****
“Kate?”
suara seseorang membuatku dan Justin tersentak. Justin langsung menjauhi
tubuhku dan sekujur tubuhku pun bersyukur karena orang yang datang ke
apartemenku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung membukakan pintu apartemenku.
Mataku melihat Lucy yang sedang membawa dua buah tas di tangannya. Whoa, dia
cepat sekali. Apa dia benar-benar telah meminta
izin pada orang tuanya? Karena tidak mungkin secepat ini. Tapi aku tidak
peduli. Yang terpenting sekarang ia telah berada di sini dan telah
menyelamatkanku.
“Lucy,”
aku mendesah senang dan menarik tangannya untuk cepat masuk. Saat aku memegang
tangan Lucy untuk masuk, kurasakan seluruh ototnya menegang. Kepalanya langsung
menoleh padaku dan memelotot padaku. Sungguh, ekspersinya benar-benar terkejut
akan kedatangan Justin. Seharusnya dari tadi Justin sudah pergi dari
apartemenku.
“Kurasa
aku harus pergi. Terima kasih karena kau telah membuat acaraku dan Kate rusak,”
ujar Justin melewati Lucy dari belakang dan membuka pintu apartemenku.
Ekspresinya susah sekali untuk dibaca. Pintu apartemenku langsung tertutup dan
aku kembali menatap Lucy.
“Apa
kau gila? Mengapa kau membawanya ke dalam apartemenmu? Oh, astaga Tuhan. Ini
sungguh bencana. Aku sangat yakin ia pasti tetangga kita bukan?” tanya Lucy
terlihat panik dan tangannya mulai menjatuhkan kedua tasnya. Salah satu tasnya
menindih kakiku sehingga aku menjerit. Sial! Sakit sekali. Apa saja yang ia
bawa selain pakaiannya? Mengapa rasanya ia membawa besi yang sangat banyak? Aku
masih meringis dan Lucy berjalan lalu terduduk di atas sofaku sambil melipat
tangannya. Mengapa tampaknya ia frutrasi sekali? Tapi aku tak berani untuk
bertanya padanya.
“Mengapa
kau membawanya ke sini?” tanyanya lagi.
“Aku
tidak membawanya. Ia ingin membantuku, kebetulan tadi aku bertemu di tangga dan
ia menawarkan bantuan. Ya sudah, aku terima saja. Mengapa?” tanyaku duduk di
sebelahnya.
“Aku
hanya tidak menyukainya. Kau tahu, ia itu berengsek!” ujarnya dengan kencang.
“Tapi
dia tidak begitu berengsek. Dia masih mau membantuku,”
“Aku
yakin tadi ia baru saja merayumu. Benar bukan?” aku hanya menganggukan
kepalaku. Kemudian ia mendesah pelan. Mengapa ia terlihat begitu marah sekali?
Kemudian ia bangkit dari sofa dan berjalan mengambil tasnya kembali.
“Di
mana kamarku?”
“Di
dekat lemari buku,” ujarku. Ia menganggukan dan berjalan dengan lesu menuju
kamarnya dan kemudian ia menutup pintunya dengan pelan. Oh, mengapa tampaknya
ia ingin menangis? Ia begitu marah saat Justin datang ke apartemen ini. Aku
terdiam dan tenggelam dalam pikiranku sendiri. Kuharap ia tidak membenci
Justin. Karena aku tidak membenci Justin.
***
“Hey,”
Justin menyapa saat aku keluar dari apartemen. Lucy sudah berangkat lebih dulu
karena ia harus memberikan tugasnya kepada dosen mata pelajarannya. Entah
mengapa ia lari seperti harimau, ia begitu cepat berlari saat ia tahu jam
menunjukan pukul 8. Ia tidak ingin terlambat. Aku memiliki jadwal siang hari
ini. Dan aku tidak mengerti mengapa Justin berada di hadapanku sekarang.
Bukankah tiap hari Senin ia sekelas dengan Lucy? Mungkin hari ini ia ingin
membolos.
“Hai!”
aku menyapanya kembali dan berjalan melewatinya. Tapi tangannya yang sekeras
batu itu langsung meraih tanganku untuk menahanku.
“Apa
kau ingin pergi bersamaku dengan my baby?”
“Kau?
Mempunyai bayi?” tanyaku dengan polos. Hei! Itu bisa saja terjadi. Siapa tahu
saja selama ini ia memiliki bayi di apartemennya namun tidak pernah diketauhi
oleh gadis-gadis yang ia tiduri. Bisa saja seperti itu. Kulihat ia tertawa.
“Motorku,
gadis polos. Motorku,” ujarnya. Aku tersentak. Naik motor bersama seorang
Justin Bieber? Tidak, terima kasih. Aku masih ingin hidup. Dan aku tidak ingin
jantungku berhenti berdetak hanya karena aku naik motor dengan Justin. “Apa pun
pikiran negatif yang kau pikirkan, Kate, percaya padaku kau akan aman bersama
denganku,”
“Kau yakin?”
“Tidak
juga,” aku tersentak. Apa-apaan? Ia tertawa melihat ekspresiku kemudian ia
langsung menarik tanganku untuk turun ke tangga. Mengapa pegangan tangannya
begitu dingin? Apa ia memakai AC di kamarnya? Cuaca hari ini cerah tapi tidak
begitu dingin. Kami menuruni tangga dan keluar dari gedung. Motor Justin berada
di depan gedung. Ukurannya besar dan berwarna hitam. Pantas saja ia menang
terus menerus. Tapi kurasa ini adalah motor lama.
Ia
melepaskan tanganku dan mulai menaiki motornya lalu menyalakannya.
“Naiklah,”
ujarnya sambil memakai helmnya. Apa dia tidak takut jika helmnya akan dicuri?
Harganya akan lumayan jika itu dicuri. Apalagi ia menyandang status sebagai
lelaki yang hebat dalam membalap. Orang yang memiliki helm itu akan bangga.
Apalagi orang-orang di kampus. Ia terkenal sekali di kampus.
“Ayo,”
suruhnya lagi. Aku menganggukan kepalaku dan mulai menaiki motornya dari
belakang. Entah apa yang harus kulakukan tapi tiba-tiba kedua tangan Justin
menarik tanganku lalu ia menempatkannya pada pinggangnya agar aku bisa
memeluknya.
“Pegangan
yang erat. Karena kita akan seperti angin,” ujarnya langsung menggas motornya,
namun sebelum berjalan dengan lancar, motor ini melayang sebentar dan membuatku
memeluknya dengan erat. Apa dia gila? Apa dia ingin aku mati? Jika motor ini
jungkir balik ke belakang, aku adalah korban pertamanya. Namun saat sudah masuk
ke dalam jalan raya, ia ternyata membawanya dengan santai. Astaga, tidak cepat.
Ia bilang akan menjadi seperti angin. Tapi tidak. Aku memeluknya terus menerus.
Ia memakai celana jins dan kaos hitam. Aromanya benar-benar harum. Aku
memejamkan mataku untuk mengingat aromanya.
Tak
terasa, aku dan Justin telah sampai di parkiran kampus. Tanpa berpikir panjang
aku turun dari motornya dan membereskan rambutku yang hancur karena angin. Aku
mengambil sisir yang kebetulan aku bawa tadi. Kusisir rambutku dan membungkuk
untuk melihat pada kaca spion milik Justin.
“Kau
tidak perlu melakukan itu. Kau sudah cantik,” ujarnya sambil menaruh helm
miliknya ke salah satu spion yang lain. Aku hanya menganggukan kepalaku,
mencoba untuk mengacuhkan pujiannya terhadapku dengan terus menyisir rambutku.
“Hei,
aku sudah bilang untuk tidak menyisir rambutmu,” ujar Justin menarik tanganku
yang memegang sisir sehingga aku berhenti menyisir. Aku mendongak dan
menyipitkan mataku padanya lalu menarik lepas tanganku dari pegangannya. Siapa
dia melarangku untuk menyisir rambutku? Kembali aku menyisir rambutku lagi.
“Kau
benar-benar menjengkelkan,”
“Gadis
harus rapi,” ujarku mengambil ikat rambut yang kubawa di dalam tasku lalu aku
mengambilnya. Kukumpulkan rambutku agar menjadi satu lalu aku mengikatnya.
“Aku
sudah bilang padamu untuk tidak mengikat rambutmu,”
“Kau
bukan kekasihku,”
“Maka
jadilah kekasihku,”
“Ha-ha.
Lucu. Tidak, terima kasih,” ujarku dengan ketus dengan sarkatis. Aku tidak
percaya dengan apa yang ia katakan, tapi tentu saja aku akan menolaknya.
Seorang anak dosen berpacaran dengan seorang anak berandalan? Bisakah kau
membunuhku untuk mengakhiri malu yang harus kutanggung? Terima kasih. Selesai
mengikat rambutku dengan rapi, aku menegakan tubuhku dan melihat Justin yang
menyandar pada motornya sambil melipat kedua tangannya.
“Kau
benar-benar menarik,”
“Benarkah?”
“Yeah,
tapi demi Tuhan. Kau sangat menyebalkan,” ujarnya lagi, bangkit dari tempat
duduknya saat aku berjalan untuk keluar dari parkiran. “Serius, tapi aku
menyukaimu,”
“Setelah
kau mengejekku di depan semua orang?” tanyaku akhirnya membawa topik ini pada
Justin. Aku tidak membalikan tubuhku untuk melihat ekspresinya, yang jelas aku
mendengar nafasnya tercekat sesaat.
“Jadi
selama ini kau menolakku karena aku telah mempermalukan Jumat malam saat itu?”
tanya Justin yang membuatku berhenti melangkah. Suaranya benar-benar berubah.
Kali ini nadanya meninggi. Aku membalikan tubuhku dan melihat ekspresinya yang
sungguh aneh. Entah antara ia marah, tertawa, atau ia tersenyum. Aku tidak
tahu. Ia menarik tanganku kembali untuk masuk ke dalam parkiran.
“Apa
yang kaulakukan?” tanyaku dengan bingung saat kami sudah kembali berada di
dalam parkiran.
“Jadi,
kau ingin aku melakukan apa untuk menebus kesalahanku?” tanya Justin dengan
ekspresi yang kali ini bisa kubaca. Ia terlihat begitu tidak sabaran dan
was-was. Apa yang membuatnya terlihat begitu aneh? Maksudku, apakah ia selalu
cepat berubah ekspresi dan suasana hati? Pertama ia bilang dia menyukaiku, lalu
aku menjengkelkan, terkejut dan sekarang tampak tak sabaran. Tapi tawarannya
cukup menarik. Aku tidak suka dengan anting yang ia pakai.
“Lepas
antingmu maka kau kumaafkan,” ujarku dengan licik. Matanya melebar. Namun
sedetik kemudian ia melepaskan anting itu dan melemparkannya entah kemana. Aku
melongo. Benarkah ia baru saja melakukan itu untukku? Karena itu terlihat
begitu manis. Aku tersenyum melihatnya.
“Apa
aku sudah dimaafkan? Dan aku bersumpah untuk tidak mempermalukanmu di depan
banyak orang lagi,” katanya bersumpah. Aku menganggukan kepalaku. “Dan, apa kau
ingin menjadi temanku? Kau tahu, kau bisa datang ke apartemenku kapan saja,”
tambahnya lagi.
“Seorang
teman tidak menggoda temannya. Apalagi mengajaknya untuk tidur,” ujarku lagi,
menggodanya. Berjalan dengan tawa yang kutahan, aku meninggalkan Justin yang
mengikutiku dari belakang. Kudengar ia mendesah pelan dan menggumamkan kata
kotor.
“Baiklah.
Aku tidak akan pernah menggodamu untuk tidur denganku lagi. Tapi, aku sungguh
ingin menjadi temanmu. Aku tidak ingin temanmu yang satu lagi itu mengusirku
dari apartemenmu,” ujarnya lagi. Ternyata Justin tidak menyukai Lucy juga.
Mungkin karena ketusnya Lucy terhadap Justin membuat Justin tidak nyaman
bersamanya. Kurasa begitu.
Jika
kupikir, melihat Justin seperti ini ia terlihat bukan seperti pembalap liar. Ia
begitu baik dan ia ingin berteman denganku. Oh, berteman denga seorang yang
popular? Tidak apa-apa. Setidaknya aku tidak menjalani hubungan yang lebih dari
teman dengan Justin. Karena aku tidak ingin menjadi bahan pembicaraan di
kampus. Tentu saja. Dan Angela, gadis itu, aku tidak ingin ia salah paham
dengan ini.
“Baiklah.
Sekarang kita berteman. Pergi makan siang bersamaku?” tanyaku menawarkannya. Ia
menganggukan kepalanya dan langsung merangkul leherku untuk keluar dari
apartemen.
“Aku
tidak tahu apa kita bisa menjadi teman seberapa lama. Kau sungguh menarik,”
gumam Justin namun aku mendiamkannya.
***
“Apa
kau yakin?” tanyaku ragu-ragu saat aku berada di depan motor Justin. Justin
berada di belakangku sambil memegang tanganku yang memegang setir motor dan
menatap ke arah jalanan yang kosong. Tengah malam. Tengah malam ini Justin
ingin mengajariku untuk menaiki motornya. Tapi demi apa pun, aku tidak pernah
mengerti tentang motor. Tangan Justin yang hangat di malam hari, melapisi
tanganku dengan lembut. Dagunya berada di bahuku dan aku bisa merasakan
nafasnya yang menghembus.
“Aku
sangat yakin. Kau hanya perlu memegang kendalinya,” ujar Justin lagi. Kemudian
motor ini berjalan dengan lambat. Ia mengajariku. Tanganku diam, tidak
kugerak-gerakan. Jalan ini benar-benar kosong dan hanya lampu-lampu jalanan
yang menyinarinya.
“Tenang.
Jangan begitu kaku. Kau tidak perlu menggerak-gerakannya seperti ini,” ujar
Justin sambil membelokan motornya dengan gaya zig-zag yang membuatku merinding
ketakutan.
“Kau
gila Justin!” aku berteriak padanya. Dan pipiku tersentuh dengan bibirnya saat
aku ingin membalikan kepalaku. Sial! Aku lupa, ia menyandarkan dagunya pada
bahuku.
“Pipimu
halus,” ujarnya dari belakang. Aku hanya terdiam, tidak menjawabnya. Entahlah,
jantungku sekarang berdetak lebih kencang dari pada biasanya. Mendengar
ucapannya yang benar-benar membuatku merinding, membuat peganganku pada setir
melemah, namun tangan Justin yang besar itu membungkusnya. Ia yang memegang
kendali. Sekarang kepalaku bersandar pada bahu kiri Justin. Rasanya begitu
nyaman. Justin benar-benar hebat dalam membawa motor.
“Apa
kau pernah pacaran sebelumnya?” tanya Justin.
“Aku
tidak pernah pacaran,” ujarku dengan suara yang pelan. Sekarang rasanya aku
ingin tidur dalam sandaranku. Rasanya benar-benar nyaman. Serius.
“Hmm.
Pantas kau masih perawan,”
“Aku
tidak tahu mengapa orang-orang sepertimu menyukai hubungan badan,” ujarku
bingung. Yeah! Mengapa? Aku tidak tahu. Lucy sudah tidak perawan dan ia
menceritakan mengapa ia kehilangan keperawanannya. Katanya itu saat Jumat
malam, ia masih kelas 11 waktu itu dan pacarnya masuk ke dalamr rumahnya karena
orang tua Lucy tidak ada. Hebat. Aku tidak pernah seperti itu.
“Mengapa
kau suka mengikat rambutmu?” Justin bertanya balik padaku. Aku mendesah pelan.
“Karena
rasanya nyaman,”
“Aku
juga. Karena rasanya nyaman,” balasnya dengan cepat. Motor ini masih berjalan
sampai pada ke ujung jalan lalu ia kembali memutarnya membuatku memejamkan
mata. “Tapi aku suka jika kau menggerai rambutmu seperti sekarang ini,”
“Hmm,
yeah. Karena kau temanku, aku melakukannya,”
“Terima
kasih,” bisiknya. “Apa kau pernah keluar malam-malam seperti ini bersama
teman-temanmu?”
“Tidak.
Aku tidak pernah, kecuali Jumat malam yang lalu. Dan aku tidak pernah pergi
keluar bersama lelaki sebelumnya,” jelasku dan itu adalah kejujuran.
“Berarti
aku yang pertama,” ujarnya, “Yeah,” aku langsung membalasnya dengan kenyamanan.
“Kau
ingin aku ajarkan bagaimana cara mendapatkan lelaki? Aku bisa mengajarkanmu,”
tanya Justin yang membuatku membuka mata.
***
“Kau
habis dari mana?” tanya Lucy saat aku baru saja menutup pintu apartemen dan
memejamkan mataku. Oh, aku benar-benar mengantuk. Untung saja aku mengambil
mata pelajaran jam siang. Dan, huh, aku tahu pasti Lucy belum tidur. Kubuka
mataku dan mendapati Lucy yang sedang terduduk di atas sedangkan televisi
menyala.
“Aku
baru saja belajar naik motor dengan Justin,” jawabku mengunci pintu apartemen
dan berjalan menuju kamar. Kudengar Lucy mendesah dan aku membalikan tubuhku
untuk melihatnya.
“Sebenarnya,
Lucy, apa masalahmu dengan Justin?”
“Aku
hanya memperingatimu, Kate. Dia itu seorang berengsek. Ia akan melakukan apa
saja untuk mendapatkan wanita yang ia mau,” jelasnya. Aku memutar mataku, malas
mendengar ucapannya yang mengatakan fakta bahwa Justin ada seorang lelaki
berengsek. Aku tahu Justin adalah lelaki berengsek dan aku sudah mengerti apa
yang Lucy maksud padaku. Tapi Justin telah mengatakan sumpah dan janji padaku
bahwa ia tidak meniduriku atau melakukan yang tidak-tidak padaku. Aku percaya
padanya.
“Ya,
terserah apa katamu, Lucy. Aku bisa berjanji padamu kalau ia bukanlah
seberengsek yang kau kira,” ujarku, mengambil langkah untuk meninggalkannya.
Sebenarnya yang kuinginkan hanyalah satu, Lucy dapat menerima Justin. Maksudku,
aku bisa melihat ketidaksukaan Lucy terhadap Justin begitu kental. Membuatku
sulit untuk membawa Justin ke dalam apartemen. Karena aku tahu Lucy tidak
menyukai Justin. Otakku masih bertanya-tanya, mengapa Lucy begitu benci
terhadap Justin? Apa Justin pernah melakukan sesuatu yang buruk padanya?
Mungkin aku bisa bertanya pada Justin.
Oh,
sial. Besok aku harus pergi ke restoran milik ayahku. Sial, sial, sial! Aku
pikir aku bisa tidur lama hari ini. Tapi, ah, aku harus pergi ke restoran
ayahku menjadi pelayan di sana. Ayahku yang menyuruhku untuk bekerja di sana.
Tapi tidak apa-apa. Aku mau juga, meski tiap pagi hari aku harus pergi ke sana.
Kujatuhkan tubuhku ke atas kasur yang empuk. Menutup mata dan membiarkan diriku
masuk ke dalam alam bawah sadar.
****
“Lucy,”
aku memanggil Lucy saat aku keluar dari kamarku. Aku telah selesai mandi dan
berpakaian, siap untuk pergi bekerja. Kulihat Lucy yang sudah berpakaian rapi
dan harum sedang memakai sereal di meja makan dengan diam. Ia mendongak dan
melihatku, kedua alisnya yang tebal naik ke atas. “Aku harus pergi bekerja,”
lanjutku lagi sambil mengikat rambutku menjadi satu-satu. Ia menganggukan
kepalanya.
“Kau
bekerja? Baiklah. Kau tidak ingin sarapan terlebih dahulu?” tanya Lucy
mengangkat mangkuk. Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak pernah sarapan.
Mungkin hanya ibuku yang sering sarapan di antara aku dan ayahku. Ayahku hanya
meminum kopi pagi hari sambil membaca Koran pagi yang ia dapat. Tapi aku tidak
sarapan. Aku juga tidak meminum susu karena susu membuatku mual.
“Aku
hanya tidak terbiasa sarapan, Lucy. Aku akan ada di kampus jam 1 siang nanti.
Besok aku tidak ada jadwal. Jika kau juga tidak ada jadwal ke kampus, kita bisa
lari pagi bersama,” usulku sambil memakai sepatu converse-ku di atas sofa dan
tersenyum padanya. Ia menganggukan kepalanya.
“Ide
yang bagus,” katanya, “Hey, apa kau dan Justin berteman?” tanya Lucy mengangkat
topik ini kembali. Aku terdiam sebentar dan memakai kaos kakiku ke kakiku yang
lain dan mengerucutkan mulutku. Kemudian aku mengangguk dan mendongakan
kepalaku.
“Holy
shit,” gumamnya memasukan satu sendok sereal ke dalam mulutnya.
“Lucy,
aku tidak ingin membicarakan ini sekarang. Aku harus cepat-cepat sampai di
tempat kerjaku, jika tidak, mungkin aku akan dipecat pada hari pertama. Hari pertama
harus memberikan kesan yang baik,” ucapku berdiri dari sofa dan mengambil nafas
dalam-dalam lalu merapikan pakaianku kembali. Kakiku berjalan kembali ke dalam
kamar dan mengambil tas yang akan kubawa ke tempat kerja. Karena setelah aku
dari tempat kerjaku, aku akan pergi ke kampus langsung. Aku tidak ingin
membuang-buang tenaga untuk bolak-balik dari rumah ke kampus lagi. Aku hanya
perlu jalan kaki dari apartemenku menuju restoran ayahku. Lalu aku akan menaiki
taksi untuk pergi ke kampus.
“Jaga
dirimu baik-baik Kate!” teriak Lucy saat aku keluar dari apartemen.
“Selalu,
Lucy!” aku balas berteriak dan menutup pintu apartemen. Saat aku membalikan
tubuhku, aku melihat Justin yang sudah bersandar pada tembok di depan pintu
apartemenku. Ia memberikanku seringainya yang seperti serigala. Mengapa pagi
ini ia terlihat begitu ..menyeramkan? Maksudku, seringainya yang membuatku
merinding.
“Hei,
Justin,” sapaku, “Pagi yang cerah,” lanjutku lagi sambil berjalan
meninggalkannya.
“Sebenarnya,
pagi ini mendung,” ujar Justin. Sial! Aku benar-benar bodoh. Justin mengikuti
dari belakang, namun aku terus melangkahkan kakiku. Kudengar bunyi gemercik
dari kunci motornya. Jangan, kumohon jangan tawarkan aku untuk menaiki motormu.
Aku keluar dari gedung dan memang benar. Pagi ini memang mendung. Namun masih
ada matahari.
“Kau
ingin kemana pagi ini?” tanya Justin berdiri di sampingku dan memutar-mutarkan
kunci yang ia pegang pada jari telunjuk, berdiri dengan gayanya yang
benar-benar berkarisma. Aku melihatnya dari bawah hingga atas. Ia kembali
memakai celana jins berwarna hitam dan kaos berwarna hitam juga. Jika ia terus
berpakaian seperti ini, ia akan disangka bahwa ia pergi ke melayat terus
menerurs. Cukup menyedihkan melihatnya berpakaian seperti ini. Ia memiringkan kepalanya
ke salah satu sisi dan berhenti memutar-mutar kuncinya.
“Aku
harus pergi ke restoran,”
“Oh?
Kau seharusnya bilang dari tadi. Ayo tuan puteri, aku akan antar kau restoran
yang kau mau,” ujarnya menarik tanganku menuju motornya. Namun aku menggelengkan
kepalaku. Apa-apaan? Restoran ayahku begitu dengan dengan apartemenku. Aku
hanya perlu berjalan beberapa blok dari sini lalu aku belok kanan dan akan
sampai di sudut jalan. Aku menarik tanganku dan menggelengkan kepalaku.
“Restorannya
dekat,” ujarku. Ia mengangkat kedua alisnya dan menganggukan kepalanya.
“Well,
ya sudah jika itu dekat. Aku juga ingin sarapan. Aku yang traktir jika kau
ingin pergi sarapan bersamaku,” ujarnya. Aku menggelengkan kepalaku, “Ini hanya
lambang pertemanan. Tidak salah bukan jika seorang teman membayarkan makanan
untuk temannya?” tanya Justin. Aku menggelengkan kepalaku, lagi.
“Tidak.
Aku bekerja di sana,” ujarku lagi. Oh, Tuhan. Aku harus segera meninggalkannya
sebelum aku terlambat. Aku melirik pada jam tanganku. Memang masih ada 30 menit
untuk sampai ke restoran, tapi seperti yang kubilang tadi, aku ingin memberikan
kesan pertama yang baik. “Justin, aku harus pergi sekarang sebelum aku
terlambat,” ujarku melangkahkan kakiku meninggalkannya. Tiba-tiba tangan Justin
merangkul leherku sehingga tubuhku dan tubuhnya bersentuhan.
“Kita
bisa pergi bersama. Jalan kaki bersama perempuan cantik. Aku benar-benar
beruntung,” ujar Justin memujiku. Aku hanya dapat tertawa pelan dan memerah.
Entah apa itu dari dalam hatinya atau ia hanya menggodaku. Kami terus berjalan
menyeberang jalan untuk memasuki blok yang lain. Kudengar Justin bersenandung
kecil. Entah lagu apa yang ia nyanyikan, tapi suaranya bagus. Tapi lebih bagus
jika ia tertawa. Itu seperti suara malaikat yang bernyanyi di surga.
“Kau
suka bernyanyi?” tanyaku mendongakan kepalaku.
“Tidak.
Lyle yang membuatku suka menyanyi,”
“Lyle?
Temanmu?”
“Sahabatku.
Kapan-kapan kau harus datang ke apartemenku,” ujarnya menunduk dan tersenyum
padaku. Oh sial! Senyuman itu. Aku tidak dapat menahan pipiku yang memerah.
Kembali aku menundukan kepalaku dan melihat pada arah jalan. Kami menyeberang
untuk sampai pada restoran ayahku. Nama restorannya Taste. Sederhana. Tapi
kurasa banyak pengunjungnya. Ini untuk yang kedua kalinya aku masuk ke dalam
restoran ini. Manajer di restoran ini bernama Jimmy.
“Kau
bekerja di sini?” tanya Justin saat aku membuka pintu restoran. Aku
menganggukan kepalaku. Restoran ini belum terbuka sebenarnya. Bahkan
kursi-kursi masih berada di atas meja.Tapi aku sudah melihat karyawan di
restoran mulai menurunkannya. “Lyle juga bekerja di sini,” ujar Justin lagi.
Mataku membulat.
“Benarkah?”
“Yeah,
tapi ia mengambil waktu malam,” ujar Justin. Hmm, baguslah. Aku tidak akan
bertemu dengan teman Justin. Hanya saja, aku malu-malu untuk bertemu dengan
teman-teman Justin yang lain. Aku yakin, pasti sebelumnya Justin pernah
menceritakan kebodohanku saat aku berkenalan dengannya Jumat malam itu. “Dan
kau bekerja di restoran ayahmu sendiri,” gumam Justin tahu. Aku menganggukan
kepalaku dan menarik tangannya untuk masuk ke dalam dapur. Aku menggantung tas
selempangku pada gantungan celemek pelayan.
“Kau
ingin sarapan? Aku bisa meminta Phill untuk memasakannya untukmu,” ujarku.
“Pelanggan pertama mendapatkan makanan gratis,” aku menggodanya dan mencolek
dagunya dengan jari telunjukku. Ia tertawa pelan dan menganggukan kepalanya.
“Baiklah.
Satu telur dan bacon. Bagiamana dengan itu?”
“Pesanan
pertama,” gumamku, “Phill! Satu telur dan bacon!” teriakku pada jendela
pembatas antara kasir dan dapur. Aku melirik pada Phill, bapak-bapak yang gemuk
dengan kumis tebal miliknya sedang membereskan meja-meja di dapur.
“Kita
bahkan belum membuka restorannya, Miss Whitmore!” teriaknya membalasku lalu
tertawa khas bapak-bapak. Aku ikut tertawa.
“Oh
cepatlah. Temanku benar-benar kelaparan,”
“Kau
membawa teman? Apa dia lelaki? Jika iya, aku akan menyuruhnya untuk membayar
makanan ini dua kali lipat!” teriak Phill lagi. Aku tertawa dan melirik pada
Justin yang terkekeh mendengarnya. Aku menggelengkan kepalaku.
“Oh?
Dan mengapa begitu?” tanyaku menggoda Phill.
“Karena
dia telah menjadi sainganku!” balasnya berteriak.
“Jika
begitu, biarlah aku yang memasaknya!” teriakku lagi melirik pada Justin yang
memperlihatkan sederetan gigi putihnya. Oh, manis sekali.
“Oh,
Miss Whitmore. Meski aku menyukaimu, tapi aku lebih mencintai dapurku. Baiklah,
aku akan memasaknya untuk teman beruntungmu itu,” teriak Phill terus tertawa.
Oh, astaga. Jika tiap pagi aku bertemu dengan Phill aku bisa mati karena aku
terus tertawa. Phill benar-benar menyenangkan. Aku pernah pergi Thanksgiving ke
rumahnya bersama dengan orang tuaku tahun lalu. Ia memiliki dua anak perempuan
kembar dengan satu anak laki-laki yang manis. Istrinya telah meninggal. Aku
cukup prihatin degnan keadaan keluarganya. Padahal jika istrinya masih ada,
pasti mereka akan menjadi keluarga yang sempurna.
“Dia
benar,” gumam Justin. Aku memberikan ekspresi bingung, lalu aku menarik
tangannya dan menarik kursi yang telah diturunkan ke lantai. Ia duduk
berhadapan denganku.
“Tentang
apa?”
“Tentang
aku beruntung,” balasnya dengan suara yang serius. Oh sial. Mengapa tiba-tiba
ia terlihat begitu serius? Aku tidak menyukai keseriusan. Namun aku membalas
Justin dengan senyum.
“Atau
kesialan,” aku membalasnya sambil tertawa. Tapi sial! Dia tidak tertawa. Ia
terdiam.
“Kau
benar-benar menyenangkan, Kate. Datang ke rumahku malam ini? Lyle akan
membawakan makanan setelah ia bekerja dari sini,”
“Apa
itu tidak membuatnya cemburu?” tanyaku menunjukan jari telunjukku padanya,
menggodanya. Kali ini ia tertawa. Oh, astaga suaranya benar-benar indah. Ia menggelengkan kepalanya dan menyandarkan
punggungnya pada sandaran kursi lalu menggelengkan kepalanya.
“Aku
yakin ia tidak akan cemburu. Mungkin dia yang akan cemburu karena aku
mendapatkan kau,” ucapnya, kali ini ucapannya tidak menyiratkan humor di sana.
Aku menganggukan kepalaku dengan canggung. Ia terlihat aneh sekarang. Terlihat
ia begitu khawatir akan sesuatu. Apa ia akan mengikuti tes hari ini? Tidak
mungkin.
“Ya
baiklah kalau begitu aku akan datang ke apartemenmu,”
“Benarkah?”
kali ini matanya terlihat cerah. Senang melihatnya ceria kembali. Aku
menganggukan kepalaku. “Sempurna!” ujarnya mengangguk-anggukan kepalanya.
***
“Kate,
aku hari ini pulang akan malam sekali. Tolong jangan kunci pintu apartemennya.
Kau tahu, aku ada acara malam ini dengan Finn,” bisik Lucy pada kalimat paling
akhir. Ini sudah sore dan memang, aku seharusnya pulang dari tadi. Kami sedang
berada di parkiran, aku akan pulang bersama Justin. Tapi Justin dari tadi belum
muncul dan aku tentunya tidak memberitahu Lucy kalau aku akan pulang bersama
Justin. Aku hanya menganggukan kepalaku, mengerti. Beruntungnya Lucy bisa
mendapatkan lelaki dengan mudah. Bahkan aku sangat yakin malam ini ia akan
memiliki malam yang indah.
“Jika
aku tidak datang sampai besok pagi, aku minta maaf Kate tidak bisa menemanimu
pergi lari pagi,”
“Tidak
apa-apa,” ujarku melihatnya yang sudah berlari menuju Finn yang sudah menaiki
motornya. Lucy naik di belakangnya dan memeluk Finn dengan erat. Oh,
beruntungnya Lucy. Motor Finn keluar dari parkiran. Aku tahu Finn. Dia juga
pembalap, tapi aku tidak pernah berbicara dengannya. Kurasakan sebuah tangan
menyentuh pundakku dan aku tersentak. Membalikan tubuhku, aku mendapati Justin
dengan temannya. Aku yakin itu adalah Lyle.
“Sudah
siap untuk pulang ke apartemenku?” tanya Justin. Aku menganggukan kepalaku dan
melambaikan tanganku pada Lyle. Lyle memiliki rambut pirang dan matanya
berwarna biru. Tampan. Tapi lebih tampan Justin.
“Hei,
bagaimana kabarmu?” tanya Lyle menganggukan kepalanya padaku. Bergaya seperti
pembalap motor liar. Aku tidak pernah melihatnya membawa motor. Dan aku tidak
pernah melihat motornya.
“Tentu
saja ia baik-baik saja, kau bodoh,” ujar Justin menjawabnya. Aku hanya tertawa
kecil dan Justin melewatiku untuk mengambil motornya. Lyle mendekatiku dan memasukan
tangannya pada kantong celana jinsnya.
“Kemarilah.
Ada yang perlu kuberitahu,” bisik Lyle terlihat misterius. Penasaran, aku
mendekatinya. Kepalanya mendekati telingaku.
“Hati-hati
jika Justin merayumu dan mengajakmu tidur, kau akan mendapatkan malam yang
paling bersejarah dalam hidupmu. Kudengar kau masih perawan, jika Justin yang
orang pertama yang menidurimu, maka kau adalah wanita beruntung,” bisik Lyle
yang membuat aku terkesiap. Perutku tiba-tiba saja menegang. Tapi aku hanya
mendiamkannya dan menjauhkan kepalaku dari kepalanya. Benarkah? Jika ya, aku
tetap tidak mau berhubungan badan dengan Justin. Maksudku, biarkan aku
memutuskan ini matang-matang sebelum aku melepaskannya. Aku tidak ingin
mempermalukan diriku di depan lelaki yang mencintaiku.
Justin
muncul di depan kami dengan motor yang ia bawa. Ia telah mengenakan helm
miliknya.
“Apa
pun yang ia katakan, Kate, jangan pernah percaya dengannya,”
“Oh?
Tentang aku wanita beruntung jika aku tidur denganmu?” aku menggodanya.
“Kalau
yang itu, itu adalah fakta. Naiklah,” suruh Justin menganggukan kepalanya
padaku, mengisyaratkanku untuk naik ke atas motornya. Aku memegang pundaknya
dan duduk di belakangnya.
“Yep!
Justin Bieber kembali merebut kemenangan mendapatkan piala terpolos dari Lyle Gertty.
Apakah piala itu akan disimpan dengannya baik-baik? Atau akan merusaknya malam
ini? Kita tidak tahu saudara-saudara. Yang tahu hanyalah Tuhan dan Justin
sendiri,” ujar Lyle layaknya komentator. Aku tertawa kecil dan melingkarkan
tanganku pada pinggang Justin, memeluknya.
“Kau
konyol,” gumam Justin, kemudian ia menjalankan motornya, keluar dari parkiran.
Dan meninggalkan Lyle. Lyle orang yang sangat lucu.
Lyle tampan. Tapi Justin lebih tampan. Wkwk, bisa banget yah si Kate -_- tapi emang bener sih. Ngga ada yang ngelebihin ketampanan Justin haha.
BalasHapusLyle lucu yaaaa. Beruntung deh Kate bisa temenan sama Justin dan Lyle.
Di bab 2 ini rasanya aq terusan senyum senyun sendiri saking lucunya 😁 hadeuh, seandainya justin bukan anak brandalan, mgkn kate langsung menerima justin. Eits, tp mgkn itulah yg bikin kate makin cintrong ama beiber 😱😍
BalasHapus