Jumat, 02 Agustus 2013

Dominan - Submissive Bab 8 - End

***

            “Ya Tuhan, Anna!” teriak Justin yang membuatku mendongak. Astaga, mengapa dia begitu berlebihan? Aku hanya ingin kiriman paket dari Max. Well, kotaknya memang besar sekali. Aku tidak tahu ini dari siapa tapi ini diperuntukan untukku. Dan astaga, mengapa Justin begitu berlebihan? Aku menaruh kembali kotak ini. Kurasa itu adalah tempat tidur untuk bayi. Astaga, aku senang sekali. Tapi dari siapa? Mungkin orang tua Justin.
            Justin mendekatiku dan melihatku dengan tatapan khawatir dan langsung memegang kedua bahuku. Ini adalah kehamilanku yang kelima bulan dan ini adalah hari terakhirnya. Perutku sudah sangat besar.
            “Justin ini hanyalah sebuah kotak, tidak masalah,” ujarku memegang tangannya yang berada di pundakku. “Tidak apa-apa,” lanjutku lagi. Ia mendesah pelan dan menurunkan tangannya pada perutku. Aku tertawa geli akibat elusannya. Tiba-tiba saja perutku ditendang oleh si kecil. Justin terkejut dan matanya langsung melebar. Aku tertawa, meringis.
            “Tidak apa-apa,” bisikku lagi. Justin menghembuskan nafas lega dan lalu tangannya mulai mendekati pada kotak yang dibungkus oleh kertas cokelat. Ia membukanya dengan semangat dan benar saja! Itu adalah tempat tidur untuk si kecil. Justin berjongkok dan mengamati kardus itu. Ia membaca bagian belakangnya dan kemudian ia mendongak. Senyumnya mengembang.
            “Dari orang tuaku,” ujarnya. “Apa kau ingin memasang ini sekarang?” tanyanya. Aku menganggukan kepalaku dengan penuh semangat. Lalu tangan Justin kembali menjamah perutku dan mengelusnya dengan lembut.
            “Yeah, ayahmu mempunyai pekerjaan baru nak. Hargai ayahmu jika kau sudah keluar dari perut ibumu,” ujar Justin dengan suara yang benar-benar serius, “jangan mengompol di atas sana nanti,”
            “Justin!” aku menegurnya. Kemudian Justin tertawa konyol. Aku jadi ikut tertawa konyol bersamanya. Kemudian aku berjalan menaiki tangga. Ah, kakiku benar-benar sakit jika harus menaiki tangga. Perutku terlalu besar. Dan tubuhku begitu mungil. Berat badanku tidak terlalu naik drastis. Justru kata Dr. Connel, badanku tidak mengalami perubahan besar seperti ibu-ibu lainnya. Justin bahkan sering memanjakanku untuk membeli makanan yang si kecil inginkan. Tapi tubuhku tidak banyak mengalami perubahan.
            “Pelan-pelan Anna,” ujar Justin yang berjalan di belakangku. Aku hanya menggumam dan berjalan melewati tangga sambil memegang pinggangku agar perutku lebih menyembul. Itu bisa mengurangi rasa beratnya.
            Ah, akhirnya. Aku mendesah pelan saat aku sudah berada di lantai atas. Huh, cukup melelahkan untuk melewati tangga tadi. Kami berjalan melewati lorong, melewati kamar kami dan masuk ke dalam kamarku yang dulu. Memang kamar ini cukup besar untuk bayi. Tapi tidak apa-apa. Jika kami memiliki dua anak, mereka akan tidur di sini. Mataku menatap ke seluruh penjuru ruangan ini. Kami belum memutuskan untuk mencatnya warna apa. Meski Dr. Connel bilang bahwa anak kami ternyata adalah anak laki-laki. Tapi Justin bilang padaku untuk tidak melakukan itu cepat-cepat. Entahlah, aku ingin tembok ini dicat bergambar anak-anak anjing dengan penuh warna.
            Justin sudah membuka kardus besar itu dan mengeluarkan bagian-bagian dari tempat tidur yang masih terpisah-pisah. Kemudian ia mengambil buku panduan. Aku terduduk di atas tempat tidur yang masih berada di dalam ruangan ini. Menatap Justin yang mulai membagi-bagi bagian tempat tidur si kecil dengan rapi. Ia terlihat begitu tampan jika sudah berkonsentrasi seperti ini.
            Ia seperti malaikat yang tercipta untukku. Sungguh beruntungnya aku akan mendapatkannya dan mendapatkan si kecil. Apalagi si kecil adalah seorang lelaki. Well, apa yang bisa kukatakan? Justin cukup kesal saat ia tahu anak kami adalah anak lelaki. Ia benar-benar cemburu dan kadang ia selalu marah padaku jika aku menolaknya untuk tidak berhubungan badan. Well, yeah, kita masih sering berhubungan badan, kata Dr. Connel tidak apa-apa. Tapi saat kehamilanku menginjak 5 bulan –sebentar lagi akan 6 bulan. Justin bilang padaku kalau aku lebih mencintai anak ini dibanding dirinya. Cukup konyol disaat ia cemburu pada anaknya sendiri. Itu tidak masuk akal. Tapi aku hanya menanggapinya dengan tawaan dan meyakinkan dirinya bahwa aku mencintainya sama seperti aku mencintai anak kami.
            “Apa?” tanya Justin menyadari kalau aku mengamatinya. Aku hanya menggelengkan kepalaku dan tersenyum konyol padanya. “Kau tidak ingin membantuku?”
            “Kau ingin aku membantumu?”
            “Tidak! Sial, tidak!” Justin langsung berteriak, membuatku terkekeh. Dia memang seperti ini. Dia overprotetif. Membuatku sedikit muak dengan tingkahnya. Bahkansaat aku ingin mengambil air minumku sendiri di bawah sana, di dapur, ia berteriak padaku agar aku tidak turun dari lantai atas. Ia tidak ingin aku kesusahan untuk naik ke atas lagi. Ia benar-benar takut aku akan keguguran. Oh, Mr. Bieber-ku yang tampan. Ia terlihat begitu lucu saat ia mengkhawatirkanku.
            “Tidak apa-apa, Justin,” aku menggodanya dan aku mulai bangkit berdiri. Justin yang sedang memegang bagian sisi tempat tidur bayi kami langsung menjulurkan benda itu padaku dan menatapku dengan tatapan garang. Oh, astaga, aku ingin tertawa. Ia benar-benar marah.
            “Anna Bieber, duduk. Jangan sampai aku marah padamu, Anna,” ujarnya lagi. Aku masih berdiri dan tidak mau menuruti perkataannya.
            “Anna,” ia memperingatkanku.
            “Aku hanya ingin membantu suamiku,” ujarku lagi, menggodanya.
            “Ya Tuhan, Anna! Kubilang duduk, apa kau tidak kasihan melihat suamimu yang hanya meminta seorang istrinya untuk duduk? Kau juga bisa melihat pemandangan jika kau duduk manis di atas sana,” ujar Justin memuji dirinya. Sendiri aku tertawa pelan dan menggumamkan sesuatu lalu kembali terduduk. Sengaja, ia membuka bajunya sehingga aku bisa melihat tubuhnya yang berotot. Oh, ya. Justin memiliki tattoo di dadanya. Tulisannya Anna. Yeah, namaku. Dan aku juga memiliki tattoo. Tentu saja bukan di dadaku. Gila saja. Well, di pinggangku. Di sisi pinggangku. Tulisan Prancis, Bieber. Yeah, itu mengartikan bahwa aku adalah milik Bieber.
            “Menikmati pemandangan?” tanya Justin melirik padaku, menggodaku lebih tepatnya. Aku tertawa pelan dan menggelengkan kepalaku.
            “Tidak. Aku sedang berpikir saja,”
            “Berpikir tentang apa?”
            “Tentang kau dan aku –“
            “Adalah sebuah kesempurnaan?” lanjut Justin memotong ucapanku. Kurasa pipiku memerah dan ia menganggukan kepalanya. “Well, Anna. Itu adalah faktanya. Kau dan aku jika disatukan adalah sebuah kesempurnaan yang abadi,”
            “Abadi?”
            “Baiklah, hingga kita meninggal nanti,” ujarnya memutar matanya dan menggelengkan kepalanya lalu kembali pada pekerjaannya. Aku bangkit dan Justin langsung mendongak. Sial, mengapa matanya seperti macan? Ia seperti lumba-lumba yang bisa mendengar gerakanku dari jarak jauh.
            “Kau ingin kemana?” tanyanya mulai bangkit. Aku berjalan mendekatinya dan mulai menggelanyutkan tanganku pada leher Justin dan memiringkan kepalaku ke salah satu sisi dan mengamat-amati wajah Justin. Aku ingin membayangkan wajah anak kami nanti jika lahir. Rambut berwarna cokelat seperti Justin, mata cokelat-emas milik Justin, bibir, hidung, sebuah kesempurnaan. Anak kami akan menjadi anak tertampan yang akan lahir. Well, semua ibu-ibu di dunia ini selalu mengatakan itu kepada anak-anak mereka bukan? Justin menaikan salah satu alisnya, menatapku dengan bingung. Dan alis tebal itu akan diwarisi kepada si kecil.
            “Apa yang kaupikir, Mine?” tanyanya memegang pinggangku. Aku menggelengkan kepalaku.
            “Kau adalah kesempurnaan, Justin,”
            “Tidak, tidak. Bukan itu, dengarkan ini,” ujar Justin, “Aku dan kau adalah kesempurnaan. Aku tanpamu, aku benar-benar hancur. Bukan sebuah kesempurnaan. Maka dari itu, kau harus selalu bersama denganku. Agar aku menjadi sebuah kesempurnaan. Aku tanpamu begitu hampa,” ujarnya begitu manis. Kumajukan wajahku untuk mengecup bibirnya yang manis.
            “Benarkah?”
            “Aku mencintaimu, Anna. Aku tidak sempurna tanpamu,”
            “Begitu pun aku Justin. Aku mencintaimu,”
            “Kata-kata itu..” Justin mulai mencium bibirku dan semakin mendekatkan tubuhku pada tubuhnya.

***

            “Kathleen!” aku berjalan pelan menuju dirinya. Aku tidak dapat berlari. Oh, astaga. Setelah sekian lama aku tidak bertemu dengannya, akhirnya aku dapat menemui Kathleen. Justin akhirnya mengizinkan Kathleen datang. Aku memeluk Kathleen dan tersenyum puas akan kedatangannya. Oh, aku ingin sekali menceritakan kehamilanku yang sudah menginjak 9 bulan. Well, kau tahu apa? Aku dan Justin telah mengecat ruangan si kecil dengan warna biru muda. Dan well, kami dibantu juga oleh tukang cat untuk membuat garis putih sempurna. Kata Justin ia tidak ingin menggambarinya dengan gambar anjing. Ia ingin burung. Well, gambar burungnya sederhana saja. Dan itu benar-benar indah.
            “Pelan-pelan Anna,” tegur Justin yang berada di belakangku. Aku melepaskan pelukanku dari Kathleen dan menarik tangannya untuk berjalan menuju ruang tamu. Tentu saja dengan langkah yang pelan. Justin mengamat-amatiku dengan tatapan serius. Mengapa ia seperti elang? Aku duduk di atas kursi dengan hati-hati bersama dengan Kathleen.
            “Astaga, aku akan menjadi seorang bibi,” ujarnya dengan girang. Justin duduk di sofa seberang kami. Mengangkat salah satu kakinya dan menumpunya pada kakinya yang lain, jari telunjuknya menelusuri bibirnya. Aku menatapnya dengan risih dan memutar bola mataku, ia tersenyum kecil padaku.
            “Yeah, dia laki-laki kau tahu,”
            “Oh aku tak sabar ia akan lahir. Ini bulan yang kesembilan bukan?” tanya Kath terharu dengan kehamilanku. Oh, kumohon jangan seperti ini. Aku hanya menganggukan kepalaku.
            “Apa kau sering berkontraksi?” tanyanya, aku menggelengkan kepalaku. Bersamaan dengan gelengan kepalaku, aku meringis pelan. Oh Tuhan, aku rasa perutku berkontraksi. Aku memegang tangan Kathleen dan mulai menjerit kesakitan.
            “Anna!” teriak Justin yang tiba-tiba saja sudah menggendongku. Oh, Tuhan. Rasanya benar-benar sakit dan tak dapat kutahan. Tanganku sudah berada di leher Justin dan mengadah kepalaku ke belakang saking sakit yang tak tertahan. Oh, kumohon. Siapa pun! Hentikan rasa sakit ini.
            “Bertahan, Anna, bertahan,” bisik Justin dipenuhi rasa kekhawatiran.

***

            “Oh Justin, kumohon,” aku merasakan kesakitan yang sangat luar biasa. Justin telah memakai pakaian berwarna hijau, memegang tanganku dengan erat. Aku bisa melihat matanya yang basah. Ini benar-benar sakit dan kurasakan tanganku yang lain disuntik oleh suster. Obat bius. Aku dapat merasakan sakit yang luar biasa di bawah sana. Dr. Connel dari tadi berteriak-teriak. Ia bilang bahwa leher bayiku terlilit oleh tali plasentanya. Membuatku harus melakukan caesar.
            “Bertahan Anna, bertahan,” ujar Justin terus menerus. Aku menganggukan kepalaku dan berusaha untuk tersenyum padanya. Selama ia berada di sisiku, aku akan bertahan. Kemudian tiba-tiba saja sebuah kain membatasi perutku dan dadaku. Sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi di sana. Aku mati rasa. Tapi dalam tubuhku, aku bisa merasakan sesuatu di bawah sana.
            “Oh astaga, Tuhan,” Justin berbisik, menatap ke arah bawah. Matanya melebar.
            “Apa itu Justin?” tanyaku sambil memegang tangannya semakin erat.
            “Tuhan ..Tuhan ..Astaga,” mata Justin semakin melebar dan itu membuatku ingin menamparnya. Apa yang ia lihat di bawah sana? Aku tidak bisa merasakan apa-apa sekarang. Ini akibat obat bius dan rasanya aku ingin tertidur. Mataku sudah sayu menatap Justin. Kemudian aku merasakan kekosongan di bawah sana dan aku bisa mendengar jerit tangis seorang bayi. Oh, anakku. Astaga, dia sudah lahir ke dunia ini. Aku benar-benar ..ini sungguh luar biasa.
            “Anak Anda laki-laki Mr. Bieber,” ujar Dr. Connel. Aku bisa mendengar suara senyuman dari Dr. Connel. Tangisan anak laki-laki itu masih terdengar. Dan aku bisa melihat bayiku yang dibawa oleh Dr. Connel kepada Justin. Masih merah, berambut cokelat dan matanya terpejam. Tangisannya membuat suster-suster di sini hampir tertawa.
            “Darren William Bieber,” bisik Justin menangis. Oh, aku ikut menangis akibat kebahagiaan yang tak terkira ini. Aku telah memiliki anak dengan Justin. Ini adalah anugerah terindah dalam hidupku. Tapi kemudian aku begitu mengantuk sehingga aku menutup mataku. Aku benar-benar lelah dengan segala keringat yang telah keluar dari tubuhku. Aku butuh istirahat.

***

            “Kau telah melakukannya dengan baik, Anna,” ujar Justin sambil menggendong anak kami yang menangis dalam gendongannya. Aku sudah bangun dari tidur lamaku. Oh, untunglah tidak terlalu lama. Sehingga aku bisa melihat buah cintaku. Willy. Oh, lucu sekali. Aku terduduk dan mulai membuka pakaian rumah sakit dan menggendong Brandy dengan penuh kasih sayang. Dia sangat lapar. Kemudian aku langsung memberikannya asi. Pipinya yang montok benar-benar menggemaskan.
            Ia langsung terdiam dan mulai mengemut putingku agar ia mendapatkan makanan. Aku tersenyum dan mengelus kepalanya dengan lembut lalu aku mendongak. Justin tersenyum penuh dengan kebahagiaan. Oh, senyuman itu.
            “Ini adalah anugerah terbesar yang pernah kudapatkan,” ujar Justin sambil mengelus kepala Brandy juga. Aku memposisikan gendonganku agar Willy –William- dapat meminum asi-ku dengan nyaman. Ia terlihat begitu bersemangat untuk mengeluarkan air susuku. Aku ingin tertawa.
            “Oh, Justin. Aku juga begitu sayang, aku tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini,” ujarku mendongak, menatapnya kembali. Tapi kemudian, tiba-tiba saja Justin menjauh, berjalan menuju sofa dan menggelengkan kepalanya. Ia cemburu. Mengapa tiba-tiba ia seperti itu lagi? Sungguh, tingkah seperti anak kecil. Justin mengeluarkan ponselnya dan mulai bermain. Oh, Justin. Mengapa kau seperti ini?
            “Justin?” aku memanggilnya. Plop! Tiba-tiba saja putingku sudah tak terbungkus oleh mulut Willy. Ia telah tertidur. Oh, astaga. Bibirnya benar-benar mungil. Dan pipinya benar-benar montok. Ia sudah kenyang. Kemudian Justin mendongak dan matanya melebar. Sial! Aku harus cepat-cepat memasukan dadaku pada bra. Jika tidak ..kau pasti tahu apa yang kumaksud. Tapi terlambat. Justin telah berdiri dari sofa dan mulai mendekatiku. Aku tak dapat memasukan kembali dadaku ke dalam bra karena aku menggendong si kecil. Tapi perkiraanku salah. Justin justru memasukan dadaku ke dalam bra dan itu membuatku kegelian. Ia tertawa.
            “Anna, aku tahu ini konyol. Tapi kau tidak akan mengurangi kadar cintamu terhadapku kan?” tanya Justin dengan pertanyaan konyolnya.
            “Tidak mungkin Justin. Siapa yang dapat menolakmu Justin?”
            “Kau,” baiklah, Justin ingin memulainya. Tapi aku hanya diam, tak membalasnya. “Baiklah,” ia mendesah pelan dan mengelus kepalaku.
            “Orang tuaku akan ke sini sebentar lagi, Kathleen sedang pergi keluar untuk menjemput Sam,” ujar Justin lagi. Aku menganggukan kepalaku.
            “Aku mencintaimu, Justin dan si kecil,” ujarku mendongak padanya. Ia menganggukan kepalanya.
            “Aku juga mencintaimu, Anna. Dan tentunya kembaranku si kecil,” ujarnya sambil mengecup bibirku kilat lalu ia mengecup kening Willy dengan lembut. Penuh kasih seperti yang dilakukan ayah terhadap anaknya. Willy tidak akan pernah kekurangan kasih sayang sepertiku. Aku tidak ingin nasib Willy sama sepertiku. Aku ingin Willy bertumbuh dengan cinta yang aku dan Justin tanamkan untuknya.

***

            “Selamat datang kembali ke rumah sayang,” ujar Justin membukakan pintu untukku. Kemudian aku berjalan dengan si kecil yang berada di gendonganku. Aku berjalan untuk masuk ke dalam rumah. Dan yang membuatku aneh adalah kali ini lampu ruang tamu dimatikan. Mengapa? Tiba-tiba saja lampu ruang tamu menyala.
            “KEJUTAN!” teriak sekumpulan keluarga Justin dengan Kathleen dan Sam. Willy yang sedang tertidur terkejut dan langsung menangis. Membuat semua orang tertawa di dalam rumah ini. Aku ikut tertawa melihat keterkejutan Willy. Kemudian aku berusaha untu menenangkannya. Tangan Justin berada di pundakku. Aku melihat ke sekeliling. Astaga, benar-benar meriah. Ada spanduk yang menggantung di langit-langit rumah ini. Selamat Datang Kembali ke Rumah Anna! Itu tulisannya. Aku tersenyum penuh dengan kebahagiaan. Willy mulai berhenti menangis.
            “Oh, Anna. Anak kalian benar-benar lucu sekali. Cucu pertamaku,” ujar Pattie mendekatiku dan mulai mencoba untuk menggendong Willy.
            “William, ibu,” ujar Justin. Pattie hanya menganggukan kepalanya dan menggendong bayi kami lalu ia berbaur kepada sepupu-sepupu Justin. Aku benar-benar senang dengan kedatangan mereka. Makanan ringan tersedia di atas meja ruang tamu. Tapi aku benar-benar tak tahu tentang ini. Merasa penasaran, aku menarik tangan Justin menuju dapur. Dan kami berhenti di dalamnya. Xavier dan D’aman langsung keluar dari dapur.
            “Mengapa kau tidak memberitahu ini padaku?”
            “Kejutan!” ujar Justin menarik pinggangku pada agar aku dekat dengannya. Wajah kami benar-benar dekat sekarang.
            “Mengapa?”
            “Aku ingin kau merasa spesial,” ujar Justin. Aku mendesah pelan dan memejamkan mataku sebentar lalu membukanya lagi.
            “Justin, dicintai dirimu sudah membuatku spesial,” ujarku menggelanyutkan tanganku pada lehernya.
            “Selamat ulang tahun sayang,” ujar Justin mengecup bibirku. Oh, astaga? Benarkah hari ini adalah hari ulang tahunku? Mengapa aku bisa melupakannya? Bahkan sampai malam seperti ini aku lupa hari ulang tahunku sendiri?
            “Aku tahu kau lupa sayang.Kau terlalu senang akan kelahiran si kecil hingga ulang tahunmu saja kau lupa,” ujar Justin mulai mengecup leherku. Aku mendesah pelan. Oh, astaga, aku sudah berumur 21 tahun. Satu setengah tahun aku bersama Justin dan rasanya begitu menakjubkan.
            “Ada hadiah yang menunggumu di kamar sayang,” bisik Justin di telingaku.
            “Apa itu?”
            “Kau harus mencari tahu, tapi tidak sekarang,” ujar Justin meremas bokongku.
            “Oh Justin! Kau membuatku begitu penasaran,”
            “Aku senang membuat istriku penasaran dan kau akan menyukainya,”
            “Aku benci saat suamiku membuatku penasaran dan aku tidak tahu apa aku menyukainya atau tidak,”
            “Astaga, Anna. Mengapa kau begitu manis? Aku benar-benar mencintaimu,” ujar Justin.
            “Aku mencintaimu juga, Justin,” ujarku menarik lehernya dan mencium bibirnya dengan penuh nafsu.
            “Apa pun hadiah yang kuberikan, Anna. Ingat satu hal, aku mencintaimu,”
            “Ya, Justin! Aku mendengarnya, Justin. Aku juga mencintaimu. Bisakah kita berhenti dan bergabung dengan keluarga?” tanyaku melepaskan ciuman ini. Justin menganggukan kepalaku.
            Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan dari Willy lagi. Secepat mungkin aku menarik tangan Justin untuk kembali ke ruang tamu. Kulihat Pattie menggendong Willy dan berusaha untuk menenangkannya.
            “Aku dan keluargaku mencintaimu, Anna. Kau tidak akan pernah kekurangan kasih sayang, aku mencintaimu, selalu.” bisik Justin di telingaku. Aku mengecup pipinya dengan cepat dan mulai berbaur dengan keluarga aku dan Justin. Oh, Dominan-ku, aku benar-benar mencintaimu!
            Aku mencintai Justin. Darren. Dan keluarga ini, selamanya.
           
***

            “William,” tegur Justin pada Willy saat Willy mencoba untuk mengambil mainan Lucinda, adik perempuannya yang sedang bermain. Tapi dengan cepat Willy menundukan kepalanya dengan sedih. Ia ingin menangis. Kami sedang berada di taman bersama dengan Willy dan anak kedua kami bernama Lucinda. Tapi biasanya ia dipanggil Lucy. Lucy memiliki mata seperti Justin sedangkan Willy memiliki warna mata sepertiku. Dan Justin tampaknya tidak menyukai tingkah Willy yang ingin mengambil boneka beruang yang Lucy sedang mainkan. Willy sudah berumur 3 tahun dan Lucy baru berumur 9 bulan. Tapi Lucy sudah bisa duduk dan berdiri. Mereka berdua benar-benar tampan dan cantik.
            Yeah, layaknya ibu yang baik, aku langsung memeluk Willy yang berjalan ke arahku. Ia memeluk leherku dan menangis seperti anak kecil pada umumnya. Aku menatap Justin yang terduduk di atas kain yang kami gelar di sini. Semacam piknik kecil. Kupelototi Justin agar ia meminta maaf pada Willy. Willy masih menangis dalam pelukanku, kepalanya berbalik pada leherku, sehingga aku dapat merasakan air matanya di sana. Aku juga sedang hamil satu bulan. Entahlah, tapi kurasa ini terlalu cepat. Namun menyenangkan.
            “Daddy jahat!” teriak Willy semakin mengeratkan pelukannya pada leherku. Aku mengelus kepalanya, rambutnya benar-benar halus. Kemudian aku menggendong Willy dan berdiri.
            “Sssh, iya sayang. Sudah jangan menangis, nanti ibu belikan mainan yang baru. Sssh, sudah jangan menangis. Daddy!” aku menegur Justin dan memelototinya. Lucy tampak asyik dengan mainannya dan tidak mempeduli abangnya yang sedang menangis. Justin mendesah pelan dan berdiri dari tempatnya. Dagu Willy berada di bahuku dan ia membuang mukanya dari ayahnya. Dasar Justin! Mengapa ia tidak pernah sehari saja tidak menegur William? Aku tahu William memiliki banyak mainan, tapi setidaknya Justin bisa menegur William baik-baik. Dia masih 3 tahun dan belum mengerti apa-apa selain berbicara, membuka pintu, berlari, bermain.
            Justin berada di punggungku untuk melihat wajah Willy. Tapi langsung saja, Willy membuang mukanya lagi dari Justin. Willy memposisikan wajahnya ke arah leherku lagi agar Justin tidak dapat melihatnya.
            “Aku hanya ingin dengan mommy,” tangisnya lagi sesenggukan. Oh, anak pertamaku yang kusayang, rasanya lucu jika ia menangis seperti ini. Tapi di sisi lain juga aku kesal dengan Justin karena telah membuatnya menangis.
            “Willy, dad minta maaf. Kau ingin bermain bersama dad?” tanya Justin dengan suara penuh penyesalan di belakang sana. Aku tidak berbalik. Aku ingin membiarkan Willy untuk mendongakan kepalanya pada ayahnya. Tapi Willy menggelengkan kepalanya.
            “Dad akan berikan es krim cokelat setelah bermain,” ujar Justin menggodanya. Beberapa detik dalam isak tangis, Willy mendongakan kepalanya. Ia menaruh dagunya kembali pada bahuku dan kurasa ia sedang menatap Justin.
            “Ayo Papa’s Blue Eyes. Kau tidak ingin bermain terbang-terbangan bersama daddy?” tanya Justin lagi.
            “Aku ingin es krim,” bisik Willy dengan suara yang cukup parau setelah ia menangis. Ia sudah berhenti menangis, namun ia masih sesenggukan.
            “Iya, daddy pasti akan berikan. Mau daddy gendong?” tanya Justin. Kurasakan Willy menganggukan kepalanya dan langsung saja aku membalikan tubuhku untuk memberikan Willy pada Justin. Dengan cepat Willy menjulurkan tangannya pada Justin dan Justin langsung berlari mengitari taman bersama dengan Willy yang langsung tertawa. Oh astaga, Willy benar-benar mudah sekali menjadi senang. Dia benar-benar sanguinis. Mungkin. Kemudian aku terduduk, berhadapan dengan Lucy yang masih bermain dengan bonekanya. Air liurnya terus menetes sedangkan ia mata cokelatnya memerhatikan boneka beruang ungunya dengan serius. Apa yang gadis kecil ini pikirkan?
            “Hey, little girl. Apa yang kaulakukan?” tanyaku dengan suara yang lembut. Ia mendongak dan bibirnya yang mungil benar-benar basah. Aku langsung mengambil sapu tangan milik Justin yang berada di kantong celana pendekku dan mengelap mulutnya yang basah karena air liur.
            “Dada,” ujarnya dengan suaranya yang benar-benar lucu. Pipinya montok dan bulu matanya panjang-lentik. Aku tertawa dan mulai menggendongnya. “Dada,” ujarnya lagi yang membuatku mencubit pipinya dengan gemas.
            “Apa? Kau ingin bermain dengan ayahmu?” tanyaku sambil berjalan menghampiri Justin yang memegang kedua tangan Willy dan memutar-mutarkannya hingga Willy melayang. Oh Tuhan. Astaga, jangan sampai pegangan tangan Justin terlepas. Sial! Aku jadi khawatir dengan perminan ‘terbang-terbangan’ yang dibuat oleh Justin.
            “Ahaha! Daddy!” tawa Willy menggelegar dan Justin semakin memutar-mutarkan tubuhnya hingga Willy terus melayang. Jangan sampai jatuh, jangan sampai jatuh. Aku membisikan doa itu. Kemudian Justin berhenti memutarnya dan langsung memeluk Willy. Kurasa Willy pusing, namun ia terus tertawa.
            “Kau mencintaiku, Willy?” tanya Justin memegang kepala Willy dan menempatkan Willy pada pinggangnya. Willy terdiam namun beberapa detik kemudian ia menganggukan kepalanya. “Karena daddy sangat mencintaimu, sayang,” ujar Justin mengecup pipi montok Willy.
            “Aku ingin es krim daddy,” ujar Willy yang tidak melupakan janji ayahnya. Kemudian Justin berjalan menghampiriku. Lucy tidak bersuara, mungkin ia telah tertidur karena kurasakan air liurnya di bahuku, basah. Astaga, anak ini benar-benar menggemaskan. Kupegang kepala Lucy agar tidak terjatuh ke samping.
            “Apa dia tidur?” tanyaku sambil membalikan tubuhku untuk berjalan menuju rumah. Justin menggumam. Yeah, kurasa Lucy sudah benar-benar mengantuk. Ini sudah siang dan ia memang butuh tidur. Kami berjalan melewati kolam renang dan masuk ke dalam rumah. Willy dari tadi tidak berhenti mengoceh pada Justin sehingga membuat Justin tertawa.

***

            “Akhirnya kita memiliki waktu berduaan sayang,” ujar Justin saat aku baru saja merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Justin ikut merebahkan tubuhnya di sampingku namun dengan cepat ia menangkup tubuhku. Memiringkan tubuhku sehingga kami berhadapan. Oh, astaga, ini sudah malam dan aku benar-benar lelah. Tangan Justin tak bisa diam di belakang punggungku. Jari-jarinya memegang pengait braku dan menggodaku. Aku tertawa kecil dan menaruh tanganku di lehernya.
            “Apa yang kaulakukan?” tanyaku sedikit mendesah saat ia melepaskannya.
            “Menggoda istriku,” bisiknya mendekatkan wajahnya pada wajahku. “Kumohon Anna, bermainlah malam ini. Aku tersiksa selama 3 hari ini,” ujarnya memohon.
            “Kau yakin?” tanyaku, menggodanya. Tanpa menjawab pertanyaanku, Justin langsung mendorong bibirku dengan bibirnya dan mulai menelentangkan tubuhku sehingga sekarang ia berada di atasku. Lidah kami terus bertarung dan saling menghisap. Tangan Justin tak bisa diam, ia menarik gaun tidur putihku ke atas sehingga kami terpaksa untuk melepaskan ciuman ini agar Justin dapat melepaskan pakaianku. Justin melempar gaunku ke segala arah sehingga sekarang kedua tangannya mulai memegang kepalaku dan mencium mulutku kembali. Lebih dalam dan aku merasakan getaran yang sama. Oh, kumohon agar Justin melakukannya dengan lembut.
            Kemudian lidahnya mulai bermain di leherku, menghisapnya, membuatku bergetar di bawahnya. “Selalu indah,” gumamnya di sela-sela ciumannya. Aku tidak memakai bra malam ini, yeah, jika aku ingin tidur biasanya aku melepasnya. Mulut Justin langsung membungkus puting dadaku dengan buas dan bermain-main di sana. Membuatku menggeliat dan meremas rambutnya.
            “Oh, kumohon,” aku memohon, merintih dan memecah. Salah satu tangannya mulai meremas dadaku dan tangannya yang satunya lagi mulai mengelus perutku yang telanjang. Hanya sekain celana dalam yang menutupi tubuhku. Dan jari-jari panjangnya mulai bermain di sana. Tangannya bermain di atas celana dalamku dan mengelusnya. Membuatku semakin basah dan mendongakan kepalaku ke belakang. Ini terlalu nikmat.
            “Tenang sayang, semuanya akan baik-baik saja,” ujarnya sambil menarik kepalaku agar kembali menatapnya. “Sekarang, biarkan aku membuatmu mendapatkan pelepasan. Tatap mataku sayang,” ujar Justin menatap mataku intens. Tangannya mulai masuk ke dalam celana dalamku.
            “Oh, sial Anna! Kau sudah siap untukku,” erangnya mulai memasukan salah satu jarinya ke dalam tubuhku sehingga aku mendongakan kepalaku ke belakang, memejamkan mataku. Jarinya terus keluar-masuk secara teratur dan aku mengikuti gerakan tangannya. Pinggulku bergoyang-goyang mengikutinya.
            “Tatap mataku Anna!” Justin berteriak padaku dan aku mengedipkan mata, mencoba untuk membuka mataku. Aku menatap matanya, ia benar-benar menatapku dengan intens. Dan aku terus mengerang dan mendesah tak tahan. Pelepasanku mulai terbangun dan Justin semakin mempercepat gerakan jarinya bahkan ia menambahkan jarinya yang lain ke dalam tubuhku, membuatku semakin bergairah dan terus menggoyang-goyangkan pinggulku untuk mendapatkan pelepasanku.
            “Oh, Justin! Ngh, sial ..Oh!” aku meneriakan pelepasanku yang benar-benar indah dan terus menatap Justin dengan liar. Justin mendengus dan semakin mempercepat jarinya di dalam sana. Oh, asataga, ini benar-benar indah. Tak terasa, Justin mulai melepaskan celana dalamku dan ia juga telah menelanjangi dirinya sendiri.
            Aku dapat merasakan benda tumpul di bawah sana dan mulai mendorong padaku tubuhku. Kedua tangan Justin sudah berada di samping kepalaku dan menatap mataku, ia mendengus. Kedua tanganku sudah memegang tangan Justin. Dan seluruhnya masuk, ia mendesaknya. Membuatku mengerang dan mendongakan kepalaku ke belakang.
            “Oh, Anna. Kau selalu terasa nikmat,” erang Justin mulai memaju-mundur pinggulnya dengan cepat. Membuatku terus mendesah dan menggigit bibirku. Oh, kumohon. Aku belum mendapatkan nafas saat aku baru saja mendapatkan pelepasan.
            “Yah, Anna! Oh, Tuhan! Astaga Anna,” teriak Justin terus menggoyang pinggulnya dengan cepat.
            “Oh, Justin! Aa –ohh Tuhan!” aku mendesah mendapatkan pelepasan yang begitu cepat, beberapa detik kemudian Justin melolong cepat. “Anna,” gumamnya terus menerus dan masih menggoyangkan pinggulnya sampai ia berhenti. Kelelahan.
            “Aku mencintaimu Justin,” bisikku saat kepala Justin berada di samping kepalaku, dagunya bersandar pada bahuku. Tanganku melingkar di sekitar lehernya. Tapi tubuh Justin tidak begitu menekan perutku.
            “Aku lebih mencintaimu Anna dan anak kita. Aku mencintaimu, selalu.” Bisiknya terengah-engah.

            Aku belajar dari film Disney dan aku mendapatkannya. Cinta bisa datang kapan saja dan berakhir dengan kehidupan yang bahagia. Beruntungnya aku telah mendapatkan Justin. Dan aku bisa merasakan akhir yang bahagia ..selamanya.


2 komentar:

  1. Cinta bisa datang kapan saja dan berakhir dengan kehidupan yang bahagia.
    Semoga itu terjadi di kehidupan gue nanti, amin O:)
    J

    BalasHapus
  2. Bagusssssssssssss...i like this story

    BalasHapus