Sabtu, 03 Agustus 2013

Criminal Crime Bab 7




***

            Pagi ini aku memberitahu pada ayahku kalau aku akan mencari pekerjaan kembali. Ia mempercayainya. Well, aku tidak perlu mencari pekerjaan karena aku telah mendapatkan pekerjaan dari Justin. Lift yang kupijak telah membawaku ke lantai 10, lantai kantor Justin. Aku melangkah keluar dari lift lalu melihat-lihat ke sekeliling. Tempat ini adalah tempat dimana aku mendapatkan pelepasan terakhirku dari Justin. Luar biasa liar, untuk yang pertama kalinya. Justin menyuruhku untuk datang ke kantor jam 8 pagi dan yah, aku telah berada di sini. Dan apa yang akan kulakukan? Maksudku, siapa tahu Justin masih membutuhkan asisten lamanya. Aku mungkin hanya akan menjadi patung di dalam ruang kerjanya. Aku bisa menatap Justin ..seperti selamanya. Dia adalah keindahan. Suatu hal yang tidak pernah membuatku bosan adalah memikirkannya. Ah, sial! Ave Harris! Apa yang sedang kaupikirkan? Kau pergi ke kantor Justin adalah untuk bekerja. Bukan untuk hanya mengaguminya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, jadi aku memutuskan untuk duduk di sofa. Di lantai 10 ini.
            Baiklah, mungkin aku dapat menggunakan ponselku sekarang setelah beberapa hari ini aku tidak memakai ponselku. Tentu saja untuk mengirim pesan pada Justin. Kukeluarkan ponselku untuk mengirim pesan pada Justin. Yeah, aku telah mendapatkan nomor teleponnya. Ia memberikanku kemarin. Kuketik pesan untuknya, bertanya kapan ia akan datang. Saat aku menekan kirim, tiba-tiba saja dentingan pintu lift terdengar. Aku mendongak lalu ..demi Neptunus! Aku ingin mati sekarang! Rambutnya basah, teratur, itu adalah rambut terseksi yang pernah kulihat, dan tangannya sedang menggenggam sebuah ponsel, berbicara sesopan mungkin pada sang penelpon. Siapa pun! Bunuh aku sekarang! Daripada aku harus tersiksa karena sekarang nafasku tercekat, tertarik keluar dari tubuhku hanya karenanya. Ia tersentak saat ia melihatku. Ia tidak berbicara, matanya menatapku begitu tajam. Lalu ia menggumamkan sesuatu untuk menutup teleponnya.
            “Ya Tuhan, bagaimana bisa kau berada di sini? Aku tidak tahu kau akan benar-benar datang,” ujar ..Max? Aku sekarang sudah tahu nada suara Max seperti apa. Maksudku, serak, seksi dan ..entahlah, ia adalah lelaki penggoda. Aku dapat membedakan yang mana Max dan Arthur atau Justin, kurasa begitu. Aku langsung berdiri, membenarkan rok pendek yang kupakai lalu tersenyum canggung padanya. Suaraku seakan-akan lenyap dalam tubuhku sehingga aku hanya dapat tersenyum padanya. Ya Tuhan, tolong berikan kembali suaraku agar aku dapat menyapanya. Namun terlambat, ia telah menghampiriku lalu memelukku dengan erat. “Oh, ya Tuhan, aku sangat rindu padamu,” bisiknya mengecup puncak kepalaku dengan lembut.
            “A-aku juga merindukanmu, Max,” bisikku. Akhirnya! Suaraku telah kembali. Aroma Max berbeda dengan aroma Justin atau Arthur. Kuhirup aromanya sedalam mungkin agar aku dapat mengingat aromanya. Beberapa detik setelahnya, ia melepaskan pelukannya dariku.
            “Kau tampak cantik pagi ini,” gumamnya. “Justin tidak memberitahu padaku bahwa hari ini kau akan bekerja denganku. Baru saja tadi aku memecat asisten lamaku dan kau telah berada di sini. Well, dia akan datang untuk memberikanmu jadwal-jadwal pertemuanku. Kau ingin masuk ke dalam ruang kerjaku? Ya ampun, aku ingin sekali berbicara denganmu,” ujarnya tampak bersemangat namun ia pintar sekali untuk menyembunyikan rasa semangatnya itu melalui karismanya. Aku terlalu bisu untuk menjawab pertanyaannya. Jadi aku membiarkannya menarik tanganku untuk masuk ke dalam ruang kerjanya. Tangannya memegang lenganku begitu erat. Seakan-akan ia takut kalau aku lari.
            “Seumur hidupku, aku tidak pernah merasa begitu bahagia,” gumam Max menutup pintu ruang kerjanya saat kami telah berada di dalamnya. Sebenarnya, aku ingin membahas tentang kehidupannya. Maksudku, saat ia muncul dalam tubuh Justin. Bagaimana ia dapat berinteraksi dengan Justin. Apa mungkin ini adalah saat yang tepat untuk membicarakannya? Aku tidak tahu.
            Aku terduduk di atas sofa miliknya sambil memerhatikannya yang mondar-mandir –sangat sibuk—untuk menaruh tas kerja yang ia bawa. Lalu ia menghubungi seseorang untuk membawakan secangkir teh di pagi hari. Baiklah, secangkir teh di pagi hari mungkin akan sangat menyenangkan. Terlebih lagi ..aku juga rindu dengan Max. Setelah ia merasa tidak sibuk, ia berjalan ke arahku lalu duduk di sebelahku dan memelukku kembali. “Ah, akhirnya aku dapat memelukmu lebih leluasa,”
            “Ada apa dengan keadaan di luar?”
            “Tidak ada,” gumamnya menjauhkan dirinya dariku. “Selamat pagi,” bisiknya, lembut. Lalu ia menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Senyum tipisnya membuatku meleleh. Max ..mengapa ia melakukan ini padaku? Max mungkin bisa menjadi tersangka pertama yang membunuhku hanya karena mengucapkan “Selamat pagi” padaku namun itu terasa seperti pisau yang menusuk hatiku agar aku tidak dapat bernafas. Dia memang penggoda yang menawan.
            “Selamat pagi,” balasku. “Ada apa dengan Kevin? Apa kau menyembunyikannya?” tanyaku sambil menyentuh dadanya, membuka jasnya. Berpura-pura mencari Kevin dalam tubuhnya. Justin bilang ia selalu datang jam 10 pagi jika Kevin muncul dalam tubuhnya. Namun sekarang Max muncul jam 8 pagi, bertemu denganku. Kudengar suara tawa Max yang terdengar ia bernyanyi di telingaku. Kepalanya mengadah ke belakang, menikmati candaanku, membuatku tersenyum. Bagaimana mungkin ia terlihat begitu tampan saat ia tertawa? Well, ia selalu tampan tiap saat. Namun ia bukanlah Justin. Ia hanya Max, bagian dari Justin. Satu tubuh dengan Justin. Namun tidak sama dengan Justin.
            “Kevin ..kurasa ia tertidur dalam tubuhku,”
            “Tubuhnya juga,” bisikku memperbaiki ucapannya. Atau tubuh Justin?
            “Well,” ia memikirkan sesuatu untuk diucapkan sambil tangannya meraih tanganku, mengelus tanganku dengan lembut. Darah jari-jariku mendidih di bawah sentuhannya. Usaha apa yang sedang ia lakukan padaku? Usaha menggodaku? Karena jika ya, dia memang sangat berhasil telah melakukannya. “Kudengar ayahmu telah tahu bahwa Arthur adalah pembunuh, dari mana ia tahu itu?”
            “Aku tidak tahu. Ia mendengarnya dari rekan kerjanya yang lain. Tapi aku telah meminta Arthur untuk tidak melakukan itu, secara perlahan-lahan. Mungkin ia akan belajar,”
            “Ia mencintaimu, kautahu,” bisik Max, menarik kepalaku agar bersandar pada bahunya. Aku tersenyum kecil mendengar ucapan itu. Yeah, benar. Ia mencintaiku dan itu membuatku terbang ke langit. Oh, aku tidak pernah merasa begitu nyaman. Pundak Max mungkin adalah tempat yang dapat membuatku tertidur dalam hitungan detik. Apa jika aku menangis, pundak ini akan menjadi tempat yang akan dapat membuatku nyaman? Tenang? Mungkin.
            “Aku tahu, aku tidak tahu Arthur memiliki sisi lembutnya. Kupikir ia hanya lelaki yang kasar. Dia adalah lelaki pertama yang membuatku jatuh cinta,”
            “Benarkah? Berarti aku bukan yang pertama. Sial! Aku iri pada Arthur. Dia adalah lelaki pertama yang telah tidur denganmu. Dia lelaki pertama yang mendengar bahwa kau mencintainya. Lalu, aku adalah lelaki pertama yang ..?”
            “Kau lelaki pertama yang membuatku nyaman berada di sebelahmu. Pundakmu mungkin akan menjadi tempatku untuk tidur,”
            “Oh, aku tidak tahu kau akan tidur di pundakku. Maksudku, kau sudah tahu aku bukan? Terlebih lagi ..aku bukan lelaki yang dapat menahan godaan sepertimu. Kau setan penggoda yang tak dapat kujelaskan dengan kata-kata,” ujar Max yang membuatku tersipu namun tersinggung. Setan penggoda?
            “Setan penggoda?” tanyaku mendongak. Ia tersenyum penuh rahasia. “Ya.”

***

            Justin menunjukkanku bintang-bintang di langit yang terlihat sangat terang di bawah sini. Pemikiran yang membuatku tak habis pikir adalah aku masih berhubungan dengan Justin sejak satu bulan yang lalu tanpa sepengetahuan ayahku. Ayahku sudah tidak pernah menyinggung tentang Justin lagi sejak pembicaraan sarapan pagi itu membuat kami bertengkar. Ia lebih sering berbicara tentang Elliot. Tapi aku selalu berpura-pura tertarik membicarakan tentang Elliot. Clark telah terlelap satu jam yang lalu. Kata Justin, malam ini adalah malam yang tepat untuk membicarakan tentang Arthur. Tapi, bukan membicarakan tentang Arthur, ia malah membicarakan tentang bintang-bintang di langit. Bulan juga telah menemani bintang-bintang di atas sana. Di balkon kamarnya, kami berdiri. Tangannya merangkul pinggangku dengan erat sedangkan kepalaku tersandar pada dadanya.
            “Kau lebih memilih menjadi apa? Bintang? Atau bulan?” tanya Justin, tiba-tiba. Aku menarik nafas. Aku tidak menyukai keduanya. Aku hanya menyukai Matahari. Tanpa Matahari, manusia di dunia tidak akan dapat hidup. Meski bintang memiliki populasi lebih banyak dibanding Matahari yang hanya ada satu di galaksi. Kuhembuskan nafasku.
            “Aku lebih memilih menjadi Matahari,” bisikku menghembuskan nafas.
            “Ya, kau benar. Kau cocok menjadi Matahari,” gumam Justin mengecup kepalaku dengan lembut, “tapi aku lebih memilih Ave Harris dibanding Matahari,”
            “Terserah kau,” ujarku memukul pelan dada Justin sambil membalikkan tubuhku ke belakang untuk melihatnya. Ia tertawa kecil lalu dengan sigap ia memegang kedua tanganku saat aku dengan bodohnya tersandung dengan kakiku sendiri, hampir saja aku jatuh di atasnya. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan sekarang, tapi aku ragu. Apa hubungan ini akan terus berlanjut? Atau masa-masa indah ini akan cepat berakhir? Setelah aku mengetahui ayahku tidak menyukai Justin, itu membuatku cukup ragu untuk menjalani hubungan ini. Namun apa yang dapat membuatku tidak jatuh cinta pada Justin? Satu bulan ini Justin dapat mengendalikan kepribadiannya. Meski Arthur tampaknya masih memiliki niat untuk membunuh banyak orang.
            “Apa yang kaupikirkan?” tanya Justin mengetuk-ketuk kepalaku dengan satu jari telunjuknya sehingga mataku yang awalnya menatap lehernya langsung mendongak melihat matanya. Saat mataku dan matanya bertemu, jari telunjuk Justin menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Apa aku harus mengatakan perasaanku ini? Aku jatuh cinta pada lima orang lelaki –yang salah satu diantaranya adalah seorang anak kecil. Namun ayahku tentu tidak akan menyetujui hubungan ini sehubungan dengan pengetahuannya tentang Justin adalah seorang pembunuh. Kutempatkan telapak tanganku pada pipi Justin lalu mengelusnya dengan lembut.
            “Kau tentu tahu apa yang kupikirkan Justin,” desahku, pelan. “Ayahku. Dia tidak menyukaimu. Bagaimana jika ia tahu hubungan kita? Ia takut Arthur akan membunuhku. Andai Arthur dapat mengendalikan emosinya. Akhir-akhir ini aku selalu mendapati Arthur menggumam sendiri di kamar, memukul meja, namun saat aku bertanya, ia mengatakan tidak apa-apa. Ada apa dengannya?” pertanyaan sekaligus pernyataan itu kuluncur begitu saja. Tangan kiri Justin memegang pinggang rampingku lalu menariknya pada tubuhnya sehingga tubuh kami saling bersentuh. Tidak, aku tidak menginginkannya untuk sekarang ini. Aku ingin membicarakan sesuatu yang serius dengannya. Masa depanku dengannya.
            “Kau bilang padaku kalau ayahmu akan membatalkan kontrak diantara kami, tapi tidak. Sampai sekarang tidak. Ini sudah satu bulan lebih, Ave. Ia tidak membenciku, aku tahu itu,” bisik Justin berusaha meyakinkanku. Memang! Memang ayahku tidak jadi membatalkan perjanjian itu. Pikiran negatif mulai menyerang otakku. Apa ayahku sengaja masih bekerja dengan Justin supaya ia dapat mencaritahu lebih dalam lagi tentang Justin? Atau mungkin ayahku bekerja dengan Justin agar ia tahu hubungan apa yang kujalani bersama Justin? Karena selama ini aku tidak pernah membicarakan Justin, sama sepertinya. Kujatuhkan keningku pada dada Justin, merengek.
            “Bagaimana kau tahu ia tidak membencimu? Baiklah, ia memang tidak pernah membicarakanmu akhir-akhir ini, tapi siapa tahu ia sedang mencaritahu tentangmu bahwa kau memang seorang pembunuh?” –kening Justin mengkerut tiba-tiba—“maksudku, Arthur memang seorang pembunuh?” kerutan di keningnya telah menghilang. Ia tidak menjawab pertanyaanku, namun ia langsung memelukku dengan erat. Bibirnya telah berada di dalam leherku yang terasa begitu hangat sekarang. Hembusan nafas Justin dapat kurasakan lebih hangat dan itu berhasil mengalahkan angin malam yang sangat dingin. Aku penasaran, apa di dunia adalah seorang yang lain yang dapat memelukku sehangat dan senyaman Justin? Aku tidak mengharapkannya juga. Aku hanya mengharapkan Justin selalu ada di sisiku, hanya itu.
            “Semuanya akan baik-baik saja,” bisik Justin mengelus kepalaku dengan lembut. “Satu hal yang harus kauketahui, Ave. Jika kau mencintai salah satu diantara kami, itu artinya kau mencintai kami secara keseluruhan,” kecup Justin pada puncak kepalaku lalu aku dapat mendengar ia menghirup nafasnya dalam-dalam. Mencium wangi rambutku yang baru saja kucuci bersama dengan Clark. Yeah, aku mandi bersama dengan Clark dan itu tidak apa-apa.
            “Aku mencintaimu,” bisikku memejamkan mata. Harapanku sekarang; waktu berhenti untuk sesaat. Aku tidak ingin waktu ini merenggut kenyamananku bersama Justin. Jika Tuhan memberikanku satu permohonan, aku akan memohon untuk tidak mengambil Justin daripadaku. Tapi itu tidak mungkin. Aku tahu. Tidak akan ada yang abadi di dunia ini. “Aku mencintaimu. Justin, Arthur, Darren, Max ..dan kau, Kevin. Ingin tahu rahasiaku, Justin?” tanyaku mendongakkan kepalaku, tanpa berusaha untuk pergi dari pelukan Justin.
            “Apa itu?”
            “Tapi ini akan bukan menjadi rahasia lagi jika aku memberitahumu. Jadi mungkin rahasia ini akan hanya diketahui oleh kau dan aku,” ujarku, bertele-tele. Aku ingin membuat Justin penasaran. Tapi aku tahu, aku tidak bisa. Karena aku sudah tahu Justin. Ia tipe lelaki yang tidak begitu penasaran pada seseorang. Maksudku, ia ingin tahu apa yang kita pikirkan, tapi jika kita tidak ingin memberitahunya, ia tidak apa-apa. Ia bukanlah lelaki pemaksa seperti Arthur atau Max. Darren dan Justin hampir sama. Bedanya, Darren lebih ramah dan tentu saja, menyenangkan.
            “Ya, dan apa itu?”
            “Rahasiaku. Aku selalu menatapi wajahmu saat kau tertidur, tiap kali aku menginap di rumahmu. Lalu seperti aku dapat mengambil wajahmu darimu, aku menyimpannya agar aku tidak akan merindukanmu di rumah nanti. Karena aku tahu, aku akan merindukanmu,” bisikku malu-malu. Tapi itu memang kenyataannya. Aku selalu mengingat wajah Justin agar aku tidak merindukannya. Karena merindukannya sama dengan menyakitkan. Seperti iblis berusaha untuk menjauhiku dari Justin. Namun Justin hanya memunculkan alisnya yang terangkat, terkejut. Tapi terkejut dengan tenang.
            “Itu manis,” bisik Justin mengelus pipiku dengan buku-buku jarinya. “Kau ingin tahu rahasiaku?”
            “Tentu saja, itu adalah keinginanku sekarang,”
            “Kau yakin?” tanya Justin, kali ini ia mengangkat salah satu alisnya. Berusaha untuk membuatku penasaran. Tapi memang! Aku memang penasaran! Kuanggukan kepalaku penuh dengan rasa antusias.
            “Aku tahu apa yang sedang kaulakukan Justin! Dan itu tidak lucu sama sekali,”
            Justin terkekeh. “Baiklah. Baiklah,” gumam Justin menundukan kepalanya. Menempatkan bibirnya di sebelah telingaku lalu ia bernafas. “Aku mencintaimu.” Oh itu sangat manis. Aku rasanya ingin menangis. Dia memang bukan seorang lelaki yang romantis dan aku memang tidak mengharapkannya agar ia menjadi seorang lelaki yang romantis. Bagiku, Justin sudah sempurna. Tak terasa air mataku mengalir. Aku takut. Sangat takut kehilangan Justin sekarang. Bagaimana jika ia memang bukanlah lelaki yang tepat untukku? Tapi aku mencintainya. Aku tidak ingin lenyap begitu saja dalam tubuhku. Aku tidak ingin ia tidak berada di hadapanku lagi. Tidak ada lagi yang kuinginkan selain bersama dengan Justin. Justin menarik kepalanya dari sebelah kepalaku lalu kedua alisnya saling bertautan saat ia melihat padaku.
            “Jangan menangis,”
            “Oh, Justin,” desahku ketakutan. “Aku takut kehilangan dirimu!”
            “Mengapa?” tanyanya, tampak tidak merasa ada masalah sedikitpun.
            “Bagaimana jika ayahku mengetahui ini? Oh, ini sangat Romeo dan Juliet!” seruku menahan tangis, berusaha untuk tertawa dengan leluconku sendiri. Tapi itu tidak lucu! Tidak sama sekali. Justin terkekeh pelan lalu ia kembali memelukku, berusaha untuk menenangkanku kembali.
            “Aku akan berbicara dengan ayahmu, secepatnya,”
            “Apa?” aku terkejut, namun aku tidak menaikkan nada suaraku. Aku menjauh dari tubuh Justin sehingga sekarang pinggulku menyentuh pada sisi balkon. Aku tidak percaya Justin akan melakukan itu! Apa Justin ingin hubungan ini kandas di tengah jalan hanya karena ia berbicara dengan ayahku? Aku lebih memilih untuk kabur bersamanya dibanding ia harus berbicara dengan ayahku jika itu dapat membuat hubungan kami putus. “Tidak! Kau tidak boleh melakukan itu!” aku berteriak, panik.
            “Mengapa?”
            “Dia tidak akan mendengarkan apa yang kaukatakan Justin! Ayahku adalah orang yang keras kepala!”
            “Mengapa kau tidak ingin mencobanya? Aku tidak akan pernah bisa menikahimu jika aku tidak boleh berbicara dengan ayahmu,” ujarnya, bingung melihat reaksiku. Tentu saja aku panik! Dan, apa? Dia ingin menikahiku? Baiklah. Tenangkan pikiranmu Ave! Hitung sampai sepuluh! Aku menghitung sampai sepuluh sambil aku berpikir bagaimana caranya agar Justin tidak berbicara dengan ayahku. Baiklah. Seperti ini. Justin ingin berbicara dengan ayahku ..untuk menikahiku? Apa itu maksudnya? Oh ya ampun, aku ingin menangis hanya karena ini.
            “Justin, ini sungguh salah. Tidak, tolong jangan berbicara dengan ayahku,”
            “Mengapa kau sangat keras kepala?” kali ini nada suara Justin terdengar sangat kesal namun ia berusaha untuk terlihat tenang. Aku menggelengkan kepalaku tak percaya ia baru saja mengatakan padaku bahwa aku keras kepala! Aku keras kepala untuk kebaikan hubungan kami juga!
            “Aku hanya tidak ingin hubungan ini putus hanya karena kau berbicara dengan ayahku! Sudah, aku tidak ingin membicarakan ini lagi. Pembahasan selesai Justin!” ujarku melangkah pergi darinya. Aku ingin pulang. Ini sudah malam. Begitu banyak yang harus kupikirkan malam ini. Pekerjaan, Justin, lalu ayah. Tuhan, bantu aku untuk menyelesaikan masalah ini!

***

            “Dari mana saja kau Ave?” tanya ayahku saat aku melewati ruang keluarga. Aku berhenti melangkahkan kakiku sejenak. Apa yang harus kukatakan pada ayahku? Aku tidak bisa selamanya berbohong padanya.
            “Dari rumah Justin,” bisikku. Namun ayahku langsung berdiri dari sofa ruang keluarga saat ia sedang menonton olahraga Tenis. Matanya tiba-tiba saja penuh dengan nyala api. Ia sangat marah padaku. Ya Tuhan, bodohnya aku! Aku yang mengharapkan agar ayahku tidak mengetahui hubungan kami, tapi justru aku yang berbicara pertama pada ayahku. Bagaimana mungkin aku bisa sebodoh ini? “Baiklah. Maafkan aku ayah. Tapi aku memang berpacaran dengan Justin. Aku bekerja di perusahaan Justin selama satu bulan ini. Kuharap ayah dapat mengerti. Sekarang, kumohon izinkan aku untuk pergi ke kamar dan menenangkan pikiranku,” ujarku meminta jawabannya. Ayahku terdiam sejenak, matanya membulat. Mulutnya berbentuk seperti huruf O. Nafasnya seakan-akan tertarik dari tubuhnya. Aku tahu ini pasti akan mengejutkannya! Aku yang anaknya sendiri saja sudah dapat membuatnya terkejut setengah mati, bagaimana Justin? Lelaki yang ayahku tidak sukai.
            “Sayang? Ayah sedang tidak ingin bercanda,”
            “Aku tidak bercanda denganmu sekarang!” seruku.
            Kedua alisnya saling bertautan, efek negatif mulai menerjang tubuhku. Aku tahu ayahku akan sangat marah besar padaku. Sial. “Kau tidak bisa berpacaran dengannya, anak muda! Aku tidak habis pikir mengapa bisa-bisanya kau berbohong padaku. Sekarang, pergi ke atas dan jangan keluar rumah selama satu minggu,” ujar ayahku. Aku tidak percaya ayahku masih menganggapku masih seperti anak remaja.
            “Aku bukan anak remaja ayah!”
            “Kubilang pergi ke kamarmu! Kau telah berbohong padaku dan telah menentang apa yang kubilang padamu! Ave Harris, aku tidak perlu menarikmu ke atas bukan?” tanya ayahku, membentak. Aku ..ya Tuhan, dia benar-benar marah. Air mataku telah mengalir beberapa detik yang lalu. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tidak akan bisa bertemu dengan ayahku lagi.
            “Aku membencimu!” teriakku melangkah pergi dari hadapannya.
            “Ave Harris!” bentak ayahku, matanya membulat. Tak percaya apa yang baru saja kukatakan. Ya Tuhan, aku merasa bersalah padanya. Tapi aku mungkin dengan aku mengatakan seperti itu padanya akan membuatnya berpikir bahwa aku bukanlah seorang anak kecil lagi. Aku sudah dewasa. Aku dapat mengambil keputusan sendiri. Dan aku tahu, mana yang benar dan yang salah. “Kau benar-benar berada dalam masalah besar anak muda!” teriak ayahku saat aku telah berada di atas lantai dua.
            “Terserah apa katamu ayah! Aku tidak peduli!”
            “Kau masih terdengar seperti anak remaja!”
            “Karena kau yang memperlakukanku seperti anak remaja!” aku tak ingin kalah.
            “Ave Harris!” kubanting pintu kamarku saat ia meneriaki namaku. Aku ingin Justin berada di sini, sekarang juga.

***

            Aku mengurung diri di dalam kamar selama mungkin. Mungkin sekarang sudah sore dan aku masih belum menyentuh makanan atau minuman. Tapi aku sangat haus. Tadi pagi ayahku memberitahu padaku kalau ia akan berbicara pada Justin tentang hubungan kami dan kami harus putus. Aku tidak mengerti dengan ayahku. Mengapa ia sepertinya tidak ingin membiarkanku bahagia bersama dengan lelaki yang kucintai pertama kali dalam hidupku? Sampai sore ini aku tidak menerima panggilan telepon dari Justin. Ada apa? Aku ingin menghubunginya tapi aku tidak berani. Kemarin adalah pertama kalinya kami bertengkar. Uh, sungguh sial. Mataku sembab akibat tangisanku dari tadi malam hingga siang hari. Aku tidur hanya sebentar dikarenakan aku mendapatkan mimpi buruk yang aneh. Seperti aku melihat darah atau semacamnya yang benar-benar berhubungan dengan pembunuhan. Apa ini karena Arthur yang terus kupikirkan? Karena Arthur, aku tidak dapat menjalin hubungannya dengannya. Jika Arthur mencintaiku, pasti ia akan berhenti membunuh seseorang. Baiklah. Ia memang tidak membunuh seseorang satu bulan ini, tapi ia selalu saja marah. Dan ia sudah tak terbuka lagi terhadapku. Bahkan ia jarang muncul.
            Aku terkesiap saat aku mendengar teriakan ibuku dari bawah. Sontak aku langsung bangkit dari tempat tidurku lalu membenarkan pakaian yang kupakai. Kukuncir kuda rambutku saat aku membuka pintu kamarku untuk melihat ibuku. Ada apa? Kuharap ayahku tidak ada di bawah karena aku tidak ingin melihatnya untuk sekarang.
            “Mom! Ada apa?” tanya Nathan dari bawah. Aku semakin penasaran apa yang terjadi sekarang. Kakiku berlari kecil melewati tangga untuk turun ke bawah lalu kutemui ibuku bersujud sambil menangis. Ponsel yang ia pegang di tangannya tiba-tiba saja lepas dari tangannya. Jantungku berdetak semakin kencang. Apa yang terjadi?
            “Mom? Apa yang terjadi?” tanyaku bersimpuh di depannya, menyentuh pundaknya.
            “Ayahmu terbunuh Ave!” jerit ibuku menangis. Jantungku teremas detik itu juga. Ayahku? Apa dia sedang bercanda? Aku langsung jatuh ke samping, terduduk. Air mataku langsung menitik secara tiba-tiba tanpa diberi aba-aba. Aku jadi teringat dengan perkataanku tentang aku membencinya. Ayahku, meninggal? Terbunuh? Arthur? Ia bilang ia akan menemui Justin hari ini. Dan hari ini ia meninggal. Apa itu Justin? Apa Justin yang membunuh ayahku? Aku menarik nafasku, berusaha untuk tidak menangis. Tapi ayahku. Ayahku yang selalu menjagaku, yang selalu overprotectif, yang selalu bercanda namun aku tahu candaannya tak pernah lucu bagiku, dan sekarang ia baru saja terbunuh? Tubuhku melemas. Aku terbaring di atas karpet halus milik ayahku. Karpet ini adalah karpet kesukaannya. Dan karpet ini adalah karpet yang bersejarah.
            “Ayah,” bisikku menatap langit-langit ruang keluarga. Aku membencimu! Teriakanku masih terdengar di telingaku. Lalu tatapan matanya yang sakit hati saat aku mengatakan seperti itu. Kau masih terdengar seperti anak remaja! Kau tidak boleh berpacaran dengannya anak muda! Suara ayahku yang kemarin baru saja memarahiku masih terdengar. Dan kata-kataku tadi ..aku berharap agar aku ingin bertemu dengannya saat ini terkabulkan. Tapi aku tidak akan pernah bertemu dengannya selamanya. Keinginanku terkabulkan melebih harapan. Dan tentu saja ibuku tidak berbohong. Tidak mungkin ia menangis seperti ini jika itu hanyalah palsu semata. Kutarik nafasku.
            Apa itu Justin? Aku berusaha sebisa mungkin untuk bangkit dari karpet. Lalu aku berlari menuju kamarku untuk mengambil ponselku dan menekan nomor telepon Justin. Kutunggu jawaban Justin. Satu nada. Dua nada. Aku mondar-mandir dengan air mata masih mengalir. Mata ayahku yang sama warnanya denganku sekarang terlihat begitu jelas dalam bayanganku. Ya Tuhan, kututup mataku hingga air mataku mengalir. Kesal, marah, sedih, sakit hati, bercampur menjadi satu dan rasanya akan meledak dalam tubuhku! Aku ingin mati. Tapi tidak ada jawaban dari Justin.
            Kecurigaanku semakin membesar. Apa memang Arthur yang membunuh ayahku. Kemudian aku teringat dengan ucapan ayahku: “Intinya Ave, aku tidak ingin bekerjasama dengannya lagi. Aku akan membaca ulang surat perjanjian dengannya lalu membatalkan kontrak kerja kami. Mengetahui ia adalah seorang pembunuh membuatku was-was. Bagaimana jika aku yang ia bunuh? Kau ingin kehilangan ayahmu satu-satunya?” Ia sudah menghilang dari kehidupanku. Hati-hati dengan ucapanmu.

***

            Sebentar lagi adalah hari Natal. Biasanya, mendekati hari-hari Natal, aku dan ayahku akan membongkar gudang yang penuh dengan barang-barang Natal. Lalu kami akan memasang pohon Natal dengan meriah. Meski ibuku tidak pernah bersemangat menyambut Natal. Dan sekarang, tidak akan seseorang yang akan mengajakku untuk memasang pohon Natal kembali. Tahu tentang ibuku yang tidak menyukai perayaan Natal membuat semangat Natalku pudar. Air mataku mengalir, menatapi salju yang turun di balik kaca bening yang membatasi kami. Aku tidak turun ke bawah untuk melihat ayahku yang telah berada di dalam peti mati. Hatiku begitu sakit. Rasanya mataku dan jantungku tidak dapat bekerjasama seperti biasanya. Aku pingsan kemarin malam saat ayahku dibawa pulang ke rumah dengan keadaan tewas. Orang sialan itu telah menembak ayahku tepat di kepalanya. Tepat di kepalanya. Mataku memerah, aku ingin menemui Justin hari ini. Tapi kurasa keadaanku tak mendukung. Matahari sebenarnya telah menyambutku beberapa menit yang lalu. Aku sengaja membuka tirai jendela pada malam hari. Berharap aku dapat melihat malaikat ayahku yang masuk melalui jendela. Jika perlu, aku ingin kembali ke masa kecilku lagi. Dimana Peri Gigi akan mengambil gigi di balik bantal lalu saat aku bangun di pagi hari, gigi itu akan berubah menjadi uang dollar. Aku tahu itu hanya kebohongan semata, tapi setidaknya, aku berharap ayahku yang akan menjadi Peri Gigi. Oh! Tidak, tidak. Jangan Peri Gigi. Aku ingin ia menjadi Santa Claus. Oh, tidak. Mengapa sekarang aku terdengar sangat sinting? Kupeluk kedua kakiku yang kutekuk, menempatkan pipiku di ujung lututku sambil mataku masih menatap salju yang turun. Bahkan kasur yang kududuki sekarang, tidak terasa nyaman di bawah bokongku. Oh, ayah. Aku terisak. Bagaimana mungkin ia baru saja meninggal padahal di hari sebelumnya ia baru saja memarahiku?
            Justin atau siapa pun tidak menghubungiku. Arthur. Sudah pasti mereka tidak akan menghubungiku. Arthur adalah pelakunya. Sebelumnya, Arthur telah berjanji untuk tidak membunuh siapa pun. Terlebih ayahku. Jika aku tahu Arthur akan melakukan ini, aku tidak akan pernah berpacaran dengan Justin atau siapa pun.
            “Ave,” kudengar suara Nathan dari luar kamarku sambil mengetuk pintu kamarku. “Ada Mr.Bieber di bawah sana,” Nathan memberitahuku. Justin ada di bawah sana? Apa aku ingin menemuinya? Mengapa ia datang? Apa ia ingin mengatakan kata maaf padaku? Tapi aku juga ingin berbicara dengannya. Oh, sekarang aku berharap mataku buta. Aku tidak ingin menatap Justin karena aku tahu, tiap detik aku menatapnya, ia akan mengikis hatiku secara perlahan-lahan dan tentunya sangat menyakitkan. Aku terdiam sejenak lalu menarik nafas.
            “Suruh dia naik ke atas sini,” ujarku. Lalu aku mendengar suara langkahan kaki turun ke bawah. Kuhembuskan nafasku. Kupakai punggung tanganku untuk menyeka hidungku yang memerah dan mengambil bantalku di belakang lalu menempelkannya pada wajahku. Kemudian aku berteriak. Ah, itu lebih baik. Kutarik kembali bantalku. Bertepatan dengan itu, pintu kamarku terketuk.
            “Ave,” suara Justin. Ya ampun! Aku menundukan kepalaku. Mengapa Justin dapat membuat air mataku mengalir hanya karena ia menyebut namaku? Dia yang membunuh ayahku! Arthur mempunyai pistol dan pisau! Dan ia telah menembakkannya tepat di kepala ayahku layaknya ia membunuh zombie! “Masuk saja,” ujar Nathan dari luar sana lalu ia membukakan pintu untuk Justin. Aku tidak mendongak. Aku tahu Nathan yang membukakan pintu itu untuk Justin. Tidak, ya Tuhan, tidak! Aku tidak ingin menatapJustin. Lalu pintu kamarku tertutup dan terkunci.
            “Ave,” bisik Justin, ragu-ragu. “Ak—“
            “Kau yang membunuh ayahku bukan?” tanyaku langsung menuduhnya. Lalu aku mendongak. Ya ampun. Wajah Justin.
            “Tidak, bukan seperti itu,” bisik Justin menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Kau berkelahi dengan ayahku?”
            “Tidak, Ave, bukan seperti itu,” elak Justin. Bagaimana mungkin ia tidak mengatakan bukan seperti itu? Memang di wajah ayahku tidak terlihat ada memar sedikitpun. Kemudian, pikiranku mulai terbang menuju ..ayahku berbicara dengan Justin, lalu ia meninju wajah Justin, namun Justin atau Arthur tidak berani untuk memukul balik ayahku sehingga Arthur menembak kepala ayahku? Arthur bilang padaku bahwa setiap saat ia membawa pistol yang ia selipkan di dalam kaos kakinya. Aku bangkit dari tempat tidurku lalu menarik nafas.
            “Aku tahu dan memang seperti itu. Kau! Kau yang menembak ayahku Justin!”
            “Ave,” kali ini bukan suara normal Justin. Ini adalah Arthur. Sudah seharusnya ia muncul dan memperlihatkan kejantanannya sebagai lelaki padaku  lalu membela dirinya agar ia tidak bertanggungjawab atas apa yang telah ia perbuat pada ayahku. “Aku tidak membunuhnya,”
            “Pft!” aku terkekeh pelan, tidak percaya. “Kau tentu saja membunuhnya Arthur! Kau marah pada ayahku! Kau marah padaku karena aku tahu, aku memberatkan dirimu supaya kau tidak membunuh siapa pun karena kau begitu takut perusahaanmu akan bangkrut! Karena kau tahu Justin mencintaiku dan kau tidak ingin menyakiti hatinya, maka kau menyerang ayahku agar kau dengan  mudah mendapatkanku! Kau membunuhnya Arthur! Aku tahu!”
            “Ave,” Arthur menarik nafas. “Aku tidak membunuhnya, percaya padaku,”
            “Lalu siapa? Tentu kemarin pagi ia bertemu denganmu karena aku bodoh! Aku memberitahu padanya pada malam sebelumnya tentang hubungan bodohku denganmu,”
            “Ave, jangan bilang seperti itu, kau masih kekasihku,”
            “Tadinya! Tadinya aku memang kekasihmu,”
            “Ave!” ia membentakku, membuatku terkejut setengah mati. Mataku membulat, tak percaya. Lalu Arthur mengambil nafasnya dalam-dalam sambil matanya terpejam. Detik berikutnya ia mengedipkan matanya. “Ave, aku memang tidak menyukai ayahmu, tapi bukan berarti aku membunuhnya,” kali ini nada suaranya lebih rendah. Tapi aku terlanjur sakit hati. Ia telah membentakku. Itu rasanya sangat menyakitkan. Air mataku semakin mengalir.
            “Pergilah,” aku memohon. Mataku yang berair menatap wajahnya yang memar. Sudut bibirnya dan sudut matanya berdarah serta membiru. Hidungnya diberi plester, mungkin patah. Tapi Arthur tidak mendengar ucapanku. Ia tidak ingin beranjak dari kamarku. Arthur menelan ludahnya.
            “Aku memang bertemu dengannya kemarin pagi,” desah Arthur. “Kami membicarakan tentang hubunganku dan kau –“
            “Tidak untuk sekarang,”
            “Ave,” ia menegurku. “Ia bilang padaku bahwa aku adalah pembunuh. Ia tidak masuk ke dalam rumahku. Hanya di teras rumahku, memaki-makiku. Ia bilang, karena aku, kau berubah menjadi anak yang tak menurut. Lalu ia memukul. Awalnya memang Justin yang berbicara dengan ayahmu, namun saat ia meninju Justin, aku muncul di hadapannya. Aku ingin sekali membalas pukulannya, namun aku tidak membalasnya karena aku teringat dirimu,”
            “Oh, Arthur,” desahku terjatuh ke atas lantai, bersimpuh, tidak tahu apa yang harus kukatakan. Apa memang benar apa yang dikatakan Arthur? Aku belum percaya. “Mengapa kau datang?”
            “Karena aku ingin membenarkan apa yang seharusnya dibenarkan,”
            “Apa kau sudah merasa benar?”
            “Aku mengatakan kebenaran karena aku tahu itu benar,” ujar Arthur. “Sial. Aku membiarkan ayahmu memukulku hingga ia puas. Lalu ia pergi dari hadapanku setelah ia memukulku. Kemudian aku tidak menemuinya lagi,”
            “Pembohong,” bisikku. “Pergilah Arthur,” lanjutku masih berbisik. Terlalu banyak tekanan yang orang-orang beriakn padaku. Aku butuh seseorang yang dapat menenangkanku.
            “Baiklah,” bisik Arthur dengan nada suara yang pasrah. “Tapi Ave, satu hal yang harus kauketahui, aku tidak akan pernah sebaik ini sebelum aku bertemu denganmu,” ujarnya membuka pintu kamarku. Aku tidak mendongak untuk melihatnya! Karena setiap perpisahan pasti menyakitkan! Oh, tentu saja. Setiap ada pertemuan, tentu kita akan kembali pada perpisahan. Lalu di balik senyuman, tentu akan ada hati yang tersakiti. “Aku mencintaimu Ave,” bisik Arthur menutup pintu kamarku lalu ia menghilang.

            “Aku membencimu!” teriakku. Aku telah putus. Aku sendirian. Di pagi hari. Air mata menemaniku. Hanya bantal yang dapat membuatku tenang. Ya, bantalku. Dan salju yang masih turun dengan anggun di halaman rumahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar