Selasa, 24 Desember 2013

A Beautiful Nightmare Bab 11









AUTHOR

            Tapi semuanya gagal. Tidak ada yang bisa Justin lakukan selain menatapi Lily yang terbaring di atas tempat tidur dengan wajah pucat. Tak bernafas lagi. Rasanya Justin ingin memukul seseorang. Matanya memerah dan basah akibat tangisannya karena luapan amarah yang tak bisa ia tahan. Laura terduduk di atas sofa, ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang telah terjadi pada Lily. Gadis mungil yang berumur 5 tahun itu baru saja dipanggil Tuhan di malam natal. Apakah benar ini adalah hadiah natal yang diterima oleh Justin dan Laura? Mereka bahkan belum memperlihatkan hadiah yang mereka belikan pada Lily. Laura mengelap ingusnya dengan tissue yang entah keberapa kalinya. Pattie tidak dapat menahan kesedihannya, ia pingsan ketika mengetahui Lily meninggal. Sekarang ia berada di ruang rawat yang lain untuk diperiksa keadaannya. Laura mendongak, matanya memerah sama seperti mata Justin. Dari tadi Justin tidak mengatakan sepatah katapun.
            Tangan Justin mengelus rambut Lily dengan lembut. Wajah Lily benar-benar mirip dengan ibunya, Ramona. Untuk yang kedua kalinya, Justin kehilangan orang yang ia cintai. Mengapa penyakit sialan itu harus ada di dunia ini? Semua ini membuat Justin merasa tak ada harapan hidup lagi. Lily telah pergi. Seharusnya Justin sudah mempersiapkan mentalnya untuk kehilangan Lily suatu saat ini. Tapi Justin tidak pernah berpikir Lily akan pergi secepat ini. Justin bahkan belum pernah memberitahu pada Lily bahwa ia adalah ayah Lily. Tiga hari ke depan Lily akan dimakamkan di Kanada.
            “Mengapa hal ini harus terjadi padaku?” Tanya Justin meneteskan air matanya. Ibu jarinya mengelus pipi Lily yang dingin. Tangisan Laura memecah. Ia benar-benar pernah melihat Justin sesedih ini, dan hasilnya benar-benar mengagumkan. Justin benar-benar membuat Laura merasa terharu, prihatin sekaligus sedih dalam waktu yang bersamaan. Laura bangkit dari sofa, ia mendekati Justin lalu memeluk Justin.
            “Aku benar-benar menyesal Justin. Ini bukan apa yang kita harapkan, bukan? Mungkin ini semua untuk kebaikan Lily. Mungkin Tuhan berpikir lebih baik Lily bersamaNya di surga dibanding Lily harus terus menerus merasakan sakit di dunia,” ucap Laura terisak. Justin memeluk Laura, ia membenamkan wajahnya ke dalam rambut Laura yang lebat. “Aku benar-benar menyesal,” isak Laura memejamkan mata. Air mata itu mengalir melewati pipinya lalu menyerap pada jas Justin. Beberapa detik kemudian Laura melepaskan pelukan itu, ia lebih baik berada di luar kamar Lily dibanding ia harus menyaksikan Justin menangis. Pintu itu tertutup bersama dengan Laura yang sudah berada di luar. Justin terisak. Ia benar-benar merasa kehilangan. Setelah Ramona, belahan jiwanya pergi dari hidupnya, sekarang jiwanya yang lain pergi meninggalkan Justin. Mengapa Tuhan tidak memanggil Justin saja dari dunia ini? Mengapa harus mereka—orang-orang yang Justin cintai? Dengan kaki yang lemas, Justin membawa tubuhnya menuju sofa lalu terjatuh di atasnya. Telapak tangan kiri Justin menutupi wajah, ia terisak, menangis. Benar-benar menangis. Anak tunggalnya sekarang sudah bersama dengan Tuhan. Ia pasti sekarang sudah benar-benar tenang berada di surga ditemani oleh ibunya. Rasanya Justin ingin ikut ke sana, bergabung dengan mereka yang kebahagiaannya sudah pasti tidak bisa dipungkiri.
            Namun masih ada satu orang lagi yang bisa Justin pertahankan. Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Laura? Hanya dia satu-satunya yang masih hidup dan yang Justin cintai. Masih ada satu bulan lagi untuk meyakinkan Laura bahwa Justin …Justin mencintainya. Ya. Justin hanya butuh waktu.


***


            Justin memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya yang merah itu. Dan tentunya untuk menutupi bahwa ia tidak menangis. Anak satu-satunya baru saja dimakamkan. Ada beberapa teman dekat Justin yang datang untuk melawat. Hanya isak tangis dari Pattie yang terdengar di pemakaman. Jeremy sebisa mungkin menenangkan Pattie dengan cara mengelus-elus lengannya dan mengucapkan kata-kata untuk tetap tenang dan semuanya baik-baik saja. Laura memakai gaun hitam yang benar-benar pas dengan tubuhnya. Topi hitam yang besar sekarang telah menutupi kepalanya beserta dengan wajahnya. Hidung Laura memerah karena ia selalu memencetnya saat ia membersihkan ingusnya. Tidak ada yang bisa Laura lakukan selain menatapi pemakaman Lily. Pendeta sudah pergi dari pemakaman. Satu per satu orang yang datang menaruh bunga-bunga mereka ke atas tanah—atau lebih tepatnya es— makam Lily. Pattie ditarik Jeremy untuk pergi dari pemakaman untuk ditenangkan. Jeremy tidak ingin mengambil resiko istrinya pingsan di tengah-tengah pemakaman. Hanya tinggal Justin dan Laura di sana.
            Justin melepaskan kacamatanya. Mata merahnya mulai terlihat dan sangat basah. Justin mengelap air matanya dengan ibu jari dan telunjuknya lalu ia menarik nafas dalam-dalam. Justin menengadahkan kepalanya agar air matanya tak mengalir lagi, ia menghela nafas panjangnya. Benar-benar sulit dipercaya bahwa seorang Justin Herich akan menangis sesedih ini. Tapi sekuat-kuatnya seseorang, dia pasti memiliki kelemahan. Tidak ada manusia yang sempurna, semua orang tahu itu.
            “Apa kau ingin pulang?” Tanya Laura berusaha agar suaranya tidak terdengar parau. Laura melepaskan topinya, sinar matahari mulai menyinarinya. Tentu saja matahari itu tidak akan bisa menghangatkan Laura. Justin melipat bibirnya ke dalam, lalu menoleh pada Laura. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Justin meraih tangan Laura dan menariknya untuk pergi dari pemakaman. Tangan Laura yang lain memegang liontin kalungnya, ia mengelus-elus liontin itu dengan jantung yang berdegup kencang. Entah mengapa firasatnya mengatakan akan ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi sebentar lagi. Dan tentu saja Laura tidak tahu apa itu. Ketika sudah berada di dalam mobil, Justin tidak mengatakan apa pun. Mungkin Justin tidak ingin berbicara dulu.
            “Lily meninggal sama seperti Ramona,” ucap Justin yang membuat kepala Laura menoleh padanya. “Mengapa mereka harus dipanggil Tuhan?” Bentak Justin memukul setir mobil. Laura terlonjak kaget karena bentakan Justin yang tidak biasa. Ya Tuhan, desah Laura dalam hati. Ia menelan ludah.      “Aku muak dengan hidup ini. Mengapa kesialan selalu tertuju padaku? Mengapa tidak kesialan tidak jatuh pada…” Justin tidak melanjutkan kata-katanya. Kenapa tidak dengan Thomas? Atau Jimmy? Mengapa bukan mereka saja yang meninggal? , Justin melanjutkan kata-kata itu dalam hati. “Musuh-musuhku,” ucap Justin memberikan pesan tersirat. Tapi Laura bahkan tidak berpikir sampai Thomas. Akhir-akhir ini ia tidak memikirkan Thomas. Ia terlalu tenggelam dengan dunianya bersama Justin. Bahkan jika Laura boleh jujur, ia benar-benar jatuh cinta pada Justin sejak kejadian ia memukul Justin dengan gitar. Ternyata gitar Jimmy benar-benar berguna untuk mengubah kehidupan Laura.
            “Aku ada di sini,” ucap Laura menempatkan tangannya ke atas bahu Justin. “Jangan pernah berpikir hanya kau yang memiliki beban terberat di dunia ini. Tuhan memberikan takaran cobaan pada manusia-manusianya sesuai dengan keadaan mereka. Tidak lebih atau kurang. Semuanya adil. Hanya saja bagaimana cara kita menghadapinya,” lanjut Laura. Justin mengabaikan ceramah Laura, ia hanya teringat dengan kalimat pertama Laura.
            “Yeah, masih ada kau,” bisik Justin. “Masih ada kau yang harus kupertahankan.”


***


LAURA HARE

            Kami sudah kembali ke New York, tiga hari setelah pemakaman Lily. Pagi ini aku membiarkan Justin tetap berada di kamarnya dan tidak membangunkannya. Malam ini kami memang tidak bersama. Kurasa ia memang masih membutuhkan waktu untuk sendirian. Aku sudah mandi beberapa menit yang lalu, jadi aku memutuskan untuk sarapan. Aku mengerti sekali perasaan Justin sekarang. Ayahku juga meninggal, jadi aku tahu bagaimana perasaan Justin. Dulu aku pernah hampir bunuh diri karena ibuku sudah tidak peduli denganku semenjak ayahku meninggal. Aku memotong urat nadiku, tapi tidak berhasil. Aku masih hidup. Bahkan aku menjatuhkan tubuhku ke sungai, namun aku berakhir di rumah sakit dan koma selama berminggu-minggu. Yang paling lucu diantara semua percobaan bunuh diriku adalah ketika aku ingin menggantung diri di kamarku. Aku baru saja melompat dari atas kursi setelah mengikat leherku, tapi yang ada, aku malah terjatuh dan atap kamarku roboh. Mungkin karena aku terlalu berat. Sejak saat itu aku tidak ingin mencoba bunuh diri lagi karena aku tidak ingin merepotkan nenekku lagi. Dan kuharap Justin tidak berusaha untuk bunuh diri.
            Aku meminta salah satu pelayan untuk menyiapkanku sarapan. Dan sarapan untuk Justin. Mungkin ia ingin sarapan di kamarnya. Tanganku menarik kursi dan aku duduk di sana. Pagi yang hening. Seperti biasa. Dan omong-omong, Jasmine tidak mengirim pesan atau datang ke rumah Justin untuk mengucapkan turut berdukacita pada Justin. Maksudku, sejahat apa pun Justin, tetap saja ia adalah mantan kekasihnya, orang yang pernah ia cintai. Indra pendengaranku mendengar suara teriakan Justin dari atas. Refleks aku langsung bangkit dan berlari menaiki tangga. Apa yang terjadi padanya? Aku tidak pernah mendengar Justin berteriak di pagi hari. Kecuali ia mimpi buruk. Tanganku membuka pintu kamar Justin. Kulihat Justin beringsut di atas tempat tidurnya, kedua kakinya menendang-tendang tempat tidur dan tangannya meremas-remas sprei. Aku panik. Tanganku memegang kedua bahunya lalu menggoyang-goyangkan tubuhnya agar ia bangun dari tidurnya.
            “Ya Tuhan! Lily!” Teriak Justin membuka matanya seketika itu juga. Ia panik. Wajahnya dibanjiri oleh keringat dan memerah. Kurasa mimpi buruk. Aku mengelap keringat Justin dengan telapak tanganku. Ya Tuhan, ia benar-benar memimpikan Lily. “Mimpi buruk,” bisiknya memelukku. Aku membalas pelukannya. Nafasnya masih naik-turun tak beraturan, ia ketakutan.
            “Aku pernah merasakannya,” bisikku. “Tentang zombie yang akan memakanku,” lanjutku tak berbohong. Yeah, aku pernah bermimpi tentang zombie yang memakanku hidup-hidup. Mereka merobek perutku dan mengeluarkan isinya. Aku membuka mataku agar tidak mengingat-ingat mimpi itu lagi. Itu adalah mimpi terburuk yang pernah kumiliki. Dan aku berharap tidak akan pernah memimpikan zombie lagi. Justin tertawa beberapa detik setelahnya. Aku jadi tersenyum karena berhasil membuatnya tertawa.
            “Oh, Lily mendatangiku. Aku memeluknya dan ada seseorang yang merebutnya dariku. Ya Tuhan itu adalah mimpi terburukku sejauh ini,”
            “Itu hanya mimpi Justin. Dia sudah berada di tangan yang aman,” bisikku.
            “Berjanjilah padaku untuk tidak meninggalkanku,” balas Justin. Aku membisu seketika. Justin melepas pelukan ini lalu menempatkanku di atas pahanya. Entahlah. Aku masih belum mengambil keputusan siapa yang harus kupilih. Apakah itu Justin atau Thomas? Bagaimana pun juga aku sudah berjanji pada Thomas untuk kembali padanya dengan perasaan yang sama. Dan aku masih bingung dengan perasaanku. Memang aku jatuh cinta pada Justin, tapi aku masih memiliki tempat untuk Thomas. Semuanya akan kupilih dua minggu lagi. Yeah, dua minggu lagi aku akan memilih; apa aku akan lepas dari pelukan Justin atau aku akan terus berada dalam pelukannya. Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya menarik pipinya lalu mengecup bibir Justin.
            “Mau sarapan bersamaku?” Tanyaku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Justin tidak mengatakan apa-apa, namun tangannya menahan pinggangku agar aku tidak beranjak dari pahanya.
            “Kau belum menjawab pertanyaanku,” tukasnya memaksa. Aku menggelengkan kepala, menggigt bibir dan memerhatikan bibirnya. Entahlah, aku masih belum yakin dengan keputusanku. Belum matang lebih tepatnya.
            “Aku tidak tahu. Kita lihat saja nanti, Justin,” bisikku menempatkan jari telunjuk pada bibirnya. Jariku menelusuri garis bibirnya, matanya terpejam dan nafasnya mengembus menerpa jariku dengan hangat dan lembut. “Jika aku tidak memilihmu, kau masih bisa menghubungiku jika kau mau,”
            “Tidak, aku tidak bisa melakukan itu. Aku hanya ingin kau menjadi milikku sepenuhnya,” ujarnya dengan nada suara penuh ketegasan. Jika begitu, ia pasti benar-benar memegang perkataannya. “Aku masih memiliki dua minggu lagi. Aku pasti akan sangat merindukanmu. Meski aku berharap kau tidak lari dariku. Atau meninggalkanku. Semua keputusan ada di tanganmu, Laura,” jariku masih menyentuh bibirnya yang dari tadi bergerak-gerak.
            “Aku akan memutuskannya secepat yang kubisa,” ucapku berusaha menyakinkannya. “Jika aku tidak memilihmu, apa yang akan kaulakukan pada Thomas?”
            “Aku tidak akan melakukan apa-apa padanya, hutangnya sudah terbayar lunas,” ucap Justin. “Omong-omong, ada yang harus kukatakan padamu,”
            “Apa?”
            “Thomas sudah kupecat sejak lama. Aku minta maaf. Tapi aku juga tidak bisa menyimpan rahasia ini padamu. Hanya saja, aku memang tidak menyukainya sejak aku bertemu denganmu,”            ucap Justin dengan jujur. Aku terkejut, tentu saja. Ia tidak pernah memberitahu ini padaku sebelumnya dan sebenarnya, aku tidak pernah berpikir bahwa Justin akan memecat Thomas. Maksudku, tidak pernah berpikir sampai ke sana. Dan alasannya tidak menyukai Thomas benar-benar sulit dipercaya. Ia tidak menyukai Thomas sejak dia bertemu denganku? Atau karena ia tahu bahwa Thomas dan aku adalah sepasang kekasih? Tapi, siapa aku? Aku tidak berhak atas wewenang Justin. Ia bisa memecat Thomas kapan saja.
            “Tidak apa-apa,” bisikku terpaksa. Jadi, Thomas tidak memiliki pekerjaan. Mungkin ia mendapat pekerjaan yang lain sekarang. Pasti. “Ayo sarapan.” ajakku bangkit dari paha Justin. Dapat kurasakan Justin merasa sangat lega setelah mengatakan itu, kupikir, ia telah menyimpan rahasia ini sudah lama. Tidak apa-apa, setidaknya ia sudah berusaha untuk terbuka dan bersikap jujur padaku. Tapi bukan berarti aku akan memilihnya.


***


AUTHOR

            Selama dua minggu penuh Justin menghabiskan waktunya bersama denganLaura. Ia memperlakukan Laura seperti puteri raja di sebuah pulau. Mereka selalu memliki waktu bersama. Bahkan Justin lebih memilih Laura daripada harus meladeni pekerjaannya. Mungkin seperti inilah rasanya jika orang sudah jatuh cinta. Apa pun yang mereka kerjakan tidak akan dipedulikan olehnya, kecuali jika itu berhubungan dengan kekasihnya. Tapi Justin dan Laura bukan sepasangan kekasih. Laura memiliki kekasih di luar sana yang harus Laura temui malam ini. Justin telah meminta Thomas untuk menjemput Laura di depan rumahnya. Laura tidak merapikan apa-apa. Ia datang ke rumah ini tanpa membawa apa-apa bukan? Jadi, apa yang harus ia persiapkan? Mungkin hanya kalung dan fotonya bersama Justin di bawah mistletoe. Tidak, ia tidak membawa gaun yang Justin sukai saat kencan pertama mereka. Kencan pertama, Laura terkekeh mengingat makan malam itu karena itu tidak berkesan seperti kencan. Tahun baru ini Laura merayakannya bersama dengan Justin. Yeah, bercinta dengan Justin di dalam kamar sementara yang lain berpesta. Tapi saat itu, Justin melakukannya begitu lembut dan intens.Malam itu adalah malam terbaik bagi Laura.
            Mata Laura menatap kosong jendela pembatas kamar dan balkonnya. Entah apa yang sedang ia pikirkan tapi ia merasa kehilangan. Mungkin karena Laura memiliki waktu yang benar-benar berharga bersama dengan Justin akhir-akhir ini membuat Laura tak ingin pergi dari rumah Justin. Apa yang akan Laura pilih? Apa ia akan lebih memilih berada dalam pelukan Justin dan meninggalkan Thomas? Atau meninggalkan Justin dan bersama dengan Thomas? Di satu sisi Laura benar-benar merindukan Thomas. Ia penasaran dengan keadaan Thomas. Bahkan ia ingin memeluk Thomas sekarang. Pria itu adalah pria pertama yang membuatnya jatuh cinta setengah mati—sebelum kedatangan Justin ke kehidupan Laura. Tidak mungkin Laura akan melupakan Thomas begitu saja. Lalu Laura berpikir, siapa yang akan Justin pertahankan? Jasmine. Setelah Justin kehilangan Ramona dan Lily, Justin masih memiliki Jasmine yang menunggu Justin di rumahnya, mungkin. Laura bukan belahan jiwa Justin, bukan? Jadi, untuk apa Laura takut Justin akan merasa kehilangannya?
            Sebentar lagi Thomas akan datang ke rumah Justin. Pintu kamar Laura terbuka. Muncullah seorang pria tampan yang selama ini menemani Laura. Pria yang sepertinya tidak ingin Laura pergi dari rumahnya, namun ia sadar betul bahwa perjanjian adalah perjanjian. Hanya saja, semua keputusan berada di tangan Laura. Ia hanya ingin tahu apa keberuntungan berpihak padanya atau pria bajingan yang akan menjemput Laura sebentar lagi. Laura tersenyum ketika ia melihat Justin lalu tangannya mengelus-elus tempat tidurnya.
            “Aku akan sangat merindukan tempat tidur ini,” bisik Laura tertawa getir. Bibirnya terlipat ke dalam lalu menyembul kembali. Kali ini Laura tidak berani menatap mata Justin, ia terlalu takut jika air matanya akan jatuh kembali seperti pertama kali Justin mengabaikannya. Justin mendekatinya, meraih tangan Laura yang bertumpu pada tempat tidur lalu mengangkat Laura dari tempat tidur. Dan lalu Justin melepaskan Laura, ia mengambil gaun Laura yang menyala itu dari lemari.Ia menyodorkannya pada Laura.
            “Pakailah,” perintah Justin yang tidak dapat Laura bantah. Tanpa berpikir panjang, Laura segera melepaskan pakainnya di hadapan Justin tanpa malu-malu. Ia memasukkan tubuhnya ke dalam gaun abu-abu pucat yang panjang itu lalu membenarkannya sebentar. Justin memegang remote kecil itu lalu menekan salah satu tombol. Saat itu juga gaun itu menyala.
            “Menarilah bersamaku,” bisik Justin. “Mungkin ini akan menjadi dansa terakhir kita,” lanjut Justin menarik pinggang Laura. Tangannya yang posesif memeluk pinggang Laura selembut yang Justin bisa. Laura menyandarkan kepalanya pada dada Justin, posisi yang sama ketika mereka menari saat malam natal. Namun tidak ada musik yang mengiringi mereka berdansa. Justin hanya bersenandung sambil memejamkan matanya. Laura tahu lagu ini. Bukan Hungry Heart. Tapi My One and Only Love dari Frank Sinatra.
            The shadows fall
            And spread their mystic charms
            In the hush of night
            While you’re in my arms
            I feel you lips so warm and tender
            My one and only love
            Laura ikut bersenandung bersama dengan Justin. Ia tidak peduli apa suaranya bagus atau tidak, ini hanyalah gumaman yang pastinya, Justin tidak pedulikan. Mereka berdansa mengelilingi kamar Laura, rasanya Laura ingin tertidur dalam pelukan Justin. Every kiss you give, sets my souls on fire.
            “Kau masih bisa memiliki kesempatan untuk tinggal bersamaku, Laura,” bisik Justin. “Jadi, siapa yang kaupilih?” Tanya Justin yang membuat suasana remang-remang di sore hari tanpa pencahayaan lampu itu rusak begitu saja. Laura yang menghentikan dansanya membuat Justin memeluk Laura lebih erat lagi. Pria itu takut Laura pergi dari pelukannya sebelum ia menjawab pertanyaan Justin.
            “A-aku memilih Thomas,” bisik Laura tanpa berani menatap Justin. Ia hanya menatap bibir Justin yang tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah garis tipis yang tegang. “Aku sungguh menyesal, Justin,” Laura berusaha untuk tidak menitikkan air matanya. Dan ia berhasil, ia hanya memberikan senyum untuk Justin namun masih tidak berani menatap mata Justin. Ketukan pintu kamar Laura terdengar.
            “Mr.Herich, dia sudah berada di bawah,” suara berat dari luar sana terdengar. Laura dan Justin melepaskan pelukannya dengan suasana canggung.
            “Kami akan berada di bawah sebentar lagi,” teriak Justin. “Laura ini yang terakhir. Aku atau Thomas?” pria bajingan itu?, tentunya Justin hanya melanjutkannya di dalam hati. Laura menatap Justin kali ini, ia takut. Mulutnya kemudian terbuka.
            “Thomas,” bisik Laura. Detik itu juga Justin berusaha untuk tidak meninju tembok atau apa pun. Ia benar-benar tidak bisa menerima jawaban Laura. Tapi perjanjian adalah perjanjian. Ia akan memberi Laura pada Thomas jika Laura sudah berada di rumahnya selama 3 bulan penuh. Justin menarik tangan Laura untuk keluar dari kamar. “Tunggu sebentar,” tukas Laura menarik tangannya dari genggaman Justin. Ia masuk kembali ke dalam kamar lalu mengambil celana jins yang tadi ia pakai, ia merogoh kantongnya dan menemukan lipatan kertas kecil di sana. Fotonya dengan Justin. Ia kembali lagi keluar.
            “Ada apa?”
            “Aku ketinggalan sesuatu,” bisik Laura. “Apa aku tidak perlu mengganti pakaianku?” Tanya Laura gugup. Justin menggelengkan kepalanya, ia mematikan lampu-lampu itu melalui remote kecil yang Justin pegang.
            “Ini punyamu,” ucap Justin memberikan remote itu pada Laura. Sebelum mereka melangkah menuju tangga, Justin meraih kepala Laura. Ia memegang pipinya lalu mengecup bibir ranum itu dengan lembut. “Terima kasih sudah masuk ke dalam hidupku.” ucapan Justin benar-benar mengenai hati Laura. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Laura. Ia dan Justin menuruni tangga. Di bawah sana sudah terlihat begitu banyak pelayan yang berdiri berhadapan membuat satu jalan lurus bagi mereka berdua. Entah mengapa Justin mempersiapkan perpisahan mereka begitu berlebihan. Saat Laura melewati para pelayan itu, mereka mengucapkan kata selamat tinggal pada Laura dengan bisikan. Akhirnya, Justin dan Laura berada di luar rumah. Ada beberapa penjaga di dekat pintu pagar rumah Justin yang telah menjaga Thomas berdiri di mulut pintu pagar. Senyuman Laura mengembang begitu saja. Ia berlari penuh semangat menuju Thomas. Segera saja Thomas menangkap Laura yang ingin memeluknya. Mereka berputar-putar seperti dua pasangan yang baru saja menikah. Air mata Laura menetes terharu. Akhirnya ia bisa benar-benar memeluk Thomas tanpa takut perasaan takut sedikitpun. Justin menatap mereka berdua dari jarak jauh dengan tatapan penuh kebencian. Bukan pada Laura, tentunya. Hanya pada Thomas. Mereka menyentuh pipi satu sama lain lalu mengecup bibir. Melepas kerinduan satu sama lain. Thomas mengelus rambut Laura dengan raut wajah penuh kelegaan. Justin tidak senang melihat Laura disentuh oleh Thomas. Ya Tuhan, mengapa Laura tidak memilih Justin saja? Justin mengutuk Thomas tiap kali bibir Thomas dan Laura bertemu. Seharusnya itu Justin yang mengecup Laura sekarang!
            “Bagaimana keadaan Jimmy?” Tanya Laura mengapus air matanya.
            “Dia luar biasa senang mengetahui kau akan pulang hari ini. Tenang saja, ia sudah memiliki gitar yang baru,” ucap Thomas. “Aku akan menceritakan apa yang terjadi dengan kami di rumah,” ujar Thomas. Laura memeluk Thomas kembali.
            “Setidaknya kau telah menyiapkan kumis dan janggut ini untukku. Oh, kau terlihat lebih tampan. Maksudku, terlihat lebih dewasa,” ucap Laura merasa bahagia karena Thomas tidak melupakan janjinya terhadap Laura. Justin akhirnya mendekati mereka berdua. Sebisa mungkin Justin terlihat berwibawa di hadapan Thomas. Thomas segera melepaskan pelukan Laura ketika Justin berdeham.
            “Terima kasih, Mr.Herich. Aku sangat—“ namun ucapan itu tak sempat diselesaikan.
            “Kau boleh pergi sekarang,” ucap Justin pada Thomas dengan nada mengancam.
            “Maksudmu?” Tanya Laura tidak mengerti dengan kalimat; kau boleh pergi sekarang. Semuanya terjawab ketika dua penjaga menarik paksa Thomas untuk pergi dari halaman rumah Justin. Kedua tangan Laura telah ditahan oleh dua penjaga Justin lain. Mata Laura membulat terkejut. Wajahnya langsung memerah. “Apa-apaan ini? Justin! Apa maksudmu?” Teriak Laura memberontak. Ia sebisa mungkin lepas dari pegangan penjaga Justin.
            “Laura!” Teriak Thomas yang ditarik-tarik untuk menjauh dari pagar. Thomas pun berusaha untuk lepas dari cengkraman dua penjaga itu, ketika Thomas berhasil lepas, ia langsung lari menuju pintu pagar. Namun terlambat, kedua tangan Thomas telah diraih oleh penjaga-penjaga itu lagi. “Laura, tidak! Lepaskan aku!” Bentaknya dengan wajah memerah.
            “Thomas!” Teriak Laura kali ini dengan air mata.
            “Bawa ia masuk ke dalam,” perintah Justin sebisa mungkin tidak menatap Laura yang menangis. Itu adalah salah satu kelemahan Justin. “Tutup pintu pagar,” perintah Justin kembali. Sekuriti rumah Justin langsung menekan tombol untuk menutup pintu pagar rumah Justin. Laura diseret-seret untuk memasuki rumah Justin.
            “Thomas!” Teriak Laura terus memberontak. Laura masih dapat melihat Thomas yang ditahan di luar sana. Ia sama merahnya dengan wajah Laura.
            “Laura!” Namun pintu pagar telah tertutup. Laura menangis sekencang yang ia bisa dan kekuatannya semakin ia keluarkan. Ini tidak adil! Justin masih berada di tempatnya, tidak menatap Laura atau pagar. Ia menatap langit yang berwarna jingga kemerahan.
            “Kau bajingan Justin! Aku membencimu!” Teriak Laura terus memaki-maki Justin. Justin menerimanya. Ia menerima maki-makian itu dari Laura, ia pantas mendapatkannya. Ia tahu, ia pantas. “Aku membencimu Justin, aku membencimu,” isak Laura yang telah berada di mulut pintu rumah Justin. Kekuatannya masih membuat dua penjaga itu kewalahan untuk membawa Laura masuk.
            “Lepaskan aku! Lepaskan aku, kalian sialan! Aku harap kau mati, Herich! Kau tidak lebih dari seekor hewan! Kau pria terburuk yang tidak pernah kutemui sebelumnya! Berbanggalah karena kau yang pertama!” Teriak Laura terseret masuk dalam rumah Justin. Justin hanya dapat diam ditempatnya. Namun kata-kata Laura membuat hati sakit. Terutama kalimat; Aku harap kau mati.



Besok lagi.

5 komentar:

  1. astaga, justin jahat bgd ya, kalo gitu kan laura jadi makin benci.... tp kenapa juga laura harus milih thomas,, harusnya milih justin,,,, lanjut terus ren, udah g sabar pengen liat endingnya.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha, liat aja nanti endingnya gimana. Ga masuk akal-,-

      Hapus
  2. Yaa, mana mungkin seorang justin mengingkari janjinya??
    Kuharap justin berupah pikiran buat nglepasin laura, trus laura balik sama thomas, tapi laura ngrasa kesepian gk ada justin trus laura balik deh sama justin :) *itu sih maunya haha

    BalasHapus
  3. Berat bagi saya untuk memutuskan. Gue pilih Laura sama sapa aja bingung ah. Terserah penulisnya wae-,-
    besok jam berapa ren?

    BalasHapus
  4. keren ren cmn knp justin ngingkari janjinya ,yaellah
    next ren gsbr bwt bsk malem ahihihi
    and
    merry christmasr ren :)

    BalasHapus