***
“Masuklah,”
suruh Justin membuka pintu apartemennya. Aku masuk dan mendapati apartemennya yang
seperti …kapal Titanic yang ingin tenggelam. Astaga, benarkah ini apartemen
mereka? Karena sungguh, ini benar-benar tidak rapi. Dan untuk yang pertama
kalinya, aku masuk ke dalam apartemen lelaki. Ternyata benar kata ibuku, wanita
lebih rapi dibanding pria. Justin menutup pintunya, lalu menguncinya. Itu
membuatku terkesiap begitu saja.
“Duduklah,”
suruhnya, lagi. Di mana? Sofanya benar-benar ..kotor. Entahlah, ada aroma aneh
di sini. “Oh, maafkan aku. Tidak ada sofa lain selain sofa itu. Aku sering berhubungan
badan di atas sana,” jelas Justin yang membuat jantungku berdebar lebih
kencang. Apa-apaan? Sering berhubungan badan di atas sofa? Gila! Tapi
akhir-akhir ini aku tidak melihat Justin menarik seorang gadis ke dalam
apartemennya. Maksudku, aku tidak mendengar suara aneh dari apartemen Justin.
“Kau
ingin aku duduk di sana?” tanyaku menunjukan sofanya. Sungguh, aku tidak ingin
duduk di sana jika itu memiliki bekas hasil dari senggamanya dengan wanita
lain. Menjijikan. Ia memberikanku satu jari telunjuk, mengisyaratkan aku untuk
menunggu, ia masuk ke dalam kamarnya. Kemudian ia keluar dengan selimut yang
berada di tangannya. Lalu ia melapisi sofa tersebut dengan selimutnya.
“Tidak
ada alasan lagi. Itu selimut bersih,” ujarnya lagi. Aku menganggukan kepalaku,
percaya padanya, kemudian aku menjatuhkan bokongku ke atas sofanya. “Bir? Es
jeruk? Katakan saja minuman apa yang kau mau,” ujar Justin memasuki dapurnya.
“Air
putih tidak apa-apa,” ujarku, mataku melihat ke sekeliling ruangan, “Mengapa
tampaknya apartemenmu berantakan?” tanyaku, akhirnya.
“Yeah,
benar. Kau tahulah anak lelaki seperti apa,” kata Justin menyeringai padaku.
Aku menganggukan kepalaku, mengerti. Mungkin besok aku bisa membersihkan
apartemennya, sekedar untuk membantunya. Karena sungguh, aku benci jika ada
suatu tempat yang tidak rapi. Aku senang dengan kerapian.
“Kalau
besok aku rapikan apartemenmu, apa kau izinkan?” tanyaku melihatnya berjalan ke
arahku sambil membawakan segelas air putih padaku. Aku mengambilnya, kebetulan
aku sedang haus. Ia membulatkan matanya dan kedua alisnya kembali terangkat.
“Tentu
saja. Kita bisa melakukannya bersama-sama,” kata Justin dengan ceria. Aku
tersenyum dan Justin mengambil gelasku lalu menegukan sisa air minumnya.
Baiklah, mungkin aku harus terbiasa dengan ini. “Aku suka meminum air dari
gelas bekasmu. Rasanya lebih nikmat dari pada biasanya,”
“Benarkah?”
“Yeah,
seperti air putih ditambah oleh madu,”
“Aku
juga ingin merasakannya,” ujarku dengan polos. Tapi serius, apa benar rasanya
seperti itu? Atau dia hanya bermain-main? Menggodaku?
“Kau
ingin?” tanyanya, aku menganggukan kepalaku. Tapi Justin malah berlari kecil
menuju dapurnya dan menaruh gelas di atas meja dapur lalu kembali padaku,
berlari kecil. “Baiklah. Seperti yang kujanjikan kemarin malam. Kau ingin
mendapatkan lelaki dengan cepat? Kau pernah berciuman sebelumnya?” tanya Justin
yang membuatku bingung. Bukankah tadi dia bilang ingin memberikanku air putih
rasa madu? Tapi kemudian aku berpikir kembali. Bodohnya aku! Tidak mungkin ada
air putih terasa seperti madu. Tolol! Aku menganggukan kepalaku. Aku pernah
berciuman dan aku bukanlah pencium yang ulung.
“Apa
kau pintar berciuman?” tanyanya, berlutut di depanku. Aku menggelengkan
kepalaku. Sekarang kepalaku sudah sejajar dengan kepalanya. Mataku bertemu
dengan matanya yang berwarna madu itu. Warna terindah yang pernah kutahu,
setelah Lyle. Lyle memiliki warna mata biru laut dan itu menakjubkan.
“Aku
akan menciummu, hanya untuk belajar. Okay? Lelaki menyukai wanita yang pintar
berciuman,” jelas Justin. Aku menganggukan kepalaku. Kudengar nafas Justin yang
tak beraturan, tiba-tiba saja Justin menarik kepalaku dan mencium bibirku.
Membuatku harus memajukan tubuhku. Aku memejamkan mataku.
“Buka
mulutmu,” suruhnya. Aku membuka mulutku dan mendapati lidahnya yang
menggelitiki lidahku. Namun rasanya begitu nikmat. Tanganku sekarang melingkar
pada leher Justin dan Justin memperdalam ciuman nikmat ini. Oh, Tuhan. Ini
benar-benar berlebihan. Ada getaran aneh yang meliputi diriku. Mulutnya
mengisap bibirku dengan lembut dan menggigitinya, membuatku mengerang sedikit.
Oh, mengapa aku?
Setelah
tak mendapatkan nafas, aku dan Justin melepaskan ciuman ini. Nafasku
terengah-engah. Mataku menatap Justin dengan tatapan tak percaya. Ciuman
terindah yang pernah kurasakan. Hening.
“Wow!”
aku tidak percaya, “Yeah, wow!” Justin mengikutiku, nafasnya juga
terengah-engah.
***
“Kau
menyukai itu?” tanya Justin tersenyum manis padaku. Aku menganggukan kepalaku
malu-malu. Masih tak percaya apa yang baru saja aku dan Justin lakukan. Itu
adalah ciuman terbaik yang pernah kudapatkan. Mengingat bibirnya yang menyentuh
bibirku menghasilkan getaran yang sungguh hebat dalam tubuhku. Kemudian Justin
terduduk di sampingku dan menyalakan televisi. Tapi ia mematikan suaranya
sehingga hanya gambar televisi saja yang terlihat.
Ciuman
tadi rasanya benar-benar menguras seluruh tenagaku. Sehingga aku langsung
menjatuhkan kepalaku pada bahu Justin.
“Aku
tidak percaya temanku mencium teman sendiri,” gumamku dengan suara kecil. Dapat
kurasakan detak jantung Justin dari bahunya. Jantungnya berdetak begitu
kencang, padahal nafasnya begitu stabil. Tak dapat kugambarkan seberapa
senangnya aku saat ini. Tapi aku benar-benar mengantuk. Aku butuh tidur.
“Kau
pernah bercumbu?” tanya Justin. Mataku yang tadinya setengah tertutup kembali
terbuka seutuhnya. “Tidak,” bisikku. Seluruh tubuhku menyuruhku untuk tidur
sekarang.
“Apa
kau lelah?” tanya Justin. Aku menganggukan kepalaku. Kemudian Justin menarik
pinggangku dengan kedua tangannya tiba-tiba. Ia memutar tubuhku agar aku bisa
terlentang di atas sofanya. Kuselonjorkan kakiku agar posisiku lebih nyaman.
Justin memposisikan kepalaku pada pahanya, mataku terpejam.
“Tunggu
dulu,” katanya sambil mengangkat kepalaku lalu menarik cepat ikatan rambutku
yang masih berada di kepalaku. Kemudian ia menyandarkan kepalaku pada pahanya.
Tangannya yang besar itu mengelus keningku dengan lembut. Membuatku semakin
masuk ke alam bawah sadar. Kudengar Justin bersenandung kecil, ia semakin
membawaku ke dalam tidurku. Lalu ..
***
“Apa-apaan?!”
teriak seseorang yang membuatku terkejut. Aku terbangun dari tidurku dan aku
melihat ke sekelilingku. Bukan di ruang tamu Justin. Kurasa ini adalah kamar
Justin. Tempat tidur Justin tidak besar dan ..oh Tuhan, siapa yang berteriak
itu? Aku terkesiap dan langsung bangkit dari tempat tidur Justin. Menghantarkan
kakiku menuju pintu kamar Justin dan membukanya dengan pelan. Kubuka pintunya
sedikit dan melihat Justin, Lyle dan seorang lelaki yang lain –entah
siapa—dengan seorang wanita yang kukenal. Angela. Mengapa ia marah-marah pagi
seperti ini?
“Aku
tidak percaya kau membawa dia ke sini, kupikir kita berpacaran!” bentak Angela
pada Justin. Aku tidak mendengar Justin berkata apa karena dia berbicara dengan
suara yang begitu pelan. Tangannya memegang lengan Angela, membuat Angela
meringis. Lyle dan temannya yang lain terdiam di atas sofa, sesekali melirik
seperti orang bodoh.
“Aku
tidak mau! Jalang itu berada di dalam sana! Sial, selama ini benar apa yang
dikatakan teman-temanku,” ujar Angela lagi dengan suaranya yang benar-benar
cempreng. Astaga, benarkah itu suaranya? Sungguh jika ia marah, ia terlihat
begitu menyeramkan. Mengapa Justin menyukainya? Hebat sekali.
“Aku
bilang pergi kau jalang!” Justin membentak Angela, membuat Angela tersentak.
Matanya membulat tak percaya dengan apa yang Justin baru saja katakan. Aku
menutup mulutku dengan tangan, merasa tak percaya juga dengan apa yang Justin
katakan padanya. Itu pasti sangat menyakitkan. Beberapa detik kemudian Angela
menarik lengannya dari pegangan tangan Justin kemudian pergi keluar dari
apartemen Justin, membanting pintu apartemen Justin dengan kasar. Justin
mendesah pelan dan menggelengkan kepalanya.
“Akting
yang bagus bro,” puji Lyle dengan sarkastik. Justin hanya mendiamkannya dan
menjatuhkan bokongnya ke atas sofa, di sebelah Lyle.
“Bieber
Biker marah, harus pergi menjauh,” gumam lelaki yang lain, bangkit dari sofa
dan pergi ke dapur. Tak ingin berlama-lama di dalam kamar mengintip, aku
membuka pintu lebih lebar. Justin mendongak dan melihatku dengan senyum kali
ini. Kulirik Lyle yang tercengang melihatku. Ada apa?
“Hey,”
sapanya dengan lembut. Ia bangkit dari sofa dan berjalan ke arahku. “Bagaimana
tidurmu?” tanya Justin merangkulku. Kuangkat kedua bahuku dan tersenyum kecil.
Justin membawaku ke sofa dan kami terduduk bersebelahan. Aku diapit oleh Lyle
dan Justin sekarang.
“Hey,
pakaian yang bagus,” ujar Lyle yang membuatku langsung melihat ke bawah. Sial!
Aku hanya memakai celana dalam dan kaosku yang kemarin kupakai. Astaga, apa
Justin yang membukanya? Ya, tentu saja ia yang lakukan itu. Justin meninju bahu
Lyle dan aku berdiri untuk mengambil celana jins-ku entah di mana.
“Di
mana kau taruh celana jinsku?” tanyaku. Untung saja aku mengambil paruh waktu
siang hari. Jika tidak, gajiku mungkin akan dipotong.
“Di
atas meja belajarku,” ujar Justin. Aku menganggukan kepalaku, masuk ke dalam
kamar Justin kembali dan mendapati celana jins-ku di atas meja belajar Justin.
Aku ingin tertawa. Hebat. Seorang Bieber Biker memiliki meja belajar. Tapi aku
harus berpikir positif. Bieber pasti ingin lulus juga bukan? Untuk apa ia
susah-susah mencari nilai kepada ayahku jika sebenarnya ia tidak ingin belajar?
Apalag ia mendapatkan nilai A+. Oh sial! Mengapa aku tidak pernah berpikir
seperti ini sebelumnya? Pasti ayahku memiliki nilai-nilai milik Justin! Astaga!
Aku pasti tahu ia sepintar apa seorang Justin. Dan aku juga seharusnya
bertanya-tanya pada ayahku tentang Justin. Mengapa aku merasa aku adalah orang
terbodoh di dunia ini? Aku mengancing celana jins-ku dan berjalan keluar dari
kamar Justin.
Melihat
Justin yang sudah tertawa-tawa dengan Lyle. Tapi aku tidak suka candaan mereka.
Mereka saling memukul. Dan teman Justin yang lain kurasa sedang mandi karena
aku mendengar shower yang menyala. Mereka berhenti saat aku berdiri di depan
mereka berdua dan berhenti tertawa. Justin menyeka hidungnya dan matanya. Ia
tertawa hingga menangis? Berarti selama ini ia memiliki teman yang benar-benar
menyenangkan. Aku baru bertemu dengan Lyle kemarin, tapi rasanya aku begitu dekat
dengan Lyle sekarang.
“Kalian
mengapa melakukan itu?” tanyaku, bingung.
“Itu
cara kami untuk bercanda. Dan dia menggodamu,” ujar Justin yang membuatku
semakin bingung. Apa yang ia bicarakan?
“Hey!
Kau yang membuka celana jins-nya, dia tidak sadar, aku hanya menikmati
pemandangan. Dia bukan pacarmu, jadi itu terserah aku untuk melihat pahanya
atau tidak,” Lyle menyela. Sekarang aku mengerti. Justin bertengkar karena Lyle
baru saja melihat pahaku yang telanjang tadi. Dan sialnya, aku sekarang cukup
marah dengan Justin yang tiba-tiba saja –OH TUHAN! Astaga, apa yang Justin
lakukan padaku? Mataku membulat dan menatap Justin dengan tatapan Apa yang Kau
Lakukan?
“Tidak,
astaga tidak, Kate! Aku tidak melakukan itu tanpa izinmu,” ujar Justin langsung
menggelengkan kepalanya. Lyle tertawa terbahak-bahak. Terkadang, menjadi gadis
yang polos cukup menyedihkan. Karena aku tidak pernah mengerti apa yang mereka
tertawakan atau bicarakan.
“Mengapa
ia tertawa?”
“Ia
tidak percaya dengan ucapanku tadi,” gumam Justin. Aku tertawa pelan dan
menendang kaki Lyle, tapi tidak begitu keras. Lyle berhenti tertawa dan
berusaha untuk menahan tawanya.
“Aku
percaya padamu, Justin,” ujarku sambil terduduk di tengah-tengah mereka berdua.
Kuhembuskan nafasku, aku lapar. Tadi malam aku tidak makan. Aku ketiduran dan
mungkin, Justin dan Lyle menikmati makanan mereka tanpa mengajakku. Mungkin
mereka enggan untuk membangunkan karena takut aku marah. Mungkin.
“Aku
ingin tahu bagaimana rasanya jika –“
“Astaga,
Kate! Jangan bilang kau ingin melakukan itu dengan Justin. Kau akan ..lebih
baik denganku. Aku yang mengajarkan Justin untuk melakukan itu dengan baik,”
ujar Lyle yang membuatku tersentak. Lyle yang mengajarkan Justin berhubungan
badan? Astaga! Apa-apaan itu? Lyle homo? Ini benar-benar menyeramkan.
“Kau
yang mengajarkan Justin? Kalian berhubungan…” aku tak dapat menyambungkan
kata-kataku lagi. Ini terlalu berlebihan. Astaga, benarkah mereka berhubungan
badan sesama lelaki? Itu sungguh menyedihkan.
“Astaga,
tidak Kate!” seru Justin. Tiba-tiba saja teman Justin yang baru saja keluar
dari kamar mandi tertawa-tawa. Ternyata dari tadi ia mendengarkan percakapan
kami. Lyle menepuk keningnya dengan kencang.
“Kau
dari New York. Tapi mengapa kau polos sekali? Bukankah New York lebih liar
dibanding dengan Atlanta?” tanya Lyle kebingungan. Aku hanya dapat mengangkat
kedua bahuku, meminta maaf kepada mereka. “Itu Logan,” ujar Lyle memperkenalkan
lelaki yang memakai handuk yang tergantung di pinggangnya. Logan melambaikan
tangannya padaku dan masuk ke dalam kamarnya. Aku membalas lambaian tangannya
namun dengan cepat Justin menurunkan tanganku sehingga jatuh ke atas pahaku.
“Lyle
berbohong. Dia tidak pernah mengajarkan sesuatu padaku, pfft!” Justin mengejek
Lyle sambil menggelengkan kepalanya. Tangan Lyle melayang pada pipi Justin yang
membuatku tertawa. Mereka benar-benar lucu.
“Ada
apa Angela datang ke sini?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Membuat
mereka berdua terdiam. Hening membentang di antara kami sampai pada saat Logan
kembali membuka pintu kamarnya dengan pakaian yang rapi. Kami bertiga
menatapnya, membuatnya tampak bingung.
“Apa?”
tanyanya. Kami bertiga tidak menatapnya lagi.
“Jadi
apa yang Angela lakukan ke sini?” tanyaku kembali ke dalam topik pembicaraan.
Logan bergabung dengan kami.
“Yeah,
semua orang tahu sekarang aku berteman denganmu. Selama ini ia berpikir aku dan
dia memiliki hubungan yang khusus. Tapi sumpah demi Tuhan, aku tidak pernah
menginginkannya dalam hidupku. Aku hanya ingin berhubungan badan dengannya,
hanya itu saja. Tidak lebih,”
“Oh
kau benar-benar berengsek,” sela Logan.
“Yeah,
benar,” Lyle menyetujui.
“Aku
bahkan sudah tidak tahu berapa wanita yang ia mainkan selama tiga tahun ini,”
ujar Logan lagi. Lyle menganggukan kepalanya, menyetujui Logan lagi. Oh, berapa
wanita yang telah Justin permainkan? Astaga, ini sungguh menyeramkan. Apa
Justin terserang penyakit Aids? Itu pasti akan sangat berbahaya.
“Bahkan
Justin pernah memukul seorang wanita kare—“
“Bisakah
kalian berdua berhenti?! Kalian membuatnya ketakutan!” teriak Justin menyuruh
Lyle dan Logan berhenti. Sontak Logan menutup mulutnya di bawah sana, ia duduk
di atas lantai. Aku menelan ludahku. Benar. Aku cukup ketakutan karena perkataan
Logan tentang memukul seorang wanita. Tapi aku penasaran, mengapa Justin
memukul wanita itu. Pasti sangat menyakitkan.
“Kau
tidak akan memukulku bukan Justin?” tanyaku menatap Justin. Justin mengangkat
salah satu alisnya padaku. Baiklah, berarti itu jawabannya adalah tidak.
“Tapi
aku sudah tidak melihatmu membawa wanita ke dalam apartemenmu,”
“Itu
karena ia ingin mendapatkanmu, Kate,” jawab Logan yang membuat Justin menendang
lengannya dengan pelan. Logan dan Lyle tertawa. Oh, Justin Bieber digoda oleh
kedua temannya, benar-benar lucu.
“Whoop!
Ketahuan!” ujar Lyle mengejek Justin.
“Sial
kalian berdua! Aku ingin mandi,” ujar Justin menendang Logan lagi dan memukul
Lyle hingga Lyle meringis kesakitan. Namun mereka berdua hanya tertawa
sedangkan Justin masuk ke dalam kamar mandinya. Oh, tadi benar-benar lucu.
***
Oke.
Ini dia. Aku telah dicap sebagai wanita-yang-berjalan-dengan-Bieber-Biker oleh
Angela. Dan ia memanggilku dengan jalang. Aku tahu seberapa terkenalnya Angela
di kampus. Tentu saja ia terkenal. Banyak yang bilang banyak sekali lelaki yang
menginginkan Angela sebagai pacarnya karena memiliki postur tubuh yang ideal.
Well, aku memang tidak memiliki tubuh se-ideal Angela. Tapi setidaknya, aku
tidak begitu pendek dan gemuk.
Aku
memikirkan kata-kata Logan tadi. Justin telah bermain dengan banyak wanita
selama tiga tahun. Itu membuatku bergidik. Aku membayangkan seberapa
berengseknya dia. Seberapa banyak wanita yang telah ia permainkan. Sungguh,
Justin benar-benar harus berubah. Aku telah mengambil beberapa peralatan dari
apartermenku untuk membersihkan apartemennya yang hancur itu. Lyle harus pergi
karena harus bekerja pagi ini dan Logan akan membantu kami berdua. Aku telah
memakai sarung tangan karet berwarna putih agar tanganku tidak begitu kotor.
Aku juga telah memakai penutup kepala agar tidak ada debu yang terkena
rambutku. Rasanya aku akan berperang sekarang.
Membawa
lap kaca dan penyemprot kaca, tak lupa juga aku membawa lap untuk membersihkan
lemari-lemari mereka dan meja dapur mereka. Intinya banyak sekali peralatan
yang kubawa pada apartemen Justin. Kubuka pintu apartemen Justin yang tak
terkunci.
“Kau
sudah siap?” tanya Justin yang membuatku menganga melihat pakaian yang ia
pakai. Apa yang ia pikir ia lakukan? Ia memakai pakaian seperti petani. Baju
kodok jins dengan sarung tangan untuk bertani berwarna orange, dan juga topi
petani! Apa maksudnya ia melakukan itu?
“Apa
kau yakin kau memakai pakaian itu?” tanyaku tak yakin. Ia menganggukan
kepalanya dengan semangat. Aku menganggukan kepalaku, pasrah. Astaga. “Apa yang
kau bisa lakukan? Kau bisa membersihkan sofa terlebih dahulu,” ujarku lagi
sambil menaruh barang-barang yang kubawa ke sisi televisi dengan rapi. Justin
menganggukan kepalanya dan Logan muncul dari dapur. Oh, Tuhan. Sebenarnya, apa
mataku yang rusak atau memang mereka sengaja berpakaian seperti itu?
“Kita
dari Montana,” ujar Logan. Justin tertawa dan menggelengkan kepalanya.
“Tentu
saja tidak! Kami hanya ingin berpakaian yang layak untuk hari bersih sekarang,
bersamamu. Tapi aku terlihat berbeda,” kata Justin menganggukan kepalanya pada
Logan, mengisyaratkan Logan untuk mengangkat sofa itu untuk di bawa keluar.
Yeah, sofa itu harus dibersihkan.
“Tapi
hari ini bukan hari petani Justin,” ujarku memakai masker yang kusimpan di
dalam kantong celana jins-ku lalu memakainya untuk menutupi hidungku. Justin
dan Logan sudah keluar dan menempatkan sofa mereka di lorong kemudian mereka
masuk kembali.
“Logan,
kau bersihkan kamar mandi,” perintahku pada Logan. “Justin, kau bisa membersihkan
kamarmu,” lanjutku memerintah Justin juga.
“Tapi
aku tidak bisa melihatmu jika aku membersihkan kamarku,” sungut Justin. Aku
memutar mataku. Logan sudah masuk ke dalam kamar mandi, kuharap ia tahu
bagaimana caranya membersihkan kamar mandi.
“Kau
bisa membersihkan televisimu kalau begitu, lalu menyapu lantai. Aku memiliki
kencan dengan dapur sekarang,” ujarku sambil mengambil sapu yang terdapat di
dekat kulkas. Sapu yang lucu. Aku mulai berjalan menuju sudut dapur dan menyapu
mulai dari sana. Justin mengambil lap yang kuambil dari apartemenku dan mencoba
untuk membersihkan televisinya. Untungnya, aku telah membasahkan lap yang
kubawa sehingga sedikit lembab.
“Aku
berpikir untuk nanti malam,” ujar Justin yang membuatku mendongak dan masih terus
menyapu.
“Berpikir
tentang?”
“Aku
ingin membawamu ke suatu tempat,”
“Apa
itu berbahaya?” tanyaku ragu-ragu. Keluar malam-malam lagi bersama Justin nanti
malam! Astaga, aku benar-benar tak sabar. Maksudku, sekali pun itu ke club, aku
ingin ke sana. Aku juga ingin mencoba sesuatu yang baru.
“Well,
bagiku tidak. Tapi mungkin menurutmu itu akan berbahaya, tapi kau percaya
kata-kataku bukan?” tanya Justin. Tentang apa? Aku tidak mengerti.
“Tentang?”
tanyaku. Kudengar Justin mendesah pelan, memutarkan matanya. Aku tertawa, aku
terlalu polos. Kuharap aku bisa cepat pintar untuk mengerti dan mencerna
perkataan orang-orang di sekitar. Karena aku sebenarnya terlalu lama mengelola
apa yang mereka katakan.
“Tentang
kau akan aman bersamaku,”
“Baiklah,
aku akan pergi bersamamu,” ujarku dengan senang. Justin mendongak dan berjalan
dengan cepat menuju arahku. Wajahnya memancarkan keceriaan luar biasa.
“Benarkah?”
tanyanya tak percaya. Aku hanya menganggukan kepalaku dan menyingkirkannya dari
hadapanku agar aku bisa menyapu dengan cepat.
“Sempurna!”
gumam Justin. Aku bisa mendengar suaranya yang begitu ceria. Tidak sama saat ia
mengejekku Jumat malam yang lalu. Senang melihat Justin yang ceria.
***
“Kau
ingin mengajakku kemana?” tanyaku berteriak di dalam helm yang kupakai. Astaga,
helm ini benar-benar longgar di kepalaku. Ia memberikanku helm milik Lyle.
Sudah tahu kepala Lyle besar, Justin malah memberikanku helm ini. Malam ini
begitu dingin, pantas saja Justin menyuruhku untuk memakai jaket.
“Kau
akan tahu secepatnya, peluk pinggangku dengan erat!” teriak Justin tertawa di
depan sana. Aku semakin mengeratkan pelukanku pada Justin dan memejamkan mataku
lalu Justin semakin mempercepat kecepatan motornya.
Tiba-tiba
motor Justin berhenti dan aku bisa mendengarkan suara samar-samar music yang
membuatku membuka mata. Oh sial. Ternyata Justin membawaku ke sebuah club.
Sebaiknya club ini adalah club yang baik. Aku menggumam pada diriku dan aku
turun dari atas motor Justin. Aku menunggu Justin yang memakirkan motornya dan
melepaskan helmnya. Oh, iya. Aku juga memakai helm. Aku memberikan helmku pada
Justin agar ia menyimpannya.
“Kau
akan segera menyukainya!” ujar Justin dengan girang. Aku hanya menganggukan
kepalaku. Aku akan aman bersamanya. Aku
harap begitu. “Ayo!” ajaknya menarik tanganku untuk masuk ke dalam club
tersebut. Kami melewati para petugas keamanan. Semua orang yang ingin masuk
diperiksa, kecuali Justin. Ada apa?
“Ini
adalah milik keluargaku,” bisik Justin yang membuat ini terdengar begitu jelas.
Aku menganggukan kepalaku, tidak ingin banyak bicara. Saat kami benar-benar
sudah berada di dalam. Sial! Gila, banyak sekali orang yang meliuk-liukan tubuh
mereka di dalam ruangan ini bersama dengan lampu disco yang membuat tempat ini
remang-remang. Tangan Justin semakin mengerat dan membawaku kepada bar yang
berada di sudut ruangan . DJ memutar musik yang bertempo cepat. Membuatku
sedikit menggerekan pundakku karena enaknya musik ini.
Justin
menyuruhku untuk duduk di atas kursi bar dan Justin mengangkat dua jarinya
kepada bartender. “Kau menyukainya?” tanya Justin tidak duduk namun
menyandarkan kepalanya pada tangannya yang dibuat siku-siku olehnya. Aku
menganggukan kepalaku dan melihat kesekeliling. Well, tidak seluruhnya aku
suka. Karena aku melihat lelaki berengsek yang meremas dada wanita dengan
sembarangan.
“Minumlah,”
suruh Justin memberikan segelas kecil minuman berwarna kuning. Apa ini? Air
seni? Tidak mungkin. Tanpa berpikir, aku meneguknya. Dan oh sial! Tenggorokanku
rasanya terbakar dan Justin langsung tertawa padaku. Baiklah, aku benar-benar
tidak cocok di Atlanta. Bagaimana bisa seorang anak New York tak tahu apa-apa
tentang seperti ini? Yeah, kecuali jika mereka memang benar-benar dikekang oleh
ibunya.
“Kau
baru pertama kali meminum minuman alkohol?” tanyanya tertawa padaku. Aku hanya
menganggukan kepalaku dan menundukan kepalaku. Saat Justin mengangkat tangan
untuk memesan minuman lagi, aku langsung menahannya.
“Kumohon
jangan berikan aku minuman itu lagi,” ujarku. Ia menganggukan kepalanya lagi.
“Kalau
begitu, mari kita bergabung dengan orang-orang itu,” ajak Justin menarik
tanganku untuk turun dari kursi. Aku mengikutinya dan ia mengajakku untuk
bergabung dengan orang-orang yang menari. Justin menarik kedua tanganku
maju-mundur membuatku tertawa. Ini sungguh menyenangkan. Kemudian Justin
memegang salah satu tanganku dan memutar tubuhku, membuatku menjerit
kesenangan. Astaga, ini benar-benar menyenangkan. Musik semakin terdengar
begitu cepat aku dan Justin menari semakin bersemangat.
“Aku
sudah tahu kau akan menyukainya,” ujar Justin di telingaku untu mengalahkan
suara dari musik DJ. Ia memelukku dari belakang dan aku bisa merasakan bibirnya
pada leherku. Membuatku bergetar. Tiba-tiba saja music berhenti dan berubah
menjadi lagu yang lambat. Astaga, club ini sungguh aneh. Semua orang yang
menari dengan cepat tiba-tiba saja sudah mendapatkan pasangannya masing-masing
dan menari dengan lambat. Club? Ini yang dinamakan sebuah club? Karena aku berpikir
ini adalah prom night.
“Mereka
melakukan system cepat-lambat. Tapi music lambat ini tidak akan berlangsung
lama. Maka mari kita buat ini menjadi berharga,” ujar Justin di belakangku dan
terus menggerakan tubunya di belakangku dengan lambat. Aku memejamkan mataku
untuk menikmatinya. Tak lama, Justin memutar tubuhku untuk berhadapan dengan
tubuhnya. Kubuka mataku yang langsung bertemu dengan matanya yang cerah dari
kegelapan. “Matamu benar-benar mengagumkan,” pujiku.
“Benarkah?”
tanyanya tak percaya. Aku menganggukan kepalaku.
“Semua
yang ada pada dirimu mengagumkan.” Ujar Justin menarik leherku, mencoba untuk
bibirku. Lalu bibir kami benar-benar bertemu.
***
Aku
mendorong tubuh Justin dengan pelan, menjauh dengan bibirku. Aku tidak
menginginkan ini. Ini benar-benar salah. Maksudku, setelah apa yang kami
lakukan selama beberapa hari ini sungguh salah. Ia sudah menciumku untuk yang
kedua kalinya. Dan dalam hubungan pertemanan seharusnya kita tidak melakukan
itu. Kakiku membawa tubuhku pergi dari sekumpulan orang yang sekarang sudah
meliuk-liukan badannya. Justin meneriaki namaku dan mengikutiku dari belakang.
Apa
ini yang Justin lakukan kepada wanita lain? Membawanya ke club agar ia mabuk
dan ingin tidur bersama dengannya? Aku tidak tahu. Justin sudah kelewat batas
dan aku juga terlalu bodoh untuk menerima tawarannya. Aku tidak ingin belajar
untuk mencari lelaki dengan caranya. Karena tidak semua lelaki sama seperti
Justin. Aku berhenti di depan meja bar dan menarik nafasku dalam-dalam.
“Kate,
ada apa?” tanya Justin menyentuh pundakku. Aku membalikan kepalaku.
“Aku
ingin pulang. Ini sudah malam, Lucy pasti sudah mencariku,” ujarku lagi. Ia
memberikan wajah bimbang padaku. Tangannya sudah memegang lenganku lalu ia
menganggukan kepalanya.
“Tapi
katakan padaku, ada apa?” tanya Justin lagi. Aku menggelengkan kepalaku.
“Kita
akan membicarakannya setelah kita sampai di rumah,” ujarku. Ia mendengus dan
menarik tanganku dengan cepat untuk keluar dari club yang bising dengan music.
Menurutku, Justin adalah lelaki rendahan. Seperti sebuah lagu yang mengatakan:
Lelaki rendahan adalah lelaki yang hanya dapat merusak wanita. Dan itu adalah
Justin. Ia telah merusak banyak gadis di kampus dan ia benar-benar rendahan.
Aku tidak dapat menerima lelaki sepertinya –itu jika Justin menginginkan aku.
Dan mungkin, memang, Justin pernah menarik perhatianku dengan parasnya yang
benar-benar mengagumkan.
“Naiklah,”
ujar Justin memotong pemikiranku sambil memberikanku helm. Aku memakai helm
yang cukup besar ini di kepalaku dan mulai memegang punggung Justin untuk naik
di belakangnya. Kemudian Justin mengendarai motornya dengan kecepatan medium.
Kali ini Justin tidak menarik tanganku untuk memeluknya. Kembali aku berpikir.
Yeah, benar. Justin adalah lelaki rendahan. Jika lelaki rendahan dapat
mendapatkan ‘wanita sempurna’ , aku yakin, mereka berdua akan menjadi dua insan
rendahan yang sempurna. Tentu saja. Wanita itu pasti mencintai Justin jika
Justin telah menidurinya. Mungkin hanya aku yang belum tidur dengan Justin dan
aku adalah yang berikutnya. Aku tidak ingin menjadi salah satu dari banyaknya
wanita rendahan yang pernah bersama dengan Justin. Aku bahkan belum tahu siapa
Justin sebenarnya. Ia tidak pernah menceritakan kehidupannya padaku.
Lyle.
Mungkin Lyle bisa memberitahunya padaku dan kupikir juga, Lyle akan berbicara
dengan santai denganku. Aku tidak tahu mengapa aku melakukan. Well, mungkin aku
memiliki satu tujuan. Aku ingin merubah cara kehidupan Justin. Aku pernah
melihatnya merokok di parkiran. Dan setumpuk bungkus rokok di atas meja dapur
mereka tadi. Bir yang begitu banyak. Bagaimana bisa Justin dapat bertahan hidup
dengan barang-barang yang ia sentuh?
Tak
terasa kami telah sampai di depan gedung apartemen kami. Aku turun dari motor
Justin dalam keheningan. Sudah tidak ada lagi kendaraan yang melewati jalan
raya di hadapan kami. Tentu saja, ini sudah tengah malam. Aku melepaskan helm
dan memberikannya pada Justin. Saat aku ingin melangkah masuk ke dalam gedung,
tangan Justin kembali menahanku.
“Ada
apa? Katakan padaku, Kate,” ujarnya.
“Ini
tentang kau dan aku,”
“Apa
itu? Jangan buat aku penasaran Kate, aku bukanlah orang yang sabar,” ujar
Justin dengan tegas. Aku mendesah pelan dan memundurkan langkahku, mencoba
melepaskan pegangan tangan Justin dari lenganku. Kemudian aku menyandarkan
bokongku pada motor Justin sambil melipat tanganku di depan dada.
“Hanya
saja Justin, ini bukanlah pertemanan yang sesungguhnya,” ujarku, memberikan
raut wajah meminta maaf pada Justin. Aku merasa bersalah karena telah mengatakan
kebenaran terhadapnya. Tapi aku juga harus melakukan ini. Aku tidak ingin dicap
sebagai wanita jalang yang berjalan dengan seorang Bieber Biker.
“Lalu
kau ingin apa?” tanya Justin dengan frustrasi. Mengapa ia yang frustrasi?
Seharusnya aku! Setelah apa yang perbuat padaku. Oh, astaga. Segala ucapan yang
Lucy katakan memang benar. Justin adalah lelaki yang berbahaya. Sekarang aku
ketakutan. Kata-kata Logan kembali terngiang-ngiang di kepalaku tentang Justin
pernah memukul seorang wanita sebelumnya. Aku terdiam, ketakutan untuk menatap
Justin, bahkan untuk menjawabnya aku tidak tahu bagaimana caranya.
Ini
terlalu cepat. Aku baru mengenal Justin beberapa hari terakhir dan bertemu
dengannya selama dua minggu. Tidak, tidak. Ini sungguh salah.
“Kate,
katakan padaku. Sebenarnya, ada masalah apa tentang pertemanan kita? Aku ingin
memperbaikinya,” kata Justin kali ini lebih lembut. Aku mendongakan kepalaku
dan melihat wajahnya yang melembut padaku. Baiklah, ia tidak akan memukulku.
“Kau
lelaki rendahan,” bisikku dengan suara yang kecil. Sangat kecil. Bahkan
mungkin, hanya aku yang mendengarnya.
“Apa?”
tanya Justin tak mendengar.
“Aku
pikir, kau adalah lelaki yang rendahan Justin. Dengan segala yang kudengar,”
ujarku lagi, kali ini suaraku lebih terdengar olehnya. Tangannya menyentuh
pundakku, membuatku terkesiap. Namun Justin mengelusnya dengan lembut, membuat
pundakku yang tadinya tegap menjadi melemas kembali.
“Apa
yang selama ini kaudengar?” tanyanya.
“Well,
kau tahu,” aku mengangkat kedua bahuku dan tak menatapnya, “kau sering tidur
dengan banyak wanita. Kau adalah pembalap liar. Kau merokok. Kau perusak orang
lain Justin. Contoh? Aku adalah contohnya,” aku menjelaskan padanya.
“Terus
katakan padaku,” tuntutnya. Aku melipat bibirku ke dalam dan menatap ke bawah.
“Kau
mencoba untuk membawaku ke dalam kehidupanmu yang rusak. Kau lelaki rendahan
karena kau seorang perusak. Itu adalah masalahnya Justin. Kau merusak
gadis-gadis yang kau tiduri lalu kau membuangnya. Apa itu menurutmu bagus? Dan
aku berpikir, mengapa aku ingin berteman dengan seorang rendahan sepertimu?
Satu alasan yang ingin kukatakan Justin, aku ingin kau berubah menjadi lelaki
yang lebih baik. Bukan berarti aku tidak menerimamu apa adanya sebagai teman
Justin,” aku menjelaskannya lebih panjang lagi. Ia terus mendengar.
“Katakan
terus Kate, segalanya padaku. Aku ingin mendengarnya,” tuntutnya lagi. Aku
mendongak untuk melihatnya. Oh, astaga. Aku bisa melihat matanya yang
berkaca-kaca dan penuh dengan kesakitan. Apa kata-kataku berlebihan? Oh
kumohon, tidak mungkin seorang Bieber Biker di depan seorang gadis polos yang
bodoh ini. Tidak mungkin! Ia menganggukan kepalanya, mengisyaratkannya padaku
untuk melanjutkan penjelasanku.
“Dan
apa yang kau lakukan padaku Justin, aku tidak begitu menyukainya. Kau menciumku
sudah dua kali. Itu bukan seorang teman namanya Justin. Aku merasa kau mencoba
untuk merusak diriku secara perlahan-lahan. Sama seperti orang rendahan
lakukan. Kita melangkah terlalu cepat. Aku tidak menginginkan ini. Hanya sebuah
pertemanan yang sehat. Kau tahu, seperti bercanda, bermain, yah, semacam itu,”
ujarku lagi. “Aku percaya padamu Justin. Kau tidak akan memerawaniku bukan
sebelum aku mengizinkannya padamu?” tanyaku sambil memberikannya senyuman
kecil. Ia menganggukan kepalanya.
Kemudian
keheningan melingkupi kami berdua. Beberapa motor melewati jalan raya dan
tertawa-tawa dengan riang. Mereka adalah pembalap liar, aku tahu itu. Aku masih
menunggu reaksi Justin yang tak kunjung datang. Mungkin Justin masih ingin
mencerna perkataan-perkataanku.
“Kau
benar,” bisiknya, akhirnya. Aku mendesah pelan dan kata-kata syukur terangkat
dari tubuhku kepada Tuhan. “Aku memang mencoba untuk merusak dirimu,” ujar
Justin yang membuatku terkesiap.
“Kau
benar tentang segalanya, Kate,” tuturnya lagi. Kali ini ia mendesah pelan.
“Aku
tahu. Setidaknya, kau masih dapat menahan dirimu,” bisikku dengan lembut, ingin
menghibur dirinya.
“Oh,
Tuhan. Aku sungguh minta maaf, Kate,” ujarnya menatap tak menatap mataku.
“Tidak
apa-apa, aku hanya ingin kau sadar Justin. Apa itu dapat menegurmu dengan
keras?” tanyaku lagi. Kali ini tanganku menyentuh dagunya, aku ingin ia
menatapku. Aku ingin ia percaya padaku kalau ia telah mendapatkan teguran
dariku. Keinginan terbesarku sekarang adalah ia melakukan ini bukan untukku.
Tapi untuk dirinya sendiri. Aku mungkin ingin mengenalnya lebih dalam lagi. Aku
ingin mengenal segala kekurangannya. Kekurangan bukanlah sesuatu yang dapat
menghambat sebuah hubungan. Kekurangan adalah sesuatu yang dapat mempererat
sebuah hubungan untuk mencapai pada suatu kebaikan. Tanpa aku tahu kekurangan
Justin, aku tidak akan pernah dekat dengannya. Atau pun dia tidak akan pernah
bisa dekat denganku. Karena aku ingin tahu, masih ada aku yang ingin
memperhatikannya.
“Sangat
keras,” akhirnya ia berucap. “Oh Kate!” Justin menarikku ke dalam pelukannya.
Aku memeluk pinggangnya dengan erat sedangkan lengannya memeluk leherku dengan
erat. Astaga, tubuhnya benar-benar besar. Rasanya aku tenggelam sekarang dalam
tubuhnya yang besar.
“Aku yakin kau bisa berubah Justin,” gumamku
mengelus punggungnya, mencoba untuk menenangkannya.
“Aku
berjanji padamu untuk merubah diriku. Sekarang, tidak ada niatan lagi untuk
menidurimu. Kau benar-benar racun yang baik, Kate!” serunya
menggoyang-goyangkan tubuhnya, membuatku tertawa. Oh, astaga. Semoga ini adalah
awal yang baik untuk memulai segalanya. “Aku tidak akan merokok untukmu lagi,
Kate. Aku berjanji, asal kau tetap menjadi temanku. Bahkan sekarang aku merasa
kau adalah sahabatku,”
“Oh,
tentu saja Justin. Kita bisa menjadi sahabat,” ujarku girang. Setelah menit
yang panjang kami lewati, akhir suara Justin kembali berkumpul dengan penuh
semangat. Kuharap Justin dapat merubah kebiasaannya.
aaaaaaaaaaa mau dong sahabatan sama justin, kyle, logan.
BalasHapusUwuw gila ini keren alur ceritanyaa. Moga aja justin berubah hmm
BalasHapus