Pagi
ini aku memberitahu pada ayahku kalau aku akan mencari pekerjaan kembali. Ia
mempercayainya. Well, aku tidak perlu mencari pekerjaan karena aku telah
mendapatkan pekerjaan dari Justin. Lift yang kupijak telah membawaku ke lantai
10, lantai kantor Justin. Aku melangkah keluar dari lift lalu melihat-lihat ke
sekeliling. Tempat ini adalah tempat dimana aku mendapatkan pelepasan
terakhirku dari Justin. Luar biasa liar, untuk yang pertama kalinya. Justin
menyuruhku untuk datang ke kantor jam 8 pagi dan yah, aku telah berada di sini.
Dan apa yang akan kulakukan? Maksudku, siapa tahu Justin masih membutuhkan
asisten lamanya. Aku mungkin hanya akan menjadi patung di dalam ruang kerjanya.
Aku bisa menatap Justin ..seperti selamanya. Dia adalah keindahan. Suatu hal
yang tidak pernah membuatku bosan adalah memikirkannya. Ah, sial! Ave Harris!
Apa yang sedang kaupikirkan? Kau pergi ke kantor Justin adalah untuk bekerja.
Bukan untuk hanya mengaguminya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, jadi
aku memutuskan untuk duduk di sofa. Di lantai 10 ini.
Baiklah,
mungkin aku dapat menggunakan ponselku sekarang setelah beberapa hari ini aku
tidak memakai ponselku. Tentu saja untuk mengirim pesan pada Justin.
Kukeluarkan ponselku untuk mengirim pesan pada Justin. Yeah, aku telah
mendapatkan nomor teleponnya. Ia memberikanku kemarin. Kuketik pesan untuknya,
bertanya kapan ia akan datang. Saat aku menekan kirim, tiba-tiba saja dentingan
pintu lift terdengar. Aku mendongak lalu ..demi Neptunus! Aku ingin mati
sekarang! Rambutnya basah, teratur, itu adalah rambut terseksi yang pernah
kulihat, dan tangannya sedang menggenggam sebuah ponsel, berbicara sesopan
mungkin pada sang penelpon. Siapa pun! Bunuh aku sekarang! Daripada aku harus
tersiksa karena sekarang nafasku tercekat, tertarik keluar dari tubuhku hanya
karenanya. Ia tersentak saat ia melihatku. Ia tidak berbicara, matanya
menatapku begitu tajam. Lalu ia menggumamkan sesuatu untuk menutup teleponnya.
“Ya
Tuhan, bagaimana bisa kau berada di sini? Aku tidak tahu kau akan benar-benar
datang,” ujar ..Max? Aku sekarang sudah tahu nada suara Max seperti apa.
Maksudku, serak, seksi dan ..entahlah, ia adalah lelaki penggoda. Aku dapat
membedakan yang mana Max dan Arthur atau Justin, kurasa begitu. Aku langsung
berdiri, membenarkan rok pendek yang kupakai lalu tersenyum canggung padanya.
Suaraku seakan-akan lenyap dalam tubuhku sehingga aku hanya dapat tersenyum
padanya. Ya Tuhan, tolong berikan kembali suaraku agar aku dapat menyapanya.
Namun terlambat, ia telah menghampiriku lalu memelukku dengan erat. “Oh, ya
Tuhan, aku sangat rindu padamu,” bisiknya mengecup puncak kepalaku dengan
lembut.
“A-aku
juga merindukanmu, Max,” bisikku. Akhirnya! Suaraku telah kembali. Aroma Max
berbeda dengan aroma Justin atau Arthur. Kuhirup aromanya sedalam mungkin agar
aku dapat mengingat aromanya. Beberapa detik setelahnya, ia melepaskan
pelukannya dariku.
“Kau
tampak cantik pagi ini,” gumamnya. “Justin tidak memberitahu padaku bahwa hari
ini kau akan bekerja denganku. Baru saja tadi aku memecat asisten lamaku dan
kau telah berada di sini. Well, dia akan datang untuk memberikanmu
jadwal-jadwal pertemuanku. Kau ingin masuk ke dalam ruang kerjaku? Ya ampun,
aku ingin sekali berbicara denganmu,” ujarnya tampak bersemangat namun ia
pintar sekali untuk menyembunyikan rasa semangatnya itu melalui karismanya. Aku
terlalu bisu untuk menjawab pertanyaannya. Jadi aku membiarkannya menarik
tanganku untuk masuk ke dalam ruang kerjanya. Tangannya memegang lenganku
begitu erat. Seakan-akan ia takut kalau aku lari.
“Seumur
hidupku, aku tidak pernah merasa begitu bahagia,” gumam Max menutup pintu ruang
kerjanya saat kami telah berada di dalamnya. Sebenarnya, aku ingin membahas
tentang kehidupannya. Maksudku, saat ia muncul dalam tubuh Justin. Bagaimana ia
dapat berinteraksi dengan Justin. Apa mungkin ini adalah saat yang tepat untuk
membicarakannya? Aku tidak tahu.
Aku
terduduk di atas sofa miliknya sambil memerhatikannya yang mondar-mandir
–sangat sibuk—untuk menaruh tas kerja yang ia bawa. Lalu ia menghubungi
seseorang untuk membawakan secangkir teh di pagi hari. Baiklah, secangkir teh
di pagi hari mungkin akan sangat menyenangkan. Terlebih lagi ..aku juga rindu
dengan Max. Setelah ia merasa tidak sibuk, ia berjalan ke arahku lalu duduk di
sebelahku dan memelukku kembali. “Ah, akhirnya aku dapat memelukmu lebih
leluasa,”
“Ada
apa dengan keadaan di luar?”
“Tidak
ada,” gumamnya menjauhkan dirinya dariku. “Selamat pagi,” bisiknya, lembut.
Lalu ia menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Senyum tipisnya membuatku
meleleh. Max ..mengapa ia melakukan ini padaku? Max mungkin bisa menjadi
tersangka pertama yang membunuhku hanya karena mengucapkan “Selamat pagi”
padaku namun itu terasa seperti pisau yang menusuk hatiku agar aku tidak dapat
bernafas. Dia memang penggoda yang menawan.
“Selamat
pagi,” balasku. “Ada apa dengan Kevin? Apa kau menyembunyikannya?” tanyaku
sambil menyentuh dadanya, membuka jasnya. Berpura-pura mencari Kevin dalam
tubuhnya. Justin bilang ia selalu datang jam 10 pagi jika Kevin muncul dalam
tubuhnya. Namun sekarang Max muncul jam 8 pagi, bertemu denganku. Kudengar
suara tawa Max yang terdengar ia bernyanyi di telingaku. Kepalanya mengadah ke
belakang, menikmati candaanku, membuatku tersenyum. Bagaimana mungkin ia
terlihat begitu tampan saat ia tertawa? Well, ia selalu tampan tiap saat. Namun
ia bukanlah Justin. Ia hanya Max, bagian dari Justin. Satu tubuh dengan Justin.
Namun tidak sama dengan Justin.
“Kevin
..kurasa ia tertidur dalam tubuhku,”
“Tubuhnya
juga,” bisikku memperbaiki ucapannya. Atau tubuh Justin?
“Well,”
ia memikirkan sesuatu untuk diucapkan sambil tangannya meraih tanganku,
mengelus tanganku dengan lembut. Darah jari-jariku mendidih di bawah
sentuhannya. Usaha apa yang sedang ia lakukan padaku? Usaha menggodaku? Karena
jika ya, dia memang sangat berhasil telah melakukannya. “Kudengar ayahmu telah
tahu bahwa Arthur adalah pembunuh, dari mana ia tahu itu?”
“Aku
tidak tahu. Ia mendengarnya dari rekan kerjanya yang lain. Tapi aku telah
meminta Arthur untuk tidak melakukan itu, secara perlahan-lahan. Mungkin ia
akan belajar,”
“Ia
mencintaimu, kautahu,” bisik Max, menarik kepalaku agar bersandar pada bahunya.
Aku tersenyum kecil mendengar ucapan itu. Yeah, benar. Ia mencintaiku dan itu
membuatku terbang ke langit. Oh, aku tidak pernah merasa begitu nyaman. Pundak
Max mungkin adalah tempat yang dapat membuatku tertidur dalam hitungan detik.
Apa jika aku menangis, pundak ini akan menjadi tempat yang akan dapat membuatku
nyaman? Tenang? Mungkin.
“Aku
tahu, aku tidak tahu Arthur memiliki sisi lembutnya. Kupikir ia hanya lelaki
yang kasar. Dia adalah lelaki pertama yang membuatku jatuh cinta,”
“Benarkah?
Berarti aku bukan yang pertama. Sial! Aku iri pada Arthur. Dia adalah lelaki
pertama yang telah tidur denganmu. Dia lelaki pertama yang mendengar bahwa kau
mencintainya. Lalu, aku adalah lelaki pertama yang ..?”
“Kau
lelaki pertama yang membuatku nyaman berada di sebelahmu. Pundakmu mungkin akan
menjadi tempatku untuk tidur,”
“Oh,
aku tidak tahu kau akan tidur di pundakku. Maksudku, kau sudah tahu aku bukan?
Terlebih lagi ..aku bukan lelaki yang dapat menahan godaan sepertimu. Kau setan
penggoda yang tak dapat kujelaskan dengan kata-kata,” ujar Max yang membuatku
tersipu namun tersinggung. Setan penggoda?
“Setan
penggoda?” tanyaku mendongak. Ia tersenyum penuh rahasia. “Ya.”
***
Justin
menunjukkanku bintang-bintang di langit yang terlihat sangat terang di bawah
sini. Pemikiran yang membuatku tak habis pikir adalah aku masih berhubungan
dengan Justin sejak satu bulan yang lalu tanpa sepengetahuan ayahku. Ayahku
sudah tidak pernah menyinggung tentang Justin lagi sejak pembicaraan sarapan
pagi itu membuat kami bertengkar. Ia lebih sering berbicara tentang Elliot.
Tapi aku selalu berpura-pura tertarik membicarakan tentang Elliot. Clark telah
terlelap satu jam yang lalu. Kata Justin, malam ini adalah malam yang tepat
untuk membicarakan tentang Arthur. Tapi, bukan membicarakan tentang Arthur, ia
malah membicarakan tentang bintang-bintang di langit. Bulan juga telah menemani
bintang-bintang di atas sana. Di balkon kamarnya, kami berdiri. Tangannya
merangkul pinggangku dengan erat sedangkan kepalaku tersandar pada dadanya.
“Kau
lebih memilih menjadi apa? Bintang? Atau bulan?” tanya Justin, tiba-tiba. Aku
menarik nafas. Aku tidak menyukai keduanya. Aku hanya menyukai Matahari. Tanpa
Matahari, manusia di dunia tidak akan dapat hidup. Meski bintang memiliki
populasi lebih banyak dibanding Matahari yang hanya ada satu di galaksi.
Kuhembuskan nafasku.
“Aku
lebih memilih menjadi Matahari,” bisikku menghembuskan nafas.
“Ya,
kau benar. Kau cocok menjadi Matahari,” gumam Justin mengecup kepalaku dengan
lembut, “tapi aku lebih memilih Ave Harris dibanding Matahari,”
“Terserah
kau,” ujarku memukul pelan dada Justin sambil membalikkan tubuhku ke belakang
untuk melihatnya. Ia tertawa kecil lalu dengan sigap ia memegang kedua tanganku
saat aku dengan bodohnya tersandung dengan kakiku sendiri, hampir saja aku
jatuh di atasnya. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan sekarang, tapi aku ragu.
Apa hubungan ini akan terus berlanjut? Atau masa-masa indah ini akan cepat
berakhir? Setelah aku mengetahui ayahku tidak menyukai Justin, itu membuatku
cukup ragu untuk menjalani hubungan ini. Namun apa yang dapat membuatku tidak
jatuh cinta pada Justin? Satu bulan ini Justin dapat mengendalikan
kepribadiannya. Meski Arthur tampaknya masih memiliki niat untuk membunuh
banyak orang.
“Apa
yang kaupikirkan?” tanya Justin mengetuk-ketuk kepalaku dengan satu jari
telunjuknya sehingga mataku yang awalnya menatap lehernya langsung mendongak
melihat matanya. Saat mataku dan matanya bertemu, jari telunjuk Justin
menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Apa aku harus mengatakan perasaanku
ini? Aku jatuh cinta pada lima orang lelaki –yang salah satu diantaranya adalah
seorang anak kecil. Namun ayahku tentu tidak akan menyetujui hubungan ini
sehubungan dengan pengetahuannya tentang Justin adalah seorang pembunuh.
Kutempatkan telapak tanganku pada pipi Justin lalu mengelusnya dengan lembut.
“Kau
tentu tahu apa yang kupikirkan Justin,” desahku, pelan. “Ayahku. Dia tidak
menyukaimu. Bagaimana jika ia tahu hubungan kita? Ia takut Arthur akan
membunuhku. Andai Arthur dapat mengendalikan emosinya. Akhir-akhir ini aku
selalu mendapati Arthur menggumam sendiri di kamar, memukul meja, namun saat
aku bertanya, ia mengatakan tidak apa-apa. Ada apa dengannya?” pertanyaan
sekaligus pernyataan itu kuluncur begitu saja. Tangan kiri Justin memegang
pinggang rampingku lalu menariknya pada tubuhnya sehingga tubuh kami saling
bersentuh. Tidak, aku tidak menginginkannya untuk sekarang ini. Aku ingin
membicarakan sesuatu yang serius dengannya. Masa depanku dengannya.
“Kau
bilang padaku kalau ayahmu akan membatalkan kontrak diantara kami, tapi tidak.
Sampai sekarang tidak. Ini sudah satu bulan lebih, Ave. Ia tidak membenciku,
aku tahu itu,” bisik Justin berusaha meyakinkanku. Memang! Memang ayahku tidak
jadi membatalkan perjanjian itu. Pikiran negatif mulai menyerang otakku. Apa
ayahku sengaja masih bekerja dengan Justin supaya ia dapat mencaritahu lebih
dalam lagi tentang Justin? Atau mungkin ayahku bekerja dengan Justin agar ia
tahu hubungan apa yang kujalani bersama Justin? Karena selama ini aku tidak
pernah membicarakan Justin, sama sepertinya. Kujatuhkan keningku pada dada
Justin, merengek.
“Bagaimana
kau tahu ia tidak membencimu? Baiklah, ia memang tidak pernah membicarakanmu
akhir-akhir ini, tapi siapa tahu ia sedang mencaritahu tentangmu bahwa kau
memang seorang pembunuh?” –kening Justin mengkerut tiba-tiba—“maksudku, Arthur
memang seorang pembunuh?” kerutan di keningnya telah menghilang. Ia tidak
menjawab pertanyaanku, namun ia langsung memelukku dengan erat. Bibirnya telah
berada di dalam leherku yang terasa begitu hangat sekarang. Hembusan nafas
Justin dapat kurasakan lebih hangat dan itu berhasil mengalahkan angin malam
yang sangat dingin. Aku penasaran, apa di dunia adalah seorang yang lain yang
dapat memelukku sehangat dan senyaman Justin? Aku tidak mengharapkannya juga.
Aku hanya mengharapkan Justin selalu ada di sisiku, hanya itu.
“Semuanya
akan baik-baik saja,” bisik Justin mengelus kepalaku dengan lembut. “Satu hal
yang harus kauketahui, Ave. Jika kau mencintai salah satu diantara kami, itu
artinya kau mencintai kami secara keseluruhan,” kecup Justin pada puncak
kepalaku lalu aku dapat mendengar ia menghirup nafasnya dalam-dalam. Mencium
wangi rambutku yang baru saja kucuci bersama dengan Clark. Yeah, aku mandi bersama
dengan Clark dan itu tidak apa-apa.
“Aku
mencintaimu,” bisikku memejamkan mata. Harapanku sekarang; waktu berhenti untuk
sesaat. Aku tidak ingin waktu ini merenggut kenyamananku bersama Justin. Jika
Tuhan memberikanku satu permohonan, aku akan memohon untuk tidak mengambil
Justin daripadaku. Tapi itu tidak mungkin. Aku tahu. Tidak akan ada yang abadi
di dunia ini. “Aku mencintaimu. Justin, Arthur, Darren, Max ..dan kau, Kevin.
Ingin tahu rahasiaku, Justin?” tanyaku mendongakkan kepalaku, tanpa berusaha
untuk pergi dari pelukan Justin.
“Apa
itu?”
“Tapi
ini akan bukan menjadi rahasia lagi jika aku memberitahumu. Jadi mungkin
rahasia ini akan hanya diketahui oleh kau dan aku,” ujarku, bertele-tele. Aku
ingin membuat Justin penasaran. Tapi aku tahu, aku tidak bisa. Karena aku sudah
tahu Justin. Ia tipe lelaki yang tidak begitu penasaran pada seseorang.
Maksudku, ia ingin tahu apa yang kita pikirkan, tapi jika kita tidak ingin
memberitahunya, ia tidak apa-apa. Ia bukanlah lelaki pemaksa seperti Arthur atau
Max. Darren dan Justin hampir sama. Bedanya, Darren lebih ramah dan tentu saja,
menyenangkan.
“Ya,
dan apa itu?”
“Rahasiaku.
Aku selalu menatapi wajahmu saat kau tertidur, tiap kali aku menginap di
rumahmu. Lalu seperti aku dapat mengambil wajahmu darimu, aku menyimpannya agar
aku tidak akan merindukanmu di rumah nanti. Karena aku tahu, aku akan
merindukanmu,” bisikku malu-malu. Tapi itu memang kenyataannya. Aku selalu
mengingat wajah Justin agar aku tidak merindukannya. Karena merindukannya sama
dengan menyakitkan. Seperti iblis berusaha untuk menjauhiku dari Justin. Namun
Justin hanya memunculkan alisnya yang terangkat, terkejut. Tapi terkejut dengan
tenang.
“Itu
manis,” bisik Justin mengelus pipiku dengan buku-buku jarinya. “Kau ingin tahu
rahasiaku?”
“Tentu
saja, itu adalah keinginanku sekarang,”
“Kau
yakin?” tanya Justin, kali ini ia mengangkat salah satu alisnya. Berusaha untuk
membuatku penasaran. Tapi memang! Aku memang penasaran! Kuanggukan kepalaku
penuh dengan rasa antusias.
“Aku
tahu apa yang sedang kaulakukan Justin! Dan itu tidak lucu sama sekali,”
Justin
terkekeh. “Baiklah. Baiklah,” gumam Justin menundukan kepalanya. Menempatkan
bibirnya di sebelah telingaku lalu ia bernafas. “Aku mencintaimu.” Oh itu
sangat manis. Aku rasanya ingin menangis. Dia memang bukan seorang lelaki yang
romantis dan aku memang tidak mengharapkannya agar ia menjadi seorang lelaki
yang romantis. Bagiku, Justin sudah sempurna. Tak terasa air mataku mengalir.
Aku takut. Sangat takut kehilangan Justin sekarang. Bagaimana jika ia memang
bukanlah lelaki yang tepat untukku? Tapi aku mencintainya. Aku tidak ingin
lenyap begitu saja dalam tubuhku. Aku tidak ingin ia tidak berada di hadapanku
lagi. Tidak ada lagi yang kuinginkan selain bersama dengan Justin. Justin
menarik kepalanya dari sebelah kepalaku lalu kedua alisnya saling bertautan
saat ia melihat padaku.
“Jangan
menangis,”
“Oh,
Justin,” desahku ketakutan. “Aku takut kehilangan dirimu!”
“Mengapa?”
tanyanya, tampak tidak merasa ada masalah sedikitpun.
“Bagaimana
jika ayahku mengetahui ini? Oh, ini sangat Romeo dan Juliet!” seruku menahan
tangis, berusaha untuk tertawa dengan leluconku sendiri. Tapi itu tidak lucu!
Tidak sama sekali. Justin terkekeh pelan lalu ia kembali memelukku, berusaha
untuk menenangkanku kembali.
“Aku
akan berbicara dengan ayahmu, secepatnya,”
“Apa?”
aku terkejut, namun aku tidak menaikkan nada suaraku. Aku menjauh dari tubuh
Justin sehingga sekarang pinggulku menyentuh pada sisi balkon. Aku tidak
percaya Justin akan melakukan itu! Apa Justin ingin hubungan ini kandas di
tengah jalan hanya karena ia berbicara dengan ayahku? Aku lebih memilih untuk
kabur bersamanya dibanding ia harus berbicara dengan ayahku jika itu dapat
membuat hubungan kami putus. “Tidak! Kau tidak boleh melakukan itu!” aku
berteriak, panik.
“Mengapa?”
“Dia
tidak akan mendengarkan apa yang kaukatakan Justin! Ayahku adalah orang yang
keras kepala!”
“Mengapa
kau tidak ingin mencobanya? Aku tidak akan pernah bisa menikahimu jika aku
tidak boleh berbicara dengan ayahmu,” ujarnya, bingung melihat reaksiku. Tentu
saja aku panik! Dan, apa? Dia ingin menikahiku? Baiklah. Tenangkan pikiranmu
Ave! Hitung sampai sepuluh! Aku menghitung sampai sepuluh sambil aku berpikir
bagaimana caranya agar Justin tidak berbicara dengan ayahku. Baiklah. Seperti
ini. Justin ingin berbicara dengan ayahku ..untuk menikahiku? Apa itu
maksudnya? Oh ya ampun, aku ingin menangis hanya karena ini.
“Justin,
ini sungguh salah. Tidak, tolong jangan berbicara dengan ayahku,”
“Mengapa
kau sangat keras kepala?” kali ini nada suara Justin terdengar sangat kesal
namun ia berusaha untuk terlihat tenang. Aku menggelengkan kepalaku tak percaya
ia baru saja mengatakan padaku bahwa aku keras kepala! Aku keras kepala untuk
kebaikan hubungan kami juga!
“Aku
hanya tidak ingin hubungan ini putus hanya karena kau berbicara dengan ayahku!
Sudah, aku tidak ingin membicarakan ini lagi. Pembahasan selesai Justin!”
ujarku melangkah pergi darinya. Aku ingin pulang. Ini sudah malam. Begitu
banyak yang harus kupikirkan malam ini. Pekerjaan, Justin, lalu ayah. Tuhan,
bantu aku untuk menyelesaikan masalah ini!
***
“Dari
mana saja kau Ave?” tanya ayahku saat aku melewati ruang keluarga. Aku berhenti
melangkahkan kakiku sejenak. Apa yang harus kukatakan pada ayahku? Aku tidak
bisa selamanya berbohong padanya.
“Dari
rumah Justin,” bisikku. Namun ayahku langsung berdiri dari sofa ruang keluarga
saat ia sedang menonton olahraga Tenis. Matanya tiba-tiba saja penuh dengan
nyala api. Ia sangat marah padaku. Ya Tuhan, bodohnya aku! Aku yang
mengharapkan agar ayahku tidak mengetahui hubungan kami, tapi justru aku yang
berbicara pertama pada ayahku. Bagaimana mungkin aku bisa sebodoh ini?
“Baiklah. Maafkan aku ayah. Tapi aku memang berpacaran dengan Justin. Aku
bekerja di perusahaan Justin selama satu bulan ini. Kuharap ayah dapat
mengerti. Sekarang, kumohon izinkan aku untuk pergi ke kamar dan menenangkan
pikiranku,” ujarku meminta jawabannya. Ayahku terdiam sejenak, matanya
membulat. Mulutnya berbentuk seperti huruf O. Nafasnya seakan-akan tertarik
dari tubuhnya. Aku tahu ini pasti akan mengejutkannya! Aku yang anaknya sendiri
saja sudah dapat membuatnya terkejut setengah mati, bagaimana Justin? Lelaki
yang ayahku tidak sukai.
“Sayang?
Ayah sedang tidak ingin bercanda,”
“Aku
tidak bercanda denganmu sekarang!” seruku.
Kedua
alisnya saling bertautan, efek negatif mulai menerjang tubuhku. Aku tahu ayahku
akan sangat marah besar padaku. Sial. “Kau tidak bisa berpacaran dengannya,
anak muda! Aku tidak habis pikir mengapa bisa-bisanya kau berbohong padaku.
Sekarang, pergi ke atas dan jangan keluar rumah selama satu minggu,” ujar
ayahku. Aku tidak percaya ayahku masih menganggapku masih seperti anak remaja.
“Aku
bukan anak remaja ayah!”
“Kubilang
pergi ke kamarmu! Kau telah berbohong padaku dan telah menentang apa yang
kubilang padamu! Ave Harris, aku tidak perlu menarikmu ke atas bukan?” tanya
ayahku, membentak. Aku ..ya Tuhan, dia benar-benar marah. Air mataku telah
mengalir beberapa detik yang lalu. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tidak akan
bisa bertemu dengan ayahku lagi.
“Aku
membencimu!” teriakku melangkah pergi dari hadapannya.
“Ave
Harris!” bentak ayahku, matanya membulat. Tak percaya apa yang baru saja
kukatakan. Ya Tuhan, aku merasa bersalah padanya. Tapi aku mungkin dengan aku
mengatakan seperti itu padanya akan membuatnya berpikir bahwa aku bukanlah
seorang anak kecil lagi. Aku sudah dewasa. Aku dapat mengambil keputusan
sendiri. Dan aku tahu, mana yang benar dan yang salah. “Kau benar-benar berada
dalam masalah besar anak muda!” teriak ayahku saat aku telah berada di atas
lantai dua.
“Terserah
apa katamu ayah! Aku tidak peduli!”
“Kau
masih terdengar seperti anak remaja!”
“Karena
kau yang memperlakukanku seperti anak remaja!” aku tak ingin kalah.
“Ave
Harris!” kubanting pintu kamarku saat ia meneriaki namaku. Aku ingin Justin
berada di sini, sekarang juga.
***
Aku
mengurung diri di dalam kamar selama mungkin. Mungkin sekarang sudah sore dan
aku masih belum menyentuh makanan atau minuman. Tapi aku sangat haus. Tadi pagi
ayahku memberitahu padaku kalau ia akan berbicara pada Justin tentang hubungan
kami dan kami harus putus. Aku tidak mengerti dengan ayahku. Mengapa ia
sepertinya tidak ingin membiarkanku bahagia bersama dengan lelaki yang kucintai
pertama kali dalam hidupku? Sampai sore ini aku tidak menerima panggilan
telepon dari Justin. Ada apa? Aku ingin menghubunginya tapi aku tidak berani.
Kemarin adalah pertama kalinya kami bertengkar. Uh, sungguh sial. Mataku sembab
akibat tangisanku dari tadi malam hingga siang hari. Aku tidur hanya sebentar
dikarenakan aku mendapatkan mimpi buruk yang aneh. Seperti aku melihat darah
atau semacamnya yang benar-benar berhubungan dengan pembunuhan. Apa ini karena
Arthur yang terus kupikirkan? Karena Arthur, aku tidak dapat menjalin hubungannya
dengannya. Jika Arthur mencintaiku, pasti ia akan berhenti membunuh seseorang.
Baiklah. Ia memang tidak membunuh seseorang satu bulan ini, tapi ia selalu saja
marah. Dan ia sudah tak terbuka lagi terhadapku. Bahkan ia jarang muncul.
Aku
terkesiap saat aku mendengar teriakan ibuku dari bawah. Sontak aku langsung
bangkit dari tempat tidurku lalu membenarkan pakaian yang kupakai. Kukuncir
kuda rambutku saat aku membuka pintu kamarku untuk melihat ibuku. Ada apa?
Kuharap ayahku tidak ada di bawah karena aku tidak ingin melihatnya untuk
sekarang.
“Mom!
Ada apa?” tanya Nathan dari bawah. Aku semakin penasaran apa yang terjadi
sekarang. Kakiku berlari kecil melewati tangga untuk turun ke bawah lalu
kutemui ibuku bersujud sambil menangis. Ponsel yang ia pegang di tangannya
tiba-tiba saja lepas dari tangannya. Jantungku berdetak semakin kencang. Apa
yang terjadi?
“Mom?
Apa yang terjadi?” tanyaku bersimpuh di depannya, menyentuh pundaknya.
“Ayahmu
terbunuh Ave!” jerit ibuku menangis. Jantungku teremas detik itu juga. Ayahku?
Apa dia sedang bercanda? Aku langsung jatuh ke samping, terduduk. Air mataku
langsung menitik secara tiba-tiba tanpa diberi aba-aba. Aku jadi teringat
dengan perkataanku tentang aku membencinya. Ayahku, meninggal? Terbunuh?
Arthur? Ia bilang ia akan menemui Justin hari ini. Dan hari ini ia meninggal.
Apa itu Justin? Apa Justin yang membunuh ayahku? Aku menarik nafasku, berusaha
untuk tidak menangis. Tapi ayahku. Ayahku yang selalu menjagaku, yang selalu
overprotectif, yang selalu bercanda namun aku tahu candaannya tak pernah lucu
bagiku, dan sekarang ia baru saja terbunuh? Tubuhku melemas. Aku terbaring di
atas karpet halus milik ayahku. Karpet ini adalah karpet kesukaannya. Dan
karpet ini adalah karpet yang bersejarah.
“Ayah,”
bisikku menatap langit-langit ruang keluarga. Aku membencimu! Teriakanku masih terdengar di telingaku. Lalu
tatapan matanya yang sakit hati saat aku mengatakan seperti itu. Kau masih terdengar seperti anak remaja! Kau
tidak boleh berpacaran dengannya anak muda! Suara ayahku yang kemarin baru
saja memarahiku masih terdengar. Dan kata-kataku tadi ..aku berharap agar aku
ingin bertemu dengannya saat ini terkabulkan. Tapi aku tidak akan pernah
bertemu dengannya selamanya. Keinginanku terkabulkan melebih harapan. Dan tentu
saja ibuku tidak berbohong. Tidak mungkin ia menangis seperti ini jika itu
hanyalah palsu semata. Kutarik nafasku.
Apa
itu Justin? Aku berusaha sebisa mungkin untuk bangkit dari karpet. Lalu aku
berlari menuju kamarku untuk mengambil ponselku dan menekan nomor telepon
Justin. Kutunggu jawaban Justin. Satu nada. Dua nada. Aku mondar-mandir dengan
air mata masih mengalir. Mata ayahku yang sama warnanya denganku sekarang
terlihat begitu jelas dalam bayanganku. Ya Tuhan, kututup mataku hingga air
mataku mengalir. Kesal, marah, sedih, sakit hati, bercampur menjadi satu dan
rasanya akan meledak dalam tubuhku! Aku ingin mati. Tapi tidak ada jawaban dari
Justin.
Kecurigaanku
semakin membesar. Apa memang Arthur yang membunuh ayahku. Kemudian aku teringat
dengan ucapan ayahku: “Intinya Ave, aku
tidak ingin bekerjasama dengannya lagi. Aku akan membaca ulang surat perjanjian
dengannya lalu membatalkan kontrak kerja kami. Mengetahui ia adalah seorang
pembunuh membuatku was-was. Bagaimana jika aku yang ia bunuh? Kau ingin
kehilangan ayahmu satu-satunya?” Ia sudah menghilang dari kehidupanku.
Hati-hati dengan ucapanmu.
***
Sebentar
lagi adalah hari Natal. Biasanya, mendekati hari-hari Natal, aku dan ayahku
akan membongkar gudang yang penuh dengan barang-barang Natal. Lalu kami akan
memasang pohon Natal dengan meriah. Meski ibuku tidak pernah bersemangat
menyambut Natal. Dan sekarang, tidak akan seseorang yang akan mengajakku untuk
memasang pohon Natal kembali. Tahu tentang ibuku yang tidak menyukai perayaan
Natal membuat semangat Natalku pudar. Air mataku mengalir, menatapi salju yang
turun di balik kaca bening yang membatasi kami. Aku tidak turun ke bawah untuk
melihat ayahku yang telah berada di dalam peti mati. Hatiku begitu sakit.
Rasanya mataku dan jantungku tidak dapat bekerjasama seperti biasanya. Aku
pingsan kemarin malam saat ayahku dibawa pulang ke rumah dengan keadaan tewas.
Orang sialan itu telah menembak ayahku tepat di kepalanya. Tepat di kepalanya. Mataku memerah, aku ingin menemui Justin hari
ini. Tapi kurasa keadaanku tak mendukung. Matahari sebenarnya telah menyambutku
beberapa menit yang lalu. Aku sengaja membuka tirai jendela pada malam hari.
Berharap aku dapat melihat malaikat ayahku yang masuk melalui jendela. Jika
perlu, aku ingin kembali ke masa kecilku lagi. Dimana Peri Gigi akan mengambil
gigi di balik bantal lalu saat aku bangun di pagi hari, gigi itu akan berubah
menjadi uang dollar. Aku tahu itu hanya kebohongan semata, tapi setidaknya, aku
berharap ayahku yang akan menjadi Peri Gigi. Oh! Tidak, tidak. Jangan Peri
Gigi. Aku ingin ia menjadi Santa Claus. Oh, tidak. Mengapa sekarang aku
terdengar sangat sinting? Kupeluk kedua kakiku yang kutekuk, menempatkan pipiku
di ujung lututku sambil mataku masih menatap salju yang turun. Bahkan kasur
yang kududuki sekarang, tidak terasa nyaman di bawah bokongku. Oh, ayah. Aku
terisak. Bagaimana mungkin ia baru saja meninggal padahal di hari sebelumnya ia
baru saja memarahiku?
Justin
atau siapa pun tidak menghubungiku. Arthur. Sudah pasti mereka tidak akan menghubungiku.
Arthur adalah pelakunya. Sebelumnya, Arthur telah berjanji untuk tidak membunuh
siapa pun. Terlebih ayahku. Jika aku tahu Arthur akan melakukan ini, aku tidak
akan pernah berpacaran dengan Justin atau siapa pun.
“Ave,”
kudengar suara Nathan dari luar kamarku sambil mengetuk pintu kamarku. “Ada
Mr.Bieber di bawah sana,” Nathan memberitahuku. Justin ada di bawah sana? Apa
aku ingin menemuinya? Mengapa ia datang? Apa ia ingin mengatakan kata maaf
padaku? Tapi aku juga ingin berbicara dengannya. Oh, sekarang aku berharap
mataku buta. Aku tidak ingin menatap Justin karena aku tahu, tiap detik aku
menatapnya, ia akan mengikis hatiku secara perlahan-lahan dan tentunya sangat
menyakitkan. Aku terdiam sejenak lalu menarik nafas.
“Suruh
dia naik ke atas sini,” ujarku. Lalu aku mendengar suara langkahan kaki turun
ke bawah. Kuhembuskan nafasku. Kupakai punggung tanganku untuk menyeka hidungku
yang memerah dan mengambil bantalku di belakang lalu menempelkannya pada
wajahku. Kemudian aku berteriak. Ah, itu lebih baik. Kutarik kembali bantalku.
Bertepatan dengan itu, pintu kamarku terketuk.
“Ave,”
suara Justin. Ya ampun! Aku menundukan kepalaku. Mengapa Justin dapat membuat
air mataku mengalir hanya karena ia menyebut namaku? Dia yang membunuh ayahku!
Arthur mempunyai pistol dan pisau! Dan ia telah menembakkannya tepat di kepala
ayahku layaknya ia membunuh zombie! “Masuk saja,” ujar Nathan dari luar sana
lalu ia membukakan pintu untuk Justin. Aku tidak mendongak. Aku tahu Nathan
yang membukakan pintu itu untuk Justin. Tidak, ya Tuhan, tidak! Aku tidak ingin
menatapJustin. Lalu pintu kamarku tertutup dan terkunci.
“Ave,”
bisik Justin, ragu-ragu. “Ak—“
“Kau
yang membunuh ayahku bukan?” tanyaku langsung menuduhnya. Lalu aku mendongak.
Ya ampun. Wajah Justin.
“Tidak,
bukan seperti itu,” bisik Justin menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kau
berkelahi dengan ayahku?”
“Tidak,
Ave, bukan seperti itu,” elak Justin. Bagaimana mungkin ia tidak mengatakan
bukan seperti itu? Memang di wajah ayahku tidak terlihat ada memar sedikitpun.
Kemudian, pikiranku mulai terbang menuju ..ayahku berbicara dengan Justin, lalu
ia meninju wajah Justin, namun Justin atau Arthur tidak berani untuk memukul
balik ayahku sehingga Arthur menembak kepala ayahku? Arthur bilang padaku bahwa
setiap saat ia membawa pistol yang ia selipkan di dalam kaos kakinya. Aku
bangkit dari tempat tidurku lalu menarik nafas.
“Aku
tahu dan memang seperti itu. Kau! Kau yang menembak ayahku Justin!”
“Ave,”
kali ini bukan suara normal Justin. Ini adalah Arthur. Sudah seharusnya ia
muncul dan memperlihatkan kejantanannya sebagai lelaki padaku lalu membela dirinya agar ia tidak
bertanggungjawab atas apa yang telah ia perbuat pada ayahku. “Aku tidak
membunuhnya,”
“Pft!”
aku terkekeh pelan, tidak percaya. “Kau tentu saja membunuhnya Arthur! Kau
marah pada ayahku! Kau marah padaku karena aku tahu, aku memberatkan dirimu
supaya kau tidak membunuh siapa pun karena kau begitu takut perusahaanmu akan
bangkrut! Karena kau tahu Justin mencintaiku dan kau tidak ingin menyakiti
hatinya, maka kau menyerang ayahku agar kau dengan mudah mendapatkanku! Kau membunuhnya Arthur!
Aku tahu!”
“Ave,”
Arthur menarik nafas. “Aku tidak membunuhnya, percaya padaku,”
“Lalu
siapa? Tentu kemarin pagi ia bertemu denganmu karena aku bodoh! Aku memberitahu
padanya pada malam sebelumnya tentang hubungan bodohku denganmu,”
“Ave,
jangan bilang seperti itu, kau masih kekasihku,”
“Tadinya!
Tadinya aku memang kekasihmu,”
“Ave!”
ia membentakku, membuatku terkejut setengah mati. Mataku membulat, tak percaya.
Lalu Arthur mengambil nafasnya dalam-dalam sambil matanya terpejam. Detik
berikutnya ia mengedipkan matanya. “Ave, aku memang tidak menyukai ayahmu, tapi
bukan berarti aku membunuhnya,” kali ini nada suaranya lebih rendah. Tapi aku
terlanjur sakit hati. Ia telah membentakku. Itu rasanya sangat menyakitkan. Air
mataku semakin mengalir.
“Pergilah,”
aku memohon. Mataku yang berair menatap wajahnya yang memar. Sudut bibirnya dan
sudut matanya berdarah serta membiru. Hidungnya diberi plester, mungkin patah.
Tapi Arthur tidak mendengar ucapanku. Ia tidak ingin beranjak dari kamarku. Arthur
menelan ludahnya.
“Aku
memang bertemu dengannya kemarin pagi,” desah Arthur. “Kami membicarakan
tentang hubunganku dan kau –“
“Tidak
untuk sekarang,”
“Ave,”
ia menegurku. “Ia bilang padaku bahwa aku adalah pembunuh. Ia tidak masuk ke
dalam rumahku. Hanya di teras rumahku, memaki-makiku. Ia bilang, karena aku,
kau berubah menjadi anak yang tak menurut. Lalu ia memukul. Awalnya memang
Justin yang berbicara dengan ayahmu, namun saat ia meninju Justin, aku muncul
di hadapannya. Aku ingin sekali membalas pukulannya, namun aku tidak
membalasnya karena aku teringat dirimu,”
“Oh,
Arthur,” desahku terjatuh ke atas lantai, bersimpuh, tidak tahu apa yang harus
kukatakan. Apa memang benar apa yang dikatakan Arthur? Aku belum percaya.
“Mengapa kau datang?”
“Karena
aku ingin membenarkan apa yang seharusnya dibenarkan,”
“Apa
kau sudah merasa benar?”
“Aku
mengatakan kebenaran karena aku tahu itu benar,” ujar Arthur. “Sial. Aku membiarkan
ayahmu memukulku hingga ia puas. Lalu ia pergi dari hadapanku setelah ia
memukulku. Kemudian aku tidak menemuinya lagi,”
“Pembohong,”
bisikku. “Pergilah Arthur,” lanjutku masih berbisik. Terlalu banyak tekanan
yang orang-orang beriakn padaku. Aku butuh seseorang yang dapat menenangkanku.
“Baiklah,”
bisik Arthur dengan nada suara yang pasrah. “Tapi Ave, satu hal yang harus
kauketahui, aku tidak akan pernah sebaik ini sebelum aku bertemu denganmu,”
ujarnya membuka pintu kamarku. Aku tidak mendongak untuk melihatnya! Karena
setiap perpisahan pasti menyakitkan! Oh, tentu saja. Setiap ada pertemuan,
tentu kita akan kembali pada perpisahan. Lalu di balik senyuman, tentu akan ada
hati yang tersakiti. “Aku mencintaimu Ave,” bisik Arthur menutup pintu kamarku
lalu ia menghilang.
“Aku
membencimu!” teriakku. Aku telah putus. Aku sendirian. Di pagi hari. Air mata
menemaniku. Hanya bantal yang dapat membuatku tenang. Ya, bantalku. Dan salju
yang masih turun dengan anggun di halaman rumahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar