Sabtu, 03 Agustus 2013

Criminal Crime Bab 6




***

*Ave Harris POV*

            Aku tidak pernah merasa begitu bergairah saat Justin menyuruhku untuk hanya memakai sepatu tinggi yang kupakai tadi pagi bersama dengan jaket musim dingin. Hanya jaket musim dingin! Lalu dibalik jaket musim dingin, aku hanya memakai bra dan celana dalam. Mobil Justin telah berhenti di depan kantor, melewati pos penjaga malam kantornya yang memiliki lantai begitu banyak. Harus kuakui, ini adalah perusahaan yang sangat besar. Lebih besar dibanding milik Mr.Wood dan anak bajingannya. Dari tadi tangan Justin mengelus pahaku yang terekspos untuknya. Bagaimana mungkin hanya dengan sentuhan itu, aku bergetar di bawah jamahannya? Ini luar biasa gila! Dan aku menginginkannya. Aku membuka pintu mobil dengan cepat. Angin malam mulai menerpa tubuhku. Saat aku ingin memanggil Justin, tiba-tiba saja Justin menarik tanganku. Kami berjalan melewati beberapa anak tangga untuk menuju pintu kedatangan kantornya. Ternyata tidak dikunci. Tunggu dulu. Apa masih ada karyawan Justin berada di dalam sini? Jika ya, aku adalah badut telanjang yang ditutupi pakaian musim dingin. Tapi di lantai pertama tidak ada siapa-siapa. Lampu masih menyala. Lobi pertama sungguh menakjubkan. Bersih. Besar. Dan terlihat sangat praktis. Maksudku, sederhana tapi elegan. Itu mungkin dikarenakan lukisan besar yang tergantung di belakang salah satu sofa hitam di sebelah kiri. Tapi sepertinya Justin tidak ingin memanjakan mataku dengan furniture yang ia miliki. Kami langsung berjalan menuju lift, menunggu pintu lift terbuka. Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka. Apa-apaan yang Justin lakukan? Ia langsung menarik tanganku dengan cepat untuk masu ke dalam. Ia menekan tombol untuk menutup pintu lift agar lebih cepat lalu kami pergi ke lantai ..10? Oke, baiklah. Lantai 10. Kembali Justin tidak memberikanku waktu untuk menarik nafas. Ia langsung mendorong tubuhku ke belakang sehingga aku langsung memegang pada pegangan lift. Kedua tangannya memegang kepalaku, mulutnya bertemu dengan mulutku lagi.
            “Aku gila saat aku tahu kau hanya memakai bra dan celana dalam dibalik jaket sialan ini,” bisik Justin dengan suara seksinya. Aku tak sempat menjawab karena bibirnya kembali memagut bibirku. Kali ini ia mengisapnya lebih lagi.
            “Dan sepatu itu membuatmu lebih seksi,”
            “Y-yeah,” bisikku tak tahu menjawab, mataku menatap matanya yang menatapku penuh dengan kenafsuan. Justin tersenyum kecil padaku sambil tangannya mulai menarik salah satu kakiku yang ia tempatkan pada pinggangnya. Tangannya yang satu lagi menarik leherku agar bibirnya menyentuh bibirku kembali. Kali ini aku meresponnya dengan tarikan dari tanganku pada lehernya agar mulut kami saling menggali. Lidahku kukaitkan dengan lidahnya, begitu lembut, harum, tak dapat kujabarkan dengan kata-kata. Pintu lift terbuka, tapi itu seperti bukan masalah bagi Justin. Justru Justin mengangkat kakiku yang masih menginjak lantai sehingga sekarang aku digendongnya. Mulut kami masih tetap bersatu tanpa ada halangan. Mengetahui Justin berjalan ke belakang membuatku ingin menarik kepalaku darinya agar aku dapat melihat ke sekeliling. Bunyi cepakan dari ciuman kami membuat Justin menghentikan langkahannya.
            “Kau ingin melihat-lihat? Tidak ada karyawan di sini. Lantai 10 adalah kantorku, hanya aku dan satu asistenku. Tapi ia sudah pulang. Jadi apa yang kautakutkan?” tanya Justin sambil ia menggodaku dengan cara menggigit daguku dengan lembut. Aku mendesah pelan.
            “Kamera tersembunyi?”
            “Aku tidak memakai kamera tersembunyi di lantai 10. Karena apa yang kulakukan di sini adalah privasi,” ujar Justin, kali ini ia melangkah kembali menuju ruang kerjanya, kurasa. Aku memeluk lehernya dari tadi, namun mataku melihat ke sekeliling lobi lantai 10. Tapi pintu ruang kerja Justin langsung tertutup. Ia tidak seperti Mr.Wood yang menggunakan kaca sebagai temboknya. Tapi udara di ruangannya sungguh dingin.
            “Privasi?” aku kembali lagi pada Justin. “Berarti kau pernah berhubungan badan dengan asistenmu,” ujarku yang membuat mata Justin melebar seketika. Ia tersenyum, seperti menahan tawa dan memikirkan sesuatu. Tak kusadari Justin telah menempatkanku di atas meja kerjanya. Dia tidak memiliki komputer? Berarti ia memakai laptop. Justin berdiri di hadapanku. Wajah kami saling berhadapan. Hening. Dingin. Ia masih belum menjawab pertanyaanku tadi dan itu membuatku ingin menciumnya. Dia menggodaku. Untuk yang kesekian kalinya.
            “Jika memang benar aku berhubungan badan dengan asistenku, apa yang akan kaulakukan?” tanya Justin mulai membuka kancing jaket paling atas tapi matanya masih terpaku dengan mataku. Sadarlah Ave! Kau kekasihnya! Tentu saja kau akan marah! Tapi tidak mungkin. Jika memang benar, itu tidak apa-apa. Karena aku bukanlah kekasihnya saat ia berhubungan badan dengan asistennya. Dua kancing telah terbuka. Ia menggigit bibirnya lalu mata seksinya yang mematikan itu menatap padaku. Kembali perutku menegang karenanya. Sungguh, ia adalah lelaki pertama yang membuatku tidak dapat bernafas hanya karena aku menatap matanya. “Ave,” ia memaksa.
            “Aku tidak tahu. Aku tidak akan marah,”
            Justin terkekeh. “Entah ini kebetulan atau apa, tapi kau benar. Kau tidak seharusnya marah padaku karena aku tidak berhubungan badan dengannya. Sekarang, kita singkirkan ini dan ini,” ujar Justin melempar tempat berkas-berkasnya dari meja besarnya sehingga sekarang meja terlihat begitu luas. Tapi Justin tidak perlu melakukan itu. Itu mungkin adalah berkas-berkas yang penting untuk perusahaannya. “Tapi malam ini, aku akan berhubungan badan dengan asisten baruku,”
            “Uh, Justin. Aku bukanlah wanita yang ingin diterima kerja jika harus berhubungan badan,”
            “Mengapa?” tanya Justin yang telah membuka seluruh kancing jaket yang kupakai, lalu ia menarik ke bawah retsleting sehingga sekarang bra yang kupakai terpampang jelas di depan matanya. Ia memerhatikan keduanya dengan mata binal. Lidahnya keluar sedikit, seperti dadaku memanggil lidahnya untuk menjilatinya. Dan yeah, aku menginginkan lidah itu berada di dadaku. Ia menarik lepas jaket itu untuk lepas dari tubuhku. Sekarang aku hanya memakai bra dan celana dalam.
            “Aku bukan wanita murahan,” ujarku dingin, menepis tangan Justin saat jarinya mulai menyentuh bagian tengah dadaku. Lalu Justin tertawa. Tapi aku tidak tertawa. Aku hanya berakting. Justin mengangkat salah satu alisnya, seperti ia berkata: Kau menantangku eh? Baiklah, ayo kita bergulat di atas meja sialan ini. Tanpa aba-aba, Justin memajukan wajahnya untuk menciumku namun aku langsung menjauhkan kepalaku darinya. Ia tertawa.
            “Oh, kau ingin bermain eh? Masalahnya di sini adalah aku tidak suka sesuatu yang lama dan bermain-main,” ujar Justin mulai mendorong tubuhku ke belakang. Oke. Nada suaranya sudah mulai terdengar dingin dan tegas. Aku tidak berani untuk membantahnya. Lagi pula, aku juga ingin berhubungan badan dengannya secepat mungkin. Namun saat punggungku akan menyentuh meja, ia menarikku kembali. “Whoops, aku juga ingin melihat dada indahmu. Tidak adil jika hanya Arthur yang dapat mencicipinya,” ujarnya membuka kaitan braku. Lalu terpampanglah dadaku untuknya. Hanya untuknya, kali ini. Tida ada lelaki lain yang boleh melihatnya, tentu saja. Lalu ia membaringkanku kembali.
            “Aku tidak tahu kalau aku akan bertemu denganmu. Aku tidak mempersiapkan diri. Tapi, persetan sayang, kau milikku sekarang,” bisik Justin membungkukkan tubuhnya mengecup bibirku kilat. Kemudian aku melihat sekilas senyumannya yang begitu misterius. Entahlah, sekarang aku bingung dengan ekspresi wajahnya. Maksudku, semenit yang lalu ia baru saja mengatakan bahwa aku miliknya, sekarang ia tersenyum –yang pada awalnya dia tidak tersenyum. Tidak, maksudku bukan karena ia bisa melakukannya. Hanya saja, senyumannya kali ini menyiratkan sesuatu yang misterius dan aku tidak tahu apa itu. Aku terkesiap saat jari-jari terampilnya mulai menyentuh putingku dengan lembut. Senyumannya semakin melebar, memperlihatkan giginya yang rata itu padaku. Ia adalah lelaki tertampan yang tidak pernah kutemui. Mungkin hanya dalam imajinasiku, tapi tidak juga. Mataku terpejam saat tangannya yang lain mulai menyentuh dadaku yang lain. Menggoyang-goyangkannya terlebih dahulu, membuatku mendengus.
            “Kau ingin bermain? Mari kita bermain,” bisik Justin begitu seksi dan penuh dengan janji. Kemudian aku merasakan lidahnya mulai bermain pada putingku yang telah berdiri tegak. Aku merintih, kedua alisku saling bertautan. Kedua tanganku memegang kepala Justin, merasakan kelembutan rambutnya yang terpotong rapi. Ia tertawa sejenak saat lidahnya terus berputar-putar di sana.
            “Sial! Justin! Aku menginginkanmu!” jeritku menggeleng-gelengkan kepala, tak sabar.
            “Oh yeah, tentu saja,” bisiknya menjanjikan sesuatu yang pasti terjadi.

***

*Author POV*

            Justin ..atau sekarang ia bisa dipanggil dengan Arthur tampak frustrasi! Mengapa Ave harus datang ke dalam hidup Justin di saat ia ingin membunuh begitu banyak orang? Ia tidak ingin Ave tahu bahwa dirinya adalah seorang pembunuh. Sebenarnya, dia bukan seorang pembunuh. Ia hanya membalas dendam kepada orang-orang yang dulu pernah menyakitinya. Terutama ayahnya yang masih hidup sama sekarang. Yang memerkosanya. Yang menyiksanya. Ia tidak akan pernah melupakan kesakitanku. Ia membenci Jeremy Bieber, selamanya. Seperti, tidak akan ada yang dapat menghentikannya. Sekalipun itu Ave, itu tidak mungkin. Karena Arthur ragu, Ave akan selalu bersamanya. Mengetahui Justin memiliki 5 kepribadian. Itu pasti akan membuat Ave juga frustrasi. Arthur selalu mengambil langkah yang cerdik untuk memperkaya dirinya di masa depan nanti. Membuat suatu perjanjian dengan pengusaha lain yang sebenarnya lebih menguntungkannya. Ia hanya tinggal membuat pemilik perusahaan itu mati lalu perusahaan itu akan menjadi miliknya dan itu sungguh mudah untuk dikerjakan. Hanya saja, sudah dua kali ia gagal membunuh dua pengusaha. Untunglah ia tidak pernah diketahui karena bukan ialah pelakunya. Hanya anak buahnya. Jika memang itu tidak berhasil, Arthur harus turun ke atas panggung dan menghibur para penonton yang tidak sama sekali.
            Baru saja tadi pagi Arthur mengembalikan Ave pulang ke rumahnya. Setelah tingkah gila Justin di ruang kerjanya, bercinta dengan Ave. Arthur tidak pernah merasakan rasa ini sebelumnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Baru beberapa hari ia bertemu dengan Ave, ia tidak tahu perasaan apa yang sedang ia geluti, namun Ave sepertinya memanggilnya terus menerus. Arthur tidak pernah mencintai seseorang sebelumnya. Ia lebih banyak membenci dan pendendam. Namun Ave. Jika saja Arthur tahu ia akan melewati perasaan ini, ia pasti akan mempersiapkannya. Ia tahu, Ave membencinya sejak ia bersikap kasar pada Ave saat pertama kali Ave bertemu dengannya. Arthur tentu apa saja yang terjadi dalam tubuh Justin. Apa yang Justin rasakan, Arthur dapat rasakan juga. Tapi mengetahui Ave berkata pada Justin bahwa Arthur adalah satu-satunya kepribadian yang tidak disukai oleh Ave, ia bukan hanya membenci banyak orang. Ia bahkan membenci dirinya sendiri. Ini perasaan yang ganjal.
            Di tengah-tengah ruang santainya, ia menyalakan televisi. Tidak akan ada sesuatu yang lebih menarik dari membunuh dan Ave. Hanya mereka berdua yang menarik perhatian Arthur. Tidak dengan televisi yang diisi oleh orang-orang palsu. Arthur selalu menyumpahi orang-orang yang ada di dalam televisi itu, yang selalu melakukan lelucon bodoh yang tak sama sekali lucu, menjadi orang yang benar-benar bodoh. Arthur tidak suka sesuatu palsu. Tidak ada drama. Arthur lebih memilih diam. Karena diam akan menunjukkan kepribadiannya yang sebenarnya. Ave tentu harus berusaha keras agar Arthur dapat berbicara, namun Ave tahu, kemampuannya yang hanya dapat berjalan dan bernafas itu membuatnya kecil hati. Tadi pagi Ave ingin mencium bibir Arthur sebagai tanda sayang dan terima kasih telah melindungi Justin. Namun ia tidak melakukannya. Rasanya begitu aneh, mengingat apa yang terjadi antara dirinya dengan Arthur. Canggung. Seolah-olah ada tembok yang membatasi mereka. Dan earphone yang menutupi telinga mereka sehingga mereka tidak akan berbicara karena mereka tahu, tidak ada satupun di antara mereka yang berbicara akan didengar.
            Ayah Ave marah besar. Mengetahui anak tunggal kandungnya yang dipecat semena-mena oleh pengecut sialan anak dari atasan Ave. Bagaimana mungkin Mr.Wood dengan mudahnya percaya dengan si bulu lebat sialan itu? Tentu saja Ave tidak akan menggoda Ian. Malah ayah Ave awalnya berpikir bahwa Ave adalah penyuka sesama jenis. Tapi ternyata tidak. Anaknya masih normal, untunglah. Nafas ayah Ave tak beraturan. Sarapan paginya tiba-tiba saja rusak hanya karena berita ini. Tapi mau diapa? Anaknya sudah dipecat, terpaksa Ave harus mencari pekerjaan baru. Secepatnya.
            “Jadi, selama ini kau mana saja sampai tak bisa pulang ke rumah? Adik-adikmu selalu mencarimu, ada apa dengan Justin Bieber? Kau mencarinya? Kau menyukainya? Sejak kedatangannya, kau tidak pernah pulang ke rumah untuk bermalam. Ada apa? Apa kau selama ini berbohong padaku? Jawab semua pertanyaanku, aku tidak akan mengulangnya,” tanya ayahnya, menuntut, tegas, dan keras pada Ave saat Ave baru saja terduduk di atas kursi ruang makannya. Ia padahal ingin mengambil makanan yang dibuat ibunya, namun ayahnya yang cerewet itu memberikan pertanyaan runtutan yang membuatnya terintimidasi. Ave menarik nafasnya.
            “Aku pergi keluar. Aku tidak peduli dengan adik-adikku. Itu urusanku. Aku tidak mencarinya. Aku, ya, aku menyukainya. Tidak ada apa-apa. Aku tidak berbohong. Apa itu semua telah menjawab semua pertanyaanmu, ayahku yang kucintai?” tanya Ave tersenyum kecut pada ayahnya. Ayahnya terdiam. Mr.Harris hanya tidak ingin anak tunggalnya jatuh ditangan seorang lelaki yang salah. Berita yang Mr.Harris dapat dari beberapa perusahaan lain adalah Justin Bieber adalah seorang lelaki yang berbahaya. Awalnya, Mr.Harris berpikir Justin Bieber adalah pemuda yang baik, tapi ternyata tidak. Kabarnya ia sering membunuh orang, meski belum ada bukti yang kuat selain kamera tersembunyi di perusahaan itu. Tapi tidak sering. Itu masih rumor. Tapi, sebagai ayah yang baik, ia harus berjaga-jaga agar anaknya berjaga jarak dengan Justin Bieber. Ia tidak akan pernah setuju jika Justin Bieber yang sudah berumur 30 tahun itu mendekati anaknya yang baru lulus kuliah dan baru saja dipecat dari kantornya. Ayah Ave hanya menarik nafas, menatap dan memerhatikan anak tunggal kandungnya yang melahap makanannya layaknya orang normal. Tidak pernah seumur hidupnya ia melihat Ave begitu normal seperti ini. Selagi ia dapat melihat puteri kandungnya yang luar biasa cantik, ia akan bersyukur pada Tuhan. Meski akhir-akhir ini Ave selalu memberontak padanya. Tidak ingin menikah. Tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun. Ave hanya ingin karirnya yang cemerlang. Tapi tidak apa-apa. Ia hanya seorang ayah yang ingin melihat anaknya bahagia, yang ingin memberikan kebebasan pada anaknya meski ia memberi batasan pada Ave yang seharusnya sekarang tidak tinggal bersamanya. Hanya saja, selagi Ave belum menikah, ia akan menghabiskan waktunya bersama puterinya.
            Mengingat masa-masa kelahiran Ave ke dunia, membuatnya terharu. Saat bayi pertamanya menangis begitu kencang. Mata birunya sungguh sempurna. Bagaimana berlian biru murni yang tak ternilai harganya. Mulai dari sana, Mr.Harris berpikir waktunya tidak banyak. 20 tahun bukanlah waktu yang banyak, itu adalah waktu yang singkat. Ia harus dan bisa membahagiakan Ave. Ia tidak ingin Ave kehilangan figur seorang ayah. Ia mencintai Ave, sangat. Sampai-sampai, lelaki siapa pun yang mendekati Ave harus ia interogasi terlebih dahulu agar Ave tidak masuk ke dalam lubang yang salah. Ia tidak ingin anaknya menangis hanya karena cinta. Bersyukur karena Ave belum pernah jatuh cinta siapa pun, namun membuatnya was-was. Ia takut Ave penyuka sesama jenis, untunglah, Ave bukan penyuka sesama jenis.
            “Jangan pernah sekali-kali kau mendekati Justin Bieber itu,”
            Ave berusaha untuk tidak terkejut dengan ucapan ayahnya yang sebenarnya, ia bisa menyemburkan makanan yang ia lahap pada wajah ayahnya. “Mengapa?”
