dalam ruangan ayahku juga. Aku ke sini karena dia
adalah ayahku. Seperti yang tadi aku bilang. Aku baru pindah dari New York ke
Atlanta. Ayahku memutuskan agar aku pindah ke sini dengan ibuku karena ia bosan
pulang-pergi dari New York ke Atlanta satu minggu satu kali. Sehingga, di
sinilah aku. Kate William Whitmore, berdiri di kantor ayahku, dan merasa
terganggu dengan cekikian dua gadis yang menatap lelaki tampan di sebelahku.
“Ada
apa Mr. Bieber?” tanya ayahku menatap Justin di balik kacamatanya. Dengan tak
sopan, lelaki yang dipanggil Bieber oleh ayahku melempar buku miliknya ke atas
meja ayahku. Penuh kesabaran, ayahku membuka buku miliknya.
“Maksudmu?”
“Aku
telah melakukan apa yang kaubilang, Mr. Whitmore. Tapi saat kau menyebutkan
nilaiku adalah C- sedangkan dibuku itu tertulis A+ , aku tidak menerimanya,”
ujarnya yang membuatku muak. Tapi saat ia melirikku, aku mengurung niatku untuk
menegurnya. Tatapan matanya, sial! Ia benar-benar tampan.
“Ah,
ya. Maaf Mr.Bieber. Biar kuperbaiki,” ucap ayahku dan mengambil lembaran untuk
nilai mahasiswanya. Aku ikut masuk ke dalam kampus ini. Ini adalah tahun
pertamaku mengikutinya. Dan kurasa sangat menyenangkan. Apalagi, ayahku adalah
dosen di sini. Meski aku tidak mengambil mata kuliahnya. Setelah ayahku
memberikan nilai yang sebenarnya pada Bieber, ia mengambil kertas –makalah
kurasa—miliknya dan berjalan keluar. Aku menatapnya dan ia mengedipkan salah satu
matanya padaku. Saat itu juga, kakiku rasanya susah sekali untuk menahan
tubuhku.
“Mr.
Whitmore!” seru kedua gadis yang dari tadi cekikan itu. Kemudian aku
menjatuhkan bokongku ke atas kursi untuk menunggu mereka. Aku ingin berbicara
dengan ayahku tentang orang-orang di sini. Di kampus ini.
***
“Kate,”
panggil Lucy, teman baruku saat aku keluar dari ruang kelas. Aku telah selesai
mengikuti pelajaran pertamaku di sini. Dan Lucy, kenalanku tadi pagi
memanggilku. Ia langsung menoleh padaku dan ia juga telah keluar dari kelasnya.
Aku menghampirinya dengan gembira, namun kegembiraanku surut saat melihat
lelaki yang tadi kutemui di ruangan ayahku. Oh, astaga, dia benar-benar tampan.
Aku justru sekarang sangat senang. Sangat. Ia melewatiku dan aku menatapnya,
untuk yang kedua kalinya, ia mengedipkan salah satu matanya padaku lalu aku
meleleh. Mataku tak lepas darinya namun senyumku menghilang saat lelaki itu
merangkul seorang gadis berambut pirang yang ia lewati. Apa dia adalah pacar
lelaki itu? Kurasa.
Aku
membalikan kepalaku dan kembali menatap Lucy dengan lesu. Dan aku penasaran
dengan lelaki tadi. Siapa dia?
“Dia
Bieber Biker,” ujar Lucy, menjawab pertanyaanku yang tak terucap. Aku
memberikan Lucy tatapan ‘Hah?’. Ia menganggukan kepalanya.
“Well,
ia seorang pembalap motor. Ia selalu menang perlombaan selama 3 tahun ini.
Hebat bukan? Mungkin hanya beberapa kali ia tidak menang,” ujar Lucy
menjelaskan. Aku hanya menganggukan kepalaku namun mengharapkan berita yang
lebih banyak darinya.
“Dan
yah, dia dipanggil Bieber Biker karena kemenangannya itu. Tapi ia adalah
seorang berengsek. Kau lihat tadi? Gadis tadi adalah mangsanya untuk yang entah
yang ke berapa kalinya,” jelas Lucy lagi. Aku melotot padanya.
“Aku
serius. Dan ..yeah, kau ingin ikut Jumat malam nanti untuk menonton lomba balap
motor? Kau tahu, untuk melihatnya dan sedikit bersenang-senang,” ujar Lucy
mengajak. Oh, tentu saja! Aku penasaran sekali dengan itu. Yeah, aku ingin tahu
Bieber Biker. Ia sungguh berkarisma, mengingat senyumannya tadi. Kemudian aku
menganggukan kepalaku dan berkata: “Tentu saja!”
***
“Dad,”
aku memanggil ayahku saat aku masuk ke dalam ruang kerjanya. Aku berdiri di
ambang pintu dan melihat ayahku yang sedang melihat sebuah kertas di balik kaca
lensa yang ia pakai. Ia tidak mendongak, namun matanya melihat ke arahku. Aku
masuk ke dalam ruang kerjanya dan melihat-lihat pada lemari buku milik ayahku.
Aku ingin meminta izin padanyan untuk pergi ke tempat balap motor malam ini.
Ini adalah Jumat malam dan aku ingin melihat Bieber Biker yang akan tampil di
sana. Dan kurasa aku juga harus membawa uang yang banyak untuk membayar sang
pemenang.
“Ada
apa, sayang?” tanya ayahku melepaskan kacamatanya, meski mataku menatap
buku-buku tebal berwarna merah, hijau, kuning ini, mataku masih bisa melirik ke
arahnya.
“Aku
ingin pergi malam ini,” aku mendesah pelan, mencoba untuk menguatkan diri. Ini
yang kedua kalinya aku pergi keluar Jumat malam, itu pun yang pertama karena
prom night di sekolahku.
“Bersama
dengan siapa?” tanyaku. Sudah kuduga! Pasti ayahku akan bertanya dengan siapa.
Untung saja aku pergi bersama Lucy. Jika dengan lelaki, well, aku tidak tahu
apa reaksi ayahku karena aku tidak pernah membicarakan lelaki di depannya. Dan
sepertinya, ia biasa-biasa saja dengan teman-teman lelakiku semasa aku duduk di
bangku SMA.
“Lucy,
teman baruku. Lucy Archamn. Dia baik sekali, dad,” ujarku akhirnya menoleh
kepada ayahku dan memberikan wajah yang bersungut padanya. Di samping itu, aku
ingin pergi ke perlombaan itu karena aku ingin berkenalan dengan Justin.Dia
sudah berkali-kali memainkan matanya padaku! Apa dia seperti itu pada banyak
gadis? Kurasa begitu, setelah aku melihatnya menggandeng banyak gadis. Bahkan
kemarin aku satu kelas dengannya. Dan ia terlihat begitu mempesona.
“Kate,
kemarilah,” suruh ayahku yang sudah berdiri dan merentangkan tangannya untukku.
Aku berjalan ke arahnya dan memeluknya dengan erat. Oh, mengapa rasanya aku
tidak bisa menolak ayahku? Maksudku, jika ia melarangku, pasti aku akan
menurutinya. Aku tidak bisa membantahnya.
“Kau
sudah besar nak. Kau sudah 18 tahun. Kau tahu apa yang harus kaulakukan. Dad
tidak ingin menjadi pengekang dalam kehidupanmu, Kate. Hanya saja, kau harus
berhati-hati sayang. Kau mata biruku yang cantik dan aku tidak ingin ada
seseorang yang akan menyakitimu,” ujar ayahku mengelus rambut kepalaku dan aku
hanya menganggukan kepalaku dengan lemah. Oh, ini dia. Hanya ingin pergi keluar
Jumat malam ayahku seperti ini? Oh, kumohon ayah. Jangan buat aku terlihat
lemah dan menangis di hadapanmu sekarang. Aku bukan anak kecil lagi. Aku
melepaskan pelukan ayahku dan menganggukan kepala.
“Apa
mom sudah memberikanmu uang untuk pergi malam ini?” tanya ayahku. Aku tertawa
pelan dan menggelengkan kepalaku. Well, sebenarnya, uangku banyak sekali di bank.
Hanya saja aku belum mengambilnya. Ayahku sering memberikanku uang saku di bank
untuk satu bulan. Dan well, entah sudah beberapa tahun terakhir ini, aku tidak
begitu membutuhkannya. Kecuali saat aku sibuk sekali untuk mencari gaun saat
prom night.
“Ya
sudah. Jaga dirimu baik-baik. Kalau kau tidak pulang malam ini, kirim aku pesan
singkat,” ucap ayahku. Aku hanya menganggukan kepalaku dan melangkah keluar
dari ruang kerjanya! Hell yeah! Akhirnya aku bisa keluar malam ini. Setelah
bertahun-tahun aku dikekang di rumah oleh ibuku yang overprotectif karena tidak
ayah, akhirnya aku bisa keluar dari rumah dan menikmati masa mudaku! Kupikir
aku tidak akan pernah bersenang-senang, tapi ini sudah menjadi kenyataan! Aku
berteriak dalam hati dan naik melalui tangga untuk mengganti pakaianku.
***
Telingaku
hampir lepas saat aku mendengar teriakan-teriakan orang-orang saat motor para
pembalap mulai berada di posisi mereka. Aku tidak melihat Bieber Biker. Tangan
Lucy terus memegang tanganku. Ia takut kehilanganku. Bagaimana pun juga, aku
adalah tanggungjawabnya karena ia yang telah mengajakku, apalagi aku adalah
anak dari dosen, katanya. Aku hanya menganggukan kepalaku dan terus berjalan ke
sisi jalanan untuk melihat lebih jelas, siapa saja yang membalap malam ini.
Well, penonton di sini cukup banyak. Dan kebanyakan gadis-gadis di sini memakai
pakaian yang sungguh seksi. Mungkin hanya aku yang memakai pakaian tertutup.
Aku memakai baju lengan panjang berwarna ungu dan celana jins hitam panjang
bersama dengan sepatu converse berwarna putih. Lucy juga memakai baju seksi,
sebenarnya, tapi ia menutupinya dengan jaket yang ia pakai.
Orang-orang
di sini terus berseru nama Bieber Biker. Namun aku tidak dapat menemukan di
mana ia berada. Mungkin di tengah-tengah atau di ujung seberang jalanku. Aku
tidak begitu pendek atau begitu tinggi, tapi di sini banyak sekali orang tinggi
yang membuatku kesusahan.
Seorang
wanita berambut ikal cokelat berdiri di tengah-tengah jalan, beberapa meter di
depan garis start. Wanita itu kemudian melepas bra yang ia pakai dari dalam
bajunya dan aku menganga. Astaga, apa dia serius baru saja melakukan itu?
Karena itu sungguh keren. Aku tersenyum melihat keliaran di sini! Aku tidak
pernah merasa begitu bebas! Ia menghitung.
Sedetik
kemudian wanita itu menjatuhkan bra miliknya. Tiba-tiba salah satu motor yang
kuyakini ialah Bieber Biker melesat secepat mungkin. Gila! Apa yang sedang ia
lakukan? Aku menganga dan tidak percaya. Semua orang langsung menyalakan ponsel
mereka. Ternyata mereka dapat melihat perlombaan ini dengan hanya sebuah ponsel
karena banyak kamera yang mereka pasang di sepanjang jalur perlombaan. Kurasa
begitu, itu kata Lucy kemarin. Lucy juga mengeluarkan ponselnya, aku melihat
Bieber Biker yang membawa motornya begitu cepat. Apa dia gila? Aku tidak tahu
bagaimana rasanya jika ia kecelakaan.
Kami
menunggu sambil sibuk dengan ponsel kami masing-masing. Ada dua motor. Dua
motor yang sejajar dan aku melihat Bieber Biker di sana. Karena aku bisa
melihat tulisan di belakang jaketnya. Motor yang berada di sana mencoba untuk
menendang motor Bieber, tapi langsung saja Bieber menjauh dan ia memberikan
jari tengahnya pada motor itu. Aku tertawa pelan.
“Sial!”
“Apa-apaan!”
“Berengsek!”
Aku
selalu mendengar gumaman orang-orang di sini yang berseru jika salah satu motor
tiba-tiba saja jatuh. Karena banyak sekali pembalap motor yang ikut. Aku tidak
tahu ada berapa banyak, tapi sungguh banyak sekali. Tapi mataku hanya terjatuh
kepada Bieber Biker. Senyumannya padaku saat aku melihatnya keluar dari
kelasnya bersama dengan Lucy yang berjalan di belakangnya. Mereka selalu saja
sekelas dan Lucy sangat beruntung. Anting yang ia pakai tidak cocok untuknya,
tapi aku pernah mendengar suaranya dari jarak jauh saat ia bertemu dengan
temannya. Suarnya benar-benar indah. Bahunya begitu tegap saat ia berjalan.
Tapi satu yang baru kusadari, ia tidak pernah memakai jaket itu di dalam
kampus. Kurasa. Karena aku baru saja melihat jaket yang malam ini ia pakai. Dan
Lucy juga bilang begitu. Katanya, ia tidak ingin banyak dosen yang
mengetahuinya kalau ia adalah Bieber Biker. Orang tua Bieber adalah pemberi
sumbangan terbanyak ke kampus ini. Dan Bieber tidak ingin mempermalukan orang
tuanya karena tingkahnya di malam hari. Itu rumornya.
“BIEBER
BIKER!” kemudian orang-orang berteriak. Aku baru sadar kalau Bieber telah
memenangkannya. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku.
“Oh,
Justin. Sungguh, aku sudah bosan mengikutsertakan kau ke perlombaan ini.
Selamat untuk yang kesekian kalinya, bro!” tepuk sang panitia memberikan uang
kepada Justin. Setelah itu banyak sekali gadis-gadis yang mengerubunginya.
Oh,
ternyata namanya adalah Justin Bieber. Aku baru tahu. Sedetik kemudian,
motor-motor lain sudah melesat dan berhenti ke sisi jalanan. Banyak sekali di
antara mereka yang menggumamkan kata kotor dan marah sekali. Hei, ini adalah
perlombaan dan pasti dan tentu akan ada yang menang atau kalah. Mereka
seharusnya lebih bijak lagi untuk menerima kekalahan!
Lucy
menarik tanganku untuk berjalan menuju Justin. Aku juga ingin berkenalan dengan
Justin. Saat kami sudah sampai di tempat Justin, mataku bertemu dengan matanya.
Oh, sial! Itu begitu indah. Tapi kali ini ia terlihat berbeda. Ia tidak
memainkan matanya padaku dan aku cukup bersyukur. Karena jika ia melakukannya,
aku mungkin akan meleleh di tempat. Aku melepaskan tangan Lucy dan menerobos
gadis-gadis yang mengurubunginya hanya untuk melihatnya. Hei, lebih seru jika
kita berbicara pada orangnya. Aku yakin pasti ia tidak sombong. Ia pasti
merespon dengan apa yang kita ucapkan. Meski penampilannya tidak begitu baik,
pasti ia adalah orang baik, sebenarnya. Aku yakin.
“Hei,
aku Kate,” saat itulah aku menyatakan diriku adalah orang teridiot di dunia.
Apa yang baru saja kulakukan? Aku menyapanya dengan menyebutkan namaku? Kemudian
Justin melihatku dari bawah hingga atas dan ia tertawa pelan.
“Yeah,
kau Kate. Angela, bisakah kau naik ke atas motorku sekarang?” Justin
mengacuhkanku dan senyumanku langsung surut. Itu benar-benar sakit. Kemudian,
muncullah seorang wanita seksi yang memakai sepatu boots berwarna putih yang
tinggi dan pakaiannya ..ya Tuhan, berbeda drastic dengan pakaian yang kupakai.
Pantas saja Justin menolakku.
“Hei,
Chieke. Jauhi Justin atau kau yang akan kusingkirkan,” ujar Angela, wanita yang
dipanggil Justin itu, kepadaku. Aku hanya menganggukan kepalaku dan memundurkan
langkahku agar Justin bisa pergi dengan cepat. Oh, astaga. Aku tidak tahu
mengapa aku merasa sakit hati. Tapi saat Justin mengabaikanku, rasanya begitu
sakit. Itu sungguh berbeda dengan apa yang kuharapkan. Kupikir ia memang ramah.
Tapi ternyata tidak.
“Kate,
jauhi tempat ini nak jika kau masih ingin hidup dengan duniamu,” ujar Justin
memakai helmnya. Aku tersinggung. Apa yang ia bicarakan?
“Yeah,
benar! Jauhi tempat ini sayang,” peluk Angela di sekitar pinggang Justin dan
memberikanku senyum kemenangannya. Ish! Kemudian motor Justin menjauh dari
tempat kami berdiri. Begitu juga dengan gadis-gadis yang mengerubungi Justin.
Aku menundukan kepalaku dengan lesu. Aku tak percaya Justin baru saja mengusirku
dari tempat ini. Ini adalah tempat yang menyenangkan, menurutku. Meski aku
belum menikmati perlombaannya.
Aku
mendongak saat kaki Lucy terlihat oleh penglihatanku, kemudian aku mendongak.
Ia memberikanku wajah, Apa-apaan tadi? Apa kau gila? Yeah, aku gila. Aku
berujar pada diriku sendiri.
“Apa
yang kaulakukan? Untung saja Justin menolak! Gila. Kate, jangan pernah lakukan
itu. Dia adalah bajingan!” seru Lucy memarahiku. Aku menganggukan kepalaku,
tapi dalam hati aku menggeleng. Aku tidak ingin semudah itu menjauh dari
Justin. Dia lelaki yang manis, menurutku. Tapi entah apa yang terjadi dengannya
malam ini. Intinya, hatiku hancur.
“Apa
kau lapar? McDonald buka 24 jam,” ujar Lucy menarik tanganku. Aku menganggukan
kepalaku dengan lesu. Mungkin makanan dapat membuat hatiku lebih baik.
***
Aku
berlari dengan santai, mengelilingi taman di Atlanta. Well, taman kota di
Atlanta tak kalah kerennya dengan New York. Hanya saja di Atlanta lebih kecil
ukurannya. Seperti taman kota biasa, ada danau di tengah-tengahnya dengan
angsa-angsa yang berenang di atasnya. Sungguh indah. Aku sedang mendengarkan
lagu rapp untuk mendukung lari pagiku. Sabtu pagi ini udaranya begitu segar dan
sejuk. Aku menyukainya. Tapi kelelahan. Mungkin sudah beberapa putaran aku
mengelilingi taman ini.
Mencoba
untuk mencari tempat yang nyaman, aku mendapatkan sebuah pohon yang tidak
disandari oleh siapa pun. Aku berlari kecil ke arah pohon itu dan duduk di
bawahnya. Mengambil air minumku yang kubawa lari dari tadi. Kemudian aku
meneguknya. Memejamkan mata untuk menenangkan diri. Keringatku sudah
bercucuran. Biasanya ayah berada di sampingku untuk memberikan sapu tangannya
untukku atau handuknya. Ia tidak suka memakai handuknya. Entah mengapa, ia
tidak pernah memberi tahunya padaku.
Mengingat
kejadian tadi malam benar-benar memuakan. Suara Angela yang dibuat-buat
mendesah itu membuatku ingin muntah di depannya. Rasanya ia mencari muka pada
Justin.
“Butuh
teman?” suara berat terdenga di telingaku. Membuka mataku, tiba-tiba aku
membeku. Justin Bieber berada di depanku dengan kaos putih yang basah melekat
di tubuhnya? Holy shit! Ini terlalu berlebihan. Aku meleleh dan aku tidak
mendapatkan suaraku. Rasanya begitu .. astaga, aku tidak tahu kalau ia akan
seseksi ini. Aku menelan ludahku dengan susah payah. Ia terduduk di sebelahku.
Oh, Tuhan! Ini benar-benar memalukan. Aku hanya memakai tank-top berwarna merah
muda dengan handuk yang melingkar di sekitar leherku dan celana ketat selutut
berwarna hitam! Ini sungguh memperlihatkan lekuk tubuhku pada Justin dan ini
sungguh memalukan.
“Kau
seksi,” puji Justin duduk di sebelahku. Lengannya yang berkeringat, bersentuhan
dengan lenganku. Tubuhku bergetar. Astaga, apa yang sebenarnya ia lakukan?
“Mengapa
kau tampaknya pendiam pagi ini, Kate?” tanya Justin, menekan namaku. Namaku
dibelai oleh lidahnya.
“Ak-aku
tidak tahu,” akhirnya aku menemukan suaraku, meski aku gugup.
“Apa
yang kaulakukan tadi malam di arena perlombaan?” tanya Justin.
“Aku
hanya penasaran,” jawabku dengan suara yang lebih baik, namun aku masih tegang.
“Anak
baru,” gumamnya, kemudian ia tertawa. Astaga, suara tawaannya yang pertama
kudengar. Itu adalah suara terindah yang pernah kudengar setelah tawa dari
ayahku. Kutelan ludahku dengan susah, berusaha untuk tidak menatapnya.
“Kau
seharusnya meninggalkan tempat itu cepat-cepat, Miss Whitmore,” ujarnya yang
membuatku tersentak. Bagaimana ia tahu kalau aku adalah anak dari Whitmore sang
dosen? Ini benar-benar memalukan. Kurasa pipiku memerah.
“Kau
tahu namaku dari mana?” tanyaku, hati-hati.
“Di
absen. Yeah, kau duduk di depan dan aku di belakang. Saat aku ingin menanda
tangani kehadiranku, aku melihat namamu paling atas. Kate Whitmore, tenyata
anak dosen,” ujar mengelap keringatnya dengan handuk dan ia langsung merebut
botol air minum yang kupegang dan ia langsung meminumnya tanpa ragu.
Mata
melebar, menatapnya, tentu saja aku terkejut! Ia meminum air minumku, otomatis
aku berciuman secara tidak langsung dengannya. Dan lalu ia mendesah pelan
setelah ia selesai minum.
“Aaah, lezat sekali,” gumamnya mendongakan
kepalanya dan mengambil nafas dalam-dalam.
“Aku
tidak percaya,” gumamku.
“Apa?
Aku meminum air minummu? Well, ini juga yang pertama kalinya. Kate, kau ingin
pergi sarapan bersamaku? Jika kau mau.” ujar Justin mengajakku. Aku benar-benar
ingin mati!
***
Tanganku
menutup pintu kamar yang terukir dengan indah. Punggungku mencium belakang
pintu dan mataku tertutup. Berpikir apakah tindakan tadi adalah tindakan yang
tepat? Bisa kupastikan itu adalah bukan tindakan yang tepat. Aku telah menolak
Justin dan ia tidak mengatakan apa-apa setelah aku menolaknya. Melangkah pergi
meninggalkannya dan kepalaku kembali menoleh untuk melihatnya, ia ternyata
memperhatikanku namun dengan senyuman miring. Entah apa itu adalah senyuman
miring licik atau lucu atau ..aku tidak tahu.
Dan
sekarang aku ada di sini. Menyesali segalanya. Seharusnya aku menerima
ajakannya. Hei, wanita-wanita murahan di sana aku cemburu melihatku sarapan
bersama dengan Justin seorang pembalap motor yang kalah hanya kurang dari 50
kali. Namun aku berpikir kembali. Aku tidak ingin menjadi gadis yang sama saat
bersamanya. Meski aku tahu aku telah menolak kesempatan emas itu. Dan aku yakin
aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi. Tapi tidak apa-apa. Justin bukanlah
satu-satunya lelaki yang tampan di planet ini bukan?
Mendesah
pelan aku berjalan meninggalkan pintu untuk mandi pagi. Setelah keringat yang
melengket di tubuhku, aku butuh kesegaran yang maksimal. Hari ini aku harus
pergi keluar bersama ayahku untuk mencari apartemen untukku.
Aku
mengambil handuk. Yeah, kata ayahku aku harus hidup mandiri. Dan ayahku belajar
untuk melepaskanku darinya. Ayahku adalah orang bijak yang selalu berhasil
membuatku menangis. Rasanya tak tega untuk melepaskannya. Untuk
meninggalkannya. Setelah apa yang ia lakukan sepanjang hidupku. Kukunci pintu
kamar mandiku dan mengaitkan handukku pada gantungan handuk.
Mungkin
memang benar. Aku harus hidup mandiri.
***
“Apa
kau yakin ini apartemen yang kauinginkan, Kate?” tanya ayahku tidak yakin saat
aku melihat sebuah apartemen yang benar-benar mengagumkan, untukku. Karena
..kau tahulah. Ini tidak begitu besar atau kecil. Ini cocokku. Aku bisa memasak
di sini. Ada dua kamar dan satu kamar mandi. Juga dapur yang dekat dengan ruang
tamu. Apa kurangnya? Bahkan ada gudang di lorong. Aku menyukainya. Apartemen
ini masih kosong dan kurasa aku harus mendekorasinya.
“Kurasa
aku membutuhkan banyak uang untuk ini, dad,”
“Yeah,
kau benar. Kau bisa mengecat—“
“Dad!
Aku bukan ingin membeli apartemen ini,” ujarku melepaskan rangkulan dari ayahku
dan berjalan menyusuri, lagi, apartemen ini. Sungguh, aku menyukainya. Mungkin
aku dan Lucy bisa tinggal berdua di sini. Aku tidak ingin tinggal di asrama
kampus karena ..well, aku tidak tahu juga. Hanya saja orang-orang kampus
mengenalku sebagai Miss Whitmore, anak dosen. Dan tentunya mereka akan
bertanya-tanya tentang mata pelajaran yang ayahku ajarkan pada mereka. Itu
sungguh membuatku muak. Meski aku baru 3 bulan –karena libur musim panas—dan
dua minggu sejak aku masuk ke kampus, tetap saja aku yakin mereka akan
bertanya-tanya. Oh, aku tidak bisa membayangkan jika mereka menanyakan
soal-soal tes yang akan diberikan oleh ayahku pada mereka.
Mungkin
Lucy bisa tinggal di sini. Dan tagihan apartemen ini tidak begitu mahal. Ayahku
mampu membayarnya. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi aku memang kaya. Atau
lebih tepatnya, ayahku yang sungguh kaya. Sebelum menjadi dosen, ayahku
memiliki perkebunan anggur di Prancis. Tapi setelah ia berumur 40 tahun, ia
ingin menghabiskan masa tuanya untuk memupukan ilmu pada orang-orang Amerika.
Yeah, dia tidak ingin pensiun di kampus ini hingga dia benar-benar tidak bisa
mengajar lagi.
Mataku
menatap langit-langit ruang tamu. Kita bisa membeli lampu yang cocok. Dan
kurasa aku memang harus membersihkan apartemen ini secepat mungkin. Karena hari
ini aku benar-benar akan pindah. Ibuku sudah membereskan barang-barangku tiga
hari yang lalu untuk apartemenku yang baru. Dan ayahku juga sudah membeli perabotan
yang kubutuhkan. Intinya, saat aku memulai kehidupanku selama 5 tahun di
apartemen ini, aku harus mandiri dan mencari pekerjaan untuk tidak membebani
orang tuaku.
“Kau
akan tinggal di sini dengan aman. Beritahu aku jika kau membutuhkan sesuatu,
sayang. Aku selalu ada untukmu. Kau tahu itu,” ujar ayahku memelukku dan aku
menyandarkan kepalaku pada dada ayahku. Hmm, meninggalkan orang tua rasanya
berat sekali. Tapi inilah yang kuingin selama ini. Aku ingin hidup tanpa aturan
orang tua lagi. Umurku telah menginjak 18 tahun dan aku tahu apa yang benar dan
yang salah.
Tinggal
di apartemen baru. Kuharap ini adalah yang terbaik. Aku tersenyum kecil.
***
“Butuh
bantuan?” suara berat yang kukenal membuatku tersentak saat aku ingin
mengangkat satu buah kardus lagi untuk dibawa ke dalam apartemenku. Saat aku
membalikan tubuhku, aku menutup mataku selama beberapa detik dan membukanya.
Kuharap ia tidak satu gedung denganku. Astaga, jika ia adalah tetanggaku, aku
mungkin akan meleleh tiap hari.
Justin
dengan anting yang selalu ia pakai berdiri di bawahku –kami sedang berada di
tangga—menjulurkan tangannya padaku sambil tersenyum. Sial! Tapi dengan cepat
aku menggelengkan kepalaku. Di gedung ini terdapat 6 apartemen. Dan aku tidak
tahu Justin berada di apartemen mana, tentu saja, bodohnya aku! Aku hampir
melepaskan tanganku untuk menepuk keningku.
Karena
keheningan yang lama, Justin langsung mengambil kardus yang kupegang dan
berjalan melewatiku untuk menaiki tangga.
“Di
mana apartemenmu?” tanya Justin terus berjalan.
“Di
nomor 5,” ujarku mengikutinya. Mencapai tangga terakhir, kami berhenti di depan
pintu apartemenku dan Justin langsung membuka apartemenku yang tidak terkunci.
Oh, sial! Dia terlihat begitu santai setelah apa yang terjadi tadi pagi. Ini
benar-benar membuatku gugup.
“Kau
ingin aku taruh ini di mana?” tanya Justin masih memegang kardus berat yang ia
bawa.
“Taruh
saja di dekat sofa,” ujarku sambil berjalan menuju dapur. Apartemenku akhirnya
penuh. Setelah dari tadi siang aku dan ayahku membereskan perabotan di dalam
apartemenku. Yeah, kau tahu, seperti tempat tidur –ayahku membelikan aku dua
tempat tidur—sofa, peralatan mandiku dan tirai untuk di kamar mandi, meja
makan, televisi, dan masih banyak sekali barang yang ia beli untukku –bahkan ia
membelikan aku kulkas. Untuk mencukupi peralatanku. Jika seperti ini, aku tidak
mandiri! Tapi aku tidak akan meminta uang sakuku.
Justin
dengan santainya terduduk di atas sofa dan mendesah dengan nyaman. Kepalanya
mengadah ke atas dan ia tersenyum sambil memejamkan matanya. Terlihat sekali ia
menganggap apartemenku adalah apartemennya.
“Apartemenku
bersebelahan dengan apartemenmu,” ujarnya menyambung pikiranku tentang
apartemennya. Aku menganggukan kepalaku sambil mengisi air minum untuk Justin.
Setelah terisi aku berjalan ke arahnya dan memberikannya padanya. Matanya
terbuka.
“Oh,
terima kasih banyak,” ujarnya sambil meraih gelas yang kupegang lalu
meneguknya. Aku berdiri, memperhatikannya. Dia begitu seksi dan membuatku ..oh
Tuhan, ini adalah getaran yang sangat aneh. Melihat bibirnya mencium gelas itu,
membuatku ingin mencium bibirnya. Ah, tidak mungkin! Aku menepis segala
pikiranku yang negatif. Yeah, kau tahu. Seks? Tidak, terima kasih jika itu
bukan dengan kekasihku.
“Jadi,
ada apa dengan Mr. Whitmore?” tanya Justin membungkukan tubuhnya dan matanya
menatapku dari bawah sana. Aku mengangkat kedua bahuku dan meraih kardus yang
tadi ia bawa lalu aku terduduk di atas karpet sambil membuka selotip yang
menutup kardusku.
“Yeah,
kau tahu, seorang ayah yang ingin anaknya hidup mandiri,” ujarku sambil membuka
kasar kardus lalu melihat begitu banyak buku yang berada di dalamnya. Buku
pelajaranku dan tentunya novel-novel kuno yang kukoleksi.
“Kau
suka buku dan mengikat rambut eh?” tanya Justin merosot ke bawah dan duduk di
depanku. Dibatasi oleh kardus, aku menatapnya dan mengangkat kedua bahuku
kembali dengan acuh. Dan aku memang mengikat rambutku menjadi satu. Itu karena
aku tahu aku akan berkeringat.
“Yeah,
aku perempuan,”
“Tapi
tidak semua perempuan menyukai buku sepertimu. Coba kau beritahu aku, apa kau
suka mewarnai kuku-kukumu dengan merah?” tanya Justin yang membuatku menaikan
salah satu alisku. Sebenarnya, apa yang ia bicarakan? Aku menggelengkan
kepalaku dan menunduk untuk mengeluarkan buku-buku. Dan oh ya, baiknya ayahku
telah memberikanku satu lemari buku yang ia taruh di dalam ruang tamu, dekat
televisi. Aku jadi mudah untuk mengambilnya, dibanding di kamar.
“Apa
kau suka membeli barang-barang seperti tas? Sepatu?” tanya Justin lagi.
“Tidak.
Aku hanya suka membeli barang seperti itu juga dibutuhkan,” ujarku, yeah, aku
tidak terlalu menyukai barang-barang semacam itu. Maksudku, satu sudah cukup.
Atau paling banyak itu adalah tiga. Jadi tidak begitu banyak sepatu yang
kubeli. Mungkin hanya tiga sepatu. Sepatu untuk pergi ke acara pesta, sepatu
olah raga dan sepatu untuk pergi ke kampus.
“Mengapa
kau menolakku tadi pagi? Serius, kau wanita pertama yang menolakku,”
“Oh?”
“Yeah,
kau cukup mengesalkan,” ujar Justin tampak acuh. Aku mendongak dan melihatnya
yang telah bersandar pada sofa dan kedua tangannya berada di belakang kepalanya.
“Hanya
membalas dendam,”
“Untuk?”
“Baiklah,
bukan untuk membalas dendam. Hanya saja aku jarang mendapatkan tawaran seperti
itu,” ujarku dengan jujur, itu adalah kenyataan. Dan yeah, aku tahu. Kehidupanku sangat
menyedihkan dengan segala yang kumiliki, mungkin hanya satu yang kurang.
Seorang lelaki atau pacar. Tidak pernah aku memiliki pacar sebelumnya.
“Apa
kau telah memiliki pacar? Karena aku tidak pernah melihatmu berjalan dengan
lelaki,” saat itu berucap seperti itu, aku kesal padanya! Tidakkah dia sadar
aku sedang memberinya kode untuk meminta maaf padaku karena kemarin malam? Aku
tidak percaya dia tidak begitu peka. Bersabar, aku mencoba untuk menjawabnya.
“Itu
adalah masalahnya. Aku tidak berpengalaman dengan lelaki,”
“Perawan?”
tanyanya yang membuatku tersentak. Aku tidak menjawabnya, melainkan tanganku
langsung meraih buku-buku yang telah kukeluarkan dan berjalan pada lemari buku
yang belum terisi oleh buku. Aku menaruh buku yang kupegang dengan rapi.
“Tidak
perlu menjawab, aku telah mendapatkan jawabannya. Mau kubantu?” tanya Justin.
Aku membalikan tubuhku dan mendecak pinggang padanya.
“Sebenarnya
kau siapa? Apa kau seorang pembantu di rumah seseorang?” tanyaku menggelengkan
kepala lalu berjalan, mengambil buku-buku yang lain. Kemudian kembali berjalan
pada lemari buku.
“Aku
hanya menawarkan bantuan. Jika kau tidak mau, ya sudah. Apa kau butuh bantuan?”
tanya Justin yang membuatku bingung.
“Kau
tahu, kau masih perawan, mau kubantu untuk membuatmu tidak perawan lagi? Aku
cukup hebat di ranjang,” ujar Justin yang membuatku kakiku melemas dan aku
cukup marah dengan apa yang ia katakan. Apa-apaan yang ia katakan! Itu
benar-benar membuatku tersinggung. Maksudku, itu membuatku merasa tidak laku.
Seperti tidak ada lelaki saja yang menginginkan aku. Aku marah padanya.
“Baiklah,
aku minta maaf,” ujarnya saat aku mengambil kasar novel-novelku dan tidak
menjawabnya, lagi. “Tapi aku serius,” lanjutnya. Sebenarnya, apa yang sedang ia
bicarakan? Menghinaku? Aku tidak tahu. Dan mengapa ia terus berada di dalam
apartemenku?
“Bisakah
kau pergi sekarang?” tanyaku membalikan tubuhku dan menautkan kedua alisku padanya. Ia berdiri dari karpet dan
meninggalkan gelasnya di sana.
“Kau
serius mengusirku?”
“Menurutmu?”
“Whoa,
Kate. Aku tidak serius dengan perkataanku. Tapi melihat tubuhmu yang tercetak
dengan indah dan wajahmu yang cantik membuatku ingin melakukan sesuatu di
ranjang,” ujarnya dengan jujur. Bahkan sangat jujur. Aku ingin dan mau-mau saja
berhubungan badan dengan lelaki. Tapi lelaki seperti Justin? Aku tidak tahu.
Aku tidak ingin menjadi salah satu wanita murahan miliknya. Kurasa pipiku juga
memerah karena ia bilang kalau aku itu cantik. Aku dipuji oleh seorang Justin
Bieber. Tapi dengan siapa saja ia telah mengatakan itu? Aku tidak ingin mencari
tahunya.
“Aku
ingin melakukan hubungan badan denganmu. Tapi tidak, kau bukan kekasihku. Dan
kurasa kau sudah sering sekali berganti-ganti pasangan,”
“Aku
memakai kondom,”
“Biar
kau memakai kondom juga, aku tidak peduli. Masalahnya di sini adalah aku tidak
ingin memberikan keperawananku kepada orang yang salah,” semburku tanpa
berpikir panjang karena kurasa itu adalah kenyataannya. Ia mungkin tampan dan
seksi. Tapi aku tidak ingin memberikannya pada orang yang salah sepertinya. Ia
mengambil keperawananku dan pergi meninggalkanku begitu saja. Maksudku, yang
benar saja! Itu sangat menyakitkan.
“Whoa,
Kate. Kau benar-benar ..aneh. Untuk yang pertama kalinya aku ditolak,”
“Mungkin
kau harus belajar bagaimana rasanya ditolak,”
“Kau
benar. Tapi apa kau yakin kau tidak ingin melakukan itu denganku? Oh, Tuhan,” “Teruslah mengoceh Bieber. Aku hanya
ingin kau keluar dari apartemenku,” ujarku dengan acuh dan merapikan buku-buku
yang sudah tertata tapi belum rapi. Memunggunginya karena aku tidak ingin
berdebat lagi dengannya.
“Apa
kau yakin, sayang?” tanya Justin yang tiba-tiba berada di belakangku dan
melingkarkan tangannya di sekitar pinggangku. Membuatku benar-benar membeku dan
otakku tak dapat berpikir. Kakiku bergetar dan melemas. Hembusan nafasnya yang
berada di lehermu.
“Lebih
indah jika kau menggeraikan rambutmu sayang,” bisik Justin melepas ikatan
rambutku. “Apa kau yakin tidak ingin bersenang-senang denganku, Kate?” tanyanya
menekan namaku. Aku terkesiap dengan ucapannya. Haruskah?
wooaaaaa justin menggoda kate! jangan mau kateeee! nanti ujung2nya nangis dan sakit hati -_-
BalasHapusEat my shit, bro! ngakak pas baca ini. haha justin kocak xD