***
Semuanya
terlihat baik-baik saja. Penampilanku juga terlihat baik-baik saja, tapi tidak
dengan jiwaku yang selalu bersedih. Hari Natal sudah lewat. Aku tidak
merayakannya sama seperti tahun lalu. Tidak ada ayah, rasanya bukan seperti
Natal. Mengapa ia harus meninggal di hari sebelum Natal? Aku tidak bisa
memasang pohon Natal sendirian tanpanya. Dan dua hari lagi adalah tahun baru.
Sudah satu minggu lebih aku tidak bertemu dengan Justin. Aku tidak bekerja lagi
di kantornya. Apa kau gila? Mana ada seorang pun yang baru saja kehilangan
orang yang sangat ia cintai bekerja dengan baik? Tentu ia akan mengalami stress
berkepanjangan. Sama sepertiku. Hanya saja, rambutku masih tertata rapi. Salju
sudah berhenti turun namun masih menyisakan salju putih bersih di atas tanah. Ibuku
tampak tegar dibanding diriku. Ia mencoba tersenyum, pergi ke Gereja, lalu
pulang kembali. Seperti tidak ada yang hilang dari dirinya. Ia tentu tahu,
belahan jiwanya telah pergi. Tapi seharusnya aku belajar darinya. Berusaha
tersenyum meski dalam tubuh ini sungguh sakit.
Aku
mendapat kabar dari Elliot bahwa tahun baru nanti, akan ada sebuah pesta meriah
menyambut tahun baru di pusat kota. Aku sungguh bersemangat saat mendengarnya.
Mungkin dengan acara tahun baru ini, aku
akan merasa lebih baik. Terlebih lagi, hanya Elliot yang selalu berada di
sisiku saat aku sedang terpuruk. Malam ini, aku pergi jalan-jalan bersama
dengannya. Melihat orang-orang sedang bermain skating begitu riang di luar
pintu. Burung-burung malam ini sudah tidak terlihat lagi. Lampu-lampu malam
tampak berseri-seri karena malam ini terlihat begitu spesial. Jaket biru atau
merah telah dikenakan oleh anak-anak dengan sepatu skating sebelum mereka masuk
ke dalam arena skating. Tempat ini sungguh mengagumkan. Aku jadi teringat saat
pertama kali aku bermain bersama dengan ayahku. Oh, tidak. Jangan ayah. Aku
tidak ingin mengingat ayahku, itu akan membuatku menangis.
“Menurutku,
Ave. Bukan Justin pelakunya. Aku pikir, anak dari bosmu yang melakukannya,”
tiba-tiba saja Elliot berujar di sebelahku. Aku mengangkat kedua bahuku, tak
tahu dan tak ingin berpikir lagi. Tentu saja Justin. Tidak mungkin Ian. Mengapa
ia ingin melakukan itu?
“Karena
kau telah mempermalukan anak bosmu itu di depan para karyawan dan kau telah
menolaknya mentah-mentah,”
“Mengapa
harus ayahku?”
“Karena
mungkin dia tahu, kau sangat menyayangi ayahmu. Kau tahu, menyakiti seseorang
yang paling menyakitkan di dunia ini bukan melalui fisik. Setiap orang pasti
tahu dimana, yeah, di hatimu. Sasaran utama untuk menjatuhkan seseorang adalah
dengan menyakiti hatimu,” ujar Elliot. Aku menjabarkan kalimatnya yang baru
saja ia ucapkan. Sasaran utama untuk menjatuhkan seseorang adalah dengan
menyakiti hatimu. Benarkah? Apa aku telah menyakiti hati Justin? Apa aku telah
menjatuhkan Justin? Aku tidak tahu.
“Kau
benar.” Aku menganggukan kepalaku setuju. Tapi, mungkinkah itu Ian? Tapi itu
tidak mungkin. “Tapi aku masih yakin dengan Justin adalah pelakunya,”
“Itu
terserah padamu,” bisik Elliot. Apa aku harus mencaritahunya? Tapi untuk apa?
Balas dendam? Aku bukan gadis yang suka membalas dendamku. Tapi untuk ibu?
Yeah, aku bisa melakukannya untuk ibuku. Apa aku akan membunuh orang? Aku tidak
tahu. Aku masih takut pada Tuhan, tentang sepuluh hukum di Alkitab; Jangan
membunuh. Oh ya ampun, ini sangat sulit untuk kupikirkan. Terlarut dalam
renunganku, ponselku berdering, membuatku tersentak. Tak pusing, aku langsung
merogoh kantong celana jins yang kupakai lalu meraih ponselku. Oh, sebuah pesan
singkat. Dari Justin.
“Dari
siapa?” tanya Elliot saat aku menghentikan langkahanku. Untuk pertama kalinya,
setelah satu minggu lebih ia tidak menghubungiku, akhirnya ia menghubungiku.
Tapi hatiku berbunga-bunga saat ia mengirimi pesan ini. Aku masih mencintainya,
aku tidak dapat memungkiri itu. Sejak aku putus dengannya, makanan yang kumakan
rasanya tidak enak di lidahku. Sekalipun itu adalah makanan kesukaanku, tapi
tetap saja rasanya hambar.
“Justin,”
bisikku lalu membuka isi pesan darinya.
Dari: Justin
“Melihatmu terluka sungguh
membuatku sakit hati. Saat kau bilang padaku bahwa kau membenciku, kupikir kau
memang membutuhkan ruang untuk bernafas. Aku minta maaf jika kau memang
berpikir akulah yang membunuh ayahmu. Aku menyanyangimu dan aku merindukanmu.
Jika kau ingin menemuiku, temuilah aku saat tahun baru di pusat kota. Aku akan
ada di sana.”
Kutarik
nafasku untuk tidak menangis. Oh, dia akan datang ke acara untuk menyambut
tahun baru. Aku ingin menemuinya, sangat. Bibirku mungkin mengatakan bahwa aku
membencinya, tapi sumpah demi Tuhan! Aku tidak sama sekali membencinya. Ayahku
baru saja meninggal karenanya! Tentu saja aku sangat marah padanya. Ia tahu
bagaimana memperlakukan wanita. Ia memberikanku ruang dan waktu untuk menarik
nafasku sejenak. Ia tahu aku akan lebih sakit lagi jika aku bertemu dengannya
dalam jangka waktu singkat. Dan yeah, ia berhasil. Oh, Ave! Lupakanlah sejenak
bahwa ia yang membunuh ayahmu! Kau tentu tidak akan bisa membohongi dirimu
sendiri kalau kau membencinya! Aku menarik nafasku untuk menahan senyumanku
lalu mendongak, menatap Elliot.
“Apa?
Apa yang ia katakan?” Elliot memegang lenganku sekarang.
“Aku
akan menemuinya saat tahun baru di acara menyambut tahun baru! Oh, ya Tuhan.
Apa kau berpikir aku harus bertemu dengannya?”
“Apa
menurutmu kau harus bertemu dengannya?” tanyanya masih dengan nada bicara yang
sama. Haruskah? Yeah, aku harus. Aku tahu, merindukannya adalah menyakitkan.
Mungkin jika aku bertemu dengannya, rasa rinduku akan luput.
“Ya,”
bisikku. Kemudian raut wajahnya berubah menjadi cemberut. Tapi aku
mendiamkannya, aku tahu ia masih mengharapkanku. Tapi demi apa pun, aku tidak
pernah mengharapkannya.
***
Oh,
ya Tuhan, malam tahun baru sungguh membuat tubuhku ingin mati berdiri hanya
karena mati kedinginan! Aku memakai topi musim dingin, penutup telinga, sarung
tangan, dan beberapa jaket yang besar untuk tubuhku. Setidaknya aku sudah tidak
merasa tidak begitu kedinginan. Namun bibirku telah membiru. Kami sedang berada
di atas sebuah gedung, yeah, kami telah membeli tiket untuk melihat peluncuran
kembang api secara langsung di hadapan mata kami. Kau mengerti maksudku bukan?
Gedung ini sungguh tinggi. Dan aku masih mengharapkan kedatangan Justin. Meski
ia sudah tidak menghubungiku lagi sejak ia mengirimi pesan singkat itu. Jalan
raya begitu penuh dikepung oleh masyarakat Atlanta. Tentu saja semua orang
ingin menyambut tahun baru bersama-sama. Oh, tentu saja, bir akan berada di
tanganku setelah ini. Elliot berada di belakangku, memegang pundakku sambil
melihat orang-orang yang sibuk untuk memasang kembang api. Kami berada di sisi
gedung dengan pagar kecil yang akan menjaga kita agar tidak terjatuh. Uh, jika
Tuhan dapat mengizinkanku untuk bunuh diri agar dapat bertemu dengan ayahku,
aku mau jatuh dari atas gedung ini lalu Paw!
kepalaku akan pecah. Tapi, tidak. Itu tidak akan terjadi. Tiba-tiba saja, di
bawah aku melihat pertunjukan berjalan yang dimana badut-badut serta
penari-penari melewati jalan sehingga orang-orang yang berada di tengah jalan
langsung menyudutkan tubuh mereka ke sisi jalan agar dapat melihatnya secara
leluasa. Tapi aku tidak perlu melakukan itu. Di atas gedung ini aku dapat
melihat semuanya.
Entah
mengapa, seperti ada sesuatu yang memanggilku tanpa suara, kepalaku terdongak.
Lalu aku menoleh ke samping. Senyumanku melebar saat aku melihat Justin dengan
pakaian dinginnya, sama sepertiku! Dia terlihat sangat tampan dengan pakaian
itu, seperti Kevin. Ia berada di sudut gedung. Tentu aku tahu ia akan membeli
tiket untuk melihat kembang api dan prosesnya secara langsung.
“Itu
Justin,” bisikku menarik tangan Elliot dari pundakku lalu aku berjalan,
melewati orang-orang yang berada di sekitarku. Sampai akhirnya aku berada di
hadapan Justin.
“Hai,”
bisikku tak dapat menahan rasa senyumku. Aku sangat merindukannya.
“Hei,”
sarung tangan Justin terasa lembut di pipiku saat Justin mengelus pipiku dengan
punggung tangannya. Perlakuannya sungguh lembut. Air mataku menitik begitu
saja, tanpa diberi aba-aba. Ya Tuhan, mengapa Kau mempertemukanku dengannya?
Kau tentu tahu aku akan sangat merasa sakit jika aku tidak bertemu dengannya.
Aku sangat merindukannya, Kau tahu. Tapi aku tahu, pasti Kau sedang membuat rencana
indah pada akhirnya. Oh, Tuhan, aku sangat merindukan Justin.
“Aku
merindukanmu, kautahu,” bisikku langsung memeluknya.
“Tapi
kau membenciku, kautahu,” ia mengikuti nada suaraku. Ya, memang aku membenci
perbuatannya terhadap ayahku. “Ave, aku tidak membunuh ayahmu,” ujar Justin.
Lalu aku menarik tubuhku darinya.
“Apa
kita bisa tidak membicarakan tentang pembunuhanmu terhadap ayahku? Karena malam
ini adalah malam yang spesial. Kumohon jadikan malam ini spesial!”
“Mengapa
kau menangisiku? Aku tidak lenyap darimu dan aku tidak membunuh ayahmu,”
“Karena
kau yang membunuh ayahku.”
“Aku
tidak membunuh ayahmu, Ave. Aku bersumpah.”
“Tidakkah
kau ingin menciumku Justin?” Aku takut kehilangan orang yang kucintai untuk
yang kedua kalinya. Cium aku Justin! Dan bibirnya menyentuh bibirku setelahnya.
***
Aku
menutupi tubuhku dengan selimut besar milik Justin.Setelah kami menyambut tahun
baru, kami berhubungan badan di rumah Justin. Kutinggalkan Elliot yang
tampaknya begitu pasrah namun ia menyiratkan sesuatu kebencian di matanya saat
ia menatap Justin. Aku tahu ia membenci Justin karena aku mencintai Justin. Tadi
malam sungguh luar biasa. Aku tak tahan dengan Justin. Dia benar. Dia
mendapatiku di depan, di belakang dan di bawahnya. Dan bahkan di atasnya. Ya Tuhan,
apa yang dapat membuatku tidak jatuh cinta padanya tiap hari? Dia seperti
magnet bagiku. Ia negatif dan aku positif. Pft, tentu saja. Ia memberi dampak
buruk padaku. Karenanya aku sangat nakal. Kubuka pintu kamar mandi lalu
melepaskan selimut yang melilit di sekitar tubuhku ke atas lantai dengan
sembarangan. Aku telah bersamanya, lagi. Tapi aku telah putus dengannya.
Kunyalakan shower yang hangat sehingga seluruh tubuhku terasa sangat rileks.
Kupejamkan mataku sambil membasahi rambutku yang semakin lama semakin panjang.
Oh, ya, benar, ini sangat menyenangkan.
Perasaanku
cukup gelisah saat Elliot menatapku dan Justin dengan raut wajah yang marah
serta benci. Aku sudah bilang padanya hari sebelumnya bahwa aku akan bertemu
dengan Justin. Tentu ia akan tahu, aku akan lebih memilih Justin dibanding
dirinya. Mengapa Elliot tampaknya susah sekali untuk tidak mencintaiku?
Seharusnya ia tahu, aku telah menjadi milik Justin. Meski telah seminggu lebih
aku hidup tanpa Justin –dan rasanya bagaikan aku hidup tanpa oksigen.
Tiba-tiba
pikiranku melayang: Elliot adalah si pembunuh ayahku.
Benarkah?
Kuraih
sabun cair untuk menggosok seluruh tubuhku sambil air masih membasahi tubuhku.
Justin dan Arthur telah memberitahuku bahwa mereka bukanlah pembunuh dari
ayahku. Namun, Arthur. Oh, mengapa ini terdengar sangat sulit untuk dipecahkan?
Polisi bahkan belum menemukan siapa yang membunuh ayahku. Justin bukan
tersangka, ibuku tidak menyalahkannya. Dan aku tidak tega untuk menjebloskannya
ke dalam penjara. Dan sejak dua hari yang lalu, ibuku meminta para polisi untuk
menghentikan pencarian pelaku. Itu sangat bodoh, kupikir. Tapi mau diapa? Ibuku
memang seperti itu. Jika ia telah pergi, jangan harapkan ia kembali. Semalam
Justin menceritakan tentang kepribadiannya yang telah berkurang. Kevin. Aku
tidak percaya itu akan terjadi. Katanya, karena kepergianku, Justin tidak
merasa kesepian. Well, mungkin ia merasa sangat kesepian, tapi biasanya Kevin
akan muncul. Kali ini, Kevin tidak muncul. Ia telah memberitahu pada dr.Amanda dan
ya, benar. Kevin telah lenyap. Ia telah tiada. Itu diakibatkan Justin telah
merasa tidak kesepian lagi setelah kedatanganku dalam kehidupannya. Setidaknya,
jika Kevin menghilang, aku tidak perlu pusing-pusing harus memandikannya. Ya,
aku memandikannya. Kau percaya itu? Lucu memang. Dia memang manja padaku tiap
pagi.
Tapi
ia sudah tiada. Keajaiban dan itu hebat.
Setelah
aku membersihkan tubuhku, kuambil shampoo untuk membersihkan rambutku. Uh,
sungguh wangi. Aroma Justin. Kembali aku berpikir tentang Ian karen Elliot.
Mengapa Ian ingin membunuh ayahku? Sudah dua hari topik ini yang selalu menjadi
renunganku. Mencaritahu apakah memang Ian adalah pelakunya. Aku ingin
melaporkannya pada polisi dan aku telah memberitahu pada ibuku bahwa mungkin
Ian-lah pelakunya. Tapi ibuku bilang, lebih baik jangan diungkit lagi. Ayah
telah pergi. Tapi aku sebagai anaknya yang ingin mengerti dirinya harus
melakukan apa? Tentu, aku akan mengikuti perkataannya.
“Ave?”
suara Justin membuyarkan pemikiranku. Aku membuka mataku.
“Ada
apa?” tanyaku langsung sambil membilas rambutku dengan cepat.
“Apa
kau baik-baik saja di dalam?”
“Tentu,”
“Kau
ingin aku buatkan sarapan?”
“Tentu,”
aku membalasnya begitu singkat. Mendengar suaranya, membuatku mengingat
kejadian tadi malam. Oh, luar biasa. Kautahu apa? Aku telah berhubungan badan
dengan seluruh kepribadian Justin secara bergantian dalam satu malam! Darren
yang paling jarang berhubungan badan denganku, dan Max-lah yang paling sering
berhubungan badan denganku. Selain ia memang pintar menggodaku, tapi ia juga
membuatku ketagihan padanya.
“Kau
yakin kau baik-baik saja?” tanya Justin yang ternyata belum beranjak dari
tempatnya.
“Ya,
aku baik-baik saja,” ucapku. “Aku akan keluar beberapa menit lagi,” lanjutku.
Ya perlu kulakukan sekarang hanyalah menyikat gigi dan mencuci wajahku.
“Temui
aku di dapur,”
***
“Kau
ingin membicarakan tentang ayahmu yang terbunuh itu? Arthur ingin
menjelaskannya padamu waktu itu, tapi ia tahu, kau masih sakit hati karena
kehilangan ayahmu. Kupikir sekarang kau sudah siap untuk mendengarnya yang
sebenarnya,” ujar Justin meminta izinku. Apa aku sudah siap? Mengapa Justin
tidak memberitahuku sejak lama jika ia tahu kejadian yang sebenarnya? Kali ini,
aku akan mempercayainya. Justin tidak pernah berbohong padaku. Bodohnya, aku
terus menyalahkannya tentang pembunuhan itu. Kuanggukan kepalaku sambil
mengangkat secangkir teh lalu meneguknya dengan tenang. Ruang makan adalah
teman yang sempurna untuk membicarakan hal ini. Di pagi hari. Oh.
“Kau
yakin?”
“Aku
butuh kebenaran Justin. Jika memang kau pembunuhnya, aku mungkin akan—“
“Tidak,
Ave. Aku bukan pembunuhnya.”
“Maka
ceritakanlah yang sebenarnya Justin, aku ingin mendengarnya.” ujarku, tegas.
Justin yang duduk di hadapanku langsung menegakkan tubuhnya. Mencari posisi
duduk yang nyaman untuk bercerita dongeng yang berubah menjadi kisah nyata.
Tiba-tiba saja aku merasa lagu Christina Perri yang berjudul Distance terputar
di kepalaku. Oh, lagu itu memang cocok untuk keadaan di pagi hari. Selalu.
“Pagi
itu,” Justin menarik nafasnya dalam-dalam sambil menatap mataku. “Siang itu
ayahmu memang datang ke rumahku untuk membicarakan tentang hubunganku dengan
hubunganmu. Hanya di depan pintu rumahku saja. Ia bilang, ia tidak sudi untuk
melangkah masuk ke dalam rumahku. Saat itu, aku ingin menjelaskan tentang
hubunganku denganmu untuk masuk ke
jenjang berikutnya. Karena kau yakin, kau memang untukku. Kupikir begitu. Tapi
ternyata, ayahmnu tidak menyukaiku,” Justin menghela nafas.
“Lalu
ia memberitahu padaku untuk tidak mendekatimu lagi. Ia bilang, Ave telah
mendapatkan lelaki yang lebih pantas. Aku ingin tertawa saat ayahmu memberitahu
padaku bahwa Elliot, sahabatmu itu, akan menjadi suamimu di masa depan,” Justin
terkekeh selama beberapa detik. Ya ampun.
“Ya
Tuhan, aku tentu akan lebih memilih dirimu dibanding Elliot. Dia hanya ..dia
hanya teman bagiku Justin,”
“Aku
tahu,” Justin menanggukan kepalanya satu kali. “Ia hanya menekankan padaku
untuk tidak mendekatimu lagi Ave, lalu tiba-tiba saja ia memukulku dengan
keras. Lalu Arthur muncul,” kemudian aku tahu, Justin telah pergi sekarang.
Mata Arthur yang tajam sedang menatapku dengan tajam. Yeah, aku tahu itu adalah
Arthur. “Lalu aku muncul dan menahan rasa sakit yang ayahmu berikan padaku.
Demi Tuhan, pukulan ayahmu adalah pukulan tersakit yang pernah kurasakan.
Apakah ia pernah ikut berlatih karate atau semacamnya? Ia memang hebat. Aku
harus akui. Lalu tanganku terasa begitu gatal untuk memukulnya balik. Tapi saat
aku menatap matanya,” Arthur memberikan jeda sejenak.
“Saat
kau menatap matanya? Lalu?” aku sungguh penasaran apa yang terjadi sebenarnya.
Tapi aku tahu, Arthur tidak mungkin tahu siapa pembunuh dari ayahku. Ia bilang,
sejak saat itu, ia tidak bertemu dengan ayahku lagi.
“Saat
aku menatap matanya, aku teringat matamu. Kalian memiliki warna mata yang sama.
Niatku untuk memukulnya kuurungkan meski ia terus memaksaku untuk memukulnya
dan ia memanggilku betina. Tapi tidak apa-apa. Aku melakukan ini hanya untukmu
Ave. Bagaimana pun juga, aku berpikir, ia akan menjadi mertuaku di masa depan.
Aku tidak mungkin memukulnya. Orangtuamu adalah orangtuaku juga, Ave,” Arthur
memegang tanganku yang memeluk cangkir tengah. Buku-buku jarinya menyentuh
buku-buku jariku. Ia mengelusnya dengan lembut. Untuk pertama kalinya, di pagi
hari, Arthur tersenyum padaku. Oh, Arthur yang malang. Mengingat wajahnya yang
membiru dan hidung yang patah satu minggu yang lalu membuatku semakin sedih. Ia
tidak memukul ayahku karena ia tahu itu akan menyakiti hatiku. Tapi aku malah
menyakiti hatinya. Aku sungguh bodoh. Arthur yang malang.
“Kemudian,
untuk yang terakhir kalinya, ia bilang padaku untuk tidak menemui kau atau dia
lagi. Lalu ia menghilang dari hadapanku. Dan aku merasa ketakutan, untuk yang
pertama kalinya dalam hidupku. Kau tahu Ave? Ketakutan terbesarku saat bertemu
denganmu adalah kehilanganmu. Oh, ingatkah kau saat aku memberitahumu bahwa kau
telah merubahku? Tidak ada gadis lain sepertimu Ave. Mereka menyukaiku karena
tampangku. Namun kau tidak menyukaiku karena aku kasar padamu. Yeah,
gadis-gadis itu memang gila. Menyukaiku karena aku kasar,”
“Terima
kasih Arthur,” bisikku menundukkan kepalaku, malu-malu. Aku tidak tahu harus
bilang apa lagi padanya karena hanya itu yang bisa kukatakan. Ia telah menahan
dirinya untuk tidak memukul ayahku. Padahal aku tahu, Arthur adalah si pemarah.
Si pembunuh. Tentu ia dapat membunuh ayahku hanya dengan tangan kosong. Tapi
dia tidak melakukannya karena ia teringat padaku. Tidakkah kau merasa ia adalah
lelaki yang manis yang memiliki hati? Ya, dia memang memiliki hati. Dan ia
milikku.
“Untuk
apa?”
“Untuk
tidak memukul ayahku. Maafkan aku karena aku terus menyalahkanmu.”
“Aku
mengerti.” Arthur bangkit dari kursi bar sarapan lalu ia melangkah padaku dan
memutar kursiku lalu memelukku. “Setidaknya, kau telah berada di sini dan kau
telah tahu, bukan aku yang membunuh ayahmu,”
“Lalu,
menurutmu siapa yang membunuh ayahku?”
“Kau
yakin ingin tahu siapa yang membunuh ayahmu?”
“Oh,
Arthur. Sekarang kau terdengar seperti Justin,” aku mengeluh lalu mendorong
tubuhnya agar lepas dari pelukannya lalu menjatuhkan kepalaku ke atas dadanya.
Ia tertawa. Ya ampun, tawaan Arthur bagaikan malaikat yang bernyanyi di surga.
Lalu tawaan itu berhenti. Rasanya aku ingin mendengar tawaan itu tiap saat.
“Elliot,”
suara Arthur berubah menjadi suara yang serius. “Kupikir, pembunuhnya adalah
Elliot. Aku tahu siapa yang membunuh dan tidak membunuh karena aku pembunuh.
Aku tahu bagaimana perasaan pembunuh dan kelakuan pembunuh setelah membunuh,”
“Kau
terdengar bertele-tele. Dulu kau menyalahkanku karena aku bertele-tele. Tapi
sekarang kau bertele-tele,”
“Kau
juga bertele-tele,”
“Oh,
bisakah kita langsung mengetahui apa penyebabnya kau menyalahkan Elliot?”
tanyaku mendesah, masih belum mendongak ke atas. Kembali Arthur tertawa. Hatiku
berbunga-bunga, kupu-kupu di perutku bernyanyi dan menari, dan jantungku
rasanya membengkak di dalam tubuhku karena aku tidak bernafas sekarang. Ini
terdengar menjijikkan tapi andaikan hal ini dapat terjadi; jantungku dan
jantung Justin bersatu agar kita selalu bersama. Yeah, seperti bayi kembar
siam. Tapi itu tidak mungkin terjadi.
“Karena
saat aku pulang dari rumahmu saat ayahmu masih berada di dalam peti mati dan
Elliot ada di sana, aku menatapnya lalu ia pucat. Ia pasti menatapku. Antara
merasa bersalah dan benci terhadapku. Si penis kecil itu tampaknya ingin
membuatmu menyalahkanku. Aku yakin pembunuhnya adalah Elliot, Ave. Kita bisa
datang ke rumahnya sekarang dan mencari pisaunya yang pasti ia simpan di antara
pakaian di lemarinya.” Sekarang Arthur tampak seperti peramal. Tapi aku tidak
ingin mengomentarinya.
“Kau
yakin?”
“Uh,
lihatlah siapa yang ingin seperti Justin,” Arthur mengejekku. Aku mendesah
pelan lalu tertawa kecil. “Tentu saja aku yakin dialah pembunuhnya Ave. Aku
tidak mungkin memberitahumu jika aku tidak yakin,”
“Kau
belum mandi,” ujarku mengangkat kepalaku dari dadanya. “Mandillah dan kembali
dengan tampan. Lalu kita akan mendatangi rumah Elliot. Dia baru saja pindah
apartemen, kautahu,”
“Benarkah?”
tanya Arthur. Aku mengangguk. “Kau pikir aku bau sekarang?” tanyanya,
menggodaku. Mengapa sekarang Arthur terlihat begitu menyenangkan? Well, aku
lebih menyukai Arthur yang menyenangkan sebenarnya. Kemudian aku
mengendus-endus dada Arthur lalu semakin ke atas, ke lehernya. Lalu pipinya,
kemudian kujulurkan lidahku sedikit sehingga tersentuh pada pipi Arthur.
Kudengar Arthur menggeram, itu membuatku tersenyum kecil. Sungguh menyenangkan
jika aku menggodanya karena aku tahu itu akan membuatnya frustrasi.
“Kau
rasanya sungguh manis,”
“Apa
itu menandakan aku wangi?” tanyanya sambil menangkup kepalaku agar ia dapat
melihat mataku. Kemudian ia tersenyum. Kuanggukan kepalaku. “Apa aku harus
mandi sekarang?”
“Tentu
saja kau harus mandi! Aku suka melihat rambutmu basah,” ujarku memukul
lengannya pelan. Tapi ia tidak beranjak dari tempatnya, kedua tangannya berada
di pinggangku. “Pergilah,”
“Aku
tidak mau,”
“Mengapa?”
“Karena
aku senang akhirnya kau berada di sini. Di hadapanku. Tersenyum dan bercanda
denganku. Itu adalah impianku setelah aku bertemu denganmu, kautahu. Kau tidak
pernah tertawa saat kau bersamaku. Kau lebih menyenangkan daripada mereka semua
bukan?” tanya Arthur meremas pinggangku.
“Tidak,”
ucapku. “Kalian semua sama. Seperti yang dikatakan Justin, jika aku mencintai
salah satu diantara kalian, berarti aku mencintai kalian semua,”
“Oh,
suatu kehormatan karena aku adalah orang yang membuatmu jatuh cinta untuk yang
pertama kali,” ujar Arthur mengecup pipiku berkali-kali. Lalu kecupannya mulai
jatuh ke seluruh wajahku, membuatku menggeliat dan tertawa senang. Ia memang
sangat menyenangkan. “Aku suka mendengarmu tertawa. Apalagi itu karena diriku.”
“Kau
selalu membuatku takjub, Arthur dan kalian semua,”
“Kau
lebih mencintai siapa?” tanya Arthur yang membuatku terdiam seketika. Oh?
Mengapa ia memberikan pertanyaan seperti itu? Apa jika aku lebih mencintai Max
itu akan membuat dunianya rusak? Aku yakin tidak.
“Aku
mencintai kalian semua sama rata. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
“Tidak
apa-apa,”
“Pergilah
mandi!” aku mendorongnya jauh dari tubuhku. “Kau harus bersih. Khususnya si
perkasa kecilmu itu,” godaku yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Tertawa terbahak-bahak. Aku tidak
pernah melihatnya tertawa terbahak-bahak hanya dalam kepribadian Arthur. Meski
aku sering melihat Justin atau Darren yang tertawa terbahak-bahak, tapi Arthur,
ia lebih spesial jika ia tertawa karena ia jarang tertawa.
“Mengapa
kau tidak memandikanku saja?”
“Sekarang
kau terdengar seperti Kevin.”
“Berhentilah
menyamakanku dengan yang lain. Lagipula, Kevin telah tiada,”
“Oh.
Benar.” Bisikku. “Arthur?”
“Ya?”
ia belum menghilang dari ruang makan.
“Apa
aku harus menggigit dirimu terlebih dahulu agar kau cepat mandi?”
“Oh,
tentu saja Mrs.Bieber,” ujarnya yang membuatku tersentak. Sudah lama ia tidak
memanggilku Mrs.Bieber dan sekarang ia memanggilku seperti itu lagi. Lalu aku
turun dari kursiku sehingga ia langsung berlari bagaikan harimau dari ruang
tamu. Oh, ini sangat lucu.
***
“Elliot?”
panggilku saat aku telah berada di apartemen Elliot. Ya, memang. Elliot sudah
tidak tinggal bersama dengan sepupuku lagi. Mereka sekarang memiliki apartemen
sendiri-sendiri. Pintu apartemennya tidak terkunci saat aku menekan gagang
pintu untuk membukanya. Lalu aku melihat apartemen Elliot yang tampak begitu
bersih. Justin berada di belakangku dan mengikutiku masuk ke dalam apartemen
Elliot. “Elliot? Apa kau di dalam?”
“Ave!”
kudengar suara Elliot dari dalam kamarnya. Kemudian pintu kamarnya seketika
terbuka dan aku melihat Elliot masih dengan piyama yang ia pakai. Piyama. Bisakah kau membayangkan itu?
Elliot memakai piyama saat ia sedang tertidur. Dia sudah besar dan itu
terdengar seperti anak kecil. Kemudian ia membeku saat ia melihat Justin berada
di belakangku.
“Hei,
Justin,” sapanya, berpura-pura stay cool.
Tapi sebenarnya tidak. Lalu ia keluar. “Kalian ingin secangkir teh? Atau bir?
Aku baru saja membelinya tadi malam,” ujar Elliot tiba-tiba saja pucat. Benar
yang dikatakan Arthur. Lalu aku melangkah ke dapur bersama dengan Elliot sambil
meninggalkan Justin yang masih berada di ruang tamu namun matanya dari tadi
tidak lepas dari dalam kamar Elliot. Ayo, Justin! Masuklah ke dalam kamarnya!
Aku berteriak dalam hatiku.
“Secangkir
teh saja, terima kasih,” bisikku.
“Apa
yang kaulakukan tadi malam bersama dengan Justin?”
“Apa
kau benar-benar ingin tahu?”
“Tentu,”
ujarnya kelihatan begitu sibuk namun keringatnya mulai mengucur di sekitar
pelipisnya. Ia gugup. Ia mungkin tahu bahwa Arthur telah mengetahui bahwa ia
adalah yang membunuh ayahku. Jika ia memang yang membunuh ayahku, aku seperti
tidak tahu apa yang harus kulakukan padanya. Mungkin Arthur. Arthur! Kulihat
Justin yang telah menghilang dari ruang tamu. Ia masuk ke dalam kamar Elliot.
“Bercinta.”
Jawabku singkat. Lalu Elliot terkesiap, ia menarik nafasnya dalam-dalam. Dua
cangkir telah berada di atas meja makan sambil ia menaruh gula ke salah satu
gelasnya. “Aku tidak memakai gula,”
“Apa
yang Justin lakukan di dalam kamarku?” tanya Elliot langsung berjalan menuju
kamarnya. Aku mengikutinya dari belakang. Kudengar nafas Elliot semakin
memburu. Lalu kami menemukan Justin sedang membuka sebuah laci meja belajar
Elliot sambil memegang sebuah foto. Ya, sebuah foto. Ayahku. Dia pelakunya.
“Dia
pelakunya, Ave.” Justin berbisik lalu ia mendongak. Jantung terasa diremas
begitu saja. Kemudian Justin mengangkat fotonya untuk menunjukkannya padaku.
Goresan spidol merah darah yang menuliskan kata “Dead” dengan huruf kapital
terlihat di sana. Ayahku mati di tangannya. “Ternyata dia ingin membunuhku
Ave,” bisik Justin terkekeh sambil mengangkat satu foto dari laci, lagi. Foto
Justin dengan goresan yang sama hanya tulisannya yang berbeda. “Next” tulisnya
dengan huruf kapital.
“Ave,
ini bukan –“
“Oh,
lihat! Sebuah pistol ada di dalam sini!” ujar Justin mengangkat sebuah pistol
dari laci. “Elliot, kurasa kau harus lebih pintar untuk menaruh pistol. Ini
barang berbahaya kautahu,” suara Justin terdengar sangat santai. Senyum kecil
muncul di wajah Justin. Mataku menatap Elliot sekarang. Wajahnya sekarang
pucat. Keringat mengucur di sekitar wajahnya. Air mataku mulai membendung.
“Mengapa
kau melakukan ini?” tanyaku, lirih.
Kecewa.
Aku sungguh kecewa.
“Karena
dia! Karena dia, kau tidak mencintaiku!” bentak Elliot, wajahnya semakin pucat.
Lalu dengan kasar ia mengambil pistol yang berada di tangan Justin lalu ia
menarik tangan Justin dan memutarnya ke belakang sehingga sekarang tangan
Justin terkunci. Aku tersentak. Ujung pistol sekarang telah berada di pipi
Justin. Namun Justin tampaknya –oh Arthur—biasa-biasa saja. Elliot menarik
pelatuknya, namun belum menembak Arthur.
“Kau
gila! Apa kau berpikir apa yang sedang kaulakukan?”
“Aku
melakukan ini karena kau sialan!” Sialan
“Elliot!
Tidak!” aku menarik tangannya yang memegang pistol dari pipi Arthur lalu aku
langsung menarik Arthur agar ia lepas dari Elliot dan Arthur menarik tangan
Elliot yang lain kemudian ia melakukan hal yang sama. Namun Elliot berteriak,
ia memberontak. Dan “DOR” suara tembakan terdengar. Mataku membulat. Menatap
Arthur yang terkejut setengah mati.
Aku
tertembak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar