***
*Author POV*
Tubuh
Alex bergemetar saat Justin membawanya masuk ke dalam rumahnya setelah ia
memberontak pada Justin untuk keluar dari halaman rumahnya. Namun perbuatannya
akan sia-sia, ia tahu itu. Tidak akan ada yang membantunya di dalam sana. Dia
bahkan tidak tahu di jalan apa sekarang ia berada. Setelah ia menapakan kakinya
ke dalam rumah Justin, seluruhnya tampak begitu terang. Ruang tamu yang begitu
luas. Sebuah tangga melingkar di tengah-tengah. Grand piano terpajang di
sebelah ruang tamu. Banyak sekali barang-barang antik yang berada di dalam
rumah Justin. Pelayan-pelayan yang baru saja menyambut mereka berdua telah
berpencar, mengerjakan tugas mereka kembali.
“Di
mana ayah?” tanya seorang anak kecil yang terdengar di telinga Alex. Jantung
Alex berdetak begitu kencang. Banyak sekali pertanyaan yang jatuh pada otaknya.
Justin Bieber memiliki anak? Oh, sial. Sekarang Alex merasa seperti lelaki
perebut lelaki orang. Oh! Dia baru saja ingat saat Justin berkata ia tidak
memiliki kekasih. Seharusnya ia berpikir kalau Justin memiliki istri. Lalu
suara larian terdengar dari lantai atas, melewati tangga, dan muncul di dasar
tangga. Seorang anak lelaki dengan mata yang berwarna sama dengan ayahnya
muncul. Pipinya begitu menggemaskan. Bulu matanya begitu lentik. Justin yang
memegang tangan Alex langsung melepaskan tangannya, ia berjalan pada anaknya
yang berlari ke arahnya. Lalu dipeluknyalah anak lelaki itu dengan erat.
“Kau
memiliki anak?” tanya Alex. Sedetik setelah ia bertanya pertanyaan itu pada
Justin, tangan Alex menutup mulutnya dengan cepat. Seorang wanita berambut
cokelat bergelombang muncul dari tangga yang melingkar itu dan menatap Alex
dengan senyum. Oh, sial. Pikiran Alex sekarang benar-benar berkecamuk.
Seharusnya sekarang ia bekerja. Bukan berada di dalam rumah seorang Justin
Bieber yang ternyata telah memiliki istri, bahkan anak.
“Siapa
dia, ayah?” tanya anak kecil itu dengan polosnya. Setelah anak kecil itu
bertanya, wanita yang berada di belakang Justin berjalan menuju Alex dengan
senyum. “Ini teman ayah sayang,” ujar wanita itu dengan lembut dan ramah. Ia
merangkul Alex dengan begitu bersahabat, namun Alex merasa begitu gugup.
Sekarang Alex ingin membunuh dirinya sendiri. Bingung dengan apa yang sekarang
ia lihat. Mengapa keluarga ini tampak begitu aneh? Darah yang mengalir dalam
tubuh Alex berdesir begitu cepat. Apa ini hanya mimpi? Karena tidak mungkin ada
seorang istri yang begitu santai merespon seorang wanita yang masuk ke dalam
rumahnya setelah suaminya memegang tangan wanita diajaknya.
“Siapa
yang datang?” tanya seorang wanita lain tiba-tiba saja muncul dari atas. Seorang
wanita berambut panjang berwarna pirang muncul dengan keseksian yang ia miliki.
“Teman
ayah!” seru anak kecil itu dengan imutnya. Ketegangan berlangsung di setiap
diri mereka, kecuali Justin. “Ayah harus bekerja dulu nak. Tidurlah. Sudah
malam,” bisik Justin menurunkan anaknya dari gendongannya.
“Ayah
tidak ingin memberikan ciuman pipi padaku?” tanya anak lelaki itu mendongak
pada Justin. Hati Justin merasa begitu tenang jika anak kecil ini selalu berada
di sebelahnya. Seakan-akan tidak boleh ada satupun orang yang menyakiti
anaknya. Karena itu memang. Memang tidak boleh ada yang menyakiti anak Justin.
Secara fisik atau pun batin. Sontak Justin membungkuk dan mencium pipi anak itu
dengan lembut. “Sekarang, tidurlah. Ada dua ibu yang menjagamu,” bisik Justin
mengacak-acak rambut tipis anak itu.
Wanita
yang berada di sebelah Alex langsung beranjak pergi dari Alex dan menggendong
anak kecil itu dengan cepat. Sama dengan wanita berambut pirang itu yang baru
saja muncul tadi. Mereka bertiga beranjak pergi ke atas kembali dengan begitu
tenang. Alex yang berdiri di dekat sebuah lemari koleksi anggur Justin tampak
seperti patung. Ia benar-benar tidak dapat mempercayai apa yang baru saja ia
lihat. Dua ibu? Dua ibu? Dua ibu? Pertanyaan itu terlontar di dalam otak Alex.
Merasa kalau ia benar-benar seperti pelacur murahan yang tak tahu diri. Ia
menelan ludahnya saat Justin melangkahkan kakinya menuju padanya.
“Merasa
aneh?”
“Tentu
saja. Apa kau tidak melihat apa yang baru saja kulihat?”
“Penglihatanku
terhadap sesuatu lebih terbuka dibanding pemikiranmu yang sempit, kau tahu
itu,”
“Tapi,
ya Tuhan. Mengapa kau membawaku ke dalam rumahmu yang begitu menyeramkan?
Apalagi dengan kejadian yang baru saja kulihat tadi. Kau telah memiliki anak
dengan dua istri!”
“Sebenarnya,
19 istri, kau harus tahu itu. Selir maksudku,” ujarnya tak menyaring
kata-katanya. Alex bersandar pada lemari anggur Justin, mencoba untuk berpikir
jernih. Mencoba untuk berpikir bahwa kejadian tadi adalah kejadian yang layak
untuk ia lihat. Namun ia tidak bisa. Justin tampak seperti bajingan yang tiap
hari membawa pelacur tanpa memikirkan perasaan selir-selirnya. 19 selir!
Bayangkan. Belum lagi harus ditambah
dengan pelacur-pelacur yang sering Justin tiduri. Bagaimana dengan mereka? Apa
Justin tidak merasa kelelahan untuk memenuhi kebutuhan? Ternyata Justin adalah
lelaki yang berpoligami. Mungkin hanya dua atau tiga istri yang Justin sayangi.
Lalu, ia kemanakan 17 wanitanya yang lain? Apa mereka masih hidup? Apa
wanita-wanita tadi adalah istri Justin yang paling muda? Alex benar-benar tidak
habis pikir kalau ia akan memiliki bos yang sering memainka hati wanita.
Pantas. Pantas saja Justin membuat sebuah bar atau club. Itu benar-benar
menggambarkan dirinya. Alex terdiam, tidak tahu harus merespon apa.
“Terkejut?
Tak menyangka?”
“Jelas,”
“Kau
tahu apa Ms.Bledel? Kau mempunya mulut yang benar-benar jujur. Tapi lancang.
Rasanya aku ingin membungkammu. Dengan ..sesuatu. Menurutmu apa yang bagus
untuk menutup mulutmu yang cukup lancang itu?” tanya Justin, memiringkan
kepalanya ke samping.
“Aku
tidak tahu,”
“Bibirku,
mungkin? Tertarik?” Justin menggodanya. Alex tidak menjawabnya saat Justin
memajukan tubuhnya pada dirinya. Lemari anggur milik Justin telah membatasi
langkahannya untuk mundur ke belakang. Sebenarnya, apa maksud Justin
mengajaknya datang ke rumahnya?
*Alexis Bledel POV*
Tidak,
tidak, tidak. Ini sungguh salah. Aku tidak seharusnya berada di dalam rumah
ini. Seorang Justin Bieber telah memiliki 19 istri? Apa-apaan! Jika ia mengajakku
ke sini hanya untuk memintaku sebagai istrinya yang kedua puluh. Aku tidak
sudi. Mengapa wanita-wanita yang sekarang telah menjadi istri Justin ingin
diduakan, bahkan entahlah diberapakan oleh Justin yang berengsek? Dan sekarang
Justin menggodaku. Apa-apaan! Dengan pakaiannya yang memakai jaket kulit
berwarna hitam, ia maju. Tampak begitu seksi, menggoda imanku. Tapi aku tidak
mau! Aku tidak mau mencium bibirnya yang telah diciumi oleh banyak wanita.
Apalagi sekarang ia telah dimiliki oleh Sembilan belas orang. Sembilang belas.
Setelah ia berdiri di depanku, ia meraih wajahku, mencoba untuk mencium
bibirku. Namun aku mendorong tubuhnya dengan cepat. Kugelengkan kepalaku.
“Tidak,
aku bukan pelacurmu. Aku bukan selir-selirmu. Di sini aku hanya menghormatimu
sebagai bosku. Kau tahu itu. Tidak ada seks di antara kita, kumohon,” bisikku
mendorong tubuhnya. Tanganku berada pada dadanya, tertahan di sana. Bibir
Justin yang telah siap untukku tidak jadi menciumku. Namun tangannya masih
berada di leherku, meremas rambutku dengan lembut. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku
menahan lelaki ini untuk tidak melakukan apa yang ia ingin lakukan terhadapku?
Ia tampak begitu menggiurkan dari jarak dekat. Hidungku dan hidungnya hampir
tersentuh, nafasku tercekat. Hampir tak bernafas. Lalu tangannya yang lain
berada di sebelah sisi kepalaku yang lain, tertahan pada lemari anggur yang
berada di belakangku. Jantung ini selalu berdetak kencang. Rasanya aku ingin
menggigit pipi bagian dalamku. Sungguh gemas aku juga ingin mencium bibirnya.
Tapi aku harus professional. Aku tidak ingin terlihat begitu murahan di
depannya. Ini sama saja aku merusak harga diriku dan merusak hubungan orang
lain. Ia telah memiliki 19 selir. 19 istri. Kupejamkan mataku di setiap detik
keheningan yang ada.
“Kau
tidak mau? Mengapa?” bisik Justin, kali ini melembut.
“Aku
tidak ingin menjadi pelacurmu atau salah satu selirmu. Mr.Bieber,” kali ini aku
memanggilnya dengan sopan, “aku hanya ingin bekerja menjadi pelayanmu,”
“Jadilah
pelayan diri rumahku. Kau akan mendapatkan gaji yang lebih besar,” bisiknya
yang membuatku membuka matanya. Aku? Pelayan di rumah ini? Tidak. Aku tidak
ingin menjadi pelayan Justin di rumahnya. Maksudku, setelah tadi aku bertemu
dengan pelayannya yang lain, mereka melihatku dengan tatapan sinis dan aku
yakin mereka telah mencap diriku sebagai pelacur.
“Tidak,”
“Jadilah
penjaga anakku. Anak tunggalku. Dia pasti akan menyukaimu,”
“Bagaimana
kau tahu?”
“Kau
tampak lembut. Sabar. Dan lugu seperti anak kecil,” mataku bertemu dengan
matanya, setelah dari tadi aku mencoba untuk tidak menatap matanya. Sial. Mata
harimau yang garang, panas dan indah itu membuatku ketakutan sekaligus
kesenangan karena keindahannya. Kutelan ludahku, memejamkan mata. Apa aku bisa
menjaga anak kecil itu? Dia tampak lucu. Pipinya sungguh tembam dan
kegirangannyam membuatku bersemangat, meski wajahku yang datar tidak
memperlihatkan semangatku saat kemunculan anak kecil itu.
“Namanya
Aaron. Dia anak angkat. Matanya sama dengan mataku, aku menyukainya. Tidak ada
satupun selirku yang hamil. Tidak ada. Satu hal yang tidak pernah orang tahu
tentang pernikahanku, aku tidak mencintai mereka. Mereka hanya penyalur nafsuku
dan karena mereka juga seksi. Kau tahu, aku bisa menceraikan mereka semua dalam
waktu satu hari. Lalu kau akan bebas di dalam rumah ini. Bermain bersama dengan
Aaron,”
“Mengapa
kau mempermainkan wanita?”
“Karena
mereka mempermainkanku,” bisiknya. Lalu bibirku bertemu dengan bibirnya, aku
mendorongnya langsung.
“Tidak!
Aku tidak dapat bekerja di rumahmu jika kau tidak memiliki kesopanan. Aku
mencoba untuk menjadi orang yang menghormatimu, Mr.Bieber. Tapi kau tidak
menghormatiku,” protesku, kurasa menjaga Aaron adalah pekerjaan yang
menyenangkan, “Aku menyukai Aaron,”
“Kau
menyukainya? Berarti kau menyukai ayahnya,”
“Oh,
Mr.Bieber, percaya padaku. Aku memang menyukai ayahnya karena ayahnya sopan di
luar sana. Tapi di dalam rumah, ternyata ia tidak sesopan yang kukira,”
“Fiuh.
Bibir lancang yang seksi. Kau benar-benar menguji kesabaranku di sini. Terima
pekerjaan itu atau kau kupecat dari bar dan restoranku lalu hidupmu tidak akan
tenang setelah itu? Aku bisa menjamin hidupmu tidak akan tenang,”
“Bagaimana
bisa?”
“Aku
lelaki terkaya kedua puluh lima di Amerika, sayang. Aku bisa menyewa detektif
untuk mencaritahu tentangmu, merusak kehidupanmu dengan cara apa pun yang kumau
asal kau tidak tenang,”
“Satu
pertanyaan Mr.Bieber,” aku menekan tanganku yang berada di dadanya, “Mengapa
aku? Kau bilang padaku kalau aku memiliki bokong yang rata dan dada yang
kempis. Jelas kau tidak menyukaiku. Berarti –“
“Oh,
Ms.Bledel. Kau sungguh menggemaskan,” ia terkekeh, “aku membawamu ke rumahku
hari ini karena pertama kali aku bertemu denganmu, aku telah berpikir bahwa kau
adalah wanita yang cocok untuk dijadikan ibu bagi Aaron. Kau tampak risih
dengan pakaianmu yang seksi, aku tahu,”
“Apa
hubungannya?”
“Kau.
Ibu. Yang. Baik,”
“Aku
terima,” bisikku dengan suara yang kecil. Oke, ini adalah langkah yang begitu
besar bagiku, tapi ..oh Tuhan, anak kecil itu sungguh menggemaskan. Pipinya
yang begitu tembam dan bibirnya yang mungil saat berucap sungguh membuatku
ingin mencium pipinya. Bagaimana mungkin aku bisa menolak tawaran ini? Aku
hanya perlu menjaga anak kecil itu lalu aku mendapatkan gaji yang besar.
“Kau
harus tinggal di rumah ini,” ujarnya yang membuatku terkesiap, mataku melotot
saat Justin menjauhkan tubuhnya dari tubuhku. Kugelengkan kepalaku. Tidak. Aku
tidak ingin tinggal di dalam rumah ini.
“Tidak,
kau tidak mengatakan itu,”
“Oh,
yeah. Memang tidak. Tapi kau telah menerima pekerjaanmu yang baru, kita tahu
itu bukan?” ia memiringkan kepalanya ke salah satu sisi. “Kau harus menjaga
Aaron di malam hari juga, kau tahu. Dia rewel, sama sepertiku jika kau tidak
mengabulkan permintaanku,” alasannya. Kutelah ludahku, menganggukan kepala.
Benar juga. Aaron mungkin masih berumur 3 tahun, yah, sekitarannya. Oh, ini
akan menjadi luar biasa!
***
“Apa?
Tidak bisa! Kau gila! Kau gila!” teriak Brad menjambak rambutnya yang berwarna
emas itu dengan frustrasi. Dia tidak setuju aku akan tinggal di rumah Justin
Bieber. Tapi aku telah merapikan pakaian-pakaianku dan malam ini juga aku akan
tinggal di rumah Justin. Brad baru pulang saat aku telah membereskan pakaianku.
Sebenarnya, aku juga tidak tega meninggalkan Brad. Tapi sama saja, jika aku
beritahu kalian. Aku dan Brad bahkan seperti tidak pernah bertemu dalam satu
rumah. Hanya di malam hari dan di pagi hari. Mungkin jika aku bekerja di rumah
Justin akan menjadi sangat menyenangkan bermain dengan anak kecil sepanjang
waktu.
“Brad,
tenang. Aku bisa mengunjungimu. Aku berjanji akan datang ke pesta dansa itu.
Pegang kata-kataku, mengerti?” tanyaku memegang kedua bahunya, menatap matanya
dengan senyum termanis yang kuberikan padanya. “Ayo, twinky-promise,” ujarku
memberikan jari kelingkingku padanya.
“Kau
berjanji?”
“Ya,
tentu saja kau gay!”
“Aku
bukan gay!” teriaknya tidak terima, memang dia bukan gay. “Oh, ini akan menjadi
sangat berat. Tapi aku tidak berhak atas pilihan kehidupanmu, chieke. Semoga
pekerjaanmu lebih menyenangkan,” ujarnya mengaitkan jari kelingkingnya pada
jari kelingkingku lalu ia memelukku. “Kau akan menjadi sebab dari kerinduanku,”
bisikku mengusa-usap punggungku dengan lembut.
“Apa
semua baik-baik saja?” suara berat dari Justin terdengar di telingaku. Sial!
Dia tidak mengetuk pintu sebelum masuk. Dan yah, aku tahu ia telah menungguku
di dalam mobilnya. Mungkin cukup lama. Aku dan Brad melepaskan pelukan kami
lalu aku membalikan tubuhku. Masih sama. Jika ia berada di luar, ia tampak
begitu berwibawa. Sial. Dia pintar sekali menjaga karismanya.
“Ya,
tentu saja,” ujarku sambil menyelipkan rambutku ke belakang telingaku. “Selamat
tinggal. Aku mencintaimu. Kau tahu itu,” bisikku sambil mencium pipi Brad lalu
tersenyum. Pengawal Justin yang bernama Jordy telah membawa koper-koperku ke
dalam mobil Justin beberapa menit yang lalu. Sungguh baik. Padahal di sini aku
juga adalah seorang pekerja. Penjaga anak dari Justin.
“Dah!”
aku melambaikan tanganku pada Brad yang dapat kupastikan ia benar-benar
bersedih. Justin meraih tanganku, menarikku keluar dari apartemenku dan Brad.
Oh, aku tidak akan pernah melupakan janjiku. Kuharap aku tidak melupakan
janjiku. Pintu tertutup saat aku dan Justin sudah benar-benar keluar.
“Siapa
dia?” tanya Justin ingin tahu.
“Dia
sahabatku,” bisikku masuk ke dalam mobil Justin.
“Kau
mencintainya?”
“Dia
sahabatku. Aku menganggapnya sebagai kakakku. Mengapa kau bertanya seperti
itu?” Justin terdiam, ia mengangkat kedua bahunya. Acuh. Sial. Tapi aku tidak
begitu peduli juga dengan apa yang ia pertanyakan. Aku ke rumahnya bertujuan
untuk menjadi penjaga anaknya. Bukan pelacur atau selirnya. Yah, intinya
sejenis itu. Kalau pun begitu, itu berarti aku memang wanita normal yang tidak
dapat menahan godaan dari seorang lelaki tampan seperti Justin. Harus kuakui,
aku benar-benar menyukainya. Bahkan aku menginginkannya. Namun semua itu sirna
saat dua orang wanita yang Justin akui sebagai istrinya. Kecantikanku kalah
telak dengan dua wanita itu.
“Kau
tahu. Kau adalah pekerja spesial bagiku,”
“Oh?”
“Yeah.
Ini adalah usahaku untuk masuk ke dalam tubuhmu,” bisiknya terkekeh. Aku
terdiam. Untunglah ia memberitahuku. Berarti aku dapat berhati-hati dengan
Justin.
“Di
mana istrimu yang lain? Kupikir ada 19 orang,”
“Mereka
berpencar. Hanya tiga istri yang kuakui, yang kusayangi tinggal di rumahku.
Yang lain kubiarkan mereka di Inggris, Kanada, Texas, ah, banyak sekali
negaranya. Susah untuk menyebutkannya,”
“Kelihatan
sekali kau ahli dalam hubungan percintaan,”
“Tidak
juga. Orang yang mengkhianatiku dalam percintaan, menyakitiku, aku membalas
dendam. Aku sering menyakiti orang, kau tahu. Aku tidak ahli dalam percintaan.
Tapi percintaan di atas ranjang, ya, akulah orangnya,” tangannya memegang
tanganku. “Fiuh. Kau benar-benar menggoda,”
“Dadaku
kempis,”
“Well,
kurasa. Harus kulihat terlebih dahulu untuk melihat yang sebenarnya. Bisa saja
tebakanku salah,” ujarnya meremas tanganku, namun dengan segera aku menarik tanganku
dari tangannya.
“Well,
memang. Kau salah besar,”
“Kau
akan menghukumku, Ms.Bledel?” tanya Justin kembali menarik tanganku dan
menciumnya pada bibirnya. Sungguh, bibirnya sangat menggugah diriku untuk
menciumnya. “Kau bosku,” bisikku.
“Ah,
ya. Kau benar. Aku belum menghukummu. Untunglah kita pulang.” Ia menyiratkan
sesuatu yang terdengar begitu negatif dan misterius. Kumohon jangan ada
hubungannya dengan seks. Bisikku.
****
Sungguh
sulit rasanya aku menerima kenyataan bahwa dia tampak begitu tampan dan aku
menginginkannya. Sebenarnya semua ini memang salah. Aku telah masuk ke dalam
perangkapnya. Dia seorang dictator yang melakukan apa pun dengan sewenang-wenangnya
tanpa memikirkan perasaan orang lain. Jika aku tidak menerima pekerjaan ini,
aku yakin ia memegang ancamannya. Dapat kupastikan ia akan merusak kehidupanku.
Tak dapat kupungkiri, aku memang menyukainya. Menginginkannya. Setelah aku
menginjakan kakiku ke dalam sebuah kamar yang sejuk dengan cat berwarna putih
dan kasur yang besar. Fasilitas ini benar-benar mewah, seakan-akan aku bukanlah
seorang penjaga anak. Jordy bolak-balik membawa koperku. Awalnya aku meminta
Justin agar aku yang melakukan ini. Membawa koper-koperku sendiri. Masalahnya
aku tidak terbiasa dengan hidup yang penuh dengan kemewahan dan pelayanan. Aku
lebih suka melayani seseorang, apalagi jika aku membantu mereka dengan
perasaanku. Justin masuk ke dalam sebuah kamar, yang kuyakini kamar itu adalah
kamar Aaron. Anak kecil yang berkaki mungil dan pipi yang tembam itu pasti
sudah tertidur.
Oh,
ini akan menjadi sangat luar biasa. Well, harus kuakui, menerima pekerjaan ini
sebenarnya tidak begitu buruk. Aku dapat menjaga anak kecil, bermain-main, dan
sekaligus aku dapat melihat seorang lelaki tampan. Seharusnya ini memang tidak
terjadi. Maksudku, aku menyukai Justin. Tapi hey, tidak ada yang dapat menahan
rasa ini, sekalipun itu istri Justin. Ini membuktikan bahwa aku adalah seorang
gadis berumur 22 tahun yang normal. Menyukai seorang lelaki. Menginginkannya.
Jordy
keluar dari kamarku setelah tiga koperku telah ia angkut dari bawah sana. Yeah,
aku tidur di kamar atas. Bersebelahan dengan kamar Aaron. Mataku melihat pada
sekeliling. Aromanya sungguh mengagumkan. Seakan-akan tempat ini tidak ada yang
pernah tempati. Harum, sejuk dan nyaman. Kupejamkan mataku menghirup aroma
kamar ini. Tanganku yang berada di pintu selama beberapa menit menunggu Jordy
tadi mulai kututup.
“Kau
pikir apa yang sedang kaulakukan?” suara Justin kembali muncul, menahan
dorongan tanganku terhadap pintu. “Aku ingin masuk,” ujarnya mendorong pintu
agar terbuka lebih lebar dan masuk ke dalam kamarku.
“Bukankah
seharusnya kau tidur bersama dengan istri-istrimu?” tanyaku sedikit mengejeknya
dengan ‘istri-istri’. Biar dia tahu bagaimana rasanya malu telah menduakan
–bahkan lebih—hati wanita sesuka hatinya. Lelaki ini sungguh misterius. Ia
menyakiti orang-orang yang menyakiti hatinya. Ia orang yang kejam. Namun itu
tidak terlihat sama sekali di wajahnya yang tampan. Ia tidak menjawabku,
kakinya membawa tubuhnya untuk menyusuri kamar ini. “Aku ingin merapikan kamar
ini Justin,” ujarku masih memegang sisi pintu kamar, pintu ini masih terbuka
lebar untuknya.
Oke.
Baiklah. Aku tidak dapat berbohong kali ini. Tapi sungguh, ya Tuhan, aku
menginginkannya. Benar-benar menginginkannya. Begitu buruk.
“Kurasa
lebih menarik jika aku tidur denganmu,”
“Oh,
tidak. Itu salah, Mr.Bieber,” kali ini aku memakai cara bicara yang sopan.
“Tutup
pintunya,” suruhnya.
“Tidak,
aku ingin merapi—“
“Tutup
pintunya atau kau akan mendapatkan spank
dariku,” ujarnya. Apa maksudnya? Kuberikan wajahku yang bingung padanya. Apa
pun yang ia bicarakan, itu memang membuatku takut. Sontak aku langsung menutup
pintu, menelan ludah dengan begitu susah untuk membuat seluruh tubuhku menjadi
rileks. Namun itu tidak merubah segalanya. Justin berbalik saat ia menatap pada
jendela, padaku. Ia tersenyum dengan penuh kelicikan yang tersirat di wajahnya,
kali ini ia terlihat menakutkan. Mencoba untuk tidak peduli dengannya, aku
melangkahkan kakiku menuju koper-koper yang telah dibawakan oleh Jordy. Lebih
baik mencari kesibukan yang lebih berguna dibanding aku harus merasa
terintimidasi oleh kedatangannya. Kugigit pipi bagian dalamku. Oh Tuhan, aku
sungguh menginginkannya. Hatiku berteriak, ia memintaku untuk memeluk Justin,
mencium bibirnya dan bercinta dengannya. Namun otakku mengatakan tidak. Semua
itu akan merusak seluruh tubuhku jika kau berhubungan intim dengan seorang
Justin Bieber. Hatiku kembali memberitahu padaku, lebih baik mencoba daripada
kau tidak akan memiliki lain waktu.
Otakku membalas, di sini aku bukan untuk mencoba tubuh Justin. Aku harus
menjaga anak Justin. Tidak mau kalah, hatiku kembali berujar, aku akan
mendapatkan dua orang yang akan kusayangi kelak dan aku akan memilikinya. Aku
sudah tahu itu dari awal.
Dan
..apa yang sedang kulakukan? Aku tampak bodoh saat aku membuka retsleting
koperku, menggelengkan kepalaku layaknya orang bodoh. Aku harus menahan godaan
iman ini. Oh, ya, aku bisa melakukannya –dengan lelaki lain—tapi Justin? Aku
tidak begitu yakin. Ia tampak begitu menggiurkan. Sekalipun aku baru bertemu
dengannya kemarin.
“Hey,”
bisik Justin dari belakangku, tangannya yang besar itu menyentuh pinggangku.
Menarik tubuhku yang membungkuk hingga berdiri tegak. Lalu tangannya melingkar
di sekitar pinggangku dengan nafasnya yang menghembus di atas bahuku yang
telanjang. “Aku ingin sekali masuk ke dalam tubuhmu sayang,” bisik Justin
mencium bahuku. Ada gelenyar aneh saat ia mencium bahuku. Panas namun aku
menikmatinya.
“Mr.Bieber,”
aku memanggilnya.
“Ssh,
apa tubuhmu ini pernah dipakai oleh orang lain sebelumnya?” tanyanya tepat di
telingaku. Menelan ludah, aku memejamkan mata. Tidak menjawab pertanyaannya
karena aku begitu gugup.
“Itu
adalah privasi, Mr.Bieber,”
“Panggil
aku Justin karena aku menyukaimu,” lidahnya menjilat telingaku, aku mendesah
pelan. Kedua alisku bertautan. Ini sungguh intens dan aku tidak dapat
menahannya. Ada rasa aneh yang menyerang tubuh bagian bawahku, merasakan
sesuatu yang lembab sekarang. Apa itu yang dinamakan rangsangan? Aku telah
terangsang? Entahlah. “Dan privasimu adalah privasiku, kau tidak akan pernah
keluar dari rumahku,” bisiknya, sedetik kemudian ia menggigit telingaku.
“Oh,
Justin,” aku mendesah, mendongakan kepalaku ke belakang. Sungguh, aku sangat menyesal
telah memakai pakaian ini. Meski aku memakai celana pendek, tapi kaos putih
yang kupakai sekarang benar-benar mencetak tubuhku –aku berganti pakaian saat
di apartemen—aku juga telah melepaskan jaket yang kupakai tadi.
“Kenapa
sayang?” bisiknya meremas pinggangku, kakiku melemas. “Katakan padaku. Siapa
saja lelaki beruntung yang pernah memakai tubuhmu? Aku akan melakukan
rangsangan ini terus menerus sayang,” tuntutnya diselingi dengan bisikan di
setiap kata yang ia keluarkan.
“Oh,
tidak Justin. Aku belum pernah berhubungan intim,” aku menyerah.
“Berarti
aku adalah lelaki beruntung itu. Gadis perawan yang masih polos, mari
kuperbaiki dirimu agar kau tahu bagaimana kehidupanku yang sebenarnya,”
“Apa
maksudmu?” tanyaku bingung, mataku terbuka.
“Kau
telah masuk ke dalam kehidupanku, Alex, sayangku. Jika aku melepaskanmu keluar
sana, aku tahu apa yang akan kauberitahukan kepada banyak orang tentang diriku.
Dan itu tidak akan pernah terjadi. Aku akan selalu membuaimu selama kau
menuruti perintahku. Aku dictator sayang, aku tidak peduli apa kau merasa hina
atau najis. Yang kupentingkan adalah diriku,” ia menceritakan dirinya,
memudarkan suasana yang panas. “Mari kita coba dirimu terlebih dahulu,
sekaligus membuktikan apa buah dadamu memang kempis atau tidak,” ujarnya
menarik pinggangku menuju tempat tidur dan menjatuhkanku di atasnya.
“Privasiku
denganmu tidak boleh ada yang tahu. Termasuk istri-istriku,”
“Aku
tidak ingin menjadi wanita yang merusak hubunganmu dengan keluargamu,”
“Oh,
Alex. Percaya padaku, kau akan terbiasa. Ini hanya tentang kau dan aku,”
ujarnya berjalan menuju pintu kamar dan menguncinya. Ia membuka kancing kemeja
yang ia pakai satu per satu, seperti menggodaku.
“Apa
yang kaulakukan?”
“Bermain-main
dengan mainan baruku,”
“Aku
bukan mainanmu,” ia telah membuka kemejanya. SEMPURNA! Ya Tuhan.
“Kalau
begitu, melakukan sesuatu yang panas dengan gadis perawan sepertimu,” ujarnya
merangkak di atasku, kedua tangannya berada di kedua belah sisi kepalaku. Lalu
bibirnya bertemu dengan bibirku. Untuk yang pertama kalinya. Ia memagut bibirku
dengan lembut, dapat kurasakan bibirnya yang begitu lembut berusaha untuk
membuka mulutku. Ia memainkan bibir atasku, lalu ia menggigitnya dengan nakal.
Mulutku terbuka dan ia benar-benar memagutkan mulutnya dengan mulutku. Aku
mengerang di dalam mulutnya saat tangannya mulai meraba dadaku. Meremasnya
dengan lembut dan aku mendesah, melepaskan ciuman ini.
“Ternyata
aku salah, biar kubuka,” ujar Justin menarik ujung kaos putihku ke atas dan aku
mengangkat tubuhku. Hell yes! Aku tidak peduli. Aku memang menginginkan Justin
begitu buruk. Sangat. “Ini sangat indah,” bisik Justin tersenyu manis padaku
lalu kembali menarik wajahku, mengecup bibirku, mengadu lidah dengan penuh
gairah yang tak dapat ditahan oleh siapa pun. Aku menarik kepalanya agar
semakin memperdalam ciuman ini.
“Oh,
perawanku yang nakal, aku tidak sabar untuk mencicipi milikmu yang sangat
kuyakini masih sempit dan tentunya, nikmat,” godanya memisahkan bibirnya dengan
bibirku lalu ia mundur dan turun ke bawah, di tengah-tengah kakiku ia berada.
Dengan cekatan tangannya melepaskan celana jinsku sekaligus celana dalam dari
kakiku yang cukup panjang. Kulihat ia menelan ludahnya dengan susahnya, melihat
pada milikku yang tidak memiliki bulu sama sekali, aku melakukan pencukuran.
Seakan-akan ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, tangannya
mengelus paha bagian dalamku, menggodaku dengan lembutnya. Sebuah senyuman
kecil muncul di wajahnya. Kedua tangannya telah berada di kedua pahaku lalu ia menariknya ke bawah hingga bokongku telah
berada di pinggiran tempat tidur.
Ia
menenggelamkan wajahnya di bawah sana, membuatku menjerit. Apa-apaan! Ini
menggelikan.
“Aroma
yang –oh kau sungguh basah di bawah sini,”
“Tidak,
jangan lakukan itu,”
“Oh
yeah, sayang. Aku akan melakukannya, tampak lezat dari aroma yang kucium
sayang,”
“Ini
sangat berlebihan Justin,”
“Tidak
sayang, tidak,” ujarnya menenggelamkan hidungnya di belahanku. Aku mendesah,
kepalaku mendongak ke belakang. “Mmm,” gumamnya membuat seluruh tubuhku
bergetar tak menentu. Kakiku berada di belakang punggungnya, bertumpu pada bahunya.
Ia membuka mulutnya, memasukan lidahnya ke dalam diriku. Aku menjerit, keenakan
dan menginginkannya begitu buruk. Kepalaku menekan kembali pada kasur dan
mengigit gigiku untuk menahan jeritannku.
“Mmm,”
gumamnya memberikan suara cepakan bibirnya dengan bibir bagian bawahku.
Lidahnya naik turun di sepanjang garis milikku, menggoda diriku. “Mulus seperti
bokong bayi,” gumamnya mencium bagian atas milikku, mengisap sesuatu yang kecil
di bawah sana dengan lembut. Namun aku menegang. Punggungku melengking ke atas
dan tumitku yang berada di belakang punggungnya mendorong kepalanya semakin
tenggelam dalam dirikul.
“Ya
Tuhan, aku tak menyangka kau akan ..ah, ini sungguh lezat,” ujarnya
menjilat-jilat bagian bawahku, bergetar-getar. Lalu dengan cekatan, kedua
jarinya melebarkan bagian milikku hingga ia dapat melihatnya dengan jelas.
Kemudian mulutnya kembali memainkan milikku dengan keahlian oralnya yang benar-benar
membuatku lupa diri. Tanganku meremas rambutnya, menekankan wajahnya agar
semakin masuk ke dalam milikku. Ini sungguh nikmat dan ..oh, apa ini. Rasanya
aku ingin melepaskan sesuatu yang ..astaga, apa ini.
“Ya,
sayang. Keluarlah untukku. Oh, yah, seperti itu. Mmm,”
“Justin!
Justin! Justin! Oh, Mr.Bieber!” aku mengerang tak tahan saat diriku meledak di
bawah sana. Begitu banyak cairan yang dapat kurasakan keluar dari bawah sana,
tubuhku bergemetar setelah punggungku melengking ke atas. Bibir Justin masih
berada di bawah sana, menyedot apa yang dapat ia sedot di bawah sana. Tubuhku
melemah, tak kuat dengan apa yang baru saja ia lakukan padaku. Mataku terpejam,
nafasku tak beraturan. Ini baru awal. Bagaimana jika ia benar-benar masuk ke
dalam tubuhku? Aku tidak dapat membayangkannya. Tak sadar, ternyata Justin
telah lepas dari jeratan kakiku. Ia merangkak ke atas, tertidur di sebelahku.
Kulitku dan kulitnya yang telanjang bersentuhan. Tubuhnya dan tubuhku telah
berkeringat. Mataku terbuka, melihat wajahnya yang mengkilap akibat cairanku.
Itu sungguh ..luar biasa. Aku tersenyum kecil padanya.
“Kau
menyukainya?”
“Itu
luar biasa,”
“Sekarang
aku benar-benar memilikimu,” ujarnya menarik wajahku dan mengecup bibirku
dengan singkat. Tapi memang benar, ia telah memilikiku. “Sekarang mari kita
masuki dirimu dengan milikku yang telah mengeras di sini. Kau bisa
merasakannya? Ah! Sial, tanganmu benar-benar ..sial!” ia menggeram saat ia
menarik tanganku dan membawanya pada boxernya. Aku tidak tahu kalau ia telah
membuka celananya. Tapi aku tidak peduli. Miliknya benar-benar besar, dapat
kurasakan di tanganku yang sekarang berada di atasnya. Ia menuntun tanganku
dengan sabar, mengelus-eluskannya di sana. Ia memejamkan matanya dan mendengus.
“Kau
wanita pertama yang hampir membuatku keluar sebelum melakukan hubungan intim.
Luar biasa. Untunglah kau telah menjadi milikku,” ujarnya melepaskan tanganku
dari boxernya. Lalu ia bangkit dan menurunkan boxernya. Kemudian aku tidak
melihat lagi. Kupejamkan mataku dan berusaha untuk menarik nafas dengan tenang.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang keras di bawah sana menekan-nekan bagian
bawahku dengan lembut.
“Aku
mungkin akan menyakitimu, sayang. Kau harus menahannya,” bisiknya menarik
punggungku agar aku setengah terduduk. Kedua tanganku telah bertempat pada
bahunya, memegangnya untuk menahan rasa sakit yang ..aku tidak –Ah! Astaga, aku
menggigit bibirku saat sebuah cubitan terasa di bawah sana. Ia mendorong
tubuhnya di bawahku. “Sial, sial, sial! Kau sangat ..Alex,” geramnya berusaha
untuk memasukannya. “Kau begitu sempit,” gumamnya memejamkan matanya dan
kepalanya mendongak ke belakang.
“Oh
Justin, bagaimana jika aku hamil?” aku bertanya sambil berusaha untuk tidak
menjerit, sebisa mugnkin aku melakukan itu.
“Ah
sial. Ini baru yang pertama kalinya sayang, kemungkinan kecil kau tidak hamil.
Jika kau hamil, aku ingin memiliki anak darimu,” ujarnya yang membuatku terbang
ke langit paling tinggi. “Aw, Justin! Perih,” jeritku memejamkan mata dan
kukuku telah membenam di dalam pundaknya.
“Ah!
Akhirnya!” erangnya memasukan seluruhnya. Dia mendiamkanya selama beberapa
menit, membiarkanku untuk terbiasa dengan sesuatu yang asing berada di dalam
tubuhku. “Ini gila,” bisiknya di telingaku.
“Cium
aku,” bisiknya menyuruhku. Seperti mencari air minum, aku mencari-cari bibirnya
dengan mata yang terpejam. Memagut bibirnya dengan lembut lalu menggigitnya
saat ia menggerakan tubuhnya. Oh rasanya ..sakit dan nikmat. Namun ia terus
memagut mulutku, memainkan lidahnya dalam mulutku. Mengerang di dalam mulutnya
membuat suasana semakin intens. Perlahan-lahan ia bergerak kembali, kali ini
rasa sakitnya pelan-pelan memudar, berganti dengan rasa yang nikmat dan tak
dapat kugambarkan dengan kata-kata.
“Oh
Justin! Apa yang kaulakukan?”
“Bersetubuh
denganmu sayang, ini sangat luar biasa,” ujarnya terus menggerak-gerakan
tubuhnya maju-mundur. Aku memeluk lehernya dan menempatkan kepalaku pada
bahunya yang telah dan berotot. Kugigit bibirku untuk menahan rasa nikmat ini.
Tak ingin membangunkan Aaron yang berada di sebelah kamarku. Semakin lama
gerakan Justin semakin cepat, aku mendesah, mengerang, mendesah, mengerang
terus menerus sampai pada akhirnya rasa itu kembali muncul.
“Ini
sangat intens Justin, aku tidak dapat menahannya,”
“Oh,
blue bird, jangan tahan sayang. Keluarlah untukku. Untukku. Yah! Oh yah!
Seperti itu, milikmu sangat ketat! Sial! Aku keluar!” teriaknya yang semakin
brutal menggerakan tubuhnya di atas tubuhku. Dapat kurasakan semburan spermanya
yang masuk ke dalam tubuhku. Kepalaku terdongak ke belakang, merasa kelelahan.
Seluruh tubuhku rasanya tak dapat kugerakan lagi. Dengan lembutnya Justin
membaringkan tubuhku ke atas tempat tidur kembali.
“Aku
tidak pernah selembut ini sebelumnya,” bisik Justin. Aku tidak menjawabnya,
benar-benar kelelahan. “Kau spesial.” Lanjutnya. Namun aku sudah tak kuat lagi.
Aku masuk ke dalam alam bawah sadarku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar