Sabtu, 03 Agustus 2013

Criminal Crime Bab 8




***

            Semuanya terlihat baik-baik saja. Penampilanku juga terlihat baik-baik saja, tapi tidak dengan jiwaku yang selalu bersedih. Hari Natal sudah lewat. Aku tidak merayakannya sama seperti tahun lalu. Tidak ada ayah, rasanya bukan seperti Natal. Mengapa ia harus meninggal di hari sebelum Natal? Aku tidak bisa memasang pohon Natal sendirian tanpanya. Dan dua hari lagi adalah tahun baru. Sudah satu minggu lebih aku tidak bertemu dengan Justin. Aku tidak bekerja lagi di kantornya. Apa kau gila? Mana ada seorang pun yang baru saja kehilangan orang yang sangat ia cintai bekerja dengan baik? Tentu ia akan mengalami stress berkepanjangan. Sama sepertiku. Hanya saja, rambutku masih tertata rapi. Salju sudah berhenti turun namun masih menyisakan salju putih bersih di atas tanah. Ibuku tampak tegar dibanding diriku. Ia mencoba tersenyum, pergi ke Gereja, lalu pulang kembali. Seperti tidak ada yang hilang dari dirinya. Ia tentu tahu, belahan jiwanya telah pergi. Tapi seharusnya aku belajar darinya. Berusaha tersenyum meski dalam tubuh ini sungguh sakit.
            Aku mendapat kabar dari Elliot bahwa tahun baru nanti, akan ada sebuah pesta meriah menyambut tahun baru di pusat kota. Aku sungguh bersemangat saat mendengarnya. Mungkin dengan  acara tahun baru ini, aku akan merasa lebih baik. Terlebih lagi, hanya Elliot yang selalu berada di sisiku saat aku sedang terpuruk. Malam ini, aku pergi jalan-jalan bersama dengannya. Melihat orang-orang sedang bermain skating begitu riang di luar pintu. Burung-burung malam ini sudah tidak terlihat lagi. Lampu-lampu malam tampak berseri-seri karena malam ini terlihat begitu spesial. Jaket biru atau merah telah dikenakan oleh anak-anak dengan sepatu skating sebelum mereka masuk ke dalam arena skating. Tempat ini sungguh mengagumkan. Aku jadi teringat saat pertama kali aku bermain bersama dengan ayahku. Oh, tidak. Jangan ayah. Aku tidak ingin mengingat ayahku, itu akan membuatku menangis.
            “Menurutku, Ave. Bukan Justin pelakunya. Aku pikir, anak dari bosmu yang melakukannya,” tiba-tiba saja Elliot berujar di sebelahku. Aku mengangkat kedua bahuku, tak tahu dan tak ingin berpikir lagi. Tentu saja Justin. Tidak mungkin Ian. Mengapa ia ingin melakukan itu?
            “Karena kau telah mempermalukan anak bosmu itu di depan para karyawan dan kau telah menolaknya mentah-mentah,”
            “Mengapa harus ayahku?”
            “Karena mungkin dia tahu, kau sangat menyayangi ayahmu. Kau tahu, menyakiti seseorang yang paling menyakitkan di dunia ini bukan melalui fisik. Setiap orang pasti tahu dimana, yeah, di hatimu. Sasaran utama untuk menjatuhkan seseorang adalah dengan menyakiti hatimu,” ujar Elliot. Aku menjabarkan kalimatnya yang baru saja ia ucapkan. Sasaran utama untuk menjatuhkan seseorang adalah dengan menyakiti hatimu. Benarkah? Apa aku telah menyakiti hati Justin? Apa aku telah menjatuhkan Justin? Aku tidak tahu.  
            “Kau benar.” Aku menganggukan kepalaku setuju. Tapi, mungkinkah itu Ian? Tapi itu tidak mungkin. “Tapi aku masih yakin dengan Justin adalah pelakunya,”
            “Itu terserah padamu,” bisik Elliot. Apa aku harus mencaritahunya? Tapi untuk apa? Balas dendam? Aku bukan gadis yang suka membalas dendamku. Tapi untuk ibu? Yeah, aku bisa melakukannya untuk ibuku. Apa aku akan membunuh orang? Aku tidak tahu. Aku masih takut pada Tuhan, tentang sepuluh hukum di Alkitab;  Jangan membunuh. Oh ya ampun, ini sangat sulit untuk kupikirkan. Terlarut dalam renunganku, ponselku berdering, membuatku tersentak. Tak pusing, aku langsung merogoh kantong celana jins yang kupakai lalu meraih ponselku. Oh, sebuah pesan singkat. Dari Justin.
            “Dari siapa?” tanya Elliot saat aku menghentikan langkahanku. Untuk pertama kalinya, setelah satu minggu lebih ia tidak menghubungiku, akhirnya ia menghubungiku. Tapi hatiku berbunga-bunga saat ia mengirimi pesan ini. Aku masih mencintainya, aku tidak dapat memungkiri itu. Sejak aku putus dengannya, makanan yang kumakan rasanya tidak enak di lidahku. Sekalipun itu adalah makanan kesukaanku, tapi tetap saja rasanya hambar.
            “Justin,” bisikku lalu membuka isi pesan darinya.

Dari: Justin

“Melihatmu terluka sungguh membuatku sakit hati. Saat kau bilang padaku bahwa kau membenciku, kupikir kau memang membutuhkan ruang untuk bernafas. Aku minta maaf jika kau memang berpikir akulah yang membunuh ayahmu. Aku menyanyangimu dan aku merindukanmu. Jika kau ingin menemuiku, temuilah aku saat tahun baru di pusat kota. Aku akan ada di sana.”

            Kutarik nafasku untuk tidak menangis. Oh, dia akan datang ke acara untuk menyambut tahun baru. Aku ingin menemuinya, sangat. Bibirku mungkin mengatakan bahwa aku membencinya, tapi sumpah demi Tuhan! Aku tidak sama sekali membencinya. Ayahku baru saja meninggal karenanya! Tentu saja aku sangat marah padanya. Ia tahu bagaimana memperlakukan wanita. Ia memberikanku ruang dan waktu untuk menarik nafasku sejenak. Ia tahu aku akan lebih sakit lagi jika aku bertemu dengannya dalam jangka waktu singkat. Dan yeah, ia berhasil. Oh, Ave! Lupakanlah sejenak bahwa ia yang membunuh ayahmu! Kau tentu tidak akan bisa membohongi dirimu sendiri kalau kau membencinya! Aku menarik nafasku untuk menahan senyumanku lalu mendongak, menatap Elliot.
            “Apa? Apa yang ia katakan?” Elliot memegang lenganku sekarang.
            “Aku akan menemuinya saat tahun baru di acara menyambut tahun baru! Oh, ya Tuhan. Apa kau berpikir aku harus bertemu dengannya?”
            “Apa menurutmu kau harus bertemu dengannya?” tanyanya masih dengan nada bicara yang sama. Haruskah? Yeah, aku harus. Aku tahu, merindukannya adalah menyakitkan. Mungkin jika aku bertemu dengannya, rasa rinduku akan luput.
            “Ya,” bisikku. Kemudian raut wajahnya berubah menjadi cemberut. Tapi aku mendiamkannya, aku tahu ia masih mengharapkanku. Tapi demi apa pun, aku tidak pernah mengharapkannya.

***

            Oh, ya Tuhan, malam tahun baru sungguh membuat tubuhku ingin mati berdiri hanya karena mati kedinginan! Aku memakai topi musim dingin, penutup telinga, sarung tangan, dan beberapa jaket yang besar untuk tubuhku. Setidaknya aku sudah tidak merasa tidak begitu kedinginan. Namun bibirku telah membiru. Kami sedang berada di atas sebuah gedung, yeah, kami telah membeli tiket untuk melihat peluncuran kembang api secara langsung di hadapan mata kami. Kau mengerti maksudku bukan? Gedung ini sungguh tinggi. Dan aku masih mengharapkan kedatangan Justin. Meski ia sudah tidak menghubungiku lagi sejak ia mengirimi pesan singkat itu. Jalan raya begitu penuh dikepung oleh masyarakat Atlanta. Tentu saja semua orang ingin menyambut tahun baru bersama-sama. Oh, tentu saja, bir akan berada di tanganku setelah ini. Elliot berada di belakangku, memegang pundakku sambil melihat orang-orang yang sibuk untuk memasang kembang api. Kami berada di sisi gedung dengan pagar kecil yang akan menjaga kita agar tidak terjatuh. Uh, jika Tuhan dapat mengizinkanku untuk bunuh diri agar dapat bertemu dengan ayahku, aku mau jatuh dari atas gedung ini lalu Paw! kepalaku akan pecah. Tapi, tidak. Itu tidak akan terjadi. Tiba-tiba saja, di bawah aku melihat pertunjukan berjalan yang dimana badut-badut serta penari-penari melewati jalan sehingga orang-orang yang berada di tengah jalan langsung menyudutkan tubuh mereka ke sisi jalan agar dapat melihatnya secara leluasa. Tapi aku tidak perlu melakukan itu. Di atas gedung ini aku dapat melihat semuanya.
            Entah mengapa, seperti ada sesuatu yang memanggilku tanpa suara, kepalaku terdongak. Lalu aku menoleh ke samping. Senyumanku melebar saat aku melihat Justin dengan pakaian dinginnya, sama sepertiku! Dia terlihat sangat tampan dengan pakaian itu, seperti Kevin. Ia berada di sudut gedung. Tentu aku tahu ia akan membeli tiket untuk melihat kembang api dan prosesnya secara langsung.
            “Itu Justin,” bisikku menarik tangan Elliot dari pundakku lalu aku berjalan, melewati orang-orang yang berada di sekitarku. Sampai akhirnya aku berada di hadapan Justin.
            “Hai,” bisikku tak dapat menahan rasa senyumku. Aku sangat merindukannya.
            “Hei,” sarung tangan Justin terasa lembut di pipiku saat Justin mengelus pipiku dengan punggung tangannya. Perlakuannya sungguh lembut. Air mataku menitik begitu saja, tanpa diberi aba-aba. Ya Tuhan, mengapa Kau mempertemukanku dengannya? Kau tentu tahu aku akan sangat merasa sakit jika aku tidak bertemu dengannya. Aku sangat merindukannya, Kau tahu. Tapi aku tahu, pasti Kau sedang membuat rencana indah pada akhirnya. Oh, Tuhan, aku sangat merindukan Justin.
            “Aku merindukanmu, kautahu,” bisikku langsung memeluknya.
            “Tapi kau membenciku, kautahu,” ia mengikuti nada suaraku. Ya, memang aku membenci perbuatannya terhadap ayahku. “Ave, aku tidak membunuh ayahmu,” ujar Justin. Lalu aku menarik tubuhku darinya.
            “Apa kita bisa tidak membicarakan tentang pembunuhanmu terhadap ayahku? Karena malam ini adalah malam yang spesial. Kumohon jadikan malam ini spesial!”
            “Mengapa kau menangisiku? Aku tidak lenyap darimu dan aku tidak membunuh ayahmu,”
            “Karena kau yang membunuh ayahku.”
            “Aku tidak membunuh ayahmu, Ave. Aku bersumpah.”
            “Tidakkah kau ingin menciumku Justin?” Aku takut kehilangan orang yang kucintai untuk yang kedua kalinya. Cium aku Justin! Dan bibirnya menyentuh bibirku setelahnya.
***

            Aku menutupi tubuhku dengan selimut besar milik Justin.Setelah kami menyambut tahun baru, kami berhubungan badan di rumah Justin. Kutinggalkan Elliot yang tampaknya begitu pasrah namun ia menyiratkan sesuatu kebencian di matanya saat ia menatap Justin. Aku tahu ia membenci Justin karena aku mencintai Justin. Tadi malam sungguh luar biasa. Aku tak tahan dengan Justin. Dia benar. Dia mendapatiku di depan, di belakang dan di bawahnya. Dan bahkan di atasnya. Ya Tuhan, apa yang dapat membuatku tidak jatuh cinta padanya tiap hari? Dia seperti magnet bagiku. Ia negatif dan aku positif. Pft, tentu saja. Ia memberi dampak buruk padaku. Karenanya aku sangat nakal. Kubuka pintu kamar mandi lalu melepaskan selimut yang melilit di sekitar tubuhku ke atas lantai dengan sembarangan. Aku telah bersamanya, lagi. Tapi aku telah putus dengannya. Kunyalakan shower yang hangat sehingga seluruh tubuhku terasa sangat rileks. Kupejamkan mataku sambil membasahi rambutku yang semakin lama semakin panjang. Oh, ya, benar, ini sangat menyenangkan.
            Perasaanku cukup gelisah saat Elliot menatapku dan Justin dengan raut wajah yang marah serta benci. Aku sudah bilang padanya hari sebelumnya bahwa aku akan bertemu dengan Justin. Tentu ia akan tahu, aku akan lebih memilih Justin dibanding dirinya. Mengapa Elliot tampaknya susah sekali untuk tidak mencintaiku? Seharusnya ia tahu, aku telah menjadi milik Justin. Meski telah seminggu lebih aku hidup tanpa Justin –dan rasanya bagaikan aku hidup tanpa oksigen.
            Tiba-tiba pikiranku melayang: Elliot adalah si pembunuh ayahku.
            Benarkah?
            Kuraih sabun cair untuk menggosok seluruh tubuhku sambil air masih membasahi tubuhku. Justin dan Arthur telah memberitahuku bahwa mereka bukanlah pembunuh dari ayahku. Namun, Arthur. Oh, mengapa ini terdengar sangat sulit untuk dipecahkan? Polisi bahkan belum menemukan siapa yang membunuh ayahku. Justin bukan tersangka, ibuku tidak menyalahkannya. Dan aku tidak tega untuk menjebloskannya ke dalam penjara. Dan sejak dua hari yang lalu, ibuku meminta para polisi untuk menghentikan pencarian pelaku. Itu sangat bodoh, kupikir. Tapi mau diapa? Ibuku memang seperti itu. Jika ia telah pergi, jangan harapkan ia kembali. Semalam Justin menceritakan tentang kepribadiannya yang telah berkurang. Kevin. Aku tidak percaya itu akan terjadi. Katanya, karena kepergianku, Justin tidak merasa kesepian. Well, mungkin ia merasa sangat kesepian, tapi biasanya Kevin akan muncul. Kali ini, Kevin tidak muncul. Ia telah memberitahu pada dr.Amanda dan ya, benar. Kevin telah lenyap. Ia telah tiada. Itu diakibatkan Justin telah merasa tidak kesepian lagi setelah kedatanganku dalam kehidupannya. Setidaknya, jika Kevin menghilang, aku tidak perlu pusing-pusing harus memandikannya. Ya, aku memandikannya. Kau percaya itu? Lucu memang. Dia memang manja padaku tiap pagi.
            Tapi ia sudah tiada. Keajaiban dan itu hebat.
            Setelah aku membersihkan tubuhku, kuambil shampoo untuk membersihkan rambutku. Uh, sungguh wangi. Aroma Justin. Kembali aku berpikir tentang Ian karen Elliot. Mengapa Ian ingin membunuh ayahku? Sudah dua hari topik ini yang selalu menjadi renunganku. Mencaritahu apakah memang Ian adalah pelakunya. Aku ingin melaporkannya pada polisi dan aku telah memberitahu pada ibuku bahwa mungkin Ian-lah pelakunya. Tapi ibuku bilang, lebih baik jangan diungkit lagi. Ayah telah pergi. Tapi aku sebagai anaknya yang ingin mengerti dirinya harus melakukan apa? Tentu, aku akan mengikuti perkataannya.
            “Ave?” suara Justin membuyarkan pemikiranku. Aku membuka mataku.
            “Ada apa?” tanyaku langsung sambil membilas rambutku dengan cepat.
            “Apa kau baik-baik saja di dalam?”
            “Tentu,”
            “Kau ingin aku buatkan sarapan?”
            “Tentu,” aku membalasnya begitu singkat. Mendengar suaranya, membuatku mengingat kejadian tadi malam. Oh, luar biasa. Kautahu apa? Aku telah berhubungan badan dengan seluruh kepribadian Justin secara bergantian dalam satu malam! Darren yang paling jarang berhubungan badan denganku, dan Max-lah yang paling sering berhubungan badan denganku. Selain ia memang pintar menggodaku, tapi ia juga membuatku ketagihan padanya.
            “Kau yakin kau baik-baik saja?” tanya Justin yang ternyata belum beranjak dari tempatnya.
            “Ya, aku baik-baik saja,” ucapku. “Aku akan keluar beberapa menit lagi,” lanjutku. Ya perlu kulakukan sekarang hanyalah menyikat gigi dan mencuci wajahku.
            “Temui aku di dapur,”

***

            “Kau ingin membicarakan tentang ayahmu yang terbunuh itu? Arthur ingin menjelaskannya padamu waktu itu, tapi ia tahu, kau masih sakit hati karena kehilangan ayahmu. Kupikir sekarang kau sudah siap untuk mendengarnya yang sebenarnya,” ujar Justin meminta izinku. Apa aku sudah siap? Mengapa Justin tidak memberitahuku sejak lama jika ia tahu kejadian yang sebenarnya? Kali ini, aku akan mempercayainya. Justin tidak pernah berbohong padaku. Bodohnya, aku terus menyalahkannya tentang pembunuhan itu. Kuanggukan kepalaku sambil mengangkat secangkir teh lalu meneguknya dengan tenang. Ruang makan adalah teman yang sempurna untuk membicarakan hal ini. Di pagi hari. Oh.
            “Kau yakin?”
            “Aku butuh kebenaran Justin. Jika memang kau pembunuhnya, aku mungkin akan—“
            “Tidak, Ave. Aku bukan pembunuhnya.”
            “Maka ceritakanlah yang sebenarnya Justin, aku ingin mendengarnya.” ujarku, tegas. Justin yang duduk di hadapanku langsung menegakkan tubuhnya. Mencari posisi duduk yang nyaman untuk bercerita dongeng yang berubah menjadi kisah nyata. Tiba-tiba saja aku merasa lagu Christina Perri yang berjudul Distance terputar di kepalaku. Oh, lagu itu memang cocok untuk keadaan di pagi hari. Selalu.
            “Pagi itu,” Justin menarik nafasnya dalam-dalam sambil menatap mataku. “Siang itu ayahmu memang datang ke rumahku untuk membicarakan tentang hubunganku dengan hubunganmu. Hanya di depan pintu rumahku saja. Ia bilang, ia tidak sudi untuk melangkah masuk ke dalam rumahku. Saat itu, aku ingin menjelaskan tentang hubunganku denganmu untuk masuk  ke jenjang berikutnya. Karena kau yakin, kau memang untukku. Kupikir begitu. Tapi ternyata, ayahmnu tidak menyukaiku,” Justin menghela nafas.
            “Lalu ia memberitahu padaku untuk tidak mendekatimu lagi. Ia bilang, Ave telah mendapatkan lelaki yang lebih pantas. Aku ingin tertawa saat ayahmu memberitahu padaku bahwa Elliot, sahabatmu itu, akan menjadi suamimu di masa depan,” Justin terkekeh selama beberapa detik. Ya ampun.
            “Ya Tuhan, aku tentu akan lebih memilih dirimu dibanding Elliot. Dia hanya ..dia hanya teman bagiku Justin,”
            “Aku tahu,” Justin menanggukan kepalanya satu kali. “Ia hanya menekankan padaku untuk tidak mendekatimu lagi Ave, lalu tiba-tiba saja ia memukulku dengan keras. Lalu Arthur muncul,” kemudian aku tahu, Justin telah pergi sekarang. Mata Arthur yang tajam sedang menatapku dengan tajam. Yeah, aku tahu itu adalah Arthur. “Lalu aku muncul dan menahan rasa sakit yang ayahmu berikan padaku. Demi Tuhan, pukulan ayahmu adalah pukulan tersakit yang pernah kurasakan. Apakah ia pernah ikut berlatih karate atau semacamnya? Ia memang hebat. Aku harus akui. Lalu tanganku terasa begitu gatal untuk memukulnya balik. Tapi saat aku menatap matanya,” Arthur memberikan jeda sejenak.
            “Saat kau menatap matanya? Lalu?” aku sungguh penasaran apa yang terjadi sebenarnya. Tapi aku tahu, Arthur tidak mungkin tahu siapa pembunuh dari ayahku. Ia bilang, sejak saat itu, ia tidak bertemu dengan ayahku lagi.
            “Saat aku menatap matanya, aku teringat matamu. Kalian memiliki warna mata yang sama. Niatku untuk memukulnya kuurungkan meski ia terus memaksaku untuk memukulnya dan ia memanggilku betina. Tapi tidak apa-apa. Aku melakukan ini hanya untukmu Ave. Bagaimana pun juga, aku berpikir, ia akan menjadi mertuaku di masa depan. Aku tidak mungkin memukulnya. Orangtuamu adalah orangtuaku juga, Ave,” Arthur memegang tanganku yang memeluk cangkir tengah. Buku-buku jarinya menyentuh buku-buku jariku. Ia mengelusnya dengan lembut. Untuk pertama kalinya, di pagi hari, Arthur tersenyum padaku. Oh, Arthur yang malang. Mengingat wajahnya yang membiru dan hidung yang patah satu minggu yang lalu membuatku semakin sedih. Ia tidak memukul ayahku karena ia tahu itu akan menyakiti hatiku. Tapi aku malah menyakiti hatinya. Aku sungguh bodoh. Arthur yang malang.
            “Kemudian, untuk yang terakhir kalinya, ia bilang padaku untuk tidak menemui kau atau dia lagi. Lalu ia menghilang dari hadapanku. Dan aku merasa ketakutan, untuk yang pertama kalinya dalam hidupku. Kau tahu Ave? Ketakutan terbesarku saat bertemu denganmu adalah kehilanganmu. Oh, ingatkah kau saat aku memberitahumu bahwa kau telah merubahku? Tidak ada gadis lain sepertimu Ave. Mereka menyukaiku karena tampangku. Namun kau tidak menyukaiku karena aku kasar padamu. Yeah, gadis-gadis itu memang gila. Menyukaiku karena aku kasar,”
            “Terima kasih Arthur,” bisikku menundukkan kepalaku, malu-malu. Aku tidak tahu harus bilang apa lagi padanya karena hanya itu yang bisa kukatakan. Ia telah menahan dirinya untuk tidak memukul ayahku. Padahal aku tahu, Arthur adalah si pemarah. Si pembunuh. Tentu ia dapat membunuh ayahku hanya dengan tangan kosong. Tapi dia tidak melakukannya karena ia teringat padaku. Tidakkah kau merasa ia adalah lelaki yang manis yang memiliki hati? Ya, dia memang memiliki hati. Dan ia milikku.
            “Untuk apa?”
            “Untuk tidak memukul ayahku. Maafkan aku karena aku terus menyalahkanmu.”
            “Aku mengerti.” Arthur bangkit dari kursi bar sarapan lalu ia melangkah padaku dan memutar kursiku lalu memelukku. “Setidaknya, kau telah berada di sini dan kau telah tahu, bukan aku yang membunuh ayahmu,”
            “Lalu, menurutmu siapa yang membunuh ayahku?”
            “Kau yakin ingin tahu siapa yang membunuh ayahmu?”
            “Oh, Arthur. Sekarang kau terdengar seperti Justin,” aku mengeluh lalu mendorong tubuhnya agar lepas dari pelukannya lalu menjatuhkan kepalaku ke atas dadanya. Ia tertawa. Ya ampun, tawaan Arthur bagaikan malaikat yang bernyanyi di surga. Lalu tawaan itu berhenti. Rasanya aku ingin mendengar tawaan itu tiap saat.
            “Elliot,” suara Arthur berubah menjadi suara yang serius. “Kupikir, pembunuhnya adalah Elliot. Aku tahu siapa yang membunuh dan tidak membunuh karena aku pembunuh. Aku tahu bagaimana perasaan pembunuh dan kelakuan pembunuh setelah membunuh,”
            “Kau terdengar bertele-tele. Dulu kau menyalahkanku karena aku bertele-tele. Tapi sekarang kau bertele-tele,”
            “Kau juga bertele-tele,”
            “Oh, bisakah kita langsung mengetahui apa penyebabnya kau menyalahkan Elliot?” tanyaku mendesah, masih belum mendongak ke atas. Kembali Arthur tertawa. Hatiku berbunga-bunga, kupu-kupu di perutku bernyanyi dan menari, dan jantungku rasanya membengkak di dalam tubuhku karena aku tidak bernafas sekarang. Ini terdengar menjijikkan tapi andaikan hal ini dapat terjadi; jantungku dan jantung Justin bersatu agar kita selalu bersama. Yeah, seperti bayi kembar siam. Tapi itu tidak mungkin terjadi.
            “Karena saat aku pulang dari rumahmu saat ayahmu masih berada di dalam peti mati dan Elliot ada di sana, aku menatapnya lalu ia pucat. Ia pasti menatapku. Antara merasa bersalah dan benci terhadapku. Si penis kecil itu tampaknya ingin membuatmu menyalahkanku. Aku yakin pembunuhnya adalah Elliot, Ave. Kita bisa datang ke rumahnya sekarang dan mencari pisaunya yang pasti ia simpan di antara pakaian di lemarinya.” Sekarang Arthur tampak seperti peramal. Tapi aku tidak ingin mengomentarinya.
            “Kau yakin?”
            “Uh, lihatlah siapa yang ingin seperti Justin,” Arthur mengejekku. Aku mendesah pelan lalu tertawa kecil. “Tentu saja aku yakin dialah pembunuhnya Ave. Aku tidak mungkin memberitahumu jika aku tidak yakin,”
            “Kau belum mandi,” ujarku mengangkat kepalaku dari dadanya. “Mandillah dan kembali dengan tampan. Lalu kita akan mendatangi rumah Elliot. Dia baru saja pindah apartemen, kautahu,”
            “Benarkah?” tanya Arthur. Aku mengangguk. “Kau pikir aku bau sekarang?” tanyanya, menggodaku. Mengapa sekarang Arthur terlihat begitu menyenangkan? Well, aku lebih menyukai Arthur yang menyenangkan sebenarnya. Kemudian aku mengendus-endus dada Arthur lalu semakin ke atas, ke lehernya. Lalu pipinya, kemudian kujulurkan lidahku sedikit sehingga tersentuh pada pipi Arthur. Kudengar Arthur menggeram, itu membuatku tersenyum kecil. Sungguh menyenangkan jika aku menggodanya karena aku tahu itu akan membuatnya frustrasi.
            “Kau rasanya sungguh manis,”
            “Apa itu menandakan aku wangi?” tanyanya sambil menangkup kepalaku agar ia dapat melihat mataku. Kemudian ia tersenyum. Kuanggukan kepalaku. “Apa aku harus mandi sekarang?”
            “Tentu saja kau harus mandi! Aku suka melihat rambutmu basah,” ujarku memukul lengannya pelan. Tapi ia tidak beranjak dari tempatnya, kedua tangannya berada di pinggangku. “Pergilah,”
            “Aku tidak mau,”
            “Mengapa?”
            “Karena aku senang akhirnya kau berada di sini. Di hadapanku. Tersenyum dan bercanda denganku. Itu adalah impianku setelah aku bertemu denganmu, kautahu. Kau tidak pernah tertawa saat kau bersamaku. Kau lebih menyenangkan daripada mereka semua bukan?” tanya Arthur meremas pinggangku.
            “Tidak,” ucapku. “Kalian semua sama. Seperti yang dikatakan Justin, jika aku mencintai salah satu diantara kalian, berarti aku mencintai kalian semua,”
            “Oh, suatu kehormatan karena aku adalah orang yang membuatmu jatuh cinta untuk yang pertama kali,” ujar Arthur mengecup pipiku berkali-kali. Lalu kecupannya mulai jatuh ke seluruh wajahku, membuatku menggeliat dan tertawa senang. Ia memang sangat menyenangkan. “Aku suka mendengarmu tertawa. Apalagi itu karena diriku.”
            “Kau selalu membuatku takjub, Arthur dan kalian semua,”
            “Kau lebih mencintai siapa?” tanya Arthur yang membuatku terdiam seketika. Oh? Mengapa ia memberikan pertanyaan seperti itu? Apa jika aku lebih mencintai Max itu akan membuat dunianya rusak? Aku yakin tidak.
            “Aku mencintai kalian semua sama rata. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
            “Tidak apa-apa,”
            “Pergilah mandi!” aku mendorongnya jauh dari tubuhku. “Kau harus bersih. Khususnya si perkasa kecilmu itu,” godaku yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Tertawa terbahak-bahak. Aku tidak pernah melihatnya tertawa terbahak-bahak hanya dalam kepribadian Arthur. Meski aku sering melihat Justin atau Darren yang tertawa terbahak-bahak, tapi Arthur, ia lebih spesial jika ia tertawa karena ia jarang tertawa.
            “Mengapa kau tidak memandikanku saja?”
            “Sekarang kau terdengar seperti Kevin.”
            “Berhentilah menyamakanku dengan yang lain. Lagipula, Kevin telah tiada,”
            “Oh. Benar.” Bisikku. “Arthur?”
            “Ya?” ia belum menghilang dari ruang makan.
            “Apa aku harus menggigit dirimu terlebih dahulu agar kau cepat mandi?”
            “Oh, tentu saja Mrs.Bieber,” ujarnya yang membuatku tersentak. Sudah lama ia tidak memanggilku Mrs.Bieber dan sekarang ia memanggilku seperti itu lagi. Lalu aku turun dari kursiku sehingga ia langsung berlari bagaikan harimau dari ruang tamu. Oh, ini sangat lucu.

***

            “Elliot?” panggilku saat aku telah berada di apartemen Elliot. Ya, memang. Elliot sudah tidak tinggal bersama dengan sepupuku lagi. Mereka sekarang memiliki apartemen sendiri-sendiri. Pintu apartemennya tidak terkunci saat aku menekan gagang pintu untuk membukanya. Lalu aku melihat apartemen Elliot yang tampak begitu bersih. Justin berada di belakangku dan mengikutiku masuk ke dalam apartemen Elliot. “Elliot? Apa kau di dalam?”
            “Ave!” kudengar suara Elliot dari dalam kamarnya. Kemudian pintu kamarnya seketika terbuka dan aku melihat Elliot masih dengan piyama yang ia pakai. Piyama. Bisakah kau membayangkan itu? Elliot memakai piyama saat ia sedang tertidur. Dia sudah besar dan itu terdengar seperti anak kecil. Kemudian ia membeku saat ia melihat Justin berada di belakangku.
            “Hei, Justin,” sapanya, berpura-pura stay cool. Tapi sebenarnya tidak. Lalu ia keluar. “Kalian ingin secangkir teh? Atau bir? Aku baru saja membelinya tadi malam,” ujar Elliot tiba-tiba saja pucat. Benar yang dikatakan Arthur. Lalu aku melangkah ke dapur bersama dengan Elliot sambil meninggalkan Justin yang masih berada di ruang tamu namun matanya dari tadi tidak lepas dari dalam kamar Elliot. Ayo, Justin! Masuklah ke dalam kamarnya! Aku berteriak dalam hatiku.
            “Secangkir teh saja, terima kasih,” bisikku.
            “Apa yang kaulakukan tadi malam bersama dengan Justin?”
            “Apa kau benar-benar ingin tahu?”
            “Tentu,” ujarnya kelihatan begitu sibuk namun keringatnya mulai mengucur di sekitar pelipisnya. Ia gugup. Ia mungkin tahu bahwa Arthur telah mengetahui bahwa ia adalah yang membunuh ayahku. Jika ia memang yang membunuh ayahku, aku seperti tidak tahu apa yang harus kulakukan padanya. Mungkin Arthur. Arthur! Kulihat Justin yang telah menghilang dari ruang tamu. Ia masuk ke dalam kamar Elliot.
            “Bercinta.” Jawabku singkat. Lalu Elliot terkesiap, ia menarik nafasnya dalam-dalam. Dua cangkir telah berada di atas meja makan sambil ia menaruh gula ke salah satu gelasnya. “Aku tidak memakai gula,”
            “Apa yang Justin lakukan di dalam kamarku?” tanya Elliot langsung berjalan menuju kamarnya. Aku mengikutinya dari belakang. Kudengar nafas Elliot semakin memburu. Lalu kami menemukan Justin sedang membuka sebuah laci meja belajar Elliot sambil memegang sebuah foto. Ya, sebuah foto. Ayahku. Dia pelakunya.
            “Dia pelakunya, Ave.” Justin berbisik lalu ia mendongak. Jantung terasa diremas begitu saja. Kemudian Justin mengangkat fotonya untuk menunjukkannya padaku. Goresan spidol merah darah yang menuliskan kata “Dead” dengan huruf kapital terlihat di sana. Ayahku mati di tangannya. “Ternyata dia ingin membunuhku Ave,” bisik Justin terkekeh sambil mengangkat satu foto dari laci, lagi. Foto Justin dengan goresan yang sama hanya tulisannya yang berbeda. “Next” tulisnya dengan huruf kapital.
            “Ave, ini bukan –“
            “Oh, lihat! Sebuah pistol ada di dalam sini!” ujar Justin mengangkat sebuah pistol dari laci. “Elliot, kurasa kau harus lebih pintar untuk menaruh pistol. Ini barang berbahaya kautahu,” suara Justin terdengar sangat santai. Senyum kecil muncul di wajah Justin. Mataku menatap Elliot sekarang. Wajahnya sekarang pucat. Keringat mengucur di sekitar wajahnya. Air mataku mulai membendung.
            “Mengapa kau melakukan ini?” tanyaku, lirih.
            Kecewa. Aku sungguh kecewa.
            “Karena dia! Karena dia, kau tidak mencintaiku!” bentak Elliot, wajahnya semakin pucat. Lalu dengan kasar ia mengambil pistol yang berada di tangan Justin lalu ia menarik tangan Justin dan memutarnya ke belakang sehingga sekarang tangan Justin terkunci. Aku tersentak. Ujung pistol sekarang telah berada di pipi Justin. Namun Justin tampaknya –oh Arthur—biasa-biasa saja. Elliot menarik pelatuknya, namun belum menembak Arthur.
            “Kau gila! Apa kau berpikir apa yang sedang kaulakukan?”
            “Aku melakukan ini karena kau sialan!” Sialan
            “Elliot! Tidak!” aku menarik tangannya yang memegang pistol dari pipi Arthur lalu aku langsung menarik Arthur agar ia lepas dari Elliot dan Arthur menarik tangan Elliot yang lain kemudian ia melakukan hal yang sama. Namun Elliot berteriak, ia memberontak. Dan “DOR” suara tembakan terdengar. Mataku membulat. Menatap Arthur yang terkejut setengah mati.

            Aku tertembak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar