Sabtu, 03 Agustus 2013

Criminal Crime Bab 5




***

            “Mengapa akhir-akhir ini kau jarang berada di rumah? Elliot selalu mencarimu kautahu, kemana ponselmu? Ia bilang ia menghubungimu,” ujar ayahku saat aku baru saja membuka pintu rumah. Kulihat ayahku terduduk di atas sofa ruang tamu bersama dengan Elliot yang juga berada di sana. Sialan. Mengapa Elliot sekarang terlihat sangat menyebalkan? Rasanya aku ingin menimpuk Elliot dengan batu. Kutarik nafasku sambil menutup pintu rumah. Kuangkat kedua bahuku, tidak peduli. Setelah seharian ini aku mendapatkan waktu yang cukup menyenangkan dengan Justin, Elliot datang dengan segumpal keberanian untuk mengadu pada ayahku bahwa aku tidak mengangkat teleponnya. Dia adalah lelaki pengecut yang pernah kutemui. Mengapa ia harus melibatkan ayahku? Ia sudah berumur 24 tahun tapi dimana nyalinya? Dan segumpal keberaniannya itu membuatku ingin melemparnya dari atas air terjun Niagara. Sebenarnya, ada apa dengan Elliot? Apa dia sadar bahwa aku tidak menyukainya? Maksudku, menyukainya dalam arti cinta? Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih. Cita-citaku selama ini bukanlah untuk menjadi seorang kekasih dari lelaki California yang memiliki rambut pirang. Dan bukan lelaki yang pengecut sepertinya.
            “Aku hanya bersenang-senang di luar sana. Ada apa dengan itu?”
            “Tapi Elliot mengkhawatirkanmu,” ujar ayahku. Kubulatkan mataku.
            “Lalu apa?” kuangkat kedua tanganku, bergaya tak peduli. Dan memang aku tidak peduli. “Dengar Elliot, sahabatku, aku menghargai dirimu karena selama ini kau selalu ada untukku. Tapi maaf, aku tidak bisa mencintaimu sayang,” ujarku berjalan melewati ruang tamu setelah aku menatap Elliot dengan tatapan k-u-b-u-n-u-h-k-a-u. Ia langsung menundukkan kepalanya, ketakutan. Sudah kuduga. Mengapa aku harus memusingkan lelaki pengecut seperti Elliot? Ia bahkan hanya berani berbicara dengan ayahku agar ayahku menegurku karena ia tahu aku takut pada ayahku. Sebenarnya, aku tidak takut pada ayahku, aku hanya menghargai ayahku sebagai ayahku. Kau mengerti maksudku bukan? Maksudku, tidak sopan jika aku membantah ucapan ayahku.
            “Ave! Ada apa denganmu?” tanya ayahku, kali ini suara lebih besar. Bukan berteriak.
            “Aku hanya tidak ingin diganggui oleh Elliot! Aku tidak suka dihubungi olehnya karena percakapan yang ia buat benar-benar membosankan,” ujarku, emosi. “Aku minta maaf Elliot, tapi sungguh, aku tidak menyukaimu jika kau terus menghubungiku! Dan demi Tuhan, aku tidak akan mencintaimu Elliot!” teriakku berlari dengan cepat melewati anak tangga menuju kamarku. Ini yang selalu kutakutkan. Elliot pasti akan menyukaiku. Aku tahu dari caranya menatapku tidak sama seperti ia menatap wanita lain. Ia seperti Justin yang jika berbicara, mata kami harus terus bertemu. Tapi aku bukan wanita yang berbicara dan menatap mata orang itu secara langsung. Terlebih lagi jika ia adalah seorang lelaki. Maksudku, aku langsung merasa gugup. Meski aku tidak menyukai lelaki itu.
            Tiba-tiba aku teringat dengan kejadian kemarin. Ya Tuhan. Kuharap aku tidak dipecat!

***

            “Dia menggodaku ayah!” ujar Ian saat aku baru saja ingin duduk di atas kursi kerjaku. Ian dan atasannya baru saja muncul saat aku menarik kursiku lalu melihat Ian yang kepalanya telah diperban dengan hidung yang patah. Hidungnya patah? Oh, itu sangat lucu. Mr.Wood menatapku dengan tatapan tak percaya lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tunggu dulu. Mr.Wood dengan ucapan omong kosong anak sialannya itu? Apa selama ini aku terlihat seperti pelacur di depan matanya? Apa selama ini aku terlihat selalu menggoda anaknya? Ya Tuhan.
            “Kemarin ia menggodaku ayah! Aku tahu ia telah merencanakan ini. Ia tahu bahwa aku akan menolaknya sehingga ia menyiapkan seseorang untuk memukulku! Demi apa pun ayah, aku ingin dia dipecat!” ujar Ian yang membuat seluruh karyawan menatap kami bertiga. Ya Tuhan. Ini benar-benar memalukan. Apa-apaan yang terjadi dengan Ian? Aku sudah tahu ini pasti akan terjadi. Ian memutarbalikan fakta! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku masih mencintai pekerjaanku dan tidak ingin kehilangan pekerjaan ini. Tapi Ian, demi apa pun aku ingin melemparnya dari atas gedung ini. Ini bahkan masih pagi namun ia telah merusak suasana hatiku yang sudah jelek karena ayahku tadi pagi memarahiku dan ditambah lagi dengan fitnahan anak dari atasanku. Kuhembuskan nafasku, berusaha untuk terlihat stay calm.
            “Mr.Wood, aku tidak sama sekali memiliki niatan untuk menggoda anakmu. Aku ..demi Tuhan, dia yang menggodaku. Aku mengatakan kejujuran Mr.Wood, ia menciumi leherku lalu ia mengangkat tubuhku dan menindih tubuhku di atas lantai. Untunglah ada seseorang yang menolongku kemarin. Intinya, Mr.Wood, aku tidak tertarik dengan anak Anda,” ujarku menjelaskan. Sekalipun aku dipecat, ada sisi kebaikannya. Aku tidak akan bertemu dengan Ian. Tidak akan ada lelaki yang memiliki bulu dada seperti monyet yang akan menggodaku lagi. Mr.Wood menatapku dari balik kacamatanya, memerhatikanku dengan seksama. Seperti ia menimbang-nimbang siapa yang benar dan siapa yang salah. Lalu ia menarik nafasnya, menggelengkan kepalanya.
            “Aku minta maaf, Ms.Harris. Tapi anakku tersakiti karena ulahmu—“
            “Apa? Ya Tuhan, aku tidak menggoda anakmu Mr.Wood yang terhormat! Aku tidak tertarik dengan lelaki sialan seperti anakmu!”
            “Bagaimana bisa kau membuktikan itu? Entah mengapa kamera  tersembunyi tak berfungsi malam itu, apa kau yang mematikannya? Aku benar-benar minta maaf, Ms.Harris, tapi kau kupecat,” ujar Mr.Wood tegas. Air mataku membendung namun aku berusaha tegar. Sialan! Mataku melihat pada Ian dengan tatapan penuh dengan kebencian. Aku akan membalas dendam! Aku pasti akan menghancurkan kehidupannya secara perlahan-lahan! Dia telah merusak masa depanku. Kutarik nafasku dalam-dalam lalu tersenyum manis pada Ian –bahkan Ian tersenyum puas melihatku! Sialan.
            “Tapi tidak apa-apa, Mr.Wood. Setidaknya aku tidak akan bertemu lagi dengan anak sialan ini lagi. Terima kasih karena kau telah memberikanku kepercayaan sebagai asistenmu selama ini,” ucapku, terpaksa. “Dan terima kasih juga padamu Ian. Kau menyelamatkanku,”
            “Ya, sama-sama,” ujar Ian, terkekeh. Namun dengan cepat aku menendang penis kecil Ian dengan kencang hingga ia meringis. Mata membulat menatapku tak percaya. “Oh, ayah!”
            “Semoga penis kecilmu masih dapat berfungsi,” ujarku membalikan tubuhku untuk pergi dari tempat sialan ini. Aku benar-benar marah. Rasanya aku ingin mencekik seseorang. Tendanganku tadi kurang untuk melampiaskan kemarahanku sekarang. Aku tidak pernah difitnah sebelumnya! Dan Ian si berengsek itu telah menjadi orang pertama yang memfitnah diriku. Karenanya aku kehilangan pekerjaanku. Aku harap ia mati! Peduli setan jika dosaku akan lebih besar karenanya.
            Aku ingin bertemu Justin. Secepatnya.  
***

            Dia. Luar biasa. Tampan. Aku. Ingin. Mati. Bagaimana mungkin Justin bisa terlihat begitu tampan pagi ini saat aku baru saja masuk ke dalam rumahnya lalu melihatnya sedang membaca sebuah koran di ruang tamunya. Pakaian yang ia pakai bahkan bukan seperti yang Justin pakai. Oh ..atau mungkin dia adalah Darren? Celana berwarna hitam selutut, kaos putih tipis yang dapat memperlihatkan putingnya yang kecil, dan tattonya yang tertulis Abused itu terlihat. Ia sungguh tampan. Apa Justin dan kepribadiannya yang lain telah membicarakan tentang kapan saja mereka keluar? Maksudku, mereka bisa membuat perjanjian seperti yang Justin katakan padaku. Jam tangan emas terpasang di tangan sebelah kanannya. Demi Tuhan aku ingin menampar diriku agar aku bisa terbangun dari mimpiku namun aku tahu ini bukan mimpi atau imajinasiku, dia nyata.
            Seakan ia telah tersadar bahwa ada seorang manusia berdiri di hadapannya. Apa ia tidak sadar dengan suara pintu yang kubuka? Bahkan Justin hanya memiliki satpam di depan rumah. Hanya satpam, dapatkah kau percaya dengan itu? Kehidupan yang benar-benar membosankan. Untuk apa Justin membuat rumah sebesar ini namun ia tidak memiliki seseorang untuk menemani harinya? Oh, yeah, Clark. Anak kecil itu. Aku terpaku saat mata Justin menatap padaku lalu ia tersenyum sumringah. Bukan senyuman Justin dan gerak-geriknya bukan gerak-gerik dari Justin. Dia Darren. Dapat kupastikan dia adalah Darren. Ia menutup koran yang ia pegang lalu berdiri.
            “Ya Tuhan, akhirnya aku bisa bertemu denganmu,” ujar ..Darren—kurasa—dengan nada suara yang berbeda. Oh? Dia terlihat sangat ramah. Kakinya membawa tubuhnya yang luar biasa seksi itu padaku lalu ia langsung memelukku. “Ah, aku senang sekali bertemu denganmu, Ave. Aku Darren. Justin selalu menceritakan tentangmu tiap malam, aku selalu mengganggunya. Ternyata kau luar biasa cantik,” lanjut Darren. Suaranya sangat halus. Bagaimana mungkin Justin dapat mengatakan bahwa Darren adalah orang yang sangat menyenangkan? Dia bukan lelaki yang menyenangkan, namun ia lelaki yang lembut. Ramah. Entahlah, dia seorang lelaki yang sopan. Tubuh kami terpisah saat Darren menarik tubuhnya dariku. Kemudian kecanggungan di antara kami benar-benar terasa. Atau mungkin hanya aku yang merasakannya? Karena Darren hanya memerhatikanku.
            “Kau adalah Ave bukan?” tanya Darren, terkekeh pelan. Aku menganggukan kepalaku layaknya orang bodoh yang ditanya siapa namanya namun ia hanya mengangguk, bukan malah menjawabnya. “Kupikir kau akan datang ke sini saat kau makan siang, Justin memberitahuku. Ada apa kau datang pagi-pagi seperti ini? Duduklah,” suruh Darren menarik pundakku agar aku duduk bersamanya di atas sofa. Bokongku berciuman untuk yang pertama kalinya di atas sofa ruang tamu Justin. Darren ikut duduk bersamaku. Ternyata di setiap kepribadian Justin, mereka memakai pakaian yang berbeda. Maksudku, yeah, sudah jelas. Kevin bahkan juga memiliki pakaiannya sendiri. Pakaian kodok mungkin? Maksudku, Kevin sedang memakai pakaian yang bergambar-gambar di bajunya –aku melihat lemari pakaian Kevin. Kevin sendiri yang menunjukkannya padaku sendiri. Kevin adalah seorang anak yang suka sekali pamer.
            Aku memasang wajah murungku. Saat ia melihat ekspresi wajahku seperti itu, kedua alisnya saling bertautan. “Aku baru saja pecat,” bisikku. Matanya melebar seketika.
            “Apa-apaan itu? Kau ingin aku mengambilkan air putih untukmu? Bagaimana bisa kau dipecat? Kau bekerja sebagai apa?”
            “Aku seorang asisten di salah satu perusahaan. Anak atasanku memutarbalikkan fakta tentang aku menggodanya. Padahal kemarin ia berusaha memperkosaku!”
            “Sial, kau ingin kita mengambil Clark sekarang? Ah, aku mempunyai begitu banyak rencana hari ini. Ingin bergabung denganku?”
            “Apa itu dapat membuatku merasa lebih baik?”
            “Oh, kumohon Ave, jangan panggil aku Darren Bieber jika aku tidak dapat membuatmu tersenyum!” seru Darren bersemangat. Bagaimana mungkin hanya dengan ucapannya seperti itu dapat membuat semangatku kembali lagi? Entahlah, ia memiliki efek yang besar terhadapku.

***

            Apa-apaan yang sedang Darren lakukan? Apa dia gila? Mengajakku ke arena permainan anak-anak? Ya Tuhan, ia bermain bersama dengan Clark, seorang anak kecil yang berumur 4 tahun memiliki rambut berwarna cokelat yang sama seperti milik Darren, namun ia memiliki warna mata yang sama denganku. Well, Darren memang menyenangkan. Namun ia menyenangkan bersama dengan anak-anak. Maksudku, ia memiliki jiwa seorang ayah yang baik. Dari tadi ia menawarkan makanan pada Clark, ingin Clark bermain dimana, sehingga kita sekarang berada di arena permainan anak-anak yang konyol. Dan yang lebih konyol adalah Clark dan Darren bermain kereta api kecil yang sebenarnya hanya untuk anak-anak, namun penjaga permainan kereta api ini mengizinkan Darren bermain di dalam sana. Aku tersenyum saat kereta api kecil itu mulai melaju lalu Darren dan Clark duduk bersama-sama. Mereka seperti ayah dan anak. Dan yeah, memang mereka. Bukankah Darren telah mengangkat Clark sebagai anaknya? Aku melambaikan tanganku pada Darren dan Clark saat kereta api itu melewati daerahku. Aku berdiri di pinggir pagar untuk melihat mereka. Clark memang sangat menyenangkan, harus kuakui. Seperti Darren memiliki begitu banyak cerita untuk Clark yang membuatku juga ingin mendengarnya. Aku senang karena Darren dapat masuk ke dalam tubuh Justin. Membuat Justin tidak menjadi orang yang membosankan. Maksudku, bukan Justin yang membosankan, hanya saja tanpa mereka berempat –kau tahu siapa mereka—Justin tidak mungkin memiliki semua ini. Clark. Wanita. Kekayaan. Dan tattoo itu, aku sangat yakin, Arthur yang membuatnya. Karena Arthur yang menanggung siksaan ayah Justin yang kejam itu. Namun melihat Darren yang luar biasa menawan membuat hatiku lega. Setidaknya, diri Justin dapat merasakan bahwa hidup itu indah. Tidak selamanya hidup itu menyakitkan. Hanya saja, kita yang tidak merasakan kebahagiaan itu. Mengapa Darren dapat menjadi orang yang menyenangkan sedangkan Justin tidak bisa menjadi orang yang menyenangkan? Ya, itu karena masa lalu sialannya yang membuatku ingin menampar ayahnya. Ini semua bukan salah Justin. Uh, andai aku dapat bertemu dengan ayah Justin, sudah pasti aku akan menamparnya. Atau bahkan membunuhnya, mungkin? Entahlah. Jelasnya adalah aku membenci ayah Justin.
            Kereta api sudah berhenti. Membuat Darren dan Clark terpaksa turun dari sana. Clark berlari kecil menuju pagar keluar dari arena permainan kereta api itu. Ia adalah anak yang mudah bergaul. Ia tidak menangis saat aku menggendongnya. Justru saat ia bertemu denganku, ia bertanya siapa namaku lalu ia mencium pipiku. Sama seperti Darren saat bertemu denganku, ia langsung memelukku dengan pelukan hangat yang entah mengapa pelukan itu berbeda dengan pelukan Justin. Aku harus tahu lebih lagi tentang Justin. Apa mereka memang berbeda? Maksudku, Max orang yang santai berbicara, Justin adalah orang yang kikuk berbicara, Arthur adalah orang yang kadang berbicara, Kevin adalah anak kecil yang luar biasa cerewet, dan Darren ..ia adalah orang yang ramah saat ia berbicara. Menyenangkan, lebih tepatnya. Darren mengejar Clark dari belakang lalu ia langsung menangkap kedua kaki Clark hingga Clark sekarang berada digendongannya. Uh, lelaki yang cekatan. Aku jadi teringat saat tadi Clark memberikan mainan-mainan terhadap anak panti asuhan. Terlihat sekali Darren sering datang ke sana, tentu saja, dan benar-benar friendly. Ia seorang lelaki yang memang peduli terhadap anak-anak.
            “Ah, ya Tuhan. Aku yakin pasti kau sangat menyesal karena tidak ikut menaiki kereta api itu. Kereta apinya melaju sangat cepat, kautahu,”
            Aku tertawa, “Yeah, benar. Aku mengambil keputusan yang salah,” ucapku. “Jadi, apa yang terjadi selanjutnya? Bermain balon air mungkin?” tanyaku menggoda Clark, kucolek dagu Clark hingga Clark memukul tanganku dengan tangannya yang mungil sambil ia tertawa. Clark sungguh menggemaskan. Darren mengerutkan kedua alisnya lalu ia menyunggingkan sebuah senyuman miring padaku. Tidak seperti milik Max.
            “Ah, yeah kau benar, bagaimana jika kita membeli banyak balon, lalu kita pulang, mengisi balon itu dengan air dan kita bermain di dalam taman belakang? Bukankah itu terdengar menyenangkan? Ah, ya, bermain di dalam kolam mungkin menyenangkan? Bagaimana dengan itu, Mr.Little Bieber?” tanya Darren melirik Clark. Clarik yang sedang melamun sambil menggigit dua jari telunjuknya itu mengangguk-anggukan kepalanya tanpa menatap Darren. Lalu Darren menatapku. “Bagaimana denganmu, calon Mrs.Bieber?” tanyanya, menggodaku. Oh? Darren memiliki sisi lelaki penggoda dalam tubuhnya? Bagaimana bisa itu terjadi? Ya Tuhan, aku terkekeh pelan. Ia memainkan kedua alisnya padaku lalu menggigit bibir bawahnya, menggodaku. Ya Tuhan! Ini luar biasa konyol.
            “Kau aneh, Mr.Bieber. Baiklah, ayo kita pulang,” dan yeah, Darren tidak berbohong. Ia pantas dipanggil Darren Bieber karena dia menyenangkan namun ia juga penggoda! Ya ampun, ini sangat lucu!

***

*Author POV*

            Untuk yang pertama kalinya dalam hidup Darren, ia baru dapat merasakan rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia tidak pernah bercinta dengan wanita sebelumnya, tidak sekalipun. Tapi melihat wanita muda yang memiliki rambut cokelat panjang sepunggung dengan mata biru yang sama dengan anak asuhnya yang bernama Clark itu membuatnya bertekuk lutut pada Ave. Wanita yang membuatnya jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Ia luar biasa cantik, baik, menyenangkan. Justin memang pintar membawa wanita –untuk kali ini. Darren berharap Ave akan mencintainya juga. Ah, tapi sial. Ia memiliki tiga saingan yang lain –Kevin tidak terhitung karena ia masih kecil.
            Darren menyuruh Clark untuk mengisi semua balon di kamar mandinya. Ia sedang berada di dalam kamarnya bersama dengan Ave yang tampaknya sedang mencari-cari pakaian Justin di dalam lemari dengan hanya memakai celana dalam dan bra tanpa malu-malu. Apa wanita ini sedang menggoda Darren? Jika itu benar, ia memang berhasil melakukannya. Godaan terbesar dalam hidup Darren sekarang adalah Ave. Wanita yang lembut saat berbicara, namun sering menggumamkan kata kotor. Tapi tidak apa-apa. Justru itu membuat Ave tampak seksi. Ya Tuhan apa yang terjadi dengan Darren? Sejak kapan Darren dapat jatuh cinta pada seorang wanita? Meski ia bukan seorang gay, tapi ia hanya menyukai anak kecil –namun ia bukan pedofil. Hanya saja, sekarang Darren dapat merasakan sesuatu yang keras di bawah sini. Darren tidak tahu bagaimana caranya tidur dengan seorang wanita, namun Darren pasti akan mengikuti naluri dalam tubuhnya. Hanya Arthur yang telah mencicipi tubuh Ave. Darren rasanya juga ingin mencicipinya, tapi tidak. Darren tidak akan merasakan tubuh Ave sebelum Ave mengizinkannya.
            “K-kau boleh memakai baju putih tipisku,” ujar Darren, menyarankan. Sontak Ave yang sedang mencari pakaian itu langsung membalikkan tubuhnya dengan salah satu alis yang terangkat.
            “Mengapa aku harus memakai pakaian yang tipis?” Ave mendecak pinggang, menggoda Darren. Demi apa pun yang ada di dunia ini! Dada Ave menggantung begitu indah, kulitnya seputih susu, dan benar-benar menggoda. Sialan! Darren terdiam sejenak. Mengagumi betapa indahnya hawa yang ada di hadapannya, menggodanya, mendecak pinggangnya yang ramping, rambutnya yang panjang membuat Darren ingin mengelusnya dengan lembut. Ya ampun, Darren menelan ludahnya.
            “Aku hanya menyarankan saja, tidak memaksa. Ayo, cepatlah. Kau tentu tidak ingin dilihat oleh Clark bukan? Mungkin ia telah mengikat begitu banyak balon sekarang,”
            Ave menyipitkan matanya. “Benarkah? Anak berumur 4 tahun dapat mengikat balon sendiri? Itu sungguh keren,” ucap Ave meraba-raba pakaian di belakang tubuhnya lalu dengan asal ia mengambilnya. Dan yeah, ia mendapatkan pakaian yang tipis. Sama seperti pakaian yang Darren pakai sekarang. Ave tidak perlu memakai celana bukan? Mereka akan berenang siang ini. Jadi tidak apa-apa jika ia hanya memakai celana dalam. Lagi pula, baju yang dipakai Ave akan kebesaran di tubuhnya. Darren berdiri dari tempat tidur dan menganggukan kepalanya, ia ingin pergi ke kamar mandi. Berusaha untuk mengalihkan penglihatan matanya karena ia merasa terintimidasi karena wanita yang hanya memakai bra dan celana dalam itu. Dia sungguh seksi, serius.
            “Yeah,” gumam Darren yang mengintip Clark di mulut pintu kamar mandi. Dan benar saja, Clark pintar mengikat balon-balon berisi air itu. Meski balon-balon air itu tidak terisi begitu banyak air, tapi tetap saja Clark telah membuatnya. Bahkan balon air itu banyak sekali. Clark memang kreatif. Ia menaruh balon-balon air itu ke dalam bath-up padahal Darren tidak menyuruh anak itu untuk menaruh di dalam bath-up. Berarti Darren beruntung telah mendapatkan Clark, si anak yang cerdas.
            “Daddy! Bagaimana kita membawa ini semua?” tanya Clark bangkit dari jongkokkannya saat ia merasa seseorang melihatnya dari belakang. Darren tersenyum kecil lalu ia berjalan menuju tempat tidur kembali tanpa melirik Ave sama sekali karena ia takut terintimidasi lagi. Ia telah menyiapkan satu kantong plastic besar untuk menampung balon-balon yang berisi air itu. Ave menyunggingkan senyum licik pada lelaki yang menyukai anak-anak ini. Ave tahu Darren berusaha menjauhinya karena Darren tahu Darren menginginkan Ave. Lalu Darren berjalan kembal menuju kamar mandi dan masuk ke dalamnya untuk mengumpulkan balon-balon itu. Ya ampun, kaos putih yang Ave pakai sekarang memang benar-benar tipis. Ave mulai berpikir seberapa seksinya Justin jika ia tidur memakai pakaian ini. Atau mungkin bercinta dengan Ave memakai pakaian ini? Uh, itu pasti akan sangat seksi. Namun entah mengapa malam terakhir Ave teringat dengan Arthur. Pikirannya selalu dihantui oleh Arthur. Mengingat Arthur adalah orang yang paling kuat dalam tubuh Justin membuat Ave ingin bertemu dengan Ave kembal lalu menciumi bibir Arthur sebagai tanda terima kasih karena telah melindungi Justin. Ave cepat sekali merubah pikirannya yang awalnya benci terhadap Arthur justru sekarang ia menyukai Arthur karena Arthur bagaikan pahlawan dalam hidup Justin. Andaikan Arthur sama menyenangkannya dengan Ave, sudah pasti ia akan jatuh cinta pada Arthur. Hanya saja Arthur tidak pandai berbicara. Itu membuat Ave cepat bosan. Ave adalah orang yang santai maka ia cocok dengan Darren.
            Beberapa menit kemudian Darren keluar bersama dengan Clark yang dimana baju Clark telah basah karena telah mengisi air ke dalam balon-balon itu. Ave menghampiri Clark hanya dengan kaos yang panjang dan kelonggaran pada tubuhnya, itu tidak membuat celana dalam Ave terlihat. Malah kaos itu membuat Ave tampak seperti memakai daster putih yang tipis. Clark meraih tangan Ave dengan rasa girangnya yang tak kira-kira. Sungguh lucu.
            “Aku telah mengisi semuanya,”
            “Benarkah?” tanya Ave, menggendong Clark. Clark mengangguk, semangat. Mereka mulai berjalan keluar dari kamar lalu menuruni tangga menuju taman belakang yang sungguh luas. Kaki Ave dan Darren telah menginjak rumput china di taman yang sangat luat. Sangat indah. Dan berkelas. Ditemani dengan kolam renang di tengah-tengahnya. Sekali lagi, di tengah-tengahnya. Kolam renang yang sangat besar. Ada dua kolam renang. Mungkin yang satu untuk Clark dan satunya lagi untuk Justin. Yang dangkal dan dalam. Ave menurun Clark ke atas rumput, dengan cepat Clark menarik-tarik kantong plastic yang Darren bawa hingga balon-balon itu akhirnya terjatuh namun tidak pecah. Clark seakan-akan tidak peduli saat balon-balon itu bertebaran dimana-mana. Ia tak sabar untuk melempari ayahnya dan tantenya yang baru itu. Ia mengambil salah satu balon yang bertebaran di atas rumput itu lalu melempari ayahnya hingga ayahnya tertawa terbahak-bahak dan berpura-pura terbatuk-batuk.
            “Ayo daddy! Lempari aku jika kau berani!” teriak Clark berlari-lari sambil ia mengambil balon air yang lain. Kali ini ia mengambil begitu banyak lalu ia melempari Darren, lagi.
            “Ah! Ya ampun! Oke, kau telah melempariku dua kali! Akan kubalas kau tukang pipis!”
            “Tukang pipis? Apa-apaan,” gumam Ave tidak percaya. Namun, Ave tersentak, matanya terpejam saat ia merasakan balon air menyerang tubuhnya ..dan itu dari Clark. “Siapa pun itu akan kubalas!” teriak Ave membuka matanya lalu berusaha mengambil balon yang bertebaran di atas rumput. Saat ia mendapatkan satu balon, ia melempari Clark, namun meleset karena Clark langsung menghindar. Sialan benar anak kecil ini. Jika Clark jatuh, mungkin Ave adalah orang yang pertama kali tertawa. Ave dan sifat kekanak-kanakannya memang harus dimusnahkan. Lalu ia mendapatkan dua serangan dari Darren dan Clark. Apa-apaan? Langsung saja, tidak mau kalah, Ave langsung mengambil begitu banyak balon-balon yang bertebaran itu lalu melemparinya dengan asal ke arah Darren dan Clark yang telah berpencar. Dua lawan satu? Itu tidak adil! Lebih lagi Ave adalah seorang wanita. Tidakkah satu diantara mereka ingin membantu Ave? Sungguh, sial benar kali ini. Rambut Ave telah basah akibat lemparan balon-balon itu. Mereka berlari seperti anak kecil. Sampai saat Ave berada di pinggiran kolam renang, Darren mendorong tubuh Ave hingga Ave masuk ke dalam kolam.
            “Sialan!”
            “Kapan saja kautahu!” ejek Darren mengangkat kedua tangannya, tanda kapan saja Ave boleh mengatakan sialan padanya. Namun Darren terkena balasannya saat Clark dari belakang dengan cepat mendorong kaki Darren hingga Darren ikut masuk ke dalam kolam. Hebatnya adalah ..keheningan terjadi. Kedua tangan Darren menyentuh pundak Ave hingga Ave masuk ke dalam kolam bersamanya, bibir mereka bersentuhan, pemandangan air kolam yang sangat cantik. Ave memejamkan matanya, begitupun Darren. Pendaratan di air yang sangat bagus. Lalu dengan cepat mereka keluar dari dalam kolam bersamaan dengan bibir mereka yang terpisah. Darren menyumpahi dirinya sendiri saat ia mengetahui Ave memakai pakaian yang tipis sehingga tali bra yang Ave pakai terlihat dari luar pakaiannya.
            “Kau sangat seksi,”
            “Aku kekasihmu, dan terima kasih,” gumam Ave, berharap Darren telah mengetahuinya.

***

            Clark baru saja terlelap dalam tidurnya. Justin telah kembali tepat saat Clark terlelap. Ave kelihatna begitu lelah. Setelah ia melewati pagi yang sungguh menyenangkan, Darren dapat membuatnya melupakan masalah sialan itu. Ave bahkan belum mengganti pakaiannya yang masih basah. Ia terduduk di atas tempat tidur Justin sambil mendesah pelan. Sungguh, ia kelelahan. Justin sedang berada di dalam kamar mandi. Ia sedang mengeramasi rambutnya, ia sedang mandi. Ave tidak percaya ia baru saja dicium oleh Darren di dalam kolam renang tadi. Kelakuan Darren tiba-tiba saja berubah. Tiba-tiba ia menjadi lelaki pendiam yang kikuk. Apa yang salah? Mereka adalah pasangan kekasih. Mereka boleh berciuman, tentu saja. Namun kembali lagi Ave mengingat tentang Ian si lelaki berbulu Gorilla sialan itu. Terlintas di kepalanya ia ingin memberikan Arthur pada Ian agar Arthur dapat membunuh Ian. Mengapa Arthur tidak membunuh Ian saja langsung? Apa yang akan Ave katakan pada ayahnya? Ah, sial! Ave belum memberitahu ayahnya bahwa hari ini ia tidak dapat kembali pulang ke rumah.
            Kepala Ave terdongak saat ia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka lalu ia melihat seorang dewa Yunani yang hanya memakai handuk putih melingkar di sekitar pinggangnya. Handuknya yang lain sedang mengeringkan rambutnya. Bagaimana mungkin lelaki ini bisa setampan dan seseksi itu? Pemikiran yang ada di otak Ave tadi hilang seketika. Ia terpaku. Lidahnya kelu. Bibirnya kaku, entah apa yang harus ia katakan. Atau apa yang harus ia lakukan. Bunuh Ave sekarang! Ia berharap Hades dapat membawanya lari pergi ke Underworld agar ia tidak dapat bertemu dengan Justin. Karena Justin memang ahli dalam menarik nafas Ave keluar dari tubuhnya. Ia sesak nafas.
            “Apa? Ada apa?” tanya Justin merasa diperhatikan. Ave hanya tersenyum, lalu ia menggelengkan kepalanya. Justin tentu saja tidak percaya dengan gelengan kepala Ave. Justin ingin merasakan Ave juga. Malam ini Ave harus menjadi miliknya. Sekarang juga. Saat Justin melangkahkan kakinya menuju Ave, kalimat ini yang terus terputar di otaknya: Jangan mendekat! Jangan mendekat! Jangan mendekat. Namun terlambat. Justin telah berada di hadapannya.
            “Apa? Ada apa, tidak apa-apa. Katakan saja padaku,” bisik Justin mengelus pipi Ave hingga perut Ave menegang. Hanya karena sentuhan pada pipi Ave, perut Ave menegang dan menginginkan Justin berada di atas tubuhnya sekarang? Ini gila!
            “Aku tidak tahu,”
            “Bagaimana bisa kau tidak tahu? Tentu saja kau tahu apa yang kau mau sekarang,” bisik Justin mengelus dagu Ave dengan lembut lalu jari telunjuk dan ibu jarinya memegang dagu Ave, mengangkatnya ke atas lalu Justin berhasil membuat mulut Ave terbuka sehingga sekarang lidah Justin mulai melesak masuk ke dalam mulut Ave. Ya ampun, ciuman lidah pertama mereka. Tubuh Ave seperti tersengat listrik. Justin mengisap lidah Ave hingga tubuh Ave bergetar di bawahnya. “Kautahu kau menginginkan aku bukan?”
            “Ya,”
            “Memohonlah padaku sekarang,” bisik Justin mengecup kembali bibir Ave. Namun Ave tidak menjawabnya. “Tidak apa-apa, aku akan melakukannya dengan lembut sayang,” bisik Justin.
            “Aku ingin kau berada dalam tubuhku, Justin,”
            “Maka kau mendapatkannya.”

***

            “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Justin dari belakang tubuh Ave, menarik rambut Ave ke belakang agar leher putih Ave terlihat. Justin bersimpuh di belakang, masih dengan handuk yang melilit di sekitar pinggangnya. Rambut basah Justin menetes-netes di bahu Ave yang sudah telanjang setelah tadi Justin membuka kaos putih Ave yang basah. Hanya dua pakaian dalam yang menutup bagian terlarang Ave. Bibir Justin mulai mengecup leher Ave dengan lembut. Bunyi cepakan dari ciumannya terdengar sangat erotis. Ave mendongakan kepalanya, memberikan akses lebih pada Justin. Seringai Justin mulai terlihat lalu kembali ia mengecup leher Ave dengan lembut. Lalu Justin mengeluarkan lidahnya, menggunakan ujung lidahnya untuk menjilat leher sensitif Ave. Salah satu tangan Ave memegang tangan Justin yang ditempatkan pada bahunya. Ia meremas jemari sambil kedua alisnya saling bertautan. Permainan macam apa ini? Ia tidak pernah dikecup di lehernya. Tidak sekalipun, namun Justin berhasil membuat Ave terpaksa merapat kakinya.
            “Aku memiliki fantasi. Bagaimana jika kita pergi ke kantor untuk melakukan ini? Aku benar-benar ingin melakukannya di sana,” bisik Justin yang membuat Ave tersentak. Apa pemuda ini gila? Apa-apaan? Di tempat kerjanya? Bagaimana dengan Clark? Ave yang baru saja ingin menikmati permainan Justin langsung mengadahkan kepalanya di atas bahu Justin.
            “Bagaimana dengan Clark?”
            “Kita akan cepat pulang,” bisik Justin mengecup-kecup leher Ave, menggodanya. “Kumohon?”
            “Mengapa kau senang sekali mempersulit keadaan?”
            “Kau tidak mau di kantorku? Meja kerjaku akan menjadi tempat bersejarah jika kau ingin bermain denganku di atas sana. Oh, Tuhan. Ya ampun. Kau bergetar di bawahku, kakimu melayang di udara, mejaku akan bergetar lalu tembok ..”
            “Mengapa kau suka sekali menggodaku?”

            “Karena hanya kau yang kugoda, maka kau beruntung,” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar