Sabtu, 03 Agustus 2013

Criminal Crime Bab 3




***

            Aku meringis. Ini sangat-sangat-sangat membuatku ingin muntah sekarang.Bagaimana mungkin Justin Bieber adalah rekan kerja dari atasanku? Ini sungguh bodoh. Aku, asistennya baru saja sadar setelah aku melihat jadwal pertemuan atasanku hari ini. Ternyata siang ini aku akan bertemu dengan Justin lagi setelah jam 9 pagi tadi aku baru saja meninggalkan rumahnya. Well, saat aku meninggalkan rumah Justin, kepribadiannya yang muncul setelah Kevin adalah Justin. Jadi, Justin baik-baik saja. Tapi sekarang? Aku tidak tahu apa Justin sedang berubah menjadi Kevin, Darren atau mungkin Arthur. Oh, atau si penggoda itu, Max.Well, memang setelah jadwal pertemuan bersama dengan Justin jam 1 siang ini adalah pertemuan terakhir dari Mr.Wood, atasanku. Dan well, Mr.Wood akan mengambil beberapa hari untuk liburan bersama keluarganya. Maksudku, bukan beberapa hari. Tapi beberapa bulan hingga natal, atau bisa kubilang 1 atau 2 bulan ke depan. Sebenarnya aku juga masih memiliki banyak pekerjaan untuk mengurusi masalah-masalah yang harus ditangani Mr.Wood sehabis ia pulang dari liburannya.
            Restoran yang sedang kusinggahi ini memang elegan, harus kuakui. Meski aku tidak begitu menyukai kemewahan. Well, aku lebih suka bersikap santai dibanding formal seperti ini. Tapi karena sekarang aku bekerja maka restoran ini yang harus kupesan. Mr.Wood yang menyuruhku untuk memilih salah satu restoran untuk makan siang bersama dengan Justin, Max, Arthur, Darren dan Kevin Bieber. Mr.Wood tampaknya sedang sibuk dengan ponselnya sambil menunggu Mr.Bieber yang lama sekali datang. Sedangkan aku terduduk di sini, menatapnya seperti orang bodoh dan memegang map yang telah kubuat untuknya dan Mr.Bieber. Perjanjian. Surat perjanjian. Kulirik jam tangan yang kupakai. Mr.Bieber sepertinya senang sekali terlambat datang. In sudah jam 1.15 namun ia belum muncul.
            “Hello, Mr.Wood,” suara familiar di telingaku terdengar begitu saja dari belakang. Mr.Wood yang berbicara dengan ponselnya dengan terpaksa untuk memutuskan sambungan. Lalu saat aku berdiri, muncullah Justin dengan gaya rambutnya yang lebih rapi. Well, Mr.Bieber memakai topi biasa berwarna hitam, baju putih Polo, serta celana jins hitam melekat di kakinya. Apa Justin tahu aku yang akan ditemuinya? Karena jujur saja, tubuh Justin benar-benar tercetak indah di dalam baju itu.
            “Hei, Mr.Bieber! Aku telah menunggu kedatanganmu,” ujar Mr.Wood menjabat tangan Justin. Justin tersenyum ramah, sopan, berwibawa lalu matanya akhirnya melihat padaku. Ia terdiam sejenak, berusaha untuk mengamati siapa diriku. Oke. Baiklah. Pakaian yang sedang kupakai hanya rompi hitam dengan kemeja putih yang memiliki lengan sepanjang siku-siku lalu rok pensil hitam selutut. Apa yang salah dengan itu? Oh, jangan lupa. Aku memakai syal berwarna putih juga. Justin menjulurkan tangannya, berniat untuk menjabatku. Langsung saja kusentuh tangannya dengan lembut.
            “Ave. Ave Harris. Senang bertemu denganmu, Mr.Bieber,”
            “Justin, Justin Bieber,” ujarnya tersenyum ..bahagia? Aku tidak tahu.
            “Silahkan duduk, Mr.Bieber. Silahkan duduk. Aku telah memesan beberapa makanan untuk kita siang hari ini. Sambil menunggu, mungkin kita dapat membicarakan bisnis kita yang telah tertunda beberapa minggu,” ujar Mr.Wood yang memang selalu ramah pada orang-orang dan ia tidak pernah ingin membuang-buang waktunya. Mr.Wood memang pekerja keras. Menurutku, Mr.Wood adalah bos, suami dan ayah yang baik. Ia pintar membagi waktu kerja dengan keluarga. Ia sudah berumur 50 tahun, namun ia masih kuat bekerja. Anaknya seumur dengan Justin, 30 tahun. Well, anaknya juga belum menikah. Tampan pula, hanya saja aku tidak tertarik. Meski tiap pagi aku akan bertemu dengannya lalu ia akan mengedipkan salah satu matanya padaku. Sama seperti Max yang senang menggoda. Tapi, Max tidak semurah anak Mr.Wood. Anak Mr.Wood yang bernama Ian itu tampaknya selalu memamerkan bulu dadanya dan bokongnya yang harus kuakui ia memiliki bokong lelaki yang indah.
            “Berikan aku surat perjanjiannya,” ujar Mr. Wood yang membuat lamunanku terbuyar begitu saja. Aku benar-benar kikuk saat aku memberikan map serta pulpen untuk Mr.Wood. Namun aku masih berusaha untuk bersikap professional sehingga bibirku dari tadi tersenyum. Justin menatapku sejenak, melihatku dari pinggang hingga wajahku kembali. Tatapannya ..demi apa pun, ia menggodaku lagi. Justin benar-benar cerdas! Di saat Mr.Wood sedang memeriksa surat perjanjian itu, Justin masih bisa menggodaku di kesempatan seperti ini. “Ya, kau bisa membacanya sekarang,”
            “Oh, tentu saja,” ujar Justin tanpa merasa terganggu karena aksinya terpaksa ia hentikan. Ia benar-benar cerdas dalam merespon seseorang. Apa dia Max? Atau dia Justin? Mereka berdua tidak beda jauh, kurasa. Well, Justin lebih normal dibanding Max yang lebih mendominan pada godaan. Maksudku, ia pintar menggoda. Aku memerhatikan Justin yang menyatukan kedua alisnya, menyimak baik-baik surat perjanjian yang beberapa hari yang lalu telah kubuat. Pantas saja lelaki ini kaya. Ia memiliki banyak perjanjian dengan banyak pengusaha lainnya. Yang luar biasa di antara semuanya adalah di umurnya yang 30 tahun ini ia terlihat sangat muda. Fisik dan wajahnya seperti tidak mengikuti umurnya yang tiap tahunnya bertambah tua. Setelah ini aku harus kembali ke kantor untuk mengurusi beberapa berkas yang kutunda dua hari yang lalu. Uh, mungkin hari ini aku akan lembur. Karena banyak sekali ..bukan beberapa berkas. Sial. Justin tidak mengatakan apa pun setelah ia membaca surat perjanjian itu namun ia langsung mengeluarkan pulpennya lalu menandatanganinya.
            “Well, seorang lelaki harus berani untuk mengambil keputusan bukan? Meski resiko yang ditanggung besar?” tanya Justin pada Mr.Wood. “Benar bukan, Ave?” ia menekankan nada suaranya saat ia menyebutkan namaku. Aku tersenyum malu-malu.
            “Ya, tentu saja,” jawabku. Justin memberikan surat perjanjian itu pada Mr.Wood kembali lalu ia mengedipkan salah satu matanya padaku. Tatapannya begitu tajam. Apa dia Max? Bisa saja Justin berpura-pura bukan? “Well, Mr.Wood. Apa kau bisa menceritakan bagaimana bisa kau mendapatkan asisten secantik Mrs. Harris?”
            “Oh, tidak Mr.Bieber. Aku belum menikah,” ujarku menggeleng-gelengkan kepalaku. Apa-apaan yang sedang Justin lakukan? Dia tahu aku belum menikah. Apa dia sedang menggodaku atau ia baru saja lupa ingatan? Mr.Wood tertawa seperti kakek-kakek pada umumnya, ia terbatuk-batuk lalu menelan ludahnya.
            “Well, aku melihat kerja keras dari Ms. Harris dua tahun yang lalu. Awalnya ia hanya magang di kantorku, namun aku senang melihatnya yang begitu keras bekerja sehingga aku memutuskan untuk menjadikannya asistenku. Well, selama ia menjadi asistenku, perusahaanku semakin berkembang. Ini juga berkatnya,” ujar Mr.Wood menyanjungku. Pipiku memerah. Mengapa Mr.Wood memujiku begitu berlebihan? Kenyataanya memang seperti itu, paling tidak ia tidak perlu mengatakan kalau aku adalah pekerja keras. Itu benar-benar membuatku malu sekaligus bangga secara bersamaan.
            “Oh?” Justin mengedipkan matanya berkali-kali dengan kedua alisnya terangkat. “Benarkah? Well, kau sangat beruntung Mr.Wood. Aku ingin mendapatkannya kalau seperti ini,”
            Mr.Wood tertawa. “Yeah, benar. Banyak yang memiliki pemikiran sepertimu Mr.Bieber,”
            “Permisi,” suara dari pelayan terdengar dari belakang. Lalu beberapa pelayan yang lain mulai menempatkan piring-piring yang berisi makanan ke atas meja makan. Aku memerhatikan Justin yang telah mengeluarkan ponselnya lalu keningnya berkerut. Oh, ada apa? Lalu ia mengetik sebuah pesan, kurasa, pada seseorang. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti kesal akan sesuatu. Apa yang terjadi? Justin menarik nafasnya setelah ia selesai dengan ponselnya. Matanya langsung bertemu denganku kemudian senyumannya terlihat.
            “Aku ..harus pergi ke toilet,” ujar Justin menarik nafasnya. Wajahnya tiba-tiba saja pucat setelah ia sibuk dengan ponselnya itu. Apa sebenarnya yang terjadi dengannya? Justin meninggalkan meja makan lalu aku mulai mengambil garpu serta pisau untuk mengambil makananku.
            “Aku suka dengan pemuda itu. Apa kau menyukainya?”
            “Well, dia memang hebat,” ujarku asal.
            “Apa sebelumnya kau pernah bertemu dengannya?” tanya Mr.Wood, menyelidiki.
            “Well, yeah. Ayahku bekerja sama dengannya,” ujarku, jujur. Mr.Wood tertawa pelan.
            “Sepertinya dunia ini sangat sempit,” ujarnya. Well, apa yang bisa kukatakan? Aku hanya dapat mendiamkanya.

***

            Sudah kuduga aku akan pulang selarut ini. Well, kurasa hanya beberapa karyawan yang masih berada di dalam kantor. Kulirik jam yang berada di dalam komputerku. Sudah jam 10 malam namun pekerjaanku belum selesai juga. Mungkin aku akan menyelesaikannya hari Senin. Kusandarkan tubuhku ke kursi untuk mendapatkan istirahat sejenak. Oh, kapan aku mendapatkan seorang kekasih? Setelah sekian lama aku berpikir tentang karirku dan aku mendapatkannya, sekarang saatnya aku memikirkan jodohku. Siapa yang akan menjadi kekasihku? Siapa yang akan menjadi ayah atas anak-anakku? Pikiranku melayang tak menentu. Apa dia Elliot? Ian? Atau Justin ..mungkin? Pft! Justin, tidak mungkin aku bisa mendapatkannya. Aku menangani Justin, Max dan Kevin saja aku sudah merasa pusing. Bagaimana dengan kepribadiannya yang lain? Namun Kevin juga menyenangkan. Meski tadi pagi ia bersungut-sungut padaku kalau ia masih 8 tahun jadi ia harus dimandikan. Well, apa-apaan? Aku tidak mungkin memandikan Kevin. Bukannya aku memandikannya, mungkin aku akan bergairah. Jadi aku memaksa Kevin untuk belajar mandi sendiri. Satu hal yang kupikirkan saat itu ..apa Mrs.Ellie memandikan Kevin di pagi hari? Jika ya, Justin harus malu terhadap dirinya sendiri. Apa yang menyebabkannya seperti itu? Sudah berapa lama ia seperti itu? Ini sungguh menyeramkan.
            Kubuka mataku lalu duduk dengan tegak kembali. Kurasa aku harus pulang. Tanganku mulai mematikan komputer lalu merapi barang-barang yang berserakan di atas meja kerjaku. Kudengar suara kaki dari belakang. Oke. Kantorku sekarang sudah gelap dan hanya ada beberapa orang di sini. Mungkin hanya ada tiga orang yang terpaksa lembur malam ini. Kelly, tidak mungkin! Ia wanita malas! Tidak mungkin lembur. Meski ia pemalas, ia adalah teman yang sangat menyenangkan. Seharusnya hari ini aku bersenang-senang dengannya, tapi yeah, aku memiliki banyak pekerjaan.
            “Kafka? Kaukah itu?” tanyaku saat aku merapikan beberapa map.
            “Hei,” suara lembut dari seorang lelaki terdengar  di telingaku. Dia muncul secara tiba-tiba! Ya Tuhan! Dia bukan Kafka, teman kerjaku. Tapi ia adalah Ian. Apa yang Ian lakukan malam-malam seperti ini di kantor ayahnya? Dan ya, Ian juga bekerja di kantor ayahnya. Namun biasanya ia tidak lembur sampai jam 10 malam. “Ingin bersenang-senang denganku malam ini? Besok adalah hari Minggu,”
            “Ian,” aku terkekeh pelan, berusaha untuk tidak gugup. “Kurasa tidak. Itu bukan ide yang bagus,” ujarku secara halus menolaknya. Dagu Ian telah berada di atas bahuku, kubiarkan sejenak hingga aku langsung berdiri sekarang. Ia meringis pelan.
            “Auch, kau ternyata gadis yang benar-benar ganas,”
            “Apa yang sedang kaubicarakan Ian? Itu konyol,” ujarku terkekeh kembali. Kuperhatikan seluruh mejaku. Sudah bersih, barang-barangku telah kumasukan ke dalam tasku. Sekarang aku …disergap oleh Ian dari belakang! Ian memelukku lalu menempatkan bibirnya pada leherku hingga aku mendesah. Ya Tuhan! Apa-apaan yang lelaki ini sedang lakukan? Aku mendesah sambil tanganku berusaha untuk memukul kepalanya.
            “Ian! Apa yang kaulakukan? Kau gila!”
            “Aku gila karena kau juga, sayang,” bisik Ian tertawa jahat. Ya ampun. Ini tidak boleh terjadi. Bisa-bisa reputasiku, nama baikku di kantor ini rusak hanya karena Ian bersetubuh denganku di kantor ini. Bisa saja Ian memutarbalikan fakta kenyataan bahwa ia yang menyergapku lalu ia akan mengatakan bahwa aku yang menggodanya. Tidak! Itu tidak boleh terjadi.
            “Ian! Aw! Menjauh dariku!” teriakku memukul kepalanya hingga ia menjauhkan kepalanya dari leherku. Kemana petugas keamanan? Ya Tuhan. Jantungku berdetak kencang, berusaha untuk mengambil nafas kembali, namun terlambat saat Ian langsung menyerbu tubuhku hingga aku jatuh ke atas lantai. Ia menindihku dengan berat badannya yang tidak terlalu berat itu, namun karena aku memiliki tubuh yang ..sial. Ia kembali mencium leherku.
            “Kautahu apa? Aku tergila-gila dengan lehermu. Rasanya ..mmh, kau sangat harum,”
            “Tidak! Ian! Ini tidak benar! Aku asisten ayahmu!” aku berteriak mendorong kepalanya sekuat mungkin. Namun hasilnya nihil! Ia lebih kuat dibanding diriku.
            “Lalu mengapa jika kau adalah asisten ayahku? Setelah satu tahun aku menunggu ini, akhirnya aku mendapatkan waktu emas ini,” ujar Ian yang benar-benar terkesan seperti psikopat. Aku memejamkan mataku, tak ingin melihat apa yang ia lakukan. Karena apa pun yang kulakukan sudah pasti aku kalah. Itu sama saja aku membuang-buang tenagaku. Namun suara tawaannya yang tadi muncul tiba-tiba saja tidak terdengar kembali. Bahkan tubuhnya tidak terasa di atas tubuhku lalu kubuka mataku. Suara tubuh yang terlempar terdengar. Kulihat Justin …baru saja melempar tubuh Ian pada tembok hingga suara erangan Ian terdengar. Tidak hanya sampai di sana saja, Ian yang ingin jatuh setelah dilempar ke tembok itu langsung terangkat kembali dengan tangan Justin yang menarik kerah kemeja yang ia pakai. Lalu Justin memukul kepala Ian hingga Ian mengerang kesakitan. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin Justin dapat pergi ke tempat ini? Apa dia mengikutiku? Aku berdiri untuk menghentikan perbuatan Justin.
            “Justin! Hentikan!” teriakku, tak ingin melihat yang lebih. Saat itu juga Justin melepaskan kerah pakaian Ian hingga tubuh Ian tergeletak jatuh ke atas lantai. “Ya Tuhan! Justin, bagaimana kau bisa datang ke tempat kerjaku?”
            “Aku mengikutimu,” ujar Justin, dingin. “Dan aku bukan Justin. Aku Arthur,” ujar ..Arthur. Ya Tuhan. Ini benar-benar menakutkan. “Awalnya Justin mengikutimu ke kantor ini dan membuang waktunya hanya untukmu. Lalu setelah sampai jam 10, kau tidak keluar dari kantormu membuatnya khawatir. Lalu ..aku muncul saat melihatmu bersama dengan lelaki sialan ini yang berusaha memerkosamu,” ujar Arthur menarik nafasnya yang terengah-engah. Aku panik! Benar-benar panik. Bagaimana jika karena ini aku kehilangan pekerjaanku?
            “Ternyata aku tahu mengapa Justin mengagumimu. Setelah tadi siang ..sebenarnya, akulah yang muncul saat aku mendapatkan pesan sialan. Aku tidak memerhatikanmu berbicara, namun kau tersenyum padaku maka aku membalas senyumanmu. Dan melihatmu sedekat ini ..aku tahu mengapa Justin benar-benar menyukaimu,” ujar Arthur. Apa? Apa yang sedang ia katakan? Aku tidak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan kepribadian ganda karena itu adalah suatu hal yang menyeramkan! Rasanya aku bisa bunuh diri hanya karena lima kepribadian Justin.
            “Mengapa?”
            “Well, ternyata kau panas. Harus kuakui,” ujarnya tersenyum miring. Aku terdiam. “Kita tidak mempunyai banyak waktu. Ayo kita pulang!”

****

*Author POV*

            Arthur baru saja melempar kunci mobilnya ke atas meja ruang tamunya dengan asal. Ia membawa Ave ke rumahnya kembali setelah kemarin Ave baru saja menginap di rumahnya. Justin, Max, bahkan Arthur juga tertarik dengan Ave. Setelah beberapa saat yang lalu Arthur menyuruh Ave untuk menghubungi ayahnya untuk tidak pulang hari ini karena Arthur ingin mengetahui lebih dalam tentang Ave. Kini saatnya Arthur yang mengenal Ave lebih dalam lagi setelah Justin dan Max bahkan Kevin telah mendapatkan kesempatannya. Mungkin bersenang-senang malam seperti ini bersama dengan Ave akan sangat menyenangkan. Beberapa jam yang lalu Arthur baru saja diliputi oleh kemarahan yang sepertinya tak dapat dikuasai oleh dirinya sendiri hingga kaca restoran yang ia tinju pecah. Mengetahui Arthur adalah seorang pengusaha kaya yang dapat mengganti rugi kaca murahan restoran. Terpaksa Ave harus berbohong pada ayahnya kalau ia akan lembur hingga besok pagi sehingga ia harus menginap di kantornya.  Misi Arthur untuk menghancurkan salah satu perusahaan gagal begitu saja karena anak buahnya yang sungguh tolol. Bahkan sebenarnya, jika bukan karena Ave, ia pasti sudah membunuh anak buah itu. Karena Arthur tidak ingin Ave mengetahui siapa Arthur sebenarnya, Arthur tidak ingin Justin dan Max dapat mendekati Ave dengan mudahnya. Sedangkan ia sendiri harus berusaha sendiri mengambil hati Ave jika Ave mengetahui siapa Arthur sebenarnya. Sejauh ini Ave tidak mengetahui siapa Arthur.
            Ave menarik nafasnya. Bertanya-tanya mengapa Justin, Max atau Arthur sepertinya selalu mengawasi di setiap langkahnya. Well, mungkin Ave terlalu percaya diri. Tidak mungkin lelaki itu mengikutinya. Ada beberapa hal yang Ave bingungkan terhadap ..lelaki ini. Ia harus memanggil mereka apa? Justin? Max? Atau Arthur? Kevin masih dapat ditangani oleh Ave, namun tiga lelaki dewasa yang dapat membuatnya bergairah? Ave meragukan keahlian acuh tak acuhnya terhadap satu lelaki yang memiliki lima kepribadian. Bayangkan saja, lima! Apa itu tidak sinting? Tentu saja itu sinting. Dr.Amanda sekarang terus melintasi pikiran Ave. Apa dr.Amanda telah mengetahui bagaimana caranya menyembuhkan Justin dan kawan-kawannya? Ave rasa tidak. Karena dilihat dari sikap Arthur sekarang ..uh, sangat membingungkan. Arthur tidak mengatakan apa pun saat mereka telah sampai di lantai dua. Entah apa tujuan Arthur membawa Ave ke sini, Ave tidak tahu. Tapi yang jelas Ave masih linglung dengan apa yang baru saja terjadi dengannya. Hampir diperkosa lalu Justin –Arthur—datang seketika di hadapannya. Itu sangat mengejutkan hingga ia membutuhkan air minum karena tenggorokannya terlalu kering untuk menjerit saat Arthur tadi datang.
            Dijatuhkannya bokong Ave ke atas sofa lalu ia memejamkan matanya sejenak. Ia kegerahan. Ia ingin mandi. Ave butuh relaksasi sesaat. Ponselnya berdering dari dalam tas kantor yang ia bawa. Dengan malas Ave membuka retsleting tasnya lalu mengambil ponselnya. Matanya langsung melihat ke arah layar ponselnya yang beberapa detik menyala, menampilkan nama Elliot di sana. Sial. Mengapa Elliot sepertinya senang sekali membuat hari-hari yang menyenangkannya menjadi hari terjenuh yang pernah ada? Terpaksa Ave harus mematikan ponselnya. Ia sedang tidak ingin diganggu. Ia sedang memikirkan bagaimana keadaan Ian yang masih terbaring lemah di atas lantai setelah Arthur memukulnya. Bahkan saat Arthur memukul kepala Ian, Ave dapat mendengar suara pukulan pada tulang kepala Arthur. Itu pasti sangat menyakitkan. Terlebih lagi wajah Arthur dan Ian sama-sama memerah setelah mereka melakukan perkelahian singkat yang dimenangkan oleh Arthur, tentu saja. Bagaimana jika atau sudah pasti Ave akan dipecat dikarenakan Ian masuk rumah sakit lalu gegar otak karena pukulan Arthur yang keras itu? Ini sangat menyeramkan. Bisa saja Ian mengatakan bahwa Ave yang menjebaknya, mungkin.
            Arthur muncul dari kamarnya setelah beberapa menit menghilang di dalamnya sambil memegang segelas air dan sekain handuk untuk Ave. Ada dua hal yang membuat Ave jatuh hati langsung pada Arthur. Sikapnya serta raut wajahnya yang misterius, susah ditebak, dan dingin. Ave membayangkan bagaimana jika Arthur benar-benar ada –memang sudah ada—di dunia dalam wujud yang berbeda. Bukan dalam wujud Justin Bieber, lelaki yang cukup menghargai wanita serta ingin membuat hubungan yang baik dengan wanita namun usahanya tidak berhasil.
            “Aku tahu kau masih trauma dengan kejadian tadi, minumlah. Kuharap kau lebih tenang,” ujar Arthur dengan suara yang tidak jauh berbeda dari Justin dan Max. Perbedaannya hanyalah tersirat suatu dalam nada bicaranya, serta suaranya seperi bisikan atau desahan seksi yang tidak disengajakan. Seolah-olah suara itu memang alamiah. Memang sudah dari tubuh Justin dalam pribadi Arthur. Ave meneguk air minumnya setelah ia menarik gelas itu dari tangan Arthur. Arthur memperhatikan Ave baik-baik. Keringat membasahi kepala wanita ini. Sial. Arthur bergairah, sangat bergairah dengan wanita ini. Ia harus menang di antara dua lelaki sialan yang satu tubuh dengannya. Ia harus mengalahkan Justin dan Max. Terlebih lagi pada Max yang lebih ahli dalam menggoda wanita. Arthur hanya dapat membuat wanita bertekuk lutut dengan tatapan matanya. Sedangkan Max dapat membuat wanita bertekuk lutut dengan senyumannya yang menggoda. Arthur benar-benar terpaksa melakukan ini hanya untuk bekerjasama dengan Justin yang menginginkan Ave. Ada suatu dorongan yang membuat Justin tak berani untuk menyentuh Ave sebelum mereka benar-benar memiliki status yang pasti. Meski awalnya Justin tak begitu tertarik dengan Ave saat mereka bertemu di rumah orangtua Ave, namun setelah melihat dan berbicara dengan Ave secara individual, Justin dapat merasakan darahnya yang mendidih di balik kulit putihnya. Darah yang mendidih itu siap untuk dituangkan pada wadahnya, namun ia tidak berani karena ia masih ingin darah itu mendidih hingga uap itu dapat membuatnya berkeringat.
            “Apa? Ada yang salah denganku? Mengapa kau membawaku ke rumahmu? Lagi?” tanya Ave, mengutarakan begitu banyak pertanyaan yang dapat Arthur jawab di atas tempat tidur nanti. Arthur terdiam, ia tidak menjawab pertanyaan Ave. Memang Arthur tidak menjawab pertanyaan Ave, namun aksinya yang akan menjawab pertanyaan itu. Arthur mengambil gelas yang sudah tidak berisi air lagi. Ia menaruhnya di atas meja sebelah sofa ruang santainya. Justin tidak ingin menamai ruangan itu sebagai ruang keluarga karena Justin tidak memiliki keluarga, dari dulu hingga sekarang.
            “Kau butuh mandi. Keringatmu membuatku gelisah, biar aku memandikanmu,” ujar Arthur dengan nada suara yang kali ini tidak seksi, namun merajuk. Ave menaikkan salah satu alisnya, tidak mengerti apa yang Arthur katakan. Apa Arthur sudah gila? Ave bisa mandi sendiri.
            “A-aku bisa mandi sendiri. Aku sudah dewasa,”
            “Aku juga. Aku sudah dewasa dan aku juga ingin mandi. Apa gunanya dua orang dewasa yang berbeda jenis dalam satu ruangan tidak melakukan sesuatu yang menyenangkan?” tanya Arthur, nadanya benar-benar menggoda namun lebih mendominan kepada nada suara yang serius. “Ave, aku tidak perlu meminta dua kali padamu bukan?”
            “Jika kau meminta padaku dua kali, apa yang akan terjadi?”
            “Aku akan memaksamu, menggendongmu. Lalu kau akan bertekuk lutut padaku, memohon-mohon padaku untuk melakukan sesuatu yang pada awalnya tidak kau ingin lakukan. Bagaimana dengan itu? Haruskah, Ave?” tanya Arthur memiringkan kepalanya ke salah satu sisi. Ave tertegun. Tentu saja Ave tidak ingin Arthur menyeret-seretnya ke kamar mandi dengan cara yang kasar. Lagi pula apa kerugiannya jika ia dapat melakukan “sesuatu” yang menyenangkan dengan lelaki tampan seperti Arthur? Dia seksi, semua orang tahu itu. “Ave?”
            Ave berdiri dari tempatnya, menarik tangan Arthur yang terjulur itu. “Gadis manis,” puji Arthur, kali ini tersenyum. Ave seharusnya beruntung karena ia adalah satu-satunya wanita yang mendapatkan senyuman paling banyak dari seorang Arthur yang memiliki wujud Justin. Namun Ave tidak mengetahui itu. Dibawanya Ave ke kamar mandi oleh Arthur yang miliknya sudah berereksi sejak ia berada di dalam mobil. Rasanya Arthur ingin sekali menarik tubuh Ave lalu mendorong Ave ke tembok, membalik tubuh Ave dan memasuki Ave dari belakang. Lalu ia akan membuat Ave menjerit-jerit minta tolong untuk menghentikan apa yang ia lakukan. Namun ia tak sampai hati untuk melakukan itu, meski kenyataan berkata bahwa ia tidak memiliki hati. Tapi, Ave. Kaki Ave telah menyentuh lantai kamar mandi yang kering. Begitupun Arthur. Dikuncinya pintu kamar mandi itu sehingga kamar mandi terasa lebih hangat. Nafas mereka bersahut-sahutan.
            “Seperti ini perjanjiannya, Ave. Kau hanya perlu diam. Tidak ada yang perlu kaulakukan karena aku akan mengurus kau sebaik mungkin,” ujar Arthur yang membuat Ave menutup mulutnya lebih rapat lagi. Ave tidak dapat membantah Arthur, teringat dengan apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. Arthur telah mengaitkan handuk yang tadi ia bawa. Lalu tangannya yang besar itu menarik pinggang Ave hingga tubuh mereka berdempetan. “Aku tidak pernah bertemu dengan gadis seseksi dirimu, Ave. Aku menyukaimu,” bisik Arthur mengecup pipi Ave. Tidak hanya sampai di sana, Arthur kembali mengecup sudut mata Ave hingga Ave terpaksa harus menutup matanya, berusaha untuk menikmati apa yang Arthur lakukan.
            “Kau akan menjadi milikku, Ave. Aku yang akan menjadi lelaki pertama yang memilikimu,” bisik Arthur mengecup kening Ave. Kecupannya terus berlanjut, ada bunyi cepakan ciuman tiap kali bibirnya bertemu dengan kulit wajah Ave. Lalu bibir itu berakhir pada bibir Ave. Bibir Ave kaku sehingga Arthur tersenyum konyol. Ave benar-benar tegang. “Tenang, biarkan tubuhmu mengikuti nalurimu,” bisik Arthur. Kembali Arthur mengecup bibir Ave. Kali ini Ave memajukan bibirnya agar ia dapat mengapit bibir Arthur. “Buka mulutmu sayang,”
            Ave membuka mulutnya begitu patuh terhadap Arthur. Tak ingin membuang-buang waktu Arthur langsung melesakan lidahnya ke dalam mulut Ave. Lalu mulut mereka benar-benar bersatu. Tangan kanan Arthur memegang leher Ave agar mulut mereka tak lepas sama sekali. Tangan kiri Arthur dengan lembutnya membuka satu per satu kancing rompi milik Ave. Kemudian dilepaskannya rompi itu dari tubuh Ave. Ave ketagihan dengan bibir Arthur sehingga sekarang mulut mereka beradu lebih ganas. Semakin cepat mereka memiringkan kepala mereka, semakin cepat pula tangan Arthur membuka baju Ave. Setelah atasan Ave terbuka seluruhnya, Arthur semakin mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Ave sehingga dada Ave yang terlapisi oleh bra itu bersentuhan dengan perut Arthur yang keras. “Oh, yes! Arthur!” desah Ave tak kuasa saat salah satu tangan Arthur mulai meremas pelan buah dadanya. Tangannya yang lain membuka retsleting rok pendek yang Ave pakai hingga sekarang Ave hanya memakai bra dan celana dalamnya. Ave sudah basah di bawah sana. Terlebih lagi tangan Arthur mulai menyentuh celana dalam basahnya lalu ia menggesek-gesekan jarinya di bawah sana hingga Ave mengerang dalam mulut Arthur. Semuanya terhenti saat Arthur menjauhkan tubuhnya dari Ave.
            “Berbaring di atas bath-up. Air hangat itu hanya untukmu dan untukku malam ini,” bisik Arthur.
            “Apa ak—“
            “Ssh, lakukan apa yang kubilang,” Arthur memotong ucapan Ave yang berniat untuk membuka bra dan celana dalamnya. Ave masuk  ke dalam bath-up lalu ia berbaring di dalam sana. Tubuhnya terlihat dari air jernih yang berombak saat Ave masuk ke dalamnya. Tiba saatnya Arthur membuka pakaiannya. Ave tercengang, ingin mati rasanya saat ia melihat Arthur membuka pakaian atasnya yang sekarang telah memperlihatkan dada serta perutnya yang berotot. Dapat dipastikan dada Arthur sangat keras. Pundak Arthur lebar, sama seperti dewa Yunani lainnya. Oh, rasanya Ave ingin menyentuh dirinya sendiri.
            “Apa aku boleh menyentuh diriku sendiri?”
            “Goda aku, jika kau mau,” ujar Arthur, tanpa ekspresi. Setelah Arthur berkata seperti itu Ave langsung membuka celana dalamnya, ia benar-benar ingin menyentuh tubuhnya sendiri. Ave menyandarkan kepalanya ke ujung bath-up lalu menempatkan tangannya yang mungil itu ke bagian bawahnya. Ia memejamkan matanya saat jari-jari terampilnya mulai menyentuh bagian bawahnya itu. Arthur memperhatikannya. Sangat putih. Bersih. Astaga, Arthur rasanya ingin cepat-cepat menyentuh tubuh wanita ini. Sisa celana dalam Arthur yang menutupi tubuh Arthur yang luar biasa sempurna itu. Arthur telah benar-benar mengeras di bawah sana. Terlebih lagi Ave yang sedang bermasturbasi di depannya. Ave memejamkan matanya, merasakan kenikmatan dari tangannya sendiri sambil mendesah pelan. “Godaanmu berhasil, Ms.Harris,” bisik Arthur ikut masuk ke dalam bath-up. Ia menarik tangan Ave untuk menjauh dari bagian bawah Ave.
            “Oh, Arthur! Aku sudah dekat!” jerit Ave, ingin menyentuh miliknya lagi. Namun Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya. Arthur menarik kedua lutut Ave ke atas sehingga sekarang ujung lutut Ave menyentuh dadanya sendiri. “Sentuh aku!”
            “Dengan senang hati,” bisik Arthur mengangkat bokong Ave ke atas lalu ia menempatkan kedua kaki Ave ke atas pundaknya sehingga sekarang milik Ave telah berhadap di mulut Arthur. “Kau sangat seksi di bawah sini. Merah muda. Seperti perawan,”
            “Mmh!” desah Ave memejamkan matanya setelah Arthur menjulurkan lidahnya masuk ke dalam milik Ave. Mata Arthur tak terpejam, ia ingin melihat wajah Ave yang menikmati kehebatan lidahnya. Kedua betis Ave menegang saat Arthur mengemut bagian atas milik Ave hingga pinggang Ave yang melayang itu semakin ke atas.
            “Oh, Arthur! Apa yang kaulakukan? Apa yang kaulakukan? Berhenti! Oh-oh! Ah, shit!” teriak Ave mendorong-dorong kepala Arthur ke belakang untuk menghentikan lidah Arthur yang terus berputar di dalam miliknya. Begitu banyak cairan yang menempel di sekitar mulut Arthur. Arthur menatap Ave tajam, ia tidak ingin melewatkan momen-momen ini. Lidah Arthur dapat merasakan kedutan dalam milik Ave, ia tahu Ave akan segera mendapatkan pelepasannya sehingga sekarang mulut Arthur langsung mencakup seluruh milik Ave hingga Ave mengerang.
            “Oh hentikan!” desah Ave, lalu saat itu juga Ave mendapatkan pelepasannya. “Oh, jangan berhenti! Jangan berhenti! Yah, benar di sana! Oh, Arthur!” tangan Ave menekankan kepala Arthur ke bagiannya agar tidak berhenti mengisap seluruh cairannya. “Arthur!” teriak Ave untuk yang terakhir kali.
            “Oooh! Yeah, terima kasih,”
            “Kita belum selesai sayang,” bisik Arthur mulai memasukan salah satu jarinya ke dalam milik Ave hingga Ave terpaksa harus memejamkan matanya kembali.
            “Tanganku sudah tak kuat lagi, Arthur!”
            “Satu kali lagi maka kita akan mulai!” ujar Arthur memasukan jarinya yang lain ke dalam milik Ave. Ave mendesah, salah satu tangannya meremas dadanya yang masih memakai bra itu. Itu dikarenakan Ave tidak tahu harus meremas apa lagi. Digigitnya bibir bawahnya sendiri sambil Arthur menatapnya dan memberikannya kenikmatan yang tiada tara.
            “Kau sangat seksi!” erang Arthur di bawah sana, jarinya semakin cepat bergerak.

            “Arthur! Oh! Arthur! Ah, damn!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar