Selasa, 06 Agustus 2013

Lust of Love Bab 2


***

*Author POV*

            Tubuh Alex bergemetar saat Justin membawanya masuk ke dalam rumahnya setelah ia memberontak pada Justin untuk keluar dari halaman rumahnya. Namun perbuatannya akan sia-sia, ia tahu itu. Tidak akan ada yang membantunya di dalam sana. Dia bahkan tidak tahu di jalan apa sekarang ia berada. Setelah ia menapakan kakinya ke dalam rumah Justin, seluruhnya tampak begitu terang. Ruang tamu yang begitu luas. Sebuah tangga melingkar di tengah-tengah. Grand piano terpajang di sebelah ruang tamu. Banyak sekali barang-barang antik yang berada di dalam rumah Justin. Pelayan-pelayan yang baru saja menyambut mereka berdua telah berpencar, mengerjakan tugas mereka kembali.
            “Di mana ayah?” tanya seorang anak kecil yang terdengar di telinga Alex. Jantung Alex berdetak begitu kencang. Banyak sekali pertanyaan yang jatuh pada otaknya. Justin Bieber memiliki anak? Oh, sial. Sekarang Alex merasa seperti lelaki perebut lelaki orang. Oh! Dia baru saja ingat saat Justin berkata ia tidak memiliki kekasih. Seharusnya ia berpikir kalau Justin memiliki istri. Lalu suara larian terdengar dari lantai atas, melewati tangga, dan muncul di dasar tangga. Seorang anak lelaki dengan mata yang berwarna sama dengan ayahnya muncul. Pipinya begitu menggemaskan. Bulu matanya begitu lentik. Justin yang memegang tangan Alex langsung melepaskan tangannya, ia berjalan pada anaknya yang berlari ke arahnya. Lalu dipeluknyalah anak lelaki itu dengan erat.
            “Kau memiliki anak?” tanya Alex. Sedetik setelah ia bertanya pertanyaan itu pada Justin, tangan Alex menutup mulutnya dengan cepat. Seorang wanita berambut cokelat bergelombang muncul dari tangga yang melingkar itu dan menatap Alex dengan senyum. Oh, sial. Pikiran Alex sekarang benar-benar berkecamuk. Seharusnya sekarang ia bekerja. Bukan berada di dalam rumah seorang Justin Bieber yang ternyata telah memiliki istri, bahkan anak.
            “Siapa dia, ayah?” tanya anak kecil itu dengan polosnya. Setelah anak kecil itu bertanya, wanita yang berada di belakang Justin berjalan menuju Alex dengan senyum. “Ini teman ayah sayang,” ujar wanita itu dengan lembut dan ramah. Ia merangkul Alex dengan begitu bersahabat, namun Alex merasa begitu gugup. Sekarang Alex ingin membunuh dirinya sendiri. Bingung dengan apa yang sekarang ia lihat. Mengapa keluarga ini tampak begitu aneh? Darah yang mengalir dalam tubuh Alex berdesir begitu cepat. Apa ini hanya mimpi? Karena tidak mungkin ada seorang istri yang begitu santai merespon seorang wanita yang masuk ke dalam rumahnya setelah suaminya memegang tangan wanita diajaknya.
            “Siapa yang datang?” tanya seorang wanita lain tiba-tiba saja muncul dari atas. Seorang wanita berambut panjang berwarna pirang muncul dengan keseksian yang ia miliki.
            “Teman ayah!” seru anak kecil itu dengan imutnya. Ketegangan berlangsung di setiap diri mereka, kecuali Justin. “Ayah harus bekerja dulu nak. Tidurlah. Sudah malam,” bisik Justin menurunkan anaknya dari gendongannya.
            “Ayah tidak ingin memberikan ciuman pipi padaku?” tanya anak lelaki itu mendongak pada Justin. Hati Justin merasa begitu tenang jika anak kecil ini selalu berada di sebelahnya. Seakan-akan tidak boleh ada satupun orang yang menyakiti anaknya. Karena itu memang. Memang tidak boleh ada yang menyakiti anak Justin. Secara fisik atau pun batin. Sontak Justin membungkuk dan mencium pipi anak itu dengan lembut. “Sekarang, tidurlah. Ada dua ibu yang menjagamu,” bisik Justin mengacak-acak rambut tipis anak itu.
            Wanita yang berada di sebelah Alex langsung beranjak pergi dari Alex dan menggendong anak kecil itu dengan cepat. Sama dengan wanita berambut pirang itu yang baru saja muncul tadi. Mereka bertiga beranjak pergi ke atas kembali dengan begitu tenang. Alex yang berdiri di dekat sebuah lemari koleksi anggur Justin tampak seperti patung. Ia benar-benar tidak dapat mempercayai apa yang baru saja ia lihat. Dua ibu? Dua ibu? Dua ibu? Pertanyaan itu terlontar di dalam otak Alex. Merasa kalau ia benar-benar seperti pelacur murahan yang tak tahu diri. Ia menelan ludahnya saat Justin melangkahkan kakinya menuju padanya.
            “Merasa aneh?”
            “Tentu saja. Apa kau tidak melihat apa yang baru saja kulihat?”        
            “Penglihatanku terhadap sesuatu lebih terbuka dibanding pemikiranmu yang sempit, kau tahu itu,”
            “Tapi, ya Tuhan. Mengapa kau membawaku ke dalam rumahmu yang begitu menyeramkan? Apalagi dengan kejadian yang baru saja kulihat tadi. Kau telah memiliki anak dengan dua istri!”
            “Sebenarnya, 19 istri, kau harus tahu itu. Selir maksudku,” ujarnya tak menyaring kata-katanya. Alex bersandar pada lemari anggur Justin, mencoba untuk berpikir jernih. Mencoba untuk berpikir bahwa kejadian tadi adalah kejadian yang layak untuk ia lihat. Namun ia tidak bisa. Justin tampak seperti bajingan yang tiap hari membawa pelacur tanpa memikirkan perasaan selir-selirnya. 19 selir! Bayangkan.  Belum lagi harus ditambah dengan pelacur-pelacur yang sering Justin tiduri. Bagaimana dengan mereka? Apa Justin tidak merasa kelelahan untuk memenuhi kebutuhan? Ternyata Justin adalah lelaki yang berpoligami. Mungkin hanya dua atau tiga istri yang Justin sayangi. Lalu, ia kemanakan 17 wanitanya yang lain? Apa mereka masih hidup? Apa wanita-wanita tadi adalah istri Justin yang paling muda? Alex benar-benar tidak habis pikir kalau ia akan memiliki bos yang sering memainka hati wanita. Pantas. Pantas saja Justin membuat sebuah bar atau club. Itu benar-benar menggambarkan dirinya. Alex terdiam, tidak tahu harus merespon apa.
            “Terkejut? Tak menyangka?”
            “Jelas,”
            “Kau tahu apa Ms.Bledel? Kau mempunya mulut yang benar-benar jujur. Tapi lancang. Rasanya aku ingin membungkammu. Dengan ..sesuatu. Menurutmu apa yang bagus untuk menutup mulutmu yang cukup lancang itu?” tanya Justin, memiringkan kepalanya ke samping.
            “Aku tidak tahu,”
            “Bibirku, mungkin? Tertarik?” Justin menggodanya. Alex tidak menjawabnya saat Justin memajukan tubuhnya pada dirinya. Lemari anggur milik Justin telah membatasi langkahannya untuk mundur ke belakang. Sebenarnya, apa maksud Justin mengajaknya datang ke rumahnya?

*Alexis Bledel POV*

            Tidak, tidak, tidak. Ini sungguh salah. Aku tidak seharusnya berada di dalam rumah ini. Seorang Justin Bieber telah memiliki 19 istri? Apa-apaan! Jika ia mengajakku ke sini hanya untuk memintaku sebagai istrinya yang kedua puluh. Aku tidak sudi. Mengapa wanita-wanita yang sekarang telah menjadi istri Justin ingin diduakan, bahkan entahlah diberapakan oleh Justin yang berengsek? Dan sekarang Justin menggodaku. Apa-apaan! Dengan pakaiannya yang memakai jaket kulit berwarna hitam, ia maju. Tampak begitu seksi, menggoda imanku. Tapi aku tidak mau! Aku tidak mau mencium bibirnya yang telah diciumi oleh banyak wanita. Apalagi sekarang ia telah dimiliki oleh Sembilan belas orang. Sembilang belas. Setelah ia berdiri di depanku, ia meraih wajahku, mencoba untuk mencium bibirku. Namun aku mendorong tubuhnya dengan cepat. Kugelengkan kepalaku.
            “Tidak, aku bukan pelacurmu. Aku bukan selir-selirmu. Di sini aku hanya menghormatimu sebagai bosku. Kau tahu itu. Tidak ada seks di antara kita, kumohon,” bisikku mendorong tubuhnya. Tanganku berada pada dadanya, tertahan di sana. Bibir Justin yang telah siap untukku tidak jadi menciumku. Namun tangannya masih berada di leherku, meremas rambutku dengan lembut. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku menahan lelaki ini untuk tidak melakukan apa yang ia ingin lakukan terhadapku? Ia tampak begitu menggiurkan dari jarak dekat. Hidungku dan hidungnya hampir tersentuh, nafasku tercekat. Hampir tak bernafas. Lalu tangannya yang lain berada di sebelah sisi kepalaku yang lain, tertahan pada lemari anggur yang berada di belakangku. Jantung ini selalu berdetak kencang. Rasanya aku ingin menggigit pipi bagian dalamku. Sungguh gemas aku juga ingin mencium bibirnya. Tapi aku harus professional. Aku tidak ingin terlihat begitu murahan di depannya. Ini sama saja aku merusak harga diriku dan merusak hubungan orang lain. Ia telah memiliki 19 selir. 19 istri. Kupejamkan mataku di setiap detik keheningan yang ada.
            “Kau tidak mau? Mengapa?” bisik Justin, kali ini melembut.
            “Aku tidak ingin menjadi pelacurmu atau salah satu selirmu. Mr.Bieber,” kali ini aku memanggilnya dengan sopan, “aku hanya ingin bekerja menjadi pelayanmu,”
            “Jadilah pelayan diri rumahku. Kau akan mendapatkan gaji yang lebih besar,” bisiknya yang membuatku membuka matanya. Aku? Pelayan di rumah ini? Tidak. Aku tidak ingin menjadi pelayan Justin di rumahnya. Maksudku, setelah tadi aku bertemu dengan pelayannya yang lain, mereka melihatku dengan tatapan sinis dan aku yakin mereka telah mencap diriku sebagai pelacur.
            “Tidak,”
            “Jadilah penjaga anakku. Anak tunggalku. Dia pasti akan menyukaimu,”
            “Bagaimana kau tahu?”
            “Kau tampak lembut. Sabar. Dan lugu seperti anak kecil,” mataku bertemu dengan matanya, setelah dari tadi aku mencoba untuk tidak menatap matanya. Sial. Mata harimau yang garang, panas dan indah itu membuatku ketakutan sekaligus kesenangan karena keindahannya. Kutelan ludahku, memejamkan mata. Apa aku bisa menjaga anak kecil itu? Dia tampak lucu. Pipinya sungguh tembam dan kegirangannyam membuatku bersemangat, meski wajahku yang datar tidak memperlihatkan semangatku saat kemunculan anak kecil itu.
            “Namanya Aaron. Dia anak angkat. Matanya sama dengan mataku, aku menyukainya. Tidak ada satupun selirku yang hamil. Tidak ada. Satu hal yang tidak pernah orang tahu tentang pernikahanku, aku tidak mencintai mereka. Mereka hanya penyalur nafsuku dan karena mereka juga seksi. Kau tahu, aku bisa menceraikan mereka semua dalam waktu satu hari. Lalu kau akan bebas di dalam rumah ini. Bermain bersama dengan Aaron,”
            “Mengapa kau mempermainkan wanita?”
            “Karena mereka mempermainkanku,” bisiknya. Lalu bibirku bertemu dengan bibirnya, aku mendorongnya langsung.
            “Tidak! Aku tidak dapat bekerja di rumahmu jika kau tidak memiliki kesopanan. Aku mencoba untuk menjadi orang yang menghormatimu, Mr.Bieber. Tapi kau tidak menghormatiku,” protesku, kurasa menjaga Aaron adalah pekerjaan yang menyenangkan, “Aku menyukai Aaron,”
            “Kau menyukainya? Berarti kau menyukai ayahnya,”
            “Oh, Mr.Bieber, percaya padaku. Aku memang menyukai ayahnya karena ayahnya sopan di luar sana. Tapi di dalam rumah, ternyata ia tidak sesopan yang kukira,”
            “Fiuh. Bibir lancang yang seksi. Kau benar-benar menguji kesabaranku di sini. Terima pekerjaan itu atau kau kupecat dari bar dan restoranku lalu hidupmu tidak akan tenang setelah itu? Aku bisa menjamin hidupmu tidak akan tenang,”
            “Bagaimana bisa?”
            “Aku lelaki terkaya kedua puluh lima di Amerika, sayang. Aku bisa menyewa detektif untuk mencaritahu tentangmu, merusak kehidupanmu dengan cara apa pun yang kumau asal kau tidak tenang,”           
            “Satu pertanyaan Mr.Bieber,” aku menekan tanganku yang berada di dadanya, “Mengapa aku? Kau bilang padaku kalau aku memiliki bokong yang rata dan dada yang kempis. Jelas kau tidak menyukaiku. Berarti –“
            “Oh, Ms.Bledel. Kau sungguh menggemaskan,” ia terkekeh, “aku membawamu ke rumahku hari ini karena pertama kali aku bertemu denganmu, aku telah berpikir bahwa kau adalah wanita yang cocok untuk dijadikan ibu bagi Aaron. Kau tampak risih dengan pakaianmu yang seksi, aku tahu,”
            “Apa hubungannya?”
            “Kau. Ibu. Yang. Baik,”
            “Aku terima,” bisikku dengan suara yang kecil. Oke, ini adalah langkah yang begitu besar bagiku, tapi ..oh Tuhan, anak kecil itu sungguh menggemaskan. Pipinya yang begitu tembam dan bibirnya yang mungil saat berucap sungguh membuatku ingin mencium pipinya. Bagaimana mungkin aku bisa menolak tawaran ini? Aku hanya perlu menjaga anak kecil itu lalu aku mendapatkan gaji yang besar.
            “Kau harus tinggal di rumah ini,” ujarnya yang membuatku terkesiap, mataku melotot saat Justin menjauhkan tubuhnya dari tubuhku. Kugelengkan kepalaku. Tidak. Aku tidak ingin tinggal di dalam rumah ini.
            “Tidak, kau tidak mengatakan itu,”
            “Oh, yeah. Memang tidak. Tapi kau telah menerima pekerjaanmu yang baru, kita tahu itu bukan?” ia memiringkan kepalanya ke salah satu sisi. “Kau harus menjaga Aaron di malam hari juga, kau tahu. Dia rewel, sama sepertiku jika kau tidak mengabulkan permintaanku,” alasannya. Kutelah ludahku, menganggukan kepala. Benar juga. Aaron mungkin masih berumur 3 tahun, yah, sekitarannya. Oh, ini akan menjadi luar biasa!

***

            “Apa? Tidak bisa! Kau gila! Kau gila!” teriak Brad menjambak rambutnya yang berwarna emas itu dengan frustrasi. Dia tidak setuju aku akan tinggal di rumah Justin Bieber. Tapi aku telah merapikan pakaian-pakaianku dan malam ini juga aku akan tinggal di rumah Justin. Brad baru pulang saat aku telah membereskan pakaianku. Sebenarnya, aku juga tidak tega meninggalkan Brad. Tapi sama saja, jika aku beritahu kalian. Aku dan Brad bahkan seperti tidak pernah bertemu dalam satu rumah. Hanya di malam hari dan di pagi hari. Mungkin jika aku bekerja di rumah Justin akan menjadi sangat menyenangkan bermain dengan anak kecil sepanjang waktu.
            “Brad, tenang. Aku bisa mengunjungimu. Aku berjanji akan datang ke pesta dansa itu. Pegang kata-kataku, mengerti?” tanyaku memegang kedua bahunya, menatap matanya dengan senyum termanis yang kuberikan padanya. “Ayo, twinky-promise,” ujarku memberikan jari kelingkingku padanya.
            “Kau berjanji?”
            “Ya, tentu saja kau gay!”
            “Aku bukan gay!” teriaknya tidak terima, memang dia bukan gay. “Oh, ini akan menjadi sangat berat. Tapi aku tidak berhak atas pilihan kehidupanmu, chieke. Semoga pekerjaanmu lebih menyenangkan,” ujarnya mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingkingku lalu ia memelukku. “Kau akan menjadi sebab dari kerinduanku,” bisikku mengusa-usap punggungku dengan lembut.
            “Apa semua baik-baik saja?” suara berat dari Justin terdengar di telingaku. Sial! Dia tidak mengetuk pintu sebelum masuk. Dan yah, aku tahu ia telah menungguku di dalam mobilnya. Mungkin cukup lama. Aku dan Brad melepaskan pelukan kami lalu aku membalikan tubuhku. Masih sama. Jika ia berada di luar, ia tampak begitu berwibawa. Sial. Dia pintar sekali menjaga karismanya.
            “Ya, tentu saja,” ujarku sambil menyelipkan rambutku ke belakang telingaku. “Selamat tinggal. Aku mencintaimu. Kau tahu itu,” bisikku sambil mencium pipi Brad lalu tersenyum. Pengawal Justin yang bernama Jordy telah membawa koper-koperku ke dalam mobil Justin beberapa menit yang lalu. Sungguh baik. Padahal di sini aku juga adalah seorang pekerja. Penjaga anak dari Justin.
            “Dah!” aku melambaikan tanganku pada Brad yang dapat kupastikan ia benar-benar bersedih. Justin meraih tanganku, menarikku keluar dari apartemenku dan Brad. Oh, aku tidak akan pernah melupakan janjiku. Kuharap aku tidak melupakan janjiku. Pintu tertutup saat aku dan Justin sudah benar-benar keluar.
            “Siapa dia?” tanya Justin ingin tahu.
            “Dia sahabatku,” bisikku masuk ke dalam mobil Justin.
            “Kau mencintainya?”
            “Dia sahabatku. Aku menganggapnya sebagai kakakku. Mengapa kau bertanya seperti itu?” Justin terdiam, ia mengangkat kedua bahunya. Acuh. Sial. Tapi aku tidak begitu peduli juga dengan apa yang ia pertanyakan. Aku ke rumahnya bertujuan untuk menjadi penjaga anaknya. Bukan pelacur atau selirnya. Yah, intinya sejenis itu. Kalau pun begitu, itu berarti aku memang wanita normal yang tidak dapat menahan godaan dari seorang lelaki tampan seperti Justin. Harus kuakui, aku benar-benar menyukainya. Bahkan aku menginginkannya. Namun semua itu sirna saat dua orang wanita yang Justin akui sebagai istrinya. Kecantikanku kalah telak dengan dua wanita itu.
            “Kau tahu. Kau adalah pekerja spesial bagiku,”
            “Oh?”
            “Yeah. Ini adalah usahaku untuk masuk ke dalam tubuhmu,” bisiknya terkekeh. Aku terdiam. Untunglah ia memberitahuku. Berarti aku dapat berhati-hati dengan Justin.
            “Di mana istrimu yang lain? Kupikir ada 19 orang,”
            “Mereka berpencar. Hanya tiga istri yang kuakui, yang kusayangi tinggal di rumahku. Yang lain kubiarkan mereka di Inggris, Kanada, Texas, ah, banyak sekali negaranya. Susah untuk menyebutkannya,”
            “Kelihatan sekali kau ahli dalam hubungan percintaan,”
            “Tidak juga. Orang yang mengkhianatiku dalam percintaan, menyakitiku, aku membalas dendam. Aku sering menyakiti orang, kau tahu. Aku tidak ahli dalam percintaan. Tapi percintaan di atas ranjang, ya, akulah orangnya,” tangannya memegang tanganku. “Fiuh. Kau benar-benar menggoda,”
            “Dadaku kempis,”
            “Well, kurasa. Harus kulihat terlebih dahulu untuk melihat yang sebenarnya. Bisa saja tebakanku salah,” ujarnya meremas tanganku, namun dengan segera aku menarik tanganku dari tangannya.
            “Well, memang. Kau salah besar,”
            “Kau akan menghukumku, Ms.Bledel?” tanya Justin kembali menarik tanganku dan menciumnya pada bibirnya. Sungguh, bibirnya sangat menggugah diriku untuk menciumnya. “Kau bosku,” bisikku.
            “Ah, ya. Kau benar. Aku belum menghukummu. Untunglah kita pulang.” Ia menyiratkan sesuatu yang terdengar begitu negatif dan misterius. Kumohon jangan ada hubungannya dengan seks. Bisikku.
****

            Sungguh sulit rasanya aku menerima kenyataan bahwa dia tampak begitu tampan dan aku menginginkannya. Sebenarnya semua ini memang salah. Aku telah masuk ke dalam perangkapnya. Dia seorang dictator yang melakukan apa pun dengan sewenang-wenangnya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Jika aku tidak menerima pekerjaan ini, aku yakin ia memegang ancamannya. Dapat kupastikan ia akan merusak kehidupanku. Tak dapat kupungkiri, aku memang menyukainya. Menginginkannya. Setelah aku menginjakan kakiku ke dalam sebuah kamar yang sejuk dengan cat berwarna putih dan kasur yang besar. Fasilitas ini benar-benar mewah, seakan-akan aku bukanlah seorang penjaga anak. Jordy bolak-balik membawa koperku. Awalnya aku meminta Justin agar aku yang melakukan ini. Membawa koper-koperku sendiri. Masalahnya aku tidak terbiasa dengan hidup yang penuh dengan kemewahan dan pelayanan. Aku lebih suka melayani seseorang, apalagi jika aku membantu mereka dengan perasaanku. Justin masuk ke dalam sebuah kamar, yang kuyakini kamar itu adalah kamar Aaron. Anak kecil yang berkaki mungil dan pipi yang tembam itu pasti sudah tertidur.
            Oh, ini akan menjadi sangat luar biasa. Well, harus kuakui, menerima pekerjaan ini sebenarnya tidak begitu buruk. Aku dapat menjaga anak kecil, bermain-main, dan sekaligus aku dapat melihat seorang lelaki tampan. Seharusnya ini memang tidak terjadi. Maksudku, aku menyukai Justin. Tapi hey, tidak ada yang dapat menahan rasa ini, sekalipun itu istri Justin. Ini membuktikan bahwa aku adalah seorang gadis berumur 22 tahun yang normal. Menyukai seorang lelaki. Menginginkannya.
            Jordy keluar dari kamarku setelah tiga koperku telah ia angkut dari bawah sana. Yeah, aku tidur di kamar atas. Bersebelahan dengan kamar Aaron. Mataku melihat pada sekeliling. Aromanya sungguh mengagumkan. Seakan-akan tempat ini tidak ada yang pernah tempati. Harum, sejuk dan nyaman. Kupejamkan mataku menghirup aroma kamar ini. Tanganku yang berada di pintu selama beberapa menit menunggu Jordy tadi mulai kututup.
            “Kau pikir apa yang sedang kaulakukan?” suara Justin kembali muncul, menahan dorongan tanganku terhadap pintu. “Aku ingin masuk,” ujarnya mendorong pintu agar terbuka lebih lebar dan masuk ke dalam kamarku.
            “Bukankah seharusnya kau tidur bersama dengan istri-istrimu?” tanyaku sedikit mengejeknya dengan ‘istri-istri’. Biar dia tahu bagaimana rasanya malu telah menduakan –bahkan lebih—hati wanita sesuka hatinya. Lelaki ini sungguh misterius. Ia menyakiti orang-orang yang menyakiti hatinya. Ia orang yang kejam. Namun itu tidak terlihat sama sekali di wajahnya yang tampan. Ia tidak menjawabku, kakinya membawa tubuhnya untuk menyusuri kamar ini. “Aku ingin merapikan kamar ini Justin,” ujarku masih memegang sisi pintu kamar, pintu ini masih terbuka lebar untuknya.
            Oke. Baiklah. Aku tidak dapat berbohong kali ini. Tapi sungguh, ya Tuhan, aku menginginkannya. Benar-benar menginginkannya. Begitu buruk.
            “Kurasa lebih menarik jika aku tidur denganmu,”
            “Oh, tidak. Itu salah, Mr.Bieber,” kali ini aku memakai cara bicara yang sopan.
            “Tutup pintunya,” suruhnya.
            “Tidak, aku ingin merapi—“
            “Tutup pintunya atau kau akan mendapatkan spank dariku,” ujarnya. Apa maksudnya? Kuberikan wajahku yang bingung padanya. Apa pun yang ia bicarakan, itu memang membuatku takut. Sontak aku langsung menutup pintu, menelan ludah dengan begitu susah untuk membuat seluruh tubuhku menjadi rileks. Namun itu tidak merubah segalanya. Justin berbalik saat ia menatap pada jendela, padaku. Ia tersenyum dengan penuh kelicikan yang tersirat di wajahnya, kali ini ia terlihat menakutkan. Mencoba untuk tidak peduli dengannya, aku melangkahkan kakiku menuju koper-koper yang telah dibawakan oleh Jordy. Lebih baik mencari kesibukan yang lebih berguna dibanding aku harus merasa terintimidasi oleh kedatangannya. Kugigit pipi bagian dalamku. Oh Tuhan, aku sungguh menginginkannya. Hatiku berteriak, ia memintaku untuk memeluk Justin, mencium bibirnya dan bercinta dengannya. Namun otakku mengatakan tidak. Semua itu akan merusak seluruh tubuhku jika kau berhubungan intim dengan seorang Justin Bieber. Hatiku kembali memberitahu padaku, lebih baik mencoba daripada kau tidak akan memiliki lain waktu.  Otakku membalas, di sini aku bukan untuk mencoba tubuh Justin. Aku harus menjaga anak Justin. Tidak mau kalah, hatiku kembali berujar, aku akan mendapatkan dua orang yang akan kusayangi kelak dan aku akan memilikinya. Aku sudah tahu itu dari awal.
            Dan ..apa yang sedang kulakukan? Aku tampak bodoh saat aku membuka retsleting koperku, menggelengkan kepalaku layaknya orang bodoh. Aku harus menahan godaan iman ini. Oh, ya, aku bisa melakukannya –dengan lelaki lain—tapi Justin? Aku tidak begitu yakin. Ia tampak begitu menggiurkan. Sekalipun aku baru bertemu dengannya kemarin.
            “Hey,” bisik Justin dari belakangku, tangannya yang besar itu menyentuh pinggangku. Menarik tubuhku yang membungkuk hingga berdiri tegak. Lalu tangannya melingkar di sekitar pinggangku dengan nafasnya yang menghembus di atas bahuku yang telanjang. “Aku ingin sekali masuk ke dalam tubuhmu sayang,” bisik Justin mencium bahuku. Ada gelenyar aneh saat ia mencium bahuku. Panas namun aku menikmatinya.
            “Mr.Bieber,” aku memanggilnya.
            “Ssh, apa tubuhmu ini pernah dipakai oleh orang lain sebelumnya?” tanyanya tepat di telingaku. Menelan ludah, aku memejamkan mata. Tidak menjawab pertanyaannya karena aku begitu gugup.
            “Itu adalah privasi, Mr.Bieber,”
            “Panggil aku Justin karena aku menyukaimu,” lidahnya menjilat telingaku, aku mendesah pelan. Kedua alisku bertautan. Ini sungguh intens dan aku tidak dapat menahannya. Ada rasa aneh yang menyerang tubuh bagian bawahku, merasakan sesuatu yang lembab sekarang. Apa itu yang dinamakan rangsangan? Aku telah terangsang? Entahlah. “Dan privasimu adalah privasiku, kau tidak akan pernah keluar dari rumahku,” bisiknya, sedetik kemudian ia menggigit telingaku.
            “Oh, Justin,” aku mendesah, mendongakan kepalaku ke belakang. Sungguh, aku sangat menyesal telah memakai pakaian ini. Meski aku memakai celana pendek, tapi kaos putih yang kupakai sekarang benar-benar mencetak tubuhku –aku berganti pakaian saat di apartemen—aku juga telah melepaskan jaket yang kupakai tadi.
            “Kenapa sayang?” bisiknya meremas pinggangku, kakiku melemas. “Katakan padaku. Siapa saja lelaki beruntung yang pernah memakai tubuhmu? Aku akan melakukan rangsangan ini terus menerus sayang,” tuntutnya diselingi dengan bisikan di setiap kata yang ia keluarkan.
            “Oh, tidak Justin. Aku belum pernah berhubungan intim,” aku menyerah.
            “Berarti aku adalah lelaki beruntung itu. Gadis perawan yang masih polos, mari kuperbaiki dirimu agar kau tahu bagaimana kehidupanku yang sebenarnya,”
            “Apa maksudmu?” tanyaku bingung, mataku terbuka.
            “Kau telah masuk ke dalam kehidupanku, Alex, sayangku. Jika aku melepaskanmu keluar sana, aku tahu apa yang akan kauberitahukan kepada banyak orang tentang diriku. Dan itu tidak akan pernah terjadi. Aku akan selalu membuaimu selama kau menuruti perintahku. Aku dictator sayang, aku tidak peduli apa kau merasa hina atau najis. Yang kupentingkan adalah diriku,” ia menceritakan dirinya, memudarkan suasana yang panas. “Mari kita coba dirimu terlebih dahulu, sekaligus membuktikan apa buah dadamu memang kempis atau tidak,” ujarnya menarik pinggangku menuju tempat tidur dan menjatuhkanku di atasnya.
            “Privasiku denganmu tidak boleh ada yang tahu. Termasuk istri-istriku,”
            “Aku tidak ingin menjadi wanita yang merusak hubunganmu dengan keluargamu,”
            “Oh, Alex. Percaya padaku, kau akan terbiasa. Ini hanya tentang kau dan aku,” ujarnya berjalan menuju pintu kamar dan menguncinya. Ia membuka kancing kemeja yang ia pakai satu per satu, seperti menggodaku.
            “Apa yang kaulakukan?”
            “Bermain-main dengan mainan baruku,”
            “Aku bukan mainanmu,” ia telah membuka kemejanya. SEMPURNA! Ya Tuhan.
            “Kalau begitu, melakukan sesuatu yang panas dengan gadis perawan sepertimu,” ujarnya merangkak di atasku, kedua tangannya berada di kedua belah sisi kepalaku. Lalu bibirnya bertemu dengan bibirku. Untuk yang pertama kalinya. Ia memagut bibirku dengan lembut, dapat kurasakan bibirnya yang begitu lembut berusaha untuk membuka mulutku. Ia memainkan bibir atasku, lalu ia menggigitnya dengan nakal. Mulutku terbuka dan ia benar-benar memagutkan mulutnya dengan mulutku. Aku mengerang di dalam mulutnya saat tangannya mulai meraba dadaku. Meremasnya dengan lembut dan aku mendesah, melepaskan ciuman ini.
            “Ternyata aku salah, biar kubuka,” ujar Justin menarik ujung kaos putihku ke atas dan aku mengangkat tubuhku. Hell yes! Aku tidak peduli. Aku memang menginginkan Justin begitu buruk. Sangat. “Ini sangat indah,” bisik Justin tersenyu manis padaku lalu kembali menarik wajahku, mengecup bibirku, mengadu lidah dengan penuh gairah yang tak dapat ditahan oleh siapa pun. Aku menarik kepalanya agar semakin memperdalam ciuman ini.
            “Oh, perawanku yang nakal, aku tidak sabar untuk mencicipi milikmu yang sangat kuyakini masih sempit dan tentunya, nikmat,” godanya memisahkan bibirnya dengan bibirku lalu ia mundur dan turun ke bawah, di tengah-tengah kakiku ia berada. Dengan cekatan tangannya melepaskan celana jinsku sekaligus celana dalam dari kakiku yang cukup panjang. Kulihat ia menelan ludahnya dengan susahnya, melihat pada milikku yang tidak memiliki bulu sama sekali, aku melakukan pencukuran. Seakan-akan ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, tangannya mengelus paha bagian dalamku, menggodaku dengan lembutnya. Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya. Kedua tangannya telah berada di kedua pahaku lalu  ia menariknya ke bawah hingga bokongku telah berada di pinggiran tempat tidur.
            Ia menenggelamkan wajahnya di bawah sana, membuatku menjerit. Apa-apaan! Ini menggelikan.
            “Aroma yang –oh kau sungguh basah di bawah sini,”
            “Tidak, jangan lakukan itu,”
            “Oh yeah, sayang. Aku akan melakukannya, tampak lezat dari aroma yang kucium sayang,”
            “Ini sangat berlebihan Justin,”
            “Tidak sayang, tidak,” ujarnya menenggelamkan hidungnya di belahanku. Aku mendesah, kepalaku mendongak ke belakang. “Mmm,” gumamnya membuat seluruh tubuhku bergetar tak menentu. Kakiku berada di belakang punggungnya, bertumpu pada bahunya. Ia membuka mulutnya, memasukan lidahnya ke dalam diriku. Aku menjerit, keenakan dan menginginkannya begitu buruk. Kepalaku menekan kembali pada kasur dan mengigit gigiku untuk menahan jeritannku.
            “Mmm,” gumamnya memberikan suara cepakan bibirnya dengan bibir bagian bawahku. Lidahnya naik turun di sepanjang garis milikku, menggoda diriku. “Mulus seperti bokong bayi,” gumamnya mencium bagian atas milikku, mengisap sesuatu yang kecil di bawah sana dengan lembut. Namun aku menegang. Punggungku melengking ke atas dan tumitku yang berada di belakang punggungnya mendorong kepalanya semakin tenggelam dalam dirikul.
            “Ya Tuhan, aku tak menyangka kau akan ..ah, ini sungguh lezat,” ujarnya menjilat-jilat bagian bawahku, bergetar-getar. Lalu dengan cekatan, kedua jarinya melebarkan bagian milikku hingga ia dapat melihatnya dengan jelas. Kemudian mulutnya kembali memainkan milikku dengan keahlian oralnya yang benar-benar membuatku lupa diri. Tanganku meremas rambutnya, menekankan wajahnya agar semakin masuk ke dalam milikku. Ini sungguh nikmat dan ..oh, apa ini. Rasanya aku ingin melepaskan sesuatu yang ..astaga, apa ini.
            “Ya, sayang. Keluarlah untukku. Oh, yah, seperti itu. Mmm,”
            “Justin! Justin! Justin! Oh, Mr.Bieber!” aku mengerang tak tahan saat diriku meledak di bawah sana. Begitu banyak cairan yang dapat kurasakan keluar dari bawah sana, tubuhku bergemetar setelah punggungku melengking ke atas. Bibir Justin masih berada di bawah sana, menyedot apa yang dapat ia sedot di bawah sana. Tubuhku melemah, tak kuat dengan apa yang baru saja ia lakukan padaku. Mataku terpejam, nafasku tak beraturan. Ini baru awal. Bagaimana jika ia benar-benar masuk ke dalam tubuhku? Aku tidak dapat membayangkannya. Tak sadar, ternyata Justin telah lepas dari jeratan kakiku. Ia merangkak ke atas, tertidur di sebelahku. Kulitku dan kulitnya yang telanjang bersentuhan. Tubuhnya dan tubuhku telah berkeringat. Mataku terbuka, melihat wajahnya yang mengkilap akibat cairanku. Itu sungguh ..luar biasa. Aku tersenyum kecil padanya.
            “Kau menyukainya?”
            “Itu luar biasa,”
            “Sekarang aku benar-benar memilikimu,” ujarnya menarik wajahku dan mengecup bibirku dengan singkat. Tapi memang benar, ia telah memilikiku. “Sekarang mari kita masuki dirimu dengan milikku yang telah mengeras di sini. Kau bisa merasakannya? Ah! Sial, tanganmu benar-benar ..sial!” ia menggeram saat ia menarik tanganku dan membawanya pada boxernya. Aku tidak tahu kalau ia telah membuka celananya. Tapi aku tidak peduli. Miliknya benar-benar besar, dapat kurasakan di tanganku yang sekarang berada di atasnya. Ia menuntun tanganku dengan sabar, mengelus-eluskannya di sana. Ia memejamkan matanya dan mendengus.
            “Kau wanita pertama yang hampir membuatku keluar sebelum melakukan hubungan intim. Luar biasa. Untunglah kau telah menjadi milikku,” ujarnya melepaskan tanganku dari boxernya. Lalu ia bangkit dan menurunkan boxernya. Kemudian aku tidak melihat lagi. Kupejamkan mataku dan berusaha untuk menarik nafas dengan tenang. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang keras di bawah sana menekan-nekan bagian bawahku dengan lembut.
            “Aku mungkin akan menyakitimu, sayang. Kau harus menahannya,” bisiknya menarik punggungku agar aku setengah terduduk. Kedua tanganku telah bertempat pada bahunya, memegangnya untuk menahan rasa sakit yang ..aku tidak –Ah! Astaga, aku menggigit bibirku saat sebuah cubitan terasa di bawah sana. Ia mendorong tubuhnya di bawahku. “Sial, sial, sial! Kau sangat ..Alex,” geramnya berusaha untuk memasukannya. “Kau begitu sempit,” gumamnya memejamkan matanya dan kepalanya mendongak ke belakang.
            “Oh Justin, bagaimana jika aku hamil?” aku bertanya sambil berusaha untuk tidak menjerit, sebisa mugnkin aku melakukan itu.
            “Ah sial. Ini baru yang pertama kalinya sayang, kemungkinan kecil kau tidak hamil. Jika kau hamil, aku ingin memiliki anak darimu,” ujarnya yang membuatku terbang ke langit paling tinggi. “Aw, Justin! Perih,” jeritku memejamkan mata dan kukuku telah membenam di dalam pundaknya.
            “Ah! Akhirnya!” erangnya memasukan seluruhnya. Dia mendiamkanya selama beberapa menit, membiarkanku untuk terbiasa dengan sesuatu yang asing berada di dalam tubuhku. “Ini gila,” bisiknya di telingaku.
            “Cium aku,” bisiknya menyuruhku. Seperti mencari air minum, aku mencari-cari bibirnya dengan mata yang terpejam. Memagut bibirnya dengan lembut lalu menggigitnya saat ia menggerakan tubuhnya. Oh rasanya ..sakit dan nikmat. Namun ia terus memagut mulutku, memainkan lidahnya dalam mulutku. Mengerang di dalam mulutnya membuat suasana semakin intens. Perlahan-lahan ia bergerak kembali, kali ini rasa sakitnya pelan-pelan memudar, berganti dengan rasa yang nikmat dan tak dapat kugambarkan dengan kata-kata.
            “Oh Justin! Apa yang kaulakukan?”
            “Bersetubuh denganmu sayang, ini sangat luar biasa,” ujarnya terus menggerak-gerakan tubuhnya maju-mundur. Aku memeluk lehernya dan menempatkan kepalaku pada bahunya yang telah dan berotot. Kugigit bibirku untuk menahan rasa nikmat ini. Tak ingin membangunkan Aaron yang berada di sebelah kamarku. Semakin lama gerakan Justin semakin cepat, aku mendesah, mengerang, mendesah, mengerang terus menerus sampai pada akhirnya rasa itu kembali muncul.
            “Ini sangat intens Justin, aku tidak dapat menahannya,”        
            “Oh, blue bird, jangan tahan sayang. Keluarlah untukku. Untukku. Yah! Oh yah! Seperti itu, milikmu sangat ketat! Sial! Aku keluar!” teriaknya yang semakin brutal menggerakan tubuhnya di atas tubuhku. Dapat kurasakan semburan spermanya yang masuk ke dalam tubuhku. Kepalaku terdongak ke belakang, merasa kelelahan. Seluruh tubuhku rasanya tak dapat kugerakan lagi. Dengan lembutnya Justin membaringkan tubuhku ke atas tempat tidur kembali.
            “Aku tidak pernah selembut ini sebelumnya,” bisik Justin. Aku tidak menjawabnya, benar-benar kelelahan. “Kau spesial.” Lanjutnya. Namun aku sudah tak kuat lagi. Aku masuk ke dalam alam bawah sadarku sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar