Sabtu, 03 Agustus 2013

Criminal Crime Bab 4




***

             Kepala Ave bersandar pada bahu Arthur. Ia benar-benar kelelahan setelah ia mendapatkan dua pelepasan dari lelaki pendiam itu. Arthur memeluk Ave dengan erat sambil jari-jarinya berusaha untuk melepaskan kaitan bra Ave. Bahkan Ave bernafas melalui mulutnya sekarang. Rambutnyapun telah basah. Arthur memberikan Ave pernafasan sejenak sebelum ia bermain pada permainan yang utama. Karena Arthur tahu, ini akan berlangsung lama. Ia tahu Ave tidak akan sanggup untuk menampung seluruh hasrat Arthur yang menggebu-gebu. Arthur memang pintar untuk menyembunyikan perasaannya. Setelah beberapa menit Ave beristirahat, ia mengangkat kepalanya dari bahu Arthur.
            “Kau gila,” bisik Ave menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Berdiri,” Arthur mengabaikan komentar Ave yang tidak sama sekali penting untuknya. Namun mendengar suara Arthur yang dingin serta memerintah, Ave bangkit dari bath-up. Disusul oleh Arthur yang sambil menarik tali bra Ave agar lepas dari tubuh Ave. Arthur menelan ludahnya, tak kuasa untuk menahan rasa laparnya terhadap wanita di hadapannya. Buah dada Ave benar-benar pas dengan ukuran tubuhnya. Arthur menyukai bentuk tubuh Ave. Matanya dari tadi tidak berhenti menatapi kedua gundukan gunung yang cukup besar milik Ave. Lalu tangan Arthur mulai menyentuh pinggang Ave, menariknya agar lebih dekat dengan tubuhnya. Saat tubuh mereka bersentuhan, Ave dapat merasakan sesuatu yang keras di bagian perutnya. Ya ampun, pasti ukurannya besar sekali. Ave benar-benar ketakutan jika miliknya yang kecil akan dimasuki oleh ereksi Arthur yang besar. Ia takut miliknya rusak.
            “Apa kau akan melakukannya kasar denganku?” tanya Ave, mendongakan kepalanya, menatap langsung pada mata Arthur yang misterius. Arthur tidak menjawab pertanyaan Ave, namun ia langsung menarik paha Ave sehingga Ave memeluk leher Arthur, refleks. Digendongnya Ave untuk keluar dari bath-up. Mengapa Arthur tidak menjawab pertanyaannya? Apa yang salah dengan pertanyaan itu? Atau mungkin ..ya ampun. Sekarang Ave merasa sangat bodoh. Jika ia berhubungan badan dengan Justin, Arthur atau teman-temannya yang lain, itu sama dengan Ave sedang berhubungan badan dengan rekan kerjanya sendiri. Atau sama dengan Ave mencoba untuk menggoda Arthur untuk mendapatkan uang yang lebih banyak dari perjanjian yang telah ditetapkan. Atau sama dengan Ave adalah wanita murahan. Tersadar akan pikirannya yang jernih, Ave menatap Arthur dengan tatapan yang angkuh setelah tubuhnya berdempetan dengan tembok. Arthur tentu saja dapat melihat perubahan wajah dari Ave sehingga ia tersenyum kecil. Sial, senyuman itu jarang sekali Arthur keluarkan.
            “Kau ingin berhubungan badan denganku? Pft! Aku tidak sebodoh yang kaukira. Aku tidak ingin berhubungan badan denganmu, aku bukanlah wanita murahan yang sama dengan wanita lain yang pernah kautiduri. Ini bukan gayaku, aku tidak mendapatkan pekerjaan melalui hubungan badan. Sekarang, izinkan aku untuk mengeringkan badanku. Dan pulang,” ujar Ave panjang lebar sehingga itu membuat senyuman Arthur semakin lebar. Salah satu tangan Arthur ia tempatkan di salah satu sisi kepala Ave. Sedangkan tangan yang lain menyentuh bagian tengah dada Ave dari leher hingga perutnya yang rata. Namun dengan cepat Ave menepis tangan itu.
            “Jauhkan tangan kotormu itu dari tubuhku, aku ingin pulang,”
            “Mengapa?”
            “Karena aku tidak ingin dikatakan wanita jalang murahan. Tidak, aku tidak akan melakukan hubungan badan jika itu berlandaskan atas suatu pekerjaan atau suatu perasaan omong kosong,” ujar Ave, kali ini suaranya lebih tegas. Itu membuat senyuman yang Arthur perlihatkan menyurut begitu saja. Arthur tidak mungkin melepaskan wanita sialan ini dari tangannya. Ia harus tidur dengan Ave sebisa mungkin dan selama mungkin sebelum kepribadian yang muncul hanya karena mereka lebih kuat dibanding Arthur. Karena Arthur sekarang sedang terpuruk, rasanya ia ingin berada di dalam tubuh Justin begitu lama. Ia tidak ingin muncul  dari tubuh Justin sebelum ia bertemu dengan Ave. Namun Ave membuatnya lebih kuat setelah tadi siang ia bertemu dengan Ave. Ada daya tarik tersendiri yang dilakukan oleh Ave terhadap dirinya. Tiap kali Ave menatap mata Arthur, senyum kecil yang tiba-tiba muncul di wajahnya terjadi begitu saja tanpa ada keinginan dari tubuh Arthur. Apa-apaan yang terjadi pada Arthur? Apa Arthur benar-benar menyukai Ave? Karena sebelumnya, Arthur tidak pernah menyukai siapa pun di dunia ini. Kecuali Ave. Bibir Arthur menjadi sebuah garis lurus yang tegang serta rapat, ia tidak tahu bagaimana harus menangani wanita ini. Awalnya ia pikir akan mudah tidur dengan Ave, tapi ternyata tidak. Ave berpikiran negatif terhadapnya. Ia hanya ingin memiliki waktu bersama dengan Ave yang ia sendiri bingung mengapa ia menginginkan ini begitu buruk.
            “Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan sialan itu. Sekarang—“
            “Aku ingin pulang!”
            “Bagaimana kau bisa mengatakan pulang namun tubuhmu sendiri dari tadi tidak beranjak dariku? Kau menginginkannya, Ave. Kita berdua tahu kau menginginkannya. Kau menginginkan aku sama seperti aku menginginkanmu. Sekarang diam. Kau akan menyukainya, sayang,” ujar Arthur yang awal ucapannya tegas makin lama makin melembut. “Kau tadi menikmatinya,”
            “Itu karena aku baru sadar! Aku baru sadar kau mempergunakan waktu ini sebaik-baiknya karena aku baru saja ditolong olehmu sehingga kau mungkin berpikir ..sial! Aku tahu kau melakukan ini karena kau berpikir aku merasa bersalah padamu dan aku menjual diriku demi pekerjaan,”
            “Kau aneh,” ujar Arthur tak tanggung-tanggung. Mata Ave melebar, ucapannya terhenti saat Arthur langsung menjatuhkan bibirnya pada bibir Ave. Tanpa aba-aba, Ave langsung memukul pundak Arthur yang membuat Arthur tertawa dalam ciuman mereka. Ave tidak sama sekali menikmati ciuman ini namun Arthur berusaha agar Ave terbuai oleh sentuhannya. Diangkatnya salah satu kaki Ave pada pinggangnya, menahannya di sana sehingga Ave langsung terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat sesuatu yang tumpul mulai menyentuh bagian sensitifnya begitu saja hingga ia mendesah pada mulut Arthur. “Kita tidak perlu menjadi orang yang munafik kan Ave?” tanya Arthur di sela-sela ciumannya. Tangan Ave yang berada di pundak Arthur langsung mencakar pundak Arthur hingga Arthur mengerang meski itu tidak apa-apanya bagi Arthur.
            “Kita tidak perlu menggunakan kekerasan di sini, bukan sayang? Ak ..ah, yeah. Seperti ini ..ah. Kau sangat ketat seperti perawan,”
            “Arthurhh, tidak!” Ave mengerang saat Arthur memasukan ereksinya ke dalam Ave hingga Ave terpaksa harus meremas pundak Arthur. Milik Arthur benar-benar besar sehingga ia tak kuasa untuk menahan rasa sakitnya sekaligus kenikmatan ini. Arthur menempatakan dagunya pada bahu Ave sehingga sekarang tubuh Ave semakin berdempetan dengan tembok.
            “Kita akan bergerak sayang,” bisik Arthur saat seluruh miliknya masuk ke dalam tubuh Ave. Ave mulai menggeleng-gelengkan kepalanya ketakutan. Ia tidak ingin disetubuhi oleh Arthur. Ini bukan yang ia inginkan. Sial. Namun terlambat. Semuanya telah terlambat. Mata Ave terpejam saat Arthur mulai menggerakan tubuhnya naik turun sehingga Ave berusaha untuk menggigit pipi dalamnya agar ia tidak mengerang. “Mendesahlah untukku, aku ingin mendengar suaramu,” bisik Arthur kembali. Kaki Ave yang lain mulai melingkar di sekitar pinggang Arthur sehingga Ave melayang.
            “Aku takut jatuh!”
            “Kau bersamaku sayang,” ujar Arthur terus menggesek-gesekan miliknya ke dalam tubuh Ave. Hingga Ave terus tersentak ke atas bersamaan dengan goyangan pinggul Arthur. Gerakan Arthur semakin lama semakin cepat, membuat Ave terpaksa harus menempatkan mulutnya pada pundak Arthur.Ia mendesah di sela-sela giginya yang menggigit pundak Arthur. Menahan rasa nikmat yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Milik Ave yang kecil itu rasanya tak mampu untuk menampung milik Arthur yang memiliki ukuran yang tak normal untuknya sehingga saat milik Arthur masuk ke dalam Ave, gundukan bagian bawah Ave itu masuk bersamaan dengan masuknya milik Arthur.
            “Oh, my clit! Shit, yes! Right there! Right there! Oh, don’t stop!” jerit Ave saat ia akan sampai pada pelepasannya. Dalam hati Arthur tersenyum karena ia telah berhasil mengambil hati Ave. Membuat Ave memohon-mohon padanya. “Harder, Arthur! Harder!”
            “Harder eh? How about this?” tanya Arthur memelankan gerakannya sehingga Ave berusaha untuk menggoyang-goyangkan pinggulnya. Ave menangis. Ia terisak butuh pelepasan sekarang juga.
            “Oh, no, please. Arthur –Gah! Oh, shit! Damn you!” teriak Ave tersentak saat tiba-tiba saja gerakan Arthur sangat cepat. Ave menggigit pundak Arthur saat ia benar-benar akan mencapai pada pelepasannya. Lalu Ave mulai mengecup pundak hingga leher Arthur. Mata Arthur terpejam, ia tidak boleh keluar sebelum ia melihat Ave mendapatkan pelepasannya yang keempat. Ia harus memberikan pada Ave malam terindah yang tidak pernah ia lewati sebelumnya.
            “Im gonna come!” teriak Ave mulai memeluk leher Arthur dan mengisap leher Arthur saat ia mencapai pelepasannya. “Mmmh,” geramnya menjilat leher Arthur. Saat itu juga Arthur merasakan siraman hangat pada ereksinya yang membuat ia terpaksa harus memejamkan matanya kembali.
            “We’re not done yet,” ujar Arthur berusaha untuk menggendong Ave untuk keluar dari kamar mandi. Miliknya sama sekali tidak keluar dari tubuh Ave. Ave benar-benar tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia masih merasa kelelahan. Rasanya ia akan mati hanya karena berhubungan badan dengan Arthur. Dibukanya pintu kamar mandi oleh Arthur lalu mereka keluar dari kamar mandi.
            “Aku lelah, Arthur,”
            “Tapi aku belum, satu kali lagi maka kita akan selesai,” ujar Arthur membaringkan tubuh Ave ke atas tempat tidur sambil ia langsung menindih tubuh Ave. Kaki Ave rasanya tak kuasa untuk memeluk pinggang Arthur lagi, namun Arthur langsung mengangkat kedua kaki Ave untuk melingkar di pinggangnya kembali. “Satu kali lagi sayang,”
            “Aku ingin mati rasanya!” desah Ave memejamkan matanya, kepalanya menghadap ke samping. Rasanya ia tak dapat membuka matanya kembali. Ia sangat lelah. Ia butuh istirahat. Tapi Arthur belum mendapatkan pelepasannya. “Arthur ..ooh, shit,” terlambat. Arthur telah menggerakan tubuhnya maju-mundur pada tubuhnya begitu cepat. Tubuh Ave terus tersentak ke atas sambil mulut Arthur bermain dengan buah dada Ave. Tangan Ave tak dapat melakukan apa-apa selain meremas sprei putih. Gerakan Arthur semakin cepat, milik Ave mulai berdenyut-denyut tak menentu. Terlebih lagi bagian sensitifnya tersentuh sepanjang milik Arthur bergerak ke dalam tubuhnya.
            “Fuck!” desah Arthur mulai menggigit ujung puting Ave. “Apa kau memakai alat kontrasepsi?”
            “Menga ..pa? Mengapa kau baru bertanya sekarang? Aw! Yeah, yeah! Aku memakainya, kumohon jangan berhenti! Aku memakainya!” seru Ave saat Arthur mulai menghentikan gerakannya untuk mengambil pengaman di dalam laci meja kerjanya. Mendengar ucapan Ave, kembali Arthur langsung menggerkan tubuhnya.
            “Ah, yes, baby! Im coming!” desah Arthur melesakan seluruh ereksinya ke dalam Ave beberapa kali hingga bunyi cepakannya terdengar seperti menampar tubuh Ave. Sama seperti Ave, ia juga baru saja mendapatkan pelepasannya. “Ah, yeah, Ave. Aku benar-benar menyukaimu. Kau bukan jalang, kau tahu itu,”
            “Mhmm,” gumam Ave. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Tapi tulang-tulang di tubuhnya rasanya akan lepas seluruhnya. Hanya karena Arthur memberikannya pelepasan. Yeah, peleapasan sebanyak 4 kali dalam satu kali permainan. Dan itu gila. Ave telah tertidur saat itu juga.
            “Tidak ada yang dapat menyentuh dirimu, Ave. Selain aku. Jika orang lain menyentuhmu, menyakitimu, mungkin tangan ini akan dilumuri oleh darah,” gumam Arthur sendiri. Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Dan setiap ucapan yang keluar dari mulut Arthur akan terjadi. Ia akan benar-benar melindungi Ave. “Karena kau mengenalku, entah bagaimana caranya,” bisik Arthur menempatkan kepalanya pada dada Ave, matanya terpejam dan tertidur dengan nyaman.

***

            “Aku tidak menyukai Arthur, demi apa pun,” ujar Ave menarik nafasnya sambil memakai celana dalam milik Justin yang tentu saja kelonggaran dengan pinggangnya yang ramping. Ia baru saja mandi setelah tadi malam ia harus bertarung dengan Arthur yang kekuatannya lebih kuat dibanding dirinya. Tanpa ragu-ragu Ave kembali mengambil celana milik Justin di dalam lemari pakaian Justin. Ia tidak tahu apa yang harus ia pakai karena ia tidak membawa baju ganti. Tentu saja. Kejadian tadi malam benar-benar mendadak. Well, Ave tidak memakai bra sekarang. Sehingga sekarang ia topless di hadapan Justin. Justin menatapnya dengan tatapan tanpa dosa. Ia tidak tahu apa yang terjadi tadi malam namun ia tahu Ave hampir saja diperkosa oleh teman kerjanya. Mata Justin tidak lepas dari buah dada Ave yang menggantung dengan indahnya. Puting berwarna merah muda, padat, dan ukurannya benar-benar bagus. Justin menelan ludahnya, berusaha untuk tidak tergoda. Tapi sial! Ia ingin menjilati dada itu sekarang juga. Namun sudah terlambat. Ave telah memakai kaos hitam yang kebesaran di tubuhnya yang kecil. Justin baru saja tersadar sekarang.
            “Apa?” Sial. Justin mengumpat dalam hatinya.
            “Aku tidak menyukai Arthur, dia melakukan apa pun dengan sesuka hatinya. Dia pikir dia siapa? Sekali lagi Justin, tadi malam aku tidak menggodamu. Aku tidak memiliki maksud untuk menggodamu agar kau dan aku dapat bekerja sama dengan baik di perusahaan itu,” jelas Ave menutup pintu lemari Justin. Bahkan sekarang Ave sudah menganggap rumah Justin seperti rumahnya sendiri. Ave bukanlah wanita yang sungkan. Ave wanita yang ..santai.
            “Maafkan Arthur. Aku, Max, dan Arthur menyukaimu. Apa kau akan menginap di rumah lagi? Aku senang melihatmu berada di rumahku,” ujar Justin. Ave menarik nafasnya. Ini hari Minggu, besok ia harus bekerja. Ia harus pulang, lagi pula ia tidak ingin bertemu dengan Arthur kembali. Dan semoga saja Arthur tidak muncul lagi pada tubuh Justin.
            “Aku tidak bisa. Ayahku mungkin akan marah besar karena dua hari ini aku tidak pulang ke rumah. Maksudku, tidak tidur di rumah,”
            “Mengapa kau masih bergantung dengan ayahmu? Kau sudah bekerja. Kau bisa mengambil keputusanmu sendiri,” ujar Justin bangkit dari tempat tidurnya dengan boxer yang menutupi bagian bawahnya. Ave menarik nafasnya, kembali.
            “Aku juga takut dengan milikmu. Dia besar, tidak. Kita tidak bisa melakukan itu lagi,”
            “Baiklah, kau boleh tidak menginap di rumahku malam ini. Tapi temani aku untuk pergi ke panti asuhan. Clark, anak asuhku ada di sana,” ujar Justin yang membuat mata Ave membulat. Anak asuh? Justin memiliki anak asuh? Ave tidak mengerti. “Aku tak berjanji,” bisik Ave, menolak.
            “Tidak, kau harus,” ujar Justin, memaksa.“Kau wanita pertama yang kuajak, maka kau beruntung.”

***

*Ave Harris POV*

            Sial. Ayahku telah menegurku tentang mengapa aku jarang pulang ke rumah akhir-akhir ini. Bahkan sudah dua malam aku tidak tidur di rumah. Meski ayahku telah mengetahui alasan mengapa aku tidak tidur di rumah, tapi tetap saja ia marah. Mungkin karena aku terkesan tidak memiliki waktu untuk dua adik angkat. Dan hei, aku memiliki pekerjaan yang harus kuselesaikan. Hidupku bukan hanya untuk dua anak nakal itu. Lagi pula aku sudah besar. Aku tidak butuh bimbingan orangtuaku lagi. Kehidupanku rasanya sangat menyedihkan. Tapi ayahku mengizinkanku untuk pergi keluar siang ini hingga malam nanti. Kutatapi mobil yang berada di depan mobil Justin. Siang ini Justin tidak jadi pergi ke panti asuhan, katanya ia hampir lupa telah memiliki jadwal pertemuan dengan dr. Amanda. Sebenarnya, aku tidak memiliki hubungan apa pun dalam kehidupan Justin namun Justin memaksaku. Ia bilang, ia ingin aku mengenalnya lebih dalam. Dan ia mengenalku lebih dalam lagi. Pertanyaan yang ada di benakku sekarang adalah, kapan kita berkencan? Aku mungkin memang tertarik pada Justin –tidak dengan Arthur—dan Justin juga tertarik denganku, jika kita telah mengetahui keduanya, mengapa tidak ia mengajakku keluar makan malam? Membicarkan kekurangan kita masing-masing. Apa kesukaannya. Dan apa yang sering ia lakukan tiap hari di rumahnya atau di luar rumahnya. Jujur saja, aku juga ingin mengenal Justin lebih dalam. Mungkin melalui dr.Amanda, aku dapat mengetahui kepribadian-kepribadian Justin yang lain. Satu kepribadian yang tidak ingin kulihat dalam diri Justin adalah Arthur dan Kevin. Mereka berdua cukup menyebalkan, meski Kevin masih dapat ditangani. Untunglah Kevin tidak muncul.
            “Mengapa dr.Amanda dapat berbicara denganmu?” tanyaku, penasaran. Yeah, mengapa bisa? Maksudku, dr.Amanda mengetahui kepribadian Justin yang lain. Justin mengatakan padaku kalau dr.Amanda dapat berbicara dengan seluruh kepribadian Justin.
            “Pengobatan hipnotis,” jawab Justin singkat. “Itu semacam dr.Amanda akan menghipnotisku lalu ia akan meminta salah satu dari kami muncul lalu ia akan berbicara,”
            “Apa selama proses penghipnotisan itu aku boleh masuk?”
            “Tentu saja,” ujar Justin senang, yeah, aku dapat mendengar kesenangan dari ucapan Justin.
            “Dimana Kevin?” kembali aku bertanya.
            “Kurasa ia tidur di dalam tubuhku. Well, itu tidak apa-apa. Karena aku ingin bersamamu terus menerus,” ucap Justin, seperti menggodaku. Aku tertawa pelan. Benar apa yang dikatakan Justin. Aku juga ingin lebih dekat dengan Justin. Aku berpikir, apa Justin akan selalu bersamaku tanpa Max atau Arthur? Atau Darren mungkin? Karena aku rasa mereka tidak dibutuhkan dalam diri Justin. Justin sudah terlihat sangat normal.
            “Apa sebelumnya ada wanita lain yang pernah kauajak untuk pergi bertemu dengan dr.Amanda?”
            Justin menoleh padaku, tersenyum. “Tidak, kau spesial. Maka hanya kau yang kubawa pada dr.Amanda. Ini sangat membingungkan. Kau wanita yang santai. Aku dapat melihat kau tidak begitu bergantung pada sebuah komitmen. Aku juga begitu. Maksudku, berpacaran? Aku jarang berpacaran, Max yang berpacaran,”
            “Benarkah?” tanyaku, tak percaya. Siapa tahu ia berbohong padaku? Sekarang aku berusaha untuk menahan senyumanku namun aku tidak bisa. Ia benar-benar bisa membawaku terbang ke langit. “Apa Max akan berpaling dariku? Maksudku, siapa tahu Max tidak menyukaiku lagi,” ujarku, malu-malu. Hell. Apa yang terjadi denganku? Ini di luar dugaanku. Setelah semalam aku marah pada Arthur, sekarang aku malu-malu pada Justin. Mereka berdua berada dalam tubuh yang sama! Berarti jika aku marah pada Justin juga! Sial, ini sangat membingungkan dan memalukan.
            “Kurasa tidak. Max benar-benar menyukaimu, kautahu,” jelas Justin, singkat. “Ave?”
            “Mhmm?”
            “Sebenarnya, aku tidak tahu apa yang kepribadian lainku lakukan padaku. Tapi jika ia menyakitimu, kau bisa bilang padaku. Aku ingin melindungimu, maksudku, aku tidak ingin kepribadianku yang lain menyakitimu dengan tanganku sendiri. Mereka dan aku adalah satu tubuh, Ave,” suara Justin menyiratkan keseriusan dan aku tidak menyukainya. Aku lebih menyukai suasana yang santai. Berbicara hal-hal konyol yang tidak masuk akal. Dan yeah, kepribadian-kepribadian Justin menurutku konyol dan tidak masuk akal meski sebenarnya itu memang benar-benar terjadi dalam dunia nyata. Mereka semua yang berada dalam Justin benar-benar nyata. Belum sempat aku membalas ucapan Justin, mobil Justin telah terparkir di sisi jalanan. Di depan sebuah rumah dr.Amanda, kurasa. Aku melepaskan sabuk pengamanku lalu keluar dari mobil. Jantung berdegup kencang secara tiba-tiba. Ini benar-benar mendebarkan jantungku. Apa yang akan Justin katakan tentang diriku di depan dr.Amanda? Maksudku, tentu saja dr.Amanda akan bertanya siapa aku. Aku memang Ave, tapi siapa aku dalam hidup Justin? Ya ampun, kurasa wajahku sekarang memucat. Setelah Justin mengunci mobilnya, ia langsung menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah prakter dr.Amanda.
            “Dr.Amanda adalah dokter yang baik. Kau tidak perlu takut padanya,” ujar Justin membuka pintu. Lalu di dalam rumah ini sudah terdapat dua orang yang berada di belakang meja besar untuk para tamu. Kutarik nafasku dalam. Salah satu dari antara mereka yang memiliki rambut cokelat sama sepertiku berdiri dari tempatnya lalu menjabat tangan Justin seketika.
            “Mr.Bieber. Anda telah ditunggu oleh dr.Amanda,” ujar wanita yang bernama Beth itu –aku melihat namanya dari tanda pengenal di pakaiannya—dengan ramah. Justin menganggukan kepalanya lalu menatap padaku sejenak. Diberikannya senyuman rahasia yang membuatku semakin gugup. Mengapa ia menatapku seperti ..entahlah, ia seperti menyimpan sebuah kejutan di dalam senyumannya yang jika ia memberikan kejutan itu, ia tahu aku akan langsung mati di tempat. Tanpa kusadari tiba-tiba saja aku telah berada di dalam sebuah ruangan yang ..hening dan sejuk. Kulihat ke sekelilingnya, satu rak buku besar telah berada di ruangan ini. Satu meja kerja dan kursi hitam yang dapat diputar lalu tiga sofa yang berada di depan meja kerja itu. Dan satu wanita muda ..muncul dari pintu lain yang berada di dalam ruangan ini. Ia memiliki rambut cokelat panjang yang sama sepertiku, celana panjang berwarna putih lalu kemeja putih serta jas putih khas para dokter menempel di tubuhnya. Benar-benar cantik. Terlebih lagi matanya sama seperti warna mata Justin. Ia tersenyum ramah dan melambaikan tangannya pada Justin. Dan dia adalah dr.Amanda yang cantik, harus kuakui.
            “Ya Tuhan, Justin. Kupikir kau tidak akan datang,” ujar dr.Amanda. Suaranya halus, lembut dan ramah. Justin melepaskan pegangan tangannya dariku lalu ia maju beberapa langkah dan memeluk dr.Amanda begitu erat. Kuperhatikan mereka berdua yang langsung bercengkrama. Mereka seperti teman lama yang tidak bertemu selama bertahun-tahun. Kulihat gerak gerik Justin yang menatap dr.Amanda begitu intens. Maksudku, Justin berusaha agar matanya terus bertemu dengan dr.Amanda. Baiklah, ini adalah pikiran negatifku, Justin menyukai dr.Amanda. Dan ini adalah pemikiran positifku, Justin menyukai dr.Amanda. Apa bedanya? Aku tentu saja tidak dapat melihat sisi positifnya sekarang. Ini adalah perasaan aneh yang tidak pernah kurasakan sebelumnya, namun rasanya aku tidak ingin melihat pemandangan ini.
            “Dan ini adalah kekasihku, Ave Harris,” Justin menarik bahuku, memperkenalkanku pada dr.Amanda. Rasanya aku ingin mati. Apa-apaan yang baru saja ia katakan? Aku kekasihnya? Bunuh aku. Ya ampun, apa itu maksud dari senyuman Justin? Kebingunganku akhirnya terbayar saat dr.Amanda menjabat tanganku. Meski ini tidak terbayar sepenuhnya. “Aku ingin kau memperkenalkan seluruh kepribadianku padanya. Aku sedikit susah untuk menjelaskan kepribadianku padanya,” lanjut Justin.
            “Ah, ya. Ms.Harris, kau tampak sangat mengagumkan. Pantas Mr.Bieber menyukaimu. Aku dr.Amanda, aku dokter yang menangani Justin 5 tahun ini,” ujar dr.Amanda memperkenalkan dirinya. “Mari kita duduk untuk membicarakan masalah kekasihmu,” ujar dr.Amanda. Justin langsung menarik tanganku untuk terduduk di atas sofa yang dapat memuat untuk kami berdua. Tanganku dan tangan Justin berkeringat. Kurasa Justin sama gugupnya denganku. Ini adalah pertama kali aku berbicara dengan seorang dokter psikiater dan ini adalah pertama kalinya aku dipanggil kekasih oleh seseorang. Dan orang pertama itu adalah Justin Bieber. Ya Tuhan.
            “Apa kau ingin keluar atau kau ingin berada di sini mendengarkan penjelasanku pada Ms.Harris?” tanya dr.Amanda pada Justin. Justin menarik nafasnya sejenak, ia menatapku.
            “Kurasa tidak,” Justin menggelengkan kepalanya.  “Apa yang Ave dengar darimu harus kudengar juga,” ujar Justin, tegas. Baiklah, pemikiran tentang Justin menyukai dr.Amanda akan kutepis. Karena ..ya Tuhan, jika aku dapat menjambak rambutku sekarang sudah pasti aku akan menjambaknya. Justin kelihatan sangat gentle dengan ucapannya tadi. Dr.Amanda menganggukan kepalanya.
            “Baiklah,” gumam dr.Amanda, “Kita akan membicarakan satu per satu kepribadian Justin. Mungkin yang pertama adalah Kevin,” ujar dr.Amanda. Aku mengangguk, kali ini kedua alisku saling bertautan ingin mendengar ucapan dr.Amanda dengan seksama. Mungkin –ini baru kuperkirakan—Justin akan menjadi kekasih pertama dan mungkin yang terakhir. Tapi aku belum dapat memastikan itu. Jika ya, pembicaraan ini akan sangat penting bagi kehidupanku.
            “Kevin adalah kepribadian Justin yang kekanak-kanakan. Mengapa Justin memiliki kepribadian ini? Itu dikarenakan masa kecilnya yang kurang bahagia. Dengan adanya kepribadian Kevin, Justin tidak akan merasa kesepian. Karena di masa kecilnya, Justin merasa sangat kesepian. Terlebih lagi Justin adalah anak lelaki yang pendiam. Namun Kevin, Kevin membuat diri Justin lebih berada di dunia ini. Biasanya, Kevin akan muncul jika Justin merasa sangat kesepian. Bahkan, Justin pernah mengaku, Kevin muncul saat ia berada di kantor. Ia bermain-main di sana layaknya anak kecil. Sangat lucu bukan lelaki berumur 30 tahun namun memiliki sifat seperti anak-anak?” tanya dr.Amanda menarik nafas agar ia dapat menjelaskan lebih dalam lagi. Justin yang memegang tanganku semakin memegang tanganku dengan erat. Ia memang gugup. Tapi ini sangat menarik. Aku menyukai percakapan ini. Aku mengangguk, ikut tertawa dengan dr.Amanda meski ini tidak begitu lucu.
            “Kemudian, Arthur. Arthur muncul saat ia masih kecil juga. Arthur adalah kepribadian yang pemarah. Mengapa? Justin mengaku sendiri saat ia masih kecil, orangtuanya menyiksa Justin hingga Justin tidak kuasa untuk menanggung rasa sakitnya sehingga dapat memuncul kepribadian yang baru, yang lebih kuat dibanding Justin. Ia memanggil dirinya sebagai Arthur. Dulu Justin adalah anak kecil korban perkosaan ayahnya sendiri. Ya, itu sangat menyedihkan,” jelas dr.Amanda yang setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti memukul hatiku dengan tangan dari seorang petinju terkuat. Apa itu benar-benar terjadi pada kehidupan Justin? Ayah Justin adalah ayah yang benar-benar kejam. Kemana ibunya?
            “Ibu Justin meninggal saat Justin berumur 3 tahun, itu yang dikatakan Justin padaku. Ayahnya melecehkannya dari umur 8 hingga 13 tahun. Mulai dari sana Arthur dapat memberontak. Arthur yang menanggung rasa sakit yang Justin dapatkan. Hingga sekarang kepribadian itu masih ada karena trauma dalam diri Justin yang membekas. Guna Arthur adalah sebagai pelindung Justin,” jelas dr.Amanda. Air mataku membendung seketika setelah ia menceritakan tentang masa lalu Justin. Justin disiksa dan dilecehkan oleh orang tuanya sendiri. Ini sangat menyedihkan. Rasanya aku tak sanggup untuk mendengar kepribadian Justin yang lain.
            “Lalu muncullah Darren saat Justin masih remaja. Darren muncul karena Justin tidak memiliki sisi kebahagiaan dikarenakan masa lalunya yang kelam. Anak kecil adalah orang-orang yang Darren sukai karena itu dapat membuat Darren lebih bahagia. Darren adalah kepribadian paling menyenangkan dibanding semua kepribadian. Ia suka bermain, namun ia tidak seimajinatif Kevin yang aktif,” jelas dr.Amanda. Aku mengelap air mataku dengan jari telunjuk dan merasa senang karena Darren muncul. Oh, rasanya aku ingin sekali melihat Darren. Namun di satu sisi aku masih merasa sedih karena masa lalu Justin yang sangat menyedihkan. Ayahnya sendiri! Apa kau dapat berpikir dengan otakmu? Ayahnya sendiri memperkosa anak lelakinya. Justin korban pelecehan seksual selama bertahun-tahun. Dan pastinya itu sangat menyaktikan! Untunglah ada Arthur yang dapat melindungi Justin. Kutarik nafasku dalam-dalam. Baiklah. Sekarang Max. Aku penasaran dengan Max, mengapa ia berada dalam tubuh Justin?
            “Lalu Max,” dr.Amanda menarik nafasnya. “Karena masa lalu Justin yang menyedihkan, Justin merasa minder jika ia berada di dekat perempuan. Max muncul saat Justin berumur 17 tahun. Saat Justin ingin sekali mendekati seorang perempuan namun ia tidak sanggup melakukannya karena ia takut ..ia takut masa lalunya dapat menghambat hubungannya dengan perempuan itu. Ia terlalu gugup untuk berbicara dengan seorang perempuan. Sehingga, Max muncul dengan kepribadiannya yang percaya diri. Yang senang mendekati perempuan. Karena Max, Justin disukai oleh banyak wanita sekarang. Tapi entah mengapa Justin belum memiliki istri sampai sekarang,” ujar dr.Amanda selesai menceritakan kehidupan Justin. Aku terkekeh pelan. Mataku bertemu dengan mata Justin seketika itu juga. Kulihat dari mata Justin yang terlihat sangat menyakitkan. Oh, bagaimana mungkin ada orangtua yang kejam memukul Justin yang tampan seperti ini? Jika aku bertemu dengan orangtuanya, sudah pasti aku memarahinya. Sekarang aku tahu mengapa Justin tidak tertarik padaku pada awal pertemuan. Sekarang aku tahu Justin lebih dalam lagi. Kehidupannya membuatku sadar bahwa aku memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding dirinya. Aku sekarang merasa bersalah pada orangtuaku yang selalu kuabaikan. Di saat Justin membutuhkan kasih sayang dari orangtua, aku sekarang berusaha untuk menjauh dari orangtuaku.
            “Apa ada cara yang dapat menyembuhkannya?”
            “Sudah terlambat. Justin menjalankan terapi bersamaku selama 5 tahun namun tidak aku tidak dapat menghilangkan trauma masa lalunya. Seharusnya, Justin menjalankan pengobatan ini sejak ia masih remaja agar dapat diatasi. Namun aku tidak dapat melakukan apa-apa selain membuat Justin dapat berbicara dengan kepribadiannya yang lain,”
            “Oh, ya Tuhan. Apa aku boleh keluar sekarang? Aku harus pergi ke toilet,” ujarku rasanya tak ingin menangis di depan dr.Amanda karena aku tahu itu sangat memalukan.
            “Oh, tentu saja. Toilet ada di luar, kau pasti akan mendapatkannya,” ujar dr.Amanda ramah. Aku bangkit dari sofa lalu membuka pintu ruanga ini dan keluar. Justin mengikutiku dari belakang. Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke toilet, hanya saja aku membutuhkan waktu untuk berpikir sejenak. Ini masih di luar kepalaku. Maksudku, aku tidak dapat berpikir. Ini sangat berlebihan. Kubuka pintu keluar bersamaan dengan air mataku yang mengalir di pipiku. Ini sangat menyedihkan. Ayah Justin sangat kejam! Aku berharap ia mati dan masuk neraka! Ia adalah ayah terkejam yang pernah kutemui. Kuharap ia mendapatkan ganjaran yang setimpal setelah apa yang telah ia perbuat pada Justin yang manis.
            “Ave, ada apa?” Justin menarik tanganku sehingga aku langsung memeluknya. Aku menangis di dadanya, merasa sakit hati karena melihatnya sangat terpuruk. Aku terdiam, aku hanya dapat terisak dalam tangisanku sambil Justin mengelus rambutku. “Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa.” bisiknya.

***

            Mataku memerhatikan angsa hitam dan putih yang sedang berenang di atas danau yang berwarna hijau. Bunga teratai mengapung di atasnya seakan-akan bunga itu tidak membebani sang danau. Angsa hitam yang memiliki leher panjang itu mencelupkan kepalanya selama beberapa detik lalu mengeluarkan kepalanya kembali. Angsa itu pasti memiliki masalah yang berat juga, sama seperti Justin. Karena kulihat angsa hitam itu menyendiri, tidak berenang dengan angsa-angsa lain. Padahal masih banyak angsa hitam yang berenang di sekitarnya. Dia menyendiri. Apa masalahnya? Mungkin ia merasa dirinya jelek. Mungkin kehidupannya sama seperti dongeng The Ugly Duckling. Padahal sebenarnya tidak. Paruh merah-orange miliknya tampak cantik. Bulu-bulu hitamnya seolah-olah akan menjadi tamengnya karena hitam biasanya melambangkan kengerian tersendiri. Apa angsa itu memiliki kepribadian yang banyak sama seperti Justin? Siapa tahu saja, sebenarnya angsa itu memiliki bulu putih namun karena ia memiliki kepribadian ganda maka ia mengubah bulunya menjadi warna hitam? Mungkin ia mencelupkan tubuhnya dalam sebuah wadah besar yang berisikan tinta hitam agar kepribadiannya yang lebih kuat muncul sehingga angsa yang lain akan takut padanya. Mungkin itu dikarenakan orangtuanya tidak menganggapnya berada di dunia ini lalu teman-teman sekitarnya mencelakakan dia sehingga ia trauma dan ..aku adalah wanita paling imajinatif yang pernah ada. Ya Tuhan. Apa aku gila hanya karena Justin? Ini semua karena aku tidak menerima apa yang terjadi pada diri Justin. Sangat kejam ayah Justin telah memerkosa anaknya sendiri. Apa ayahnya adalah seorang pedofil? Kuhembus nafasku yang hangat. Apa maksud Tuhan dengan semua ini? Apa dia mengirimkanku untuk menyembuhkan Justin? Bagaimana caranya? Tidak, aku tidak ingin memposisikan diriku sebagai wanita-wanita lain yang tidak menerima masa lalu Justin maka mereka menjauhi Justin. Tapi kurasa tidak.
            Justru seharusnya aku membantu Justin untuk menghilangkan rasa traumanya. Seharusnya Justin tahu dirinya lebih kuat dibanding Arthur, lebih percaya diri dibanding Max, atau dia tidak kesepian maka ia tidak harus membutuhkan Kevin. Atau Darren. Sebenarnya Justin tidak membutuhkan mereka semua. Ini semua karena ayah Justin! Ini bukan salah Justin. Dan permasalahan yang kugeluti sekarang adalah bagaimana? Bagaimana caranya aku dapat menghilang rasa trauma Justin? Entah sudah berapa lama aku menyandarkan kepalaku pada pundak Justin. Terjerumus dalam pikiranku sendiri dan mengabaikan Justin yang tangannya sedari tadi mengelus kepalaku dengan lembut. Terlebih lagi, aku masih tidak percaya Justin mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia tidak apa-apa. Lalu, mengapa dalam tubuhnya terdapat Arthur? Max? Kevin? Dan Darren? Lalu Justin pikir mereka semua siapa dalam tubuhnya? Apa itu dapat membuktikan bahwa Justin baik-baik saja? Ya Tuhan, rasanya aku ingin membenturkan kepala Justin ke tembok agar ia sadar bahwa ia tidak baik-baik saja.
            “Ave, katakanlah sesuatu,” ujar Justin membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat kepalaku dari bahunya. Mengapa aku? Mengapa harus aku yang ia bawa masuk ke dalam kehidupannya? Bahkan baru 3 hari aku bertemu dengan Justin namun rasanya aku telah mengenal Justin selama bertahun-tahun. Ini sangat cepat, mengejutkan, dan tidak dapat dipercaya.
            “Justin,” aku menarik nafas. “Apa yang harus kulakukan padamu?” tanyaku, lirih.
            Justin mengangkat kedua bahunya, tak tahu. “Mengenal diriku lebih dalam, mungkin,”
            “Mengapa aku?” pertanyaan itu sepertinya memang harus dijawab olehnya. Harus.
            “Karena saat aku memberitahu masa kelamku padamu, kau tidak lari dariku,” ujarnya, menjelaskan secara singkat. Ya Tuhan. “Karena saat kau menangis, aku tahu kau akan menjadi milikku,” lanjutnya lagi. Mataku bertemu dengan matanya seketika itu juga. Kuperhatikan baik-baik matanya yang seperti mata harimau itu. Pupil matanya yang berwarna hitam menjerumuskanku masuk ke dalamnya. Seakan-akan ada sebuah gambaran di balik matanya yang tidak memperlihatkan kepahitannya. Lalu aku memerhatikan bibirnya yang seperti sebuah garis lurus yang tegang lalu ia tersenyum. Senyumannya itu palsu! Demi Tuhan, bagaimana mungkin ia dapat tersenyum di saat dirinya masih berada dalam tindasan dari ayahnya yang masih membekas? Ini tidak masuk akal. Kupeluk Justin dengan erat, melingkarkan tanganku di sekitar lehernya lalu menyandarkan kepalaku di bahunya sambil menyembunyikan wajahku di dalam lehernya. Ini memang gila. Aku baru bertemu dengannya 3 hari namun ia telah memanggilku sebagai kekasihnya dan dalam waktu yang begitu cepat, ia memberitahu masa lalunya padaku meski ia belum mengetahui latar belakangku. Well, meski ia telah bekerja sama dengan ayahku, namun belum tentu ia tahu sifat ayahku yang overprotectif.
            “Apa? Kau ingin aku cium? Karena tadi kau memerhatikan bibirku, aku tahu aku seksi,” ujar Justin yang membanggakan dirinya membuatku tertawa. Kujauhkan kepalaku dari lehernya lalu menatap wajahnya baik-baik. “Aku merasa lebih terbuka denganmu karena aku tahu, kau akan menerima diriku apa adanya bukan?”
            Aku tersenyum kecil. “Mengapa kita tidak mencobanya saja? Kau lelaki yang menarik. Penyayang anak-anak. Dan kau seorang pengusaha? Apa yang kurang dari dirimu?”
            “Masa laluku,” bisiknya tersenyum.
            “Oh Justin!” aku mendesah pelan, membenturkan kepalaku pada bahunya. Ia tersenyum saat ia mengucapkan ‘masa laluku’? Itu sudah pasti ia menahan rasa sakit yang ia sembunyikan baik-baik. Baiklah. Mungkin kita harus melakukannya pelan-pelan. Aku ingin menjalin kasih bersama dengan Justin jika itu memang bisa. Kuangkat kepalaku. “Kita bisa memperbaikinya,”
            “Kautahu apa? Hebatnya sekarang Max tidak muncul padahal sekarang kau sangat seksi sekali. Aku lebih kuat daripada mereka saat kau berada di sisiku,” ujarnya, senang. Kumiringkan kepalaku ke salah satu sisi lalu tersenyum. “Jadi, aku kekasihmu eh?” tanyanya yang berhasil membuat aku menggigit bibir bawahku. Tiba-tiba aku merasa sangat gugup. Well, aku telah menjadi kekasih Justin! Justin yang mengakuinya pada dr.Amanda. Secara tidak langsung Justin memberitahuku bahwa ia menaruh harapan padaku. Mungkin ini adalah jalan yang benar.
            “Ya, tentu saja,” aku tersenyum malu-malu. Justin menarik leherku lalu mengecup bibirku, untuk yang pertama kalinya. Ya, Justin Bieber mengecup bibirku untuk yang pertama kalinya. Setelah Max yang mendapatkan kecupan pertama dariku lalu Arthur, akhirnya aku dapat merasakan kecupan dari Justin. Ciuman ini tidak berlangsung lama dan tidak melibatkan lidah kami, hanya kecupan singkat layaknya sepasang kekasih. Meski aku belum jatuh cinta pada Justin, namun aku tahu, aku pasti akan jatuh cinta padanya. “Jadi, Clark. Kau bilang ia adalah anak asuhmu, mengapa ia berada di panti asuhan lagi?”
            “Mrs.Ellie sudah dua minggu tidak dapat menjagaku dan Clark di rumah. Minggu ini aku memiliki banyak pekerjaan sehingga aku terpaksa untuk membawa Clark ke panti asuhan selama beberapa hari. Apa kau ingin menemaniku untuk membeli mainan untuk Clark dan teman-temannya hari ini untuk besok? Biasanya jika aku datang ke sana, aku selalu membeli mainan untuk mereka. Darren dan aku baru saja membicarakannya di kamar mandi tadi,” jelas Justin. Oh, Justin telah berbicara dengan Darren tadi pagi. Pantas Justin lama sekali keluar dari kamar mandinya. Bagaimana bisa Justin berbicara dengan Darren? Uh, rasanya aku benar-benar penasaran. Yang membuatku takjub adalah dr.Amanda dapat membuat Justin dan alternya yang lain dapat berbicara dalam waktu yang bersamaan.
            “Oke. Jadi ini yang terjadi. Kau dan aku baru saja bertemu tiga hari yang lalu. Max menyukaiku, lalu kau menyukaiku, lalu Arthur menyukaiku. Lalu Max membawaku ke rumahmu, lalu Arthur membawaku ke rumahmu lagi. Setelah itu, kau membawaku kepada dr.Amanda untuk memperkenalkan dirimu padaku. Sehingga sekarang kita berada di sini, kau dan aku telah menjadi sepasang kekasih. Dan setelah ini kita akan pergi ke toko mainan. Seperti itu bukan, Mr.Bieber?”
            Justin terkekeh pelan setelah ia sadar bahwa hubungan ini sangat cepat terjadi. “Ya, benar. Ms.Harris. Apa kita bisa pergi sekarang?” tanya Justin bangkit dari bangku taman yang berada di pinggiran danau. Kuraih tangan Justin agar aku bisa bangkit dari bangku.
            “Tentu saja.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar