“Alex,”
suara berat itu mengejutkanku saat aku sedang fokus melihat kepada seorang
lelaki muda yang begitu tampan sedang dikerubungi oleh banyak gadis. Tapi
untunglah aku masih memiliki otak yang bagus untuk berpikir. Aku tidak
menginginkan lelaki itu dalam kehidupanku. Kemudian aku membalikan tubuhku
untuk melihat siapa yang memanggilku. Luke dengan tatapan mata birunya
tersenyum padaku, ia seorang bartender di bar ini. Yeah, pekerjaan yang
menurutku dibutuhkan oleh para pengunjung bar. Pelayan. Tidaklah mudah untuk
menjadi seorang pelayan. Apalagi dengan pakaianku yang seperti ini. Hanya saja,
aku tidak terbiasa dengan pakaian seperti ini. Banyak sekali lelaki berhidung
belang yang berkeliaran di sini. Meremas bokong pelacur yang dipersiapkan oleh
bar ini. Untunglah aku bukan salah satu di antara mereka. Aku tidak ingin
keperawananku terenggut oleh lelaki yang bukan kucintai. Baiklah, kembali lagi
aku terlarut dengan pikiranku. Pft, apa yang sedang kubicarakan?
“Apa?”
tanyaku menyandarkan tanganku pada meja bar. Luke berbungkuk, kedua ujung
siku-sikunya berciuman dengan meja bar, kepalannya menutup bibirnya yang cukup
tipi situ.
“Kautahu
siapa dia?” tanya Luke menatap lelaki yang baru saja kutatapi tadi. Tentu saja
tidak. Aku bahkan baru bertemu dengannya hari ini. Kepalaku berbalik dan
kembali menatap pada lelaki yang tersenyum manis pada salah satu gadis yang ia
rangkul. Oh, lututku benar-benar lemas sekarang. Musik yang berdentum dengan
keras di telingaku bahkan tidak dapat membuat kakiku kuat untuk berdiri.
Biasanya, bisa. Aku pecinta music.
“Dia
lelaki pemilik bar ini,”
“Oh?”
“Yeah,
bajingan yang hebat,” gumam Luke yang membuatku berbalik padanya dan terkekeh.
Apa yang baru saja ia katakan? Bajingan? Jika ada yang mendengar ucapan itu
selain aku, mungkin mereka akan mengadukannyap ada pemilik bar ini. Well,
baiklah. Karena aku tidak tahu siapa nama lelaki itu, aku akan memanggilnya
mata Harimau. Yeah. Matanya berwarna cokelat-emas seperti kucing namun garang
seperti harimau. Tapi matanya lebih mendominasi pada harimau. Garang. Tak
sadar, aku menggigit bibirku.
“Apa
kaubilang? Bajingan? Yeah, bajingan yang tampan,”
“Wow,
tunggu dulu Alex. Kau bahkan baru masuk ke bar ini selama dua hari dan kau
menyukainya? Apa kau tidak sadar dengan apa yang kaulihat sekarang?” tanya
Luke. Aku mengangkat kedua bahuku dan melipat bibirku ke dalam. Menggigit
bagian dalam pipiku sehingga bibirku terlihat kembali. Aku tidak tahu. Mungkin.
Well, ini hanyalah sebuah pengagumanku pada lelaki itu. Dan seperti yang
kubilang dari awal. Untunglah aku memiliki otak yang cukup untuk berpikir
jernih. Aku tidak menginginkan lelaki itu.
“Well,
aku tidak tahu. Mungkin. Aku belum tahu siapa dia. Kau bersedia untuk
memberitahuku siapa nama lelaki seksi itu?”
“Sial,
Alex. Mengapa kau tampak nakal dengan tatapanmu itu?” tanyanya yang membuatku
bingung. Tatapan nakal? Apa yang sebenarnya ia sedang bicarakan? Aku tidak
memberikannya tatapan nakal. Dari mana asalnya ia berbicara seperti itu?
Katanya ia telah bekerja menjadi bartender di sini selama dua tahun, tapi
mengapa ia tidak bisa membedakan yang mana pelacur dan bukan? Aku tidak pernah
bermain mata dengan seorang lelaki sebelumnya. Serius. Sudah 22 tahun aku
mengarungi kehidupanku dengan baik, namun aku tidak pernah berpacaran atau terlibat
dengan masalah cinta sebelumnya. Dan, tatapan nakal? Itu jauh dari pengalaman
hidupku.
“Tatapan
apa? Bisakah kau memberitahuku namanya saja? Cepatlah, sudah ada pengunjung
baru lagi,” ujarku saat melihat seorang pemuda yang baru saja masuk ke dalam
bar. Dia bertubuh tegap dengan jaket kulit hitam yang ia pakai. Rambutnya
berwarna cokelat, terpotong dengan rapi. Tapi tidak terlalu pendek. Dan kurasa
ia berotot.
“Cepatlah!”
aku memohon.
“Justin
Bieber,” bisiknya dengan suara kecil. Apa? Justine Biebur? Hah? Aku tidak
begitu mendengarnya. Berbisik! Mengapa ia berbisik?
“Katakan
yang lebih kencang,” suruhku padanya. Kemudian ia menarik kepalaku, bibirnya
tepat berada di telingaku dan berbisik kembali. “Dia Justin Bieber. Kita tidak
boleh menyebut namanya kencang-kencang. Dia seorang yang sadis jika –“
“Apa
kau kugaji untuk berpacaran di tempat kerja? Peraturan kelima dalam bar ini
bagi para pekerja adalah tidak ada pacaran sesama pekerja. Apa kalian pernah
membaca itu sebelumnya?” seorang lelaki bersuara seksi muncul dari belakang.
Sontak Luke melepaskan kepalaku, aku menjauh dari Luke dan berdiri dengan
tegap. Lalu aku membalikan tubuhku, mataku bertemu dengan mata harimau. Sial.
Sial. Sial. Dia tampak begitu seksi. Tangannya meraih tubuhku saat aku tidak
dapat menyeimbangkan cara berdiriku. Kutelan ludahku dengan gugup dan
menundukan kepala.
“Aku
sungguh minta maaf, aku hanya ingin –“
“Bertanya-tanya
mengapa aku berada di sini?” tanya lelaki yang bernama Justin Bieber ini.
Justin Bieber. Justin Bieber. Justin. Mr.Bieber. Ya, kurasa aku bisa
memanggilnya dengan panggilan Mr.Bieber. Nama yang bagus. Tangannya tak lepas
dari lenganku setelah ia membantuku untuk berdiri tegap. Panas, hangat,
entahlah. Sepertinya tanganku akan hangus terbakar.
“Mmh
..tid-tidak. Hanya –“
“Penasaran.
Tentu saja kau penasaran denganku,” ia berujar dengan penuh rasa percaya diri,
namun ia benar juga. “Kau terus menatapku hampir lebih dari lima belas menit.
Kautahu, aku memiliki ekor mata yang sangat banyak. Berhati-hatilah. Sekarang,
bekerjalah dengan baik atau kau akan kujadikan pelacur,” ujarnya tanpa
basa-basi. Pelacur? Oh, tidak. Tidak, tidak, tidak. Kuhantar kakiku tanpa
menatapnya terlebih dahulu, tangannya masih memegang tanganku.
“Hey,
tunggu dulu,” ia menahan kakiku dengan ucapannya, lalu tangannya meraih daguku
sehingga kepalaku berbalik padanya. Oh, sial! Tatapan itu. Tatapan seksi itu.
Entah mengapa perutku sekarang dipenuhi oleh banyak kupu-kupu yang berterbangan
di dalam sini. “Aku belum tahu namamu. Siapa namamu?” tanyanya mengelus daguku.
Bersusah payah aku mencari suaraku, setelah aku memejamkan mata dan membukanya
kembali, akhirnya aku mendapatkannya.
“Alex.
Alexis Bledel,”
“Ms.Bledel.
Nama yang cantik, sama seperti orangnya. Sekarang pergilah,” ujarnya melepaskan
daguku. Aku mengangguk dan membawa tubuhku untuk mencari pelanggan. Ekor mataku
menatap pada Luke yang tercengang di belakang meja barnya, untunglah mulutnya
tidak terbuka. Tampaknya ia sangat tidak percaya dengan apa yang baru saja ia
lihat. Terlebih lagi aku! Aku juga tidak percaya dengan apa yang baru saja
kulihat. Maksudku, apa yang baru saja terjadi. Sentuhan tangannya yang dapat
menghanguskan tubuhku. Tatapan matanya yang benar-benar memikat dan garang.
Sial, aku mengingat mata harimaunya yang seksi.
Aku
berusaha untuk berpikir sejernih mungkin. Tidak mungkin dia adalah pemilik dari
bar ini. Dia terlalu muda untuk memiliki bar ini. Entahlah, ia memang terlihat
begitu muda sekali. Well, mungkin beberapa tahun di atasku. Tangannya sungguh kekar
saat ia memegang tanganku yang dapat kubilang mungil. Lenganku rasanya ingin
patah saat ia memegang tangannya. Namun tatapan matanya seakan-akan dapat
membuatku lupa akan pegangan tangannya yang erat. Mencoba, mencoba, mencoba.
Aku mencoba untuk melupakan tatapannya dan fokus pada pekerjaanku. Sial!
***
“Brad,”
aku memanggil nama sahabatku saat aku membuka pintu apartemenku. Dapat
kupastikan ia berada di rumah, mungkin ia sedang mandi karena kau mendengar
shower dari ruang tamu. Sudah subuh jam 12 malam, aku baru saja pulang dari
bar. Sungguh, melelahkan. Well, tadi saat aku ingin pulang, Mr.Bieber sudah
tidak ada lagi. Dia cepat sekali pulang. Aku tidak dapat melihat pemandangan
yang indah lagi. Kulempar tas yang kubawa ke atas sofa dan menghempaskan
tubuhku di atasnya. Apartemenku tidak begitu besar. Setidaknya apartemenku
bertingkat dua. Kamarku dan Brad berada di atas. Di bawah sini hanya terdapat
toilet, dapur dan ruang tamu. Yeah, hanya ada dua kamar di sini. Tapi
apartemenku sungguh menyenangkan, enak untuk ditempati. Kuraih remote yang
berada di atas meja dan menyalakan televisi. Bodohnya, mengapa aku menyalakan
televisi dini hiri seperti ini? Maksudku, well, memang ada acara yang bagus.
Pastinya …sial. Aku melantur dengan diriku sendiri lagi. Mengapa rasanya susah
sekali untuk tidak bertarung di dalam pikiran sendiri?
“Hey,
Alex,” Brad muncul dari belakang. Ia baru saja mandi, di tengah malam. Itu
sudah kebiasaan kami berdua mandi di tengah malam. Oh, dan satu hal. Aku dan
dirinya tidak pernah berhubungan badan. Kami bertemu sejak umur kami berumur 17
tahun hingga sekarang. Yeah, lima tahun sudah aku dan dirinya melewati
hari-hari bersama. Well, tentu saja kami pernah bertengkar. Tapi tiap kali kami
bertengkar, pasti Brad yang akan meminta maaf terlebih dahulu meski akulah yang
sebenarnya salah. “Baru pulang?”
“Yeah,
sungguh melelahkan,”
“Jadi,
bagaimana? Ada yang berkesan di hari kedua?” tanyanya duduk di bawah lantai. Ia
mengambil remote dari tanganku dan mengganti stasiun televisi yang lain.
Kuangkat kedua bahuku dan mendesah pelan.
“Well,
yeah. Bisa kubilang begitu. Ternyata pemiliki bar muda sekali,”
“Oh
yeah?”
“Ya.
Namanya Justin Bieber. Rumornya dia orang yang sadis. Tapi tidak, menurutku.
Dan kau tahu apa? Matanya berwarna cokelat emas yang benar-benar seperti
harimau. Aku menyukainya. Well, dia juga sudah berbicara denganku,”
“Apa
dia seseksi diriku?” tanya Brad mengangkat singlet berwarna abu-abu yang ia
pakai dan memamerkan abs miliknya. Sungguh pamer! Aku terkekeh dan memukul kepalanya
dengan pelan.
“Aku
tidak tahu. Tapi saat tangannya memegang tanganku, sungguh tangannya besar
sekali,”
“Oh,
jadi kau mengincar dick sepertinya?” tanya Brad yang membuat memukul
lengannya kali ini. Ia tertawa. Sial! Tentu saja tidak. Aku hanya mencari uang
untuk menghidupi kehidupanku. Mengisi kebutuhanku. Apalagi malam ini aku juga
mendapatkan tips yang banyak sekali dari pengunjung. Kemarin aku mendapatkan
tiga puluh delapan dollar. Dan hari ini aku mendapatkan enam puluh! Kau bisa
hidup tiap harinya hanya dengan uang tips. Apalagi dengan gaji yang akhir bulan
ini akan diberikan? Oh, pastinya akan besar sekali.
“Aku
tidak tahu. Aku tidak menyukai lelaki yang sadis,”
“Hey,
itu baru rumor. Siapa tahu itu tidak benar bukan?” tanya Brad yang menyatakan
bahwa dirinya benar. Dan memang dia benar. Siapa tahu apa yang dikatakan Luke
tidak begitu benar. Aku juga tidak begitu percaya dengan Luke. Kita bahkan baru
bertemu selama dua hari. Aku saja baru tahu namanya dan pekerjaannya sebagai
bartender kemarin.
“Kejarlah
dia!” dua kata yang keluar dari mulutnya membuat hatiku bergejolak. Haruskah?
***
*Author POV*
“Alice!”
Lelaki bermata harimau itu berteriak di pagi hari yang cerah. Para pelayan yang
berdiri, berjejeran dengan barisan yang rapi menundukan kepalanya. Kemudian
salah satu di antara mereka maju satu langkah. Dialah Alice. Wanita yang
memakai seragam pelayan di rumah lelaki ini menundukan kepalanya dengan
sanggulan rapi yang ia buat untuk membuat sang dictator terpukau. Tapi gagal,
untuk yang kesekian kalinya.
“Mengapa
sarapan yang kaubuat ini tampak hambar di lidahku? Apa kau tahu itu mengapa?”
bentak sang dictator dengan kasar. Gadis bertubuh seksi yang berada di hadapan
lelaki ini terduduk dengan bibir yang berdarah. Sudut bibirnya juga membiru. Ia
menundukan kepalanya, tidak berani mengatakan apa-apa. Sedangkan Alice terdiam
dalam hening. Tidak berani untuk menjawab ucapan sang dictator. “Makanlah,”
ujar Justin, kali ini lebih lembut. Justin menyodorkan semangkuk soufflé yang
sudah hancur karena baru saja ia tekan dengan sendok kecil miliknya. Alice
mendongak dan maju satu langkah lagi untuk meraih garpu yang berada di sebelah
sendok Justin. Ia meraihnya dan mengambil satu sendok soufflé.
“Bagaimana
menurutmu?” tanya Justin, mencoba untuk melihat mata Alice.
“Ini
..enak, Mr.Bieber,” Mr.Bieber. Justin Bieber. Sang pemilik bar. Lelaki terkenal
dengan ketampanannya dan kekayaannya. Gadis-gadis di luar sana yang pernah
bertemu dengan Justin tampak bodoh karena mereka tertipu oleh ketampanan dan
karisma Justin. Di balik semua itu, semuanya akan terungkap di balik pintu
gerbang rumah Justin. Segalanya akan tampak berubah.
“Menurutmu
begitu? Tapi menurutku tidak. Angkat kakimu dan pergilah dari rumah ini. Aku
tidak membutuhkan lidah yang aneh sepertimu. Kau pelayan yang kuberi keringanan
pagi ini. Untunglah perasaanku pagi ini lebih tenang,” gumam Justin menyuruh
pada pelayan itu tanpa berpikir perasaan pelayan yang benar-benar membutuhkan
pekerjaan ini. Namun, pelayan itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia mengangkat
kakinya dari ruang makan dengan tangisan yang tertahan. Semua pelayan yang
berjejer itu tahu, mereka tahu siapa itu Alice. Dia gadis yang pernah dicintai
oleh Justin, namun dengan bodohnya ia mengkhianati Justin di saat Justin tak melihatnya.
Ia berakhir dengan kesakitan di rumah Justin. Sering kali, Justin memukulnya
jika ia membuat salah. Namun Alice bersyukur karena di hari terakhirnya ini, ia
tidak mendapatkan pukulan dari Justin. Mungkin karena sanggulan yang ia buat.
Sebenarnya tidak.
Alasan
mengapa Justin tampak lebih tenang pagi ini hanya karena seorang gadis yang ia
temui kemarin. Justin tidak ingin terburu-buru. Gadis itu tampak menarik.
Sungguh cepat jika Justin mengambilnya dari bar dan menjadikannya budak
seksnya. Apalagi wajah gadis itu sangat polos. Justin tak sampai hati untuk
memukul gadis itu malam itu juga. Alhasil, ia mengambil pelacur yang
berkualitas dari bar miliknya. Seksi, tentu saja. Namun sayang, Justin tidak
begitu tertarik untuk membuai gadis ini sebaik mungkin. Terlalu banyak dendam
yang ia pendam dalam dirinya yang harus disalurkan malam itu juga.
“Jordy!”
Justin berteriak dari dalam ruang makan. Satu lelaki berkulit putih dengan
kacamata hitam yang ia pakai dan pakaian formal yang ia pakai muncul begitu saja
di hadapan Justin.
“Siapkan
mobil. Aku ada pertemuan dengan para pecundang hari ini, satu hal Jordy,”
“Ya,
Mr.Bieber,”
“Aku
ingin kau mencari tahu Alexis Bledel, gadis yang kutemui tadi malam. Ia bekerja
di bar. Cari tahu apa yang menurutmu kubutuhkan selama aku bekerja.
Secepatnya.” Suaranya begitu dingin.
****
*Alexis Bledel POV*
“Kita?
Benarkah?” aku tidak percaya saat Brad mengatakan kalau kami akan pergi ke
sebuah pesta dansa umum yang diadakan di dekat apartemen kami. Di sebuah gedung
yang berada di dekat apartemen kami. Brad telah membeli tiketnya kemarin untuk
kami berdua. Tanpa seizinku. Maksudku, aku tidak bisa menari dan ia memang
bisa. Setidaknya, ia bertanya padaku terlebih dahulu sebelum ia membeli
tiketnya. Mungkin, Brad sudah tahu kalau aku akan menolaknya untuk pergi ke
pesta dansa itu.
“Ya,
tentu saja. Kau sudah melihat tiketnya. Kau ingin kita membeli gaunnya?” tanya
Brad mengambil segelas susu yang berada di atas meja makan. Kuangkat kedua
bahuku. Tidak perlu.
“Tidak,
aku telah,” –kumasukan satu sendok sereal ke dalam mulutku—“aku telah memiliki
gaun dari nenekku. Warisan. Well, warnanya hijau muda. Hampir putih,” ujarku
sambil menguyah sereal yang kumakan. Brad menganggukan kepalanya dan berjalan
menuju kulkas.
“Well,
sebenarnya pesta dansa itu hanya untuk kalangan atas. Harga tiketnya cukup
mahal—“
“Brad,
kau tahu aku tidak menyukai pesta-pesta seperti ini. Aku akan mengganti uangmu
akhir bulan ini,” ujarku memutar bola mata, “sial,” gumamku. Setelah menunduk
dari kulkas untuk mengambil sekotak sereal, ia tersenyum penuh arti padaku.
“Kau
tidak perlu membayarnya. Kita sahabat. Tidak perlu perhitungan. Hanya satu
syarat,”
“Brad,
aku tidak menginginkan pesta dansa ini. Kau yang memaksaku untuk mengikutnya,”
“Aku
tidak memaksamu,” aku melotot padanya. Dia tidak memaksaku? Sial!
“Ya,
secara tidak langsung,” ujarku tiba-tiba merasa tidak lapar kembali. Entah
mengapa, aku bisa bersahabat dengan lelaki aneh seperti Brad. Well, biar
kupikir. Dia memiliki wajah yang tampan, baik hati, dan ia seorang model yang
kaya. Bagaimana mungkin aku tidak bisa bersahabat dengannya? Well, sebenarnya
bukan karena itu. Brad dan aku telah bersahabat sejak lima tahun yang lalu, ia
orang yang sangat baik dan aku mempercayainya. Ia tidak memiliki mulut seperti
burung. Ia tidak bergosip. Tentu saja, ia lelaki. Satu lagi, aku telah menganggapnya
sebagai kakakku. Well, kakak dari ibu yang lain.
“Bagaimana
bisa kau menyebutnya secara tidak langsung?”
“Hey,
Brad. ‘Aku telah membelikan tiketnya untuk kita berdua. Sangat disayangkan jika
kau tidak ikut. Tiket ini kubelikan khusus untukmu’. Secara tidak langsung kau
memaksaku untuk ikut ke pesta dansa itu,” jelasku bangkit dari tempat duduk
meja makan lalu mengangkat mangkuk serealku. “Dan kau memberikanku satu syarat
jika aku ingin ikut pergi ke pesta dansa itu? Persetan, tidak! Aku tidak menginginkannya,”
aku menolaknya, kali ini.
“Baiklah!
Baiklah. Tidak ada syarat. Pesta dansa itu akan diadakan dua minggu lagi. Kau
harus ingat itu. Aku yang lebih dulu telah mengajakmu,”
“Yeah,
jangan salahkan aku jika aku tidak bisa berdansa,” aku memperingatinya.
“Kita
bisa latihan tiap malam,” setelah kalimat itu terluncur, aku menggelengkan
kepalaku. Apa-apaan? Setiap hari Senin sampai Jumat aku memiliki dua pekerjaan
yang sama. Di pagi hari, aku menjadi pelayan di sebuah restoran yang ternyata
juga milik dari seorang Justin Bieber. Yeah, aku baru menyadarinya setelah tadi
malam aku terus memikirkan Justin. Semoga pagi ini Justin tidak ada restoran.
Aku hanya bisa memohon. Well, kurasa dia tidak ada. Setelah lima hari aku
bekerja di restoran itu, aku tidak pernah bertemu dengan Justin Bieber. Nathan,
sang chef, mengatakan padaku kalau Justin memiliki banyak restoran dan bar di
Amerika ini. Bahkan ia adalah lelaki terkaya kedua puluh lima di Amerika.
Kupikir ia adalah lelaki tua yang hidup bersejarah di Amerika. Ternyata,
setelah kemarin daguku dielus oleh jarinya yang cukup kasar itu, dia adalah
lelaki tertampan dengan mata harimau terindah yang pernah kutemui. Sungguh, dia
lelaki yang sangat kaya. Dan yah, di malam hari aku juga sibuk di dalam bar
dengan pekerjaan yang sama. Pelayan. Barmaid. Sial. Sungguh, seperti tidak ada
pekerjaan lain saja. Aku tidak memiliki pilihan yang lain. Meski resiko di
malam hari yang harus kuambil cukup besar. Sejauh ini, di bar tidak ada lelaki
berhidung belang yang meraba tubuhku. Aku bersyukur. Jika memang ada, aku akan
segera keluar dari bar.
Kesimpulannya
adalah aku tidak memiliki waktu untuk latihan selain di hari Sabtu dan Minggu.
“Tidak,
kita tidak bisa latihan setiap hari. Kau juga sibuk, aku tahu,”
“Sabtu
dan Minggu jika begitu,”
“Baiklah,
tapi aku tidak berjanji untuk selalu ada,”
“Hey,
dua minggu lagi. Kau tahu. Kau hanya memiliki waktu empat kali latihan,
mengerti?”
“Akan
kuusahakan,” bisikku, memutar bola mata.
***
Aku
mengangkat nampan berwarna cokelat dengan satu botol anggur yang dipesan oleh
seorang Justin Bieber, di pagi hari, di dalam sebuah baskom aluminium dengan es
di dalamnya dan juga kain berwarna kuning muda yang berada di bawah botol
anggur. Dua gelas yang ramping juga sudah berada di sebelah baskom itu dengan
gemetaran akibat tanganku yang bergemetar sambil berjalan menuju meja sang
pemilik restoran ini. Oh Tuhan, benarkah? Haruskah? Padahal baru satu jam yang
lalu aku membicarakannya dalam pikiranku di rumah. Berpikir bahwa ia tidak akan
datang ke restoran ini sudah lima hari secara otomatis aku berpikir ia tidak
akan datang hari ini juga. Tapi sial! Dia datang. Untuk yang kedua kalinya aku
bertemu dengan si mata harimau ini.
“Mr.Bieber,”
aku menganggukan kepalaku dengan sopan. Setelah Nellie memberitahuku kalau ia
tidak dapat memberikan pesanan dari seorang Justin, akulah penggantinya. Dan,
yah, sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehku. Justin terkejut dengan matanya
yang melebar. Namun dengan cepat ia menganggukan kepalanya, berwibawa. Kutaruh
dua gelas di atas meja. Seorang wanita berparas cantik dengan riasan wajah yang
cukup untuk wajahnya, benar-benar terlihat anggun. Mungkin ia adalah kekasih
Justin. Mungkin. Lalu aku menuangkan air anggur ke dalam dua gelas yang baru
saja kutaruh hingga terisi setengah gelas. Oh sial. Justin memerhatikanku. Tapi
aku mencoba untuk mengabaikannya. Ah, konyol sekali! Tanganku bergetar saat aku
menaruh botol anggur ke dalam baskom kembali di atas meja Justin.
“Butuh
bantuan? Ms.Bledel?” tanyanya yang membuatku mendongak padanya, ia tersenyum.
Bunuh aku! Bunuh aku! Dia tampak begitu ..tampan sekali. Mungkin kalian bosan
karena aku terus mengatakan bahwa ia tampan. Tapi itu memang kebenaran. Ia
memang tampan.
“Tidak,
terima kasih Mr.Bieber,”
“Kau
tampak gugup pagi ini. Ada masalah?”
“Aku
hanya tidak ingin mengganggu waktumu bersama dengan kekasihmu,” Kali ini, aku
benar-benar serius ingin membunuh diriku sendiri. Mengapa aku terdengar sok
tahu tentang Justin? Belum tentu wanita ini benar-benar kekasihnya. Siapa tahu,
istrinya? Apa peduliku? Aku peduli dengan pekerjaanku. Bagaimana jika Justin
merasa tidak menyukai layananku terhadapnya karena diriku yang sok tahu ini
lalu memecatku? Oh Tuhan. Mataku tidak bertemu dengan matanya. Namun aku
meliriknya, kali ini. Ia seperti menahan senyumnya, bibirnya menjadi sebuah
garis tipis dan melirik pada wanita yang berada di depannya. Lalu ia membuka
mulutnya dan menarik nafas.
“Bagaimana
kau tahu kalau ia adalah kekasihku?”
“Karena
dia cantik,” aku mendongak, kembali, memeluk nampan cokelat yang kubawa. Mata
harimaunya kembali dengan mataku. Misterius. Garang. Dan panas.
“Apa
kau yakin?”
“Tidak,”
“Mengapa?”
“Setelah
kau bertanya padaku, aku kurang yakin ia adalah kekasihmu,” ujarku menjelaskan.
Ia menganggukan kepalanya, lalu siku-sikunya bersandar pada mejanya.
Menopangkan wajahnya pada tangannya dan jari telunjuknya menelusuri bibirnya
yang ingin kucium itu. Tapi tidak! Aku menepis segala pikiranku darinya.
Pikiran-pikiran aku akan mendapatkannya! Ah, tidak mungkin. Ia terus menatapku,
sedangkan wanita yang berada di hadapannya telah meneguk anggur hingga tandas,
habis. “Apa aku boleh pegi dari hadapanmu? Mr.Bieber?” tanyaku menekankan nada
dibagian namanya.
“Ya,
tentu saja,” ujarnya. “Satu hal, Ms.Bledel. Dia bukanlah kekasihku,” ia
memberitahuku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum semanis mungkin padanya.
Kubalikan tubuhku dan melangkah untuk pergi menuju dapur. Tak melihat orang di
depanku, aku menabrak pelayan yang lain.
“Sial!”
sumpahku, tersungkur di atas lantai. Sial. Mengapa aku begitu ceroboh?
Untunglah aku tidak membawa apa pun di tanganku selain nampan. Dan beruntunglah
aku karena pelayan lain yang kutabrak tidak membawa apa pun di tangannya.
“Maaf,” gumamku. Lelaki yang kutabrak itu mengulurkan tangannya padaku, refleks
aku meraih tangannya.
“Maaf,”
ujarnya.
“Tidak
apa-apa,” bisikku. Kutundukan kepalaku dan melirik ke belakang untuk melihat
Justin. Kali ini wajahnya benar-benar dingin melihatku. Entah mengapa, jika aku
melihatnya sekarang, ia seperti memiliki dua kepribadian. Kepribadiannya yang
santai dan dingin. Mungkin ini hanyalah perasaanku saja. Kugigit bibirku saat
matanya bertemu denganku. Tidak! Tatapannya kali ini benar-benar dingin. Namun
masih terlihat begitu garang. Hanya saja, tidak panas.
Bersyukur
karena pengunjung di restoran ini tidak ditarik perhatiannya oleh kecerobohan
yang kubuat. Setidaknya, aku tidak membuat sesuatu yang memalukan. Kuharap
setelah ini Justin tidak memberitahu manajer tentang masalah tadi dan
memecatku. Oh, dan mengapa aku selalu berpikir kalau aku akan segera dipecat?
***
Kulangkahkan
kakiku dengan cepat, menerjang angin yang begitu dingin malam ini. Sial. Musim
dingin memang menyusahkan sekali. Untung saja aku tidak memiliki penyakit asma.
Brad tidak bisa mengantarku ke bar malam ini karena ia memiliki urusan dengan
pekerjaannya. Alhasil aku harus berjalan kaki menuju bar. Brad memberitahuku
untuk tidak menaiki taksi malam-malam karena supir taksi dapat membawamu kemana
saja tanpa kauketahui. Kau bahkan tidak dapat melakukan apa-apa jika kau tidak
memiliki persiapan. Sehingga aku harus berjalan kaki malam ini. Sepatu tinggiku
benar-benar membuatku susah berjalan. Hari ini tidak hujan, tapi angin malam
begitu menyengat sampai pada tulangku. Bodohnya aku tidak memakai jaket dari
rumah.
Berpikir
tentang kejadian tadi pagi sungguh membuatku tak berkonsentrasi dalam
pekerjaanku. Awalnya Justin menatapku dengan tatapan harimaunya begitu panas,
namun setelah aku terjatuh, ia menatapku begitu dingin. Bahkan ia terlihat
seperi psikopat yang luar biasa tampan. Wanita yang tadi ia ajak ke restoran
tadi memang terlihat begitu cantik. Dapat kupastikan wanita itu menyukai
Justin. Karena tiap kali aku melayani pengunjung dan menatapnya saat ia
berbicara dengan Justin, pipinya terus memerah dan tertawa-tawa. Entah mungkin
ia ingin membuat Justin tertarik dengan tawaannya dan mengajaknya untuk tidur
bersama atau apalah. Yang aku tahu sekarang, Justin adalah seorang yang
terkenal dengan kekayaannya dan banyak
wanita yang menyukainya. Termasuk aku.Well, aku tidak begitu menginginkannya.
Jika memang ada kesempatan, untuk apa kutolak? Bodoh jika kutolak bukan?
Mungkin. Mungkin memang bodoh. Peraturan nomor lima, tidak boleh memiliki
hubungan asmara dengan sesama pekerja. Well, Justin bukanlah pekerja, jadi
tidak apa-apa.
Oh
sial. Mengapa aku terus melantur dalam pikiranku sendiri?
“Hey!”
suara berat terdengar dari jalan raya. Aku menoleh dan melihat mobi berwarna
hitam melaju begitu lambat, mengikuti laju jalanku yang memang lambat juga.
Kaca mobilnya terbuka, dia Justin. Aku membeku. Kuhentikan langkahanku dan
tersenyum padanya. “Naiklah, kau terlihat begitu kedinginan,” ujarnya sambil
memberikan kode untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku terdiam, tak percaya.
Mobilnya berhenti.
“Apa?
Kau ingin pergi ke bar, bukan? Aku juga,” ujarnya. Namun aku masih terdiam.
“Aku
tidak ingin pelayan yang lain berpikir—“
“Kau
adalah pelacur? Tidak! Naiklah. Jika mereka berpikir begitu, aku akan memecat
mereka. Ayo cepat. Atau kau kupecat,” ujarnya lagi, kali ini mengancamku.
Tanganku langsung meraih knop pintu mobil dan menariknya hingga pintu mobil
terbuka. Hening. Semuanya hening saat aku menaiki mobil sang pemilik bar-ku.
Beberapa detik dalam keheningan, akhirnya suara mesin berbunyi saat Justin
melajukan mobilnya. Aku menunduk. Tidak pernah berani untuk menatap mata
harimau miliknya yang begitu garang. Karena jika aku menatap matanya, aku tidak
dapat menahan gigitan pada pipi dalamku. Rasanya, aku ingin sekali mencium
bibirnya. Walau aku tahu tidak ada hubungan mata dan bibirnya. Namun jika aku
menatap matanya
“Jadi,
tinggal di sebuah apartemen eh?” tanya Justin yang membuatku mendongak, melihat
padanya. Ia tidak balik menatapku, ia fokus menatap pada jalanan. Dan ..aku
tidak ingin menjawabnya.
“Bagaimana
kautahu?”
“Tidak,
hanya menebak,”
“Boleh
aku bertanya sesuatu?” tanyaku ragu-ragu. Aku takut jika Justin merasa terganggu
dengan pertanyaanku. Hanya saja, berhati-hati. Ia menganggukan kepalanya, tanpa
bersuara.
“Apa
matamu memang selalu menatap orang dengan dingin?”
“Apa
aku menatap matamu dengan dingin sekarang?” tanyanya, menoleh padaku. Menatap
pada mataku. Tidak. Dia tidak menatap mataku dengan dingin. Tapi, tadi pagi
..sial. Maksudku, saat ia menatap wanita yang berada di hadapannya saja ia
tidak tersenyum sama sekali, bahkan tatapannya tidak ramah. Padahal wanita itu
sudah mencoba untuk terlihat begitu menyenangkan. Tiba-tiba mobil ini berhenti
di depan sebuah ..gerbang dari suatu rumah yang besar. Ah, sial! Sekarang aku
tahu benar mengapa Brad memberitahuku untuk tidak menaiki taksi pada malam
hari. Brad benar-benar mengenalku dengan baik. Ia tahu aku tidak pernah
memperhatikan jalanan jika menaiki sebuah mobil karena aku selalu menunduk.
Sungguh, sekarang ketakutan menghampiriku.
“Kupikir
kita akan pergi ke bar milikmu,” bisikku, menunduk.
“Tidak
setelah kau bertanya tentang mataku,”
“Tapi
aku tahu yang ada di pikiranmu tadi adalah membawaku ke sebuah tempat untuk
tidur denganku,” bisikku, mendongak kembali. Matanya melebar dan sepertinya ia
menahan tawanya. Maksudku, bisa saja itu memang terjadi. Aku adalah pelayannya,
Luke memberitahuku tentang pelayan-pelayan yang sekarang sudah berprofesi
sebagai pelacur berkualitas. Kabarnya pelacur-pelacur milik Justin Bieber ini
kesehatannya benar-benar diperiksa dengan baik. Jika mereka telah terjangkit
virus aids, mereka akan ditendang pergi dari bar. Ah, sekarang aku tahu mengapa
pelacur di bar milik Justin begitu cantik dan tampak begitu sehat dengan buah
dada yang benar-benar padat dan kencang, well, yang selalu dipamerkan kepada
lelaki yang kesepian. Dan aku tidak ingin menjadi salah satu di antara mereka.
Aku tidak ingin menjadi seorang pelacur seumur hidupku. Tidak.
“Kaupikir
begitu? Kau pikir aku akan menidurimu? Aku tidak tertarik dengan dadamu yang
kempis dan bokongmu yang rata,” ujarnya mengejekku. Kutelan ludahku. Ini adalah
sebuah hinaan! Sial. Tapi, benarkah apa yang ia bilang? Bokongku rata? Aku
tidak peduli.
“Well,
berarti aku salah,”
“Oh
kau memang salah besar, Ms.Bledel,” ia mengangguk-anggukan kepalanya,
menyandarkan siku-sikunya pada setir mobil dan menopang kepalanya. Sial. Dia
menggodaku atau apa? Terlihat sekali sekarang ia begitu cabul. “Kau harus
diberi hukuman,”
“Siapa
kau?” tanyaku, kali ini benar-benar ketakutan.
“Aku
Justin Bieber,” tentu saja ia Justin Bieber! Tapi, sial. Mengapa rasanya aku
tidak dapat berpikir tiap kali aku menatap matanya? Semuanya berakhir pada
bibirnya. Diam-diam aku menggigit bagian dalam pipiku. “Aku seorang dictator,
ada masalah dengan itu?”
“Tidak,
tapi kau bukan siapa-siapa,”
“Aku
bosmu,”
“Ya,
aku tahu. Tapi kau tidak berhak menghukumku,”
“Oh
yeah, aku jelas memiliki hak atas semua pekerjaku, kau tahu itu,” ujarnya
menegakan tubuhnya, menjauhkan siku-sikunya dari setir mobilnya lalu melajukan
kembali mobilnya. Kali ini, pintu gerbang yang berada di depan mobil kami
terbuka. Mataku melebar. Apa dia bersungguh-sungguh? Malam-malam seperti ini?
Sial. Ada aroma horror yang menghampiriku saat mobil ini benar-benar masuk ke
dalam rumah ini. Taman yang luas menyapaku dengan keindahannya di malam hari.
Lampu-lampu yang bertiang itu menyala, menerangi taman. Aku terdiam, hampir tak
bernafas saat Justin menghentikan mobilnya di depan sebuah parkiran mobil. Tapi
mobil yang ia miliki ternyata banyak sekali. Well, aku yakin kalau ini adalah
rumahnya. Kemudian aku menoleh pada sebuah rumah dengan tiang tembok berwarna
putih di kedua sisinya. Pintu utama terbuka dengan lebar saat Justin dari
mobilnya. Tidak, aku belum keluar. Beberapa detik kemudian, Justin membukakan
pintunya untukku.
“Aku
ingin bekerja,” bisikku, memohon.
“Tidak,
kau tidak. Kau bekerja untukku sekarang,”
“Aku
tidak melamar pekerjaan padamu,”
“Oh
yeah, kau melamar pekerjaan padaku. Sekarang turun,” suruhnya padaku. Aku
menelan ludahku dan mengeluarkan salah satu kakiku lalu memijakannya pada
lantai parkiran Justin. Ia memegang tanganku dengan erat, bahkan seperti ingin
menghancurkan tanganku. Lalu aku benar-benar berdiri.
“Selamat
datang di rumahku sayang.” Bisik Justin tepat di telingaku. Aku terkesiap,
menggeliat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar