***
Aku
meringis. Ini sangat-sangat-sangat membuatku ingin muntah sekarang.Bagaimana
mungkin Justin Bieber adalah rekan kerja dari atasanku? Ini sungguh bodoh. Aku,
asistennya baru saja sadar setelah aku melihat jadwal pertemuan atasanku hari
ini. Ternyata siang ini aku akan bertemu dengan Justin lagi setelah jam 9 pagi
tadi aku baru saja meninggalkan rumahnya. Well, saat aku meninggalkan rumah
Justin, kepribadiannya yang muncul setelah Kevin adalah Justin. Jadi, Justin
baik-baik saja. Tapi sekarang? Aku tidak tahu apa Justin sedang berubah menjadi
Kevin, Darren atau mungkin Arthur. Oh, atau si penggoda itu, Max.Well, memang
setelah jadwal pertemuan bersama dengan Justin jam 1 siang ini adalah pertemuan
terakhir dari Mr.Wood, atasanku. Dan well, Mr.Wood akan mengambil beberapa hari
untuk liburan bersama keluarganya. Maksudku, bukan beberapa hari. Tapi beberapa
bulan hingga natal, atau bisa kubilang 1 atau 2 bulan ke depan. Sebenarnya aku
juga masih memiliki banyak pekerjaan untuk mengurusi masalah-masalah yang harus
ditangani Mr.Wood sehabis ia pulang dari liburannya.
Restoran
yang sedang kusinggahi ini memang elegan, harus kuakui. Meski aku tidak begitu
menyukai kemewahan. Well, aku lebih suka bersikap santai dibanding formal
seperti ini. Tapi karena sekarang aku bekerja maka restoran ini yang harus
kupesan. Mr.Wood yang menyuruhku untuk memilih salah satu restoran untuk makan
siang bersama dengan Justin, Max, Arthur, Darren dan Kevin Bieber. Mr.Wood
tampaknya sedang sibuk dengan ponselnya sambil menunggu Mr.Bieber yang lama
sekali datang. Sedangkan aku terduduk di sini, menatapnya seperti orang bodoh
dan memegang map yang telah kubuat untuknya dan Mr.Bieber. Perjanjian. Surat
perjanjian. Kulirik jam tangan yang kupakai. Mr.Bieber sepertinya senang sekali
terlambat datang. In sudah jam 1.15 namun ia belum muncul.
“Hello,
Mr.Wood,” suara familiar di telingaku terdengar begitu saja dari belakang.
Mr.Wood yang berbicara dengan ponselnya dengan terpaksa untuk memutuskan
sambungan. Lalu saat aku berdiri, muncullah Justin dengan gaya rambutnya yang
lebih rapi. Well, Mr.Bieber memakai topi biasa berwarna hitam, baju putih Polo,
serta celana jins hitam melekat di kakinya. Apa Justin tahu aku yang akan
ditemuinya? Karena jujur saja, tubuh Justin benar-benar tercetak indah di dalam
baju itu.
“Hei,
Mr.Bieber! Aku telah menunggu kedatanganmu,” ujar Mr.Wood menjabat tangan
Justin. Justin tersenyum ramah, sopan, berwibawa lalu matanya akhirnya melihat
padaku. Ia terdiam sejenak, berusaha untuk mengamati siapa diriku. Oke.
Baiklah. Pakaian yang sedang kupakai hanya rompi hitam dengan kemeja putih yang
memiliki lengan sepanjang siku-siku lalu rok pensil hitam selutut. Apa yang
salah dengan itu? Oh, jangan lupa. Aku memakai syal berwarna putih juga. Justin
menjulurkan tangannya, berniat untuk menjabatku. Langsung saja kusentuh
tangannya dengan lembut.
“Ave.
Ave Harris. Senang bertemu denganmu, Mr.Bieber,”
“Justin,
Justin Bieber,” ujarnya tersenyum ..bahagia? Aku tidak tahu.
“Silahkan
duduk, Mr.Bieber. Silahkan duduk. Aku telah memesan beberapa makanan untuk kita
siang hari ini. Sambil menunggu, mungkin kita dapat membicarakan bisnis kita
yang telah tertunda beberapa minggu,” ujar Mr.Wood yang memang selalu ramah
pada orang-orang dan ia tidak pernah ingin membuang-buang waktunya. Mr.Wood
memang pekerja keras. Menurutku, Mr.Wood adalah bos, suami dan ayah yang baik.
Ia pintar membagi waktu kerja dengan keluarga. Ia sudah berumur 50 tahun, namun
ia masih kuat bekerja. Anaknya seumur dengan Justin, 30 tahun. Well, anaknya
juga belum menikah. Tampan pula, hanya saja aku tidak tertarik. Meski tiap pagi
aku akan bertemu dengannya lalu ia akan mengedipkan salah satu matanya padaku.
Sama seperti Max yang senang menggoda. Tapi, Max tidak semurah anak Mr.Wood.
Anak Mr.Wood yang bernama Ian itu tampaknya selalu memamerkan bulu dadanya dan
bokongnya yang harus kuakui ia memiliki bokong lelaki yang indah.
“Berikan
aku surat perjanjiannya,” ujar Mr. Wood yang membuat lamunanku terbuyar begitu
saja. Aku benar-benar kikuk saat aku memberikan map serta pulpen untuk Mr.Wood.
Namun aku masih berusaha untuk bersikap professional sehingga bibirku dari tadi
tersenyum. Justin menatapku sejenak, melihatku dari pinggang hingga wajahku
kembali. Tatapannya ..demi apa pun, ia menggodaku lagi. Justin benar-benar
cerdas! Di saat Mr.Wood sedang memeriksa surat perjanjian itu, Justin masih
bisa menggodaku di kesempatan seperti ini. “Ya, kau bisa membacanya sekarang,”
“Oh,
tentu saja,” ujar Justin tanpa merasa terganggu karena aksinya terpaksa ia
hentikan. Ia benar-benar cerdas dalam merespon seseorang. Apa dia Max? Atau dia
Justin? Mereka berdua tidak beda jauh, kurasa. Well, Justin lebih normal
dibanding Max yang lebih mendominan pada godaan. Maksudku, ia pintar menggoda.
Aku memerhatikan Justin yang menyatukan kedua alisnya, menyimak baik-baik surat
perjanjian yang beberapa hari yang lalu telah kubuat. Pantas saja lelaki ini
kaya. Ia memiliki banyak perjanjian dengan banyak pengusaha lainnya. Yang luar
biasa di antara semuanya adalah di umurnya yang 30 tahun ini ia terlihat sangat
muda. Fisik dan wajahnya seperti tidak mengikuti umurnya yang tiap tahunnya
bertambah tua. Setelah ini aku harus kembali ke kantor untuk mengurusi beberapa
berkas yang kutunda dua hari yang lalu. Uh, mungkin hari ini aku akan lembur.
Karena banyak sekali ..bukan beberapa berkas. Sial. Justin tidak mengatakan apa
pun setelah ia membaca surat perjanjian itu namun ia langsung mengeluarkan
pulpennya lalu menandatanganinya.
“Well,
seorang lelaki harus berani untuk mengambil keputusan bukan? Meski resiko yang
ditanggung besar?” tanya Justin pada Mr.Wood. “Benar bukan, Ave?” ia menekankan
nada suaranya saat ia menyebutkan namaku. Aku tersenyum malu-malu.
“Ya,
tentu saja,” jawabku. Justin memberikan surat perjanjian itu pada Mr.Wood
kembali lalu ia mengedipkan salah satu matanya padaku. Tatapannya begitu tajam.
Apa dia Max? Bisa saja Justin berpura-pura bukan? “Well, Mr.Wood. Apa kau bisa
menceritakan bagaimana bisa kau mendapatkan asisten secantik Mrs. Harris?”
“Oh,
tidak Mr.Bieber. Aku belum menikah,” ujarku menggeleng-gelengkan kepalaku.
Apa-apaan yang sedang Justin lakukan? Dia tahu aku belum menikah. Apa dia
sedang menggodaku atau ia baru saja lupa ingatan? Mr.Wood tertawa seperti
kakek-kakek pada umumnya, ia terbatuk-batuk lalu menelan ludahnya.
“Well,
aku melihat kerja keras dari Ms. Harris dua tahun yang lalu. Awalnya ia hanya
magang di kantorku, namun aku senang melihatnya yang begitu keras bekerja
sehingga aku memutuskan untuk menjadikannya asistenku. Well, selama ia menjadi
asistenku, perusahaanku semakin berkembang. Ini juga berkatnya,” ujar Mr.Wood
menyanjungku. Pipiku memerah. Mengapa Mr.Wood memujiku begitu berlebihan?
Kenyataanya memang seperti itu, paling tidak ia tidak perlu mengatakan kalau
aku adalah pekerja keras. Itu benar-benar membuatku malu sekaligus bangga
secara bersamaan.
“Oh?”
Justin mengedipkan matanya berkali-kali dengan kedua alisnya terangkat.
“Benarkah? Well, kau sangat beruntung Mr.Wood. Aku ingin mendapatkannya kalau
seperti ini,”
Mr.Wood
tertawa. “Yeah, benar. Banyak yang memiliki pemikiran sepertimu Mr.Bieber,”
“Permisi,”
suara dari pelayan terdengar dari belakang. Lalu beberapa pelayan yang lain
mulai menempatkan piring-piring yang berisi makanan ke atas meja makan. Aku
memerhatikan Justin yang telah mengeluarkan ponselnya lalu keningnya berkerut.
Oh, ada apa? Lalu ia mengetik sebuah pesan, kurasa, pada seseorang. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti kesal akan sesuatu. Apa yang terjadi?
Justin menarik nafasnya setelah ia selesai dengan ponselnya. Matanya langsung
bertemu denganku kemudian senyumannya terlihat.
“Aku
..harus pergi ke toilet,” ujar Justin menarik nafasnya. Wajahnya tiba-tiba saja
pucat setelah ia sibuk dengan ponselnya itu. Apa sebenarnya yang terjadi
dengannya? Justin meninggalkan meja makan lalu aku mulai mengambil garpu serta
pisau untuk mengambil makananku.
“Aku
suka dengan pemuda itu. Apa kau menyukainya?”
“Well,
dia memang hebat,” ujarku asal.
“Apa
sebelumnya kau pernah bertemu dengannya?” tanya Mr.Wood, menyelidiki.
“Well,
yeah. Ayahku bekerja sama dengannya,” ujarku, jujur. Mr.Wood tertawa pelan.
“Sepertinya
dunia ini sangat sempit,” ujarnya. Well, apa yang bisa kukatakan? Aku hanya
dapat mendiamkanya.
***
Sudah
kuduga aku akan pulang selarut ini. Well, kurasa hanya beberapa karyawan yang
masih berada di dalam kantor. Kulirik jam yang berada di dalam komputerku.
Sudah jam 10 malam namun pekerjaanku belum selesai juga. Mungkin aku akan menyelesaikannya
hari Senin. Kusandarkan tubuhku ke kursi untuk mendapatkan istirahat sejenak.
Oh, kapan aku mendapatkan seorang kekasih? Setelah sekian lama aku berpikir
tentang karirku dan aku mendapatkannya, sekarang saatnya aku memikirkan
jodohku. Siapa yang akan menjadi kekasihku? Siapa yang akan menjadi ayah atas
anak-anakku? Pikiranku melayang tak menentu. Apa dia Elliot? Ian? Atau Justin
..mungkin? Pft! Justin, tidak mungkin aku bisa mendapatkannya. Aku menangani
Justin, Max dan Kevin saja aku sudah merasa pusing. Bagaimana dengan
kepribadiannya yang lain? Namun Kevin juga menyenangkan. Meski tadi pagi ia
bersungut-sungut padaku kalau ia masih 8 tahun jadi ia harus dimandikan. Well,
apa-apaan? Aku tidak mungkin memandikan Kevin. Bukannya aku memandikannya,
mungkin aku akan bergairah. Jadi aku memaksa Kevin untuk belajar mandi sendiri.
Satu hal yang kupikirkan saat itu ..apa Mrs.Ellie memandikan Kevin di pagi
hari? Jika ya, Justin harus malu terhadap dirinya sendiri. Apa yang
menyebabkannya seperti itu? Sudah berapa lama ia seperti itu? Ini sungguh
menyeramkan.
Kubuka
mataku lalu duduk dengan tegak kembali. Kurasa aku harus pulang. Tanganku mulai
mematikan komputer lalu merapi barang-barang yang berserakan di atas meja
kerjaku. Kudengar suara kaki dari belakang. Oke. Kantorku sekarang sudah gelap
dan hanya ada beberapa orang di sini. Mungkin hanya ada tiga orang yang
terpaksa lembur malam ini. Kelly, tidak mungkin! Ia wanita malas! Tidak mungkin
lembur. Meski ia pemalas, ia adalah teman yang sangat menyenangkan. Seharusnya
hari ini aku bersenang-senang dengannya, tapi yeah, aku memiliki banyak
pekerjaan.
“Kafka?
Kaukah itu?” tanyaku saat aku merapikan beberapa map.
“Hei,”
suara lembut dari seorang lelaki terdengar
di telingaku. Dia muncul secara tiba-tiba! Ya Tuhan! Dia bukan Kafka,
teman kerjaku. Tapi ia adalah Ian. Apa yang Ian lakukan malam-malam seperti ini
di kantor ayahnya? Dan ya, Ian juga bekerja di kantor ayahnya. Namun biasanya
ia tidak lembur sampai jam 10 malam. “Ingin bersenang-senang denganku malam
ini? Besok adalah hari Minggu,”
“Ian,”
aku terkekeh pelan, berusaha untuk tidak gugup. “Kurasa tidak. Itu bukan ide
yang bagus,” ujarku secara halus menolaknya. Dagu Ian telah berada di atas
bahuku, kubiarkan sejenak hingga aku langsung berdiri sekarang. Ia meringis
pelan.
“Auch,
kau ternyata gadis yang benar-benar ganas,”
“Apa
yang sedang kaubicarakan Ian? Itu konyol,” ujarku terkekeh kembali.
Kuperhatikan seluruh mejaku. Sudah bersih, barang-barangku telah kumasukan ke
dalam tasku. Sekarang aku …disergap oleh Ian dari belakang! Ian memelukku lalu
menempatkan bibirnya pada leherku hingga aku mendesah. Ya Tuhan! Apa-apaan yang
lelaki ini sedang lakukan? Aku mendesah sambil tanganku berusaha untuk memukul
kepalanya.
“Ian!
Apa yang kaulakukan? Kau gila!”
“Aku
gila karena kau juga, sayang,” bisik Ian tertawa jahat. Ya ampun. Ini tidak
boleh terjadi. Bisa-bisa reputasiku, nama baikku di kantor ini rusak hanya
karena Ian bersetubuh denganku di kantor ini. Bisa saja Ian memutarbalikan
fakta kenyataan bahwa ia yang menyergapku lalu ia akan mengatakan bahwa aku
yang menggodanya. Tidak! Itu tidak boleh terjadi.
“Ian!
Aw! Menjauh dariku!” teriakku memukul kepalanya hingga ia menjauhkan kepalanya
dari leherku. Kemana petugas keamanan? Ya Tuhan. Jantungku berdetak kencang,
berusaha untuk mengambil nafas kembali, namun terlambat saat Ian langsung
menyerbu tubuhku hingga aku jatuh ke atas lantai. Ia menindihku dengan berat
badannya yang tidak terlalu berat itu, namun karena aku memiliki tubuh yang
..sial. Ia kembali mencium leherku.
“Kautahu
apa? Aku tergila-gila dengan lehermu. Rasanya ..mmh, kau sangat harum,”
“Tidak!
Ian! Ini tidak benar! Aku asisten ayahmu!” aku berteriak mendorong kepalanya
sekuat mungkin. Namun hasilnya nihil! Ia lebih kuat dibanding diriku.
“Lalu
mengapa jika kau adalah asisten ayahku? Setelah satu tahun aku menunggu ini,
akhirnya aku mendapatkan waktu emas ini,” ujar Ian yang benar-benar terkesan
seperti psikopat. Aku memejamkan mataku, tak ingin melihat apa yang ia lakukan.
Karena apa pun yang kulakukan sudah pasti aku kalah. Itu sama saja aku
membuang-buang tenagaku. Namun suara tawaannya yang tadi muncul tiba-tiba saja
tidak terdengar kembali. Bahkan tubuhnya tidak terasa di atas tubuhku lalu
kubuka mataku. Suara tubuh yang terlempar terdengar. Kulihat Justin …baru saja
melempar tubuh Ian pada tembok hingga suara erangan Ian terdengar. Tidak hanya
sampai di sana saja, Ian yang ingin jatuh setelah dilempar ke tembok itu
langsung terangkat kembali dengan tangan Justin yang menarik kerah kemeja yang
ia pakai. Lalu Justin memukul kepala Ian hingga Ian mengerang kesakitan. Ya
Tuhan! Bagaimana mungkin Justin dapat pergi ke tempat ini? Apa dia mengikutiku?
Aku berdiri untuk menghentikan perbuatan Justin.
“Justin!
Hentikan!” teriakku, tak ingin melihat yang lebih. Saat itu juga Justin
melepaskan kerah pakaian Ian hingga tubuh Ian tergeletak jatuh ke atas lantai.
“Ya Tuhan! Justin, bagaimana kau bisa datang ke tempat kerjaku?”
“Aku
mengikutimu,” ujar Justin, dingin. “Dan aku bukan Justin. Aku Arthur,” ujar
..Arthur. Ya Tuhan. Ini benar-benar menakutkan. “Awalnya Justin mengikutimu ke
kantor ini dan membuang waktunya hanya untukmu. Lalu setelah sampai jam 10, kau
tidak keluar dari kantormu membuatnya khawatir. Lalu ..aku muncul saat melihatmu
bersama dengan lelaki sialan ini yang berusaha memerkosamu,” ujar Arthur
menarik nafasnya yang terengah-engah. Aku panik! Benar-benar panik. Bagaimana
jika karena ini aku kehilangan pekerjaanku?
“Ternyata
aku tahu mengapa Justin mengagumimu. Setelah tadi siang ..sebenarnya, akulah
yang muncul saat aku mendapatkan pesan sialan. Aku tidak memerhatikanmu
berbicara, namun kau tersenyum padaku maka aku membalas senyumanmu. Dan
melihatmu sedekat ini ..aku tahu mengapa Justin benar-benar menyukaimu,” ujar
Arthur. Apa? Apa yang sedang ia katakan? Aku tidak mengerti dengan apa yang
dimaksud dengan kepribadian ganda karena itu adalah suatu hal yang menyeramkan!
Rasanya aku bisa bunuh diri hanya karena lima kepribadian Justin.
“Mengapa?”
“Well,
ternyata kau panas. Harus kuakui,” ujarnya tersenyum miring. Aku terdiam. “Kita
tidak mempunyai banyak waktu. Ayo kita pulang!”
****
*Author POV*
Arthur
baru saja melempar kunci mobilnya ke atas meja ruang tamunya dengan asal. Ia
membawa Ave ke rumahnya kembali setelah kemarin Ave baru saja menginap di
rumahnya. Justin, Max, bahkan Arthur juga tertarik dengan Ave. Setelah beberapa
saat yang lalu Arthur menyuruh Ave untuk menghubungi ayahnya untuk tidak pulang
hari ini karena Arthur ingin mengetahui lebih dalam tentang Ave. Kini saatnya
Arthur yang mengenal Ave lebih dalam lagi setelah Justin dan Max bahkan Kevin
telah mendapatkan kesempatannya. Mungkin bersenang-senang malam seperti ini
bersama dengan Ave akan sangat menyenangkan. Beberapa jam yang lalu Arthur baru
saja diliputi oleh kemarahan yang sepertinya tak dapat dikuasai oleh dirinya
sendiri hingga kaca restoran yang ia tinju pecah. Mengetahui Arthur adalah
seorang pengusaha kaya yang dapat mengganti rugi kaca murahan restoran.
Terpaksa Ave harus berbohong pada ayahnya kalau ia akan lembur hingga besok
pagi sehingga ia harus menginap di kantornya.
Misi Arthur untuk menghancurkan salah satu perusahaan gagal begitu saja
karena anak buahnya yang sungguh tolol. Bahkan sebenarnya, jika bukan karena
Ave, ia pasti sudah membunuh anak buah itu. Karena Arthur tidak ingin Ave
mengetahui siapa Arthur sebenarnya, Arthur tidak ingin Justin dan Max dapat mendekati
Ave dengan mudahnya. Sedangkan ia sendiri harus berusaha sendiri mengambil hati
Ave jika Ave mengetahui siapa Arthur sebenarnya. Sejauh ini Ave tidak
mengetahui siapa Arthur.
Ave
menarik nafasnya. Bertanya-tanya mengapa Justin, Max atau Arthur sepertinya
selalu mengawasi di setiap langkahnya. Well, mungkin Ave terlalu percaya diri.
Tidak mungkin lelaki itu mengikutinya. Ada beberapa hal yang Ave bingungkan
terhadap ..lelaki ini. Ia harus memanggil mereka
apa? Justin? Max? Atau Arthur? Kevin masih dapat ditangani oleh Ave, namun tiga
lelaki dewasa yang dapat membuatnya bergairah? Ave meragukan keahlian acuh tak
acuhnya terhadap satu lelaki yang memiliki lima kepribadian. Bayangkan saja,
lima! Apa itu tidak sinting? Tentu saja itu sinting. Dr.Amanda sekarang terus
melintasi pikiran Ave. Apa dr.Amanda telah mengetahui bagaimana caranya
menyembuhkan Justin dan kawan-kawannya? Ave rasa tidak. Karena dilihat dari
sikap Arthur sekarang ..uh, sangat membingungkan. Arthur tidak mengatakan apa
pun saat mereka telah sampai di lantai dua. Entah apa tujuan Arthur membawa Ave
ke sini, Ave tidak tahu. Tapi yang jelas Ave masih linglung dengan apa yang
baru saja terjadi dengannya. Hampir diperkosa lalu Justin –Arthur—datang
seketika di hadapannya. Itu sangat mengejutkan hingga ia membutuhkan air minum
karena tenggorokannya terlalu kering untuk menjerit saat Arthur tadi datang.
Dijatuhkannya
bokong Ave ke atas sofa lalu ia memejamkan matanya sejenak. Ia kegerahan. Ia
ingin mandi. Ave butuh relaksasi sesaat. Ponselnya berdering dari dalam tas
kantor yang ia bawa. Dengan malas Ave membuka retsleting tasnya lalu mengambil
ponselnya. Matanya langsung melihat ke arah layar ponselnya yang beberapa detik
menyala, menampilkan nama Elliot di sana. Sial. Mengapa Elliot sepertinya
senang sekali membuat hari-hari yang menyenangkannya menjadi hari terjenuh yang
pernah ada? Terpaksa Ave harus mematikan ponselnya. Ia sedang tidak ingin
diganggu. Ia sedang memikirkan bagaimana keadaan Ian yang masih terbaring lemah
di atas lantai setelah Arthur memukulnya. Bahkan saat Arthur memukul kepala
Ian, Ave dapat mendengar suara pukulan pada tulang kepala Arthur. Itu pasti
sangat menyakitkan. Terlebih lagi wajah Arthur dan Ian sama-sama memerah
setelah mereka melakukan perkelahian singkat yang dimenangkan oleh Arthur,
tentu saja. Bagaimana jika atau sudah pasti Ave akan dipecat dikarenakan Ian
masuk rumah sakit lalu gegar otak karena pukulan Arthur yang keras itu? Ini
sangat menyeramkan. Bisa saja Ian mengatakan bahwa Ave yang menjebaknya, mungkin.
Arthur
muncul dari kamarnya setelah beberapa menit menghilang di dalamnya sambil
memegang segelas air dan sekain handuk untuk Ave. Ada dua hal yang membuat Ave
jatuh hati langsung pada Arthur. Sikapnya serta raut wajahnya yang misterius,
susah ditebak, dan dingin. Ave membayangkan bagaimana jika Arthur benar-benar
ada –memang sudah ada—di dunia dalam wujud yang berbeda. Bukan dalam wujud
Justin Bieber, lelaki yang cukup menghargai wanita serta ingin membuat hubungan
yang baik dengan wanita namun usahanya tidak berhasil.
“Aku
tahu kau masih trauma dengan kejadian tadi, minumlah. Kuharap kau lebih
tenang,” ujar Arthur dengan suara yang tidak jauh berbeda dari Justin dan Max.
Perbedaannya hanyalah tersirat suatu dalam nada bicaranya, serta suaranya
seperi bisikan atau desahan seksi yang tidak disengajakan. Seolah-olah suara
itu memang alamiah. Memang sudah dari tubuh Justin dalam pribadi Arthur. Ave
meneguk air minumnya setelah ia menarik gelas itu dari tangan Arthur. Arthur
memperhatikan Ave baik-baik. Keringat membasahi kepala wanita ini. Sial. Arthur
bergairah, sangat bergairah dengan wanita ini. Ia harus menang di antara dua
lelaki sialan yang satu tubuh dengannya. Ia harus mengalahkan Justin dan Max.
Terlebih lagi pada Max yang lebih ahli dalam menggoda wanita. Arthur hanya
dapat membuat wanita bertekuk lutut dengan tatapan matanya. Sedangkan Max dapat
membuat wanita bertekuk lutut dengan senyumannya yang menggoda. Arthur
benar-benar terpaksa melakukan ini hanya untuk bekerjasama dengan Justin yang
menginginkan Ave. Ada suatu dorongan yang membuat Justin tak berani untuk
menyentuh Ave sebelum mereka benar-benar memiliki status yang pasti. Meski
awalnya Justin tak begitu tertarik dengan Ave saat mereka bertemu di rumah
orangtua Ave, namun setelah melihat dan berbicara dengan Ave secara individual,
Justin dapat merasakan darahnya yang mendidih di balik kulit putihnya. Darah
yang mendidih itu siap untuk dituangkan pada wadahnya, namun ia tidak berani
karena ia masih ingin darah itu mendidih hingga uap itu dapat membuatnya
berkeringat.
“Apa?
Ada yang salah denganku? Mengapa kau membawaku ke rumahmu? Lagi?” tanya Ave,
mengutarakan begitu banyak pertanyaan yang dapat Arthur jawab di atas tempat
tidur nanti. Arthur terdiam, ia tidak menjawab pertanyaan Ave. Memang Arthur
tidak menjawab pertanyaan Ave, namun aksinya yang akan menjawab pertanyaan itu.
Arthur mengambil gelas yang sudah tidak berisi air lagi. Ia menaruhnya di atas
meja sebelah sofa ruang santainya. Justin tidak ingin menamai ruangan itu
sebagai ruang keluarga karena Justin tidak memiliki keluarga, dari dulu hingga
sekarang.
“Kau
butuh mandi. Keringatmu membuatku gelisah, biar aku memandikanmu,” ujar Arthur
dengan nada suara yang kali ini tidak seksi, namun merajuk. Ave menaikkan salah
satu alisnya, tidak mengerti apa yang Arthur katakan. Apa Arthur sudah gila?
Ave bisa mandi sendiri.
“A-aku
bisa mandi sendiri. Aku sudah dewasa,”
“Aku
juga. Aku sudah dewasa dan aku juga ingin mandi. Apa gunanya dua orang dewasa
yang berbeda jenis dalam satu ruangan tidak melakukan sesuatu yang
menyenangkan?” tanya Arthur, nadanya benar-benar menggoda namun lebih
mendominan kepada nada suara yang serius. “Ave, aku tidak perlu meminta dua
kali padamu bukan?”
“Jika
kau meminta padaku dua kali, apa yang akan terjadi?”
“Aku
akan memaksamu, menggendongmu. Lalu kau akan bertekuk lutut padaku,
memohon-mohon padaku untuk melakukan sesuatu yang pada awalnya tidak kau ingin
lakukan. Bagaimana dengan itu? Haruskah, Ave?” tanya Arthur memiringkan
kepalanya ke salah satu sisi. Ave tertegun. Tentu saja Ave tidak ingin Arthur
menyeret-seretnya ke kamar mandi dengan cara yang kasar. Lagi pula apa
kerugiannya jika ia dapat melakukan “sesuatu” yang menyenangkan dengan lelaki
tampan seperti Arthur? Dia seksi, semua orang tahu itu. “Ave?”
Ave
berdiri dari tempatnya, menarik tangan Arthur yang terjulur itu. “Gadis manis,”
puji Arthur, kali ini tersenyum. Ave seharusnya beruntung karena ia adalah
satu-satunya wanita yang mendapatkan senyuman paling banyak dari seorang Arthur
yang memiliki wujud Justin. Namun Ave tidak mengetahui itu. Dibawanya Ave ke
kamar mandi oleh Arthur yang miliknya sudah berereksi sejak ia berada di dalam
mobil. Rasanya Arthur ingin sekali menarik tubuh Ave lalu mendorong Ave ke
tembok, membalik tubuh Ave dan memasuki Ave dari belakang. Lalu ia akan membuat
Ave menjerit-jerit minta tolong untuk menghentikan apa yang ia lakukan. Namun
ia tak sampai hati untuk melakukan itu, meski kenyataan berkata bahwa ia tidak
memiliki hati. Tapi, Ave. Kaki Ave telah menyentuh lantai kamar mandi yang
kering. Begitupun Arthur. Dikuncinya pintu kamar mandi itu sehingga kamar mandi
terasa lebih hangat. Nafas mereka bersahut-sahutan.
“Seperti
ini perjanjiannya, Ave. Kau hanya perlu diam. Tidak ada yang perlu kaulakukan
karena aku akan mengurus kau sebaik mungkin,” ujar Arthur yang membuat Ave
menutup mulutnya lebih rapat lagi. Ave tidak dapat membantah Arthur, teringat
dengan apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. Arthur telah mengaitkan handuk
yang tadi ia bawa. Lalu tangannya yang besar itu menarik pinggang Ave hingga
tubuh mereka berdempetan. “Aku tidak pernah bertemu dengan gadis seseksi
dirimu, Ave. Aku menyukaimu,” bisik Arthur mengecup pipi Ave. Tidak hanya
sampai di sana, Arthur kembali mengecup sudut mata Ave hingga Ave terpaksa
harus menutup matanya, berusaha untuk menikmati apa yang Arthur lakukan.
“Kau
akan menjadi milikku, Ave. Aku yang akan menjadi lelaki pertama yang
memilikimu,” bisik Arthur mengecup kening Ave. Kecupannya terus berlanjut, ada
bunyi cepakan ciuman tiap kali bibirnya bertemu dengan kulit wajah Ave. Lalu
bibir itu berakhir pada bibir Ave. Bibir Ave kaku sehingga Arthur tersenyum
konyol. Ave benar-benar tegang. “Tenang, biarkan tubuhmu mengikuti nalurimu,”
bisik Arthur. Kembali Arthur mengecup bibir Ave. Kali ini Ave memajukan
bibirnya agar ia dapat mengapit bibir Arthur. “Buka mulutmu sayang,”
Ave
membuka mulutnya begitu patuh terhadap Arthur. Tak ingin membuang-buang waktu
Arthur langsung melesakan lidahnya ke dalam mulut Ave. Lalu mulut mereka
benar-benar bersatu. Tangan kanan Arthur memegang leher Ave agar mulut mereka
tak lepas sama sekali. Tangan kiri Arthur dengan lembutnya membuka satu per
satu kancing rompi milik Ave. Kemudian dilepaskannya rompi itu dari tubuh Ave.
Ave ketagihan dengan bibir Arthur sehingga sekarang mulut mereka beradu lebih
ganas. Semakin cepat mereka memiringkan kepala mereka, semakin cepat pula
tangan Arthur membuka baju Ave. Setelah atasan Ave terbuka seluruhnya, Arthur
semakin mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Ave sehingga dada Ave yang terlapisi
oleh bra itu bersentuhan dengan perut Arthur yang keras. “Oh, yes! Arthur!”
desah Ave tak kuasa saat salah satu tangan Arthur mulai meremas pelan buah
dadanya. Tangannya yang lain membuka retsleting rok pendek yang Ave pakai
hingga sekarang Ave hanya memakai bra dan celana dalamnya. Ave sudah basah di
bawah sana. Terlebih lagi tangan Arthur mulai menyentuh celana dalam basahnya
lalu ia menggesek-gesekan jarinya di bawah sana hingga Ave mengerang dalam
mulut Arthur. Semuanya terhenti saat Arthur menjauhkan tubuhnya dari Ave.
“Berbaring
di atas bath-up. Air hangat itu hanya untukmu dan untukku malam ini,” bisik
Arthur.
“Apa
ak—“
“Ssh,
lakukan apa yang kubilang,” Arthur memotong ucapan Ave yang berniat untuk
membuka bra dan celana dalamnya. Ave masuk
ke dalam bath-up lalu ia berbaring di dalam sana. Tubuhnya terlihat dari
air jernih yang berombak saat Ave masuk ke dalamnya. Tiba saatnya Arthur
membuka pakaiannya. Ave tercengang, ingin mati rasanya saat ia melihat Arthur
membuka pakaian atasnya yang sekarang telah memperlihatkan dada serta perutnya
yang berotot. Dapat dipastikan dada Arthur sangat keras. Pundak Arthur lebar,
sama seperti dewa Yunani lainnya. Oh, rasanya Ave ingin menyentuh dirinya
sendiri.
“Apa
aku boleh menyentuh diriku sendiri?”
“Goda
aku, jika kau mau,” ujar Arthur, tanpa ekspresi. Setelah Arthur berkata seperti
itu Ave langsung membuka celana dalamnya, ia benar-benar ingin menyentuh
tubuhnya sendiri. Ave menyandarkan kepalanya ke ujung bath-up lalu menempatkan
tangannya yang mungil itu ke bagian bawahnya. Ia memejamkan matanya saat
jari-jari terampilnya mulai menyentuh bagian bawahnya itu. Arthur
memperhatikannya. Sangat putih. Bersih. Astaga, Arthur rasanya ingin
cepat-cepat menyentuh tubuh wanita ini. Sisa celana dalam Arthur yang menutupi
tubuh Arthur yang luar biasa sempurna itu. Arthur telah benar-benar mengeras di
bawah sana. Terlebih lagi Ave yang sedang bermasturbasi di depannya. Ave
memejamkan matanya, merasakan kenikmatan dari tangannya sendiri sambil mendesah
pelan. “Godaanmu berhasil, Ms.Harris,” bisik Arthur ikut masuk ke dalam
bath-up. Ia menarik tangan Ave untuk menjauh dari bagian bawah Ave.
“Oh,
Arthur! Aku sudah dekat!” jerit Ave, ingin menyentuh miliknya lagi. Namun
Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya. Arthur menarik kedua lutut Ave ke atas
sehingga sekarang ujung lutut Ave menyentuh dadanya sendiri. “Sentuh aku!”
“Dengan
senang hati,” bisik Arthur mengangkat bokong Ave ke atas lalu ia menempatkan
kedua kaki Ave ke atas pundaknya sehingga sekarang milik Ave telah berhadap di
mulut Arthur. “Kau sangat seksi di bawah sini. Merah muda. Seperti perawan,”
“Mmh!”
desah Ave memejamkan matanya setelah Arthur menjulurkan lidahnya masuk ke dalam
milik Ave. Mata Arthur tak terpejam, ia ingin melihat wajah Ave yang menikmati kehebatan
lidahnya. Kedua betis Ave menegang saat Arthur mengemut bagian atas milik Ave
hingga pinggang Ave yang melayang itu semakin ke atas.
“Oh,
Arthur! Apa yang kaulakukan? Apa yang kaulakukan? Berhenti! Oh-oh! Ah, shit!”
teriak Ave mendorong-dorong kepala Arthur ke belakang untuk menghentikan lidah
Arthur yang terus berputar di dalam miliknya. Begitu banyak cairan yang
menempel di sekitar mulut Arthur. Arthur menatap Ave tajam, ia tidak ingin
melewatkan momen-momen ini. Lidah Arthur dapat merasakan kedutan dalam milik
Ave, ia tahu Ave akan segera mendapatkan pelepasannya sehingga sekarang mulut
Arthur langsung mencakup seluruh milik Ave hingga Ave mengerang.
“Oh
hentikan!” desah Ave, lalu saat itu juga Ave mendapatkan pelepasannya. “Oh,
jangan berhenti! Jangan berhenti! Yah, benar di sana! Oh, Arthur!” tangan Ave
menekankan kepala Arthur ke bagiannya agar tidak berhenti mengisap seluruh
cairannya. “Arthur!” teriak Ave untuk yang terakhir kali.
“Oooh!
Yeah, terima kasih,”
“Kita
belum selesai sayang,” bisik Arthur mulai memasukan salah satu jarinya ke dalam
milik Ave hingga Ave terpaksa harus memejamkan matanya kembali.
“Tanganku
sudah tak kuat lagi, Arthur!”
“Satu
kali lagi maka kita akan mulai!” ujar Arthur memasukan jarinya yang lain ke
dalam milik Ave. Ave mendesah, salah satu tangannya meremas dadanya yang masih
memakai bra itu. Itu dikarenakan Ave tidak tahu harus meremas apa lagi.
Digigitnya bibir bawahnya sendiri sambil Arthur menatapnya dan memberikannya
kenikmatan yang tiada tara.
“Kau
sangat seksi!” erang Arthur di bawah sana, jarinya semakin cepat bergerak.
“Arthur!
Oh! Arthur! Ah, damn!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar