***
“Siapa
nama mereka?” pertanyaan itu keluar saat aku baru saja keluar dari kamar mandi.
Sungguh memalukan saat aku membuka mataku dan mendapati diriku dipeluk oleh
Justin dengan tubuh yang telanjang, namun setelah itu aku berpikir, untuk apa
aku malu dengannya? Ia sudah melihat semuanya. Bahkan ia telah benar-benar
mencicipinya. Tubuhku terbungkus oleh handuk, begitu juga dengan kepalaku yang
ditutupi oleh handuk agar cepat kering. Justin terduduk di atas tempat tidurku
dengan hanya boxer yang menempel di tubuhnya. Aku membungkuk, membuka koperku
untuk mencari baju.
“Weronika
adalah istriku yang pertama, lalu Caitlin dan Candice,” ujarnya setelah
beberapa menit aku harus menunggu jawabannya. “Yang kemarin kau temui adalah
Caitlin yang merangkulmu. Lalu Candice,” jelasnya. Kuanggukan kepalaku. Caitlin
tampak begitu cantik. Lebih cantik daripada diriku. Ia memiliki lesung pipi
yang dalam saat ia tersenyum padaku dan cara bicaranya yang begitu lembut pada
Aaron. Namun, mengapa nampaknya mereka tidak cemburu saat aku datang ke rumah
ini? Bahkan aku telah ditiduri oleh Justin. Oh yeah. Aku baru ingat. Justin
sering bermain dengan banyak pelacur –kabarnya—mungkin mereka memang sudah
terbiasa. Baiklah, aku benar-benar menyesal dengan apa yang aku dan Justin
lakukan tadi malam. Tidak lagi. Tidak ada lagi hubungan badan antara diriku dan
Justin. Aku tidak ingin menambah rasa sakit Caitlin dan Candice.
“Aku
akan membawa mereka bertiga pergi dari rumah ini,” setelah ucapan itu terlontar
dari mulutnya yang manis itu, aku terkesiap. Kutumpuk pakaian yang telah
kukeluarkan dari koper di atas penutup koper. Berbalik, aku menautkan kedua
alisku.
“Mengapa?”
“Kau
sudah cukup untukku,”
“Tidak,”
aku menggelengkan kepalaku. Dia benar-benar tidak mengerti perasaan orang lain.
Dia begitu egois dan benar-benar seorang dictator. Mengapa banyak sekali wanita
bodoh yang menyukainya? Baiklah, aku juga adalah salah satu dari banyaknya
wanita itu. Namun, tidak seperti ini. Justin sungguh kelewatan. “Aku tidak
ingin menjadi salah satu di antara selirmu. Kita telah membicarakan ini di
mobil,”
“Tidak
ada yang bisa menghentikanku, Ms.Bledel,” gumamnya dengan percaya diri, “kau
tidak membutuhkan handuk itu. Aku juga telah melihat seluruhnya,”
“Oh,
Justin,” aku melenguh, “apa kau tidak memikirkan perasaan Aaron nanti?”
“Apa
hubungannya dengan Aaron? Dia akan menyukaimu. Dia akan terbiasa. Dia anak yang
pintar dan bersemangat. Oh, aku bersemangat jika bersama denganmu. Jika begitu,
maka Aaron pun akan bersemangat,” jelasnya.
“Justin,
kau bilang dia adalah anak angkatmu. Gen dari dirimu jelas tidak ada dalam
dirinya,” ucapku memberitahu padanya fakta.Kemudian aku masuk ke dalam kamar
mandi kembali tanpa menghiraukannya. Dia benar-benar lelaki egois yang pernah
kutemui. Aku memang membutuhkan uang darinya untuk kelangsungan hidupku, tapi
tidak seperti ini caranya. Jika memang apa yang dikatakan Justin itu terjadi,
maka aku akan terkesan seperti wanita tak tahu diri yang meminta bosnya agar
istri-istrinya ditendang dari rumahnya. Maksudku, spesial. Justin yang
memberitahuku. Ah, aku juga tidak tahu apa yang sedang kupikirkan sekarang.
Kemudian aku memakai pakaianku.
“Aku
menunggu di ruang makan,” ujar Justin datar dari luar sana, lalu kudengar suara
pintu yang tertutup. Weronika, Caitlin dan Candice. Nama mereka cantik.
Menunjukan sekali kalau mereka adalah seorang wanita yang feminim.
***
Dari
mulut pintu kamar Aaron, aku melihat seorang malaikat kecil dengan nafas yang
teratur sedang tertidur. Aaron tidak tampak seperti Justin. Pipinya benar-benar
tembam, mulutnya yang mungil terlihat basah. Kakiku melangkah dengan pelan
masuk ke dalam kamarnya lalu menutup pintunya sepelan mungkin agar tidak
membuat suara yang dapat membangunkannya. Keluar dari kamarku membuat diriku
tertarik untuk bertemu dengan Aaron, meski aku tahu Justin telah memanggilku
untuk turun ke ruang makan. Pakaian bergambar Mario Bross yang melekat pada
tubuh Aaron membuat dirinya tampak nyaman berada di dalamnya. Rambutnya cukup
panjang untuk anak kecil sepertinya. Melihatnya membuatku teringat dengan
ucapan Justin saat kami baru saja terbangun dari tidur. Mempertanyakan hal-hal
yang disukai Aaron dan asal Aaron dari mana. Dia diambil dari panti asuhan
khatolik, sama dengan sepertiku. Aku juga seorang anak yatim-piatu yang tinggal
di panti asuhan khatolik. Maka dari itu sampai sekarang aku masih perawan. Aku
diambil oleh keluarga Bledel saat umurku 16 tahun dan tinggal bersama mereka
hingga umurku yang 18 lalu aku kuliah. Orang tua angkatku tidak mengetahui
masalah ini. Ya, mereka juga tidak akan keberatan jika aku bekerja di suatu
tempat. Mereka tahu aku tidak ingin membuat mereka merasa kesusahan. Tidak ada
niatan dari dalam diriku untuk menjadi seorang anak yang manja. Itu bukanlah
aku.
Tak
sadar ternyata aku telah terduduk di atas tempat tidur Aaron. Senyumku
menghilang saat aku sedang mengagumi seorang anak kecil yang dibuang oleh orang
tuanya. Mengapa anak kecil sepertinya dapat diberi pada panti asuhan? Apa
ibunya tidak sadar kalau anak kecil ini sungguh manis dan kutahu dari Justin,
dia anak yang cerdas. Mudah bergaul dengan seseorang. Orang tua bodoh! Jika aku
menjadi seperti mereka, aku sudah pasti akan merawatnya. Tubuh Aaron
menggeliat, lalu ia merengek sambil mengucek matanya yang bulat itu. Ia
menangis.
“Hiks,daddy,”
rengeknya terus mengucek matanya. Refleks aku langsung menepuk-nepuk bokongnya
yang kecil itu dengan lembut.
“Ssh,”
aku berusaha untuk menenangkannya. Namun ia tidak berhenti. Ia terus merengek.
“Siapa
kau? Hiks, daddy,” rengeknya saat ia membuka matanya lalu kembali ia mengucek
matanya. Dengan lembut aku menggendong tubuhnya. Benar kata Justin. Ia anak
yang rewel namun ia bersahabat. Ia tidak takut denganku. Tanpa malu-malu kedua
tangannya memeluk leherku dan pipinya yang empuk itu berada di bahuku. Masih
dalam rengekan, aku mencoba berdiri dan menepuk-nepuk punggung Aaron. Menit
demi menit berlalu, lama kelamaan rengekannya berhenti. Usahaku tidak sia-sia.
“Kau
ingin bertemu dengan daddy?” tanyaku melangkahkan kakiku untuk keluar dari
kamarnya yang penuh dengan mainan. Mainannya berserakan di mana-mana. Mengapa
tampaknya banyak sekali pelayan yang tidak cukup bisa membereskan mainan-mainan
Aaron? Mungkin nanti siang aku dapat melakukannya. Kuhembuskan nafasku dan
menggelengkan kepala.
“Di
mana daddy?” tanyanya dengan suara parau. “Siapa kau?” lanjutnya bertanya
dengan suara kekanak-kanakannya.
“Aku
..” kubuka pintu kamarnya dan keluar, “Aku adalah penjagamu mulai dari
sekarang, berapa umurmu, little boy?” tanyaku melewati anak-anak tangga untuk
turun ke ruang makan. Aaron terdiam, dapat kurasakan tangannya bergerak-gerak
di belakangku. Aku sudah tahu umurnya, sebenarnya. Tapi kautahu, kita harus
pintar bermain tak-tik dengan anak kecil.
“Tiga,”
bisiknya.
“Jadi,
siapa namamu, little boy?” tanyaku mencari-cari di mana ruang makan. Rumah ini
begitu luas! Sungguh sial!
“Aaron,”
“Kau
tahu, aku suka namamu. Kau menyukai namamu?” jantungku ingin jatuh saat aku
melihat Justin memegang sebuah pisau tajam di tangannya dan menatap lurus pada
pelayannya yang berseragam begitu rapi, ingin membunuhnya kurasa. Tapi tidak
mungkin. Itu tidak.
“Aku
menyukainya, daddy yang memberikan nama itu,” ujar Aaron mengangkat kepalanya
dari bahuku, sadar kalau kami telah berada di ruang makan.
*Author POV*
Justin
tampak begitu marah dengan pelayannya yang satu ini. Lancang sekali ia
berbicara dengan Justin. Pelayan-pelayan Justin hanya menyiapkan makanan untuk
Justin dan kedua istrinya, membuat Justin tampak begitu marah. Meski masalah
ini memang tidak begitu besar, namun baginya penting. Ia ingin memperlakukan
Alex sebaik mungkin setelah semalam ia mengarungi malam yang luar biasa.
Weronika, istrinya pertama Justin sedang tidak berada di dalam rumah Justin. Ia
berada di Inggris untuk memenuhi pekerjaannya sebagai model. Tidak satu
detikpun Justin merasakan kerinduan terhadap Weronika selama Caitlin dan
Candice berada di sisinya. Belum lagi keberadaan Alex yang membuat Justin
semakin melupakan Weronika. Bahkan baru tadi pagi ia mengingat Weronika karena
Alex yang mempertanyakan nama istri-istrinya. Tidak ada satu pun dari mereka
Justin cintai. Tidak satu pun. Pelayan-pelayan sialan yang berada di hadapan
Justin membuat Justin merasa bodoh karena dulu ia pernah menghamburkan uang
untuk mereka. Bodohnya, Justin tidak tahu mereka hanya memperguna diri Justin
untuk mendapatkan lelaki yang lebih baik. Amarah Justin selalu meluap tiap kali
pelayan-pelayannya berdiri di depannya, namun ia tahu, ia tidak akan pernah
bersikap baik pada mereka. Semua ini ia lakukan untuk membalas dendam pada
mereka semua. Membentak, memukul adalah pekerjaan Justin. Namun ia tidak
membunuh secara langsung. Tapi ia membunuh pelan-pelan agar mereka mendapatkan
balasan yang lebih daripada seharusnya.
Mendengar
suara Aaron yang muncul di ruang makan membuat Justin yang memegang pisau tajam
itu menghentikan aksinya. Sebenarnya, ia ingin sekali menggoreskan tubuh wanita
ini di depan pelayan-pelayannya yang lain tanpa membunuhnya. Ia hanya ingin
melihat pelayan ini meringis-ringis di depan matanya. Caitlin dan Candice hanya
terdiam di atas tempat duduknya, mata mereka menatap lurus pada Justin. Mereka
juga tidak dapat membantah perkataan Justin. Meski mereka adalah istri Justin.
“Pergi
dari hadapanku,” bisik Justin menekan kata-katanya. Pelayan itu pergi,
menundukan kepalanya dan kembali pada barisannya.
“Daddy!”
teriak Aaron membalikan kepalanya, melihat Justin yang memang sudah bangkit
sedari tadi. Alex menekan kedua bibirnya menjadi sebuah garis tipis, tidak
ingin banyak bicara setelah ia melihat apa yang baru saja ia lihat.
“Hey,
blue bird-ku. Kau sudah bangun? Bagaimana tidurmu?” tanya Justin dengan lembut,
mengambil Aaron dari gendongan Alex.
“Daddy,”
rengek Aaron tidak menjawab Justin.
“Kau
menyukai namamu?” tanya Justin terduduk dan mendudukan Aaron di pangkuannya.
Alex tersenyum senang melihat Aaron yang menggigit jari telunjuknya. Dengan
polosnya, Aaron mengangguk.
“Kau
ingin sarapan bersama dengan ibu barumu?” tanya Justin, Alex tersentak. Matanya
membulat dan ia menautkan kedua alisnya. Merasa begitu bersalah dengan Caitlin
dan Candice yang berada di hadapannya. Fakta bahwa ia telah tidur dengan Justin
membuat dirinya merasa begitu rendah di hadapan Caitlin dan Candice. Tapi yang
membuat Alex bingung dengan keluarga ini adalah mengapa mereka tersenyum?
Caitlin dan Candice memberikan senyum dengan murah hati pada Alex yang berdiri,
mematung.
“Duduklah,”
suruh Justin menunjukan sebuah kursi yang bersebelahan dengan Justin,
berhadapan dengan Caitlin dan Candice. Meja makan milik Justin begitu panjang.
Ada dua belas kursi di kedua belah sisi meja dan dua kursi di ujung kanan dan
kiri. Justin terduduk di kursi ujung kanan dan Caitlin di ujung kiri. Perasaan
malu meliputi Alex saat ia terduduk di sebelah Justin.
“Dia
bukan ibuku,”
“Oh,
dia ibumu sayang,” ujar Justin menaruh Aaron di atas tempat duduk yang
berhadapan dengan Alex. “Mulai dari sekarang, kau menyukainya?” tanya Justin
memperlakukan Aaron selembut mungkin. Aaron melihat pada Alex sejenak, tidak
ada senyuman. Merasa gugup, Alex menggigit pipi bagian dalamnya, seperti
biasanya. “Kau tahu, ayah menyukainya,” bisik Justin membungkuk pada Aaron. Beberapa
detik kemudian Aaron tersenyum, memperlihatkan gigi susunya yang rapi dan
terawat.
“Aku
juga menyukainya,” ujar Aaron mengangguk-anggukan kepalanya terus menerus,
mengikuti ayahnya. “Aku belum tahu nama ibu baruku, daddy,”
“Kau
ingin tahu nama ibu barumu?” Aaron menganggukan kepalanya bersemangat. Caitlin
dan Candice ingin tertawa melihat anak kecil mereka yang tampak begitu
bersemangat dengan kedatangan Alex. Mereka sudah terbiasa dengan perlakuan
Justin. Sebenarnya, mereka juga membutuhkan penjaga Aaron. Pelayan-pelayan yang
tinggal di rumah ini tidak sama sekali berguna untuk menjadi Aaron. Caitlin
juga memiliki pekerjaan, sebagai seorang desainer dan ia telah memiliki butik.
Candice juga adalah seorang model yang hari ini harus pergi. Mereka benar-benar
bersyukur akan kedatangan Alex.
“Alexis,
tapi daddy memanggilnya dengan blue bird,”
“Blue
bird?”
“Kau
ingin memanggilnya dengan apa? Red bird?” Justin menggoda anaknya, lalu Aaron
tertawa dengan suara khas kekanak-kanakannya. Alex ikut tertawa kecil melihat
tingkah Justin yang menggoda anaknya. “Oh, daddy tahu panggilan yang bagus
untuknya,”
“Daddy
tahu?”
“Tentu,”
ujar Justin. Lalu Justin membungkuk dan berbisik pada Aaron lalu Aaron tertawa
keras, membuat mata Caitlin dan Candice membulat dan ikut tertawa melihat Aaron
tertawa. Kembali Justin duduk tegap dan mengedipkan matanya pada Alex,
menggodanya.
“Peepee,”
panggil Aaron menutup mulutnya dan tertawa-tawa, mata Aaron menyipit selama
Aaron tertawa. Sungguh, jika ia terbangun, Alex baru menyadarinya. Ia hampir
mirip dengan Justin. Bulu matanya yang panjang membuatnya tampak mirip dengan
Justin. Namun sebenarnya tidak. Caitlin dan Candice tertawa.
“Kau
ingin memanggilnya Peepee?” tanya Caitlin lembut, dari jarak jauh. Aaron
menganggukan kepalanya tanpa memalingkan kepalanya pada Alex.
“Ya,
kau boleh memanggilku Peepee. Itu panggilan yang bagus,” Alex menyetujuinya
lalu ia melirik pada Justin. Acuh, Justin mengangkat kedua bahunya.
***
Caitlin
dan Candice telah pergi dari rumah untuk melakukan pekerjaan mereka. Hari ini
Justin tidak pergi keluar dari rumahnya. Ia ingin melihat Alex yang merawat
anak tunggalnya. Semua pekerjaannya hari ini ia serahkan pada orang lain yang
ia percayai, Zayn. Justin tidak pernah merasa terpenuhi selama seumur hidupnya.
Hari ini ia tampak begitu senang dengan Alex yang terus menggoda Aaron, membuat
Aaron tertawa. Mereka memandikan Aaron bersama-sama. Walau terkadang Alex harus
merasa risih karena tangan Justin yang tidak dapat diam pada tubuh Aaron,
selalu saja tangannya berakhir pada pinggang Alex atau pahanya. Memandikan
Aaron tidaklah mudah. Ia selalu menciprat-cipratkan air mandinya pada Alex dan
Justin dari bath-up. Kaki mereka berdua kram akibat mereka terus terjongkok di
luar bath-up. Bahkan Justin harus terjerembap jatuh di atas lantai yang basah
karena licin. Aaron tertawa, begitu juga dengan Alex. Membuat Justin merasa
cukup jengkel dengan wanita yang semalam ia perawani ini telah
mentertawakannya.
Aaron
berlari-lari dengan tubuhnya yang setengah telanjang –untunglah Alex telah
memakaikannya celana dalam—di sekitar ruang tamu. Membuat Justin dan Alex harus
mengejarnya dari dua belah sisi. Anak kecil ini terlalu aktif. Bahkan sekarang
Aaron berlari keluar dari rumahnya, menuju taman belakang, melewati kolam
renang dan taman bermainnya yang Justin buat untuknya. Alex terus mengejar
Aaron yang berlari begitu cepat, Justin merasa kalah. Ia yang memegang celana
Aaron terlihat begitu lelah di sisi kolam renang. Melihat Aaron dan Alex yang
berlari-lari melewati rerumputan taman dengan tawaan mereka. Tidak habis pikir
Justin akan melewati hari ini dengan begitu melelahkan. Ini adalah yang pertama
kalinya ia memakaikan Aaron pakaian. Pertama kalinya.
“Daddy!
Kejar aku!” teriak Aaron bersemangat.
“Oh,
aku akan mendapatkanmu iblis kecil!” teriak Justin berlari kembali, sangat
menyenangkan.
***
Menarik
nafas, Justin menatap pada Aaron dan Alex yang tertidur di atas tempat tidur
dengan nyaman. Mereka baru saja terjatuh di atas sana untuk tidur siang. Siang
ini mereka memiliki waktu yang benar-benar berharga dan berarti. Justin tidak
pernah merasa begitu senang selama seumur hidupnya. Mengejar Aaron atau
memandikan anaknya. Tidak pernah sekalipun. Semua itu dilakukan oleh Weronika
jika ia sedang berada di rumah. Atau Candice jika ia juga berada di rumah. Tapi
ini. Justin diperhadapkan dengan seorang wanita perawan yang tampak begitu
polos namun memiliki mulut yang lancang berbicara. Sepertinya wanita ini tidak
takut dengan Justin. Tentu saja Alex tidak takut dengan Justin. Ia belum
sepenuhnya tahu, siapa itu Justin Bieber. Seorang dictator yang keinginannya
harus dituruti. Seorang lelaki yang sering menyakiti wanita. Beruntung karena
sekarang mereka berdua sedang tertidur, Justin lebih mudah untuk mengecek ruang
bawah tanah yang ia buat beberapa tahun lalu.
Setelah
menutup pintu kamar Aaron dengan pelan, Justin berjalan dengan angkuh dan
berkarisma. Ia bahkan tidak mencukur janggutnya yang samar-samar terlihat di
dagunya. Hari ini Justin berpakaian lebih santai dibanding hari-hari
sebelumnya. Ia memakai celana jins pendek selutut bercorak hijau tua dan kelam
seperti pakaian tentara dan kaos berwarna putih tipis yang melekat pada
tubuhnya yang cukup berotot. Bahkan otot-otot perutnya dapat terlihat dari
kaosnya yang tipis.
“Bawakan
makanan mereka sekarang, panggil Jordy,” ujar Justin dengan dingin pada salah
satu pelayan yang ia siksa beberapa hari yang lalu. Luka di bibir wanita itu
dapat membuktikan tamparan Justin yang menyakitkan. Pelayan itu mengangguk dan
menjalan perintah Justin yang dingin. Justin berjalan keluar dari rumahnya, ke
taman belakang. Sebuah gudang kayu berada di pinggiran tembok yang sengaja
dibuat tinggi agar tidak ada seorangpun dapat melihat rumah Justin dari luar
sana. Tamannya memang sangat luas, bahkan Justin pun dapat bermain golf di tamannya sendiri. Tapi itu tidak mungkin.
Merogoh
kantong celana jinsnya, ia mengeluarkan sebuah kunci. Tiap kali ia menyentuh
gembok gudang kayu yang dibuat olehnya, api kebencian mulai menyentuhnya.
Berpikir bahwa orang-orang di bawah sana benar-benar layak menerima apa yang
Justin lakukan pada mereka.
“Mr.Bieber,”
Jordy muncul dengan kacamata hitam tertahan di batang hidungnya. Terdongak,
Justin mengangguk. Sedetik kemudian, pintu gudang terbuka. Langsung saja Jordy
masuk menunduk ke dalam gudang kayu itu.Itu bukanlah sebuah gudang. Saat pintu
terbuka, anak-anak tangga menyambut mereka dengan kengerian dan misterius.
Jordy menginjakan kakinya ke atas anak tangga itu, menuruni mereka dengan
perlahan. Gelap. Tentu saja, namun itulah gunanya Jordy. Ia membawakan senter
untuk menuntun Justin berjalan. Para pelayan yang berada di belakang Justin
telah membawa nampan dengan banyak makanan di atasnya. Berbaris dengan rapi dan
mengikuti Justin dari belakang.
Ini
adalah ruang bawah tanah atau penjara bawah tanah milik Justin. Ya. Justin
memiliki penjara bawah tanah yang bau dengan manusia-manusia tak berguna di
dalamnya. Justin muak, tentu saja. Tapi ia ingin membalas dendam. Tidak ada
rasa kasihan dalam diri Justin. Bertahun-tahun dan berkali-kali Justin telah
disakiti dan ia tidak dapat menerima rasa sakit itu dengan mudah tanpa
membalasnya. Ia harus membalas dendamnya. Perlahan-lahan namun menyakitkan.
Cahaya ruang bawah tanah tidak begitu menerangi ruangan ini. Hanya ada empat
lampu gantung di sepanjang lorong.
“Justin!
Justin! Keluarkan aku dari sini Justin, kumohon,” sungut seorang wanita dengan
rambut hitam panjang yang lepek. Ia benar-benar kumuh. Ia memegang jeruji besi
dan menatap Justin penuh dengan permohonan.
“Aku
akan mengeluarkanmu setelah kau menghembuskan nafasmu yang terakhir,”
“Tidak
Justin, kumohon. Apa kau tidak memiliki hati? Aku lelah berada di sini,”
“Ya,
aku. Aku tidak memiliki hati untuk orang sepertimu. Sayang sekali. Dulu kau
sangat cantik, manis. Tapi sekarang. Lihat dirimu. Kumuh, rambutmu lepek dan
wajahmu tak secantik dulu,” balas Justin, acuh. Begitu banyak sel-sel yang
berada di penjara bawah tanah, menyimpan begitu banyak wanita yang
menjerit-jerit meminta tolong pada Justin agar mereka dikeluarkan dari penjara
itu. Tapi tidak. Justin memberi mereka makan dua kali sehari. Mereka tidak
mandi. Penjara ini sama seperti penjara lainnya. Tidak ada toilet, tapi
memiliki washtafel untuk menyikat gigi mereka. Tidak ada pakaian yang Justin
berikan pada mereka. Mereka begitu menderita berada di ruang bawah tanah. Tiap
kali mereka meringis kesakitan. Bahkan, tempat ini adalah tempat dimana dua
orang wanita meninggal karena tak tahan tinggal berada di ruang bawah tanah
karena lamanya Justin mendiamkan mereka. Ya. Menyakiti mereka perlahan-lahan
sampai mereka meninggal adalah tujuan Justin. Beruntung karena hari ini Justin
sedang berada dalam keadaan senang. Justin sedang tidak ingin menyakiti siapa
pun.
“Kumohon
jangan sakiti aku,” bisik seorang wanita meringkuk di atas tempat tidurnya yang
keras. Justin menghentikan langkahannya, melihat wanita itu dibalik jeruji
besi. “Keluarkan aku dari sini,” lanjutnya.
“Kau
tahu seberapa aku mencintaimu dulu? Cuih! Aku benar-benar menyesal telah
mencintaimu. Jalang,” gumam Justin beralih dari wanita itu. Para pelayan yang
membawa nampan dengan piring di atasnya hanya dapat menaruh piring mereka di
depan jeruji besi, sehingga mereka harus mengeluarkan tangan mereka untuk
meraih makanan yang Justin berikan. Ruangan ini bau. Berdebu. Tak terawat.
Banyak serangga. Bukan tempat tinggal yang layak. Setelah menyusuri ruang bawah
tanah yang cukup panjang dengan sel-sel yang berjejeran di kedua belah sisi,
Justin membalikan tubuhnya. Ingin kembali ke atas. Berpikir jika tiba-tiba Alex
terbangun dan mencarinya. Hari ini ..belum ada yang meninggal. Dan Justin
sangat berharap salah satu di antara mereka ada yang meninggal. Setelah itu, ia
akan membakarnya.
“Justin!
Jangan tinggalkan aku! Aku mencintaimu!”
“Justin!
Aku membutuhkanmu!”
“Ya,
Tuhan. Aku harap kau mati, Justin Bieber!”
Teriakan-teriakan
dari para wanita di balik jeruji besi itu terdengar di telinga Justin. Tapi
Justin mengabaikannya. Sangat membuang-buang waktu jika Justin membalas ucapan
mereka. Namun Justin tertarik dengan salah satu wanita yang menyumpahinya mati.
Ia berhenti melangkah.
“Apa
kau bilang?” tanya Justin berhenti di depan sel-nya. Wanita yang menyumpahinya
memiliki paras yang begitu cantik, namun terlihat kumuh karena sudah lama
sekali ia berada di dalam sel. Kedua tangannya memegang besi dengan erat dan
tertawa melihat Justin.
“Aku
harap kau mati! Kau adalah pecundang! Pecundang harus mati!” teriak wanita itu,
gila.
“Sayang,
kau dulu sangat cantik dengan bibirmu yang manis. Tubuhmu menggiurkan. Tapi
lihat kau sekarang? Sudah berani menyumpahiku dengan mulutmu yang entah harus
kuapakan sekarang. Meninjunya mungkin?”
“Kau
hanyalah banci yang melawan wanita! Kau bukan lelaki!” ejek wanita itu
mengeluarkan tangannya, berusaha untuk meraih Justin. Namun dengan cepat Justin
menangkap tangannya dan memutarnya ..hingga patah. “Ark!” wanita itu terjatuh
dengan tangan yang sudah tak bisa ia gerakan kembali. “Tanganku!”
“Siapkan
api untuknya malam ini. Kurasa ia sudah siap,” ujar Justin pada Jordy yang
berada di belakangnya. Jordy menganggukan kepalanya. Andai saja Mr.Bieber tahu,
Jordy sebenarnya tidak tega melihat wanita-wanita yang berada di penjara bawah
tanah ini menderita. Namun Jordy tidak dapat melakukan apa-apa. Ia hanyalah
pengawal Justin sekaligus suruhan Justin. Tidak ada yang dapat ia lakukan lebih
dari itu.
***
“Siapa
dia Justin?” tanya seorang wanita berwajah Latin, memiliki rambut yang
bergelombang panjang berwarna cokelat. Tampak cantik dengan pakaian yang ia
pakai sekarang. Ia menunjuk pada Alex dan Aaron yang sedang berenang dari dalam
rumahnya. Merasa risih akan kedatangan wanita itu, ia bertanya pada suaminya.
Justin terdiam sejenak, bibirnya berubah menjadi satu garis lurus yang tipis
tampak di wajahnya. Wanita ini baru saja datang dari Texas. Tidak memberitahu
Justin terlebih dahulu, sungguh membuat Justin kesal. Masalahnya adalah ia
tidak terbiasa memarahi seseorang di depan Aaron. Apalagi Aaron sedang bermain
dengan ibu barunya.
“Dia
ibu baru Aaron,”
“Apa
maksudmu? Kau menikah lagi? Ini omong kosong Justin,”
“Oh,
Selena, kau tidak tahu seberapa cantiknya dia saat aku menidurinya,” ujar
Justin melihat gerak-gerik Alex dari jarak jauh. Alex memakai bikini yang tidak
begitu terbuka. Namun tampak begitu menggiurkan. Rasanya ia ingin meniduri Alex
sekarang juga. Namun ia tahu itu tidak mungkin terjadi sekarang. “Dia akan
menjadi istriku, kelak,” bisik Justin.
“Kau
tidak tahu seberapa sakitnya –“
“Selena,
aku tidak ingin mendengar ini lagi. Caitlin dan Candice sudah terbiasa. Maka
biasakanlah dirimu seperti mereka. Tidak ada bantahan atau kau akan berada di
ruang bawah tanah,” jelas Justin, memalingkan wajahnya pada Selena. Menatap
Selena dengan dingin, setelah itu Selena terdiam. Wanita berwajah Latin itu
mendengus kesal dan menggelengkan kepalanya, ia berjalan menuju dapur untuk
menenangkan diri. Terkekeh pelan, Justin berpikir mengapa ia tidak menceraikan
istri-istrinya saja mulai dari sekarang? Tapi ia masih ragu dengan Alex. Siapa
tahu Justin dibohongi oleh Alex. Justin sekarang akan lebih berhati-hati dalam
memilih wanita. Jika ia telah mendapatkan wanita yang benar-benar tepat,
istri-istrinya akan segera ia ceraikan. Memulai kehidupan baru. Ia masih
mencari-cari gadisnya yang hilang, mungkin sekarang ia telah menemukannya.
Mungkin.
Ia
melangkah, keluar dari ruang keluarga menuju kolam renang. Menghampiri Alex dan
Aaron yang tertawa-tawa. Sesekali Aaron memegang tali bikini milik Alex,
membuat Justin berereksi sekarang. Ia terduduk di salah satu kursi santai,
memperhatikan mereka berdua yang bermain dengan asyik. Rasanya Justin juga
ingin masuk ke dalam kolam itu dan meraba tubuh Alex. Bahkan jika perlu, ia
akan menyetubuhi Alex di dalam kolam itu. Ia mulai berimajinasi.
“Daddy!”
teriak Aaron dengan dua buah pelampung yang berada di kedua tangannya. Aaron
belum pintar berenang, Alex berusaha untuk mengajarkannya. Dengan sabar, Alex
menopang Aaron dari bawah. Ia memegang perut Aaron dari bawah lalu kaki Aaron
bergerak-gerak, berusaha belajar. Justin tertawa dan membungkukan tubuhnya.
“Hey,
blue bird. Apa kau lapar?” tanya Justin melipat tangannya, tersenyum pada
anaknya. Aaron menggelengkan kepalanya. Setelah sampai ke tepi kolam renang,
Aaron memegang sisi kolam renang.
“Ayo
berenang bersama Peepee, Daddy,” ajak Aaron. Alex yang berada di belakangnya
memeluk Aaron, melirik pada Justin dan menahan senyumannya. Ia menggigit pipi
bagian dalamnya saat Justin mengedipkan matanya, sangat mengartikan sesuatu.
“Kau
ingin daddy ikut ke dalam kolam renang?” tanya Justin. Anggukan Aaron
benar-benar membuka jalan bagi Justin untuk memegang tubuh Alex. Tangannya
sungguh gatal ingin meremas bokong Alex yang berisi itu. Sedari tadi ia
menunggu saat-saat seperti ini, akhirnya anaknya mengajak dirinya untuk
berenang bersama. Justin bangkit dari kursi santainya dan membuka pakaiannya.
Begitu juga dengan jinsnya. Tapi Justin masih menyisakan boxernya, ia tersenyum
miring pada Alex dan menaik turunkan alisnya untuk menggoda Alex.
“Apa
yang daddy lakukan?” tanya Aaron polos.
“Apa
yang daddy lakukan? Ia sedang berolahraga. Olahraga alis,” jelas Alex yang
membuat Aaron tertawa hingga ia mendongakan kepalanya ke belakang, menyentuh
pundak Alex yang telanjang.
“Olahraga
alis. Benar sekali. Untuk menggoda wanita sepertinya berhasil,” ujar Justin
membenarkan boxernya, sengaja untuk memperlihatkan tonjolan dari ereksinya pada
Alex. “Baiklah. Kalian minggir. Perenang handal ingin melompat! Woohoo!” detik
itu juga Justin melompat masuk ke dalam kolam renang.
“Daddy!”
teriak Aaron tertawa saat Justin melompat. Wajahnya dan Alex terciprat oleh air
akibat lompatan Justin. Beberapa detik kemudian Justin muncul ke permukaan air.
Alex tercengang saat Justin mengibas-kibaskan rambutnya yang basah. Mengelap
wajahny dengan tangannya yang lebar itu dan jarinya yang panjang. Lelaki itu
luar biasa tampan. Ia bahkan hampir melepaskan Aaron dari gendongannya. Justin
menghampiri mereka berdua dengan tubuhnya yang sepenuhnya basah. Tidak pernah.
Justin tidak pernah berenang bersama dengan Aaron sebelumnya. Tidak sekalipun.
Hari ini Justin melakukan apa yang tak pernah ia lakukan bersama dengan Aaron.
Kali ini ia merasa lebih hidup dibanding hari-harinya yang telah ia lalui.
“Kau
tampak begitu seksi,” bisik Justin saat Justin mengambil Aaron dari gendongan
Alex. Pipi Alex memerah, ia diam-diam menggigit pipi bagian dalamnya lagi.
Merasa begitu terbang saat Justin memujinya.
“Siapa
yang seksi daddy?” tanya Aaron yang ternyata mendengar ucapan ayahnya.
“Bukankah
Peepee terlihat seksi?”
“Ya,
dia seksi,” ucap Aaron polos, mengikuti ayahnya. Alex tertawa dan menggelengkan
kepalanya tak percaya dengan apa yang baru saja Aaron katakan. Ia berpikir,
jika ayahnya seperti ini, bagaimana anaknya kelak? Aaron tidak boleh menjadi
lelaki yang nakal seperti ayahnya. Sangat tidak lucu di saat Aaron masuk
sekolah nanti, Aaron akan menjadi lelaki penggoda para wanita yang dapat
menjatuhkan hati mereka. Alex menggelengkan kepalanya.
“Bokong
yang cantik dan empuk,” bisik Justin meremas bokong Alex. Alex menjerit, namun
dengan cepat ia menutup mulutnya.
“Apa?
Mengapa kau berteriak Peepee?”
“Peepee
baru saja digigit oleh ikan hiu, berenanglah. Daddy ingin melihat seberapa
pintarnya anak daddy berenang,” ujar Justin melepaskan Aaron dari gendongannya,
lalu ia mendorong Aaron jauh darinya. Membuat kedua tangan Justin kali ini
benar-benar bebas dari Aaron lalu ia menangkup bokong Alex kembali. “Oh, yeah.
Aku ingin menyetubuhimu di dalam sini. Sekarang,”
“Oh,
daddy! Aku tidak bisa!” teriak Aaron yang berjarak satu meter dari Justin. Ia
menggerak-gerakan tangannya yang kecil itu di atas air, sama sekali tidak
membantunya untuk berenang. Justin tertawa dan menarik tangan Aaron dengan
lancar seperti seluncuran. Aaron tertawa.
“Lagi
daddy! Lagi!” teriak Aaron. Lalu Justin mendorong Aaron menjauh lagi,
melepaskannya, dan membiarkan Aaron jauh darinya. “Pegang pinggangku sekarang,”
suruh Justin pada Alex yang dari tadi hanya tersenyum-senyum dari belakang. Tak
ingin membantah, Alex memegang pinggang Justin.
“Oh
yes. Itu dia!” desah Justin memejamkan matanya. “Turunkan sedikit lagi, kau
harus memegang ereksiku sekarang,” ujar Justin. “Daddy!” teriak Aaron lagi.
“Aku
akan menangkapmu blue bird. Dasar kau setan kecil!” Kembali Justin menarik
tangan Aaron dengan kenikmatan yang ia rasakan dari tangan Alex.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar