***
Kepala Ave bersandar pada bahu Arthur. Ia
benar-benar kelelahan setelah ia mendapatkan dua pelepasan dari lelaki pendiam
itu. Arthur memeluk Ave dengan erat sambil jari-jarinya berusaha untuk
melepaskan kaitan bra Ave. Bahkan Ave bernafas melalui mulutnya sekarang.
Rambutnyapun telah basah. Arthur memberikan Ave pernafasan sejenak sebelum ia
bermain pada permainan yang utama. Karena Arthur tahu, ini akan berlangsung
lama. Ia tahu Ave tidak akan sanggup untuk menampung seluruh hasrat Arthur yang
menggebu-gebu. Arthur memang pintar untuk menyembunyikan perasaannya. Setelah
beberapa menit Ave beristirahat, ia mengangkat kepalanya dari bahu Arthur.
“Kau
gila,” bisik Ave menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Berdiri,”
Arthur mengabaikan komentar Ave yang tidak sama sekali penting untuknya. Namun
mendengar suara Arthur yang dingin serta memerintah, Ave bangkit dari bath-up.
Disusul oleh Arthur yang sambil menarik tali bra Ave agar lepas dari tubuh Ave.
Arthur menelan ludahnya, tak kuasa untuk menahan rasa laparnya terhadap wanita
di hadapannya. Buah dada Ave benar-benar pas dengan ukuran tubuhnya. Arthur
menyukai bentuk tubuh Ave. Matanya dari tadi tidak berhenti menatapi kedua
gundukan gunung yang cukup besar milik Ave. Lalu tangan Arthur mulai menyentuh
pinggang Ave, menariknya agar lebih dekat dengan tubuhnya. Saat tubuh mereka
bersentuhan, Ave dapat merasakan sesuatu yang keras di bagian perutnya. Ya
ampun, pasti ukurannya besar sekali. Ave benar-benar ketakutan jika miliknya
yang kecil akan dimasuki oleh ereksi Arthur yang besar. Ia takut miliknya
rusak.
“Apa
kau akan melakukannya kasar denganku?” tanya Ave, mendongakan kepalanya,
menatap langsung pada mata Arthur yang misterius. Arthur tidak menjawab
pertanyaan Ave, namun ia langsung menarik paha Ave sehingga Ave memeluk leher
Arthur, refleks. Digendongnya Ave untuk keluar dari bath-up. Mengapa Arthur
tidak menjawab pertanyaannya? Apa yang salah dengan pertanyaan itu? Atau
mungkin ..ya ampun. Sekarang Ave merasa sangat bodoh. Jika ia berhubungan badan
dengan Justin, Arthur atau teman-temannya yang lain, itu sama dengan Ave sedang
berhubungan badan dengan rekan kerjanya sendiri. Atau sama dengan Ave mencoba
untuk menggoda Arthur untuk mendapatkan uang yang lebih banyak dari perjanjian
yang telah ditetapkan. Atau sama dengan Ave adalah wanita murahan. Tersadar
akan pikirannya yang jernih, Ave menatap Arthur dengan tatapan yang angkuh
setelah tubuhnya berdempetan dengan tembok. Arthur tentu saja dapat melihat
perubahan wajah dari Ave sehingga ia tersenyum kecil. Sial, senyuman itu jarang
sekali Arthur keluarkan.
“Kau
ingin berhubungan badan denganku? Pft! Aku tidak sebodoh yang kaukira. Aku
tidak ingin berhubungan badan denganmu, aku bukanlah wanita murahan yang sama
dengan wanita lain yang pernah kautiduri. Ini bukan gayaku, aku tidak
mendapatkan pekerjaan melalui hubungan badan. Sekarang, izinkan aku untuk
mengeringkan badanku. Dan pulang,” ujar Ave panjang lebar sehingga itu membuat
senyuman Arthur semakin lebar. Salah satu tangan Arthur ia tempatkan di salah
satu sisi kepala Ave. Sedangkan tangan yang lain menyentuh bagian tengah dada
Ave dari leher hingga perutnya yang rata. Namun dengan cepat Ave menepis tangan
itu.
“Jauhkan
tangan kotormu itu dari tubuhku, aku ingin pulang,”
“Mengapa?”
“Karena
aku tidak ingin dikatakan wanita jalang murahan. Tidak, aku tidak akan
melakukan hubungan badan jika itu berlandaskan atas suatu pekerjaan atau suatu
perasaan omong kosong,” ujar Ave, kali ini suaranya lebih tegas. Itu membuat
senyuman yang Arthur perlihatkan menyurut begitu saja. Arthur tidak mungkin
melepaskan wanita sialan ini dari tangannya. Ia harus tidur dengan Ave sebisa
mungkin dan selama mungkin sebelum kepribadian yang muncul hanya karena mereka
lebih kuat dibanding Arthur. Karena Arthur sekarang sedang terpuruk, rasanya ia
ingin berada di dalam tubuh Justin begitu lama. Ia tidak ingin muncul dari tubuh Justin sebelum ia bertemu dengan
Ave. Namun Ave membuatnya lebih kuat setelah tadi siang ia bertemu dengan Ave.
Ada daya tarik tersendiri yang dilakukan oleh Ave terhadap dirinya. Tiap kali
Ave menatap mata Arthur, senyum kecil yang tiba-tiba muncul di wajahnya terjadi
begitu saja tanpa ada keinginan dari tubuh Arthur. Apa-apaan yang terjadi pada
Arthur? Apa Arthur benar-benar menyukai Ave? Karena sebelumnya, Arthur tidak
pernah menyukai siapa pun di dunia ini. Kecuali Ave. Bibir Arthur menjadi
sebuah garis lurus yang tegang serta rapat, ia tidak tahu bagaimana harus
menangani wanita ini. Awalnya ia pikir akan mudah tidur dengan Ave, tapi
ternyata tidak. Ave berpikiran negatif terhadapnya. Ia hanya ingin memiliki
waktu bersama dengan Ave yang ia sendiri bingung mengapa ia menginginkan ini
begitu buruk.
“Ini
sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan sialan itu. Sekarang—“
“Aku
ingin pulang!”
“Bagaimana
kau bisa mengatakan pulang namun tubuhmu sendiri dari tadi tidak beranjak
dariku? Kau menginginkannya, Ave. Kita berdua tahu kau menginginkannya. Kau
menginginkan aku sama seperti aku menginginkanmu. Sekarang diam. Kau akan
menyukainya, sayang,” ujar Arthur yang awal ucapannya tegas makin lama makin
melembut. “Kau tadi menikmatinya,”
“Itu
karena aku baru sadar! Aku baru sadar kau mempergunakan waktu ini
sebaik-baiknya karena aku baru saja ditolong olehmu sehingga kau mungkin
berpikir ..sial! Aku tahu kau melakukan ini karena kau berpikir aku merasa
bersalah padamu dan aku menjual diriku demi pekerjaan,”
“Kau
aneh,” ujar Arthur tak tanggung-tanggung. Mata Ave melebar, ucapannya terhenti
saat Arthur langsung menjatuhkan bibirnya pada bibir Ave. Tanpa aba-aba, Ave
langsung memukul pundak Arthur yang membuat Arthur tertawa dalam ciuman mereka.
Ave tidak sama sekali menikmati ciuman ini namun Arthur berusaha agar Ave
terbuai oleh sentuhannya. Diangkatnya salah satu kaki Ave pada pinggangnya,
menahannya di sana sehingga Ave langsung terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus
ia lakukan saat sesuatu yang tumpul mulai menyentuh bagian sensitifnya begitu
saja hingga ia mendesah pada mulut Arthur. “Kita tidak perlu menjadi orang yang
munafik kan Ave?” tanya Arthur di sela-sela ciumannya. Tangan Ave yang berada
di pundak Arthur langsung mencakar pundak Arthur hingga Arthur mengerang meski
itu tidak apa-apanya bagi Arthur.
“Kita
tidak perlu menggunakan kekerasan di sini, bukan sayang? Ak ..ah, yeah. Seperti
ini ..ah. Kau sangat ketat seperti perawan,”
“Arthurhh,
tidak!” Ave mengerang saat Arthur memasukan ereksinya ke dalam Ave hingga Ave
terpaksa harus meremas pundak Arthur. Milik Arthur benar-benar besar sehingga
ia tak kuasa untuk menahan rasa sakitnya sekaligus kenikmatan ini. Arthur
menempatakan dagunya pada bahu Ave sehingga sekarang tubuh Ave semakin
berdempetan dengan tembok.
“Kita
akan bergerak sayang,” bisik Arthur saat seluruh miliknya masuk ke dalam tubuh
Ave. Ave mulai menggeleng-gelengkan kepalanya ketakutan. Ia tidak ingin
disetubuhi oleh Arthur. Ini bukan yang ia inginkan. Sial. Namun terlambat.
Semuanya telah terlambat. Mata Ave terpejam saat Arthur mulai menggerakan
tubuhnya naik turun sehingga Ave berusaha untuk menggigit pipi dalamnya agar ia
tidak mengerang. “Mendesahlah untukku, aku ingin mendengar suaramu,” bisik
Arthur kembali. Kaki Ave yang lain mulai melingkar di sekitar pinggang Arthur
sehingga Ave melayang.
“Aku
takut jatuh!”
“Kau
bersamaku sayang,” ujar Arthur terus menggesek-gesekan miliknya ke dalam tubuh
Ave. Hingga Ave terus tersentak ke atas bersamaan dengan goyangan pinggul
Arthur. Gerakan Arthur semakin lama semakin cepat, membuat Ave terpaksa harus
menempatkan mulutnya pada pundak Arthur.Ia mendesah di sela-sela giginya yang
menggigit pundak Arthur. Menahan rasa nikmat yang tidak pernah ia rasakan
sebelumnya. Milik Ave yang kecil itu rasanya tak mampu untuk menampung milik
Arthur yang memiliki ukuran yang tak normal untuknya sehingga saat milik Arthur
masuk ke dalam Ave, gundukan bagian bawah Ave itu masuk bersamaan dengan
masuknya milik Arthur.
“Oh,
my clit! Shit, yes! Right there! Right there! Oh, don’t stop!” jerit Ave saat
ia akan sampai pada pelepasannya. Dalam hati Arthur tersenyum karena ia telah
berhasil mengambil hati Ave. Membuat Ave memohon-mohon padanya. “Harder,
Arthur! Harder!”
“Harder
eh? How about this?” tanya Arthur memelankan gerakannya sehingga Ave berusaha
untuk menggoyang-goyangkan pinggulnya. Ave menangis. Ia terisak butuh pelepasan
sekarang juga.
“Oh,
no, please. Arthur –Gah! Oh, shit! Damn you!” teriak Ave tersentak saat
tiba-tiba saja gerakan Arthur sangat cepat. Ave menggigit pundak Arthur saat ia
benar-benar akan mencapai pada pelepasannya. Lalu Ave mulai mengecup pundak
hingga leher Arthur. Mata Arthur terpejam, ia tidak boleh keluar sebelum ia
melihat Ave mendapatkan pelepasannya yang keempat. Ia harus memberikan pada Ave
malam terindah yang tidak pernah ia lewati sebelumnya.
“Im
gonna come!” teriak Ave mulai memeluk leher Arthur dan mengisap leher Arthur
saat ia mencapai pelepasannya. “Mmmh,” geramnya menjilat leher Arthur. Saat itu
juga Arthur merasakan siraman hangat pada ereksinya yang membuat ia terpaksa
harus memejamkan matanya kembali.
“We’re
not done yet,” ujar Arthur berusaha untuk menggendong Ave untuk keluar dari
kamar mandi. Miliknya sama sekali tidak keluar dari tubuh Ave. Ave benar-benar
tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia masih merasa kelelahan. Rasanya ia
akan mati hanya karena berhubungan badan dengan Arthur. Dibukanya pintu kamar
mandi oleh Arthur lalu mereka keluar dari kamar mandi.
“Aku
lelah, Arthur,”
“Tapi
aku belum, satu kali lagi maka kita akan selesai,” ujar Arthur membaringkan
tubuh Ave ke atas tempat tidur sambil ia langsung menindih tubuh Ave. Kaki Ave
rasanya tak kuasa untuk memeluk pinggang Arthur lagi, namun Arthur langsung
mengangkat kedua kaki Ave untuk melingkar di pinggangnya kembali. “Satu kali
lagi sayang,”
“Aku
ingin mati rasanya!” desah Ave memejamkan matanya, kepalanya menghadap ke
samping. Rasanya ia tak dapat membuka matanya kembali. Ia sangat lelah. Ia
butuh istirahat. Tapi Arthur belum mendapatkan pelepasannya. “Arthur ..ooh,
shit,” terlambat. Arthur telah menggerakan tubuhnya maju-mundur pada tubuhnya
begitu cepat. Tubuh Ave terus tersentak ke atas sambil mulut Arthur bermain
dengan buah dada Ave. Tangan Ave tak dapat melakukan apa-apa selain meremas
sprei putih. Gerakan Arthur semakin cepat, milik Ave mulai berdenyut-denyut tak
menentu. Terlebih lagi bagian sensitifnya tersentuh sepanjang milik Arthur
bergerak ke dalam tubuhnya.
“Fuck!”
desah Arthur mulai menggigit ujung puting Ave. “Apa kau memakai alat
kontrasepsi?”
“Menga
..pa? Mengapa kau baru bertanya sekarang? Aw! Yeah, yeah! Aku memakainya,
kumohon jangan berhenti! Aku memakainya!” seru Ave saat Arthur mulai
menghentikan gerakannya untuk mengambil pengaman di dalam laci meja kerjanya.
Mendengar ucapan Ave, kembali Arthur langsung menggerkan tubuhnya.
“Ah,
yes, baby! Im coming!” desah Arthur melesakan seluruh ereksinya ke dalam Ave beberapa
kali hingga bunyi cepakannya terdengar seperti menampar tubuh Ave. Sama seperti
Ave, ia juga baru saja mendapatkan pelepasannya. “Ah, yeah, Ave. Aku
benar-benar menyukaimu. Kau bukan jalang, kau tahu itu,”
“Mhmm,”
gumam Ave. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Tapi tulang-tulang di
tubuhnya rasanya akan lepas seluruhnya. Hanya karena Arthur memberikannya
pelepasan. Yeah, peleapasan sebanyak 4 kali dalam satu kali permainan. Dan itu
gila. Ave telah tertidur saat itu juga.
“Tidak
ada yang dapat menyentuh dirimu, Ave. Selain aku. Jika orang lain menyentuhmu,
menyakitimu, mungkin tangan ini akan dilumuri oleh darah,” gumam Arthur
sendiri. Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Dan setiap ucapan yang keluar
dari mulut Arthur akan terjadi. Ia akan benar-benar melindungi Ave. “Karena kau
mengenalku, entah bagaimana caranya,” bisik Arthur menempatkan kepalanya pada
dada Ave, matanya terpejam dan tertidur dengan nyaman.
***
“Aku
tidak menyukai Arthur, demi apa pun,” ujar Ave menarik nafasnya sambil memakai
celana dalam milik Justin yang tentu saja kelonggaran dengan pinggangnya yang
ramping. Ia baru saja mandi setelah tadi malam ia harus bertarung dengan Arthur
yang kekuatannya lebih kuat dibanding dirinya. Tanpa ragu-ragu Ave kembali
mengambil celana milik Justin di dalam lemari pakaian Justin. Ia tidak tahu apa
yang harus ia pakai karena ia tidak membawa baju ganti. Tentu saja. Kejadian
tadi malam benar-benar mendadak. Well, Ave tidak memakai bra sekarang. Sehingga
sekarang ia topless di hadapan Justin.
Justin menatapnya dengan tatapan tanpa dosa. Ia tidak tahu apa yang terjadi
tadi malam namun ia tahu Ave hampir saja diperkosa oleh teman kerjanya. Mata
Justin tidak lepas dari buah dada Ave yang menggantung dengan indahnya. Puting
berwarna merah muda, padat, dan ukurannya benar-benar bagus. Justin menelan
ludahnya, berusaha untuk tidak tergoda. Tapi sial! Ia ingin menjilati dada itu
sekarang juga. Namun sudah terlambat. Ave telah memakai kaos hitam yang
kebesaran di tubuhnya yang kecil. Justin baru saja tersadar sekarang.
“Apa?”
Sial. Justin mengumpat dalam hatinya.
“Aku
tidak menyukai Arthur, dia melakukan apa pun dengan sesuka hatinya. Dia pikir
dia siapa? Sekali lagi Justin, tadi malam aku tidak menggodamu. Aku tidak
memiliki maksud untuk menggodamu agar kau dan aku dapat bekerja sama dengan
baik di perusahaan itu,” jelas Ave menutup pintu lemari Justin. Bahkan sekarang
Ave sudah menganggap rumah Justin seperti rumahnya sendiri. Ave bukanlah wanita
yang sungkan. Ave wanita yang ..santai.
“Maafkan
Arthur. Aku, Max, dan Arthur menyukaimu. Apa kau akan menginap di rumah lagi?
Aku senang melihatmu berada di rumahku,” ujar Justin. Ave menarik nafasnya. Ini
hari Minggu, besok ia harus bekerja. Ia harus pulang, lagi pula ia tidak ingin
bertemu dengan Arthur kembali. Dan semoga saja Arthur tidak muncul lagi pada
tubuh Justin.
“Aku
tidak bisa. Ayahku mungkin akan marah besar karena dua hari ini aku tidak
pulang ke rumah. Maksudku, tidak tidur di rumah,”
“Mengapa
kau masih bergantung dengan ayahmu? Kau sudah bekerja. Kau bisa mengambil
keputusanmu sendiri,” ujar Justin bangkit dari tempat tidurnya dengan boxer
yang menutupi bagian bawahnya. Ave menarik nafasnya, kembali.
“Aku
juga takut dengan milikmu. Dia besar, tidak. Kita tidak bisa melakukan itu
lagi,”
“Baiklah,
kau boleh tidak menginap di rumahku malam ini. Tapi temani aku untuk pergi ke
panti asuhan. Clark, anak asuhku ada di sana,” ujar Justin yang membuat mata
Ave membulat. Anak asuh? Justin memiliki anak asuh? Ave tidak mengerti. “Aku
tak berjanji,” bisik Ave, menolak.
“Tidak,
kau harus,” ujar Justin, memaksa.“Kau wanita pertama yang kuajak, maka kau
beruntung.”
***
*Ave Harris POV*
Sial.
Ayahku telah menegurku tentang mengapa aku jarang pulang ke rumah akhir-akhir
ini. Bahkan sudah dua malam aku tidak tidur di rumah. Meski ayahku telah
mengetahui alasan mengapa aku tidak tidur di rumah, tapi tetap saja ia marah.
Mungkin karena aku terkesan tidak memiliki waktu untuk dua adik angkat. Dan
hei, aku memiliki pekerjaan yang harus kuselesaikan. Hidupku bukan hanya untuk
dua anak nakal itu. Lagi pula aku sudah besar. Aku tidak butuh bimbingan
orangtuaku lagi. Kehidupanku rasanya sangat menyedihkan. Tapi ayahku
mengizinkanku untuk pergi keluar siang ini hingga malam nanti. Kutatapi mobil
yang berada di depan mobil Justin. Siang ini Justin tidak jadi pergi ke panti
asuhan, katanya ia hampir lupa telah memiliki jadwal pertemuan dengan dr.
Amanda. Sebenarnya, aku tidak memiliki hubungan apa pun dalam kehidupan Justin
namun Justin memaksaku. Ia bilang, ia ingin aku mengenalnya lebih dalam. Dan ia
mengenalku lebih dalam lagi. Pertanyaan yang ada di benakku sekarang adalah,
kapan kita berkencan? Aku mungkin memang tertarik pada Justin –tidak dengan
Arthur—dan Justin juga tertarik denganku, jika kita telah mengetahui keduanya,
mengapa tidak ia mengajakku keluar makan malam? Membicarkan kekurangan kita
masing-masing. Apa kesukaannya. Dan apa yang sering ia lakukan tiap hari di
rumahnya atau di luar rumahnya. Jujur saja, aku juga ingin mengenal Justin
lebih dalam. Mungkin melalui dr.Amanda, aku dapat mengetahui
kepribadian-kepribadian Justin yang lain. Satu kepribadian yang tidak ingin
kulihat dalam diri Justin adalah Arthur dan Kevin. Mereka berdua cukup
menyebalkan, meski Kevin masih dapat ditangani. Untunglah Kevin tidak muncul.
“Mengapa
dr.Amanda dapat berbicara denganmu?” tanyaku, penasaran. Yeah, mengapa bisa?
Maksudku, dr.Amanda mengetahui kepribadian Justin yang lain. Justin mengatakan
padaku kalau dr.Amanda dapat berbicara dengan seluruh kepribadian Justin.
“Pengobatan
hipnotis,” jawab Justin singkat. “Itu semacam dr.Amanda akan menghipnotisku
lalu ia akan meminta salah satu dari kami muncul lalu ia akan berbicara,”
“Apa
selama proses penghipnotisan itu aku boleh masuk?”
“Tentu
saja,” ujar Justin senang, yeah, aku dapat mendengar kesenangan dari ucapan
Justin.
“Dimana
Kevin?” kembali aku bertanya.
“Kurasa
ia tidur di dalam tubuhku. Well, itu tidak apa-apa. Karena aku ingin bersamamu
terus menerus,” ucap Justin, seperti menggodaku. Aku tertawa pelan. Benar apa
yang dikatakan Justin. Aku juga ingin lebih dekat dengan Justin. Aku berpikir,
apa Justin akan selalu bersamaku tanpa Max atau Arthur? Atau Darren mungkin?
Karena aku rasa mereka tidak dibutuhkan dalam diri Justin. Justin sudah
terlihat sangat normal.
“Apa
sebelumnya ada wanita lain yang pernah kauajak untuk pergi bertemu dengan
dr.Amanda?”
Justin
menoleh padaku, tersenyum. “Tidak, kau spesial. Maka hanya kau yang kubawa pada
dr.Amanda. Ini sangat membingungkan. Kau wanita yang santai. Aku dapat melihat
kau tidak begitu bergantung pada sebuah komitmen. Aku juga begitu. Maksudku,
berpacaran? Aku jarang berpacaran, Max yang berpacaran,”
“Benarkah?”
tanyaku, tak percaya. Siapa tahu ia berbohong padaku? Sekarang aku berusaha
untuk menahan senyumanku namun aku tidak bisa. Ia benar-benar bisa membawaku
terbang ke langit. “Apa Max akan berpaling dariku? Maksudku, siapa tahu Max
tidak menyukaiku lagi,” ujarku, malu-malu. Hell. Apa yang terjadi denganku? Ini
di luar dugaanku. Setelah semalam aku marah pada Arthur, sekarang aku malu-malu
pada Justin. Mereka berdua berada dalam tubuh yang sama! Berarti jika aku marah
pada Justin juga! Sial, ini sangat membingungkan dan memalukan.
“Kurasa
tidak. Max benar-benar menyukaimu, kautahu,” jelas Justin, singkat. “Ave?”
“Mhmm?”
“Sebenarnya,
aku tidak tahu apa yang kepribadian lainku lakukan padaku. Tapi jika ia
menyakitimu, kau bisa bilang padaku. Aku ingin melindungimu, maksudku, aku
tidak ingin kepribadianku yang lain menyakitimu dengan tanganku sendiri. Mereka
dan aku adalah satu tubuh, Ave,” suara Justin menyiratkan keseriusan dan aku
tidak menyukainya. Aku lebih menyukai suasana yang santai. Berbicara hal-hal
konyol yang tidak masuk akal. Dan yeah, kepribadian-kepribadian Justin
menurutku konyol dan tidak masuk akal meski sebenarnya itu memang benar-benar
terjadi dalam dunia nyata. Mereka semua yang berada dalam Justin benar-benar
nyata. Belum sempat aku membalas ucapan Justin, mobil Justin telah terparkir di
sisi jalanan. Di depan sebuah rumah dr.Amanda, kurasa. Aku melepaskan sabuk
pengamanku lalu keluar dari mobil. Jantung berdegup kencang secara tiba-tiba.
Ini benar-benar mendebarkan jantungku. Apa yang akan Justin katakan tentang
diriku di depan dr.Amanda? Maksudku, tentu saja dr.Amanda akan bertanya siapa aku.
Aku memang Ave, tapi siapa aku dalam hidup Justin? Ya ampun, kurasa wajahku
sekarang memucat. Setelah Justin mengunci mobilnya, ia langsung menarik
tanganku untuk masuk ke dalam rumah prakter dr.Amanda.
“Dr.Amanda
adalah dokter yang baik. Kau tidak perlu takut padanya,” ujar Justin membuka
pintu. Lalu di dalam rumah ini sudah terdapat dua orang yang berada di belakang
meja besar untuk para tamu. Kutarik nafasku dalam. Salah satu dari antara
mereka yang memiliki rambut cokelat sama sepertiku berdiri dari tempatnya lalu
menjabat tangan Justin seketika.
“Mr.Bieber.
Anda telah ditunggu oleh dr.Amanda,” ujar wanita yang bernama Beth itu –aku
melihat namanya dari tanda pengenal di pakaiannya—dengan ramah. Justin
menganggukan kepalanya lalu menatap padaku sejenak. Diberikannya senyuman
rahasia yang membuatku semakin gugup. Mengapa ia menatapku seperti ..entahlah,
ia seperti menyimpan sebuah kejutan di dalam senyumannya yang jika ia
memberikan kejutan itu, ia tahu aku akan langsung mati di tempat. Tanpa kusadari
tiba-tiba saja aku telah berada di dalam sebuah ruangan yang ..hening dan
sejuk. Kulihat ke sekelilingnya, satu rak buku besar telah berada di ruangan
ini. Satu meja kerja dan kursi hitam yang dapat diputar lalu tiga sofa yang
berada di depan meja kerja itu. Dan satu wanita muda ..muncul dari pintu lain
yang berada di dalam ruangan ini. Ia memiliki rambut cokelat panjang yang sama
sepertiku, celana panjang berwarna putih lalu kemeja putih serta jas putih khas
para dokter menempel di tubuhnya. Benar-benar cantik. Terlebih lagi matanya
sama seperti warna mata Justin. Ia tersenyum ramah dan melambaikan tangannya
pada Justin. Dan dia adalah dr.Amanda yang cantik, harus kuakui.
“Ya
Tuhan, Justin. Kupikir kau tidak akan datang,” ujar dr.Amanda. Suaranya halus, lembut
dan ramah. Justin melepaskan pegangan tangannya dariku lalu ia maju beberapa
langkah dan memeluk dr.Amanda begitu erat. Kuperhatikan mereka berdua yang
langsung bercengkrama. Mereka seperti teman lama yang tidak bertemu selama
bertahun-tahun. Kulihat gerak gerik Justin yang menatap dr.Amanda begitu
intens. Maksudku, Justin berusaha agar matanya terus bertemu dengan dr.Amanda.
Baiklah, ini adalah pikiran negatifku, Justin menyukai dr.Amanda. Dan ini
adalah pemikiran positifku, Justin menyukai dr.Amanda. Apa bedanya? Aku tentu
saja tidak dapat melihat sisi positifnya sekarang. Ini adalah perasaan aneh
yang tidak pernah kurasakan sebelumnya, namun rasanya aku tidak ingin melihat
pemandangan ini.
“Dan
ini adalah kekasihku, Ave Harris,” Justin menarik bahuku, memperkenalkanku pada
dr.Amanda. Rasanya aku ingin mati. Apa-apaan yang baru saja ia katakan? Aku
kekasihnya? Bunuh aku. Ya ampun, apa itu maksud dari senyuman Justin?
Kebingunganku akhirnya terbayar saat dr.Amanda menjabat tanganku. Meski ini
tidak terbayar sepenuhnya. “Aku ingin kau memperkenalkan seluruh kepribadianku
padanya. Aku sedikit susah untuk menjelaskan kepribadianku padanya,” lanjut
Justin.
“Ah,
ya. Ms.Harris, kau tampak sangat mengagumkan. Pantas Mr.Bieber menyukaimu. Aku
dr.Amanda, aku dokter yang menangani Justin 5 tahun ini,” ujar dr.Amanda
memperkenalkan dirinya. “Mari kita duduk untuk membicarakan masalah kekasihmu,”
ujar dr.Amanda. Justin langsung menarik tanganku untuk terduduk di atas sofa
yang dapat memuat untuk kami berdua. Tanganku dan tangan Justin berkeringat.
Kurasa Justin sama gugupnya denganku. Ini adalah pertama kali aku berbicara
dengan seorang dokter psikiater dan ini adalah pertama kalinya aku dipanggil kekasih oleh seseorang. Dan orang
pertama itu adalah Justin Bieber. Ya Tuhan.
“Apa
kau ingin keluar atau kau ingin berada di sini mendengarkan penjelasanku pada
Ms.Harris?” tanya dr.Amanda pada Justin. Justin menarik nafasnya sejenak, ia
menatapku.
“Kurasa
tidak,” Justin menggelengkan kepalanya. “Apa
yang Ave dengar darimu harus kudengar juga,” ujar Justin, tegas. Baiklah,
pemikiran tentang Justin menyukai dr.Amanda akan kutepis. Karena ..ya Tuhan,
jika aku dapat menjambak rambutku sekarang sudah pasti aku akan menjambaknya.
Justin kelihatan sangat gentle dengan
ucapannya tadi. Dr.Amanda menganggukan kepalanya.
“Baiklah,”
gumam dr.Amanda, “Kita akan membicarakan satu per satu kepribadian Justin.
Mungkin yang pertama adalah Kevin,” ujar dr.Amanda. Aku mengangguk, kali ini
kedua alisku saling bertautan ingin mendengar ucapan dr.Amanda dengan seksama.
Mungkin –ini baru kuperkirakan—Justin akan menjadi kekasih pertama dan mungkin
yang terakhir. Tapi aku belum dapat memastikan itu. Jika ya, pembicaraan ini
akan sangat penting bagi kehidupanku.
“Kevin
adalah kepribadian Justin yang kekanak-kanakan. Mengapa Justin memiliki
kepribadian ini? Itu dikarenakan masa kecilnya yang kurang bahagia. Dengan
adanya kepribadian Kevin, Justin tidak akan merasa kesepian. Karena di masa
kecilnya, Justin merasa sangat kesepian. Terlebih lagi Justin adalah anak
lelaki yang pendiam. Namun Kevin, Kevin membuat diri Justin lebih berada di
dunia ini. Biasanya, Kevin akan muncul jika Justin merasa sangat kesepian.
Bahkan, Justin pernah mengaku, Kevin muncul saat ia berada di kantor. Ia
bermain-main di sana layaknya anak kecil. Sangat lucu bukan lelaki berumur 30
tahun namun memiliki sifat seperti anak-anak?” tanya dr.Amanda menarik nafas
agar ia dapat menjelaskan lebih dalam lagi. Justin yang memegang tanganku
semakin memegang tanganku dengan erat. Ia memang gugup. Tapi ini sangat
menarik. Aku menyukai percakapan ini. Aku mengangguk, ikut tertawa dengan
dr.Amanda meski ini tidak begitu lucu.
“Kemudian,
Arthur. Arthur muncul saat ia masih kecil juga. Arthur adalah kepribadian yang
pemarah. Mengapa? Justin mengaku sendiri saat ia masih kecil, orangtuanya
menyiksa Justin hingga Justin tidak kuasa untuk menanggung rasa sakitnya
sehingga dapat memuncul kepribadian yang baru, yang lebih kuat dibanding
Justin. Ia memanggil dirinya sebagai Arthur. Dulu Justin adalah anak kecil
korban perkosaan ayahnya sendiri. Ya, itu sangat menyedihkan,” jelas dr.Amanda
yang setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti memukul hatiku dengan tangan
dari seorang petinju terkuat. Apa itu benar-benar terjadi pada kehidupan
Justin? Ayah Justin adalah ayah yang benar-benar kejam. Kemana ibunya?
“Ibu
Justin meninggal saat Justin berumur 3 tahun, itu yang dikatakan Justin padaku.
Ayahnya melecehkannya dari umur 8 hingga 13 tahun. Mulai dari sana Arthur dapat
memberontak. Arthur yang menanggung rasa sakit yang Justin dapatkan. Hingga
sekarang kepribadian itu masih ada karena trauma dalam diri Justin yang
membekas. Guna Arthur adalah sebagai pelindung Justin,” jelas dr.Amanda. Air
mataku membendung seketika setelah ia menceritakan tentang masa lalu Justin.
Justin disiksa dan dilecehkan oleh orang tuanya sendiri. Ini sangat
menyedihkan. Rasanya aku tak sanggup untuk mendengar kepribadian Justin yang
lain.
“Lalu
muncullah Darren saat Justin masih remaja. Darren muncul karena Justin tidak
memiliki sisi kebahagiaan dikarenakan masa lalunya yang kelam. Anak kecil
adalah orang-orang yang Darren sukai karena itu dapat membuat Darren lebih
bahagia. Darren adalah kepribadian paling menyenangkan dibanding semua
kepribadian. Ia suka bermain, namun ia tidak seimajinatif Kevin yang aktif,”
jelas dr.Amanda. Aku mengelap air mataku dengan jari telunjuk dan merasa senang
karena Darren muncul. Oh, rasanya aku ingin sekali melihat Darren. Namun di
satu sisi aku masih merasa sedih karena masa lalu Justin yang sangat
menyedihkan. Ayahnya sendiri! Apa kau dapat berpikir dengan otakmu? Ayahnya
sendiri memperkosa anak lelakinya. Justin korban pelecehan seksual selama
bertahun-tahun. Dan pastinya itu sangat menyaktikan! Untunglah ada Arthur yang dapat
melindungi Justin. Kutarik nafasku dalam-dalam. Baiklah. Sekarang Max. Aku
penasaran dengan Max, mengapa ia berada dalam tubuh Justin?
“Lalu
Max,” dr.Amanda menarik nafasnya. “Karena masa lalu Justin yang menyedihkan, Justin
merasa minder jika ia berada di dekat perempuan. Max muncul saat Justin berumur
17 tahun. Saat Justin ingin sekali mendekati seorang perempuan namun ia tidak
sanggup melakukannya karena ia takut ..ia takut masa lalunya dapat menghambat
hubungannya dengan perempuan itu. Ia terlalu gugup untuk berbicara dengan
seorang perempuan. Sehingga, Max muncul dengan kepribadiannya yang percaya
diri. Yang senang mendekati perempuan. Karena Max, Justin disukai oleh banyak
wanita sekarang. Tapi entah mengapa Justin belum memiliki istri sampai sekarang,”
ujar dr.Amanda selesai menceritakan kehidupan Justin. Aku terkekeh pelan.
Mataku bertemu dengan mata Justin seketika itu juga. Kulihat dari mata Justin
yang terlihat sangat menyakitkan. Oh, bagaimana mungkin ada orangtua yang kejam
memukul Justin yang tampan seperti ini? Jika aku bertemu dengan orangtuanya,
sudah pasti aku memarahinya. Sekarang aku tahu mengapa Justin tidak tertarik
padaku pada awal pertemuan. Sekarang aku tahu Justin lebih dalam lagi.
Kehidupannya membuatku sadar bahwa aku memiliki kehidupan yang lebih baik
dibanding dirinya. Aku sekarang merasa bersalah pada orangtuaku yang selalu
kuabaikan. Di saat Justin membutuhkan kasih sayang dari orangtua, aku sekarang
berusaha untuk menjauh dari orangtuaku.
“Apa
ada cara yang dapat menyembuhkannya?”
“Sudah
terlambat. Justin menjalankan terapi bersamaku selama 5 tahun namun tidak aku
tidak dapat menghilangkan trauma masa lalunya. Seharusnya, Justin menjalankan
pengobatan ini sejak ia masih remaja agar dapat diatasi. Namun aku tidak dapat
melakukan apa-apa selain membuat Justin dapat berbicara dengan kepribadiannya
yang lain,”
“Oh,
ya Tuhan. Apa aku boleh keluar sekarang? Aku harus pergi ke toilet,” ujarku
rasanya tak ingin menangis di depan dr.Amanda karena aku tahu itu sangat
memalukan.
“Oh,
tentu saja. Toilet ada di luar, kau pasti akan mendapatkannya,” ujar dr.Amanda
ramah. Aku bangkit dari sofa lalu membuka pintu ruanga ini dan keluar. Justin
mengikutiku dari belakang. Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke toilet, hanya
saja aku membutuhkan waktu untuk berpikir sejenak. Ini masih di luar kepalaku.
Maksudku, aku tidak dapat berpikir. Ini sangat berlebihan. Kubuka pintu keluar
bersamaan dengan air mataku yang mengalir di pipiku. Ini sangat menyedihkan.
Ayah Justin sangat kejam! Aku berharap ia mati dan masuk neraka! Ia adalah ayah
terkejam yang pernah kutemui. Kuharap ia mendapatkan ganjaran yang setimpal
setelah apa yang telah ia perbuat pada Justin yang manis.
“Ave,
ada apa?” Justin menarik tanganku sehingga aku langsung memeluknya. Aku menangis
di dadanya, merasa sakit hati karena melihatnya sangat terpuruk. Aku terdiam,
aku hanya dapat terisak dalam tangisanku sambil Justin mengelus rambutku.
“Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa.” bisiknya.
***
Mataku
memerhatikan angsa hitam dan putih yang sedang berenang di atas danau yang
berwarna hijau. Bunga teratai mengapung di atasnya seakan-akan bunga itu tidak
membebani sang danau. Angsa hitam yang memiliki leher panjang itu mencelupkan
kepalanya selama beberapa detik lalu mengeluarkan kepalanya kembali. Angsa itu
pasti memiliki masalah yang berat juga, sama seperti Justin. Karena kulihat
angsa hitam itu menyendiri, tidak berenang dengan angsa-angsa lain. Padahal
masih banyak angsa hitam yang berenang di sekitarnya. Dia menyendiri. Apa
masalahnya? Mungkin ia merasa dirinya jelek. Mungkin kehidupannya sama seperti
dongeng The Ugly Duckling. Padahal sebenarnya tidak. Paruh merah-orange
miliknya tampak cantik. Bulu-bulu hitamnya seolah-olah akan menjadi tamengnya
karena hitam biasanya melambangkan kengerian tersendiri. Apa angsa itu memiliki
kepribadian yang banyak sama seperti Justin? Siapa tahu saja, sebenarnya angsa
itu memiliki bulu putih namun karena ia memiliki kepribadian ganda maka ia
mengubah bulunya menjadi warna hitam? Mungkin ia mencelupkan tubuhnya dalam
sebuah wadah besar yang berisikan tinta hitam agar kepribadiannya yang lebih
kuat muncul sehingga angsa yang lain akan takut padanya. Mungkin itu
dikarenakan orangtuanya tidak menganggapnya berada di dunia ini lalu
teman-teman sekitarnya mencelakakan dia sehingga ia trauma dan ..aku adalah
wanita paling imajinatif yang pernah ada. Ya Tuhan. Apa aku gila hanya karena
Justin? Ini semua karena aku tidak menerima apa yang terjadi pada diri Justin.
Sangat kejam ayah Justin telah memerkosa anaknya sendiri. Apa ayahnya adalah
seorang pedofil? Kuhembus nafasku yang hangat. Apa maksud Tuhan dengan semua
ini? Apa dia mengirimkanku untuk menyembuhkan Justin? Bagaimana caranya? Tidak,
aku tidak ingin memposisikan diriku sebagai wanita-wanita lain yang tidak
menerima masa lalu Justin maka mereka menjauhi Justin. Tapi kurasa tidak.
Justru
seharusnya aku membantu Justin untuk menghilangkan rasa traumanya. Seharusnya
Justin tahu dirinya lebih kuat dibanding Arthur, lebih percaya diri dibanding
Max, atau dia tidak kesepian maka ia tidak harus membutuhkan Kevin. Atau
Darren. Sebenarnya Justin tidak membutuhkan mereka semua. Ini semua karena ayah
Justin! Ini bukan salah Justin. Dan permasalahan yang kugeluti sekarang adalah
bagaimana? Bagaimana caranya aku dapat menghilang rasa trauma Justin? Entah
sudah berapa lama aku menyandarkan kepalaku pada pundak Justin. Terjerumus
dalam pikiranku sendiri dan mengabaikan Justin yang tangannya sedari tadi
mengelus kepalaku dengan lembut. Terlebih lagi, aku masih tidak percaya Justin
mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia tidak apa-apa. Lalu, mengapa dalam
tubuhnya terdapat Arthur? Max? Kevin? Dan Darren? Lalu Justin pikir mereka
semua siapa dalam tubuhnya? Apa itu dapat membuktikan bahwa Justin baik-baik
saja? Ya Tuhan, rasanya aku ingin membenturkan kepala Justin ke tembok agar ia
sadar bahwa ia tidak baik-baik saja.
“Ave,
katakanlah sesuatu,” ujar Justin membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat kepalaku
dari bahunya. Mengapa aku? Mengapa harus aku yang ia bawa masuk ke dalam
kehidupannya? Bahkan baru 3 hari aku bertemu dengan Justin namun rasanya aku
telah mengenal Justin selama bertahun-tahun. Ini sangat cepat, mengejutkan, dan
tidak dapat dipercaya.
“Justin,”
aku menarik nafas. “Apa yang harus kulakukan padamu?” tanyaku, lirih.
Justin
mengangkat kedua bahunya, tak tahu. “Mengenal diriku lebih dalam, mungkin,”
“Mengapa
aku?” pertanyaan itu sepertinya memang harus dijawab olehnya. Harus.
“Karena
saat aku memberitahu masa kelamku padamu, kau tidak lari dariku,” ujarnya,
menjelaskan secara singkat. Ya Tuhan. “Karena saat kau menangis, aku tahu kau
akan menjadi milikku,” lanjutnya lagi. Mataku bertemu dengan matanya seketika
itu juga. Kuperhatikan baik-baik matanya yang seperti mata harimau itu. Pupil
matanya yang berwarna hitam menjerumuskanku masuk ke dalamnya. Seakan-akan ada
sebuah gambaran di balik matanya yang tidak memperlihatkan kepahitannya. Lalu
aku memerhatikan bibirnya yang seperti sebuah garis lurus yang tegang lalu ia
tersenyum. Senyumannya itu palsu! Demi Tuhan, bagaimana mungkin ia dapat
tersenyum di saat dirinya masih berada dalam tindasan dari ayahnya yang masih
membekas? Ini tidak masuk akal. Kupeluk Justin dengan erat, melingkarkan
tanganku di sekitar lehernya lalu menyandarkan kepalaku di bahunya sambil
menyembunyikan wajahku di dalam lehernya. Ini memang gila. Aku baru bertemu
dengannya 3 hari namun ia telah memanggilku sebagai kekasihnya dan dalam waktu
yang begitu cepat, ia memberitahu masa lalunya padaku meski ia belum mengetahui
latar belakangku. Well, meski ia telah bekerja sama dengan ayahku, namun belum
tentu ia tahu sifat ayahku yang overprotectif.
“Apa?
Kau ingin aku cium? Karena tadi kau memerhatikan bibirku, aku tahu aku seksi,”
ujar Justin yang membanggakan dirinya membuatku tertawa. Kujauhkan kepalaku
dari lehernya lalu menatap wajahnya baik-baik. “Aku merasa lebih terbuka
denganmu karena aku tahu, kau akan menerima diriku apa adanya bukan?”
Aku
tersenyum kecil. “Mengapa kita tidak mencobanya saja? Kau lelaki yang menarik.
Penyayang anak-anak. Dan kau seorang pengusaha? Apa yang kurang dari dirimu?”
“Masa
laluku,” bisiknya tersenyum.
“Oh
Justin!” aku mendesah pelan, membenturkan kepalaku pada bahunya. Ia tersenyum
saat ia mengucapkan ‘masa laluku’? Itu sudah pasti ia menahan rasa sakit yang
ia sembunyikan baik-baik. Baiklah. Mungkin kita harus melakukannya pelan-pelan.
Aku ingin menjalin kasih bersama dengan Justin jika itu memang bisa. Kuangkat
kepalaku. “Kita bisa memperbaikinya,”
“Kautahu
apa? Hebatnya sekarang Max tidak muncul padahal sekarang kau sangat seksi
sekali. Aku lebih kuat daripada mereka saat kau berada di sisiku,” ujarnya,
senang. Kumiringkan kepalaku ke salah satu sisi lalu tersenyum. “Jadi, aku
kekasihmu eh?” tanyanya yang berhasil membuat aku menggigit bibir bawahku. Tiba-tiba
aku merasa sangat gugup. Well, aku telah menjadi kekasih Justin! Justin yang
mengakuinya pada dr.Amanda. Secara tidak langsung Justin memberitahuku bahwa ia
menaruh harapan padaku. Mungkin ini adalah jalan yang benar.
“Ya,
tentu saja,” aku tersenyum malu-malu. Justin menarik leherku lalu mengecup
bibirku, untuk yang pertama kalinya. Ya, Justin Bieber mengecup bibirku untuk
yang pertama kalinya. Setelah Max yang mendapatkan kecupan pertama dariku lalu
Arthur, akhirnya aku dapat merasakan kecupan dari Justin. Ciuman ini tidak
berlangsung lama dan tidak melibatkan lidah kami, hanya kecupan singkat
layaknya sepasang kekasih. Meski aku belum jatuh cinta pada Justin, namun aku
tahu, aku pasti akan jatuh cinta padanya. “Jadi, Clark. Kau bilang ia adalah anak
asuhmu, mengapa ia berada di panti asuhan lagi?”
“Mrs.Ellie
sudah dua minggu tidak dapat menjagaku dan Clark di rumah. Minggu ini aku
memiliki banyak pekerjaan sehingga aku terpaksa untuk membawa Clark ke panti
asuhan selama beberapa hari. Apa kau ingin menemaniku untuk membeli mainan
untuk Clark dan teman-temannya hari ini untuk besok? Biasanya jika aku datang
ke sana, aku selalu membeli mainan untuk mereka. Darren dan aku baru saja
membicarakannya di kamar mandi tadi,” jelas Justin. Oh, Justin telah berbicara
dengan Darren tadi pagi. Pantas Justin lama sekali keluar dari kamar mandinya.
Bagaimana bisa Justin berbicara dengan Darren? Uh, rasanya aku benar-benar
penasaran. Yang membuatku takjub adalah dr.Amanda dapat membuat Justin dan
alternya yang lain dapat berbicara dalam waktu yang bersamaan.
“Oke.
Jadi ini yang terjadi. Kau dan aku baru saja bertemu tiga hari yang lalu. Max
menyukaiku, lalu kau menyukaiku, lalu Arthur menyukaiku. Lalu Max membawaku ke
rumahmu, lalu Arthur membawaku ke rumahmu lagi. Setelah itu, kau membawaku
kepada dr.Amanda untuk memperkenalkan dirimu padaku. Sehingga sekarang kita
berada di sini, kau dan aku telah menjadi sepasang kekasih. Dan setelah ini
kita akan pergi ke toko mainan. Seperti itu bukan, Mr.Bieber?”
Justin
terkekeh pelan setelah ia sadar bahwa hubungan ini sangat cepat terjadi. “Ya,
benar. Ms.Harris. Apa kita bisa pergi sekarang?” tanya Justin bangkit dari
bangku taman yang berada di pinggiran danau. Kuraih tangan Justin agar aku bisa
bangkit dari bangku.
“Tentu
saja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar