****
“Di
mana dia?” tanyaku saat aku dan Justin sudah sampai di rumah sakit jiwa.
Astaga, ruangan-ruangan di sini bahkan terbuat dari besi. Dan pintunya tertutup
rapat sekali, hanya ada jendela kecil berbentu persegi panjang di sana. Yang
dimana hanya suster yang bisa membukanya dari luar untuk melihat keadaan si
gila. Untung saja ada Justin yang berada di sampingku sekarang.
“Di
ruangan ini,” ujar suster yang membawa kami ke depan pintu besi. Ruangan ini
berada di ujung dan di tengah-tengah. Oh, malangnya Zayn. Pasti dia sangat
kesepian. Aku tidak mendengar suara-suara teriakannya atau tawaannya seperti
orang gila. Tidak seperti yang lain. Maksudku, orang gila di sini. Suster itu
membuka jendela yang berada di pintu itu sehingga aku bisa melihat apa yang
terjadi di dalam sana. Aku tidak melihat Zayn.
“Zayn,
kaukah itu?” tanyaku pelan-pelan. Justin yang berada di belakangku meremas
bahuku yang ia pegang. Aku juga ketakutan! Bagaimana jika tangannya tiba-tiba
saja keluar? Oh, itu tidak akan terjadi. Aku bisa yakinkan itu. Maksudku, aku
takut matanya saat ia menatapku.
“Siapa
kau?”
“Alexis,
bagaimana kabarmu?”
“Oh
sayang. Kenapa kau datang ke sini?”
“Aku
hanya ingin melihat keadaanmu,” ujarku pelan-pelan. “Bagaimana perasaanmu?” tanyaku.
Aku
menunggunya untuk menjawab pertanyaanku. Hening, tapi sebenarnya tidak terlalu
hening karena banyak teriakan-teriakan orang gila di sini. Kutelan ludahku
untuk membuka mulut. “Apa kau ingin menunjukan dirimu?” tanyaku lagi. Hening
kembali.Kubalikan tubuhku untuk melihat Justin.
Wajah
Justin tampak menegang. Oh, ada apa dengannya? Matanya bertemu dengan mataku.
Terlihat sekali kalau ia sedang marah. Mungkin karena aku memaksanya untuk ikut
denganku ke sini.
“Dia
tidak mau menjawabnya. Bisakah kita pulang?” tanya Justin akhirnya mengeluarkan
suara. Aku belum ingin pulang sebelum aku benar-benar memastikan kalau Zayn
benar-benar gila. Dan aku berharap Zayn gila selamanya. Kalau pun ia sudah
tidak gila, aku harap ia tidak terobsesi padaku dan atau bahkan melupakanku itu
lebih baik. Justin menatapku dalam-dalam dan mulai mengecup bibirku.
“Kita
pulang,”
“Tidak,”
aku menolaknya. Kemudian aku membalikan tubuhku. SIALAN! Aku benar-benar
terkejut saat tiba-tiba aku melihat wajah Zayn yang berada di balik jendela
kecil itu. Matanya benar-benar menyeramkan dan dia tersenyum-senyum padaku.
“Hello,
Alexis,”
“H-hai,”
“Kau
berpacaran dengannya? Ahaha!” Zayn tertawa terbahak di tempatnya sampai ia
memegang perutnya. Benar-benar gila. Oh, Tuhan, ini benar-benar menyeramkan.
Aku menelan ludahku dan memundurkan tubuhku hingga sekarang punggungku sudah
menempel pada dada Justin. Dapat kurasakan jantung Justin yang juga berdetak
dengan cepat. Tangannya yang berada di bahuku juga semakin mengerat. Aku tidak
tahu apakah dia takut atau ia marah karena tingkah Zayn yang gila. Tiba-tiba
Zayn terdiam dan melihat mataku, langsung!
“Alex,
aku di sini berusaha untuk berubah menjadi gay! Tapi di sini tidak ada lelaki.
Oh bagaimana bisa aku mencintai seorang lelaki? Aku ingin seperti dia!
Ahahahaha!” tawa Zayn yang membuatku bergidik. Tawaannya benar-benar
menyeramkan. Aku membalikan tubuhku dan menatap Justin dengan bingung. Apa Zayn
benar-benar ingin berubah menjadi gay? Apa maksudnya melakukan itu? Aku tidak
peduli. Yang jelas aku sudah tahu kalau Zayn sudah benar-benar gila.
“Kita
pulang, tanganku sangat gatal jika berlama-lama di sini,” ujar Justin kali ini
menarik tanganku.
“Alex!
Kau mau kemana jalang?! Alex!” teriak Zayn saat ia melihatku menjauh. Ia
menggedor-gedor pintu besinya dengan brutal dan saat aku berbalik, matanya
melihatku penuh dengan ketakutan dan kehilangan. Aku kasihan dengannya. Tapi di
satu sisi aku juga membencinya.
“Aku
pastikan dia sudah benar-benar gila,” ujar Justin semakin menarik tanganku.
****
“Mengajakku
kencan?” tanyaku terkejut dengan ucapan Justin setelah kami sudah sampai di
Escala. Oh, di mana? Kapan? Aku tidak tahu. Tapi yang jelas ini sangat
membingungkan. Justin Bieber mengajakku kencan?
“Di
tempat yang di mana hanya aku dan kau,” ujarnya dengan pelan. Aku yang terduduk
di atas kasur melihatnya berjalan berbolak-balik sambil jari telunjuknya
menepuk-nepuk bibirnya. Hari ini tidak ada pengambilan gambar lagi. Besok kita
baru melanjutkannya. Dan impianku untuk memperpanjang kontrak kerja ternyata
terjadi! Padahal aku tidak pernah mengutarakan itu pada Gavin. Aku harus
memberikan tampilan yang maksimal. Aku tersenyum sendiri bagaikan orang gila.
“Apa
yang kaupikirkan?” tanyanya.
“Aku
hanya berpikir tentang aktingku yang harus maksimal setelah Gavin memberikan
keregangan waktu agar kita tidak akan begitu kelelahan. Bayangkan satu hari
kita bisa mengambil satu adegan! Hanya satu adegan. Tentunya itu akan kita
ulang berkali-kali untuk mencari yang terbaik,” ujarku penuh dengan kegirangan.
“Aku
senang jika kau bahagia. Kau tahu, aku sudah benar-benar mengenyahkan Theo dari
kehidupanku,” ujar Justin yang membuatku berhenti tersenyum. Apa maksudnya? Dia
mengenyahkan Theo? Membunuhnya? Oh tidak. Mungkin saja itu terjadi. Aku menatap
ngeri pada Justin namun kulihat ia langsung terkekeh. Ia menatapku dengan geli
seakan-akan aku benar-benar lucu.
“Aku
bukan membunuhnya,” ia berucap seakan-akan ia bisa membaca pikiranku. “Dia
sudah membenciku. Eh, apa kau sudah membaca majalah hari ini”? tanya Justin
mengubah topik pembicaraan. Baiklah, tidak apa-apa. Kugelengkan kepalaku. Aku
memang benar-benar tidak tahu. Bahkan ini sudah sore. Paparazzi mengambil
gambar kami saat kami keluar dari rumah sakit jiwa. Kuharap tidak ada
orang-orang di dalam sana memberi tahu kalau Zayn adalah orang yang berurusan
denganku. Aku berharap Zayn tinggal di sana dalam jangka waktu yang lama.
“Siang
tadi aku melihatnya saat aku menandatangani majalah penggemarku. Justin Bieber Diselamatkan Alexis Bledel,”
ujarnya penuh dengan kebanggaan. Mengapa ia terlihat bangga? Seharusnya aku
yang bangga karena aku telah menyelamatkannya dari ke-gay-annya. Itu
benar-benar sebuah anugerah jika Justin benar-benar normal. Masalahnya aku tidak
tahu apa Justin sudah normal atau tidak. Siapa tahu masih ada lelaki yang ia
sukai selain Theo.
“Lalu
mengapa?” tanyaku acuh. Senyum kebanggaan Justin menghilang.
“Aku
bangga padamu. Aku normal sayang, mari kita rayakan itu bersama dengan malam
kencan kita yang pertama,”
“Kau?
Normal? Oh Tuhan,” aku jatuh ke atas kasur, punggungku sudah berciuman dengan
kasur sekarang. Kupejamkan mataku. Bersikap seperti sebenarnya bukan aku yang
mau. Ini hanyalah refleks akan keterkejutanku terhadap Justin yang sekarang
sudah menjadi normal. Benarkah ia sudah benar-benar normal? Ia sudah menindih
tubuhku. Oh Tuhan. Astaga. Kubuka mataku dan sudah mendapatkan Justin yang
melayang di atas tubuhku. Ia tersenyum manis dan memberikan tatapan mata yang
menggoda.
“Tidak
percaya?” tanyanya. Aku menganggukan kepalaku.
“Bagaimana
kalau kita membuktikannya?” tanya Justin mulai melepaskan salah satu kancing
kemeja putihku. Jari-jarinya yang panjang mulai menyentuh kulitku yang hangat.
Aku merinding, kenikmatan.
“Bagaimana
caranya?”
“Seperti
ini,” ia mulai merobek kemejaku dengan kasar. Kancing-kancing bajuku terlepas
semuanya. Aku terkejut dengan sikapnya yang kasar.
“Tenang.
Itu hanyalah permulaan semata. Aku akan memperlakukanmu selembut mungkin,”
ujarnya mulai memagut bibirku. Oh, melakukannya dengan lembut. Aku juga ingin
melakukannya.
***
“Jadi,
normal, eh?” tanyaku menggoda Justin yang duduk berhadapan denganku. Ia yang
sibuk memakan makanannya langsung berhenti. Matanya langsung bertemu dengan
mataku. Ternyata Justin memiliki restoran sendiri. Ia menutup restoran ini demi
kencan pertama kami. Hanya ada aku dan Justin di sini. Pelayan-pelayan di
restoran ini harus bersembunyi di balik dapur karena jika tidak Justin akan
memecat mereka. Itu kata Justin saat Justin masuk ke dalam dapur dan menyuruh
semuanya untuk keluar dari restoran selama mungkin satu jam. Sehingga tinggal
aku dan Justin di sini. Sendirian.
Aku
tidak memakai gaun. Aku hanya baju terusan hingga selutut yang berwarna hitam
dengan corak bunga-bungaan. Kali ini Justin memintaku untuk menggeraikan
rambutku dengan jepitan berbentuk bunga di atas telinga sebelah kiri. Kata
Justin aku benar-benar manis. Aku benar-benar tersipu dengan ucapannya yang
menggodaku.
“Ya,
kau akan menjadi yang pertama,”
“Pertama?”
“Pacar
perempuanku yang pertama?”
“Aku
tidak pernah menerimamu sebagai pacarku,”
“Oh
ya, memang tidak. Tapi kau akan menjadi pacarku segera,” ujarnya penuh dengan
rasa optimis. Aku menyukainya. Mungkin belajar mencintai seorang yang bukan
dalam tokoh ‘imajinasi’ bisa juga dilakukan. Apalagi dia benar-benar manis,
lucu, penggoda yang ulung, pencium yang ulung, bahkan ia adalah lelaki
ternyaman yang pernah kutemui. Berada di sebelahnya sangat terlindungi dan aman
juga nyaman. Aku rasa aku benar-benar menyukai lelaki dalam dunia nyata. Bukan
karena ia seorang yang benar-benar mirip dengan lelaki dalam bayanganku. Dia
sudah normal. Oh, tadi sore benar-benar sore yang tak akan pernah kulupakan
seumur hidupku.
“Bagaimana
jika aku tidak mau? Apa kau akan memaksaku?”
“Aku
akan membuatmu bertekuk lutut di hadapanku,” Wow! Ancaman dari seorang Justin
Bieber. Cukup menyeramkan. Aku kembali memakan makananku sampai habis. Saat
selesai, aku menatap Justin yang sedang meneguk anggurnya dengan tenang. Oh,
dia terlihat seperti Malaikat pencabut nyawa bagiku. Kemudian ia berdiri
setelah ia mengelap mulutnya dengan serbet. Tangan kanannya ia ulurkan untuk
menggapai tanganku. Aku mengambil tangannya dan ikut berdiri.
“Oh,
Miss Bledel. Kau sangat cantik,” ujarnya menarik pinggangku untuk bersentuhan
dengan tubuhnya yang benar-benar tegap.
“T-terima
kasih,” aku gugup! Sialan, aku gugup di depan Justin Bieber? Ini adalah hal
yang sangat memalukan. Kurasa pipiku memerah kembali.
“Gugup
Miss Bledel?” tanya Justin menunduk untuk melihatku yang mendongak. Aku
mengangkat kedua bahuku. Bibirnya mulai mengecup bibirku.
“Oh,
Miss. Bledel, kau sangat manis. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika
kau menolakku,”
“Menolak
apa?”
“Menolakku
untuk menjadi pacarmu,” ujarnya yang membuatku benar-benar berbunga dalam otak
dan hatiku. Justin benar-benar menginginkanku. Sialan, setelah
kejadian-kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini, ia menginginkan aku! Justin
Bieber menginginkan dengan serius. Astaga, aku tidak percaya. Mataku terpaku
dengan matanya yang berwarna abu-abu itu.
“Jadi
bagaimana Miss. Bledel? Apa kau sudah siap untuk mengarungi dunia dan waktu
bersama Mr. Bieber tampan ini?” ia
menatapku, menggodaku. Kuanggukan kepalaku.
“Tentu
saja. Kapan pun.” Ujarku kali ini memajukan
kepalaku untuk mencium bibirnya. Dan, bibir kami benar-benar bertemu. Kali ini
lebih lama.
Siap
mengarungi dunia bersama Mr. Bieber? Kapan pun! Dengan senang hati.
****
“Justin
Bieber-Alexis Bledel Dinobatkan sebagai Pasangan Terbaik Tahun Ini” : “Aku
tidak tahu mengapa mereka begitu senang dengan hubungan kami. Tapi dari semua
itu, aku sangat berterima kasih kepada yang sudah mendukung hubungan kami. Itu
adalah nilai besar bagi kami. Alexis memang pasangan yang sangat manis. Kurasa
aku harus menyiapkan cincin untuknya,” tukas Justin Bieber pada majalah Forbes
dua hari yang lalu.
“Fifty
Shades Movie Menjadi Film Terbaik Tahun Ini” : Seperti tidak tahu batas, bioskop-bioskop
US penuh tiap harinya dikarenakan film Fifty Shades – E. L James. Seperti yang
dikatakan E. L James beberapa saat yang lalu, “Saya sangat bangga dengan Justin
dan Alex. Mereka telah mengatasi semuanya.
Ditambah lagi mereka juga sudah menjadi pasangan, sehingga itu sangat
mendukung peran Ana dan Christian. Dan saya sangat bangga karena film ini
sukses besar!”
“Justin
Bieber Ingin Lamar Alexis Bledel?” : Justin Bieber melansirkan pada media massa
tentang hubungannya bersama Alexis Bledel. Setelah menjadi gay selama beberapa
tahun, akhirnya Justin mendapatkan wanita yang benar-benar wanita, “Aku tidak
tahu. Mungkin aku ingin mengajaknya ke jenjang yang berikutnya. Cincin ini akan
berguna kelak,” ujar Justin penuh dengan rasa percaya diri. Akankah Justin
Bieber melamar Alexis Bledel?
Aku
ingin mati saat aku membaca majalah-majalah yang telah dikumpulkan oleh Dravin.
Sialan benar. Bagaimana mungkin Dravin bisa mengumpul majalah-majalah aneh ini?
Sangat memalukan saat aku tahu kalau aku dan Justin adalah pasangan terbaik
tahun ini. Padahal kami belum dinominasikan dalam kategori ‘pasangan terbaik’
atau ‘ciuman terbaik’. Kudongakan kepalaku, melihat pada Dravin yang terduduk
di atas kursi mobil sambil melipat tangannya di dadanya yang bidang, ia
tersenyum padaku.
“Aku
benar-benar bangga pada kalian berdua,” ujarnya lagi, untuk yang kesekian
kalinya. Telingaku rasanya ingin dipotong begitu saja jika ia akan mengucapkan
kata-kata itu lagi. Kami sedang berada di dalam pesawat. Dan seharusnya, Dravin
tidak ada di ruangan ini. Maksudku, ini adalah pesawat pribadi Justin. Eh, bukan,
bukan. Maksudku, bukan karena Dravin tidak boleh ikut masuk ke dalam pesawat
ini. Hanya saja, pesawat ini mempunyai satu kamar untukku dan Justin. Sedangkan
Dravin masuk dengan lancang ke dalam sini. Dan hanya untuk memberitahu bahwa
kata-kata dari majalah.
“Kurasa
aku harus pergi,” tukas Dravin akhirnya berdiri dari kursinya dan berjalan
menuju pintu keluar. “Selamat bersenang-senang selama perjalanan. Paris sudah
menunggu kita,” ujarnya saat ia sudah membuka pintu dan kemudian menutup
kembali setelah ia keluar. Aku mendesah pelan dan melihat Justin yang berada di
sebelahku. Dari tadi ia hanya diam, tak bersuara. Sudah seharian ini ia tidak
bicara. Aku melepaskan tangan Justin dan berjalan menuju tempat tidur.
“Kau
mau tidur denganku atau tidak?” tanyaku dengan lemas. Untung saja aku telah
mengganti pakaian tidur sebelum aku masuk ke dalam pesawat ini –memang tidak
elit-. Kutatapi Justin yang masih terduduk di atas kursi dan menatapku dengan
tatapan kosong kemudian ia mendesah dan berdiri.
“Aku
tidak mengerti,” ujarnya yang membuat kerutan pada keningku.
“Tidak
mengerti? Maksudmu apa?”
“Aku
tidak mengerti mengapa kau begitu ..bingung,” ucapannya benar-benar membuatku
bingung. Ia berjalan ke arahku dan mulai melepaskan sepatu yang ia pakai
kemudian kaos kakinya. Aku sudah menarik lepas selimut yang berada di bawahku
agar aku bisa berada di baliknya.
“Maksudku,
wajahmu. Apa kau tidak senang dengan apa yang dikatakan majalah-majalah itu?
Aku bahkan juga sudah membuka suara, apa kau tidak tahu apa maksudku? Wajahmu
tadi terlihat begitu bingung,” ujar Justin. Oh, kurasa ia menginginkan
pernikahan setelah kami menjalankan hubungan pacaran ini selama 1,5 tahun. Itu
waktu yang cukup lama dan perjalanan yang cukup lama. Kulihat Justin melepaskan
dasi miliknya dan kerahnya sudah tidak rapi lagi. Sehingga kerahnya menutupi
lehernya yang benar-benar menggiurkan untuk dicium. Sudah tiga hari ini aku dan
Justin tidak berhubungan badan karena kesibukan kami untuk mempromosikan film
Fifty Shades ini di berbagai Negara.
“Oh
Justin, aku sangat senang. Aku sangat sengan dengan apa yang kau dan James
katakan, kita adalah pasangan terbaik tahun ini. Bayangkan itu Justin,” aku
berusaha untuk terlihat ceria padanya. Kuulurkan kedua tanganku padanya. Ia
mengulurkan tangannya padaku juga dan aku langsung menariknya untuk jatuh di
atas tubuhku.
“Aku
senang saat kau bilang kalau aku adalah pasangan yang manis,” ujarku mengelus
rambutnya dengan jari-jariku dan tidak berani melihat matanya. Karena aku tahu
ia menatapku begitu intens. Dan itu semua akan berujung pada bagian bawahku, di
sana. Akhirnya mataku bertemu dengannya setelah ia tidak membalas ucapanku.
“Alex,”
ia mendesah pelan dan memejamkan matanya selama beberapa detik. Kemudian
terbuka begitu saja, menatapku begitu intens dan dalam, “apa kau tidak bosan
dengan hubungan seperti ini terus menerus? Aku ingin memiliki istri,”
“Istri?”
aku berpura-pura terkejut. Ia menganggukan kepalanya dan menelan ludahnya.
Jakunnya naik turun terus menerus. Aku tahu ia tidak berbicara. Ia baru
denganku. Aku adalah wanita pertama baginya. Dan aku rasa aku tidak bisa
menikah secepat ini. Ibuku akan membunuhku jika aku menjawab, Ya, pada Justin.
Karena umurku masih 24 tahun. Mungkin Justin bisa menunggu satu tahun lagi,
maka aku menjadi miliknya sepenuhnya. Aku juga ingin sekali menikahi dengannya.
Menjadi istrinya. Memiliki keturunan darinya. Setelah apa yang ia lakukan
padaku selama setahun setengah ini. Manis, perhatian, seolah-olah kita tidak
pernah tahu kalau sebelumnya ia adalah seorang yang gay. Ia bisa memperlakukan
wanita seperti yang semestinya. Aku percaya padanya saat banyak berita yang
mengatakan kalau ia berselingkuh padanya, tapi aku tahu, ia tidak melakukan itu
setelah ia berbicara denganku yang sebenarnya. Hubungan tanpa pertengkaran
bukanlah hubungan yang sebenarnya. Kukecup bibir Justin selama beberapa detik
kemudian melepasnya.
“Kau.
Ingin. Menjadi. Suamiku?” tanyaku dengan ragu. Ia menganggukan kepalanya. Kali
ini siku-sikunya sudah berada di kedua kepalaku. Sehingga wajahku dan wajahnya
begitu dekat. Bahkan aku bisa merasakan nafasnya yang lembut menerpa wajahku.
Aku ingin tersenyum kesenangan karena kedekatan ini.
“Aku
ingin menjadi suami terbaik di dunia ini. Karena aku tahu, aku akan memiliki
istri terbaik di dunia ini. Hanya untukku. Kesediaannya terbatas!” ujarnya yang
membuatku ingin tertawa, “dan tidak rusak,” tambahnya lagi yang membuatku
terkekeh. Kuremas rambutnya dengan lembut dan semakin tertawa, mengingat Theo
yang menangis karena jaketnya. Oh, astaga, orang itu benar-benar lucu. Kuharap
ia sudah menjadi normal. Terakhir aku melihatnya, ia sedang menggandeng seorang
wanita berambut pirang yang aku dan Justin tidak tahu siapa dia. Kebetulan,
saat itu kami sedang sarapan di IHOP dan aku tak sengaja melihat Theo di sana.
Semoga dia juga menjadi normal. Aku tidak tahu.
“Bahkan
hanya ada satu di dunia. Hanya untukku. Tuhan menciptakan kau itu untukku,
mengerti, Kimberly Alexis Bieber, sayangku?” ujarnya yang membuatku melayang.
Astaga, nama itu. Nama yang selama ini kuidam-idamkan. Nama lengkap. Aku tidak
bisa menahan ini. Aku juga ingin menjadi istrinya. Persetan dengan pengaturan
yang telah ditetap ibuku! Aku menginginkan Justin, aku mencintainya. Aku ingin
menghabis seluruh sisa waktu hidupku dengan Justin. Mencintainya adalah
pekerjaanku.
“Aku
akan membawamu ke tempat yang kau mau. Kau mau kemana? Jepang? Israel? Inggris?
Katakan saja Alex, aku ingin mewujudkan segala impianmu,”
“Impianku
yang terakhir adalah memilikimu. Dan itu sudah terjadi,” ujarku mulai melingkarkan
tanganku di sekitar lehernya.
“Pertemuan
pertama dan kesan pertama yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku
adalah saat aku melihatmu. Bahkan saat pertemuan pertama, aku sudah mencium
bibirmu. Sekarang, aku sudah mencium seluruh tubuhmu,”
“Justin!”
Dia terkekeh saat aku menegurnya.
“Jadi,
Alex, aku sudah membeli barang ini lama sekali. Sudah lama sebelum aku dan Theo
berpacaran. Bangkitlah,” ujarnya mulai bangkit dari tubuhku dan menarik tubuhku
agar aku terduduk berhadapan dengannya. Ia merogoh kantong belakang celananya
dan mengeluarkan sebuah kotak cincin. Dia benar-benar ingin melamarku.
“Dulu
aku sempat berpikir, siapa yang akan menjadi pasangan hidupku kelak? Apakah dia
akan menjadi lelaki atau wanita? Aku tidak yakin dengan kedua itu. Apakah aku
akan memiliki keturunan jika aku menikah dengan seorang lelaki? Dan setelah aku
sadar, itu adalah pertanyaan bodoh,” ia terkekeh pelan, mataku mulai panas,
“Tapi kau di sini. Berhadapan denganku. Memberiku harapan yang begitu besar. Aku
menginginkanmu, Alex. Lebih dari apa pun. Jadi, Alex, apa kau ingin menerima
lamaran tulus dariku?” tanyanya sambil membuka kotak cincinnya. Aku
terperangah. Kemudian aku menangis, memecah. Dan menutup wajahku dengan telapak
tanganku. Astaga, ini sangat berlebihan. Lamaran ini. Lamaran dari seorang
Justin Bieber. Lelaki yang awalnya aku sangat benci dan menjijikan tapi dia
juga sudah berada di sini. Di hadapanku, mengajukan sebuah lamaran. Sebuah
lamaran yang akan mengubah seluruh hidupku secara total!
“Alex,”
ia bersuara kembali. Kuseka hidungku dan mataku. Mulai menatap matanya. Sekitar
mataku berair. Ini sangat berlebihan! Aku tidak sanggup untuk menampung semua
perasaan ini. Kebahagiaan ini. Oh, Tuhan. Aku adalah manusia yang beruntung.
“Kau boleh menciumku jika kau menjawab Ya,” tambahnya lagi. Kumajukan wajahku
untuk mendekati wajahnya.
“Aku
tidak perlu menjawabmu dengan hanya bibir ini yang berucap. Seluruh tubuhku
juga ingin mengatakan Ya, Justin,” ujarku melingkar tanganku pada lehernya dan
mulai mengecup bibirnya. Air mataku masuk ke dalam mulutnya. Sialan. Aku
tertawa.
“Sekarang,
apa kau ingin aku memakaikan cincin ini di jari manismu yang cantik itu?”
tanyanya tersenyum sumringah. Kuanggukan kepalaku dan menyodorkan tangan kiriku
pada. Ia mulai memasukan cincin itu pada jari manisku. Aku tersenyum bahagia.
Ia langsung melemparkan kotak cincin itu ke segala arah. Aku juga tidak peduli
dengan kotak itu. Justin. Aku membutuhkan Justin. Seluruh tubuh, jiwa, dan
cintanya.
“Sekarang,
kau adalah bagian dari Bieber. Kimberly Alexis Bieber. Nama yang sempurna.”
Ujarnya mengecup bibirku, kemudian ia mendorong tubuhku ke belakang sehingga
aku tertidur di atas tempat tidur. Ciumannya sangat dalam.
“Alexis
Bieber.” Ulangnya sekali lagi. Oh, aku sangat mencintaimu Justin.
“Aku
mencintaimu, Justin,”
“Kau
tidak tahu, aku mencintaimu lebih dari rasamu padaku.” Balasnya tertawa dan
kembali mencium bibirku. Lalu aku tersesat!
:D
Waw.. jadi berasa baca dan ngeliat backstage fifty shades of grey :D
BalasHapusKeren keren banget malah.. salut sama authornya
Semangat terus berkaryanya... :D
Keren bgt min , krna nisa cuma punya 4 jempol nisa kasih 4 jempol buat admin ..
BalasHapusThe bestttt ..