Jumat, 02 Agustus 2013

Bieber Biker Bab 3


***

            “Masuklah,” suruh Justin membuka pintu apartemennya. Aku masuk dan mendapati apartemennya yang seperti …kapal Titanic yang ingin tenggelam. Astaga, benarkah ini apartemen mereka? Karena sungguh, ini benar-benar tidak rapi. Dan untuk yang pertama kalinya, aku masuk ke dalam apartemen lelaki. Ternyata benar kata ibuku, wanita lebih rapi dibanding pria. Justin menutup pintunya, lalu menguncinya. Itu membuatku terkesiap begitu saja.
            “Duduklah,” suruhnya, lagi. Di mana? Sofanya benar-benar ..kotor. Entahlah, ada aroma aneh di sini. “Oh, maafkan aku. Tidak ada sofa lain selain sofa itu. Aku sering berhubungan badan di atas sana,” jelas Justin yang membuat jantungku berdebar lebih kencang. Apa-apaan? Sering berhubungan badan di atas sofa? Gila! Tapi akhir-akhir ini aku tidak melihat Justin menarik seorang gadis ke dalam apartemennya. Maksudku, aku tidak mendengar suara aneh dari apartemen Justin.
            “Kau ingin aku duduk di sana?” tanyaku menunjukan sofanya. Sungguh, aku tidak ingin duduk di sana jika itu memiliki bekas hasil dari senggamanya dengan wanita lain. Menjijikan. Ia memberikanku satu jari telunjuk, mengisyaratkan aku untuk menunggu, ia masuk ke dalam kamarnya. Kemudian ia keluar dengan selimut yang berada di tangannya. Lalu ia melapisi sofa tersebut dengan selimutnya.
            “Tidak ada alasan lagi. Itu selimut bersih,” ujarnya lagi. Aku menganggukan kepalaku, percaya padanya, kemudian aku menjatuhkan bokongku ke atas sofanya. “Bir? Es jeruk? Katakan saja minuman apa yang kau mau,” ujar Justin memasuki dapurnya.
            “Air putih tidak apa-apa,” ujarku, mataku melihat ke sekeliling ruangan, “Mengapa tampaknya apartemenmu berantakan?” tanyaku, akhirnya.
            “Yeah, benar. Kau tahulah anak lelaki seperti apa,” kata Justin menyeringai padaku. Aku menganggukan kepalaku, mengerti. Mungkin besok aku bisa membersihkan apartemennya, sekedar untuk membantunya. Karena sungguh, aku benci jika ada suatu tempat yang tidak rapi. Aku senang dengan kerapian.
            “Kalau besok aku rapikan apartemenmu, apa kau izinkan?” tanyaku melihatnya berjalan ke arahku sambil membawakan segelas air putih padaku. Aku mengambilnya, kebetulan aku sedang haus. Ia membulatkan matanya dan kedua alisnya kembali terangkat.
            “Tentu saja. Kita bisa melakukannya bersama-sama,” kata Justin dengan ceria. Aku tersenyum dan Justin mengambil gelasku lalu menegukan sisa air minumnya. Baiklah, mungkin aku harus terbiasa dengan ini. “Aku suka meminum air dari gelas bekasmu. Rasanya lebih nikmat dari pada biasanya,”
            “Benarkah?”
            “Yeah, seperti air putih ditambah oleh madu,”
            “Aku juga ingin merasakannya,” ujarku dengan polos. Tapi serius, apa benar rasanya seperti itu? Atau dia hanya bermain-main? Menggodaku?
            “Kau ingin?” tanyanya, aku menganggukan kepalaku. Tapi Justin malah berlari kecil menuju dapurnya dan menaruh gelas di atas meja dapur lalu kembali padaku, berlari kecil. “Baiklah. Seperti yang kujanjikan kemarin malam. Kau ingin mendapatkan lelaki dengan cepat? Kau pernah berciuman sebelumnya?” tanya Justin yang membuatku bingung. Bukankah tadi dia bilang ingin memberikanku air putih rasa madu? Tapi kemudian aku berpikir kembali. Bodohnya aku! Tidak mungkin ada air putih terasa seperti madu. Tolol! Aku menganggukan kepalaku. Aku pernah berciuman dan aku bukanlah pencium yang ulung.
            “Apa kau pintar berciuman?” tanyanya, berlutut di depanku. Aku menggelengkan kepalaku. Sekarang kepalaku sudah sejajar dengan kepalanya. Mataku bertemu dengan matanya yang berwarna madu itu. Warna terindah yang pernah kutahu, setelah Lyle. Lyle memiliki warna mata biru laut dan itu menakjubkan.
            “Aku akan menciummu, hanya untuk belajar. Okay? Lelaki menyukai wanita yang pintar berciuman,” jelas Justin. Aku menganggukan kepalaku. Kudengar nafas Justin yang tak beraturan, tiba-tiba saja Justin menarik kepalaku dan mencium bibirku. Membuatku harus memajukan tubuhku. Aku memejamkan mataku.
            “Buka mulutmu,” suruhnya. Aku membuka mulutku dan mendapati lidahnya yang menggelitiki lidahku. Namun rasanya begitu nikmat. Tanganku sekarang melingkar pada leher Justin dan Justin memperdalam ciuman nikmat ini. Oh, Tuhan. Ini benar-benar berlebihan. Ada getaran aneh yang meliputi diriku. Mulutnya mengisap bibirku dengan lembut dan menggigitinya, membuatku mengerang sedikit. Oh, mengapa aku?
            Setelah tak mendapatkan nafas, aku dan Justin melepaskan ciuman ini. Nafasku terengah-engah. Mataku menatap Justin dengan tatapan tak percaya. Ciuman terindah yang pernah kurasakan. Hening.
            “Wow!” aku tidak percaya, “Yeah, wow!” Justin mengikutiku, nafasnya juga terengah-engah.  
***

            “Kau menyukai itu?” tanya Justin tersenyum manis padaku. Aku menganggukan kepalaku malu-malu. Masih tak percaya apa yang baru saja aku dan Justin lakukan. Itu adalah ciuman terbaik yang pernah kudapatkan. Mengingat bibirnya yang menyentuh bibirku menghasilkan getaran yang sungguh hebat dalam tubuhku. Kemudian Justin terduduk di sampingku dan menyalakan televisi. Tapi ia mematikan suaranya sehingga hanya gambar televisi saja yang terlihat.
            Ciuman tadi rasanya benar-benar menguras seluruh tenagaku. Sehingga aku langsung menjatuhkan kepalaku pada bahu Justin.
            “Aku tidak percaya temanku mencium teman sendiri,” gumamku dengan suara kecil. Dapat kurasakan detak jantung Justin dari bahunya. Jantungnya berdetak begitu kencang, padahal nafasnya begitu stabil. Tak dapat kugambarkan seberapa senangnya aku saat ini. Tapi aku benar-benar mengantuk. Aku butuh tidur.
            “Kau pernah bercumbu?” tanya Justin. Mataku yang tadinya setengah tertutup kembali terbuka seutuhnya. “Tidak,” bisikku. Seluruh tubuhku menyuruhku untuk tidur sekarang.
            “Apa kau lelah?” tanya Justin. Aku menganggukan kepalaku. Kemudian Justin menarik pinggangku dengan kedua tangannya tiba-tiba. Ia memutar tubuhku agar aku bisa terlentang di atas sofanya. Kuselonjorkan kakiku agar posisiku lebih nyaman. Justin memposisikan kepalaku pada pahanya, mataku terpejam.
            “Tunggu dulu,” katanya sambil mengangkat kepalaku lalu menarik cepat ikatan rambutku yang masih berada di kepalaku. Kemudian ia menyandarkan kepalaku pada pahanya. Tangannya yang besar itu mengelus keningku dengan lembut. Membuatku semakin masuk ke alam bawah sadar. Kudengar Justin bersenandung kecil, ia semakin membawaku ke dalam tidurku. Lalu ..

***

            “Apa-apaan?!” teriak seseorang yang membuatku terkejut. Aku terbangun dari tidurku dan aku melihat ke sekelilingku. Bukan di ruang tamu Justin. Kurasa ini adalah kamar Justin. Tempat tidur Justin tidak besar dan ..oh Tuhan, siapa yang berteriak itu? Aku terkesiap dan langsung bangkit dari tempat tidur Justin. Menghantarkan kakiku menuju pintu kamar Justin dan membukanya dengan pelan. Kubuka pintunya sedikit dan melihat Justin, Lyle dan seorang lelaki yang lain –entah siapa—dengan seorang wanita yang kukenal. Angela. Mengapa ia marah-marah pagi seperti ini?
            “Aku tidak percaya kau membawa dia ke sini, kupikir kita berpacaran!” bentak Angela pada Justin. Aku tidak mendengar Justin berkata apa karena dia berbicara dengan suara yang begitu pelan. Tangannya memegang lengan Angela, membuat Angela meringis. Lyle dan temannya yang lain terdiam di atas sofa, sesekali melirik seperti orang bodoh.
            “Aku tidak mau! Jalang itu berada di dalam sana! Sial, selama ini benar apa yang dikatakan teman-temanku,” ujar Angela lagi dengan suaranya yang benar-benar cempreng. Astaga, benarkah itu suaranya? Sungguh jika ia marah, ia terlihat begitu menyeramkan. Mengapa Justin menyukainya? Hebat sekali.
            “Aku bilang pergi kau jalang!” Justin membentak Angela, membuat Angela tersentak. Matanya membulat tak percaya dengan apa yang Justin baru saja katakan. Aku menutup mulutku dengan tangan, merasa tak percaya juga dengan apa yang Justin katakan padanya. Itu pasti sangat menyakitkan. Beberapa detik kemudian Angela menarik lengannya dari pegangan tangan Justin kemudian pergi keluar dari apartemen Justin, membanting pintu apartemen Justin dengan kasar. Justin mendesah pelan dan menggelengkan kepalanya.
            “Akting yang bagus bro,” puji Lyle dengan sarkastik. Justin hanya mendiamkannya dan menjatuhkan bokongnya ke atas sofa, di sebelah Lyle.
            “Bieber Biker marah, harus pergi menjauh,” gumam lelaki yang lain, bangkit dari sofa dan pergi ke dapur. Tak ingin berlama-lama di dalam kamar mengintip, aku membuka pintu lebih lebar. Justin mendongak dan melihatku dengan senyum kali ini. Kulirik Lyle yang tercengang melihatku. Ada apa?
            “Hey,” sapanya dengan lembut. Ia bangkit dari sofa dan berjalan ke arahku. “Bagaimana tidurmu?” tanya Justin merangkulku. Kuangkat kedua bahuku dan tersenyum kecil. Justin membawaku ke sofa dan kami terduduk bersebelahan. Aku diapit oleh Lyle dan Justin sekarang.
            “Hey, pakaian yang bagus,” ujar Lyle yang membuatku langsung melihat ke bawah. Sial! Aku hanya memakai celana dalam dan kaosku yang kemarin kupakai. Astaga, apa Justin yang membukanya? Ya, tentu saja ia yang lakukan itu. Justin meninju bahu Lyle dan aku berdiri untuk mengambil celana jins-ku entah di mana.
            “Di mana kau taruh celana jinsku?” tanyaku. Untung saja aku mengambil paruh waktu siang hari. Jika tidak, gajiku mungkin akan dipotong.
            “Di atas meja belajarku,” ujar Justin. Aku menganggukan kepalaku, masuk ke dalam kamar Justin kembali dan mendapati celana jins-ku di atas meja belajar Justin. Aku ingin tertawa. Hebat. Seorang Bieber Biker memiliki meja belajar. Tapi aku harus berpikir positif. Bieber pasti ingin lulus juga bukan? Untuk apa ia susah-susah mencari nilai kepada ayahku jika sebenarnya ia tidak ingin belajar? Apalag ia mendapatkan nilai A+. Oh sial! Mengapa aku tidak pernah berpikir seperti ini sebelumnya? Pasti ayahku memiliki nilai-nilai milik Justin! Astaga! Aku pasti tahu ia sepintar apa seorang Justin. Dan aku juga seharusnya bertanya-tanya pada ayahku tentang Justin. Mengapa aku merasa aku adalah orang terbodoh di dunia ini? Aku mengancing celana jins-ku dan berjalan keluar dari kamar Justin.
            Melihat Justin yang sudah tertawa-tawa dengan Lyle. Tapi aku tidak suka candaan mereka. Mereka saling memukul. Dan teman Justin yang lain kurasa sedang mandi karena aku mendengar shower yang menyala. Mereka berhenti saat aku berdiri di depan mereka berdua dan berhenti tertawa. Justin menyeka hidungnya dan matanya. Ia tertawa hingga menangis? Berarti selama ini ia memiliki teman yang benar-benar menyenangkan. Aku baru bertemu dengan Lyle kemarin, tapi rasanya aku begitu dekat dengan Lyle sekarang.
            “Kalian mengapa melakukan itu?” tanyaku, bingung.
            “Itu cara kami untuk bercanda. Dan dia menggodamu,” ujar Justin yang membuatku semakin bingung. Apa yang ia bicarakan?
            “Hey! Kau yang membuka celana jins-nya, dia tidak sadar, aku hanya menikmati pemandangan. Dia bukan pacarmu, jadi itu terserah aku untuk melihat pahanya atau tidak,” Lyle menyela. Sekarang aku mengerti. Justin bertengkar karena Lyle baru saja melihat pahaku yang telanjang tadi. Dan sialnya, aku sekarang cukup marah dengan Justin yang tiba-tiba saja –OH TUHAN! Astaga, apa yang Justin lakukan padaku? Mataku membulat dan menatap Justin dengan tatapan Apa yang Kau Lakukan?
            “Tidak, astaga tidak, Kate! Aku tidak melakukan itu tanpa izinmu,” ujar Justin langsung menggelengkan kepalanya. Lyle tertawa terbahak-bahak. Terkadang, menjadi gadis yang polos cukup menyedihkan. Karena aku tidak pernah mengerti apa yang mereka tertawakan atau bicarakan.
            “Mengapa ia tertawa?”
            “Ia tidak percaya dengan ucapanku tadi,” gumam Justin. Aku tertawa pelan dan menendang kaki Lyle, tapi tidak begitu keras. Lyle berhenti tertawa dan berusaha untuk menahan tawanya.
            “Aku percaya padamu, Justin,” ujarku sambil terduduk di tengah-tengah mereka berdua. Kuhembuskan nafasku, aku lapar. Tadi malam aku tidak makan. Aku ketiduran dan mungkin, Justin dan Lyle menikmati makanan mereka tanpa mengajakku. Mungkin mereka enggan untuk membangunkan karena takut aku marah. Mungkin.
            “Aku ingin tahu bagaimana rasanya jika –“
            “Astaga, Kate! Jangan bilang kau ingin melakukan itu dengan Justin. Kau akan ..lebih baik denganku. Aku yang mengajarkan Justin untuk melakukan itu dengan baik,” ujar Lyle yang membuatku tersentak. Lyle yang mengajarkan Justin berhubungan badan? Astaga! Apa-apaan itu? Lyle homo? Ini benar-benar menyeramkan.
            “Kau yang mengajarkan Justin? Kalian berhubungan…” aku tak dapat menyambungkan kata-kataku lagi. Ini terlalu berlebihan. Astaga, benarkah mereka berhubungan badan sesama lelaki? Itu sungguh menyedihkan.
            “Astaga, tidak Kate!” seru Justin. Tiba-tiba saja teman Justin yang baru saja keluar dari kamar mandi tertawa-tawa. Ternyata dari tadi ia mendengarkan percakapan kami. Lyle menepuk keningnya dengan kencang.
            “Kau dari New York. Tapi mengapa kau polos sekali? Bukankah New York lebih liar dibanding dengan Atlanta?” tanya Lyle kebingungan. Aku hanya dapat mengangkat kedua bahuku, meminta maaf kepada mereka. “Itu Logan,” ujar Lyle memperkenalkan lelaki yang memakai handuk yang tergantung di pinggangnya. Logan melambaikan tangannya padaku dan masuk ke dalam kamarnya. Aku membalas lambaian tangannya namun dengan cepat Justin menurunkan tanganku sehingga jatuh ke atas pahaku.
            “Lyle berbohong. Dia tidak pernah mengajarkan sesuatu padaku, pfft!” Justin mengejek Lyle sambil menggelengkan kepalanya. Tangan Lyle melayang pada pipi Justin yang membuatku tertawa. Mereka benar-benar lucu.
            “Ada apa Angela datang ke sini?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Membuat mereka berdua terdiam. Hening membentang di antara kami sampai pada saat Logan kembali membuka pintu kamarnya dengan pakaian yang rapi. Kami bertiga menatapnya, membuatnya tampak bingung.
            “Apa?” tanyanya. Kami bertiga tidak menatapnya lagi.
            “Jadi apa yang Angela lakukan ke sini?” tanyaku kembali ke dalam topik pembicaraan. Logan bergabung dengan kami.
            “Yeah, semua orang tahu sekarang aku berteman denganmu. Selama ini ia berpikir aku dan dia memiliki hubungan yang khusus. Tapi sumpah demi Tuhan, aku tidak pernah menginginkannya dalam hidupku. Aku hanya ingin berhubungan badan dengannya, hanya itu saja. Tidak lebih,”
            “Oh kau benar-benar berengsek,” sela Logan.
            “Yeah, benar,” Lyle menyetujui.
            “Aku bahkan sudah tidak tahu berapa wanita yang ia mainkan selama tiga tahun ini,” ujar Logan lagi. Lyle menganggukan kepalanya, menyetujui Logan lagi. Oh, berapa wanita yang telah Justin permainkan? Astaga, ini sungguh menyeramkan. Apa Justin terserang penyakit Aids? Itu pasti akan sangat berbahaya.
            “Bahkan Justin pernah memukul seorang wanita kare—“
            “Bisakah kalian berdua berhenti?! Kalian membuatnya ketakutan!” teriak Justin menyuruh Lyle dan Logan berhenti. Sontak Logan menutup mulutnya di bawah sana, ia duduk di atas lantai. Aku menelan ludahku. Benar. Aku cukup ketakutan karena perkataan Logan tentang memukul seorang wanita. Tapi aku penasaran, mengapa Justin memukul wanita itu. Pasti sangat menyakitkan.
            “Kau tidak akan memukulku bukan Justin?” tanyaku menatap Justin. Justin mengangkat salah satu alisnya padaku. Baiklah, berarti itu jawabannya adalah tidak.
            “Tapi aku sudah tidak melihatmu membawa wanita ke dalam apartemenmu,”
            “Itu karena ia ingin mendapatkanmu, Kate,” jawab Logan yang membuat Justin menendang lengannya dengan pelan. Logan dan Lyle tertawa. Oh, Justin Bieber digoda oleh kedua temannya, benar-benar lucu.
            “Whoop! Ketahuan!” ujar Lyle mengejek Justin.
            “Sial kalian berdua! Aku ingin mandi,” ujar Justin menendang Logan lagi dan memukul Lyle hingga Lyle meringis kesakitan. Namun mereka berdua hanya tertawa sedangkan Justin masuk ke dalam kamar mandinya. Oh, tadi benar-benar lucu.

***

            Oke. Ini dia. Aku telah dicap sebagai wanita-yang-berjalan-dengan-Bieber-Biker oleh Angela. Dan ia memanggilku dengan jalang. Aku tahu seberapa terkenalnya Angela di kampus. Tentu saja ia terkenal. Banyak yang bilang banyak sekali lelaki yang menginginkan Angela sebagai pacarnya karena memiliki postur tubuh yang ideal. Well, aku memang tidak memiliki tubuh se-ideal Angela. Tapi setidaknya, aku tidak begitu pendek dan gemuk.
            Aku memikirkan kata-kata Logan tadi. Justin telah bermain dengan banyak wanita selama tiga tahun. Itu membuatku bergidik. Aku membayangkan seberapa berengseknya dia. Seberapa banyak wanita yang telah ia permainkan. Sungguh, Justin benar-benar harus berubah. Aku telah mengambil beberapa peralatan dari apartermenku untuk membersihkan apartemennya yang hancur itu. Lyle harus pergi karena harus bekerja pagi ini dan Logan akan membantu kami berdua. Aku telah memakai sarung tangan karet berwarna putih agar tanganku tidak begitu kotor. Aku juga telah memakai penutup kepala agar tidak ada debu yang terkena rambutku. Rasanya aku akan berperang sekarang.
            Membawa lap kaca dan penyemprot kaca, tak lupa juga aku membawa lap untuk membersihkan lemari-lemari mereka dan meja dapur mereka. Intinya banyak sekali peralatan yang kubawa pada apartemen Justin. Kubuka pintu apartemen Justin yang tak terkunci.
            “Kau sudah siap?” tanya Justin yang membuatku menganga melihat pakaian yang ia pakai. Apa yang ia pikir ia lakukan? Ia memakai pakaian seperti petani. Baju kodok jins dengan sarung tangan untuk bertani berwarna orange, dan juga topi petani! Apa maksudnya ia melakukan itu?
            “Apa kau yakin kau memakai pakaian itu?” tanyaku tak yakin. Ia menganggukan kepalanya dengan semangat. Aku menganggukan kepalaku, pasrah. Astaga. “Apa yang kau bisa lakukan? Kau bisa membersihkan sofa terlebih dahulu,” ujarku lagi sambil menaruh barang-barang yang kubawa ke sisi televisi dengan rapi. Justin menganggukan kepalanya dan Logan muncul dari dapur. Oh, Tuhan. Sebenarnya, apa mataku yang rusak atau memang mereka sengaja berpakaian seperti itu?
            “Kita dari Montana,” ujar Logan. Justin tertawa dan menggelengkan kepalanya.
            “Tentu saja tidak! Kami hanya ingin berpakaian yang layak untuk hari bersih sekarang, bersamamu. Tapi aku terlihat berbeda,” kata Justin menganggukan kepalanya pada Logan, mengisyaratkan Logan untuk mengangkat sofa itu untuk di bawa keluar. Yeah, sofa itu harus dibersihkan.
            “Tapi hari ini bukan hari petani Justin,” ujarku memakai masker yang kusimpan di dalam kantong celana jins-ku lalu memakainya untuk menutupi hidungku. Justin dan Logan sudah keluar dan menempatkan sofa mereka di lorong kemudian mereka masuk kembali.
            “Logan, kau bersihkan kamar mandi,” perintahku pada Logan. “Justin, kau bisa membersihkan kamarmu,” lanjutku memerintah Justin juga.
            “Tapi aku tidak bisa melihatmu jika aku membersihkan kamarku,” sungut Justin. Aku memutar mataku. Logan sudah masuk ke dalam kamar mandi, kuharap ia tahu bagaimana caranya membersihkan kamar mandi.
            “Kau bisa membersihkan televisimu kalau begitu, lalu menyapu lantai. Aku memiliki kencan dengan dapur sekarang,” ujarku sambil mengambil sapu yang terdapat di dekat kulkas. Sapu yang lucu. Aku mulai berjalan menuju sudut dapur dan menyapu mulai dari sana. Justin mengambil lap yang kuambil dari apartemenku dan mencoba untuk membersihkan televisinya. Untungnya, aku telah membasahkan lap yang kubawa sehingga sedikit lembab.
            “Aku berpikir untuk nanti malam,” ujar Justin yang membuatku mendongak dan masih terus menyapu.
            “Berpikir tentang?”
            “Aku ingin membawamu ke suatu tempat,”
            “Apa itu berbahaya?” tanyaku ragu-ragu. Keluar malam-malam lagi bersama Justin nanti malam! Astaga, aku benar-benar tak sabar. Maksudku, sekali pun itu ke club, aku ingin ke sana. Aku juga ingin mencoba sesuatu yang baru.
            “Well, bagiku tidak. Tapi mungkin menurutmu itu akan berbahaya, tapi kau percaya kata-kataku bukan?” tanya Justin. Tentang apa? Aku tidak mengerti.
            “Tentang?” tanyaku. Kudengar Justin mendesah pelan, memutarkan matanya. Aku tertawa, aku terlalu polos. Kuharap aku bisa cepat pintar untuk mengerti dan mencerna perkataan orang-orang di sekitar. Karena aku sebenarnya terlalu lama mengelola apa yang mereka katakan.
            “Tentang kau akan aman bersamaku,”
            “Baiklah, aku akan pergi bersamamu,” ujarku dengan senang. Justin mendongak dan berjalan dengan cepat menuju arahku. Wajahnya memancarkan keceriaan luar biasa.
            “Benarkah?” tanyanya tak percaya. Aku hanya menganggukan kepalaku dan menyingkirkannya dari hadapanku agar aku bisa menyapu dengan cepat.
            “Sempurna!” gumam Justin. Aku bisa mendengar suaranya yang begitu ceria. Tidak sama saat ia mengejekku Jumat malam yang lalu. Senang melihat Justin yang ceria.

***

            “Kau ingin mengajakku kemana?” tanyaku berteriak di dalam helm yang kupakai. Astaga, helm ini benar-benar longgar di kepalaku. Ia memberikanku helm milik Lyle. Sudah tahu kepala Lyle besar, Justin malah memberikanku helm ini. Malam ini begitu dingin, pantas saja Justin menyuruhku untuk memakai jaket.
            “Kau akan tahu secepatnya, peluk pinggangku dengan erat!” teriak Justin tertawa di depan sana. Aku semakin mengeratkan pelukanku pada Justin dan memejamkan mataku lalu Justin semakin mempercepat kecepatan motornya.
            Tiba-tiba motor Justin berhenti dan aku bisa mendengarkan suara samar-samar music yang membuatku membuka mata. Oh sial. Ternyata Justin membawaku ke sebuah club. Sebaiknya club ini adalah club yang baik. Aku menggumam pada diriku dan aku turun dari atas motor Justin. Aku menunggu Justin yang memakirkan motornya dan melepaskan helmnya. Oh, iya. Aku juga memakai helm. Aku memberikan helmku pada Justin agar ia menyimpannya.
            “Kau akan segera menyukainya!” ujar Justin dengan girang. Aku hanya menganggukan kepalaku. Aku akan aman  bersamanya. Aku harap begitu. “Ayo!” ajaknya menarik tanganku untuk masuk ke dalam club tersebut. Kami melewati para petugas keamanan. Semua orang yang ingin masuk diperiksa, kecuali Justin. Ada apa?
            “Ini adalah milik keluargaku,” bisik Justin yang membuat ini terdengar begitu jelas. Aku menganggukan kepalaku, tidak ingin banyak bicara. Saat kami benar-benar sudah berada di dalam. Sial! Gila, banyak sekali orang yang meliuk-liukan tubuh mereka di dalam ruangan ini bersama dengan lampu disco yang membuat tempat ini remang-remang. Tangan Justin semakin mengerat dan membawaku kepada bar yang berada di sudut ruangan . DJ memutar musik yang bertempo cepat. Membuatku sedikit menggerekan pundakku karena enaknya musik ini.
            Justin menyuruhku untuk duduk di atas kursi bar dan Justin mengangkat dua jarinya kepada bartender. “Kau menyukainya?” tanya Justin tidak duduk namun menyandarkan kepalanya pada tangannya yang dibuat siku-siku olehnya. Aku menganggukan kepalaku dan melihat kesekeliling. Well, tidak seluruhnya aku suka. Karena aku melihat lelaki berengsek yang meremas dada wanita dengan sembarangan.
            “Minumlah,” suruh Justin memberikan segelas kecil minuman berwarna kuning. Apa ini? Air seni? Tidak mungkin. Tanpa berpikir, aku meneguknya. Dan oh sial! Tenggorokanku rasanya terbakar dan Justin langsung tertawa padaku. Baiklah, aku benar-benar tidak cocok di Atlanta. Bagaimana bisa seorang anak New York tak tahu apa-apa tentang seperti ini? Yeah, kecuali jika mereka memang benar-benar dikekang oleh ibunya.
            “Kau baru pertama kali meminum minuman alkohol?” tanyanya tertawa padaku. Aku hanya menganggukan kepalaku dan menundukan kepalaku. Saat Justin mengangkat tangan untuk memesan minuman lagi, aku langsung menahannya.
            “Kumohon jangan berikan aku minuman itu lagi,” ujarku. Ia menganggukan kepalanya lagi.
            “Kalau begitu, mari kita bergabung dengan orang-orang itu,” ajak Justin menarik tanganku untuk turun dari kursi. Aku mengikutinya dan ia mengajakku untuk bergabung dengan orang-orang yang menari. Justin menarik kedua tanganku maju-mundur membuatku tertawa. Ini sungguh menyenangkan. Kemudian Justin memegang salah satu tanganku dan memutar tubuhku, membuatku menjerit kesenangan. Astaga, ini benar-benar menyenangkan. Musik semakin terdengar begitu cepat aku dan Justin menari semakin bersemangat.
            “Aku sudah tahu kau akan menyukainya,” ujar Justin di telingaku untu mengalahkan suara dari musik DJ. Ia memelukku dari belakang dan aku bisa merasakan bibirnya pada leherku. Membuatku bergetar. Tiba-tiba saja music berhenti dan berubah menjadi lagu yang lambat. Astaga, club ini sungguh aneh. Semua orang yang menari dengan cepat tiba-tiba saja sudah mendapatkan pasangannya masing-masing dan menari dengan lambat. Club? Ini yang dinamakan sebuah club? Karena aku berpikir ini adalah prom night.
            “Mereka melakukan system cepat-lambat. Tapi music lambat ini tidak akan berlangsung lama. Maka mari kita buat ini menjadi berharga,” ujar Justin di belakangku dan terus menggerakan tubunya di belakangku dengan lambat. Aku memejamkan mataku untuk menikmatinya. Tak lama, Justin memutar tubuhku untuk berhadapan dengan tubuhnya. Kubuka mataku yang langsung bertemu dengan matanya yang cerah dari kegelapan. “Matamu benar-benar mengagumkan,” pujiku.
            “Benarkah?” tanyanya tak percaya. Aku menganggukan kepalaku.
            “Semua yang ada pada dirimu mengagumkan.” Ujar Justin menarik leherku, mencoba untuk bibirku. Lalu bibir kami benar-benar bertemu.
***

            Aku mendorong tubuh Justin dengan pelan, menjauh dengan bibirku. Aku tidak menginginkan ini. Ini benar-benar salah. Maksudku, setelah apa yang kami lakukan selama beberapa hari ini sungguh salah. Ia sudah menciumku untuk yang kedua kalinya. Dan dalam hubungan pertemanan seharusnya kita tidak melakukan itu. Kakiku membawa tubuhku pergi dari sekumpulan orang yang sekarang sudah meliuk-liukan badannya. Justin meneriaki namaku dan mengikutiku dari belakang.
            Apa ini yang Justin lakukan kepada wanita lain? Membawanya ke club agar ia mabuk dan ingin tidur bersama dengannya? Aku tidak tahu. Justin sudah kelewat batas dan aku juga terlalu bodoh untuk menerima tawarannya. Aku tidak ingin belajar untuk mencari lelaki dengan caranya. Karena tidak semua lelaki sama seperti Justin. Aku berhenti di depan meja bar dan menarik nafasku dalam-dalam.
            “Kate, ada apa?” tanya Justin menyentuh pundakku. Aku membalikan kepalaku.
            “Aku ingin pulang. Ini sudah malam, Lucy pasti sudah mencariku,” ujarku lagi. Ia memberikan wajah bimbang padaku. Tangannya sudah memegang lenganku lalu ia menganggukan kepalanya.
            “Tapi katakan padaku, ada apa?” tanya Justin lagi. Aku menggelengkan kepalaku.
            “Kita akan membicarakannya setelah kita sampai di rumah,” ujarku. Ia mendengus dan menarik tanganku dengan cepat untuk keluar dari club yang bising dengan music. Menurutku, Justin adalah lelaki rendahan. Seperti sebuah lagu yang mengatakan: Lelaki rendahan adalah lelaki yang hanya dapat merusak wanita. Dan itu adalah Justin. Ia telah merusak banyak gadis di kampus dan ia benar-benar rendahan. Aku tidak dapat menerima lelaki sepertinya –itu jika Justin menginginkan aku. Dan mungkin, memang, Justin pernah menarik perhatianku dengan parasnya yang benar-benar mengagumkan.
            “Naiklah,” ujar Justin memotong pemikiranku sambil memberikanku helm. Aku memakai helm yang cukup besar ini di kepalaku dan mulai memegang punggung Justin untuk naik di belakangnya. Kemudian Justin mengendarai motornya dengan kecepatan medium. Kali ini Justin tidak menarik tanganku untuk memeluknya. Kembali aku berpikir. Yeah, benar. Justin adalah lelaki rendahan. Jika lelaki rendahan dapat mendapatkan ‘wanita sempurna’ , aku yakin, mereka berdua akan menjadi dua insan rendahan yang sempurna. Tentu saja. Wanita itu pasti mencintai Justin jika Justin telah menidurinya. Mungkin hanya aku yang belum tidur dengan Justin dan aku adalah yang berikutnya. Aku tidak ingin menjadi salah satu dari banyaknya wanita rendahan yang pernah bersama dengan Justin. Aku bahkan belum tahu siapa Justin sebenarnya. Ia tidak pernah menceritakan kehidupannya padaku.
            Lyle. Mungkin Lyle bisa memberitahunya padaku dan kupikir juga, Lyle akan berbicara dengan santai denganku. Aku tidak tahu mengapa aku melakukan. Well, mungkin aku memiliki satu tujuan. Aku ingin merubah cara kehidupan Justin. Aku pernah melihatnya merokok di parkiran. Dan setumpuk bungkus rokok di atas meja dapur mereka tadi. Bir yang begitu banyak. Bagaimana bisa Justin dapat bertahan hidup dengan barang-barang yang ia sentuh?
            Tak terasa kami telah sampai di depan gedung apartemen kami. Aku turun dari motor Justin dalam keheningan. Sudah tidak ada lagi kendaraan yang melewati jalan raya di hadapan kami. Tentu saja, ini sudah tengah malam. Aku melepaskan helm dan memberikannya pada Justin. Saat aku ingin melangkah masuk ke dalam gedung, tangan Justin kembali menahanku.
            “Ada apa? Katakan padaku, Kate,” ujarnya.
            “Ini tentang kau dan aku,”
            “Apa itu? Jangan buat aku penasaran Kate, aku bukanlah orang yang sabar,” ujar Justin dengan tegas. Aku mendesah pelan dan memundurkan langkahku, mencoba melepaskan pegangan tangan Justin dari lenganku. Kemudian aku menyandarkan bokongku pada motor Justin sambil melipat tanganku di depan dada.
            “Hanya saja Justin, ini bukanlah pertemanan yang sesungguhnya,” ujarku, memberikan raut wajah meminta maaf pada Justin. Aku merasa bersalah karena telah mengatakan kebenaran terhadapnya. Tapi aku juga harus melakukan ini. Aku tidak ingin dicap sebagai wanita jalang yang berjalan dengan seorang Bieber Biker.
            “Lalu kau ingin apa?” tanya Justin dengan frustrasi. Mengapa ia yang frustrasi? Seharusnya aku! Setelah apa yang perbuat padaku. Oh, astaga. Segala ucapan yang Lucy katakan memang benar. Justin adalah lelaki yang berbahaya. Sekarang aku ketakutan. Kata-kata Logan kembali terngiang-ngiang di kepalaku tentang Justin pernah memukul seorang wanita sebelumnya. Aku terdiam, ketakutan untuk menatap Justin, bahkan untuk menjawabnya aku tidak tahu bagaimana caranya.
            Ini terlalu cepat. Aku baru mengenal Justin beberapa hari terakhir dan bertemu dengannya selama dua minggu. Tidak, tidak. Ini sungguh salah.
            “Kate, katakan padaku. Sebenarnya, ada masalah apa tentang pertemanan kita? Aku ingin memperbaikinya,” kata Justin kali ini lebih lembut. Aku mendongakan kepalaku dan melihat wajahnya yang melembut padaku. Baiklah, ia tidak akan memukulku.
            “Kau lelaki rendahan,” bisikku dengan suara yang kecil. Sangat kecil. Bahkan mungkin, hanya aku yang mendengarnya.
            “Apa?” tanya Justin tak mendengar.
            “Aku pikir, kau adalah lelaki yang rendahan Justin. Dengan segala yang kudengar,” ujarku lagi, kali ini suaraku lebih terdengar olehnya. Tangannya menyentuh pundakku, membuatku terkesiap. Namun Justin mengelusnya dengan lembut, membuat pundakku yang tadinya tegap menjadi melemas kembali.
            “Apa yang selama ini kaudengar?” tanyanya.
            “Well, kau tahu,” aku mengangkat kedua bahuku dan tak menatapnya, “kau sering tidur dengan banyak wanita. Kau adalah pembalap liar. Kau merokok. Kau perusak orang lain Justin. Contoh? Aku adalah contohnya,” aku menjelaskan padanya.
            “Terus katakan padaku,” tuntutnya. Aku melipat bibirku ke dalam dan menatap ke bawah.
            “Kau mencoba untuk membawaku ke dalam kehidupanmu yang rusak. Kau lelaki rendahan karena kau seorang perusak. Itu adalah masalahnya Justin. Kau merusak gadis-gadis yang kau tiduri lalu kau membuangnya. Apa itu menurutmu bagus? Dan aku berpikir, mengapa aku ingin berteman dengan seorang rendahan sepertimu? Satu alasan yang ingin kukatakan Justin, aku ingin kau berubah menjadi lelaki yang lebih baik. Bukan berarti aku tidak menerimamu apa adanya sebagai teman Justin,” aku menjelaskannya lebih panjang lagi. Ia terus mendengar.
            “Katakan terus Kate, segalanya padaku. Aku ingin mendengarnya,” tuntutnya lagi. Aku mendongak untuk melihatnya. Oh, astaga. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca dan penuh dengan kesakitan. Apa kata-kataku berlebihan? Oh kumohon, tidak mungkin seorang Bieber Biker di depan seorang gadis polos yang bodoh ini. Tidak mungkin! Ia menganggukan kepalanya, mengisyaratkannya padaku untuk melanjutkan penjelasanku.
            “Dan apa yang kau lakukan padaku Justin, aku tidak begitu menyukainya. Kau menciumku sudah dua kali. Itu bukan seorang teman namanya Justin. Aku merasa kau mencoba untuk merusak diriku secara perlahan-lahan. Sama seperti orang rendahan lakukan. Kita melangkah terlalu cepat. Aku tidak menginginkan ini. Hanya sebuah pertemanan yang sehat. Kau tahu, seperti bercanda, bermain, yah, semacam itu,” ujarku lagi. “Aku percaya padamu Justin. Kau tidak akan memerawaniku bukan sebelum aku mengizinkannya padamu?” tanyaku sambil memberikannya senyuman kecil. Ia menganggukan kepalanya.
            Kemudian keheningan melingkupi kami berdua. Beberapa motor melewati jalan raya dan tertawa-tawa dengan riang. Mereka adalah pembalap liar, aku tahu itu. Aku masih menunggu reaksi Justin yang tak kunjung datang. Mungkin Justin masih ingin mencerna perkataan-perkataanku.
            “Kau benar,” bisiknya, akhirnya. Aku mendesah pelan dan kata-kata syukur terangkat dari tubuhku kepada Tuhan. “Aku memang mencoba untuk merusak dirimu,” ujar Justin yang membuatku terkesiap.
            “Kau benar tentang segalanya, Kate,” tuturnya lagi. Kali ini ia mendesah pelan.
            “Aku tahu. Setidaknya, kau masih dapat menahan dirimu,” bisikku dengan lembut, ingin menghibur dirinya.
            “Oh, Tuhan. Aku sungguh minta maaf, Kate,” ujarnya menatap tak menatap mataku.
            “Tidak apa-apa, aku hanya ingin kau sadar Justin. Apa itu dapat menegurmu dengan keras?” tanyaku lagi. Kali ini tanganku menyentuh dagunya, aku ingin ia menatapku. Aku ingin ia percaya padaku kalau ia telah mendapatkan teguran dariku. Keinginan terbesarku sekarang adalah ia melakukan ini bukan untukku. Tapi untuk dirinya sendiri. Aku mungkin ingin mengenalnya lebih dalam lagi. Aku ingin mengenal segala kekurangannya. Kekurangan bukanlah sesuatu yang dapat menghambat sebuah hubungan. Kekurangan adalah sesuatu yang dapat mempererat sebuah hubungan untuk mencapai pada suatu kebaikan. Tanpa aku tahu kekurangan Justin, aku tidak akan pernah dekat dengannya. Atau pun dia tidak akan pernah bisa dekat denganku. Karena aku ingin tahu, masih ada aku yang ingin memperhatikannya.
            “Sangat keras,” akhirnya ia berucap. “Oh Kate!” Justin menarikku ke dalam pelukannya. Aku memeluk pinggangnya dengan erat sedangkan lengannya memeluk leherku dengan erat. Astaga, tubuhnya benar-benar besar. Rasanya aku tenggelam sekarang dalam tubuhnya yang besar.
             “Aku yakin kau bisa berubah Justin,” gumamku mengelus punggungnya, mencoba untuk menenangkannya.
            “Aku berjanji padamu untuk merubah diriku. Sekarang, tidak ada niatan lagi untuk menidurimu. Kau benar-benar racun yang baik, Kate!” serunya menggoyang-goyangkan tubuhnya, membuatku tertawa. Oh, astaga. Semoga ini adalah awal yang baik untuk memulai segalanya. “Aku tidak akan merokok untukmu lagi, Kate. Aku berjanji, asal kau tetap menjadi temanku. Bahkan sekarang aku merasa kau adalah sahabatku,”

            “Oh, tentu saja Justin. Kita bisa menjadi sahabat,” ujarku girang. Setelah menit yang panjang kami lewati, akhir suara Justin kembali berkumpul dengan penuh semangat. Kuharap Justin dapat merubah kebiasaannya. 

2 komentar:

  1. aaaaaaaaaaa mau dong sahabatan sama justin, kyle, logan.

    BalasHapus
  2. Uwuw gila ini keren alur ceritanyaa. Moga aja justin berubah hmm

    BalasHapus