***
Ponsel
milik si mata biru itu berdering saat ia sedang memandikan Aaron. Justin telah
pergi bekerja sejak dua jam yang lalu. Pagi ini Aaron tampak lebih tenang
dibanding kemarin. Tangannya yang kecil dengan air liurnya yang sesekali
menetes dan ia sedot kembali benar-benar membuatnya sangat polos dan lucu.
Mainan bebek kuning yang kecil berbunyi-bunyi saat ia memencetnya dengan
tangannya yang mungi. Air hangat penuh busa telah meredam tubuhnya yang mungil
di dalam bath-up. Alex yang membawa ponselnya masuk ke dalam toilet itu meraih
ponselnya yang ia simpan di atas kloset. Tidak peduli tangannya cukup basah, ia
mengangkan panggilan teleponnya. Dari Brad.
“Hey,
Brad,” sapa Alex dengan senang, akhirnya ia dapat mendengar suara sahabatnya
kembali.
“Hey,”
suara Brad benar-benar lembut, “bagaimana kabarmu? Maaf kemarin aku tidak
menghubungimu sama sekali. Cher membuatku sibuk kemarin. Jadi, bagaimana dengan
anak kecil yang kaubilang ingin kau urus itu?”
“Yeah,
menyenangkan. Namanya Aaron. Sedang kumandikan,” ujar Alex. Sebenarnya, Alex
ingin memberitahu Brad tentang Justin telah menidurinya. Namun ia urungkan niat
itu. Pasti itu dapat memicu Brad menariknya dari rumah Justin. Lagi pula itu
adalah masalah pribadinya. Sekalipun Brad adalah sahabatnya. Terdengar dari
seberang sana Brad menghembuskan nafasnya. Di sana terdengar begitu sunyi.
Dimana sebenarnya Brad berada? Alex berpikir.
“Siapa
itu Peepee?” tanya Aaron yang telah menundukan kepalanya selama beberapa menit
dan mendongakan kepalanya. “Daddy?” tanyanya mengangkatnya kedua alisnya tampak
ingin tahu. Alex terkekeh dan menggelengkan kepalanya.
“Bukan,
blue bird. Ini teman Peepee. Namanya Brad,” jelas Alex. “Sebenarnya, Brad. Ada
apa?” akhirnya Alex bertanya.
“Well,
aku hanya ingin mengingatkanmu tentang pesta dansa itu. Kau telah berjanji
bukan?”
“Tentu
saja. Aku akan membuat alarmnya. Aku telah berjanji,”
“Bagus.
Jangan lupakan janjimu. Baik-baik di sana. Aku telah merindukanmu,”
“Aku
juga merindukanmu. Baiklah, aku mencintaimu Brad. Jaga dirimu baik-baik,” Alex
dengan segera mematikan ponselnya. Ia tidak ingin Aaron berlama-lama di dalam
bath-up. Namun Aaron belum disabuni. “Hey, little boy,” panggil Alex dengan
suaranya yang lembut.
Tangan
Aaron benar-benar penasaran dengan bebek ini. Mengapa bebek ini dapat berbunyi?
Itu sungguh membuatnya bingung. Tapi dari semua mainan yang ia punya, ia lebih
memilih kereta mainan yang dibelikan ayahnya. Pipinya begitu tembab saat ia
menundukan kepalanya, lemak pada lehernya terlihat menyembul di antara dada dan
dagunya. Setelah Alex memanggilnya, Aaron mendongak dan tersenyum tanpa dosa.
“Mengapa
kau mencintai Brad, Peepee?” tanya Aaron, diam-diam menghanyutkan. Alex yang
ingin mengusap tubuh Aaron terlebih dahulu itu terhenti.
“Well,
karena aku mencintainya,”
“Apa
kau mencintai daddy, Peepee?” Alex tercekat dengan pertanyaan Aaron yang
benar-benar dewasa. Dari mana anak ini tahu tentang percintaan? Alex terdiam,
tidak menjawab.
“Aku
suka dada Peepee. Itu merah muda. Daddy bilang rasanya strawberry. Tapi aku
belum mencobanya,” ujar Aaron kembali yang membuat Alex tertawa kecil. Justin
bukanlah ayah yang baik sama sekali! Alex menelengkan kepalanya ke salah satu
sisi dan mengangkat salah satu alisnya pada Aaron.
“Dari
mana kautahu aku memiliki dada rasa strawberry?”
“Its
daddy,” ujar Aaron tertawa-tawa kecil, seperti anak kecil yang malu-malu ingin
memberitahu kesalahannya karena takut dimarahi oleh ibu atau ayahnya. Maka
Aaron menyalahkan ayahnya. Tapi memang ayahnyalah yang mengajarkan Aaron yang
tidak baik. Namun Alex memakluminya. Sebelumnya, Justin pernah memberitahu pada
Alex tentang Aaron harus memegang dada seorang ibu sebelum ia tidur. Tadi pagi
ia belum bersiap-siap untuk memberikan dadanya pada Aaron sebelum tidur. Bahkan
ia masih terkejut karena putingnya yang berwarna merah muda itu semakin memerah
akibat pelintiran dari jari mungil Aaron.
“Well,
aku tidak menjanjikan dadaku untukmu,” ujar Alex mengusap tangan Aaron dengan
lembut. Wajah Aaron yang awalnya cerah tiba-tiba saja berubah menjadi suram. Ya
Tuhan! Mengapa anak ini sama seperti ayahnya? Dia bahkan baru berumur 3 tahun!
Well, tahun ini beranjak 4 tahun.
“Tapi
kau masih dapat memainkannya,” ujar Alex berusaha menyenangkan Aaron. Senyuman
kecil Aaron kembali mengembang. Lalu Alex mulai menyirami Aaron dari kepalanya,
mata Aaron terpejam dengan turut.
“You
are my mommy, are you Peepee?” tanya Aaron, tampak memohon.
“Well,
daddy said that I am your mom,”
“Aku
ingin memiliki adik,” bisik Aaron mengisap air liurnya, “perempuan,” lanjutnya
berbisik.
“Kau
ingin? Well, jika kau memiliki adik perempuan, kau akan menamainya siapa?”
“Peepee,”
bisiknya, polos. Aaron menatap mata biru Alex dengan damai. Baru kali ini Aaron
tenang bersama dengan seorang ibu. Bahkan Candice, ibu yang paling ia sukai
tidak pernah ia beri ketenangan waktu sesaat. Namun Peepee. Peepee tampak
mengerti perasaannya.
“Peepee.
Well, kau harus memberitahunya pada ibu Candice,”
“Why
always mommy Candice? I don’t like her. I like Peepee, for now,” bisik Aaron
menggelengkan kepalanya.
“Because
she is your mom, you little bird,”
“But
you are my mom too,” bibirnya mengerucut.
“Biar
kuberitahu daddy nanti ya sayang. Sekarang kita harus keluar dari bath-up,”
ujar Alex menggendong Aaron keluar dari bath-up. Kejadian tadi benar-benar membuat
hati Alex meleleh. Sepertinya, ada keinginan terbesar dari Aaron untuk memiliki
adik. Sangat, terlihat dari matanya yang berwarna sama seperti Justin. Mata
harimau.
***
*Justin Bieber POV*
Baru
saja aku keluar beberapa jam dari rumah namun aku telah merindukan Aaron,
anakku. Tadi pagi ia tampak begitu kelelahan dan pendiam. Setelah tadi malam ia
meminta padaku untuk membuatkannya adik perempuan. Tapi aku tidak tahu apa yang
harus kulakukan. Maksudku, aku tidak tahu istriku yang keberapa harus kuhamilil.
Aku tidak ingin memiliki anak dari mereka semua. Sekalipun itu Weronika.
Caitlin dan Candice tidak pulang tadi malam. Padahal aku juga ingin
membicarakan tentang permasalahan Aaron. Dari semua hal yang ada di dunia ini,
Aaron adalah yang paling utama. Tidak, aku tidak bermaksud untuk memanjakannya.
Hanya saja, aku berusaha untuk menutupi kenyataan bahwa ia bukanlah anak
kandungku. Bibirnya yang mungil dan basah itu selalu membuatku tertawa. Saat
mulut itu berucap mengatakan bahwa ia ingin memiliki adik perempuan, itu
benar-benar meninju perasaanku. Selama ini aku hanya mempergunakan wanita untuk
memuaskan diriku, namun aku tidak ingin memiliki anak dari mereka. Mengingat
Aaron membuatku teringat dengan Alex. Saat anakku malu-mlau untuk menyentuh dada
Alex yang sangat menggiurkan, aku juga sebenarnya ingin menyentuhnya. Namun aku
sadar ada Aaron di depanku. Bahkan saat aku kembali masuk ke dalam kamar Alex
dan jari Aaron masih memelintirkan putingnya, aku berusaha untuk menahan diri
untuk tidak menyentuhnya juga. Kenyataan bahwa Aaron masih sangat kecil untuk
melihat aku menyentuh dada Alex.
Seluruh
bar-ku yang berada di Amerika masih berjalan dengan baik. Meski ada beberapa
bar yang memiliki masalah dengan para pengunjung. Jarang sekali aku masuk ke dalam
kantor untuk mengurusi permasalahan bar-ku. Semuanya telah kuberikan pada Zayn,
teman karibku, yang memang selalu mengerjakan tugas-tugasku. Aku hanya tinggal
menerima uangnya. Meski sebenarnya di rumah aku memiliki pekerjaan. Well, aku
tidak hanya memiliki bar. Aku juga memiliki restoran bahkan taman bermain.
Percayakah kau itu? Yeah, dulu kehidupanku suram dan sekarang aku ingin
memperbaikinya.
Seluruh
cita-citaku tercapai. Di saat dulu aku menginginkan sebuah mainan dari ayahku,
ia tidak membelikanku satu mainanpun. Aku membuat mainanku sendiri.
Menyedihkan. Dan sekarang aku bisa menghasilkan taman bermain. Bukan ingin
menyombongkan diri. Tapi aku juga memiliki pabrik mainan yang berada di China.
Semua itu adalah mainanku. Dan aku memberikan banyak mainan pada Aaron agar ia
tidak merasa kekurangan sama sepertiku dulu. Ibuku membenciku karena aku adalah
anak lelaki. Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Seluruh kakak
lelaliku disayangi penuh dengan kasih, namun aku tidak. Karena aku tidak terlahir
menjadi seorang perempuan. Bahkan ibuku ingin membunuhku saat aku masih kecil,
itu kata bibiku. Lalu ia menyumpahi aku mati dan jika aku tidak mati, aku akan
memiliki kehidupan yang suram dari kecil hingga aku terpanggil. Tapi
kenyataannya, aku telah membuatnya malu. Aku membenci keluargaku. Dan
abang-abangku yang seperti bajingan itu selalu menghinaku karena aku tidak
terlahir menjadi perempuan. Tapi lihat sekarang! Aku telah menjadi orang
terkenal di Amerika! Pemilik dari banyak bar di Amerika! Aku membalas dendamku
dengan mempermalukan mereka!
Ponselku
yang kupegang hampir saja kulempar. Aku sedang berada di depan pemakaman ayah
dan ibuku. Satu minggu satu kali aku datang ke sini untuk menertawakan mereka
dengan kekayaanku. Dengan keberhasilanku. Aku benci mereka sejak aku masih
kecil. Bibi Ayreen yang selalu menjagaku, ia yang membuatku bertumbuh dan
berhasil dalam kehidupan. Namun ia telah meninggal. Aku hanya memberikan bunga
pada Bibi Ayreen dan tawaa untuk orang tuaku. Mataku lalu teralih pada ponselku,
kuhubungi Alex.
Satu
nada. Dua nada. Tiga nada. Lalu terangkat.
“Ya,
Mr.Bieber?” suara Alex menyeruak masuk ke dalam telingaku. Kudengar tawaan
Aaron yang khas di seberang sana. Aku ingin pulang.
“Bagaimana
Aaron?”
“Oh,
Justin. Kau tidak pernah tahu bagaimana sulitnya aku bertarung dengan ..Ah!
Aaron!” Alex berteriak. Teriakan itu membuatku ingin menyetubuhinya. Sialan!
Mengapa tiap kali ia mengeluarkan suara, itu tidak terdengar ia berbicara
serius padaku. Tapi seperi ia mendesah padaku.
“Apa
yang ia lakukan?”
“Aku
..Aaron! Kau licik!” teriak Alex, “Aku sedang bermain pedang-pedangan bersama
anak iblismu,” teriak Alex lagi, begitu berisik.
“Kena
kau, Peepee!”
“Aw!”
Alex berteriak lalu ia tertawa. “Maaf Justin. Tapi anakmu ini berhasil
membunuhku,” ujar Alex tertawa-tawa. Kemudian aku mendengar suara Alex terjatuh
ke lantai dan suara Aaron yang berlari lalu tertawa. “Agh!” Alex tercekat.
“Aaron.
Whoa! Kau –“
“Apa
itu daddy? Daddy!” teriak Aaron. Aku tersenyum kecil. Lalu kudengar suara
berisik dari ponsel lalu hening. Hanya nafas yang terdengar. “Daddy?” suara
Aaron.
“Hey,
blue bird. Apa yang kaulakukan dengan Peepee, sayang?” tanyaku selembut
mungkin.
“Bermain!
Daddy, pulanglah! Aku merindukanmu!” seru Aaron sesak nafas.
“Pelan-pelan,
nak. Daddy akan pulang. Mmm ..apa Aaron akan memberikan daddy kejutan?”
“Apa
itu kejutan daddy?” aku menyesal telah bertanya seperti itu pada Aaron. Tentu
saja ia belum mengerti apa itu kejutan! Sial. Aku jadi harus menjelaskan
padanya. Tapi bagaimana caranya aku menjelaskannya? Sial!
“Apa
kau sudah makan sayang?” tanyaku, mengalihkan topik pembicaraan. “Ah! Aaron!”
teriak Alex. Kurasa Aaron baru saja menindih tubuh Alex dengan bokongnya yang
mungil itu.
“Ya,
sayur,”
“Whoa.
Anak daddy pintar. Kau menyukai sayurmu?”
“Bayam.
Buatan Peepee. Aku juga makan es krim,” Aaron memberitahuku. Lalu aku tertawa.
Jarang sekali anakku memakan sayur.
“Baiklah.
Daddy akan segera pulang sayang. Jangan nakal dengan Peepee,” aku
memperingatinya. “Aku mencintaimu,” bisikku. Beberapa detik kemudian aku
mematikan ponselku. Ayahku tidak pernah memberitahu pada diriku kalau ia
mencintaiku. Kurasa ia tidak mencintaiku. Dan ia juga tidak mengatakan selamat
tinggal saat ia meninggal. Aku hanya tinggal bersama dengan keluargaku di
Kanada hingga umurku yang ketujuh lalu aku pindah bersama dengan Bibi Ayreen di
Atlanta lalu memulai kehidupan baru.
***
*Author POV*
Alex
menggendong Aaron untuk mengelilingi taman milik Justin yang benar-benar luas.
Banyak pepohonan yang tumbuh dipinggiran tamannya. Ia tidak sama sekali melihat
pada sebuah gudang kayu yang juga berada di pinggiran tembok. Sekalipun ia
melihatnya, ia tidak merasa penasaran. Ia hanya ingin melihat keindahannya.
Banyak tanaman yang diukir begitu indah dari tangan seorang seniman yang luar
biasa cerdas. Ada ayunan dan jungkit-jungkit di sudut taman, Alex berniat untuk
pergi ke sana. Kepala Aaron dengan manja bersandar pada pundak Alex. Sebenarnya,
mereka tadi sedang bermain pedang-pedangan, namun seorang wanita Latin muncul
dengan pakaian tidur yang masih ia pakai. Meminta mereka untuk tidak begitu
berisik di pagi hari menuju siang ini. Sehingga sekarang Alex mengajak Aaron
untuk berkeliling taman. Tangan Aaron bergelanyut di sekitar leher Alex,
meminta pertahanan dari lehernya.
“Aku
tidak menyukai mommy Selena dan Oreo,”
“Oreo?”
Aaron hanya menganggukan kepalanya, namun dengan cepat Alex menangkap perkataan
Aaron. Oreo sama dengan Weronika. Perhatian, Alex mengelus kepala Aaron dengan
lembut.
“Mengapa?”
“Aku
juga tidak menyukai mommy Caitlin dan Candice sekarang,”
“Mengapa
Aaron tidak menyukainya?”
“Mereka
tidak memiliki dada berwarna merah muda sepertimu. Daddy menyukai rasa
strawberry, aku juga. Aku suka apa yang daddy suka,” ujar Aaron, terdengar
begitu menyayangi Justin. Mungkin Justin adalah orang yang selalu mengerti
dirinya tiap hari. Meski Aaron tidak tahu apa yang ayahnya lakukan di luar
sana. Seberapa kejamnya ayahnya. Dan seberapa suka ayahnya bermain dengan
banyak wanita. Andai Aaron sudah besar, tentu saja Aaron akan membenci ayahnya.
Alex menempatkan Aaron di atas sebuah ayunan. Lalu Alex mendorong Aaron dari
depan. Sontak Aaron memegang tali ayunan yang berada di kedua sisinya.
“Kau
suka apa yang daddy suka?” tanya Alex. Aaron mengangguk lalu matanya membesar.
“Daddy!”
serunya penuh kesenangan. Lalu Alex menghentikan dorongan ayunan Aaron dan
membalikan tubuhnya. Melihat Justin yang dengan mesum memainkan matanya pada
Alex.
“Tentu
saja blue bird menyukai apa yang daddy suka,”
“Ya!”
seru Aaron merasa senang akibat kedatangan Justin, “Dada Peepee. Aku paling
suka dengan dada Peepee,”
“Karena
–“
“Rasa
strawberry!” teriak Aaron memotong ucapan Justin. Alex tertawa dan menggelengakan
kepalanya. “Justin!” tegur Alex memukul lengan Justin. Namun Justin hanya
mengangkat kedua bahunya dan memandang Alex tanpa rasa bersalah. “Kau
mengajarkannya yang tidak-tidak!”
“Kenapa
aku?” tanya Justin merasa tak bersalah.
“Ya
Tuhan. Kau mengajarnya yang tidak-tidak. Ini sungguh ..”
“Maka
ajarkanlah dia yang baik. Kau adalah ibu barunya,”
“Tapi
dia menyukai apa yang kausuka,”
“Tapi
aku tidak bilang aku menyukai dadamu,” ujar Justin melipat tangannya. Alex
memutar matanya. Tiba-tiba saja perasaan Alex terhadap Justin berubah. Selalu
saja Justin dapat mengelak. Padahal dalam kenyataannya Justin menyukai dada
Alex. Kemudian Alex berjalan ke belakang ayunan Aaron dan mendorong ayunannya
kembali.
“Daddy,
aku ingin memiliki adik,” seru Aaron, lagi.
“Peepee,
blue bird ingin memiliki adik. Bagimana jika kita membuatnya—“
“Apa?”
Alex membulatkan matanya tak percaya saat Justin menatap matanya penuh dengan
arti. Lalu Alex menggelengkan, tak percaya Justin akan berbicara seperti itu di
depan anaknya.
“Aku
ingin menamainya Peepee,”
“Mengapa?”
“Karena
mata Peepee ..” Aaron tidak bisa melanjutkan perkataannya. Ia tidak tahu warna
apa yang dimiliki mata Alex. Ia hanya tahu warna cokelat, hijau, dan merah.
Justin tidak pernah mengajarkan Aaron tentang warna. Aaron akan sekolah di
rumah. Ia tidak ingin bahaya melanda anaknya di sekolah umum. “Aku tidak tahu
warna apa,” lanjut Aaron, akhirnya.
“Itu
namanya warna biru sayang,” jelas Justin. “Hey, blue bird. Daddy ingin pergi ke
Inggris. Kau ingin ikut?”
“Inggris?
Apa Inggris?” tanya Aaron, polos.
“Well.
Di sana kita bisa bermain ..bersama Peepee juga. Dan bertemu mommy Oreo!” seru
Justin mencoba untuk menarik perhatian Aaron. Namun Aaron menggelengkan
kepalanya. Tubuhnya maju-mundur akibat ayunan yang masih didorong oleh Alex
yang terdiam. Alex terdiam karena ia sedang mengamati Justin. Bagaimana Aaron
dapat begitu menyayangi Justin.
“Aku
tidak mau bertemu mommy Oreo,”
“Mengapa
itu?”
“Apa
Peepee ikut?” tanya Aaron. Lalu Justin mengangguk, senyum kecil muncul di wajah
Aaron.
“Well,
ayo kita bersiap-siap! Pesawat kita sudah menunggu! Wiuuu!” seru Justin
menggendong Aaron dengan cepat dari ayunan yang masih terayun.
“Aku?
Ikut?” kejut Alex. Ia seperti baru saja tersadar dengan apa yang Justin katakan.
“Oh
yeah. Tentu saja kau ikut. Aku harus,” –Justin menggoyang-goyangkan tubuhnya,
tanda ia berhubungan badan—“bersama denganmu,” bisik Justin, tersenyum licik.
“Tidak ada bantahan.”
***
Pemandangan
London kali ini tampak lebih cerah dibanding kemarin-kemarin. Musim hujan yang
menyerang London terjadi hanya pada malam dan sore hari. Pagi ini dengan
jalanan yang basah, Justin, Aaron dan Alex baru saja mendarat di bandara
pesawat pribadi milik Justin. Alex menuruni tangga pesawat pelan-pelan karena
ia menggendong Aaron yang tertidur. Pipi Aaron menyembul di atas bahu Alex, air
liurnya sudah membasahi baju Alex namun Alex tidak merasa begitu risih dengan
air liur Aaron. Menurutnya itu sesuatu yang manis yang dapat dikeluarkan oleh
seorang bayi. Caitlin dan Candice juga ikut. Selena telah pulang ke Mexico
karena Justin baru saja memarahinya saat Aaron dan Alex telah berada di dalam
mobil untuk berangkat menuju bandara.
Setelah
kaki Alex menginjak aspal, ia mendesah pelan. Matanya menatap pada langit
London yang begitu mendung di pagi hari. Tidak begitu cerah. Dari belakang
Caitlin dan Candice turun dengan pakaian mereka yang benar-benar modis.
Memperlihatkan bentuk tubuh mereka yang memang dapat dikatakan seksi. Sebelum
mereka mendarat di bandara London, Alex sedikit cemburu dengan tubuh Caitlin
dan Candice. Tubuh Alex kurus, tidak seperti mereka yang begitu berisi dan
seksi. Ia tidak sama sekali seksi. Namun mengapa Justin menyukainya? Mungkin
karena dia masih perawan dan miliknya masih sempit untuk dipakai. Alex
bersyukur karena ia sangat dekat dengan Aaron dalam waktu dua hari. Karena
Aaron, ayahnya tidak berani untuk menggerayangi tubuhnya. Sebuah mobil hitam
muncul di hadapan mereka. Tanpa pikir panjang, Candice yang berdiri di sebelah
Alex langsung membuka pintu mobil bagian depan dan mempersilahkan Alex masuk.
“Masuklah,”
“Kurasa
tempat duduk di belakang lebih nyaman,”
“Tapi
kau menggendong Aaron. Tidak apa-apa,” ujar Caitlin, menyarankan. Namun Justin
muncul dari belakang Alex dan menggelengkan kepalanya.
“Dia
lebih baik duduk paling belakang karena dia menggendong Aaron. Ia butuh tempat
yang luas,” ucap Justin menggelengkan kepalanya dan menatap Candice dengan
sinis, marah. Lalu Justin membuka pintu belakang dan melipat kursi agar Alex
dapat duduk di kursi paling belakang. Pelan-pelan dan penuh perasaan malu, Alex
masuk ke dalam mobil. Memegang kepala Aaron agar tidak terjedot sisi pintu
mobil. Kemudian Alex terduduk dengan bersahaja lalu membenarkan menelentangkan
Aaron dalam gendongannya. Mulut Aaron membunyikan cepakan mulut, tanda seperti
ia ingin meminum susu.
“Apa
ia haus?” tanya Caitlin dari depan. Lalu Candice memberikan sebotol susu pada
Alex.
“Kurasa,”
bisik Alex, merasa tidak enak dengan dua istri Justin berada di depannya.
“Apa
semuanya sudah benar-benar dibawa?” tanya Justin di depan sana.
“Kurasa
Jordy telah membawa barang-barang kita ke mobil yang lain. Mengapa kau tidak
mengajak Selena ikut untuk bertemu dengan Weronika?” tanya Candice, protes.
“Mengapa
kau tiba-tiba membicarakannya? Aku hanya ingin membawa kalian bertiga.
Sudahlah, diam,” suruh Justin tiba-tiba perasaannya rusak akibat pertanyaan
istrinya yang seksi itu. Alex yang berada di belakang sudah memasukan dot susu
pada Aaron yang langsung menyedotnya. Baru beberapa sedotan, tiba-tiba saja
Aaron. Sontak Alex melepaskan dot dari mulut Aaron.
“Mengapa?
Ada apa?” tanya Justin yang melihat Alex dari kaca spion. Alex menggelengkan
kepalanya. “Mengapa dia menangis?”
“Aku
tidak tahu,”
“Berikan
saja dia dadamu, ia akan tertidur kembali,” saran Candice yang tiba-tiba saja
menyeletuk. “Biasanya aku melakukannya agar ia tertidur kembali. Kelihatannya
kau dekat sekali dengan Aaron,” senyum Candice, ramah. Tapi, mengeluarkan dada
di depan dua wanita dan supir? Alex menelan ludahnya. Tangisan Aaron semakin
membesar.
“Hiks,
where is daddy? I want daddy,” sungut Aaron mulai terduduk di atas pangkuan
Alex. Matanya langsung mencari-cari di mana ayahnya. Keringat mulai keluar dari
kening Aaron, merasa begitu rindu dengan ayahnya.
“Hey,
little boy. Sudah bangun sayang?” tanya Caitlin yang membalikan tubuhnya,
memberikan Aaron senyum manis. Namun Aaron sedang berada dalam keadaan yang
benar-benar rusak. Ia menginginkan ayahnya. “Oh, sayang. Jangan menangis,” ucap
Caitlin lembut. Jari telunjuknya yang panjang itu langsung mengelap pipi Aaron
yang basah.
“Mengapa
kau menangis blue bird? Ada apa?” tanya Justin, lebih tegas dari kemarin pada
Aaron.
“Aku
mau daddy,” ujar Aaron yang telah menadahkan dagunya di atas sisi kursi dan
kedua tangannya ikut memegang atas kursi itu. Saat Aaron berbicara, gelembung
air liur terlihat di mulutnya. Sangat menggemaskan. Bulu matanya yang basah itu
mengedip dan terkibas dengan lambat. Setelah Aaron merasa tenang karena melihat
ayahnya, ia tidak menginginkan ayahnya kembali. Lalu Aaron memiringkan
kepalanya sehingga pipinya menyembul.
“Kita
ada di mana?” tanyanya, polos. Alex yang berada di belakang hanya tersenyum dan
mengelus punggung Aaron yang berada di atas pangkuannya.
“Di
London sayang,” ucap Candice, membalikan kepalanya.
“Kita
mau ke mana?” tanyanya, kritis.
“Bertemu
mommy Oreo. Tidakkah kau merindukannya, Aaron?” kali ini Caitlin yang bertanya.
Polos, Aaron menggelengkan kepalanya dan menatap kosong pada dada mommy Candice
yang menyembul. Dada itu adalah dada pertama yang ia sukai sebelum ia bertemu
Peepee.
“Mengapa?”
“Aku
suka Peepee sekarang,” bisik Aaron yang membuat orang-orang di dalam tertawa
kecuali Alex. Justin yang berada di depan juga tertawa karena ucapan anaknya. Kenyataannya
bahwa Justin dan Aaron memang sama. Mereka juga menyukai orang yang sama.
Bedanya adalah Justin menyukai seluruh tubuh Alex sedangkan Aaron menyukai dada
Aaron. “Its pink,” lanjutnya lagi tersenyum, air liurnya meleleh.
***
*Alexis Bledel POV*
Kurasa
aku telah gila. Aku pikir begitu. Kurasa aku menyukai lelaki ini. Aku menyukai
bos-ku sendiri. Mengapa? Aku tidak tahu. Mungkin karena kebersamaanku
bersamanya. Namun otakku kembali berpikir, dia telah memiliki banyak istri. Dan
aku tidak ingin menjadi salah satu di antaranya. Rumah di London tampak begitu
asri dan tenang. Taman belakangnya besar dengan empat kursi putih besi berada
di tengah-tengah taman bersama juga dengan mejanya. Kolam renang yang tidak
begitu besar berada di sebelahnya. Kupikir London akan hujan. Namun siang ini
tidak. Weronika, istri Justin yang pertama, kelihatan begitu cantik namun ia
tidak seramah Caitlin dan Candice. Ia hanya tersenyum singkat padaku saat aku
berhadapan dengannya lalu ia langsung menggendong Aaron dari gendonganku
setelah itu. Namun Aaron tidak ingin digendong olehnya. Wajar ia tidak
menyukaiku karena Aaron tidak ingin digendong olehnya. Sekarang Aaron sedang
kugendong dan aku mengajaknya untuk melihat-lihat rumah Justin di London.
“Mommy,
apa itu?” tanya Aaron menunjuk pada sebuah kupu-kupu berwarna biru cantik yang
mendarat dengan cantik di atas sebuah bunga berwarna putih. Perlahan-lahan aku
berjalan menuju bunga itu untuk melihat kupu-kupu ini lebih dekat.
“Itu
kupu-kupu,” bisikku di telinganya. Aaron menggigit jari telunjuknya lalu
kemudian melepaskannya dari mulut dan mencoba untuk memegang kupu-kupu biru
ini, namun tiba-tiba saja kupu-kupu itu terbang meninggalkan kami. Melihat itu,
Aaron langsung tersenyum dan menatapku malu-malu. Seperti ia berkata padaku
“Whoa! Dia pergi? Itu bukan salahku” lalu ia memperlihatkan gigi-giginya yang
rapi itu padaku.
“Dia
pergi,” bisik Aaron.
“Kau
menakutinya,” balasku.
“Peepee,”
panggilnya, menatap bunga putih tadi. “I love you,” lalu tangannya yang mungil
menarik kepalaku dan mencium pipiku singkat. Air liurnya menempel di sana. Lalu
kepalanya bersandar pada bahuku dan tangannya bergelanyut pada leherku,
kembali.
“I’m
happy because I have mother like you,”
“You
are?”
“Hmm,”
gumamnya sambil menganggukan kepalanya. “Aaron!” teriak seorang ibu dari
belakang sana. Sontak aku membalikan tubuhku dan melihat Weronika memakai
celana pendek putih dan baju ungu yang longgar di tubuhnya. Namun Aaron tidak
bereaksi apa-apa. Di tangannya, Weronika memegang sebuah mangkok, entah
berisikan apa. Aku berjalan pelan menghampirinya sedangkan ia juga
menghampiriku.
“Hey,
little boy. Lihat apa yang mommy bawa?”
“Apa?”
tanya Aaron, selalu polos.
“Puding
cokelat! Kesukaanmu,” seru Weronika melompat-lompat kecil. Namun Aaron tidak
bereaksi apa-apa, justru ia membalikan kepalanya ke belakang. Aku hanya dapat
melipat bibirku ke dalam, menatap Weronika merasa bersalah. Ia menatapku begitu
sinis. Sebenarnya, apa masalahnya? Di manakah Justin? Aku tidak bisa menjaga
Aaron jika istri-istrinya tidak menyukaiku. Maksudku, istrinya yang tidak
menyukaiku.
“Aku
tidak mau. Go away!” usir Aaron dari belakang.
“Apa
yang kaulakukan pada Aaron?” bisik Weronika, jengkel.
“Apa?
Apa yang kulakukan? Aku hanya menjaganya,”
“Tapi
ia tidak pernah menolakku,” kesalnya.
“Itu
bukan salahku. Tanyalah pada Mr.Bieber,” aku mengkerutkan keningku. Bingung dan
lucu. Mengapa ia memarahiku? Jika ia ingin dekat bersama dengan Aaron,
tinggalkan pekerjaannya dan tinggallah bersama Aaron. Entah mengapa sekarang
aku kesal dengan istri-istri Justin. Ini tidak dapat kubiarkan. Aku juga ingin
mendapatkan ketenangan dalam pekerjaanku. Pertama, istri Justin yang bernama
Selena. Lalu sekarang Weronika. Siapa lagi? Caitlin? Candice? Sial! Kupikir
akan sangat menyenangkan merawat Aaron, tapi tidak setelah bertemu dengan
istri-istri Justin.
***
*Author POV*
Alex
dan Justin sedang berada di dalam kamar Justin. Justin yang menarik tangan Alex
dari kamar Aaron setelah Aaron makan dan tertidur di atas tempat tidurnya.
Siang ini, penuh dengan amarah, Justin menceramahi Alex tentang istrinya,
Weronika. Weronika tidak menyukai kedatangan Alex terhadap kehidupan Aaron.
Wero merasa begitu dijauhkan oleh anak kesayangannya setelah kedatangan Alex.
Padahal baru satu minggu saja Wero meninggalkan Aaron dan Aaron tidak pernah
menjauhinya diwaktu-waktu sebelumnya. Merasa Weronika adalah istri yang paling
ia sayangi, ia meminta Alex untuk mengurangi penjagaannya terhadap Aaron. Tapi
Aaron dan dirinya seperti kertas dan lem. Aaron tidak ingin dijauhi oleh Alex.
Bahkan saat tertidur, Weronika menawarkan diri untuk mengeloni Aaron. Tapi
dengan marah, Aaron menolak Weronika. Ibu Oreo yang dulu ia sayangi. Tapi
sekarang ia menyayangi Peepee. Peepee lebih lembut dibanding semua ibu yang
pernah ia kenal. Bagaimana mungkin Alex bisa mengurangi kadar penjagaan Aaron?
Justin sengaja mengunci pintu kamarnya. Ia berpikir, setelah ia memarahi Alex,
ia akan menyetubuhi wanita ini. Alex terduduk di atas tempat tidur Justin dan
menundukan kepalanya. Mengapa ia yang disalahkan? Entah mengapa perasaannya
sedih saat Justin memarahinya. Ini bukanlah salahnya. Ini memang sudah berjalan
alami. Semua ini sesuai dengan Aaron. Jika Aaron memang ingin menjauhi Alex,
maka semua itu dapat berjalan dengan baik. Sial! Justin tidak mengerti perasaan
anaknya.
“Dengar,
aku mencintai Weronika dan aku ingin apa yang ia mau terjadi. Tolonglah aku
kali ini untuk sedikit menjauhi Aaron. Weronika sudah merindukan anaknya juga,”
“Akan
kucoba,” bisik Alex, akhirnya. Senyum Justin mengembang setelah Alex berkata
seperti itu. Namun hati Alex sakit karena ucapan Justin, ia harus menerima
kenyataan bahwa Justin mencintai Weronika. Jadi, untuk apa ia menyukai Justin?
Justin tidak menyukainya, tentu saja. Tubuhnya hanya dipergunakan untuk
kebutuhan gairahnya. Tidak lebih. Dan seharusnya Alex sadar akan kenyataan itu.
“Tapi bagaimana jika Aaron masih tidak ingin bersama dengan Weronika?”
“Pft.
Percaya padaku. Kau saja baru bertemu dengan Aaron selama dua hari. Ia anak
yang baik, ia penurut. Jadi, kehilanganmu tidak akan berpengaruh bagi anak
kecil sepertinya,” jelas Justin, tampak terdengar begitu memaksa apa yang ia
katakan. “Sekarang, bukalah bajumu. Aku ingin memakaimu kembali,”
“Justin,
aku bukan pelacurmu,” protes Alex, mengkerutkan keningnya dan menautkan
alisnya.
“Oh,
jelas kau pelacurku,” Justin menghampiri Alex dan mulai menyentuh bahu Alex.
Namun Alex menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin disamakan kembali sama
dengan wanita-wanita yang lain. Ia bukan wanita murahan. Bahkan hanya Justin
yang menyentuh tubuhnya. Ia tidak bisa selamanya melakukan seperti ini bersama
dengan Justin. Ia menyukai Justin dan Justin harus mengetahuinya, namun ia rasa
saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memberitahu Justin. Tentu saja Alex
cepat menyukai Justin! Setelah apa yang Justin selama tiga hari ini dengannya,
Justin lelaki yang tampan dan penggoda. Apalagi ia seorang lelaki penyayang
anak, tentu saja Alex menyukainya.
“Tidak,
ini bukan pekerjaanku. Aku tidak semurah itu,”
“Ada
apa denganmu Alex? Kau tidak suka aku menegurmu seperti tadi?”
“Apa?
Setelah apa yang kaukatakan? Aku tidak tahu kau memiliki otak, tapi kurasa kau
memang tidak memilikinya. Aku bukan wanita murahan seperti istri-istrimu.
Termasuk Weronika!” Setelah kata-kata itu meluncur dari mulut Alex, Justin
menampar pipi mulus Alex dengan keras. Bahkan sampai wajah Alex berpaling ke
bawah. Rambutnya tiba-tiba saja berantakan. Tentu saja Justin marah! Alex telah
kelewatan. Apa-apaan ia menghina istri yang paling ia cintai adalah wanita
murahan!
“Apa-apaan!
Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan istri-istriku, you bitch!” hina
Justin mendorong bahu Alex ke atas tempat tidur. Tidak pernah diperlakukan
seperti ini, wanita bermata biru itu menangis. Namun tidak terisak. Seumur
hidupnya, ia tidak pernah ditampar oleh siapa pun dan Justin adalah orang yang
pertama –lagi—yang telah membuatnya merasakan sesuatu yang baru. “Mulutmu
memang lancang sekali, kau pelacur. Ini harus dijaga dengan baik,” ujar Justin
menindih tubuh Alex dan menepuk-nepuk bibir Alex yang bergetar.
“Apa
yang akan kaulakukan?”
“Biasa
jika aku sedang marah pada seseorang,” Justin berpikir sejenak, “aku
memukulnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar