Selasa, 06 Agustus 2013

Lust of Love Bab 3


***

            “Siapa nama mereka?” pertanyaan itu keluar saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Sungguh memalukan saat aku membuka mataku dan mendapati diriku dipeluk oleh Justin dengan tubuh yang telanjang, namun setelah itu aku berpikir, untuk apa aku malu dengannya? Ia sudah melihat semuanya. Bahkan ia telah benar-benar mencicipinya. Tubuhku terbungkus oleh handuk, begitu juga dengan kepalaku yang ditutupi oleh handuk agar cepat kering. Justin terduduk di atas tempat tidurku dengan hanya boxer yang menempel di tubuhnya. Aku membungkuk, membuka koperku untuk mencari baju.
            “Weronika adalah istriku yang pertama, lalu Caitlin dan Candice,” ujarnya setelah beberapa menit aku harus menunggu jawabannya. “Yang kemarin kau temui adalah Caitlin yang merangkulmu. Lalu Candice,” jelasnya. Kuanggukan kepalaku. Caitlin tampak begitu cantik. Lebih cantik daripada diriku. Ia memiliki lesung pipi yang dalam saat ia tersenyum padaku dan cara bicaranya yang begitu lembut pada Aaron. Namun, mengapa nampaknya mereka tidak cemburu saat aku datang ke rumah ini? Bahkan aku telah ditiduri oleh Justin. Oh yeah. Aku baru ingat. Justin sering bermain dengan banyak pelacur –kabarnya—mungkin mereka memang sudah terbiasa. Baiklah, aku benar-benar menyesal dengan apa yang aku dan Justin lakukan tadi malam. Tidak lagi. Tidak ada lagi hubungan badan antara diriku dan Justin. Aku tidak ingin menambah rasa sakit Caitlin dan Candice.
            “Aku akan membawa mereka bertiga pergi dari rumah ini,” setelah ucapan itu terlontar dari mulutnya yang manis itu, aku terkesiap. Kutumpuk pakaian yang telah kukeluarkan dari koper di atas penutup koper. Berbalik, aku menautkan kedua alisku.
            “Mengapa?”
            “Kau sudah cukup untukku,”
            “Tidak,” aku menggelengkan kepalaku. Dia benar-benar tidak mengerti perasaan orang lain. Dia begitu egois dan benar-benar seorang dictator. Mengapa banyak sekali wanita bodoh yang menyukainya? Baiklah, aku juga adalah salah satu dari banyaknya wanita itu. Namun, tidak seperti ini. Justin sungguh kelewatan. “Aku tidak ingin menjadi salah satu di antara selirmu. Kita telah membicarakan ini di mobil,”
            “Tidak ada yang bisa menghentikanku, Ms.Bledel,” gumamnya dengan percaya diri, “kau tidak membutuhkan handuk itu. Aku juga telah melihat seluruhnya,”
            “Oh, Justin,” aku melenguh, “apa kau tidak memikirkan perasaan Aaron nanti?”
            “Apa hubungannya dengan Aaron? Dia akan menyukaimu. Dia akan terbiasa. Dia anak yang pintar dan bersemangat. Oh, aku bersemangat jika bersama denganmu. Jika begitu, maka Aaron pun akan bersemangat,” jelasnya.
            “Justin, kau bilang dia adalah anak angkatmu. Gen dari dirimu jelas tidak ada dalam dirinya,” ucapku memberitahu padanya fakta.Kemudian aku masuk ke dalam kamar mandi kembali tanpa menghiraukannya. Dia benar-benar lelaki egois yang pernah kutemui. Aku memang membutuhkan uang darinya untuk kelangsungan hidupku, tapi tidak seperti ini caranya. Jika memang apa yang dikatakan Justin itu terjadi, maka aku akan terkesan seperti wanita tak tahu diri yang meminta bosnya agar istri-istrinya ditendang dari rumahnya. Maksudku, spesial. Justin yang memberitahuku. Ah, aku juga tidak tahu apa yang sedang kupikirkan sekarang. Kemudian aku memakai pakaianku.
            “Aku menunggu di ruang makan,” ujar Justin datar dari luar sana, lalu kudengar suara pintu yang tertutup. Weronika, Caitlin dan Candice. Nama mereka cantik. Menunjukan sekali kalau mereka adalah seorang wanita yang feminim.

***

            Dari mulut pintu kamar Aaron, aku melihat seorang malaikat kecil dengan nafas yang teratur sedang tertidur. Aaron tidak tampak seperti Justin. Pipinya benar-benar tembam, mulutnya yang mungil terlihat basah. Kakiku melangkah dengan pelan masuk ke dalam kamarnya lalu menutup pintunya sepelan mungkin agar tidak membuat suara yang dapat membangunkannya. Keluar dari kamarku membuat diriku tertarik untuk bertemu dengan Aaron, meski aku tahu Justin telah memanggilku untuk turun ke ruang makan. Pakaian bergambar Mario Bross yang melekat pada tubuh Aaron membuat dirinya tampak nyaman berada di dalamnya. Rambutnya cukup panjang untuk anak kecil sepertinya. Melihatnya membuatku teringat dengan ucapan Justin saat kami baru saja terbangun dari tidur. Mempertanyakan hal-hal yang disukai Aaron dan asal Aaron dari mana. Dia diambil dari panti asuhan khatolik, sama dengan sepertiku. Aku juga seorang anak yatim-piatu yang tinggal di panti asuhan khatolik. Maka dari itu sampai sekarang aku masih perawan. Aku diambil oleh keluarga Bledel saat umurku 16 tahun dan tinggal bersama mereka hingga umurku yang 18 lalu aku kuliah. Orang tua angkatku tidak mengetahui masalah ini. Ya, mereka juga tidak akan keberatan jika aku bekerja di suatu tempat. Mereka tahu aku tidak ingin membuat mereka merasa kesusahan. Tidak ada niatan dari dalam diriku untuk menjadi seorang anak yang manja. Itu bukanlah aku.
            Tak sadar ternyata aku telah terduduk di atas tempat tidur Aaron. Senyumku menghilang saat aku sedang mengagumi seorang anak kecil yang dibuang oleh orang tuanya. Mengapa anak kecil sepertinya dapat diberi pada panti asuhan? Apa ibunya tidak sadar kalau anak kecil ini sungguh manis dan kutahu dari Justin, dia anak yang cerdas. Mudah bergaul dengan seseorang. Orang tua bodoh! Jika aku menjadi seperti mereka, aku sudah pasti akan merawatnya. Tubuh Aaron menggeliat, lalu ia merengek sambil mengucek matanya yang bulat itu. Ia menangis.
            “Hiks,daddy,” rengeknya terus mengucek matanya. Refleks aku langsung menepuk-nepuk bokongnya yang kecil itu dengan lembut.
            “Ssh,” aku berusaha untuk menenangkannya. Namun ia tidak berhenti. Ia terus merengek.
            “Siapa kau? Hiks, daddy,” rengeknya saat ia membuka matanya lalu kembali ia mengucek matanya. Dengan lembut aku menggendong tubuhnya. Benar kata Justin. Ia anak yang rewel namun ia bersahabat. Ia tidak takut denganku. Tanpa malu-malu kedua tangannya memeluk leherku dan pipinya yang empuk itu berada di bahuku. Masih dalam rengekan, aku mencoba berdiri dan menepuk-nepuk punggung Aaron. Menit demi menit berlalu, lama kelamaan rengekannya berhenti. Usahaku tidak sia-sia.
            “Kau ingin bertemu dengan daddy?” tanyaku melangkahkan kakiku untuk keluar dari kamarnya yang penuh dengan mainan. Mainannya berserakan di mana-mana. Mengapa tampaknya banyak sekali pelayan yang tidak cukup bisa membereskan mainan-mainan Aaron? Mungkin nanti siang aku dapat melakukannya. Kuhembuskan nafasku dan menggelengkan kepala.
            “Di mana daddy?” tanyanya dengan suara parau. “Siapa kau?” lanjutnya bertanya dengan suara kekanak-kanakannya.
            “Aku ..” kubuka pintu kamarnya dan keluar, “Aku adalah penjagamu mulai dari sekarang, berapa umurmu, little boy?” tanyaku melewati anak-anak tangga untuk turun ke ruang makan. Aaron terdiam, dapat kurasakan tangannya bergerak-gerak di belakangku. Aku sudah tahu umurnya, sebenarnya. Tapi kautahu, kita harus pintar bermain tak-tik dengan anak kecil.
            “Tiga,” bisiknya.
            “Jadi, siapa namamu, little boy?” tanyaku mencari-cari di mana ruang makan. Rumah ini begitu luas! Sungguh sial!
            “Aaron,”
            “Kau tahu, aku suka namamu. Kau menyukai namamu?” jantungku ingin jatuh saat aku melihat Justin memegang sebuah pisau tajam di tangannya dan menatap lurus pada pelayannya yang berseragam begitu rapi, ingin membunuhnya kurasa. Tapi tidak mungkin. Itu tidak.
            “Aku menyukainya, daddy yang memberikan nama itu,” ujar Aaron mengangkat kepalanya dari bahuku, sadar kalau kami telah berada di ruang makan.

*Author POV*

            Justin tampak begitu marah dengan pelayannya yang satu ini. Lancang sekali ia berbicara dengan Justin. Pelayan-pelayan Justin hanya menyiapkan makanan untuk Justin dan kedua istrinya, membuat Justin tampak begitu marah. Meski masalah ini memang tidak begitu besar, namun baginya penting. Ia ingin memperlakukan Alex sebaik mungkin setelah semalam ia mengarungi malam yang luar biasa. Weronika, istrinya pertama Justin sedang tidak berada di dalam rumah Justin. Ia berada di Inggris untuk memenuhi pekerjaannya sebagai model. Tidak satu detikpun Justin merasakan kerinduan terhadap Weronika selama Caitlin dan Candice berada di sisinya. Belum lagi keberadaan Alex yang membuat Justin semakin melupakan Weronika. Bahkan baru tadi pagi ia mengingat Weronika karena Alex yang mempertanyakan nama istri-istrinya. Tidak ada satu pun dari mereka Justin cintai. Tidak satu pun. Pelayan-pelayan sialan yang berada di hadapan Justin membuat Justin merasa bodoh karena dulu ia pernah menghamburkan uang untuk mereka. Bodohnya, Justin tidak tahu mereka hanya memperguna diri Justin untuk mendapatkan lelaki yang lebih baik. Amarah Justin selalu meluap tiap kali pelayan-pelayannya berdiri di depannya, namun ia tahu, ia tidak akan pernah bersikap baik pada mereka. Semua ini ia lakukan untuk membalas dendam pada mereka semua. Membentak, memukul adalah pekerjaan Justin. Namun ia tidak membunuh secara langsung. Tapi ia membunuh pelan-pelan agar mereka mendapatkan balasan yang lebih daripada seharusnya.
            Mendengar suara Aaron yang muncul di ruang makan membuat Justin yang memegang pisau tajam itu menghentikan aksinya. Sebenarnya, ia ingin sekali menggoreskan tubuh wanita ini di depan pelayan-pelayannya yang lain tanpa membunuhnya. Ia hanya ingin melihat pelayan ini meringis-ringis di depan matanya. Caitlin dan Candice hanya terdiam di atas tempat duduknya, mata mereka menatap lurus pada Justin. Mereka juga tidak dapat membantah perkataan Justin. Meski mereka adalah istri Justin.
            “Pergi dari hadapanku,” bisik Justin menekan kata-katanya. Pelayan itu pergi, menundukan kepalanya dan kembali pada barisannya.
            “Daddy!” teriak Aaron membalikan kepalanya, melihat Justin yang memang sudah bangkit sedari tadi. Alex menekan kedua bibirnya menjadi sebuah garis tipis, tidak ingin banyak bicara setelah ia melihat apa yang baru saja ia lihat.
            “Hey, blue bird-ku. Kau sudah bangun? Bagaimana tidurmu?” tanya Justin dengan lembut, mengambil Aaron dari gendongan Alex.
            “Daddy,” rengek Aaron tidak menjawab Justin.
            “Kau menyukai namamu?” tanya Justin terduduk dan mendudukan Aaron di pangkuannya. Alex tersenyum senang melihat Aaron yang menggigit jari telunjuknya. Dengan polosnya, Aaron mengangguk.
            “Kau ingin sarapan bersama dengan ibu barumu?” tanya Justin, Alex tersentak. Matanya membulat dan ia menautkan kedua alisnya. Merasa begitu bersalah dengan Caitlin dan Candice yang berada di hadapannya. Fakta bahwa ia telah tidur dengan Justin membuat dirinya merasa begitu rendah di hadapan Caitlin dan Candice. Tapi yang membuat Alex bingung dengan keluarga ini adalah mengapa mereka tersenyum? Caitlin dan Candice memberikan senyum dengan murah hati pada Alex yang berdiri, mematung.
            “Duduklah,” suruh Justin menunjukan sebuah kursi yang bersebelahan dengan Justin, berhadapan dengan Caitlin dan Candice. Meja makan milik Justin begitu panjang. Ada dua belas kursi di kedua belah sisi meja dan dua kursi di ujung kanan dan kiri. Justin terduduk di kursi ujung kanan dan Caitlin di ujung kiri. Perasaan malu meliputi Alex saat ia terduduk di sebelah Justin.
            “Dia bukan ibuku,”
            “Oh, dia ibumu sayang,” ujar Justin menaruh Aaron di atas tempat duduk yang berhadapan dengan Alex. “Mulai dari sekarang, kau menyukainya?” tanya Justin memperlakukan Aaron selembut mungkin. Aaron melihat pada Alex sejenak, tidak ada senyuman. Merasa gugup, Alex menggigit pipi bagian dalamnya, seperti biasanya. “Kau tahu, ayah menyukainya,” bisik Justin membungkuk pada Aaron. Beberapa detik kemudian Aaron tersenyum, memperlihatkan gigi susunya yang rapi dan terawat.
            “Aku juga menyukainya,” ujar Aaron mengangguk-anggukan kepalanya terus menerus, mengikuti ayahnya. “Aku belum tahu nama ibu baruku, daddy,”
            “Kau ingin tahu nama ibu barumu?” Aaron menganggukan kepalanya bersemangat. Caitlin dan Candice ingin tertawa melihat anak kecil mereka yang tampak begitu bersemangat dengan kedatangan Alex. Mereka sudah terbiasa dengan perlakuan Justin. Sebenarnya, mereka juga membutuhkan penjaga Aaron. Pelayan-pelayan yang tinggal di rumah ini tidak sama sekali berguna untuk menjadi Aaron. Caitlin juga memiliki pekerjaan, sebagai seorang desainer dan ia telah memiliki butik. Candice juga adalah seorang model yang hari ini harus pergi. Mereka benar-benar bersyukur akan kedatangan Alex.
            “Alexis, tapi daddy memanggilnya dengan blue bird,”
            “Blue bird?”
            “Kau ingin memanggilnya dengan apa? Red bird?” Justin menggoda anaknya, lalu Aaron tertawa dengan suara khas kekanak-kanakannya. Alex ikut tertawa kecil melihat tingkah Justin yang menggoda anaknya. “Oh, daddy tahu panggilan yang bagus untuknya,”
            “Daddy tahu?”
            “Tentu,” ujar Justin. Lalu Justin membungkuk dan berbisik pada Aaron lalu Aaron tertawa keras, membuat mata Caitlin dan Candice membulat dan ikut tertawa melihat Aaron tertawa. Kembali Justin duduk tegap dan mengedipkan matanya pada Alex, menggodanya.
            “Peepee,” panggil Aaron menutup mulutnya dan tertawa-tawa, mata Aaron menyipit selama Aaron tertawa. Sungguh, jika ia terbangun, Alex baru menyadarinya. Ia hampir mirip dengan Justin. Bulu matanya yang panjang membuatnya tampak mirip dengan Justin. Namun sebenarnya tidak. Caitlin dan Candice tertawa.
            “Kau ingin memanggilnya Peepee?” tanya Caitlin lembut, dari jarak jauh. Aaron menganggukan kepalanya tanpa memalingkan kepalanya pada Alex.
            “Ya, kau boleh memanggilku Peepee. Itu panggilan yang bagus,” Alex menyetujuinya lalu ia melirik pada Justin. Acuh, Justin mengangkat kedua bahunya.

***

            Caitlin dan Candice telah pergi dari rumah untuk melakukan pekerjaan mereka. Hari ini Justin tidak pergi keluar dari rumahnya. Ia ingin melihat Alex yang merawat anak tunggalnya. Semua pekerjaannya hari ini ia serahkan pada orang lain yang ia percayai, Zayn. Justin tidak pernah merasa terpenuhi selama seumur hidupnya. Hari ini ia tampak begitu senang dengan Alex yang terus menggoda Aaron, membuat Aaron tertawa. Mereka memandikan Aaron bersama-sama. Walau terkadang Alex harus merasa risih karena tangan Justin yang tidak dapat diam pada tubuh Aaron, selalu saja tangannya berakhir pada pinggang Alex atau pahanya. Memandikan Aaron tidaklah mudah. Ia selalu menciprat-cipratkan air mandinya pada Alex dan Justin dari bath-up. Kaki mereka berdua kram akibat mereka terus terjongkok di luar bath-up. Bahkan Justin harus terjerembap jatuh di atas lantai yang basah karena licin. Aaron tertawa, begitu juga dengan Alex. Membuat Justin merasa cukup jengkel dengan wanita yang semalam ia perawani ini telah mentertawakannya.
            Aaron berlari-lari dengan tubuhnya yang setengah telanjang –untunglah Alex telah memakaikannya celana dalam—di sekitar ruang tamu. Membuat Justin dan Alex harus mengejarnya dari dua belah sisi. Anak kecil ini terlalu aktif. Bahkan sekarang Aaron berlari keluar dari rumahnya, menuju taman belakang, melewati kolam renang dan taman bermainnya yang Justin buat untuknya. Alex terus mengejar Aaron yang berlari begitu cepat, Justin merasa kalah. Ia yang memegang celana Aaron terlihat begitu lelah di sisi kolam renang. Melihat Aaron dan Alex yang berlari-lari melewati rerumputan taman dengan tawaan mereka. Tidak habis pikir Justin akan melewati hari ini dengan begitu melelahkan. Ini adalah yang pertama kalinya ia memakaikan Aaron pakaian. Pertama kalinya.
            “Daddy! Kejar aku!” teriak Aaron bersemangat.
            “Oh, aku akan mendapatkanmu iblis kecil!” teriak Justin berlari kembali, sangat menyenangkan.
***

            Menarik nafas, Justin menatap pada Aaron dan Alex yang tertidur di atas tempat tidur dengan nyaman. Mereka baru saja terjatuh di atas sana untuk tidur siang. Siang ini mereka memiliki waktu yang benar-benar berharga dan berarti. Justin tidak pernah merasa begitu senang selama seumur hidupnya. Mengejar Aaron atau memandikan anaknya. Tidak pernah sekalipun. Semua itu dilakukan oleh Weronika jika ia sedang berada di rumah. Atau Candice jika ia juga berada di rumah. Tapi ini. Justin diperhadapkan dengan seorang wanita perawan yang tampak begitu polos namun memiliki mulut yang lancang berbicara. Sepertinya wanita ini tidak takut dengan Justin. Tentu saja Alex tidak takut dengan Justin. Ia belum sepenuhnya tahu, siapa itu Justin Bieber. Seorang dictator yang keinginannya harus dituruti. Seorang lelaki yang sering menyakiti wanita. Beruntung karena sekarang mereka berdua sedang tertidur, Justin lebih mudah untuk mengecek ruang bawah tanah yang ia buat beberapa tahun lalu.
            Setelah menutup pintu kamar Aaron dengan pelan, Justin berjalan dengan angkuh dan berkarisma. Ia bahkan tidak mencukur janggutnya yang samar-samar terlihat di dagunya. Hari ini Justin berpakaian lebih santai dibanding hari-hari sebelumnya. Ia memakai celana jins pendek selutut bercorak hijau tua dan kelam seperti pakaian tentara dan kaos berwarna putih tipis yang melekat pada tubuhnya yang cukup berotot. Bahkan otot-otot perutnya dapat terlihat dari kaosnya yang tipis.
            “Bawakan makanan mereka sekarang, panggil Jordy,” ujar Justin dengan dingin pada salah satu pelayan yang ia siksa beberapa hari yang lalu. Luka di bibir wanita itu dapat membuktikan tamparan Justin yang menyakitkan. Pelayan itu mengangguk dan menjalan perintah Justin yang dingin. Justin berjalan keluar dari rumahnya, ke taman belakang. Sebuah gudang kayu berada di pinggiran tembok yang sengaja dibuat tinggi agar tidak ada seorangpun dapat melihat rumah Justin dari luar sana. Tamannya memang sangat luas, bahkan Justin pun dapat bermain golf  di tamannya sendiri. Tapi itu tidak mungkin.
            Merogoh kantong celana jinsnya, ia mengeluarkan sebuah kunci. Tiap kali ia menyentuh gembok gudang kayu yang dibuat olehnya, api kebencian mulai menyentuhnya. Berpikir bahwa orang-orang di bawah sana benar-benar layak menerima apa yang Justin lakukan pada mereka.
            “Mr.Bieber,” Jordy muncul dengan kacamata hitam tertahan di batang hidungnya. Terdongak, Justin mengangguk. Sedetik kemudian, pintu gudang terbuka. Langsung saja Jordy masuk menunduk ke dalam gudang kayu itu.Itu bukanlah sebuah gudang. Saat pintu terbuka, anak-anak tangga menyambut mereka dengan kengerian dan misterius. Jordy menginjakan kakinya ke atas anak tangga itu, menuruni mereka dengan perlahan. Gelap. Tentu saja, namun itulah gunanya Jordy. Ia membawakan senter untuk menuntun Justin berjalan. Para pelayan yang berada di belakang Justin telah membawa nampan dengan banyak makanan di atasnya. Berbaris dengan rapi dan mengikuti Justin dari belakang.
            Ini adalah ruang bawah tanah atau penjara bawah tanah milik Justin. Ya. Justin memiliki penjara bawah tanah yang bau dengan manusia-manusia tak berguna di dalamnya. Justin muak, tentu saja. Tapi ia ingin membalas dendam. Tidak ada rasa kasihan dalam diri Justin. Bertahun-tahun dan berkali-kali Justin telah disakiti dan ia tidak dapat menerima rasa sakit itu dengan mudah tanpa membalasnya. Ia harus membalas dendamnya. Perlahan-lahan namun menyakitkan. Cahaya ruang bawah tanah tidak begitu menerangi ruangan ini. Hanya ada empat lampu gantung di sepanjang lorong.
            “Justin! Justin! Keluarkan aku dari sini Justin, kumohon,” sungut seorang wanita dengan rambut hitam panjang yang lepek. Ia benar-benar kumuh. Ia memegang jeruji besi dan menatap Justin penuh dengan permohonan.
            “Aku akan mengeluarkanmu setelah kau menghembuskan nafasmu yang terakhir,”
            “Tidak Justin, kumohon. Apa kau tidak memiliki hati? Aku lelah berada di sini,”
            “Ya, aku. Aku tidak memiliki hati untuk orang sepertimu. Sayang sekali. Dulu kau sangat cantik, manis. Tapi sekarang. Lihat dirimu. Kumuh, rambutmu lepek dan wajahmu tak secantik dulu,” balas Justin, acuh. Begitu banyak sel-sel yang berada di penjara bawah tanah, menyimpan begitu banyak wanita yang menjerit-jerit meminta tolong pada Justin agar mereka dikeluarkan dari penjara itu. Tapi tidak. Justin memberi mereka makan dua kali sehari. Mereka tidak mandi. Penjara ini sama seperti penjara lainnya. Tidak ada toilet, tapi memiliki washtafel untuk menyikat gigi mereka. Tidak ada pakaian yang Justin berikan pada mereka. Mereka begitu menderita berada di ruang bawah tanah. Tiap kali mereka meringis kesakitan. Bahkan, tempat ini adalah tempat dimana dua orang wanita meninggal karena tak tahan tinggal berada di ruang bawah tanah karena lamanya Justin mendiamkan mereka. Ya. Menyakiti mereka perlahan-lahan sampai mereka meninggal adalah tujuan Justin. Beruntung karena hari ini Justin sedang berada dalam keadaan senang. Justin sedang tidak ingin menyakiti siapa pun.
            “Kumohon jangan sakiti aku,” bisik seorang wanita meringkuk di atas tempat tidurnya yang keras. Justin menghentikan langkahannya, melihat wanita itu dibalik jeruji besi. “Keluarkan aku dari sini,” lanjutnya.
            “Kau tahu seberapa aku mencintaimu dulu? Cuih! Aku benar-benar menyesal telah mencintaimu. Jalang,” gumam Justin beralih dari wanita itu. Para pelayan yang membawa nampan dengan piring di atasnya hanya dapat menaruh piring mereka di depan jeruji besi, sehingga mereka harus mengeluarkan tangan mereka untuk meraih makanan yang Justin berikan. Ruangan ini bau. Berdebu. Tak terawat. Banyak serangga. Bukan tempat tinggal yang layak. Setelah menyusuri ruang bawah tanah yang cukup panjang dengan sel-sel yang berjejeran di kedua belah sisi, Justin membalikan tubuhnya. Ingin kembali ke atas. Berpikir jika tiba-tiba Alex terbangun dan mencarinya. Hari ini ..belum ada yang meninggal. Dan Justin sangat berharap salah satu di antara mereka ada yang meninggal. Setelah itu, ia akan membakarnya.
            “Justin! Jangan tinggalkan aku! Aku mencintaimu!”
            “Justin! Aku membutuhkanmu!”
            “Ya, Tuhan. Aku harap kau mati, Justin Bieber!”
            Teriakan-teriakan dari para wanita di balik jeruji besi itu terdengar di telinga Justin. Tapi Justin mengabaikannya. Sangat membuang-buang waktu jika Justin membalas ucapan mereka. Namun Justin tertarik dengan salah satu wanita yang menyumpahinya mati. Ia berhenti melangkah.
            “Apa kau bilang?” tanya Justin berhenti di depan sel-nya. Wanita yang menyumpahinya memiliki paras yang begitu cantik, namun terlihat kumuh karena sudah lama sekali ia berada di dalam sel. Kedua tangannya memegang besi dengan erat dan tertawa melihat Justin.
            “Aku harap kau mati! Kau adalah pecundang! Pecundang harus mati!” teriak wanita itu, gila.
            “Sayang, kau dulu sangat cantik dengan bibirmu yang manis. Tubuhmu menggiurkan. Tapi lihat kau sekarang? Sudah berani menyumpahiku dengan mulutmu yang entah harus kuapakan sekarang. Meninjunya mungkin?”
            “Kau hanyalah banci yang melawan wanita! Kau bukan lelaki!” ejek wanita itu mengeluarkan tangannya, berusaha untuk meraih Justin. Namun dengan cepat Justin menangkap tangannya dan memutarnya ..hingga patah. “Ark!” wanita itu terjatuh dengan tangan yang sudah tak bisa ia gerakan kembali. “Tanganku!”
            “Siapkan api untuknya malam ini. Kurasa ia sudah siap,” ujar Justin pada Jordy yang berada di belakangnya. Jordy menganggukan kepalanya. Andai saja Mr.Bieber tahu, Jordy sebenarnya tidak tega melihat wanita-wanita yang berada di penjara bawah tanah ini menderita. Namun Jordy tidak dapat melakukan apa-apa. Ia hanyalah pengawal Justin sekaligus suruhan Justin. Tidak ada yang dapat ia lakukan lebih dari itu.

***

            “Siapa dia Justin?” tanya seorang wanita berwajah Latin, memiliki rambut yang bergelombang panjang berwarna cokelat. Tampak cantik dengan pakaian yang ia pakai sekarang. Ia menunjuk pada Alex dan Aaron yang sedang berenang dari dalam rumahnya. Merasa risih akan kedatangan wanita itu, ia bertanya pada suaminya. Justin terdiam sejenak, bibirnya berubah menjadi satu garis lurus yang tipis tampak di wajahnya. Wanita ini baru saja datang dari Texas. Tidak memberitahu Justin terlebih dahulu, sungguh membuat Justin kesal. Masalahnya adalah ia tidak terbiasa memarahi seseorang di depan Aaron. Apalagi Aaron sedang bermain dengan ibu barunya.
            “Dia ibu baru Aaron,”
            “Apa maksudmu? Kau menikah lagi? Ini omong kosong Justin,”
            “Oh, Selena, kau tidak tahu seberapa cantiknya dia saat aku menidurinya,” ujar Justin melihat gerak-gerik Alex dari jarak jauh. Alex memakai bikini yang tidak begitu terbuka. Namun tampak begitu menggiurkan. Rasanya ia ingin meniduri Alex sekarang juga. Namun ia tahu itu tidak mungkin terjadi sekarang. “Dia akan menjadi istriku, kelak,” bisik Justin.
            “Kau tidak tahu seberapa sakitnya –“
            “Selena, aku tidak ingin mendengar ini lagi. Caitlin dan Candice sudah terbiasa. Maka biasakanlah dirimu seperti mereka. Tidak ada bantahan atau kau akan berada di ruang bawah tanah,” jelas Justin, memalingkan wajahnya pada Selena. Menatap Selena dengan dingin, setelah itu Selena terdiam. Wanita berwajah Latin itu mendengus kesal dan menggelengkan kepalanya, ia berjalan menuju dapur untuk menenangkan diri. Terkekeh pelan, Justin berpikir mengapa ia tidak menceraikan istri-istrinya saja mulai dari sekarang? Tapi ia masih ragu dengan Alex. Siapa tahu Justin dibohongi oleh Alex. Justin sekarang akan lebih berhati-hati dalam memilih wanita. Jika ia telah mendapatkan wanita yang benar-benar tepat, istri-istrinya akan segera ia ceraikan. Memulai kehidupan baru. Ia masih mencari-cari gadisnya yang hilang, mungkin sekarang ia telah menemukannya. Mungkin.
            Ia melangkah, keluar dari ruang keluarga menuju kolam renang. Menghampiri Alex dan Aaron yang tertawa-tawa. Sesekali Aaron memegang tali bikini milik Alex, membuat Justin berereksi sekarang. Ia terduduk di salah satu kursi santai, memperhatikan mereka berdua yang bermain dengan asyik. Rasanya Justin juga ingin masuk ke dalam kolam itu dan meraba tubuh Alex. Bahkan jika perlu, ia akan menyetubuhi Alex di dalam kolam itu. Ia mulai berimajinasi.
            “Daddy!” teriak Aaron dengan dua buah pelampung yang berada di kedua tangannya. Aaron belum pintar berenang, Alex berusaha untuk mengajarkannya. Dengan sabar, Alex menopang Aaron dari bawah. Ia memegang perut Aaron dari bawah lalu kaki Aaron bergerak-gerak, berusaha belajar. Justin tertawa dan membungkukan tubuhnya.
            “Hey, blue bird. Apa kau lapar?” tanya Justin melipat tangannya, tersenyum pada anaknya. Aaron menggelengkan kepalanya. Setelah sampai ke tepi kolam renang, Aaron memegang sisi kolam renang.
            “Ayo berenang bersama Peepee, Daddy,” ajak Aaron. Alex yang berada di belakangnya memeluk Aaron, melirik pada Justin dan menahan senyumannya. Ia menggigit pipi bagian dalamnya saat Justin mengedipkan matanya, sangat mengartikan sesuatu.
            “Kau ingin daddy ikut ke dalam kolam renang?” tanya Justin. Anggukan Aaron benar-benar membuka jalan bagi Justin untuk memegang tubuh Alex. Tangannya sungguh gatal ingin meremas bokong Alex yang berisi itu. Sedari tadi ia menunggu saat-saat seperti ini, akhirnya anaknya mengajak dirinya untuk berenang bersama. Justin bangkit dari kursi santainya dan membuka pakaiannya. Begitu juga dengan jinsnya. Tapi Justin masih menyisakan boxernya, ia tersenyum miring pada Alex dan menaik turunkan alisnya untuk menggoda Alex.
            “Apa yang daddy lakukan?” tanya Aaron polos.
            “Apa yang daddy lakukan? Ia sedang berolahraga. Olahraga alis,” jelas Alex yang membuat Aaron tertawa hingga ia mendongakan kepalanya ke belakang, menyentuh pundak Alex yang telanjang.
            “Olahraga alis. Benar sekali. Untuk menggoda wanita sepertinya berhasil,” ujar Justin membenarkan boxernya, sengaja untuk memperlihatkan tonjolan dari ereksinya pada Alex. “Baiklah. Kalian minggir. Perenang handal ingin melompat! Woohoo!” detik itu juga Justin melompat masuk ke dalam kolam renang.
            “Daddy!” teriak Aaron tertawa saat Justin melompat. Wajahnya dan Alex terciprat oleh air akibat lompatan Justin. Beberapa detik kemudian Justin muncul ke permukaan air. Alex tercengang saat Justin mengibas-kibaskan rambutnya yang basah. Mengelap wajahny dengan tangannya yang lebar itu dan jarinya yang panjang. Lelaki itu luar biasa tampan. Ia bahkan hampir melepaskan Aaron dari gendongannya. Justin menghampiri mereka berdua dengan tubuhnya yang sepenuhnya basah. Tidak pernah. Justin tidak pernah berenang bersama dengan Aaron sebelumnya. Tidak sekalipun. Hari ini Justin melakukan apa yang tak pernah ia lakukan bersama dengan Aaron. Kali ini ia merasa lebih hidup dibanding hari-harinya yang telah ia lalui.
            “Kau tampak begitu seksi,” bisik Justin saat Justin mengambil Aaron dari gendongan Alex. Pipi Alex memerah, ia diam-diam menggigit pipi bagian dalamnya lagi. Merasa begitu terbang saat Justin memujinya.
            “Siapa yang seksi daddy?” tanya Aaron yang ternyata mendengar ucapan ayahnya.
            “Bukankah Peepee terlihat seksi?”
            “Ya, dia seksi,” ucap Aaron polos, mengikuti ayahnya. Alex tertawa dan menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang baru saja Aaron katakan. Ia berpikir, jika ayahnya seperti ini, bagaimana anaknya kelak? Aaron tidak boleh menjadi lelaki yang nakal seperti ayahnya. Sangat tidak lucu di saat Aaron masuk sekolah nanti, Aaron akan menjadi lelaki penggoda para wanita yang dapat menjatuhkan hati mereka. Alex menggelengkan kepalanya.
            “Bokong yang cantik dan empuk,” bisik Justin meremas bokong Alex. Alex menjerit, namun dengan cepat ia menutup mulutnya.
            “Apa? Mengapa kau berteriak Peepee?”
            “Peepee baru saja digigit oleh ikan hiu, berenanglah. Daddy ingin melihat seberapa pintarnya anak daddy berenang,” ujar Justin melepaskan Aaron dari gendongannya, lalu ia mendorong Aaron jauh darinya. Membuat kedua tangan Justin kali ini benar-benar bebas dari Aaron lalu ia menangkup bokong Alex kembali. “Oh, yeah. Aku ingin menyetubuhimu di dalam sini. Sekarang,”
            “Oh, daddy! Aku tidak bisa!” teriak Aaron yang berjarak satu meter dari Justin. Ia menggerak-gerakan tangannya yang kecil itu di atas air, sama sekali tidak membantunya untuk berenang. Justin tertawa dan menarik tangan Aaron dengan lancar seperti seluncuran. Aaron tertawa.
            “Lagi daddy! Lagi!” teriak Aaron. Lalu Justin mendorong Aaron menjauh lagi, melepaskannya, dan membiarkan Aaron jauh darinya. “Pegang pinggangku sekarang,” suruh Justin pada Alex yang dari tadi hanya tersenyum-senyum dari belakang. Tak ingin membantah, Alex memegang pinggang Justin.
            “Oh yes. Itu dia!” desah Justin memejamkan matanya. “Turunkan sedikit lagi, kau harus memegang ereksiku sekarang,” ujar Justin. “Daddy!” teriak Aaron lagi.

            “Aku akan menangkapmu blue bird. Dasar kau setan kecil!” Kembali Justin menarik tangan Aaron dengan kenikmatan yang ia rasakan dari tangan Alex.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar