***
“Mengapa
akhir-akhir ini kau jarang berada di rumah? Elliot selalu mencarimu kautahu,
kemana ponselmu? Ia bilang ia menghubungimu,” ujar ayahku saat aku baru saja
membuka pintu rumah. Kulihat ayahku terduduk di atas sofa ruang tamu bersama
dengan Elliot yang juga berada di sana. Sialan. Mengapa Elliot sekarang
terlihat sangat menyebalkan? Rasanya aku ingin menimpuk Elliot dengan batu.
Kutarik nafasku sambil menutup pintu rumah. Kuangkat kedua bahuku, tidak
peduli. Setelah seharian ini aku mendapatkan waktu yang cukup menyenangkan
dengan Justin, Elliot datang dengan segumpal keberanian untuk mengadu pada
ayahku bahwa aku tidak mengangkat teleponnya. Dia adalah lelaki pengecut yang
pernah kutemui. Mengapa ia harus melibatkan ayahku? Ia sudah berumur 24 tahun
tapi dimana nyalinya? Dan segumpal keberaniannya itu membuatku ingin
melemparnya dari atas air terjun Niagara. Sebenarnya, ada apa dengan Elliot?
Apa dia sadar bahwa aku tidak menyukainya? Maksudku, menyukainya dalam arti
cinta? Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih. Cita-citaku selama
ini bukanlah untuk menjadi seorang kekasih dari lelaki California yang memiliki
rambut pirang. Dan bukan lelaki yang pengecut sepertinya.
“Aku
hanya bersenang-senang di luar sana. Ada apa dengan itu?”
“Tapi
Elliot mengkhawatirkanmu,” ujar ayahku. Kubulatkan mataku.
“Lalu
apa?” kuangkat kedua tanganku, bergaya tak peduli. Dan memang aku tidak peduli.
“Dengar Elliot, sahabatku, aku menghargai dirimu karena selama ini kau selalu
ada untukku. Tapi maaf, aku tidak bisa mencintaimu sayang,” ujarku berjalan
melewati ruang tamu setelah aku menatap Elliot dengan tatapan
k-u-b-u-n-u-h-k-a-u. Ia langsung menundukkan kepalanya, ketakutan. Sudah
kuduga. Mengapa aku harus memusingkan lelaki pengecut seperti Elliot? Ia bahkan
hanya berani berbicara dengan ayahku agar ayahku menegurku karena ia tahu aku
takut pada ayahku. Sebenarnya, aku tidak takut pada ayahku, aku hanya
menghargai ayahku sebagai ayahku. Kau mengerti maksudku bukan? Maksudku, tidak
sopan jika aku membantah ucapan ayahku.
“Ave!
Ada apa denganmu?” tanya ayahku, kali ini suara lebih besar. Bukan berteriak.
“Aku
hanya tidak ingin diganggui oleh Elliot! Aku tidak suka dihubungi olehnya
karena percakapan yang ia buat benar-benar membosankan,” ujarku, emosi. “Aku
minta maaf Elliot, tapi sungguh, aku tidak menyukaimu jika kau terus
menghubungiku! Dan demi Tuhan, aku tidak akan mencintaimu Elliot!” teriakku
berlari dengan cepat melewati anak tangga menuju kamarku. Ini yang selalu
kutakutkan. Elliot pasti akan menyukaiku. Aku tahu dari caranya menatapku tidak
sama seperti ia menatap wanita lain. Ia seperti Justin yang jika berbicara,
mata kami harus terus bertemu. Tapi aku bukan wanita yang berbicara dan menatap
mata orang itu secara langsung. Terlebih lagi jika ia adalah seorang lelaki.
Maksudku, aku langsung merasa gugup. Meski aku tidak menyukai lelaki itu.
Tiba-tiba
aku teringat dengan kejadian kemarin. Ya Tuhan. Kuharap aku tidak dipecat!
***
“Dia
menggodaku ayah!” ujar Ian saat aku baru saja ingin duduk di atas kursi
kerjaku. Ian dan atasannya baru saja muncul saat aku menarik kursiku lalu
melihat Ian yang kepalanya telah diperban dengan hidung yang patah. Hidungnya
patah? Oh, itu sangat lucu. Mr.Wood menatapku dengan tatapan tak percaya lalu
ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tunggu dulu. Mr.Wood dengan ucapan omong kosong
anak sialannya itu? Apa selama ini aku terlihat seperti pelacur di depan
matanya? Apa selama ini aku terlihat selalu menggoda anaknya? Ya Tuhan.
“Kemarin
ia menggodaku ayah! Aku tahu ia telah merencanakan ini. Ia tahu bahwa aku akan
menolaknya sehingga ia menyiapkan seseorang untuk memukulku! Demi apa pun ayah,
aku ingin dia dipecat!” ujar Ian yang membuat seluruh karyawan menatap kami
bertiga. Ya Tuhan. Ini benar-benar memalukan. Apa-apaan yang terjadi dengan
Ian? Aku sudah tahu ini pasti akan terjadi. Ian memutarbalikan fakta! Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku masih mencintai pekerjaanku dan tidak ingin
kehilangan pekerjaan ini. Tapi Ian, demi apa pun aku ingin melemparnya dari
atas gedung ini. Ini bahkan masih pagi namun ia telah merusak suasana hatiku
yang sudah jelek karena ayahku tadi pagi memarahiku dan ditambah lagi dengan
fitnahan anak dari atasanku. Kuhembuskan nafasku, berusaha untuk terlihat stay calm.
“Mr.Wood,
aku tidak sama sekali memiliki niatan untuk menggoda anakmu. Aku ..demi Tuhan,
dia yang menggodaku. Aku mengatakan kejujuran Mr.Wood, ia menciumi leherku lalu
ia mengangkat tubuhku dan menindih tubuhku di atas lantai. Untunglah ada
seseorang yang menolongku kemarin. Intinya, Mr.Wood, aku tidak tertarik dengan
anak Anda,” ujarku menjelaskan. Sekalipun aku dipecat, ada sisi kebaikannya.
Aku tidak akan bertemu dengan Ian. Tidak akan ada lelaki yang memiliki bulu
dada seperti monyet yang akan menggodaku lagi. Mr.Wood menatapku dari balik
kacamatanya, memerhatikanku dengan seksama. Seperti ia menimbang-nimbang siapa
yang benar dan siapa yang salah. Lalu ia menarik nafasnya, menggelengkan
kepalanya.
“Aku
minta maaf, Ms.Harris. Tapi anakku tersakiti karena ulahmu—“
“Apa?
Ya Tuhan, aku tidak menggoda anakmu Mr.Wood yang terhormat! Aku tidak tertarik
dengan lelaki sialan seperti anakmu!”
“Bagaimana
bisa kau membuktikan itu? Entah mengapa kamera
tersembunyi tak berfungsi malam itu, apa kau yang mematikannya? Aku
benar-benar minta maaf, Ms.Harris, tapi kau kupecat,” ujar Mr.Wood tegas. Air
mataku membendung namun aku berusaha tegar. Sialan! Mataku melihat pada Ian
dengan tatapan penuh dengan kebencian. Aku akan membalas dendam! Aku pasti akan
menghancurkan kehidupannya secara perlahan-lahan! Dia telah merusak masa
depanku. Kutarik nafasku dalam-dalam lalu tersenyum manis pada Ian –bahkan Ian
tersenyum puas melihatku! Sialan.
“Tapi
tidak apa-apa, Mr.Wood. Setidaknya aku tidak akan bertemu lagi dengan anak
sialan ini lagi. Terima kasih karena kau telah memberikanku kepercayaan sebagai
asistenmu selama ini,” ucapku, terpaksa. “Dan terima kasih juga padamu Ian. Kau
menyelamatkanku,”
“Ya,
sama-sama,” ujar Ian, terkekeh. Namun dengan cepat aku menendang penis kecil
Ian dengan kencang hingga ia meringis. Mata membulat menatapku tak percaya. “Oh,
ayah!”
“Semoga
penis kecilmu masih dapat berfungsi,” ujarku membalikan tubuhku untuk pergi
dari tempat sialan ini. Aku benar-benar marah. Rasanya aku ingin mencekik
seseorang. Tendanganku tadi kurang untuk melampiaskan kemarahanku sekarang. Aku
tidak pernah difitnah sebelumnya! Dan Ian si berengsek itu telah menjadi orang
pertama yang memfitnah diriku. Karenanya aku kehilangan pekerjaanku. Aku harap
ia mati! Peduli setan jika dosaku akan lebih besar karenanya.
Aku
ingin bertemu Justin. Secepatnya.
***
Dia.
Luar biasa. Tampan. Aku. Ingin. Mati. Bagaimana mungkin Justin bisa terlihat
begitu tampan pagi ini saat aku baru saja masuk ke dalam rumahnya lalu
melihatnya sedang membaca sebuah koran di ruang tamunya. Pakaian yang ia pakai
bahkan bukan seperti yang Justin pakai. Oh ..atau mungkin dia adalah Darren?
Celana berwarna hitam selutut, kaos putih tipis yang dapat memperlihatkan
putingnya yang kecil, dan tattonya yang tertulis Abused itu terlihat. Ia
sungguh tampan. Apa Justin dan kepribadiannya yang lain telah membicarakan
tentang kapan saja mereka keluar? Maksudku, mereka bisa membuat perjanjian
seperti yang Justin katakan padaku. Jam tangan emas terpasang di tangan sebelah
kanannya. Demi Tuhan aku ingin menampar diriku agar aku bisa terbangun dari mimpiku
namun aku tahu ini bukan mimpi atau imajinasiku, dia nyata.
Seakan
ia telah tersadar bahwa ada seorang manusia berdiri di hadapannya. Apa ia tidak
sadar dengan suara pintu yang kubuka? Bahkan Justin hanya memiliki satpam di
depan rumah. Hanya satpam, dapatkah kau percaya dengan itu? Kehidupan yang
benar-benar membosankan. Untuk apa Justin membuat rumah sebesar ini namun ia
tidak memiliki seseorang untuk menemani harinya? Oh, yeah, Clark. Anak kecil
itu. Aku terpaku saat mata Justin menatap padaku lalu ia tersenyum sumringah.
Bukan senyuman Justin dan gerak-geriknya bukan gerak-gerik dari Justin. Dia
Darren. Dapat kupastikan dia adalah Darren. Ia menutup koran yang ia pegang
lalu berdiri.
“Ya
Tuhan, akhirnya aku bisa bertemu denganmu,” ujar ..Darren—kurasa—dengan nada
suara yang berbeda. Oh? Dia terlihat sangat ramah. Kakinya membawa tubuhnya
yang luar biasa seksi itu padaku lalu ia langsung memelukku. “Ah, aku senang
sekali bertemu denganmu, Ave. Aku Darren. Justin selalu menceritakan tentangmu
tiap malam, aku selalu mengganggunya. Ternyata kau luar biasa cantik,” lanjut
Darren. Suaranya sangat halus. Bagaimana mungkin Justin dapat mengatakan bahwa
Darren adalah orang yang sangat menyenangkan? Dia bukan lelaki yang
menyenangkan, namun ia lelaki yang lembut. Ramah. Entahlah, dia seorang lelaki
yang sopan. Tubuh kami terpisah saat Darren menarik tubuhnya dariku. Kemudian
kecanggungan di antara kami benar-benar terasa. Atau mungkin hanya aku yang
merasakannya? Karena Darren hanya memerhatikanku.
“Kau
adalah Ave bukan?” tanya Darren, terkekeh pelan. Aku menganggukan kepalaku
layaknya orang bodoh yang ditanya siapa namanya namun ia hanya mengangguk,
bukan malah menjawabnya. “Kupikir kau akan datang ke sini saat kau makan siang,
Justin memberitahuku. Ada apa kau datang pagi-pagi seperti ini? Duduklah,”
suruh Darren menarik pundakku agar aku duduk bersamanya di atas sofa. Bokongku
berciuman untuk yang pertama kalinya di atas sofa ruang tamu Justin. Darren
ikut duduk bersamaku. Ternyata di setiap kepribadian Justin, mereka memakai
pakaian yang berbeda. Maksudku, yeah, sudah jelas. Kevin bahkan juga memiliki
pakaiannya sendiri. Pakaian kodok mungkin? Maksudku, Kevin sedang memakai
pakaian yang bergambar-gambar di bajunya –aku melihat lemari pakaian Kevin. Kevin
sendiri yang menunjukkannya padaku sendiri. Kevin adalah seorang anak yang suka
sekali pamer.
Aku
memasang wajah murungku. Saat ia melihat ekspresi wajahku seperti itu, kedua
alisnya saling bertautan. “Aku baru saja pecat,” bisikku. Matanya melebar seketika.
“Apa-apaan
itu? Kau ingin aku mengambilkan air putih untukmu? Bagaimana bisa kau dipecat?
Kau bekerja sebagai apa?”
“Aku
seorang asisten di salah satu perusahaan. Anak atasanku memutarbalikkan fakta
tentang aku menggodanya. Padahal kemarin ia berusaha memperkosaku!”
“Sial,
kau ingin kita mengambil Clark sekarang? Ah, aku mempunyai begitu banyak
rencana hari ini. Ingin bergabung denganku?”
“Apa
itu dapat membuatku merasa lebih baik?”
“Oh,
kumohon Ave, jangan panggil aku Darren Bieber jika aku tidak dapat membuatmu
tersenyum!” seru Darren bersemangat. Bagaimana mungkin hanya dengan ucapannya
seperti itu dapat membuat semangatku kembali lagi? Entahlah, ia memiliki efek
yang besar terhadapku.
***
Apa-apaan
yang sedang Darren lakukan? Apa dia gila? Mengajakku ke arena permainan
anak-anak? Ya Tuhan, ia bermain bersama dengan Clark, seorang anak kecil yang
berumur 4 tahun memiliki rambut berwarna cokelat yang sama seperti milik
Darren, namun ia memiliki warna mata yang sama denganku. Well, Darren memang
menyenangkan. Namun ia menyenangkan bersama dengan anak-anak. Maksudku, ia
memiliki jiwa seorang ayah yang baik. Dari tadi ia menawarkan makanan pada
Clark, ingin Clark bermain dimana, sehingga kita sekarang berada di arena
permainan anak-anak yang konyol. Dan yang lebih konyol adalah Clark dan Darren
bermain kereta api kecil yang sebenarnya hanya untuk anak-anak, namun penjaga
permainan kereta api ini mengizinkan Darren bermain di dalam sana. Aku
tersenyum saat kereta api kecil itu mulai melaju lalu Darren dan Clark duduk
bersama-sama. Mereka seperti ayah dan anak. Dan yeah, memang mereka. Bukankah
Darren telah mengangkat Clark sebagai anaknya? Aku melambaikan tanganku pada
Darren dan Clark saat kereta api itu melewati daerahku. Aku berdiri di pinggir
pagar untuk melihat mereka. Clark memang sangat menyenangkan, harus kuakui.
Seperti Darren memiliki begitu banyak cerita untuk Clark yang membuatku juga
ingin mendengarnya. Aku senang karena Darren dapat masuk ke dalam tubuh Justin.
Membuat Justin tidak menjadi orang yang membosankan. Maksudku, bukan Justin
yang membosankan, hanya saja tanpa mereka berempat –kau tahu siapa
mereka—Justin tidak mungkin memiliki semua ini. Clark. Wanita. Kekayaan. Dan
tattoo itu, aku sangat yakin, Arthur yang membuatnya. Karena Arthur yang
menanggung siksaan ayah Justin yang kejam itu. Namun melihat Darren yang luar
biasa menawan membuat hatiku lega. Setidaknya, diri Justin dapat merasakan
bahwa hidup itu indah. Tidak selamanya hidup itu menyakitkan. Hanya saja, kita
yang tidak merasakan kebahagiaan itu. Mengapa Darren dapat menjadi orang yang
menyenangkan sedangkan Justin tidak bisa menjadi orang yang menyenangkan? Ya,
itu karena masa lalu sialannya yang membuatku ingin menampar ayahnya. Ini semua
bukan salah Justin. Uh, andai aku dapat bertemu dengan ayah Justin, sudah pasti
aku akan menamparnya. Atau bahkan membunuhnya, mungkin? Entahlah. Jelasnya
adalah aku membenci ayah Justin.
Kereta
api sudah berhenti. Membuat Darren dan Clark terpaksa turun dari sana. Clark
berlari kecil menuju pagar keluar dari arena permainan kereta api itu. Ia
adalah anak yang mudah bergaul. Ia tidak menangis saat aku menggendongnya.
Justru saat ia bertemu denganku, ia bertanya siapa namaku lalu ia mencium
pipiku. Sama seperti Darren saat bertemu denganku, ia langsung memelukku dengan
pelukan hangat yang entah mengapa pelukan itu berbeda dengan pelukan Justin.
Aku harus tahu lebih lagi tentang Justin. Apa mereka memang berbeda? Maksudku,
Max orang yang santai berbicara, Justin adalah orang yang kikuk berbicara,
Arthur adalah orang yang kadang berbicara, Kevin adalah anak kecil yang luar
biasa cerewet, dan Darren ..ia adalah orang yang ramah saat ia berbicara.
Menyenangkan, lebih tepatnya. Darren mengejar Clark dari belakang lalu ia
langsung menangkap kedua kaki Clark hingga Clark sekarang berada
digendongannya. Uh, lelaki yang cekatan. Aku jadi teringat saat tadi Clark
memberikan mainan-mainan terhadap anak panti asuhan. Terlihat sekali Darren sering
datang ke sana, tentu saja, dan benar-benar friendly.
Ia seorang lelaki yang memang peduli terhadap anak-anak.
“Ah,
ya Tuhan. Aku yakin pasti kau sangat menyesal karena tidak ikut menaiki kereta
api itu. Kereta apinya melaju sangat cepat, kautahu,”
Aku
tertawa, “Yeah, benar. Aku mengambil keputusan yang salah,” ucapku. “Jadi, apa
yang terjadi selanjutnya? Bermain balon air mungkin?” tanyaku menggoda Clark,
kucolek dagu Clark hingga Clark memukul tanganku dengan tangannya yang mungil
sambil ia tertawa. Clark sungguh menggemaskan. Darren mengerutkan kedua alisnya
lalu ia menyunggingkan sebuah senyuman miring padaku. Tidak seperti milik Max.
“Ah,
yeah kau benar, bagaimana jika kita membeli banyak balon, lalu kita pulang,
mengisi balon itu dengan air dan kita bermain di dalam taman belakang? Bukankah
itu terdengar menyenangkan? Ah, ya, bermain di dalam kolam mungkin
menyenangkan? Bagaimana dengan itu, Mr.Little Bieber?” tanya Darren melirik
Clark. Clarik yang sedang melamun sambil menggigit dua jari telunjuknya itu
mengangguk-anggukan kepalanya tanpa menatap Darren. Lalu Darren menatapku.
“Bagaimana denganmu, calon Mrs.Bieber?” tanyanya, menggodaku. Oh? Darren
memiliki sisi lelaki penggoda dalam tubuhnya? Bagaimana bisa itu terjadi? Ya
Tuhan, aku terkekeh pelan. Ia memainkan kedua alisnya padaku lalu menggigit
bibir bawahnya, menggodaku. Ya Tuhan! Ini luar biasa konyol.
“Kau
aneh, Mr.Bieber. Baiklah, ayo kita pulang,” dan yeah, Darren tidak berbohong.
Ia pantas dipanggil Darren Bieber karena dia menyenangkan namun ia juga
penggoda! Ya ampun, ini sangat lucu!
***
*Author POV*
Untuk
yang pertama kalinya dalam hidup Darren, ia baru dapat merasakan rasanya jatuh
cinta pada pandangan pertama. Ia tidak pernah bercinta dengan wanita
sebelumnya, tidak sekalipun. Tapi melihat wanita muda yang memiliki rambut
cokelat panjang sepunggung dengan mata biru yang sama dengan anak asuhnya yang
bernama Clark itu membuatnya bertekuk lutut pada Ave. Wanita yang membuatnya
jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Ia luar biasa cantik, baik,
menyenangkan. Justin memang pintar membawa wanita –untuk kali ini. Darren
berharap Ave akan mencintainya juga. Ah, tapi sial. Ia memiliki tiga saingan
yang lain –Kevin tidak terhitung karena ia masih kecil.
Darren
menyuruh Clark untuk mengisi semua balon di kamar mandinya. Ia sedang berada di
dalam kamarnya bersama dengan Ave yang tampaknya sedang mencari-cari pakaian
Justin di dalam lemari dengan hanya memakai celana dalam dan bra tanpa
malu-malu. Apa wanita ini sedang menggoda Darren? Jika itu benar, ia memang
berhasil melakukannya. Godaan terbesar dalam hidup Darren sekarang adalah Ave.
Wanita yang lembut saat berbicara, namun sering menggumamkan kata kotor. Tapi
tidak apa-apa. Justru itu membuat Ave tampak seksi. Ya Tuhan apa yang terjadi
dengan Darren? Sejak kapan Darren dapat jatuh cinta pada seorang wanita? Meski
ia bukan seorang gay, tapi ia hanya menyukai anak kecil –namun ia bukan
pedofil. Hanya saja, sekarang Darren dapat merasakan sesuatu yang keras di
bawah sini. Darren tidak tahu bagaimana caranya tidur dengan seorang wanita,
namun Darren pasti akan mengikuti naluri dalam tubuhnya. Hanya Arthur yang
telah mencicipi tubuh Ave. Darren rasanya juga ingin mencicipinya, tapi tidak.
Darren tidak akan merasakan tubuh Ave sebelum Ave mengizinkannya.
“K-kau
boleh memakai baju putih tipisku,” ujar Darren, menyarankan. Sontak Ave yang
sedang mencari pakaian itu langsung membalikkan tubuhnya dengan salah satu alis
yang terangkat.
“Mengapa
aku harus memakai pakaian yang tipis?” Ave mendecak pinggang, menggoda Darren.
Demi apa pun yang ada di dunia ini! Dada Ave menggantung begitu indah, kulitnya
seputih susu, dan benar-benar menggoda. Sialan! Darren terdiam sejenak.
Mengagumi betapa indahnya hawa yang ada di hadapannya, menggodanya, mendecak
pinggangnya yang ramping, rambutnya yang panjang membuat Darren ingin
mengelusnya dengan lembut. Ya ampun, Darren menelan ludahnya.
“Aku
hanya menyarankan saja, tidak memaksa. Ayo, cepatlah. Kau tentu tidak ingin
dilihat oleh Clark bukan? Mungkin ia telah mengikat begitu banyak balon
sekarang,”
Ave
menyipitkan matanya. “Benarkah? Anak berumur 4 tahun dapat mengikat balon
sendiri? Itu sungguh keren,” ucap Ave meraba-raba pakaian di belakang tubuhnya
lalu dengan asal ia mengambilnya. Dan yeah, ia mendapatkan pakaian yang tipis.
Sama seperti pakaian yang Darren pakai sekarang. Ave tidak perlu memakai celana
bukan? Mereka akan berenang siang ini. Jadi tidak apa-apa jika ia hanya memakai
celana dalam. Lagi pula, baju yang dipakai Ave akan kebesaran di tubuhnya.
Darren berdiri dari tempat tidur dan menganggukan kepalanya, ia ingin pergi ke
kamar mandi. Berusaha untuk mengalihkan penglihatan matanya karena ia merasa
terintimidasi karena wanita yang hanya memakai bra dan celana dalam itu. Dia
sungguh seksi, serius.
“Yeah,”
gumam Darren yang mengintip Clark di mulut pintu kamar mandi. Dan benar saja,
Clark pintar mengikat balon-balon berisi air itu. Meski balon-balon air itu
tidak terisi begitu banyak air, tapi tetap saja Clark telah membuatnya. Bahkan
balon air itu banyak sekali. Clark memang kreatif. Ia menaruh balon-balon air
itu ke dalam bath-up padahal Darren tidak menyuruh anak itu untuk menaruh di
dalam bath-up. Berarti Darren beruntung telah mendapatkan Clark, si anak yang
cerdas.
“Daddy!
Bagaimana kita membawa ini semua?” tanya Clark bangkit dari jongkokkannya saat
ia merasa seseorang melihatnya dari belakang. Darren tersenyum kecil lalu ia
berjalan menuju tempat tidur kembali tanpa melirik Ave sama sekali karena ia
takut terintimidasi lagi. Ia telah menyiapkan satu kantong plastic besar untuk
menampung balon-balon yang berisi air itu. Ave menyunggingkan senyum licik pada
lelaki yang menyukai anak-anak ini. Ave tahu Darren berusaha menjauhinya karena
Darren tahu Darren menginginkan Ave. Lalu Darren berjalan kembal menuju kamar
mandi dan masuk ke dalamnya untuk mengumpulkan balon-balon itu. Ya ampun, kaos
putih yang Ave pakai sekarang memang benar-benar tipis. Ave mulai berpikir
seberapa seksinya Justin jika ia tidur memakai pakaian ini. Atau mungkin
bercinta dengan Ave memakai pakaian ini? Uh, itu pasti akan sangat seksi. Namun
entah mengapa malam terakhir Ave teringat dengan Arthur. Pikirannya selalu
dihantui oleh Arthur. Mengingat Arthur adalah orang yang paling kuat dalam
tubuh Justin membuat Ave ingin bertemu dengan Ave kembal lalu menciumi bibir
Arthur sebagai tanda terima kasih karena telah melindungi Justin. Ave cepat
sekali merubah pikirannya yang awalnya benci terhadap Arthur justru sekarang ia
menyukai Arthur karena Arthur bagaikan pahlawan dalam hidup Justin. Andaikan
Arthur sama menyenangkannya dengan Ave, sudah pasti ia akan jatuh cinta pada
Arthur. Hanya saja Arthur tidak pandai berbicara. Itu membuat Ave cepat bosan.
Ave adalah orang yang santai maka ia cocok dengan Darren.
Beberapa
menit kemudian Darren keluar bersama dengan Clark yang dimana baju Clark telah
basah karena telah mengisi air ke dalam balon-balon itu. Ave menghampiri Clark
hanya dengan kaos yang panjang dan kelonggaran pada tubuhnya, itu tidak membuat
celana dalam Ave terlihat. Malah kaos itu membuat Ave tampak seperti memakai
daster putih yang tipis. Clark meraih tangan Ave dengan rasa girangnya yang tak
kira-kira. Sungguh lucu.
“Aku
telah mengisi semuanya,”
“Benarkah?”
tanya Ave, menggendong Clark. Clark mengangguk, semangat. Mereka mulai berjalan
keluar dari kamar lalu menuruni tangga menuju taman belakang yang sungguh luas.
Kaki Ave dan Darren telah menginjak rumput china di taman yang sangat luat.
Sangat indah. Dan berkelas. Ditemani dengan kolam renang di tengah-tengahnya.
Sekali lagi, di tengah-tengahnya. Kolam renang yang sangat besar. Ada dua kolam
renang. Mungkin yang satu untuk Clark dan satunya lagi untuk Justin. Yang
dangkal dan dalam. Ave menurun Clark ke atas rumput, dengan cepat Clark menarik-tarik
kantong plastic yang Darren bawa hingga balon-balon itu akhirnya terjatuh namun
tidak pecah. Clark seakan-akan tidak peduli saat balon-balon itu bertebaran
dimana-mana. Ia tak sabar untuk melempari ayahnya dan tantenya yang baru itu.
Ia mengambil salah satu balon yang bertebaran di atas rumput itu lalu melempari
ayahnya hingga ayahnya tertawa terbahak-bahak dan berpura-pura terbatuk-batuk.
“Ayo
daddy! Lempari aku jika kau berani!” teriak Clark berlari-lari sambil ia
mengambil balon air yang lain. Kali ini ia mengambil begitu banyak lalu ia
melempari Darren, lagi.
“Ah!
Ya ampun! Oke, kau telah melempariku dua kali! Akan kubalas kau tukang pipis!”
“Tukang
pipis? Apa-apaan,” gumam Ave tidak percaya. Namun, Ave tersentak, matanya
terpejam saat ia merasakan balon air menyerang tubuhnya ..dan itu dari Clark.
“Siapa pun itu akan kubalas!” teriak Ave membuka matanya lalu berusaha
mengambil balon yang bertebaran di atas rumput. Saat ia mendapatkan satu balon,
ia melempari Clark, namun meleset karena Clark langsung menghindar. Sialan
benar anak kecil ini. Jika Clark jatuh, mungkin Ave adalah orang yang pertama
kali tertawa. Ave dan sifat kekanak-kanakannya memang harus dimusnahkan. Lalu
ia mendapatkan dua serangan dari Darren dan Clark. Apa-apaan? Langsung saja,
tidak mau kalah, Ave langsung mengambil begitu banyak balon-balon yang
bertebaran itu lalu melemparinya dengan asal ke arah Darren dan Clark yang
telah berpencar. Dua lawan satu? Itu tidak adil! Lebih lagi Ave adalah seorang
wanita. Tidakkah satu diantara mereka ingin membantu Ave? Sungguh, sial benar
kali ini. Rambut Ave telah basah akibat lemparan balon-balon itu. Mereka
berlari seperti anak kecil. Sampai saat Ave berada di pinggiran kolam renang,
Darren mendorong tubuh Ave hingga Ave masuk ke dalam kolam.
“Sialan!”
“Kapan
saja kautahu!” ejek Darren mengangkat kedua tangannya, tanda kapan saja Ave
boleh mengatakan sialan padanya. Namun Darren terkena balasannya saat Clark
dari belakang dengan cepat mendorong kaki Darren hingga Darren ikut masuk ke
dalam kolam. Hebatnya adalah ..keheningan terjadi. Kedua tangan Darren
menyentuh pundak Ave hingga Ave masuk ke dalam kolam bersamanya, bibir mereka
bersentuhan, pemandangan air kolam yang sangat cantik. Ave memejamkan matanya,
begitupun Darren. Pendaratan di air yang sangat bagus. Lalu dengan cepat mereka
keluar dari dalam kolam bersamaan dengan bibir mereka yang terpisah. Darren
menyumpahi dirinya sendiri saat ia mengetahui Ave memakai pakaian yang tipis
sehingga tali bra yang Ave pakai terlihat dari luar pakaiannya.
“Kau
sangat seksi,”
“Aku
kekasihmu, dan terima kasih,” gumam Ave, berharap Darren telah mengetahuinya.
***
Clark
baru saja terlelap dalam tidurnya. Justin telah kembali tepat saat Clark
terlelap. Ave kelihatna begitu lelah. Setelah ia melewati pagi yang sungguh
menyenangkan, Darren dapat membuatnya melupakan masalah sialan itu. Ave bahkan
belum mengganti pakaiannya yang masih basah. Ia terduduk di atas tempat tidur
Justin sambil mendesah pelan. Sungguh, ia kelelahan. Justin sedang berada di
dalam kamar mandi. Ia sedang mengeramasi rambutnya, ia sedang mandi. Ave tidak
percaya ia baru saja dicium oleh Darren di dalam kolam renang tadi. Kelakuan
Darren tiba-tiba saja berubah. Tiba-tiba ia menjadi lelaki pendiam yang kikuk.
Apa yang salah? Mereka adalah pasangan kekasih. Mereka boleh berciuman, tentu
saja. Namun kembali lagi Ave mengingat tentang Ian si lelaki berbulu Gorilla
sialan itu. Terlintas di kepalanya ia ingin memberikan Arthur pada Ian agar
Arthur dapat membunuh Ian. Mengapa Arthur tidak membunuh Ian saja langsung? Apa
yang akan Ave katakan pada ayahnya? Ah, sial! Ave belum memberitahu ayahnya
bahwa hari ini ia tidak dapat kembali pulang ke rumah.
Kepala
Ave terdongak saat ia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka lalu ia melihat
seorang dewa Yunani yang hanya memakai handuk putih melingkar di sekitar
pinggangnya. Handuknya yang lain sedang mengeringkan rambutnya. Bagaimana
mungkin lelaki ini bisa setampan dan seseksi itu? Pemikiran yang ada di otak
Ave tadi hilang seketika. Ia terpaku. Lidahnya kelu. Bibirnya kaku, entah apa
yang harus ia katakan. Atau apa yang harus ia lakukan. Bunuh Ave sekarang! Ia
berharap Hades dapat membawanya lari pergi ke Underworld agar ia tidak dapat
bertemu dengan Justin. Karena Justin memang ahli dalam menarik nafas Ave keluar
dari tubuhnya. Ia sesak nafas.
“Apa?
Ada apa?” tanya Justin merasa diperhatikan. Ave hanya tersenyum, lalu ia
menggelengkan kepalanya. Justin tentu saja tidak percaya dengan gelengan kepala
Ave. Justin ingin merasakan Ave juga. Malam ini Ave harus menjadi miliknya.
Sekarang juga. Saat Justin melangkahkan kakinya menuju Ave, kalimat ini yang
terus terputar di otaknya: Jangan mendekat! Jangan mendekat! Jangan mendekat.
Namun terlambat. Justin telah berada di hadapannya.
“Apa?
Ada apa, tidak apa-apa. Katakan saja padaku,” bisik Justin mengelus pipi Ave
hingga perut Ave menegang. Hanya karena sentuhan pada pipi Ave, perut Ave
menegang dan menginginkan Justin berada di atas tubuhnya sekarang? Ini gila!
“Aku
tidak tahu,”
“Bagaimana
bisa kau tidak tahu? Tentu saja kau tahu apa yang kau mau sekarang,” bisik
Justin mengelus dagu Ave dengan lembut lalu jari telunjuk dan ibu jarinya
memegang dagu Ave, mengangkatnya ke atas lalu Justin berhasil membuat mulut Ave
terbuka sehingga sekarang lidah Justin mulai melesak masuk ke dalam mulut Ave.
Ya ampun, ciuman lidah pertama mereka. Tubuh Ave seperti tersengat listrik.
Justin mengisap lidah Ave hingga tubuh Ave bergetar di bawahnya. “Kautahu kau
menginginkan aku bukan?”
“Ya,”
“Memohonlah
padaku sekarang,” bisik Justin mengecup kembali bibir Ave. Namun Ave tidak
menjawabnya. “Tidak apa-apa, aku akan melakukannya dengan lembut sayang,” bisik
Justin.
“Aku
ingin kau berada dalam tubuhku, Justin,”
“Maka
kau mendapatkannya.”
***
“Bagaimana
perasaanmu sekarang?” tanya Justin dari belakang tubuh Ave, menarik rambut Ave
ke belakang agar leher putih Ave terlihat. Justin bersimpuh di belakang, masih
dengan handuk yang melilit di sekitar pinggangnya. Rambut basah Justin
menetes-netes di bahu Ave yang sudah telanjang setelah tadi Justin membuka kaos
putih Ave yang basah. Hanya dua pakaian dalam yang menutup bagian terlarang
Ave. Bibir Justin mulai mengecup leher Ave dengan lembut. Bunyi cepakan dari
ciumannya terdengar sangat erotis. Ave mendongakan kepalanya, memberikan akses
lebih pada Justin. Seringai Justin mulai terlihat lalu kembali ia mengecup
leher Ave dengan lembut. Lalu Justin mengeluarkan lidahnya, menggunakan ujung
lidahnya untuk menjilat leher sensitif Ave. Salah satu tangan Ave memegang tangan
Justin yang ditempatkan pada bahunya. Ia meremas jemari sambil kedua alisnya
saling bertautan. Permainan macam apa ini? Ia tidak pernah dikecup di lehernya.
Tidak sekalipun, namun Justin berhasil membuat Ave terpaksa merapat kakinya.
“Aku
memiliki fantasi. Bagaimana jika kita pergi ke kantor untuk melakukan ini? Aku
benar-benar ingin melakukannya di sana,” bisik Justin yang membuat Ave
tersentak. Apa pemuda ini gila? Apa-apaan? Di tempat kerjanya? Bagaimana dengan
Clark? Ave yang baru saja ingin menikmati permainan Justin langsung mengadahkan
kepalanya di atas bahu Justin.
“Bagaimana
dengan Clark?”
“Kita
akan cepat pulang,” bisik Justin mengecup-kecup leher Ave, menggodanya.
“Kumohon?”
“Mengapa
kau senang sekali mempersulit keadaan?”
“Kau
tidak mau di kantorku? Meja kerjaku akan menjadi tempat bersejarah jika kau
ingin bermain denganku di atas sana. Oh, Tuhan. Ya ampun. Kau bergetar di
bawahku, kakimu melayang di udara, mejaku akan bergetar lalu tembok ..”
“Mengapa
kau suka sekali menggodaku?”
“Karena
hanya kau yang kugoda, maka kau beruntung,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar