Jumat, 02 Agustus 2013

Bieber Biker Bab 2


****

            “Kate?” suara seseorang membuatku dan Justin tersentak. Justin langsung menjauhi tubuhku dan sekujur tubuhku pun bersyukur karena orang yang datang ke apartemenku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung membukakan pintu apartemenku. Mataku melihat Lucy yang sedang membawa dua buah tas di tangannya. Whoa, dia cepat sekali. Apa dia benar-benar telah meminta  izin pada orang tuanya? Karena tidak mungkin secepat ini. Tapi aku tidak peduli. Yang terpenting sekarang ia telah berada di sini dan telah menyelamatkanku.
            “Lucy,” aku mendesah senang dan menarik tangannya untuk cepat masuk. Saat aku memegang tangan Lucy untuk masuk, kurasakan seluruh ototnya menegang. Kepalanya langsung menoleh padaku dan memelotot padaku. Sungguh, ekspersinya benar-benar terkejut akan kedatangan Justin. Seharusnya dari tadi Justin sudah pergi dari apartemenku.
            “Kurasa aku harus pergi. Terima kasih karena kau telah membuat acaraku dan Kate rusak,” ujar Justin melewati Lucy dari belakang dan membuka pintu apartemenku. Ekspresinya susah sekali untuk dibaca. Pintu apartemenku langsung tertutup dan aku kembali menatap Lucy.
            “Apa kau gila? Mengapa kau membawanya ke dalam apartemenmu? Oh, astaga Tuhan. Ini sungguh bencana. Aku sangat yakin ia pasti tetangga kita bukan?” tanya Lucy terlihat panik dan tangannya mulai menjatuhkan kedua tasnya. Salah satu tasnya menindih kakiku sehingga aku menjerit. Sial! Sakit sekali. Apa saja yang ia bawa selain pakaiannya? Mengapa rasanya ia membawa besi yang sangat banyak? Aku masih meringis dan Lucy berjalan lalu terduduk di atas sofaku sambil melipat tangannya. Mengapa tampaknya ia frutrasi sekali? Tapi aku tak berani untuk bertanya padanya.
            “Mengapa kau membawanya ke sini?” tanyanya lagi.
            “Aku tidak membawanya. Ia ingin membantuku, kebetulan tadi aku bertemu di tangga dan ia menawarkan bantuan. Ya sudah, aku terima saja. Mengapa?” tanyaku duduk di sebelahnya.
            “Aku hanya tidak menyukainya. Kau tahu, ia itu berengsek!” ujarnya dengan kencang.
            “Tapi dia tidak begitu berengsek. Dia masih mau membantuku,”
            “Aku yakin tadi ia baru saja merayumu. Benar bukan?” aku hanya menganggukan kepalaku. Kemudian ia mendesah pelan. Mengapa ia terlihat begitu marah sekali? Kemudian ia bangkit dari sofa dan berjalan mengambil tasnya kembali.
            “Di mana kamarku?”
            “Di dekat lemari buku,” ujarku. Ia menganggukan dan berjalan dengan lesu menuju kamarnya dan kemudian ia menutup pintunya dengan pelan. Oh, mengapa tampaknya ia ingin menangis? Ia begitu marah saat Justin datang ke apartemen ini. Aku terdiam dan tenggelam dalam pikiranku sendiri. Kuharap ia tidak membenci Justin. Karena aku tidak membenci Justin.

***

            “Hey,” Justin menyapa saat aku keluar dari apartemen. Lucy sudah berangkat lebih dulu karena ia harus memberikan tugasnya kepada dosen mata pelajarannya. Entah mengapa ia lari seperti harimau, ia begitu cepat berlari saat ia tahu jam menunjukan pukul 8. Ia tidak ingin terlambat. Aku memiliki jadwal siang hari ini. Dan aku tidak mengerti mengapa Justin berada di hadapanku sekarang. Bukankah tiap hari Senin ia sekelas dengan Lucy? Mungkin hari ini ia ingin membolos.
            “Hai!” aku menyapanya kembali dan berjalan melewatinya. Tapi tangannya yang sekeras batu itu langsung meraih tanganku untuk menahanku.
            “Apa kau ingin pergi bersamaku dengan my baby?”
            “Kau? Mempunyai bayi?” tanyaku dengan polos. Hei! Itu bisa saja terjadi. Siapa tahu saja selama ini ia memiliki bayi di apartemennya namun tidak pernah diketauhi oleh gadis-gadis yang ia tiduri. Bisa saja seperti itu. Kulihat ia tertawa.
            “Motorku, gadis polos. Motorku,” ujarnya. Aku tersentak. Naik motor bersama seorang Justin Bieber? Tidak, terima kasih. Aku masih ingin hidup. Dan aku tidak ingin jantungku berhenti berdetak hanya karena aku naik motor dengan Justin. “Apa pun pikiran negatif yang kau pikirkan, Kate, percaya padaku kau akan aman bersama denganku,”
            “Kau yakin?”                                                       
            “Tidak juga,” aku tersentak. Apa-apaan? Ia tertawa melihat ekspresiku kemudian ia langsung menarik tanganku untuk turun ke tangga. Mengapa pegangan tangannya begitu dingin? Apa ia memakai AC di kamarnya? Cuaca hari ini cerah tapi tidak begitu dingin. Kami menuruni tangga dan keluar dari gedung. Motor Justin berada di depan gedung. Ukurannya besar dan berwarna hitam. Pantas saja ia menang terus menerus. Tapi kurasa ini adalah motor lama.
            Ia melepaskan tanganku dan mulai menaiki motornya lalu menyalakannya.
            “Naiklah,” ujarnya sambil memakai helmnya. Apa dia tidak takut jika helmnya akan dicuri? Harganya akan lumayan jika itu dicuri. Apalagi ia menyandang status sebagai lelaki yang hebat dalam membalap. Orang yang memiliki helm itu akan bangga. Apalagi orang-orang di kampus. Ia terkenal sekali di kampus.
            “Ayo,” suruhnya lagi. Aku menganggukan kepalaku dan mulai menaiki motornya dari belakang. Entah apa yang harus kulakukan tapi tiba-tiba kedua tangan Justin menarik tanganku lalu ia menempatkannya pada pinggangnya agar aku bisa memeluknya.
            “Pegangan yang erat. Karena kita akan seperti angin,” ujarnya langsung menggas motornya, namun sebelum berjalan dengan lancar, motor ini melayang sebentar dan membuatku memeluknya dengan erat. Apa dia gila? Apa dia ingin aku mati? Jika motor ini jungkir balik ke belakang, aku adalah korban pertamanya. Namun saat sudah masuk ke dalam jalan raya, ia ternyata membawanya dengan santai. Astaga, tidak cepat. Ia bilang akan menjadi seperti angin. Tapi tidak. Aku memeluknya terus menerus. Ia memakai celana jins dan kaos hitam. Aromanya benar-benar harum. Aku memejamkan mataku untuk mengingat aromanya.
            Tak terasa, aku dan Justin telah sampai di parkiran kampus. Tanpa berpikir panjang aku turun dari motornya dan membereskan rambutku yang hancur karena angin. Aku mengambil sisir yang kebetulan aku bawa tadi. Kusisir rambutku dan membungkuk untuk melihat pada kaca spion milik Justin.
            “Kau tidak perlu melakukan itu. Kau sudah cantik,” ujarnya sambil menaruh helm miliknya ke salah satu spion yang lain. Aku hanya menganggukan kepalaku, mencoba untuk mengacuhkan pujiannya terhadapku dengan terus menyisir rambutku.
            “Hei, aku sudah bilang untuk tidak menyisir rambutmu,” ujar Justin menarik tanganku yang memegang sisir sehingga aku berhenti menyisir. Aku mendongak dan menyipitkan mataku padanya lalu menarik lepas tanganku dari pegangannya. Siapa dia melarangku untuk menyisir rambutku? Kembali aku menyisir rambutku lagi.
            “Kau benar-benar menjengkelkan,”
            “Gadis harus rapi,” ujarku mengambil ikat rambut yang kubawa di dalam tasku lalu aku mengambilnya. Kukumpulkan rambutku agar menjadi satu lalu aku mengikatnya.
            “Aku sudah bilang padamu untuk tidak mengikat rambutmu,”
            “Kau bukan kekasihku,”
            “Maka jadilah kekasihku,”
            “Ha-ha. Lucu. Tidak, terima kasih,” ujarku dengan ketus dengan sarkatis. Aku tidak percaya dengan apa yang ia katakan, tapi tentu saja aku akan menolaknya. Seorang anak dosen berpacaran dengan seorang anak berandalan? Bisakah kau membunuhku untuk mengakhiri malu yang harus kutanggung? Terima kasih. Selesai mengikat rambutku dengan rapi, aku menegakan tubuhku dan melihat Justin yang menyandar pada motornya sambil melipat kedua tangannya.
            “Kau benar-benar menarik,”
            “Benarkah?”
            “Yeah, tapi demi Tuhan. Kau sangat menyebalkan,” ujarnya lagi, bangkit dari tempat duduknya saat aku berjalan untuk keluar dari parkiran. “Serius, tapi aku menyukaimu,”
            “Setelah kau mengejekku di depan semua orang?” tanyaku akhirnya membawa topik ini pada Justin. Aku tidak membalikan tubuhku untuk melihat ekspresinya, yang jelas aku mendengar nafasnya tercekat sesaat.
            “Jadi selama ini kau menolakku karena aku telah mempermalukan Jumat malam saat itu?” tanya Justin yang membuatku berhenti melangkah. Suaranya benar-benar berubah. Kali ini nadanya meninggi. Aku membalikan tubuhku dan melihat ekspresinya yang sungguh aneh. Entah antara ia marah, tertawa, atau ia tersenyum. Aku tidak tahu. Ia menarik tanganku kembali untuk masuk ke dalam parkiran.
            “Apa yang kaulakukan?” tanyaku dengan bingung saat kami sudah kembali berada di dalam parkiran.
            “Jadi, kau ingin aku melakukan apa untuk menebus kesalahanku?” tanya Justin dengan ekspresi yang kali ini bisa kubaca. Ia terlihat begitu tidak sabaran dan was-was. Apa yang membuatnya terlihat begitu aneh? Maksudku, apakah ia selalu cepat berubah ekspresi dan suasana hati? Pertama ia bilang dia menyukaiku, lalu aku menjengkelkan, terkejut dan sekarang tampak tak sabaran. Tapi tawarannya cukup menarik. Aku tidak suka dengan anting yang ia pakai.
            “Lepas antingmu maka kau kumaafkan,” ujarku dengan licik. Matanya melebar. Namun sedetik kemudian ia melepaskan anting itu dan melemparkannya entah kemana. Aku melongo. Benarkah ia baru saja melakukan itu untukku? Karena itu terlihat begitu manis. Aku tersenyum melihatnya.
            “Apa aku sudah dimaafkan? Dan aku bersumpah untuk tidak mempermalukanmu di depan banyak orang lagi,” katanya bersumpah. Aku menganggukan kepalaku. “Dan, apa kau ingin menjadi temanku? Kau tahu, kau bisa datang ke apartemenku kapan saja,” tambahnya lagi.
            “Seorang teman tidak menggoda temannya. Apalagi mengajaknya untuk tidur,” ujarku lagi, menggodanya. Berjalan dengan tawa yang kutahan, aku meninggalkan Justin yang mengikutiku dari belakang. Kudengar ia mendesah pelan dan menggumamkan kata kotor.
            “Baiklah. Aku tidak akan pernah menggodamu untuk tidur denganku lagi. Tapi, aku sungguh ingin menjadi temanmu. Aku tidak ingin temanmu yang satu lagi itu mengusirku dari apartemenmu,” ujarnya lagi. Ternyata Justin tidak menyukai Lucy juga. Mungkin karena ketusnya Lucy terhadap Justin membuat Justin tidak nyaman bersamanya. Kurasa begitu.
            Jika kupikir, melihat Justin seperti ini ia terlihat bukan seperti pembalap liar. Ia begitu baik dan ia ingin berteman denganku. Oh, berteman denga seorang yang popular? Tidak apa-apa. Setidaknya aku tidak menjalani hubungan yang lebih dari teman dengan Justin. Karena aku tidak ingin menjadi bahan pembicaraan di kampus. Tentu saja. Dan Angela, gadis itu, aku tidak ingin ia salah paham dengan ini.
            “Baiklah. Sekarang kita berteman. Pergi makan siang bersamaku?” tanyaku menawarkannya. Ia menganggukan kepalanya dan langsung merangkul leherku untuk keluar dari apartemen.
            “Aku tidak tahu apa kita bisa menjadi teman seberapa lama. Kau sungguh menarik,” gumam Justin namun aku mendiamkannya.

***

            “Apa kau yakin?” tanyaku ragu-ragu saat aku berada di depan motor Justin. Justin berada di belakangku sambil memegang tanganku yang memegang setir motor dan menatap ke arah jalanan yang kosong. Tengah malam. Tengah malam ini Justin ingin mengajariku untuk menaiki motornya. Tapi demi apa pun, aku tidak pernah mengerti tentang motor. Tangan Justin yang hangat di malam hari, melapisi tanganku dengan lembut. Dagunya berada di bahuku dan aku bisa merasakan nafasnya yang menghembus.
            “Aku sangat yakin. Kau hanya perlu memegang kendalinya,” ujar Justin lagi. Kemudian motor ini berjalan dengan lambat. Ia mengajariku. Tanganku diam, tidak kugerak-gerakan. Jalan ini benar-benar kosong dan hanya lampu-lampu jalanan yang menyinarinya.
            “Tenang. Jangan begitu kaku. Kau tidak perlu menggerak-gerakannya seperti ini,” ujar Justin sambil membelokan motornya dengan gaya zig-zag yang membuatku merinding ketakutan.
            “Kau gila Justin!” aku berteriak padanya. Dan pipiku tersentuh dengan bibirnya saat aku ingin membalikan kepalaku. Sial! Aku lupa, ia menyandarkan dagunya pada bahuku.
            “Pipimu halus,” ujarnya dari belakang. Aku hanya terdiam, tidak menjawabnya. Entahlah, jantungku sekarang berdetak lebih kencang dari pada biasanya. Mendengar ucapannya yang benar-benar membuatku merinding, membuat peganganku pada setir melemah, namun tangan Justin yang besar itu membungkusnya. Ia yang memegang kendali. Sekarang kepalaku bersandar pada bahu kiri Justin. Rasanya begitu nyaman. Justin benar-benar hebat dalam membawa motor.
            “Apa kau pernah pacaran sebelumnya?” tanya Justin.
            “Aku tidak pernah pacaran,” ujarku dengan suara yang pelan. Sekarang rasanya aku ingin tidur dalam sandaranku. Rasanya benar-benar nyaman. Serius.
            “Hmm. Pantas kau masih perawan,”   
            “Aku tidak tahu mengapa orang-orang sepertimu menyukai hubungan badan,” ujarku bingung. Yeah! Mengapa? Aku tidak tahu. Lucy sudah tidak perawan dan ia menceritakan mengapa ia kehilangan keperawanannya. Katanya itu saat Jumat malam, ia masih kelas 11 waktu itu dan pacarnya masuk ke dalamr rumahnya karena orang tua Lucy tidak ada. Hebat. Aku tidak pernah seperti itu.
            “Mengapa kau suka mengikat rambutmu?” Justin bertanya balik padaku. Aku mendesah pelan.
            “Karena rasanya nyaman,”
            “Aku juga. Karena rasanya nyaman,” balasnya dengan cepat. Motor ini masih berjalan sampai pada ke ujung jalan lalu ia kembali memutarnya membuatku memejamkan mata. “Tapi aku suka jika kau menggerai rambutmu seperti sekarang ini,”
            “Hmm, yeah. Karena kau temanku, aku melakukannya,”
            “Terima kasih,” bisiknya. “Apa kau pernah keluar malam-malam seperti ini bersama teman-temanmu?”
            “Tidak. Aku tidak pernah, kecuali Jumat malam yang lalu. Dan aku tidak pernah pergi keluar bersama lelaki sebelumnya,” jelasku dan itu adalah kejujuran.
            “Berarti aku yang pertama,” ujarnya, “Yeah,” aku langsung membalasnya dengan kenyamanan.
            “Kau ingin aku ajarkan bagaimana cara mendapatkan lelaki? Aku bisa mengajarkanmu,” tanya Justin yang membuatku membuka mata.

***

            “Kau habis dari mana?” tanya Lucy saat aku baru saja menutup pintu apartemen dan memejamkan mataku. Oh, aku benar-benar mengantuk. Untung saja aku mengambil mata pelajaran jam siang. Dan, huh, aku tahu pasti Lucy belum tidur. Kubuka mataku dan mendapati Lucy yang sedang terduduk di atas sedangkan televisi menyala.
            “Aku baru saja belajar naik motor dengan Justin,” jawabku mengunci pintu apartemen dan berjalan menuju kamar. Kudengar Lucy mendesah dan aku membalikan tubuhku untuk melihatnya.
            “Sebenarnya, Lucy, apa masalahmu dengan Justin?”
            “Aku hanya memperingatimu, Kate. Dia itu seorang berengsek. Ia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan wanita yang ia mau,” jelasnya. Aku memutar mataku, malas mendengar ucapannya yang mengatakan fakta bahwa Justin ada seorang lelaki berengsek. Aku tahu Justin adalah lelaki berengsek dan aku sudah mengerti apa yang Lucy maksud padaku. Tapi Justin telah mengatakan sumpah dan janji padaku bahwa ia tidak meniduriku atau melakukan yang tidak-tidak padaku. Aku percaya padanya.
            “Ya, terserah apa katamu, Lucy. Aku bisa berjanji padamu kalau ia bukanlah seberengsek yang kau kira,” ujarku, mengambil langkah untuk meninggalkannya. Sebenarnya yang kuinginkan hanyalah satu, Lucy dapat menerima Justin. Maksudku, aku bisa melihat ketidaksukaan Lucy terhadap Justin begitu kental. Membuatku sulit untuk membawa Justin ke dalam apartemen. Karena aku tahu Lucy tidak menyukai Justin. Otakku masih bertanya-tanya, mengapa Lucy begitu benci terhadap Justin? Apa Justin pernah melakukan sesuatu yang buruk padanya? Mungkin aku bisa bertanya pada Justin.
            Oh, sial. Besok aku harus pergi ke restoran milik ayahku. Sial, sial, sial! Aku pikir aku bisa tidur lama hari ini. Tapi, ah, aku harus pergi ke restoran ayahku menjadi pelayan di sana. Ayahku yang menyuruhku untuk bekerja di sana. Tapi tidak apa-apa. Aku mau juga, meski tiap pagi hari aku harus pergi ke sana. Kujatuhkan tubuhku ke atas kasur yang empuk. Menutup mata dan membiarkan diriku masuk ke dalam alam bawah sadar.

****

            “Lucy,” aku memanggil Lucy saat aku keluar dari kamarku. Aku telah selesai mandi dan berpakaian, siap untuk pergi bekerja. Kulihat Lucy yang sudah berpakaian rapi dan harum sedang memakai sereal di meja makan dengan diam. Ia mendongak dan melihatku, kedua alisnya yang tebal naik ke atas. “Aku harus pergi bekerja,” lanjutku lagi sambil mengikat rambutku menjadi satu-satu. Ia menganggukan kepalanya.
            “Kau bekerja? Baiklah. Kau tidak ingin sarapan terlebih dahulu?” tanya Lucy mengangkat mangkuk. Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak pernah sarapan. Mungkin hanya ibuku yang sering sarapan di antara aku dan ayahku. Ayahku hanya meminum kopi pagi hari sambil membaca Koran pagi yang ia dapat. Tapi aku tidak sarapan. Aku juga tidak meminum susu karena susu membuatku mual.
            “Aku hanya tidak terbiasa sarapan, Lucy. Aku akan ada di kampus jam 1 siang nanti. Besok aku tidak ada jadwal. Jika kau juga tidak ada jadwal ke kampus, kita bisa lari pagi bersama,” usulku sambil memakai sepatu converse-ku di atas sofa dan tersenyum padanya. Ia menganggukan kepalanya.
            “Ide yang bagus,” katanya, “Hey, apa kau dan Justin berteman?” tanya Lucy mengangkat topik ini kembali. Aku terdiam sebentar dan memakai kaos kakiku ke kakiku yang lain dan mengerucutkan mulutku. Kemudian aku mengangguk dan mendongakan kepalaku.
            “Holy shit,” gumamnya memasukan satu sendok sereal ke dalam mulutnya.
            “Lucy, aku tidak ingin membicarakan ini sekarang. Aku harus cepat-cepat sampai di tempat kerjaku, jika tidak, mungkin aku akan dipecat pada hari pertama. Hari pertama harus memberikan kesan yang baik,” ucapku berdiri dari sofa dan mengambil nafas dalam-dalam lalu merapikan pakaianku kembali. Kakiku berjalan kembali ke dalam kamar dan mengambil tas yang akan kubawa ke tempat kerja. Karena setelah aku dari tempat kerjaku, aku akan pergi ke kampus langsung. Aku tidak ingin membuang-buang tenaga untuk bolak-balik dari rumah ke kampus lagi. Aku hanya perlu jalan kaki dari apartemenku menuju restoran ayahku. Lalu aku akan menaiki taksi untuk pergi ke kampus.
            “Jaga dirimu baik-baik Kate!” teriak Lucy saat aku keluar dari apartemen.
            “Selalu, Lucy!” aku balas berteriak dan menutup pintu apartemen. Saat aku membalikan tubuhku, aku melihat Justin yang sudah bersandar pada tembok di depan pintu apartemenku. Ia memberikanku seringainya yang seperti serigala. Mengapa pagi ini ia terlihat begitu ..menyeramkan? Maksudku, seringainya yang membuatku merinding.
            “Hei, Justin,” sapaku, “Pagi yang cerah,” lanjutku lagi sambil berjalan meninggalkannya.
            “Sebenarnya, pagi ini mendung,” ujar Justin. Sial! Aku benar-benar bodoh. Justin mengikuti dari belakang, namun aku terus melangkahkan kakiku. Kudengar bunyi gemercik dari kunci motornya. Jangan, kumohon jangan tawarkan aku untuk menaiki motormu. Aku keluar dari gedung dan memang benar. Pagi ini memang mendung. Namun masih ada matahari.
            “Kau ingin kemana pagi ini?” tanya Justin berdiri di sampingku dan memutar-mutarkan kunci yang ia pegang pada jari telunjuk, berdiri dengan gayanya yang benar-benar berkarisma. Aku melihatnya dari bawah hingga atas. Ia kembali memakai celana jins berwarna hitam dan kaos berwarna hitam juga. Jika ia terus berpakaian seperti ini, ia akan disangka bahwa ia pergi ke melayat terus menerurs. Cukup menyedihkan melihatnya berpakaian seperti ini. Ia memiringkan kepalanya ke salah satu sisi dan berhenti memutar-mutar kuncinya.
            “Aku harus pergi ke restoran,”
            “Oh? Kau seharusnya bilang dari tadi. Ayo tuan puteri, aku akan antar kau restoran yang kau mau,” ujarnya menarik tanganku menuju motornya. Namun aku menggelengkan kepalaku. Apa-apaan? Restoran ayahku begitu dengan dengan apartemenku. Aku hanya perlu berjalan beberapa blok dari sini lalu aku belok kanan dan akan sampai di sudut jalan. Aku menarik tanganku dan menggelengkan kepalaku.
            “Restorannya dekat,” ujarku. Ia mengangkat kedua alisnya dan menganggukan kepalanya.
            “Well, ya sudah jika itu dekat. Aku juga ingin sarapan. Aku yang traktir jika kau ingin pergi sarapan bersamaku,” ujarnya. Aku menggelengkan kepalaku, “Ini hanya lambang pertemanan. Tidak salah bukan jika seorang teman membayarkan makanan untuk temannya?” tanya Justin. Aku menggelengkan kepalaku, lagi.
            “Tidak. Aku bekerja di sana,” ujarku lagi. Oh, Tuhan. Aku harus segera meninggalkannya sebelum aku terlambat. Aku melirik pada jam tanganku. Memang masih ada 30 menit untuk sampai ke restoran, tapi seperti yang kubilang tadi, aku ingin memberikan kesan pertama yang baik. “Justin, aku harus pergi sekarang sebelum aku terlambat,” ujarku melangkahkan kakiku meninggalkannya. Tiba-tiba tangan Justin merangkul leherku sehingga tubuhku dan tubuhnya bersentuhan.
            “Kita bisa pergi bersama. Jalan kaki bersama perempuan cantik. Aku benar-benar beruntung,” ujar Justin memujiku. Aku hanya dapat tertawa pelan dan memerah. Entah apa itu dari dalam hatinya atau ia hanya menggodaku. Kami terus berjalan menyeberang jalan untuk memasuki blok yang lain. Kudengar Justin bersenandung kecil. Entah lagu apa yang ia nyanyikan, tapi suaranya bagus. Tapi lebih bagus jika ia tertawa. Itu seperti suara malaikat yang bernyanyi di surga.
            “Kau suka bernyanyi?” tanyaku mendongakan kepalaku.
            “Tidak. Lyle yang membuatku suka menyanyi,”
            “Lyle? Temanmu?”
            “Sahabatku. Kapan-kapan kau harus datang ke apartemenku,” ujarnya menunduk dan tersenyum padaku. Oh sial! Senyuman itu. Aku tidak dapat menahan pipiku yang memerah. Kembali aku menundukan kepalaku dan melihat pada arah jalan. Kami menyeberang untuk sampai pada restoran ayahku. Nama restorannya Taste. Sederhana. Tapi kurasa banyak pengunjungnya. Ini untuk yang kedua kalinya aku masuk ke dalam restoran ini. Manajer di restoran ini bernama Jimmy.
            “Kau bekerja di sini?” tanya Justin saat aku membuka pintu restoran. Aku menganggukan kepalaku. Restoran ini belum terbuka sebenarnya. Bahkan kursi-kursi masih berada di atas meja.Tapi aku sudah melihat karyawan di restoran mulai menurunkannya. “Lyle juga bekerja di sini,” ujar Justin lagi. Mataku membulat.
            “Benarkah?”
            “Yeah, tapi ia mengambil waktu malam,” ujar Justin. Hmm, baguslah. Aku tidak akan bertemu dengan teman Justin. Hanya saja, aku malu-malu untuk bertemu dengan teman-teman Justin yang lain. Aku yakin, pasti sebelumnya Justin pernah menceritakan kebodohanku saat aku berkenalan dengannya Jumat malam itu. “Dan kau bekerja di restoran ayahmu sendiri,” gumam Justin tahu. Aku menganggukan kepalaku dan menarik tangannya untuk masuk ke dalam dapur. Aku menggantung tas selempangku pada gantungan celemek pelayan.
            “Kau ingin sarapan? Aku bisa meminta Phill untuk memasakannya untukmu,” ujarku. “Pelanggan pertama mendapatkan makanan gratis,” aku menggodanya dan mencolek dagunya dengan jari telunjukku. Ia tertawa pelan dan menganggukan kepalanya.
            “Baiklah. Satu telur dan bacon. Bagiamana dengan itu?”
            “Pesanan pertama,” gumamku, “Phill! Satu telur dan bacon!” teriakku pada jendela pembatas antara kasir dan dapur. Aku melirik pada Phill, bapak-bapak yang gemuk dengan kumis tebal miliknya sedang membereskan meja-meja di dapur.
            “Kita bahkan belum membuka restorannya, Miss Whitmore!” teriaknya membalasku lalu tertawa khas bapak-bapak. Aku ikut tertawa.
            “Oh cepatlah. Temanku benar-benar kelaparan,”
            “Kau membawa teman? Apa dia lelaki? Jika iya, aku akan menyuruhnya untuk membayar makanan ini dua kali lipat!” teriak Phill lagi. Aku tertawa dan melirik pada Justin yang terkekeh mendengarnya. Aku menggelengkan kepalaku.
            “Oh? Dan mengapa begitu?” tanyaku menggoda Phill.
            “Karena dia telah menjadi sainganku!” balasnya berteriak.
            “Jika begitu, biarlah aku yang memasaknya!” teriakku lagi melirik pada Justin yang memperlihatkan sederetan gigi putihnya. Oh, manis sekali.
            “Oh, Miss Whitmore. Meski aku menyukaimu, tapi aku lebih mencintai dapurku. Baiklah, aku akan memasaknya untuk teman beruntungmu itu,” teriak Phill terus tertawa. Oh, astaga. Jika tiap pagi aku bertemu dengan Phill aku bisa mati karena aku terus tertawa. Phill benar-benar menyenangkan. Aku pernah pergi Thanksgiving ke rumahnya bersama dengan orang tuaku tahun lalu. Ia memiliki dua anak perempuan kembar dengan satu anak laki-laki yang manis. Istrinya telah meninggal. Aku cukup prihatin degnan keadaan keluarganya. Padahal jika istrinya masih ada, pasti mereka akan menjadi keluarga yang sempurna.
            “Dia benar,” gumam Justin. Aku memberikan ekspresi bingung, lalu aku menarik tangannya dan menarik kursi yang telah diturunkan ke lantai. Ia duduk berhadapan denganku.
            “Tentang apa?”
            “Tentang aku beruntung,” balasnya dengan suara yang serius. Oh sial. Mengapa tiba-tiba ia terlihat begitu serius? Aku tidak menyukai keseriusan. Namun aku membalas Justin dengan senyum.
            “Atau kesialan,” aku membalasnya sambil tertawa. Tapi sial! Dia tidak tertawa. Ia terdiam.
            “Kau benar-benar menyenangkan, Kate. Datang ke rumahku malam ini? Lyle akan membawakan makanan setelah ia bekerja dari sini,”
            “Apa itu tidak membuatnya cemburu?” tanyaku menunjukan jari telunjukku padanya, menggodanya. Kali ini ia tertawa. Oh, astaga suaranya benar-benar indah.  Ia menggelengkan kepalanya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi lalu menggelengkan kepalanya.
            “Aku yakin ia tidak akan cemburu. Mungkin dia yang akan cemburu karena aku mendapatkan kau,” ucapnya, kali ini ucapannya tidak menyiratkan humor di sana. Aku menganggukan kepalaku dengan canggung. Ia terlihat aneh sekarang. Terlihat ia begitu khawatir akan sesuatu. Apa ia akan mengikuti tes hari ini? Tidak mungkin.
            “Ya baiklah kalau begitu aku akan datang ke apartemenmu,”
            “Benarkah?” kali ini matanya terlihat cerah. Senang melihatnya ceria kembali. Aku menganggukan kepalaku. “Sempurna!” ujarnya mengangguk-anggukan kepalanya.

***

            “Kate, aku hari ini pulang akan malam sekali. Tolong jangan kunci pintu apartemennya. Kau tahu, aku ada acara malam ini dengan Finn,” bisik Lucy pada kalimat paling akhir. Ini sudah sore dan memang, aku seharusnya pulang dari tadi. Kami sedang berada di parkiran, aku akan pulang bersama Justin. Tapi Justin dari tadi belum muncul dan aku tentunya tidak memberitahu Lucy kalau aku akan pulang bersama Justin. Aku hanya menganggukan kepalaku, mengerti. Beruntungnya Lucy bisa mendapatkan lelaki dengan mudah. Bahkan aku sangat yakin malam ini ia akan memiliki malam yang indah.
            “Jika aku tidak datang sampai besok pagi, aku minta maaf Kate tidak bisa menemanimu pergi lari pagi,”     
            “Tidak apa-apa,” ujarku melihatnya yang sudah berlari menuju Finn yang sudah menaiki motornya. Lucy naik di belakangnya dan memeluk Finn dengan erat. Oh, beruntungnya Lucy. Motor Finn keluar dari parkiran. Aku tahu Finn. Dia juga pembalap, tapi aku tidak pernah berbicara dengannya. Kurasakan sebuah tangan menyentuh pundakku dan aku tersentak. Membalikan tubuhku, aku mendapati Justin dengan temannya. Aku yakin itu adalah Lyle.
            “Sudah siap untuk pulang ke apartemenku?” tanya Justin. Aku menganggukan kepalaku dan melambaikan tanganku pada Lyle. Lyle memiliki rambut pirang dan matanya berwarna biru. Tampan. Tapi lebih tampan Justin.
            “Hei, bagaimana kabarmu?” tanya Lyle menganggukan kepalanya padaku. Bergaya seperti pembalap motor liar. Aku tidak pernah melihatnya membawa motor. Dan aku tidak pernah melihat motornya.
            “Tentu saja ia baik-baik saja, kau bodoh,” ujar Justin menjawabnya. Aku hanya tertawa kecil dan Justin melewatiku untuk mengambil motornya. Lyle mendekatiku dan memasukan tangannya pada kantong celana jinsnya.
            “Kemarilah. Ada yang perlu kuberitahu,” bisik Lyle terlihat misterius. Penasaran, aku mendekatinya. Kepalanya mendekati telingaku.
            “Hati-hati jika Justin merayumu dan mengajakmu tidur, kau akan mendapatkan malam yang paling bersejarah dalam hidupmu. Kudengar kau masih perawan, jika Justin yang orang pertama yang menidurimu, maka kau adalah wanita beruntung,” bisik Lyle yang membuat aku terkesiap. Perutku tiba-tiba saja menegang. Tapi aku hanya mendiamkannya dan menjauhkan kepalaku dari kepalanya. Benarkah? Jika ya, aku tetap tidak mau berhubungan badan dengan Justin. Maksudku, biarkan aku memutuskan ini matang-matang sebelum aku melepaskannya. Aku tidak ingin mempermalukan diriku di depan lelaki yang mencintaiku.
            Justin muncul di depan kami dengan motor yang ia bawa. Ia telah mengenakan helm miliknya.
            “Apa pun yang ia katakan, Kate, jangan pernah percaya dengannya,”
            “Oh? Tentang aku wanita beruntung jika aku tidur denganmu?” aku menggodanya.
            “Kalau yang itu, itu adalah fakta. Naiklah,” suruh Justin menganggukan kepalanya padaku, mengisyaratkanku untuk naik ke atas motornya. Aku memegang pundaknya dan duduk di belakangnya.
            “Yep! Justin Bieber kembali merebut kemenangan mendapatkan piala terpolos dari Lyle Gertty. Apakah piala itu akan disimpan dengannya baik-baik? Atau akan merusaknya malam ini? Kita tidak tahu saudara-saudara. Yang tahu hanyalah Tuhan dan Justin sendiri,” ujar Lyle layaknya komentator. Aku tertawa kecil dan melingkarkan tanganku pada pinggang Justin, memeluknya.

            “Kau konyol,” gumam Justin, kemudian ia menjalankan motornya, keluar dari parkiran. Dan meninggalkan Lyle. Lyle orang yang sangat lucu.

2 komentar:

  1. Lyle tampan. Tapi Justin lebih tampan. Wkwk, bisa banget yah si Kate -_- tapi emang bener sih. Ngga ada yang ngelebihin ketampanan Justin haha.
    Lyle lucu yaaaa. Beruntung deh Kate bisa temenan sama Justin dan Lyle.

    BalasHapus
  2. Di bab 2 ini rasanya aq terusan senyum senyun sendiri saking lucunya 😁 hadeuh, seandainya justin bukan anak brandalan, mgkn kate langsung menerima justin. Eits, tp mgkn itulah yg bikin kate makin cintrong ama beiber 😱😍

    BalasHapus