            “Dia seorang pembunuh,” gumam ayahnya, “Aku tidak ingin kau menjadi salah satu diantara mereka yang telah mati di tangan lelaki itu. Ayah tidak habis pikir mengapa lelaki menarik sepertinya adalah seorang pembunuh. Lebih lagi, ia membunuh orang-orang yang menjadi rekan kerjanya. Kau ingin ayahmu mati di tangannya?”
            “Mengapa ayah berbicara seperti itu? Ayah tahu dari mana?” tanya Ave, tidak percaya. Hanya saja memang Ave tidak akan percaya dengan kabar seperti itu! Yang ia tahu hanyalah Arthur sering memukul orang, tapi membunuh? Ave meragukannya. Tidak mungkin Arthur membunuh orang. Jika Arthur membunuh seseorang, berarti Justin juga adalah pelakunya. Tapi tentu saja, Justin tidak akan bisa masuk ke dalam penjara. Karena pelakunya bukan Justin, namun alter egonya yang lain. Itu akan menjadi renungan untuk Ave. Ayahnya sangat bisa membuat nafsu makannya hilang.
            “Aku tidak percaya. Dia adalah orang yang baik ayah,” gumam Ave mendorong piringnya ke depan, menjauhkannya. Sekarang makanan itu terlihat seperti cacing-cacing yang menggeliat. Ave bergidik membayangkannya, sungguh bodoh.
            “Intinya Ave, aku tidak ingin bekerjasama dengannya lagi. Aku akan membaca ulang surat perjanjian dengannya lalu membatalkan kontrak kerja kami. Mengetahui ia adalah seorang pembunuh membuatku was-was. Bagaimana jika aku yang ia bunuh? Kau ingin kehilangan ayahmu satu-satunya?” tanya ayah Ave yang membuat jantung Ave berhenti berdetak untuk beberapa saat. Bagaimana mungkin ayahnya berkata seperti itu? Ungkapan itu membuat Ave muak. Tentu saja Ave tidak ingin kehilangan ayahnya. Ancaman macam apa itu? Sekarang Ave menatap ayahnya seperti ayahnya adalah seekor keledai. Ucapan bodoh itu sangat berhasil membuat kerutan di kening Ave.
            “Aku tidak percaya kau berharap seperti itu. Itu bodoh. Aku tidak mungkin ingin kau meninggal. Berhentilah mengatakan ia seorang pembunuh. Tidak ada bukti kuat. Aku butuh bukti. Lagi pula, mengapa ayah berpikir aku dekat dengannya?”
            Ayah Ave mengangkat kedua bahunya. “Aku tidak tahu. Aku merasa kau memang dekat dengannya. Sebenarnya, apa yang kauperbuat selama beberapa terakhir ini? Dan aku masih penasaran siapa yang menyelamatkanmu dari perkosaan Ian sialan itu,”
            Dengusan Ave terdengar. Ia menjatuhkan kepalanya ke atas meja makan hingga piring-piring di atasnya terlonjak untuk sesaat. “Aku tidak ingin membicarakan si penis kecil itu ayah. Oh ya Tuhan, aku tidak suka percakapan ini. Justin bukanlah pembunuh. Aku menyukainya kautahu, ayah! Ini adalah sebuah perkembangan yang pesat! Aku menyukainya, aku menginginkannya, seharusnya kau senang karena anakmu ini adalah gadis yang normal!” seru Ave bangkit dari kursinya dan membentangkan tangannya, seperti bangga dengan ucapannya. Ayahnya terkejut dengan ungkapan anaknya. Ia mendongak, namun nafasnya seperti tercekat untuk beberapa saat. Ave menginginkan Justin Bieber? Tidak, tidak, tidak! Ini sungguh salah. Ave tidak boleh menjalin hubungan dengan si pembunuh.
            Mr.Harris bangkit, ia menarik nafasnya berusaha untuk tidak marah pada anak tunggal kandungnya. “Ave Harris, ini adalah yang terakhir, sayang. Ayah tidak ingin kau mendekati Justin Bieber. Dia berbahaya. Dia pembunuh. Kau ..tidak seharusnya menyukainya—“
            “Bagaimana mungkin kau yang menentukan siapa kekasihku?”
            “Karena aku lebih mengetahui dirimu dibanding dirimu sendiri! Kau gadis ceroboh! Aku tidak ingin kau mati sia-sia hanya karena kau mencintai orang yang salah. Tidak ada Justin Bieber dalam kehidupanmu. Titik. Pembahasan ini selesai. Aku harus pergi bekerja.” Ujar Mr.Harris bangkit dari kursinya. Ave menatap ayahnya yang pergi dari hadapannya tanpa meliriknya sedikitpun. Apa? Apa yang baru saja Ave dengar? Tidak ada Justin Bieber dalam kehidupannya? Ia yang menjalani kehidupannya! Ini adalah hidupnya, ia tidak ingin ..ah ya Tuhan! Ia sekarang merasa benci dengan ayahnya sendiri. Ia menarik nafasnya, menghitung sampai sepuluh untuk tidak terpancing emosinya. Lalu ia bernafas. Mungkin ia harus bertemu dengan Justin dan membicarakan apa yang ayahnya telah katakan. Dan jika itu benar, tentu Ave tidak akan hanya tinggal diam.

***

            “Ya Tuhan,” desah Ave menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk mencerna ucapan Arthur yang konyol. Apa? Arthur membunuh rekan kerjanya agar ia mendapatkan perusahaan itu tanpa harus membelinya? Jadi ia akan mendapatkannya secara cuma-cuma jika pemilik perusahaan itu meninggal? Bagaimana mungkin Arthur melakukan itu? Mengapa? Tapi, Arthur mengatakan bahwa ia melakukannya pada orang-orang tertentu. Sasaran selanjutnya adalah Mr.Wood. Lelaki yang telah menyakiti Ave. Atau lebih tepatnya, Mr.Wood dan anaknya, Ian. Arthur hanya membunuh orang-orang atau rekan kerjanya yang memiliki niat licik terhadapnya. Arthur tidak ingin ambil pusing untuk mencari cara bagaimana mengambil perusahaan orang lain, ia hanya butuh sebuah pistol dan pisau. Semuanya akan selesai. Tapi Arthur berjanji tidak akan membunuh orangtua Ave, tentu saja. Ave mendongakan kepalanya.
            “Aku ..aku takut padamu Arthur, demi Tuhan. Aku tidak percaya kau memang sepenuhnya pembunuh,” gumam Ave putus asa. Clark sedang bermain di dalam kamarnya bersama dengan penjaga bayi yang lain. Arthur frustrasi! Ave telah mengetahuinya. Baru saja ia memikirkan tentang Ave, sekarang Ave berada di hadapannya. Berdiri di hadapannya, berjalan mondar-mandir karena tak percaya dengan ucapan Arthur. Arthur menjelaskan hanya sedikit namun terkaan-terkaan dari Ave sangat benar. Ave sangat pintar. Arthur yang terduduk di sisi tempat tidur sekarang merasa sepenuhnya membenci dirinya sendiri. Ya ampun, Arthur rasa ia telah gila! Apa yang telah Ave lakukan padanya? Ia bahkan baru bertemu dengan Ave selama beberapa hari namun Ave berhasil membuatnya tunduk. Atau mungkin keduanya saling tunduk? Ave tidak tahu seberapa beruntungnya telah mendapatkan hati Arthur. Karena Ave adalah gadis pertama yang Arthur sukai. Arthur bertanya-tanya dalam tubuh Justin, apakah ini yang dinamakan cinta? Sebelumnya, Arthur tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, kecuali Ave.
            “Jangan diam saja Arthur! Kau membunuh mereka hanya karena kau merasa mereka akan menghancurkan perusahaanmu? Pft! Rata-rata pengusaha melakukan itu, Arthur. Tapi mereka tidak melakukan pembunuhan. Tidak seperti kau. Ini sungguh menyeramkan. A-aku tidak tahu ..demi Tuhan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan padamu,”
            Arthur menatap Ave, tajam. “Aku hanya ingin kau tidak membenciku, Ave,” gumam Arthur jelas. Ave yang berjalan mondar-mandir seperti setrika itu berhenti melangkahkan kakinya. Apa?
            “Bisakah kau mengulangnya lagi untukku, Arthur?”
            “Tidak, aku tidak ingin mengulangnya,” ujar Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya. Salah! Mengapa Arthur bodoh sekali? Ya Tuhan, untuk yang pertama kalinya, Arthur merasa ia adalah satu-satunya manusia terbodoh di dunia. Terlalu cepat kau mengatakannya bodoh! Arthur menyumpahi dirinya sendiri. “Aku hanya ..aku merasa membunuh adalah keahlianku,” bisik Arthur. Nafas Ave tercekat, untuk yang kesekian kalinya. Mendengar ucapan Arthur seperti itu membuat Ave mendapatkan ide cemerlang! Ia mendekati Arthur yang terduduk itu lalu ia mengangkangi Arthur, ia duduk di pangkuannya. Tangannya melingkar di sekitar leher Arthur lalu ia menelengkan kepalanya ke salah satu sisi.
            “Menurutmu begitu? Aku tidak ingin jauh dari kau ..Justin, Arthur, Max, Darren, Kevin. Aku rasa ..aku jatuh cinta padamu Arthur. Kau lelaki pertama yang membuatku jatuh hati, Arthur. Aku benar-benar mengatakannya dan merasakannya. Ayahku tidak ingin aku mendekatimu, tapi aku ..ya Tuhan, aku tidak tahu apa yang terjadi denganku namun aku menginginkanmu Arthur! Justin atau siapa pun kau ..aku mencintaimu. Ini gila, aku tahu,”
            “Jangan,” bisik Arthur. “Jangan melantur dan bertele-tele. Katakan saja, maka aku melakukan apa pun yang kau mau, Ave,”
            “Aku mencintaimu, Arthur,” bisik Ave. “Ya Tuhan, ini sangat memalukan!”
            Arthur menarik nafasnya lalu ia memeluk Ave dengan erat. “Kupikir kau membenciku,” ini adalah ucapan terendah hati milik Arthur. Ia tidak pernah merasa begitu ..lega. “Aku ..tidak tahu apa yang terjadi denganku ..apa pun yang kaukatakan, Ave, aku akan melakukannya. Demi kau.”

***

*Ave Harris POV*

            Bagi Arthur, permintaanku tidaklah mudah baginya. Aku tahu. Tapi, aku peduli dengannya. Aku mencintainya, meski ini adalah perasaan yang aku tak yakin apa aku harus menyebutkannya adalah perasaan cinta atau bukan. Hanya saja, mungkin ya. Mungkin memang aku jatuh cinta padanya. Aku meminta Arthur untuk lebih terbuka padaku. Memintanya untuk tidak begitu keras pada banyak orang. Dia memintaku untuk tidak membencinya. Mungkin ya, aku memang membencinya pada awalnya. Tapi tidak sekarang. Setelah aku tahu dia adalah penyelamat dalam hidup Justin. Maksudku, Arthur yang merasakan kesakitan dalam hidupnya. Aku pulang dengan keadaan senang. Entah apa yang sedang kurasakan, tapi aku dari tadi tersenyum layaknya seorang idiot. Untung ayahku belum pulang ke rumah saat aku kembali ke rumah. Kurasa malam ini ia akan pulang larut malam.
            Dua adik tiriku selalu takut denganku jika aku berada di rumah. Jika aku memberi mereka keringanan, mereka pasti akan menonton acara televisi kesukaannya. Karena selama ini, aku adalah Ratu di rumah. Bukan ibuku. Oke, baiklah. Mungkin ibuku adalah Ratunya dan aku adalah puterinya. Tapi tetap saja, aku memiliki pangkat lebih tinggi dibanding dua adik sialanku. Tanganku menyentuh gagang pintu, dan membukanya untuk masuk ke dalam kamar. Tampaknya aku telah merindukan kasurku. Ini adalah kali pertama aku merindukan kasurku. Setelah tiga hari berturut-turut aku tidak tidur di atasnya. Setelah mengunci pintu kamarku, aku merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Menghembuskan nafas sambil memejamkan mataku. Mengingat wajah Arthur dengan senyuman lega darinya membuatku ..berbunga-bunga. Kurasakan hatiku membengkak. Ini gila! Aku tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Saat aku mengecup bibirnya dan ia mengelus punggungku dengan lembut. Memelukku dengan erat. Ia mempunyai harapan dariku. Ia menginginkan aku. Begitupun aku. Aku menginginkannya.
            Mungkin kehidupanku adalah reinkarnasi dari Romeo dan Juliet. Ayahku tidak menyetujui hubunganku dengan Justin. Meski aku belum memberitahu pada ayahku tentang aku telah berpacaran pada Justin. Tapi yang menjalani kehidupan ini adalah aku. Ayahku tentu tidak mengetahui diriku lebih dari diriku mengetahui diriku sendiri. Ayahku tidak tahu tentang Justin. Sedangkan aku tahu. Jadi dapat kusimpulkan, ayahku sok tahu. Justin memiliki kepribadian ganda dan aku tahu itu. Ayahku tidak tahu tentang itu. Oh, ya Tuhan. Aku tidak pernah berpikir seberat ini. Biasanya aku akan pulang kerja ..kerja! Ya ampun, aku baru ingat tadi Arthur memintaku untuk bekerja di tempatnya. Maksudku, ia menginginkan aku untuk menjadi asistennya. Dia bilang, jika ia harus berpergian ke suatu tempat, aku akan ikut. Entahlah, aku tidak tahu. Aku harus meminta izin terlebih dahulu pada ayahku. Mataku terbuka saat seseorang mengetuk pintu kamarku.
            “Siapa itu?” tanyaku mengangkat tubuhku setengah sehingga aku bertumpu pada kedua siku-siku sambil mataku menatap pada pintu kamarku.
            “Ini aku. Elliot. Bukalah,” pintanya ..aku kasihan. Mendengus, aku bangkit dari tempat tidur. Akhir-akhir ini aku sedang berusaha untuk menjauhinya. Ia bukan sahabatku lagi setelah ia selalu merengek bagaikan anak kecil pada ayahku agar aku berbicara padanya. Aku pikir ..dia adalah orang terbodoh yang pernah kutemui. Bagaimana mungkin ayahku menyukainya? Jika aku adalah ayahku, sudah pasti aku menendangnya pergi dari rumahku untuk menjauhi puteriku. Ia memang tampan. Rambutnya pirang, matanya biru, namun ia tampak seperti banci. Kubuka pintu kamarku untuk mempersilahkannya masuk. Rambut panjangnya acak-acakan saat aku melihatnya. Aku tentu saja terkejut. Banyak sekali perubahan pada dirinya. Wajahnya lebih pucat namun ia lebih tinggi, tapi, apa-apaan? Ia masih berada dalam proses pertumbuhan? Kupikir ..ia lebih tua dariku. Dan tentu saja ia telah berhenti bertumbuh. Atau aku yang lebih pendek darinya? Sial, aku selalu melantur. Sifat melanturku ini harus kuhapus dari diriku agar Arthur mungkin akan merasa lebih nyaman berada di dekatku. Arthur tidak suka orang yang bertele-tele. Dan aku suka bertele-tele.
            “Ya Tuhan, Ave!” lenguh Elliot langsung memelukku setelah beberapa detik kami saling menatap tubuh. Dapat kudengar suaranya lega, seperti ada malaikat yang menarik nafasnya dari tubuhnya lalu mendorongnya kembali agar ia dapat bernafas. Oh?
            “Hai, Elliot,” aku berusaha untuk lepas dari pelukannya. Ia memegang kedua bahuku lalu menatap mataku terus menerus. Senyumnya tak hilang. “Ada apa? Maafkan aku tentang sikapku pada waktu itu padamu,” bisikku, benar-benar minta maaf.
            “Tentu saja. Bolehkah aku masuk?” pintanya. Tentu saja ia boleh masuk. Aku mundur beberapa langkah agar ia dapat masuk ke dalam kamarku. Ia masuk sambil tersenyum. Menghirup aroma kamarku yang tak berubah. Namun tak pengap karena tidak kudiami beberapa hari terakhir. Dan lebih rapi. Lalu ia tertawa saat aku menutup pintu. Itu memicu kedua alisku yang sekarang bertautan.
            “Ada apa?” aku bertanya, tapi lebih memaksa agar ia menjawabnya. Kubaringkan kembali tubuhku ke atas tempat tidur dan menatap langit-langit kamar.
            “Kemana kau akhir-akhir ini? Aku selalu mencarimu, kautahu. Dan ponselmu, mengapa aku tidak dapat menghubungimu?”
            Aku mengangkat kedua bahuku, tak begitu peduli. “Well, aku telah mendapatkan lelaki yang tepat untukku,” kuharap ini dapat membuatnya berhenti untuk menyukaiku, aku tidak ingin memberikan harapan lebih padanya! Aku tidak menyukainya dalam arti cinta.
            “Siapa? Dia adalah lelaki beruntung,” bisik Elliot, terdengar ..sakit hati.
            “Mungkin aku yang beruntung karena telah mendapatkannya, dia Justin Bieber,” bisikku, tersenyum seperti orang sinting. Apa yang terjadi padaku? Ya ampun, ini adalah kali pertama aku tersenyum karena aku membicarakan seorang lelaki. Aku tidak pernah membicarakan seorang lelaki sebelumnya! Aku hanya membicarakan tentang pekerjaanku, apa yang kulakukan hari ini. Tapi lelaki? Au hanya mengkritik seorang lelaki, seperti biasa. Aku hanya selalu mendengar keluhan sahabatku tentang kekasihnya. Tapi tidak pernah membicarakan seorang lelaki yang masuk ke dalam kehidupanku untuk yang pertama kalinya. Uh, sungguh, ini sangat aneh.
            “Jadi sepertinya, kau telah jatuh cinta?” tanya Elliot, seakan-akan tak percaya. Sudah seharusnya.
            “Mungkin. Aku tidak tahu,” bisikku, ragu-ragu. “Apakah membicarakan seseorang yang kita sukai sambil tersenyum seperti orang gila dan merindukannya adalah perasaan cinta?” kali ini aku melirik pada Elliot. Ia telah terduduk di ujung tempat tidur di sisi yang lain, memunggungiku.

            “Ya, kau telah jatuh cinta,” bisiknya. Ya ampun, mengapa ia terdengar begitu sakit hati? Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti hatinya, tapi ini memang perasaanku terhadap Justin yang tak dapat kutahan. Secerdas apa pun otakku, aku tidak akan pernah bisa menghentikan perasaan ini. Karena bukan otakku yang melakukannya, hatiku yang melakukannya padaku. “Kudengar kau telah dipecat,” akhirnya! Akhirnya ia telah mengubah topik pembicaraan. Aku hanya tidak ingin membicarakan Justin padanya. Itu membuatku terdengar konyol. Ave Harris membicarakan seorang lelaki yang ia cintai? Oh, kumohon, ambillah kapak dan penggal kepalaku! Tapi itu memang yang terjadi sekarang. Tapi bayang-bayang ayahku mengetahui tentang ini membuatku ragu aku akan mendapatkan Justin. Ayahku tidak menginginkan aku berada dekat dengan Justin. Lebih lagi, berhubungan dengan Justin. Apa aku harus mengatakan secepatnya pada ayahku? Aku tidak tahu. Aku akan membicarakannya nanti ..dengan Justin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar