*Ave Harris POV*
Aku
tidak pernah merasa begitu bergairah saat Justin menyuruhku untuk hanya memakai
sepatu tinggi yang kupakai tadi pagi bersama dengan jaket musim dingin. Hanya
jaket musim dingin! Lalu dibalik jaket musim dingin, aku hanya memakai bra dan
celana dalam. Mobil Justin telah berhenti di depan kantor, melewati pos penjaga
malam kantornya yang memiliki lantai begitu banyak. Harus kuakui, ini adalah
perusahaan yang sangat besar. Lebih besar dibanding milik Mr.Wood dan anak
bajingannya. Dari tadi tangan Justin mengelus pahaku yang terekspos untuknya.
Bagaimana mungkin hanya dengan sentuhan itu, aku bergetar di bawah jamahannya?
Ini luar biasa gila! Dan aku menginginkannya. Aku membuka pintu mobil dengan
cepat. Angin malam mulai menerpa tubuhku. Saat aku ingin memanggil Justin,
tiba-tiba saja Justin menarik tanganku. Kami berjalan melewati beberapa anak
tangga untuk menuju pintu kedatangan kantornya. Ternyata tidak dikunci. Tunggu
dulu. Apa masih ada karyawan Justin berada di dalam sini? Jika ya, aku adalah
badut telanjang yang ditutupi pakaian musim dingin. Tapi di lantai pertama
tidak ada siapa-siapa. Lampu masih menyala. Lobi pertama sungguh menakjubkan.
Bersih. Besar. Dan terlihat sangat praktis. Maksudku, sederhana tapi elegan.
Itu mungkin dikarenakan lukisan besar yang tergantung di belakang salah satu
sofa hitam di sebelah kiri. Tapi sepertinya Justin tidak ingin memanjakan
mataku dengan furniture yang ia miliki. Kami langsung berjalan menuju lift,
menunggu pintu lift terbuka. Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka.
Apa-apaan yang Justin lakukan? Ia langsung menarik tanganku dengan cepat untuk
masu ke dalam. Ia menekan tombol untuk menutup pintu lift agar lebih cepat lalu
kami pergi ke lantai ..10? Oke, baiklah. Lantai 10. Kembali Justin tidak
memberikanku waktu untuk menarik nafas. Ia langsung mendorong tubuhku ke
belakang sehingga aku langsung memegang pada pegangan lift. Kedua tangannya
memegang kepalaku, mulutnya bertemu dengan mulutku lagi.
“Aku
gila saat aku tahu kau hanya memakai bra dan celana dalam dibalik jaket sialan
ini,” bisik Justin dengan suara seksinya. Aku tak sempat menjawab karena
bibirnya kembali memagut bibirku. Kali ini ia mengisapnya lebih lagi.
“Dan
sepatu itu membuatmu lebih seksi,”
“Y-yeah,”
bisikku tak tahu menjawab, mataku menatap matanya yang menatapku penuh dengan kenafsuan.
Justin tersenyum kecil padaku sambil tangannya mulai menarik salah satu kakiku
yang ia tempatkan pada pinggangnya. Tangannya yang satu lagi menarik leherku
agar bibirnya menyentuh bibirku kembali. Kali ini aku meresponnya dengan
tarikan dari tanganku pada lehernya agar mulut kami saling menggali. Lidahku
kukaitkan dengan lidahnya, begitu lembut, harum, tak dapat kujabarkan dengan kata-kata.
Pintu lift terbuka, tapi itu seperti bukan masalah bagi Justin. Justru Justin
mengangkat kakiku yang masih menginjak lantai sehingga sekarang aku
digendongnya. Mulut kami masih tetap bersatu tanpa ada halangan. Mengetahui
Justin berjalan ke belakang membuatku ingin menarik kepalaku darinya agar aku
dapat melihat ke sekeliling. Bunyi cepakan dari ciuman kami membuat Justin
menghentikan langkahannya.
“Kau
ingin melihat-lihat? Tidak ada karyawan di sini. Lantai 10 adalah kantorku,
hanya aku dan satu asistenku. Tapi ia sudah pulang. Jadi apa yang kautakutkan?”
tanya Justin sambil ia menggodaku dengan cara menggigit daguku dengan lembut.
Aku mendesah pelan.
“Kamera
tersembunyi?”
“Aku
tidak memakai kamera tersembunyi di lantai 10. Karena apa yang kulakukan di
sini adalah privasi,” ujar Justin, kali ini ia melangkah kembali menuju ruang
kerjanya, kurasa. Aku memeluk lehernya dari tadi, namun mataku melihat ke
sekeliling lobi lantai 10. Tapi pintu ruang kerja Justin langsung tertutup. Ia
tidak seperti Mr.Wood yang menggunakan kaca sebagai temboknya. Tapi udara di
ruangannya sungguh dingin.
“Privasi?”
aku kembali lagi pada Justin. “Berarti kau pernah berhubungan badan dengan
asistenmu,” ujarku yang membuat mata Justin melebar seketika. Ia tersenyum, seperti
menahan tawa dan memikirkan sesuatu. Tak kusadari Justin telah menempatkanku di
atas meja kerjanya. Dia tidak memiliki komputer? Berarti ia memakai laptop.
Justin berdiri di hadapanku. Wajah kami saling berhadapan. Hening. Dingin. Ia
masih belum menjawab pertanyaanku tadi dan itu membuatku ingin menciumnya. Dia
menggodaku. Untuk yang kesekian kalinya.
“Jika
memang benar aku berhubungan badan dengan asistenku, apa yang akan kaulakukan?”
tanya Justin mulai membuka kancing jaket paling atas tapi matanya masih terpaku
dengan mataku. Sadarlah Ave! Kau kekasihnya! Tentu saja kau akan marah! Tapi
tidak mungkin. Jika memang benar, itu tidak apa-apa. Karena aku bukanlah
kekasihnya saat ia berhubungan badan dengan asistennya. Dua kancing telah
terbuka. Ia menggigit bibirnya lalu mata seksinya yang mematikan itu menatap
padaku. Kembali perutku menegang karenanya. Sungguh, ia adalah lelaki pertama
yang membuatku tidak dapat bernafas hanya karena aku menatap matanya. “Ave,” ia
memaksa.
“Aku
tidak tahu. Aku tidak akan marah,”
Justin
terkekeh. “Entah ini kebetulan atau apa, tapi kau benar. Kau tidak seharusnya
marah padaku karena aku tidak berhubungan badan dengannya. Sekarang, kita
singkirkan ini dan ini,” ujar Justin melempar tempat berkas-berkasnya dari meja
besarnya sehingga sekarang meja terlihat begitu luas. Tapi Justin tidak perlu
melakukan itu. Itu mungkin adalah berkas-berkas yang penting untuk
perusahaannya. “Tapi malam ini, aku akan berhubungan badan dengan asisten
baruku,”
“Uh,
Justin. Aku bukanlah wanita yang ingin diterima kerja jika harus berhubungan
badan,”
“Mengapa?”
tanya Justin yang telah membuka seluruh kancing jaket yang kupakai, lalu ia
menarik ke bawah retsleting sehingga sekarang bra yang kupakai terpampang jelas
di depan matanya. Ia memerhatikan keduanya dengan mata binal. Lidahnya keluar
sedikit, seperti dadaku memanggil lidahnya untuk menjilatinya. Dan yeah, aku
menginginkan lidah itu berada di dadaku. Ia menarik lepas jaket itu untuk lepas
dari tubuhku. Sekarang aku hanya memakai bra dan celana dalam.
“Aku
bukan wanita murahan,” ujarku dingin, menepis tangan Justin saat jarinya mulai
menyentuh bagian tengah dadaku. Lalu Justin tertawa. Tapi aku tidak tertawa.
Aku hanya berakting. Justin mengangkat salah satu alisnya, seperti ia berkata: Kau
menantangku eh? Baiklah, ayo kita bergulat di atas meja sialan ini. Tanpa
aba-aba, Justin memajukan wajahnya untuk menciumku namun aku langsung
menjauhkan kepalaku darinya. Ia tertawa.
“Oh,
kau ingin bermain eh? Masalahnya di sini adalah aku tidak suka sesuatu yang
lama dan bermain-main,” ujar Justin mulai mendorong tubuhku ke belakang. Oke.
Nada suaranya sudah mulai terdengar dingin dan tegas. Aku tidak berani untuk
membantahnya. Lagi pula, aku juga ingin berhubungan badan dengannya secepat
mungkin. Namun saat punggungku akan menyentuh meja, ia menarikku kembali.
“Whoops, aku juga ingin melihat dada indahmu. Tidak adil jika hanya Arthur yang
dapat mencicipinya,” ujarnya membuka kaitan braku. Lalu terpampanglah dadaku
untuknya. Hanya untuknya, kali ini. Tida ada lelaki lain yang boleh melihatnya,
tentu saja. Lalu ia membaringkanku kembali.
“Aku
tidak tahu kalau aku akan bertemu denganmu. Aku tidak mempersiapkan diri. Tapi,
persetan sayang, kau milikku sekarang,” bisik Justin membungkukkan tubuhnya
mengecup bibirku kilat. Kemudian aku melihat sekilas senyumannya yang begitu
misterius. Entahlah, sekarang aku bingung dengan ekspresi wajahnya. Maksudku,
semenit yang lalu ia baru saja mengatakan bahwa aku miliknya, sekarang ia tersenyum
–yang pada awalnya dia tidak tersenyum. Tidak, maksudku bukan karena ia bisa
melakukannya. Hanya saja, senyumannya kali ini menyiratkan sesuatu yang
misterius dan aku tidak tahu apa itu. Aku terkesiap saat jari-jari terampilnya
mulai menyentuh putingku dengan lembut. Senyumannya semakin melebar,
memperlihatkan giginya yang rata itu padaku. Ia adalah lelaki tertampan yang
tidak pernah kutemui. Mungkin hanya dalam imajinasiku, tapi tidak juga. Mataku
terpejam saat tangannya yang lain mulai menyentuh dadaku yang lain.
Menggoyang-goyangkannya terlebih dahulu, membuatku mendengus.
“Kau
ingin bermain? Mari kita bermain,” bisik Justin begitu seksi dan penuh dengan
janji. Kemudian aku merasakan lidahnya mulai bermain pada putingku yang telah
berdiri tegak. Aku merintih, kedua alisku saling bertautan. Kedua tanganku
memegang kepala Justin, merasakan kelembutan rambutnya yang terpotong rapi. Ia
tertawa sejenak saat lidahnya terus berputar-putar di sana.
“Sial!
Justin! Aku menginginkanmu!” jeritku menggeleng-gelengkan kepala, tak sabar.
“Oh
yeah, tentu saja,” bisiknya menjanjikan sesuatu yang pasti terjadi.
***
*Author POV*
Justin
..atau sekarang ia bisa dipanggil dengan Arthur tampak frustrasi! Mengapa Ave
harus datang ke dalam hidup Justin di saat ia ingin membunuh begitu banyak
orang? Ia tidak ingin Ave tahu bahwa dirinya adalah seorang pembunuh.
Sebenarnya, dia bukan seorang pembunuh. Ia hanya membalas dendam kepada
orang-orang yang dulu pernah menyakitinya. Terutama ayahnya yang masih hidup
sama sekarang. Yang memerkosanya. Yang menyiksanya. Ia tidak akan pernah
melupakan kesakitanku. Ia membenci Jeremy Bieber, selamanya. Seperti, tidak
akan ada yang dapat menghentikannya. Sekalipun itu Ave, itu tidak mungkin.
Karena Arthur ragu, Ave akan selalu bersamanya. Mengetahui Justin memiliki 5
kepribadian. Itu pasti akan membuat Ave juga frustrasi. Arthur selalu mengambil
langkah yang cerdik untuk memperkaya dirinya di masa depan nanti. Membuat suatu
perjanjian dengan pengusaha lain yang sebenarnya lebih menguntungkannya. Ia
hanya tinggal membuat pemilik perusahaan itu mati lalu perusahaan itu akan
menjadi miliknya dan itu sungguh mudah untuk dikerjakan. Hanya saja, sudah dua
kali ia gagal membunuh dua pengusaha. Untunglah ia tidak pernah diketahui
karena bukan ialah pelakunya. Hanya anak buahnya. Jika memang itu tidak
berhasil, Arthur harus turun ke atas panggung dan menghibur para penonton yang
tidak sama sekali.
Baru
saja tadi pagi Arthur mengembalikan Ave pulang ke rumahnya. Setelah tingkah
gila Justin di ruang kerjanya, bercinta dengan Ave. Arthur tidak pernah
merasakan rasa ini sebelumnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Baru beberapa
hari ia bertemu dengan Ave, ia tidak tahu perasaan apa yang sedang ia geluti,
namun Ave sepertinya memanggilnya terus menerus. Arthur tidak pernah mencintai
seseorang sebelumnya. Ia lebih banyak membenci dan pendendam. Namun Ave. Jika
saja Arthur tahu ia akan melewati perasaan ini, ia pasti akan mempersiapkannya.
Ia tahu, Ave membencinya sejak ia bersikap kasar pada Ave saat pertama kali Ave
bertemu dengannya. Arthur tentu apa saja yang terjadi dalam tubuh Justin. Apa
yang Justin rasakan, Arthur dapat rasakan juga. Tapi mengetahui Ave berkata
pada Justin bahwa Arthur adalah satu-satunya kepribadian yang tidak disukai
oleh Ave, ia bukan hanya membenci banyak orang. Ia bahkan membenci dirinya
sendiri. Ini perasaan yang ganjal.
Di
tengah-tengah ruang santainya, ia menyalakan televisi. Tidak akan ada sesuatu
yang lebih menarik dari membunuh dan Ave. Hanya mereka berdua yang menarik
perhatian Arthur. Tidak dengan televisi yang diisi oleh orang-orang palsu.
Arthur selalu menyumpahi orang-orang yang ada di dalam televisi itu, yang
selalu melakukan lelucon bodoh yang tak sama sekali lucu, menjadi orang yang
benar-benar bodoh. Arthur tidak suka sesuatu palsu. Tidak ada drama. Arthur
lebih memilih diam. Karena diam akan menunjukkan kepribadiannya yang
sebenarnya. Ave tentu harus berusaha keras agar Arthur dapat berbicara, namun
Ave tahu, kemampuannya yang hanya dapat berjalan dan bernafas itu membuatnya
kecil hati. Tadi pagi Ave ingin mencium bibir Arthur sebagai tanda sayang dan
terima kasih telah melindungi Justin. Namun ia tidak melakukannya. Rasanya
begitu aneh, mengingat apa yang terjadi antara dirinya dengan Arthur. Canggung.
Seolah-olah ada tembok yang membatasi mereka. Dan earphone yang menutupi telinga mereka sehingga mereka tidak akan
berbicara karena mereka tahu, tidak ada satupun di antara mereka yang berbicara
akan didengar.
Ayah
Ave marah besar. Mengetahui anak tunggal kandungnya yang dipecat semena-mena
oleh pengecut sialan anak dari atasan Ave. Bagaimana mungkin Mr.Wood dengan
mudahnya percaya dengan si bulu lebat sialan itu? Tentu saja Ave tidak akan
menggoda Ian. Malah ayah Ave awalnya berpikir bahwa Ave adalah penyuka sesama
jenis. Tapi ternyata tidak. Anaknya masih normal, untunglah. Nafas ayah Ave tak
beraturan. Sarapan paginya tiba-tiba saja rusak hanya karena berita ini. Tapi
mau diapa? Anaknya sudah dipecat, terpaksa Ave harus mencari pekerjaan baru.
Secepatnya.
“Jadi,
selama ini kau mana saja sampai tak bisa pulang ke rumah? Adik-adikmu selalu
mencarimu, ada apa dengan Justin Bieber? Kau mencarinya? Kau menyukainya? Sejak
kedatangannya, kau tidak pernah pulang ke rumah untuk bermalam. Ada apa? Apa
kau selama ini berbohong padaku? Jawab semua pertanyaanku, aku tidak akan
mengulangnya,” tanya ayahnya, menuntut, tegas, dan keras pada Ave saat Ave baru
saja terduduk di atas kursi ruang makannya. Ia padahal ingin mengambil makanan
yang dibuat ibunya, namun ayahnya yang cerewet itu memberikan pertanyaan
runtutan yang membuatnya terintimidasi. Ave menarik nafasnya.
“Aku
pergi keluar. Aku tidak peduli dengan adik-adikku. Itu urusanku. Aku tidak
mencarinya. Aku, ya, aku menyukainya. Tidak ada apa-apa. Aku tidak berbohong. Apa
itu semua telah menjawab semua pertanyaanmu, ayahku yang kucintai?” tanya Ave
tersenyum kecut pada ayahnya. Ayahnya terdiam. Mr.Harris hanya tidak ingin anak
tunggalnya jatuh ditangan seorang lelaki yang salah. Berita yang Mr.Harris
dapat dari beberapa perusahaan lain adalah Justin Bieber adalah seorang lelaki
yang berbahaya. Awalnya, Mr.Harris berpikir Justin Bieber adalah pemuda yang
baik, tapi ternyata tidak. Kabarnya ia sering membunuh orang, meski belum ada
bukti yang kuat selain kamera tersembunyi di perusahaan itu. Tapi tidak sering.
Itu masih rumor. Tapi, sebagai ayah yang baik, ia harus berjaga-jaga agar
anaknya berjaga jarak dengan Justin Bieber. Ia tidak akan pernah setuju jika
Justin Bieber yang sudah berumur 30 tahun itu mendekati anaknya yang baru lulus
kuliah dan baru saja dipecat dari kantornya. Ayah Ave hanya menarik nafas,
menatap dan memerhatikan anak tunggal kandungnya yang melahap makanannya
layaknya orang normal. Tidak pernah seumur hidupnya ia melihat Ave begitu
normal seperti ini. Selagi ia dapat melihat puteri kandungnya yang luar biasa
cantik, ia akan bersyukur pada Tuhan. Meski akhir-akhir ini Ave selalu
memberontak padanya. Tidak ingin menikah. Tidak ingin menjalin hubungan dengan
siapa pun. Ave hanya ingin karirnya yang cemerlang. Tapi tidak apa-apa. Ia
hanya seorang ayah yang ingin melihat anaknya bahagia, yang ingin memberikan
kebebasan pada anaknya meski ia memberi batasan pada Ave yang seharusnya
sekarang tidak tinggal bersamanya. Hanya saja, selagi Ave belum menikah, ia akan
menghabiskan waktunya bersama puterinya.
Mengingat
masa-masa kelahiran Ave ke dunia, membuatnya terharu. Saat bayi pertamanya
menangis begitu kencang. Mata birunya sungguh sempurna. Bagaimana berlian biru
murni yang tak ternilai harganya. Mulai dari sana, Mr.Harris berpikir waktunya
tidak banyak. 20 tahun bukanlah waktu yang banyak, itu adalah waktu yang
singkat. Ia harus dan bisa membahagiakan Ave. Ia tidak ingin Ave kehilangan
figur seorang ayah. Ia mencintai Ave, sangat. Sampai-sampai, lelaki siapa pun
yang mendekati Ave harus ia interogasi terlebih dahulu agar Ave tidak masuk ke
dalam lubang yang salah. Ia tidak ingin anaknya menangis hanya karena cinta.
Bersyukur karena Ave belum pernah jatuh cinta siapa pun, namun membuatnya
was-was. Ia takut Ave penyuka sesama jenis, untunglah, Ave bukan penyuka sesama
jenis.
“Jangan
pernah sekali-kali kau mendekati Justin Bieber itu,”
Ave
berusaha untuk tidak terkejut dengan ucapan ayahnya yang sebenarnya, ia bisa
menyemburkan makanan yang ia lahap pada wajah ayahnya. “Mengapa?”
“Dia
seorang pembunuh,” gumam ayahnya, “Aku tidak ingin kau menjadi salah satu
diantara mereka yang telah mati di tangan lelaki itu. Ayah tidak habis pikir
mengapa lelaki menarik sepertinya adalah seorang pembunuh. Lebih lagi, ia
membunuh orang-orang yang menjadi rekan kerjanya. Kau ingin ayahmu mati di
tangannya?”
“Mengapa
ayah berbicara seperti itu? Ayah tahu dari mana?” tanya Ave, tidak percaya.
Hanya saja memang Ave tidak akan percaya dengan kabar seperti itu! Yang ia tahu
hanyalah Arthur sering memukul orang, tapi membunuh? Ave meragukannya. Tidak
mungkin Arthur membunuh orang. Jika Arthur membunuh seseorang, berarti Justin
juga adalah pelakunya. Tapi tentu saja, Justin tidak akan bisa masuk ke dalam
penjara. Karena pelakunya bukan Justin, namun alter egonya yang lain. Itu akan
menjadi renungan untuk Ave. Ayahnya sangat bisa membuat nafsu makannya hilang.
“Aku
tidak percaya. Dia adalah orang yang baik ayah,” gumam Ave mendorong piringnya
ke depan, menjauhkannya. Sekarang makanan itu terlihat seperti cacing-cacing
yang menggeliat. Ave bergidik membayangkannya, sungguh bodoh.
“Intinya
Ave, aku tidak ingin bekerjasama dengannya lagi. Aku akan membaca ulang surat
perjanjian dengannya lalu membatalkan kontrak kerja kami. Mengetahui ia adalah
seorang pembunuh membuatku was-was. Bagaimana jika aku yang ia bunuh? Kau ingin
kehilangan ayahmu satu-satunya?” tanya ayah Ave yang membuat jantung Ave
berhenti berdetak untuk beberapa saat. Bagaimana mungkin ayahnya berkata
seperti itu? Ungkapan itu membuat Ave muak. Tentu saja Ave tidak ingin
kehilangan ayahnya. Ancaman macam apa itu? Sekarang Ave menatap ayahnya seperti
ayahnya adalah seekor keledai. Ucapan bodoh itu sangat berhasil membuat kerutan
di kening Ave.
“Aku
tidak percaya kau berharap seperti itu. Itu bodoh. Aku tidak mungkin ingin kau
meninggal. Berhentilah mengatakan ia seorang pembunuh. Tidak ada bukti kuat.
Aku butuh bukti. Lagi pula, mengapa ayah berpikir aku dekat dengannya?”
Ayah
Ave mengangkat kedua bahunya. “Aku tidak tahu. Aku merasa kau memang dekat
dengannya. Sebenarnya, apa yang kauperbuat selama beberapa terakhir ini? Dan
aku masih penasaran siapa yang menyelamatkanmu dari perkosaan Ian sialan itu,”
Dengusan
Ave terdengar. Ia menjatuhkan kepalanya ke atas meja makan hingga piring-piring
di atasnya terlonjak untuk sesaat. “Aku tidak ingin membicarakan si penis kecil
itu ayah. Oh ya Tuhan, aku tidak suka percakapan ini. Justin bukanlah pembunuh.
Aku menyukainya kautahu, ayah! Ini adalah sebuah perkembangan yang pesat! Aku menyukainya,
aku menginginkannya, seharusnya kau senang karena anakmu ini adalah gadis yang
normal!” seru Ave bangkit dari kursinya dan membentangkan tangannya, seperti
bangga dengan ucapannya. Ayahnya terkejut dengan ungkapan anaknya. Ia
mendongak, namun nafasnya seperti tercekat untuk beberapa saat. Ave
menginginkan Justin Bieber? Tidak, tidak, tidak! Ini sungguh salah. Ave tidak
boleh menjalin hubungan dengan si pembunuh.
Mr.Harris
bangkit, ia menarik nafasnya berusaha untuk tidak marah pada anak tunggal kandungnya.
“Ave Harris, ini adalah yang terakhir, sayang. Ayah tidak ingin kau mendekati
Justin Bieber. Dia berbahaya. Dia pembunuh. Kau ..tidak seharusnya
menyukainya—“
“Bagaimana
mungkin kau yang menentukan siapa kekasihku?”
“Karena
aku lebih mengetahui dirimu dibanding dirimu sendiri! Kau gadis ceroboh! Aku
tidak ingin kau mati sia-sia hanya karena kau mencintai orang yang salah. Tidak
ada Justin Bieber dalam kehidupanmu. Titik. Pembahasan ini selesai. Aku harus
pergi bekerja.” Ujar Mr.Harris bangkit dari kursinya. Ave menatap ayahnya yang
pergi dari hadapannya tanpa meliriknya sedikitpun. Apa? Apa yang baru saja Ave
dengar? Tidak ada Justin Bieber dalam kehidupannya? Ia yang menjalani
kehidupannya! Ini adalah hidupnya, ia tidak ingin ..ah ya Tuhan! Ia sekarang
merasa benci dengan ayahnya sendiri. Ia menarik nafasnya, menghitung sampai
sepuluh untuk tidak terpancing emosinya. Lalu ia bernafas. Mungkin ia harus
bertemu dengan Justin dan membicarakan apa yang ayahnya telah katakan. Dan jika
itu benar, tentu Ave tidak akan hanya tinggal diam.
***
“Ya
Tuhan,” desah Ave menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk mencerna
ucapan Arthur yang konyol. Apa? Arthur membunuh rekan kerjanya agar ia
mendapatkan perusahaan itu tanpa harus membelinya? Jadi ia akan mendapatkannya
secara cuma-cuma jika pemilik perusahaan itu meninggal? Bagaimana mungkin
Arthur melakukan itu? Mengapa? Tapi, Arthur mengatakan bahwa ia melakukannya
pada orang-orang tertentu. Sasaran selanjutnya adalah Mr.Wood. Lelaki yang
telah menyakiti Ave. Atau lebih tepatnya, Mr.Wood dan anaknya, Ian. Arthur
hanya membunuh orang-orang atau rekan kerjanya yang memiliki niat licik
terhadapnya. Arthur tidak ingin ambil pusing untuk mencari cara bagaimana
mengambil perusahaan orang lain, ia hanya butuh sebuah pistol dan pisau.
Semuanya akan selesai. Tapi Arthur berjanji tidak akan membunuh orangtua Ave,
tentu saja. Ave mendongakan kepalanya.
“Aku
..aku takut padamu Arthur, demi Tuhan. Aku tidak percaya kau memang sepenuhnya
pembunuh,” gumam Ave putus asa. Clark sedang bermain di dalam kamarnya bersama
dengan penjaga bayi yang lain. Arthur frustrasi! Ave telah mengetahuinya. Baru
saja ia memikirkan tentang Ave, sekarang Ave berada di hadapannya. Berdiri di
hadapannya, berjalan mondar-mandir karena tak percaya dengan ucapan Arthur.
Arthur menjelaskan hanya sedikit namun terkaan-terkaan dari Ave sangat benar.
Ave sangat pintar. Arthur yang terduduk di sisi tempat tidur sekarang merasa
sepenuhnya membenci dirinya sendiri. Ya ampun, Arthur rasa ia telah gila! Apa
yang telah Ave lakukan padanya? Ia bahkan baru bertemu dengan Ave selama
beberapa hari namun Ave berhasil membuatnya tunduk. Atau mungkin keduanya
saling tunduk? Ave tidak tahu seberapa beruntungnya telah mendapatkan hati
Arthur. Karena Ave adalah gadis pertama yang Arthur sukai. Arthur
bertanya-tanya dalam tubuh Justin, apakah ini yang dinamakan cinta? Sebelumnya,
Arthur tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, kecuali Ave.
“Jangan
diam saja Arthur! Kau membunuh mereka hanya karena kau merasa mereka akan
menghancurkan perusahaanmu? Pft! Rata-rata pengusaha melakukan itu, Arthur.
Tapi mereka tidak melakukan pembunuhan. Tidak seperti kau. Ini sungguh
menyeramkan. A-aku tidak tahu ..demi Tuhan, aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan padamu,”
Arthur
menatap Ave, tajam. “Aku hanya ingin kau tidak membenciku, Ave,” gumam Arthur
jelas. Ave yang berjalan mondar-mandir seperti setrika itu berhenti
melangkahkan kakinya. Apa?
“Bisakah
kau mengulangnya lagi untukku, Arthur?”
“Tidak,
aku tidak ingin mengulangnya,” ujar Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya.
Salah! Mengapa Arthur bodoh sekali? Ya Tuhan, untuk yang pertama kalinya,
Arthur merasa ia adalah satu-satunya manusia terbodoh di dunia. Terlalu cepat
kau mengatakannya bodoh! Arthur menyumpahi dirinya sendiri. “Aku hanya ..aku
merasa membunuh adalah keahlianku,” bisik Arthur. Nafas Ave tercekat, untuk
yang kesekian kalinya. Mendengar ucapan Arthur seperti itu membuat Ave
mendapatkan ide cemerlang! Ia mendekati Arthur yang terduduk itu lalu ia mengangkangi
Arthur, ia duduk di pangkuannya. Tangannya melingkar di sekitar leher Arthur
lalu ia menelengkan kepalanya ke salah satu sisi.
“Menurutmu
begitu? Aku tidak ingin jauh dari kau ..Justin, Arthur, Max, Darren, Kevin. Aku
rasa ..aku jatuh cinta padamu Arthur. Kau lelaki pertama yang membuatku jatuh
hati, Arthur. Aku benar-benar mengatakannya dan merasakannya. Ayahku tidak
ingin aku mendekatimu, tapi aku ..ya Tuhan, aku tidak tahu apa yang terjadi
denganku namun aku menginginkanmu Arthur! Justin atau siapa pun kau ..aku
mencintaimu. Ini gila, aku tahu,”
“Jangan,”
bisik Arthur. “Jangan melantur dan bertele-tele. Katakan saja, maka aku
melakukan apa pun yang kau mau, Ave,”
“Aku
mencintaimu, Arthur,” bisik Ave. “Ya Tuhan, ini sangat memalukan!”
Arthur
menarik nafasnya lalu ia memeluk Ave dengan erat. “Kupikir kau membenciku,” ini
adalah ucapan terendah hati milik Arthur. Ia tidak pernah merasa begitu ..lega.
“Aku ..tidak tahu apa yang terjadi denganku ..apa pun yang kaukatakan, Ave, aku
akan melakukannya. Demi kau.”
***
*Ave Harris POV*
Bagi
Arthur, permintaanku tidaklah mudah baginya. Aku tahu. Tapi, aku peduli
dengannya. Aku mencintainya, meski ini adalah perasaan yang aku tak yakin apa
aku harus menyebutkannya adalah perasaan cinta atau bukan. Hanya saja, mungkin
ya. Mungkin memang aku jatuh cinta padanya. Aku meminta Arthur untuk lebih
terbuka padaku. Memintanya untuk tidak begitu keras pada banyak orang. Dia
memintaku untuk tidak membencinya. Mungkin ya, aku memang membencinya pada
awalnya. Tapi tidak sekarang. Setelah aku tahu dia adalah penyelamat dalam
hidup Justin. Maksudku, Arthur yang merasakan kesakitan dalam hidupnya. Aku
pulang dengan keadaan senang. Entah apa yang sedang kurasakan, tapi aku dari
tadi tersenyum layaknya seorang idiot. Untung ayahku belum pulang ke rumah saat
aku kembali ke rumah. Kurasa malam ini ia akan pulang larut malam.
Dua
adik tiriku selalu takut denganku jika aku berada di rumah. Jika aku memberi
mereka keringanan, mereka pasti akan menonton acara televisi kesukaannya.
Karena selama ini, aku adalah Ratu di rumah. Bukan ibuku. Oke, baiklah. Mungkin
ibuku adalah Ratunya dan aku adalah puterinya. Tapi tetap saja, aku memiliki
pangkat lebih tinggi dibanding dua adik sialanku. Tanganku menyentuh gagang
pintu, dan membukanya untuk masuk ke dalam kamar. Tampaknya aku telah
merindukan kasurku. Ini adalah kali pertama aku merindukan kasurku. Setelah
tiga hari berturut-turut aku tidak tidur di atasnya. Setelah mengunci pintu
kamarku, aku merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Menghembuskan nafas
sambil memejamkan mataku. Mengingat wajah Arthur dengan senyuman lega darinya
membuatku ..berbunga-bunga. Kurasakan hatiku membengkak. Ini gila! Aku tidak
pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Saat aku mengecup bibirnya dan ia mengelus
punggungku dengan lembut. Memelukku dengan erat. Ia mempunyai harapan dariku.
Ia menginginkan aku. Begitupun aku. Aku menginginkannya.
Mungkin
kehidupanku adalah reinkarnasi dari Romeo dan Juliet. Ayahku tidak menyetujui
hubunganku dengan Justin. Meski aku belum memberitahu pada ayahku tentang aku
telah berpacaran pada Justin. Tapi yang menjalani kehidupan ini adalah aku.
Ayahku tentu tidak mengetahui diriku lebih dari diriku mengetahui diriku
sendiri. Ayahku tidak tahu tentang Justin. Sedangkan aku tahu. Jadi dapat
kusimpulkan, ayahku sok tahu. Justin memiliki kepribadian ganda dan aku tahu
itu. Ayahku tidak tahu tentang itu. Oh, ya Tuhan. Aku tidak pernah berpikir
seberat ini. Biasanya aku akan pulang kerja ..kerja! Ya ampun, aku baru ingat
tadi Arthur memintaku untuk bekerja di tempatnya. Maksudku, ia menginginkan aku
untuk menjadi asistennya. Dia bilang, jika ia harus berpergian ke suatu tempat,
aku akan ikut. Entahlah, aku tidak tahu. Aku harus meminta izin terlebih dahulu
pada ayahku. Mataku terbuka saat seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Siapa
itu?” tanyaku mengangkat tubuhku setengah sehingga aku bertumpu pada kedua
siku-siku sambil mataku menatap pada pintu kamarku.
“Ini
aku. Elliot. Bukalah,” pintanya ..aku kasihan. Mendengus, aku bangkit dari
tempat tidur. Akhir-akhir ini aku sedang berusaha untuk menjauhinya. Ia bukan
sahabatku lagi setelah ia selalu merengek bagaikan anak kecil pada ayahku agar
aku berbicara padanya. Aku pikir ..dia adalah orang terbodoh yang pernah
kutemui. Bagaimana mungkin ayahku menyukainya? Jika aku adalah ayahku, sudah
pasti aku menendangnya pergi dari rumahku untuk menjauhi puteriku. Ia memang
tampan. Rambutnya pirang, matanya biru, namun ia tampak seperti banci. Kubuka
pintu kamarku untuk mempersilahkannya masuk. Rambut panjangnya acak-acakan saat
aku melihatnya. Aku tentu saja terkejut. Banyak sekali perubahan pada dirinya.
Wajahnya lebih pucat namun ia lebih tinggi, tapi, apa-apaan? Ia masih berada
dalam proses pertumbuhan? Kupikir ..ia lebih tua dariku. Dan tentu saja ia
telah berhenti bertumbuh. Atau aku yang lebih pendek darinya? Sial, aku selalu
melantur. Sifat melanturku ini harus kuhapus dari diriku agar Arthur mungkin
akan merasa lebih nyaman berada di dekatku. Arthur tidak suka orang yang
bertele-tele. Dan aku suka bertele-tele.
“Ya
Tuhan, Ave!” lenguh Elliot langsung memelukku setelah beberapa detik kami
saling menatap tubuh. Dapat kudengar suaranya lega, seperti ada malaikat yang
menarik nafasnya dari tubuhnya lalu mendorongnya kembali agar ia dapat bernafas.
Oh?
“Hai,
Elliot,” aku berusaha untuk lepas dari pelukannya. Ia memegang kedua bahuku
lalu menatap mataku terus menerus. Senyumnya tak hilang. “Ada apa? Maafkan aku
tentang sikapku pada waktu itu padamu,” bisikku, benar-benar minta maaf.
“Tentu
saja. Bolehkah aku masuk?” pintanya. Tentu saja ia boleh masuk. Aku mundur
beberapa langkah agar ia dapat masuk ke dalam kamarku. Ia masuk sambil
tersenyum. Menghirup aroma kamarku yang tak berubah. Namun tak pengap karena
tidak kudiami beberapa hari terakhir. Dan lebih rapi. Lalu ia tertawa saat aku
menutup pintu. Itu memicu kedua alisku yang sekarang bertautan.
“Ada
apa?” aku bertanya, tapi lebih memaksa agar ia menjawabnya. Kubaringkan kembali
tubuhku ke atas tempat tidur dan menatap langit-langit kamar.
“Kemana
kau akhir-akhir ini? Aku selalu mencarimu, kautahu. Dan ponselmu, mengapa aku
tidak dapat menghubungimu?”
Aku
mengangkat kedua bahuku, tak begitu peduli. “Well, aku telah mendapatkan lelaki
yang tepat untukku,” kuharap ini dapat membuatnya berhenti untuk menyukaiku,
aku tidak ingin memberikan harapan lebih padanya! Aku tidak menyukainya dalam
arti cinta.
“Siapa?
Dia adalah lelaki beruntung,” bisik Elliot, terdengar ..sakit hati.
“Mungkin
aku yang beruntung karena telah mendapatkannya, dia Justin Bieber,” bisikku,
tersenyum seperti orang sinting. Apa yang terjadi padaku? Ya ampun, ini adalah
kali pertama aku tersenyum karena aku membicarakan seorang lelaki. Aku tidak
pernah membicarakan seorang lelaki sebelumnya! Aku hanya membicarakan tentang
pekerjaanku, apa yang kulakukan hari ini. Tapi lelaki? Au hanya mengkritik
seorang lelaki, seperti biasa. Aku hanya selalu mendengar keluhan sahabatku
tentang kekasihnya. Tapi tidak pernah membicarakan seorang lelaki yang masuk ke
dalam kehidupanku untuk yang pertama kalinya. Uh, sungguh, ini sangat aneh.
“Jadi
sepertinya, kau telah jatuh cinta?” tanya Elliot, seakan-akan tak percaya.
Sudah seharusnya.
“Mungkin.
Aku tidak tahu,” bisikku, ragu-ragu. “Apakah membicarakan seseorang yang kita
sukai sambil tersenyum seperti orang gila dan merindukannya adalah perasaan
cinta?” kali ini aku melirik pada Elliot. Ia telah terduduk di ujung tempat
tidur di sisi yang lain, memunggungiku.
“Ya,
kau telah jatuh cinta,” bisiknya. Ya ampun, mengapa ia terdengar begitu sakit
hati? Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti hatinya, tapi ini memang
perasaanku terhadap Justin yang tak dapat kutahan. Secerdas apa pun otakku, aku
tidak akan pernah bisa menghentikan perasaan ini. Karena bukan otakku yang
melakukannya, hatiku yang melakukannya padaku. “Kudengar kau telah dipecat,”
akhirnya! Akhirnya ia telah mengubah topik pembicaraan. Aku hanya tidak ingin
membicarakan Justin padanya. Itu membuatku terdengar konyol. Ave Harris
membicarakan seorang lelaki yang ia cintai? Oh, kumohon, ambillah kapak dan
penggal kepalaku! Tapi itu memang yang terjadi sekarang. Tapi bayang-bayang
ayahku mengetahui tentang ini membuatku ragu aku akan mendapatkan Justin.
Ayahku tidak menginginkan aku berada dekat dengan Justin. Lebih lagi, berhubungan
dengan Justin. Apa aku harus mengatakan secepatnya pada ayahku? Aku tidak tahu.
Aku akan membicarakannya nanti ..dengan Justin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar