AUTHOR
Tapi
semuanya gagal. Tidak ada yang bisa Justin lakukan selain menatapi Lily yang
terbaring di atas tempat tidur dengan wajah pucat. Tak bernafas lagi. Rasanya
Justin ingin memukul seseorang. Matanya memerah dan basah akibat tangisannya
karena luapan amarah yang tak bisa ia tahan. Laura terduduk di atas sofa, ia
menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang telah terjadi pada
Lily. Gadis mungil yang berumur 5 tahun itu baru saja dipanggil Tuhan di malam
natal. Apakah benar ini adalah hadiah natal yang diterima oleh Justin dan
Laura? Mereka bahkan belum memperlihatkan hadiah yang mereka belikan pada Lily.
Laura mengelap ingusnya dengan tissue yang entah keberapa kalinya. Pattie tidak
dapat menahan kesedihannya, ia pingsan ketika mengetahui Lily meninggal.
Sekarang ia berada di ruang rawat yang lain untuk diperiksa keadaannya. Laura
mendongak, matanya memerah sama seperti mata Justin. Dari tadi Justin tidak
mengatakan sepatah katapun.
Tangan
Justin mengelus rambut Lily dengan lembut. Wajah Lily benar-benar mirip dengan
ibunya, Ramona. Untuk yang kedua kalinya, Justin kehilangan orang yang ia
cintai. Mengapa penyakit sialan itu harus ada di dunia ini? Semua ini membuat
Justin merasa tak ada harapan hidup lagi. Lily telah pergi. Seharusnya Justin sudah
mempersiapkan mentalnya untuk kehilangan Lily suatu saat ini. Tapi Justin tidak
pernah berpikir Lily akan pergi secepat ini. Justin bahkan belum pernah
memberitahu pada Lily bahwa ia adalah ayah Lily. Tiga hari ke depan Lily akan
dimakamkan di Kanada.
“Mengapa
hal ini harus terjadi padaku?” Tanya Justin meneteskan air matanya. Ibu jarinya
mengelus pipi Lily yang dingin. Tangisan Laura memecah. Ia benar-benar pernah
melihat Justin sesedih ini, dan hasilnya benar-benar mengagumkan. Justin
benar-benar membuat Laura merasa terharu, prihatin sekaligus sedih dalam waktu
yang bersamaan. Laura bangkit dari sofa, ia mendekati Justin lalu memeluk
Justin.
“Aku
benar-benar menyesal Justin. Ini bukan apa yang kita harapkan, bukan? Mungkin
ini semua untuk kebaikan Lily. Mungkin Tuhan berpikir lebih baik Lily
bersamaNya di surga dibanding Lily harus terus menerus merasakan sakit di
dunia,” ucap Laura terisak. Justin memeluk Laura, ia membenamkan wajahnya ke
dalam rambut Laura yang lebat. “Aku benar-benar menyesal,” isak Laura
memejamkan mata. Air mata itu mengalir melewati pipinya lalu menyerap pada jas
Justin. Beberapa detik kemudian Laura melepaskan pelukan itu, ia lebih baik
berada di luar kamar Lily dibanding ia harus menyaksikan Justin menangis. Pintu
itu tertutup bersama dengan Laura yang sudah berada di luar. Justin terisak. Ia
benar-benar merasa kehilangan. Setelah Ramona, belahan jiwanya pergi dari
hidupnya, sekarang jiwanya yang lain pergi meninggalkan Justin. Mengapa Tuhan
tidak memanggil Justin saja dari dunia ini? Mengapa harus mereka—orang-orang
yang Justin cintai? Dengan kaki yang lemas, Justin membawa tubuhnya menuju sofa
lalu terjatuh di atasnya. Telapak tangan kiri Justin menutupi wajah, ia
terisak, menangis. Benar-benar menangis. Anak tunggalnya sekarang sudah bersama
dengan Tuhan. Ia pasti sekarang sudah benar-benar tenang berada di surga
ditemani oleh ibunya. Rasanya Justin ingin ikut ke sana, bergabung dengan mereka
yang kebahagiaannya sudah pasti tidak bisa dipungkiri.
Namun
masih ada satu orang lagi yang bisa Justin pertahankan. Tentu saja. Siapa lagi
kalau bukan Laura? Hanya dia satu-satunya yang masih hidup dan yang Justin
cintai. Masih ada satu bulan lagi untuk meyakinkan Laura bahwa Justin …Justin
mencintainya. Ya. Justin hanya butuh waktu.
***
Justin
memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya yang merah itu. Dan tentunya
untuk menutupi bahwa ia tidak menangis. Anak satu-satunya baru saja dimakamkan.
Ada beberapa teman dekat Justin yang datang untuk melawat. Hanya isak tangis
dari Pattie yang terdengar di pemakaman. Jeremy sebisa mungkin menenangkan
Pattie dengan cara mengelus-elus lengannya dan mengucapkan kata-kata untuk
tetap tenang dan semuanya baik-baik saja. Laura memakai gaun hitam yang
benar-benar pas dengan tubuhnya. Topi hitam yang besar sekarang telah menutupi
kepalanya beserta dengan wajahnya. Hidung Laura memerah karena ia selalu
memencetnya saat ia membersihkan ingusnya. Tidak ada yang bisa Laura lakukan
selain menatapi pemakaman Lily. Pendeta sudah pergi dari pemakaman. Satu per
satu orang yang datang menaruh bunga-bunga mereka ke atas tanah—atau lebih
tepatnya es— makam Lily. Pattie ditarik Jeremy untuk pergi dari pemakaman untuk
ditenangkan. Jeremy tidak ingin mengambil resiko istrinya pingsan di
tengah-tengah pemakaman. Hanya tinggal Justin dan Laura di sana.
Justin
melepaskan kacamatanya. Mata merahnya mulai terlihat dan sangat basah. Justin
mengelap air matanya dengan ibu jari dan telunjuknya lalu ia menarik nafas
dalam-dalam. Justin menengadahkan kepalanya agar air matanya tak mengalir lagi,
ia menghela nafas panjangnya. Benar-benar sulit dipercaya bahwa seorang Justin
Herich akan menangis sesedih ini. Tapi sekuat-kuatnya seseorang, dia pasti
memiliki kelemahan. Tidak ada manusia yang sempurna, semua orang tahu itu.
“Apa
kau ingin pulang?” Tanya Laura berusaha agar suaranya tidak terdengar parau.
Laura melepaskan topinya, sinar matahari mulai menyinarinya. Tentu saja
matahari itu tidak akan bisa menghangatkan Laura. Justin melipat bibirnya ke
dalam, lalu menoleh pada Laura. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Justin meraih
tangan Laura dan menariknya untuk pergi dari pemakaman. Tangan Laura yang lain
memegang liontin kalungnya, ia mengelus-elus liontin itu dengan jantung yang
berdegup kencang. Entah mengapa firasatnya mengatakan akan ada sesuatu yang
buruk yang akan terjadi sebentar lagi. Dan tentu saja Laura tidak tahu apa itu.
Ketika sudah berada di dalam mobil, Justin tidak mengatakan apa pun. Mungkin
Justin tidak ingin berbicara dulu.
“Lily
meninggal sama seperti Ramona,” ucap Justin yang membuat kepala Laura menoleh
padanya. “Mengapa mereka harus dipanggil Tuhan?” Bentak Justin memukul setir
mobil. Laura terlonjak kaget karena bentakan Justin yang tidak biasa. Ya Tuhan, desah Laura dalam hati. Ia
menelan ludah. “Aku muak dengan hidup
ini. Mengapa kesialan selalu tertuju padaku? Mengapa tidak kesialan tidak jatuh
pada…” Justin tidak melanjutkan kata-katanya. Kenapa tidak dengan Thomas? Atau Jimmy? Mengapa bukan mereka saja yang
meninggal? , Justin melanjutkan kata-kata itu dalam hati. “Musuh-musuhku,”
ucap Justin memberikan pesan tersirat. Tapi Laura bahkan tidak berpikir sampai
Thomas. Akhir-akhir ini ia tidak memikirkan Thomas. Ia terlalu tenggelam dengan
dunianya bersama Justin. Bahkan jika Laura boleh jujur, ia benar-benar jatuh
cinta pada Justin sejak kejadian ia memukul Justin dengan gitar. Ternyata gitar
Jimmy benar-benar berguna untuk mengubah kehidupan Laura.
“Aku
ada di sini,” ucap Laura menempatkan tangannya ke atas bahu Justin. “Jangan
pernah berpikir hanya kau yang memiliki beban terberat di dunia ini. Tuhan
memberikan takaran cobaan pada manusia-manusianya sesuai dengan keadaan mereka.
Tidak lebih atau kurang. Semuanya adil. Hanya saja bagaimana cara kita
menghadapinya,” lanjut Laura. Justin mengabaikan ceramah Laura, ia hanya
teringat dengan kalimat pertama Laura.
“Yeah,
masih ada kau,” bisik Justin. “Masih ada kau yang harus kupertahankan.”
***
LAURA
HARE
Kami
sudah kembali ke New York, tiga hari setelah pemakaman Lily. Pagi ini aku
membiarkan Justin tetap berada di kamarnya dan tidak membangunkannya. Malam ini
kami memang tidak bersama. Kurasa ia memang masih membutuhkan waktu untuk
sendirian. Aku sudah mandi beberapa menit yang lalu, jadi aku memutuskan untuk
sarapan. Aku mengerti sekali perasaan Justin sekarang. Ayahku juga meninggal,
jadi aku tahu bagaimana perasaan Justin. Dulu aku pernah hampir bunuh diri
karena ibuku sudah tidak peduli denganku semenjak ayahku meninggal. Aku
memotong urat nadiku, tapi tidak berhasil. Aku masih hidup. Bahkan aku
menjatuhkan tubuhku ke sungai, namun aku berakhir di rumah sakit dan koma
selama berminggu-minggu. Yang paling lucu diantara semua percobaan bunuh diriku
adalah ketika aku ingin menggantung diri di kamarku. Aku baru saja melompat
dari atas kursi setelah mengikat leherku, tapi yang ada, aku malah terjatuh dan
atap kamarku roboh. Mungkin karena aku terlalu berat. Sejak saat itu aku tidak
ingin mencoba bunuh diri lagi karena aku tidak ingin merepotkan nenekku lagi. Dan
kuharap Justin tidak berusaha untuk bunuh diri.
Aku
meminta salah satu pelayan untuk menyiapkanku sarapan. Dan sarapan untuk
Justin. Mungkin ia ingin sarapan di kamarnya. Tanganku menarik kursi dan aku
duduk di sana. Pagi yang hening. Seperti biasa. Dan omong-omong, Jasmine tidak
mengirim pesan atau datang ke rumah Justin untuk mengucapkan turut berdukacita
pada Justin. Maksudku, sejahat apa pun Justin, tetap saja ia adalah mantan
kekasihnya, orang yang pernah ia cintai. Indra pendengaranku mendengar suara
teriakan Justin dari atas. Refleks aku langsung bangkit dan berlari menaiki
tangga. Apa yang terjadi padanya? Aku tidak pernah mendengar Justin berteriak
di pagi hari. Kecuali ia mimpi buruk. Tanganku membuka pintu kamar Justin.
Kulihat Justin beringsut di atas tempat tidurnya, kedua kakinya
menendang-tendang tempat tidur dan tangannya meremas-remas sprei. Aku panik.
Tanganku memegang kedua bahunya lalu menggoyang-goyangkan tubuhnya agar ia
bangun dari tidurnya.
“Ya
Tuhan! Lily!” Teriak Justin membuka matanya seketika itu juga. Ia panik.
Wajahnya dibanjiri oleh keringat dan memerah. Kurasa mimpi buruk. Aku mengelap
keringat Justin dengan telapak tanganku. Ya Tuhan, ia benar-benar memimpikan
Lily. “Mimpi buruk,” bisiknya memelukku. Aku membalas pelukannya. Nafasnya masih
naik-turun tak beraturan, ia ketakutan.
“Aku
pernah merasakannya,” bisikku. “Tentang zombie yang akan memakanku,” lanjutku
tak berbohong. Yeah, aku pernah bermimpi tentang zombie yang memakanku
hidup-hidup. Mereka merobek perutku dan mengeluarkan isinya. Aku membuka mataku
agar tidak mengingat-ingat mimpi itu lagi. Itu adalah mimpi terburuk yang
pernah kumiliki. Dan aku berharap tidak akan pernah memimpikan zombie lagi. Justin
tertawa beberapa detik setelahnya. Aku jadi tersenyum karena berhasil membuatnya
tertawa.
“Oh,
Lily mendatangiku. Aku memeluknya dan ada seseorang yang merebutnya dariku. Ya
Tuhan itu adalah mimpi terburukku sejauh ini,”
“Itu
hanya mimpi Justin. Dia sudah berada di tangan yang aman,” bisikku.
“Berjanjilah
padaku untuk tidak meninggalkanku,” balas Justin. Aku membisu seketika. Justin
melepas pelukan ini lalu menempatkanku di atas pahanya. Entahlah. Aku masih
belum mengambil keputusan siapa yang harus kupilih. Apakah itu Justin atau
Thomas? Bagaimana pun juga aku sudah berjanji pada Thomas untuk kembali padanya
dengan perasaan yang sama. Dan aku masih bingung dengan perasaanku. Memang aku
jatuh cinta pada Justin, tapi aku masih memiliki tempat untuk Thomas. Semuanya
akan kupilih dua minggu lagi. Yeah, dua minggu lagi aku akan memilih; apa aku
akan lepas dari pelukan Justin atau aku akan terus berada dalam pelukannya. Aku
tidak mengatakan apa-apa, hanya menarik pipinya lalu mengecup bibir Justin.
“Mau
sarapan bersamaku?” Tanyaku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Justin tidak
mengatakan apa-apa, namun tangannya menahan pinggangku agar aku tidak beranjak
dari pahanya.
“Kau
belum menjawab pertanyaanku,” tukasnya memaksa. Aku menggelengkan kepala,
menggigt bibir dan memerhatikan bibirnya. Entahlah, aku masih belum yakin dengan
keputusanku. Belum matang lebih tepatnya.
“Aku
tidak tahu. Kita lihat saja nanti, Justin,” bisikku menempatkan jari telunjuk
pada bibirnya. Jariku menelusuri garis bibirnya, matanya terpejam dan nafasnya
mengembus menerpa jariku dengan hangat dan lembut. “Jika aku tidak memilihmu,
kau masih bisa menghubungiku jika kau mau,”
“Tidak,
aku tidak bisa melakukan itu. Aku hanya ingin kau menjadi milikku sepenuhnya,”
ujarnya dengan nada suara penuh ketegasan. Jika begitu, ia pasti benar-benar
memegang perkataannya. “Aku masih memiliki dua minggu lagi. Aku pasti akan
sangat merindukanmu. Meski aku berharap kau tidak lari dariku. Atau
meninggalkanku. Semua keputusan ada di tanganmu, Laura,” jariku masih menyentuh
bibirnya yang dari tadi bergerak-gerak.
“Aku
akan memutuskannya secepat yang kubisa,” ucapku berusaha menyakinkannya. “Jika
aku tidak memilihmu, apa yang akan kaulakukan pada Thomas?”
“Aku
tidak akan melakukan apa-apa padanya, hutangnya sudah terbayar lunas,” ucap
Justin. “Omong-omong, ada yang harus kukatakan padamu,”
“Apa?”
“Thomas
sudah kupecat sejak lama. Aku minta maaf. Tapi aku juga tidak bisa menyimpan
rahasia ini padamu. Hanya saja, aku memang tidak menyukainya sejak aku bertemu
denganmu,” ucap Justin dengan
jujur. Aku terkejut, tentu saja. Ia tidak pernah memberitahu ini padaku
sebelumnya dan sebenarnya, aku tidak pernah berpikir bahwa Justin akan memecat
Thomas. Maksudku, tidak pernah berpikir sampai ke sana. Dan alasannya tidak
menyukai Thomas benar-benar sulit dipercaya. Ia tidak menyukai Thomas sejak dia
bertemu denganku? Atau karena ia tahu bahwa Thomas dan aku adalah sepasang
kekasih? Tapi, siapa aku? Aku tidak berhak atas wewenang Justin. Ia bisa
memecat Thomas kapan saja.
“Tidak
apa-apa,” bisikku terpaksa. Jadi, Thomas tidak memiliki pekerjaan. Mungkin ia
mendapat pekerjaan yang lain sekarang. Pasti. “Ayo sarapan.” ajakku bangkit
dari paha Justin. Dapat kurasakan Justin merasa sangat lega setelah mengatakan
itu, kupikir, ia telah menyimpan rahasia ini sudah lama. Tidak apa-apa,
setidaknya ia sudah berusaha untuk terbuka dan bersikap jujur padaku. Tapi
bukan berarti aku akan memilihnya.
***
AUTHOR
Selama
dua minggu penuh Justin menghabiskan waktunya bersama denganLaura. Ia
memperlakukan Laura seperti puteri raja di sebuah pulau. Mereka selalu memliki
waktu bersama. Bahkan Justin lebih memilih Laura daripada harus meladeni
pekerjaannya. Mungkin seperti inilah rasanya jika orang sudah jatuh cinta. Apa
pun yang mereka kerjakan tidak akan dipedulikan olehnya, kecuali jika itu
berhubungan dengan kekasihnya. Tapi Justin dan Laura bukan sepasangan kekasih.
Laura memiliki kekasih di luar sana yang harus Laura temui malam ini. Justin
telah meminta Thomas untuk menjemput Laura di depan rumahnya. Laura tidak
merapikan apa-apa. Ia datang ke rumah ini tanpa membawa apa-apa bukan? Jadi,
apa yang harus ia persiapkan? Mungkin hanya kalung dan fotonya bersama Justin
di bawah mistletoe. Tidak, ia tidak
membawa gaun yang Justin sukai saat kencan pertama mereka. Kencan pertama,
Laura terkekeh mengingat makan malam itu karena itu tidak berkesan seperti
kencan. Tahun baru ini Laura merayakannya bersama dengan Justin. Yeah, bercinta
dengan Justin di dalam kamar sementara yang lain berpesta. Tapi saat itu,
Justin melakukannya begitu lembut dan intens.Malam itu adalah malam terbaik
bagi Laura.
Mata
Laura menatap kosong jendela pembatas kamar dan balkonnya. Entah apa yang
sedang ia pikirkan tapi ia merasa kehilangan. Mungkin karena Laura memiliki
waktu yang benar-benar berharga bersama dengan Justin akhir-akhir ini membuat
Laura tak ingin pergi dari rumah Justin. Apa yang akan Laura pilih? Apa ia akan
lebih memilih berada dalam pelukan Justin dan meninggalkan Thomas? Atau
meninggalkan Justin dan bersama dengan Thomas? Di satu sisi Laura benar-benar
merindukan Thomas. Ia penasaran dengan keadaan Thomas. Bahkan ia ingin memeluk
Thomas sekarang. Pria itu adalah pria pertama yang membuatnya jatuh cinta
setengah mati—sebelum kedatangan Justin ke kehidupan Laura. Tidak mungkin Laura
akan melupakan Thomas begitu saja. Lalu Laura berpikir, siapa yang akan Justin
pertahankan? Jasmine. Setelah Justin kehilangan Ramona dan Lily, Justin masih
memiliki Jasmine yang menunggu Justin di rumahnya, mungkin. Laura bukan belahan
jiwa Justin, bukan? Jadi, untuk apa Laura takut Justin akan merasa
kehilangannya?
Sebentar
lagi Thomas akan datang ke rumah Justin. Pintu kamar Laura terbuka. Muncullah
seorang pria tampan yang selama ini menemani Laura. Pria yang sepertinya tidak
ingin Laura pergi dari rumahnya, namun ia sadar betul bahwa perjanjian adalah
perjanjian. Hanya saja, semua keputusan berada di tangan Laura. Ia hanya ingin
tahu apa keberuntungan berpihak padanya atau pria bajingan yang akan menjemput
Laura sebentar lagi. Laura tersenyum ketika ia melihat Justin lalu tangannya mengelus-elus
tempat tidurnya.
“Aku
akan sangat merindukan tempat tidur ini,” bisik Laura tertawa getir. Bibirnya
terlipat ke dalam lalu menyembul kembali. Kali ini Laura tidak berani menatap
mata Justin, ia terlalu takut jika air matanya akan jatuh kembali seperti
pertama kali Justin mengabaikannya. Justin mendekatinya, meraih tangan Laura
yang bertumpu pada tempat tidur lalu mengangkat Laura dari tempat tidur. Dan
lalu Justin melepaskan Laura, ia mengambil gaun Laura yang menyala itu dari
lemari.Ia menyodorkannya pada Laura.
“Pakailah,”
perintah Justin yang tidak dapat Laura bantah. Tanpa berpikir panjang, Laura
segera melepaskan pakainnya di hadapan Justin tanpa malu-malu. Ia memasukkan
tubuhnya ke dalam gaun abu-abu pucat yang panjang itu lalu membenarkannya
sebentar. Justin memegang remote kecil itu lalu menekan salah satu tombol. Saat
itu juga gaun itu menyala.
“Menarilah
bersamaku,” bisik Justin. “Mungkin ini akan menjadi dansa terakhir kita,”
lanjut Justin menarik pinggang Laura. Tangannya yang posesif memeluk pinggang
Laura selembut yang Justin bisa. Laura menyandarkan kepalanya pada dada Justin,
posisi yang sama ketika mereka menari saat malam natal. Namun tidak ada musik
yang mengiringi mereka berdansa. Justin hanya bersenandung sambil memejamkan matanya.
Laura tahu lagu ini. Bukan Hungry Heart. Tapi My One and Only Love dari Frank
Sinatra.
The shadows fall
And spread their mystic charms
In the hush of night
While you’re in my arms
I feel you lips so warm and tender
My one and only love
Laura
ikut bersenandung bersama dengan Justin. Ia tidak peduli apa suaranya bagus
atau tidak, ini hanyalah gumaman yang pastinya, Justin tidak pedulikan. Mereka
berdansa mengelilingi kamar Laura, rasanya Laura ingin tertidur dalam pelukan
Justin. Every kiss you give, sets my
souls on fire.
“Kau
masih bisa memiliki kesempatan untuk tinggal bersamaku, Laura,” bisik Justin.
“Jadi, siapa yang kaupilih?” Tanya Justin yang membuat suasana remang-remang di
sore hari tanpa pencahayaan lampu itu rusak begitu saja. Laura yang
menghentikan dansanya membuat Justin memeluk Laura lebih erat lagi. Pria itu
takut Laura pergi dari pelukannya sebelum ia menjawab pertanyaan Justin.
“A-aku
memilih Thomas,” bisik Laura tanpa berani menatap Justin. Ia hanya menatap
bibir Justin yang tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah garis tipis yang
tegang. “Aku sungguh menyesal, Justin,” Laura berusaha untuk tidak menitikkan
air matanya. Dan ia berhasil, ia hanya memberikan senyum untuk Justin namun
masih tidak berani menatap mata Justin. Ketukan pintu kamar Laura terdengar.
“Mr.Herich,
dia sudah berada di bawah,” suara berat dari luar sana terdengar. Laura dan
Justin melepaskan pelukannya dengan suasana canggung.
“Kami
akan berada di bawah sebentar lagi,” teriak Justin. “Laura ini yang terakhir.
Aku atau Thomas?” pria bajingan itu?,
tentunya Justin hanya melanjutkannya di dalam hati. Laura menatap Justin kali
ini, ia takut. Mulutnya kemudian terbuka.
“Thomas,”
bisik Laura. Detik itu juga Justin berusaha untuk tidak meninju tembok atau apa
pun. Ia benar-benar tidak bisa menerima jawaban Laura. Tapi perjanjian adalah
perjanjian. Ia akan memberi Laura pada Thomas jika Laura sudah berada di
rumahnya selama 3 bulan penuh. Justin menarik tangan Laura untuk keluar dari
kamar. “Tunggu sebentar,” tukas Laura menarik tangannya dari genggaman Justin.
Ia masuk kembali ke dalam kamar lalu mengambil celana jins yang tadi ia pakai,
ia merogoh kantongnya dan menemukan lipatan kertas kecil di sana. Fotonya
dengan Justin. Ia kembali lagi keluar.
“Ada
apa?”
“Aku
ketinggalan sesuatu,” bisik Laura. “Apa aku tidak perlu mengganti pakaianku?”
Tanya Laura gugup. Justin menggelengkan kepalanya, ia mematikan lampu-lampu itu
melalui remote kecil yang Justin pegang.
“Ini
punyamu,” ucap Justin memberikan remote itu pada Laura. Sebelum mereka
melangkah menuju tangga, Justin meraih kepala Laura. Ia memegang pipinya lalu
mengecup bibir ranum itu dengan lembut. “Terima kasih sudah masuk ke dalam
hidupku.” ucapan Justin benar-benar mengenai hati Laura. Tidak ada kata-kata
yang keluar dari mulut Laura. Ia dan Justin menuruni tangga. Di bawah sana
sudah terlihat begitu banyak pelayan yang berdiri berhadapan membuat satu jalan
lurus bagi mereka berdua. Entah mengapa Justin mempersiapkan perpisahan mereka
begitu berlebihan. Saat Laura melewati para pelayan itu, mereka mengucapkan
kata selamat tinggal pada Laura dengan bisikan. Akhirnya, Justin dan Laura
berada di luar rumah. Ada beberapa penjaga di dekat pintu pagar rumah Justin
yang telah menjaga Thomas berdiri di mulut pintu pagar. Senyuman Laura
mengembang begitu saja. Ia berlari penuh semangat menuju Thomas. Segera saja
Thomas menangkap Laura yang ingin memeluknya. Mereka berputar-putar seperti dua
pasangan yang baru saja menikah. Air mata Laura menetes terharu. Akhirnya ia bisa
benar-benar memeluk Thomas tanpa takut perasaan takut sedikitpun. Justin
menatap mereka berdua dari jarak jauh dengan tatapan penuh kebencian. Bukan
pada Laura, tentunya. Hanya pada Thomas. Mereka menyentuh pipi satu sama lain
lalu mengecup bibir. Melepas kerinduan satu sama lain. Thomas mengelus rambut
Laura dengan raut wajah penuh kelegaan. Justin tidak senang melihat Laura
disentuh oleh Thomas. Ya Tuhan, mengapa Laura tidak memilih Justin saja? Justin
mengutuk Thomas tiap kali bibir Thomas dan Laura bertemu. Seharusnya itu Justin
yang mengecup Laura sekarang!
“Bagaimana
keadaan Jimmy?” Tanya Laura mengapus air matanya.
“Dia
luar biasa senang mengetahui kau akan pulang hari ini. Tenang saja, ia sudah
memiliki gitar yang baru,” ucap Thomas. “Aku akan menceritakan apa yang terjadi
dengan kami di rumah,” ujar Thomas. Laura memeluk Thomas kembali.
“Setidaknya
kau telah menyiapkan kumis dan janggut ini untukku. Oh, kau terlihat lebih
tampan. Maksudku, terlihat lebih dewasa,” ucap Laura merasa bahagia karena
Thomas tidak melupakan janjinya terhadap Laura. Justin akhirnya mendekati
mereka berdua. Sebisa mungkin Justin terlihat berwibawa di hadapan Thomas.
Thomas segera melepaskan pelukan Laura ketika Justin berdeham.
“Terima
kasih, Mr.Herich. Aku sangat—“ namun ucapan itu tak sempat diselesaikan.
“Kau
boleh pergi sekarang,” ucap Justin pada Thomas dengan nada mengancam.
“Maksudmu?”
Tanya Laura tidak mengerti dengan kalimat; kau
boleh pergi sekarang. Semuanya terjawab ketika dua penjaga menarik paksa
Thomas untuk pergi dari halaman rumah Justin. Kedua tangan Laura telah ditahan
oleh dua penjaga Justin lain. Mata Laura membulat terkejut. Wajahnya langsung
memerah. “Apa-apaan ini? Justin! Apa maksudmu?” Teriak Laura memberontak. Ia
sebisa mungkin lepas dari pegangan penjaga Justin.
“Laura!”
Teriak Thomas yang ditarik-tarik untuk menjauh dari pagar. Thomas pun berusaha
untuk lepas dari cengkraman dua penjaga itu, ketika Thomas berhasil lepas, ia
langsung lari menuju pintu pagar. Namun terlambat, kedua tangan Thomas telah
diraih oleh penjaga-penjaga itu lagi. “Laura, tidak! Lepaskan aku!” Bentaknya
dengan wajah memerah.
“Thomas!”
Teriak Laura kali ini dengan air mata.
“Bawa
ia masuk ke dalam,” perintah Justin sebisa mungkin tidak menatap Laura yang
menangis. Itu adalah salah satu kelemahan Justin. “Tutup pintu pagar,” perintah
Justin kembali. Sekuriti rumah Justin langsung menekan tombol untuk menutup
pintu pagar rumah Justin. Laura diseret-seret untuk memasuki rumah Justin.
“Thomas!”
Teriak Laura terus memberontak. Laura masih dapat melihat Thomas yang ditahan
di luar sana. Ia sama merahnya dengan wajah Laura.
“Laura!”
Namun pintu pagar telah tertutup. Laura menangis sekencang yang ia bisa dan
kekuatannya semakin ia keluarkan. Ini tidak adil! Justin masih berada di
tempatnya, tidak menatap Laura atau pagar. Ia menatap langit yang berwarna
jingga kemerahan.
“Kau
bajingan Justin! Aku membencimu!” Teriak Laura terus memaki-maki Justin. Justin
menerimanya. Ia menerima maki-makian itu dari Laura, ia pantas mendapatkannya.
Ia tahu, ia pantas. “Aku membencimu Justin, aku membencimu,” isak Laura yang
telah berada di mulut pintu rumah Justin. Kekuatannya masih membuat dua penjaga
itu kewalahan untuk membawa Laura masuk.
“Lepaskan
aku! Lepaskan aku, kalian sialan! Aku harap kau mati, Herich! Kau tidak lebih
dari seekor hewan! Kau pria terburuk yang tidak pernah kutemui sebelumnya!
Berbanggalah karena kau yang pertama!” Teriak Laura terseret masuk dalam rumah
Justin. Justin hanya dapat diam ditempatnya. Namun kata-kata Laura membuat hati
sakit. Terutama kalimat; Aku harap kau
mati.
Besok lagi.
astaga, justin jahat bgd ya, kalo gitu kan laura jadi makin benci.... tp kenapa juga laura harus milih thomas,, harusnya milih justin,,,, lanjut terus ren, udah g sabar pengen liat endingnya.....
BalasHapusHaha, liat aja nanti endingnya gimana. Ga masuk akal-,-
HapusYaa, mana mungkin seorang justin mengingkari janjinya??
BalasHapusKuharap justin berupah pikiran buat nglepasin laura, trus laura balik sama thomas, tapi laura ngrasa kesepian gk ada justin trus laura balik deh sama justin :) *itu sih maunya haha
Berat bagi saya untuk memutuskan. Gue pilih Laura sama sapa aja bingung ah. Terserah penulisnya wae-,-
BalasHapusbesok jam berapa ren?
keren ren cmn knp justin ngingkari janjinya ,yaellah
BalasHapusnext ren gsbr bwt bsk malem ahihihi
and
merry christmasr ren :)