Minggu, 04 Agustus 2013

Lust of Love Bab 1


            “Alex,” suara berat itu mengejutkanku saat aku sedang fokus melihat kepada seorang lelaki muda yang begitu tampan sedang dikerubungi oleh banyak gadis. Tapi untunglah aku masih memiliki otak yang bagus untuk berpikir. Aku tidak menginginkan lelaki itu dalam kehidupanku. Kemudian aku membalikan tubuhku untuk melihat siapa yang memanggilku. Luke dengan tatapan mata birunya tersenyum padaku, ia seorang bartender di bar ini. Yeah, pekerjaan yang menurutku dibutuhkan oleh para pengunjung bar. Pelayan. Tidaklah mudah untuk menjadi seorang pelayan. Apalagi dengan pakaianku yang seperti ini. Hanya saja, aku tidak terbiasa dengan pakaian seperti ini. Banyak sekali lelaki berhidung belang yang berkeliaran di sini. Meremas bokong pelacur yang dipersiapkan oleh bar ini. Untunglah aku bukan salah satu di antara mereka. Aku tidak ingin keperawananku terenggut oleh lelaki yang bukan kucintai. Baiklah, kembali lagi aku terlarut dengan pikiranku. Pft, apa yang sedang kubicarakan?
            “Apa?” tanyaku menyandarkan tanganku pada meja bar. Luke berbungkuk, kedua ujung siku-sikunya berciuman dengan meja bar, kepalannya menutup bibirnya yang cukup tipi situ.
            “Kautahu siapa dia?” tanya Luke menatap lelaki yang baru saja kutatapi tadi. Tentu saja tidak. Aku bahkan baru bertemu dengannya hari ini. Kepalaku berbalik dan kembali menatap pada lelaki yang tersenyum manis pada salah satu gadis yang ia rangkul. Oh, lututku benar-benar lemas sekarang. Musik yang berdentum dengan keras di telingaku bahkan tidak dapat membuat kakiku kuat untuk berdiri. Biasanya, bisa. Aku pecinta music.
            “Dia lelaki pemilik bar ini,”
            “Oh?”
            “Yeah, bajingan yang hebat,” gumam Luke yang membuatku berbalik padanya dan terkekeh. Apa yang baru saja ia katakan? Bajingan? Jika ada yang mendengar ucapan itu selain aku, mungkin mereka akan mengadukannyap ada pemilik bar ini. Well, baiklah. Karena aku tidak tahu siapa nama lelaki itu, aku akan memanggilnya mata Harimau. Yeah. Matanya berwarna cokelat-emas seperti kucing namun garang seperti harimau. Tapi matanya lebih mendominasi pada harimau. Garang. Tak sadar, aku menggigit bibirku.
            “Apa kaubilang? Bajingan? Yeah, bajingan yang tampan,”
            “Wow, tunggu dulu Alex. Kau bahkan baru masuk ke bar ini selama dua hari dan kau menyukainya? Apa kau tidak sadar dengan apa yang kaulihat sekarang?” tanya Luke. Aku mengangkat kedua bahuku dan melipat bibirku ke dalam. Menggigit bagian dalam pipiku sehingga bibirku terlihat kembali. Aku tidak tahu. Mungkin. Well, ini hanyalah sebuah pengagumanku pada lelaki itu. Dan seperti yang kubilang dari awal. Untunglah aku memiliki otak yang cukup untuk berpikir jernih. Aku tidak menginginkan lelaki itu.
            “Well, aku tidak tahu. Mungkin. Aku belum tahu siapa dia. Kau bersedia untuk memberitahuku siapa nama lelaki seksi itu?”
            “Sial, Alex. Mengapa kau tampak nakal dengan tatapanmu itu?” tanyanya yang membuatku bingung. Tatapan nakal? Apa yang sebenarnya ia sedang bicarakan? Aku tidak memberikannya tatapan nakal. Dari mana asalnya ia berbicara seperti itu? Katanya ia telah bekerja menjadi bartender di sini selama dua tahun, tapi mengapa ia tidak bisa membedakan yang mana pelacur dan bukan? Aku tidak pernah bermain mata dengan seorang lelaki sebelumnya. Serius. Sudah 22 tahun aku mengarungi kehidupanku dengan baik, namun aku tidak pernah berpacaran atau terlibat dengan masalah cinta sebelumnya. Dan, tatapan nakal? Itu jauh dari pengalaman hidupku.
            “Tatapan apa? Bisakah kau memberitahuku namanya saja? Cepatlah, sudah ada pengunjung baru lagi,” ujarku saat melihat seorang pemuda yang baru saja masuk ke dalam bar. Dia bertubuh tegap dengan jaket kulit hitam yang ia pakai. Rambutnya berwarna cokelat, terpotong dengan rapi. Tapi tidak terlalu pendek. Dan kurasa ia berotot.
            “Cepatlah!” aku memohon.
            “Justin Bieber,” bisiknya dengan suara kecil. Apa? Justine Biebur? Hah? Aku tidak begitu mendengarnya. Berbisik! Mengapa ia berbisik?
            “Katakan yang lebih kencang,” suruhku padanya. Kemudian ia menarik kepalaku, bibirnya tepat berada di telingaku dan berbisik kembali. “Dia Justin Bieber. Kita tidak boleh menyebut namanya kencang-kencang. Dia seorang yang sadis jika –“
            “Apa kau kugaji untuk berpacaran di tempat kerja? Peraturan kelima dalam bar ini bagi para pekerja adalah tidak ada pacaran sesama pekerja. Apa kalian pernah membaca itu sebelumnya?” seorang lelaki bersuara seksi muncul dari belakang. Sontak Luke melepaskan kepalaku, aku menjauh dari Luke dan berdiri dengan tegap. Lalu aku membalikan tubuhku, mataku bertemu dengan mata harimau. Sial. Sial. Sial. Dia tampak begitu seksi. Tangannya meraih tubuhku saat aku tidak dapat menyeimbangkan cara berdiriku. Kutelan ludahku dengan gugup dan menundukan kepala.
            “Aku sungguh minta maaf, aku hanya ingin –“
            “Bertanya-tanya mengapa aku berada di sini?” tanya lelaki yang bernama Justin Bieber ini. Justin Bieber. Justin Bieber. Justin. Mr.Bieber. Ya, kurasa aku bisa memanggilnya dengan panggilan Mr.Bieber. Nama yang bagus. Tangannya tak lepas dari lenganku setelah ia membantuku untuk berdiri tegap. Panas, hangat, entahlah. Sepertinya tanganku akan hangus terbakar.
            “Mmh ..tid-tidak. Hanya –“
            “Penasaran. Tentu saja kau penasaran denganku,” ia berujar dengan penuh rasa percaya diri, namun ia benar juga. “Kau terus menatapku hampir lebih dari lima belas menit. Kautahu, aku memiliki ekor mata yang sangat banyak. Berhati-hatilah. Sekarang, bekerjalah dengan baik atau kau akan kujadikan pelacur,” ujarnya tanpa basa-basi. Pelacur? Oh, tidak. Tidak, tidak, tidak. Kuhantar kakiku tanpa menatapnya terlebih dahulu, tangannya masih memegang tanganku.
            “Hey, tunggu dulu,” ia menahan kakiku dengan ucapannya, lalu tangannya meraih daguku sehingga kepalaku berbalik padanya. Oh, sial! Tatapan itu. Tatapan seksi itu. Entah mengapa perutku sekarang dipenuhi oleh banyak kupu-kupu yang berterbangan di dalam sini. “Aku belum tahu namamu. Siapa namamu?” tanyanya mengelus daguku. Bersusah payah aku mencari suaraku, setelah aku memejamkan mata dan membukanya kembali, akhirnya aku mendapatkannya.
            “Alex. Alexis Bledel,”
            “Ms.Bledel. Nama yang cantik, sama seperti orangnya. Sekarang pergilah,” ujarnya melepaskan daguku. Aku mengangguk dan membawa tubuhku untuk mencari pelanggan. Ekor mataku menatap pada Luke yang tercengang di belakang meja barnya, untunglah mulutnya tidak terbuka. Tampaknya ia sangat tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Terlebih lagi aku! Aku juga tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Maksudku, apa yang baru saja terjadi. Sentuhan tangannya yang dapat menghanguskan tubuhku. Tatapan matanya yang benar-benar memikat dan garang. Sial, aku mengingat mata harimaunya yang seksi.
            Aku berusaha untuk berpikir sejernih mungkin. Tidak mungkin dia adalah pemilik dari bar ini. Dia terlalu muda untuk memiliki bar ini. Entahlah, ia memang terlihat begitu muda sekali. Well, mungkin beberapa tahun di atasku. Tangannya sungguh kekar saat ia memegang tanganku yang dapat kubilang mungil. Lenganku rasanya ingin patah saat ia memegang tangannya. Namun tatapan matanya seakan-akan dapat membuatku lupa akan pegangan tangannya yang erat. Mencoba, mencoba, mencoba. Aku mencoba untuk melupakan tatapannya dan fokus pada pekerjaanku. Sial!

***

            “Brad,” aku memanggil nama sahabatku saat aku membuka pintu apartemenku. Dapat kupastikan ia berada di rumah, mungkin ia sedang mandi karena kau mendengar shower dari ruang tamu. Sudah subuh jam 12 malam, aku baru saja pulang dari bar. Sungguh, melelahkan. Well, tadi saat aku ingin pulang, Mr.Bieber sudah tidak ada lagi. Dia cepat sekali pulang. Aku tidak dapat melihat pemandangan yang indah lagi. Kulempar tas yang kubawa ke atas sofa dan menghempaskan tubuhku di atasnya. Apartemenku tidak begitu besar. Setidaknya apartemenku bertingkat dua. Kamarku dan Brad berada di atas. Di bawah sini hanya terdapat toilet, dapur dan ruang tamu. Yeah, hanya ada dua kamar di sini. Tapi apartemenku sungguh menyenangkan, enak untuk ditempati. Kuraih remote yang berada di atas meja dan menyalakan televisi. Bodohnya, mengapa aku menyalakan televisi dini hiri seperti ini? Maksudku, well, memang ada acara yang bagus. Pastinya …sial. Aku melantur dengan diriku sendiri lagi. Mengapa rasanya susah sekali untuk tidak bertarung di dalam pikiran sendiri?
            “Hey, Alex,” Brad muncul dari belakang. Ia baru saja mandi, di tengah malam. Itu sudah kebiasaan kami berdua mandi di tengah malam. Oh, dan satu hal. Aku dan dirinya tidak pernah berhubungan badan. Kami bertemu sejak umur kami berumur 17 tahun hingga sekarang. Yeah, lima tahun sudah aku dan dirinya melewati hari-hari bersama. Well, tentu saja kami pernah bertengkar. Tapi tiap kali kami bertengkar, pasti Brad yang akan meminta maaf terlebih dahulu meski akulah yang sebenarnya salah. “Baru pulang?”
            “Yeah, sungguh melelahkan,”
            “Jadi, bagaimana? Ada yang berkesan di hari kedua?” tanyanya duduk di bawah lantai. Ia mengambil remote dari tanganku dan mengganti stasiun televisi yang lain. Kuangkat kedua bahuku dan mendesah pelan.
            “Well, yeah. Bisa kubilang begitu. Ternyata pemiliki bar muda sekali,”         
            “Oh yeah?”
            “Ya. Namanya Justin Bieber. Rumornya dia orang yang sadis. Tapi tidak, menurutku. Dan kau tahu apa? Matanya berwarna cokelat emas yang benar-benar seperti harimau. Aku menyukainya. Well, dia juga sudah berbicara denganku,”
            “Apa dia seseksi diriku?” tanya Brad mengangkat singlet berwarna abu-abu yang ia pakai dan memamerkan abs miliknya. Sungguh pamer! Aku terkekeh dan memukul kepalanya dengan pelan.
            “Aku tidak tahu. Tapi saat tangannya memegang tanganku, sungguh tangannya besar sekali,”
            “Oh, jadi kau mengincar dick  sepertinya?” tanya Brad yang membuat memukul lengannya kali ini. Ia tertawa. Sial! Tentu saja tidak. Aku hanya mencari uang untuk menghidupi kehidupanku. Mengisi kebutuhanku. Apalagi malam ini aku juga mendapatkan tips yang banyak sekali dari pengunjung. Kemarin aku mendapatkan tiga puluh delapan dollar. Dan hari ini aku mendapatkan enam puluh! Kau bisa hidup tiap harinya hanya dengan uang tips. Apalagi dengan gaji yang akhir bulan ini akan diberikan? Oh, pastinya akan besar sekali.
            “Aku tidak tahu. Aku tidak menyukai lelaki yang sadis,”
            “Hey, itu baru rumor. Siapa tahu itu tidak benar bukan?” tanya Brad yang menyatakan bahwa dirinya benar. Dan memang dia benar. Siapa tahu apa yang dikatakan Luke tidak begitu benar. Aku juga tidak begitu percaya dengan Luke. Kita bahkan baru bertemu selama dua hari. Aku saja baru tahu namanya dan pekerjaannya sebagai bartender kemarin.
            “Kejarlah dia!” dua kata yang keluar dari mulutnya membuat hatiku bergejolak. Haruskah?
***

*Author POV*

            “Alice!” Lelaki bermata harimau itu berteriak di pagi hari yang cerah. Para pelayan yang berdiri, berjejeran dengan barisan yang rapi menundukan kepalanya. Kemudian salah satu di antara mereka maju satu langkah. Dialah Alice. Wanita yang memakai seragam pelayan di rumah lelaki ini menundukan kepalanya dengan sanggulan rapi yang ia buat untuk membuat sang dictator terpukau. Tapi gagal, untuk yang kesekian kalinya.
            “Mengapa sarapan yang kaubuat ini tampak hambar di lidahku? Apa kau tahu itu mengapa?” bentak sang dictator dengan kasar. Gadis bertubuh seksi yang berada di hadapan lelaki ini terduduk dengan bibir yang berdarah. Sudut bibirnya juga membiru. Ia menundukan kepalanya, tidak berani mengatakan apa-apa. Sedangkan Alice terdiam dalam hening. Tidak berani untuk menjawab ucapan sang dictator. “Makanlah,” ujar Justin, kali ini lebih lembut. Justin menyodorkan semangkuk soufflé yang sudah hancur karena baru saja ia tekan dengan sendok kecil miliknya. Alice mendongak dan maju satu langkah lagi untuk meraih garpu yang berada di sebelah sendok Justin. Ia meraihnya dan mengambil satu sendok soufflé.
            “Bagaimana menurutmu?” tanya Justin, mencoba untuk melihat mata Alice.
            “Ini ..enak, Mr.Bieber,” Mr.Bieber. Justin Bieber. Sang pemilik bar. Lelaki terkenal dengan ketampanannya dan kekayaannya. Gadis-gadis di luar sana yang pernah bertemu dengan Justin tampak bodoh karena mereka tertipu oleh ketampanan dan karisma Justin. Di balik semua itu, semuanya akan terungkap di balik pintu gerbang rumah Justin. Segalanya akan tampak berubah.
            “Menurutmu begitu? Tapi menurutku tidak. Angkat kakimu dan pergilah dari rumah ini. Aku tidak membutuhkan lidah yang aneh sepertimu. Kau pelayan yang kuberi keringanan pagi ini. Untunglah perasaanku pagi ini lebih tenang,” gumam Justin menyuruh pada pelayan itu tanpa berpikir perasaan pelayan yang benar-benar membutuhkan pekerjaan ini. Namun, pelayan itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia mengangkat kakinya dari ruang makan dengan tangisan yang tertahan. Semua pelayan yang berjejer itu tahu, mereka tahu siapa itu Alice. Dia gadis yang pernah dicintai oleh Justin, namun dengan bodohnya ia mengkhianati Justin di saat Justin tak melihatnya. Ia berakhir dengan kesakitan di rumah Justin. Sering kali, Justin memukulnya jika ia membuat salah. Namun Alice bersyukur karena di hari terakhirnya ini, ia tidak mendapatkan pukulan dari Justin. Mungkin karena sanggulan yang ia buat. Sebenarnya tidak.
            Alasan mengapa Justin tampak lebih tenang pagi ini hanya karena seorang gadis yang ia temui kemarin. Justin tidak ingin terburu-buru. Gadis itu tampak menarik. Sungguh cepat jika Justin mengambilnya dari bar dan menjadikannya budak seksnya. Apalagi wajah gadis itu sangat polos. Justin tak sampai hati untuk memukul gadis itu malam itu juga. Alhasil, ia mengambil pelacur yang berkualitas dari bar miliknya. Seksi, tentu saja. Namun sayang, Justin tidak begitu tertarik untuk membuai gadis ini sebaik mungkin. Terlalu banyak dendam yang ia pendam dalam dirinya yang harus disalurkan malam itu juga.
            “Jordy!” Justin berteriak dari dalam ruang makan. Satu lelaki berkulit putih dengan kacamata hitam yang ia pakai dan pakaian formal yang ia pakai muncul begitu saja di hadapan Justin.
            “Siapkan mobil. Aku ada pertemuan dengan para pecundang hari ini, satu hal Jordy,”
            “Ya, Mr.Bieber,”
            “Aku ingin kau mencari tahu Alexis Bledel, gadis yang kutemui tadi malam. Ia bekerja di bar. Cari tahu apa yang menurutmu kubutuhkan selama aku bekerja. Secepatnya.” Suaranya begitu dingin.

****

*Alexis Bledel POV*

            “Kita? Benarkah?” aku tidak percaya saat Brad mengatakan kalau kami akan pergi ke sebuah pesta dansa umum yang diadakan di dekat apartemen kami. Di sebuah gedung yang berada di dekat apartemen kami. Brad telah membeli tiketnya kemarin untuk kami berdua. Tanpa seizinku. Maksudku, aku tidak bisa menari dan ia memang bisa. Setidaknya, ia bertanya padaku terlebih dahulu sebelum ia membeli tiketnya. Mungkin, Brad sudah tahu kalau aku akan menolaknya untuk pergi ke pesta dansa itu.
            “Ya, tentu saja. Kau sudah melihat tiketnya. Kau ingin kita membeli gaunnya?” tanya Brad mengambil segelas susu yang berada di atas meja makan. Kuangkat kedua bahuku. Tidak perlu.
            “Tidak, aku telah,” –kumasukan satu sendok sereal ke dalam mulutku—“aku telah memiliki gaun dari nenekku. Warisan. Well, warnanya hijau muda. Hampir putih,” ujarku sambil menguyah sereal yang kumakan. Brad menganggukan kepalanya dan berjalan menuju kulkas.
            “Well, sebenarnya pesta dansa itu hanya untuk kalangan atas. Harga tiketnya cukup mahal—“
            “Brad, kau tahu aku tidak menyukai pesta-pesta seperti ini. Aku akan mengganti uangmu akhir bulan ini,” ujarku memutar bola mata, “sial,” gumamku. Setelah menunduk dari kulkas untuk mengambil sekotak sereal, ia tersenyum penuh arti padaku.
            “Kau tidak perlu membayarnya. Kita sahabat. Tidak perlu perhitungan. Hanya satu syarat,”
            “Brad, aku tidak menginginkan pesta dansa ini. Kau yang memaksaku untuk mengikutnya,”
            “Aku tidak memaksamu,” aku melotot padanya. Dia tidak memaksaku? Sial!
            “Ya, secara tidak langsung,” ujarku tiba-tiba merasa tidak lapar kembali. Entah mengapa, aku bisa bersahabat dengan lelaki aneh seperti Brad. Well, biar kupikir. Dia memiliki wajah yang tampan, baik hati, dan ia seorang model yang kaya. Bagaimana mungkin aku tidak bisa bersahabat dengannya? Well, sebenarnya bukan karena itu. Brad dan aku telah bersahabat sejak lima tahun yang lalu, ia orang yang sangat baik dan aku mempercayainya. Ia tidak memiliki mulut seperti burung. Ia tidak bergosip. Tentu saja, ia lelaki. Satu lagi, aku telah menganggapnya sebagai kakakku. Well, kakak dari ibu yang lain.
            “Bagaimana bisa kau menyebutnya secara tidak langsung?”
            “Hey, Brad. ‘Aku telah membelikan tiketnya untuk kita berdua. Sangat disayangkan jika kau tidak ikut. Tiket ini kubelikan khusus untukmu’. Secara tidak langsung kau memaksaku untuk ikut ke pesta dansa itu,” jelasku bangkit dari tempat duduk meja makan lalu mengangkat mangkuk serealku. “Dan kau memberikanku satu syarat jika aku ingin ikut pergi ke pesta dansa itu? Persetan, tidak! Aku tidak menginginkannya,” aku menolaknya, kali ini.
            “Baiklah! Baiklah. Tidak ada syarat. Pesta dansa itu akan diadakan dua minggu lagi. Kau harus ingat itu. Aku yang lebih dulu telah mengajakmu,”
            “Yeah, jangan salahkan aku jika aku tidak bisa berdansa,” aku memperingatinya.
            “Kita bisa latihan tiap malam,” setelah kalimat itu terluncur, aku menggelengkan kepalaku. Apa-apaan? Setiap hari Senin sampai Jumat aku memiliki dua pekerjaan yang sama. Di pagi hari, aku menjadi pelayan di sebuah restoran yang ternyata juga milik dari seorang Justin Bieber. Yeah, aku baru menyadarinya setelah tadi malam aku terus memikirkan Justin. Semoga pagi ini Justin tidak ada restoran. Aku hanya bisa memohon. Well, kurasa dia tidak ada. Setelah lima hari aku bekerja di restoran itu, aku tidak pernah bertemu dengan Justin Bieber. Nathan, sang chef, mengatakan padaku kalau Justin memiliki banyak restoran dan bar di Amerika ini. Bahkan ia adalah lelaki terkaya kedua puluh lima di Amerika. Kupikir ia adalah lelaki tua yang hidup bersejarah di Amerika. Ternyata, setelah kemarin daguku dielus oleh jarinya yang cukup kasar itu, dia adalah lelaki tertampan dengan mata harimau terindah yang pernah kutemui. Sungguh, dia lelaki yang sangat kaya. Dan yah, di malam hari aku juga sibuk di dalam bar dengan pekerjaan yang sama. Pelayan. Barmaid. Sial. Sungguh, seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Aku tidak memiliki pilihan yang lain. Meski resiko di malam hari yang harus kuambil cukup besar. Sejauh ini, di bar tidak ada lelaki berhidung belang yang meraba tubuhku. Aku bersyukur. Jika memang ada, aku akan segera keluar dari bar.
            Kesimpulannya adalah aku tidak memiliki waktu untuk latihan selain di hari Sabtu dan Minggu.
            “Tidak, kita tidak bisa latihan setiap hari. Kau juga sibuk, aku tahu,”
            “Sabtu dan Minggu jika begitu,”
            “Baiklah, tapi aku tidak berjanji untuk selalu ada,”
            “Hey, dua minggu lagi. Kau tahu. Kau hanya memiliki waktu empat kali latihan, mengerti?”
            “Akan kuusahakan,” bisikku, memutar bola mata.

***

            Aku mengangkat nampan berwarna cokelat dengan satu botol anggur yang dipesan oleh seorang Justin Bieber, di pagi hari, di dalam sebuah baskom aluminium dengan es di dalamnya dan juga kain berwarna kuning muda yang berada di bawah botol anggur. Dua gelas yang ramping juga sudah berada di sebelah baskom itu dengan gemetaran akibat tanganku yang bergemetar sambil berjalan menuju meja sang pemilik restoran ini. Oh Tuhan, benarkah? Haruskah? Padahal baru satu jam yang lalu aku membicarakannya dalam pikiranku di rumah. Berpikir bahwa ia tidak akan datang ke restoran ini sudah lima hari secara otomatis aku berpikir ia tidak akan datang hari ini juga. Tapi sial! Dia datang. Untuk yang kedua kalinya aku bertemu dengan si mata harimau ini.
            “Mr.Bieber,” aku menganggukan kepalaku dengan sopan. Setelah Nellie memberitahuku kalau ia tidak dapat memberikan pesanan dari seorang Justin, akulah penggantinya. Dan, yah, sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehku. Justin terkejut dengan matanya yang melebar. Namun dengan cepat ia menganggukan kepalanya, berwibawa. Kutaruh dua gelas di atas meja. Seorang wanita berparas cantik dengan riasan wajah yang cukup untuk wajahnya, benar-benar terlihat anggun. Mungkin ia adalah kekasih Justin. Mungkin. Lalu aku menuangkan air anggur ke dalam dua gelas yang baru saja kutaruh hingga terisi setengah gelas. Oh sial. Justin memerhatikanku. Tapi aku mencoba untuk mengabaikannya. Ah, konyol sekali! Tanganku bergetar saat aku menaruh botol anggur ke dalam baskom kembali di atas meja Justin.
            “Butuh bantuan? Ms.Bledel?” tanyanya yang membuatku mendongak padanya, ia tersenyum. Bunuh aku! Bunuh aku! Dia tampak begitu ..tampan sekali. Mungkin kalian bosan karena aku terus mengatakan bahwa ia tampan. Tapi itu memang kebenaran. Ia memang tampan.
            “Tidak, terima kasih Mr.Bieber,”
            “Kau tampak gugup pagi ini. Ada masalah?”
            “Aku hanya tidak ingin mengganggu waktumu bersama dengan kekasihmu,” Kali ini, aku benar-benar serius ingin membunuh diriku sendiri. Mengapa aku terdengar sok tahu tentang Justin? Belum tentu wanita ini benar-benar kekasihnya. Siapa tahu, istrinya? Apa peduliku? Aku peduli dengan pekerjaanku. Bagaimana jika Justin merasa tidak menyukai layananku terhadapnya karena diriku yang sok tahu ini lalu memecatku? Oh Tuhan. Mataku tidak bertemu dengan matanya. Namun aku meliriknya, kali ini. Ia seperti menahan senyumnya, bibirnya menjadi sebuah garis tipis dan melirik pada wanita yang berada di depannya. Lalu ia membuka mulutnya dan menarik nafas.
            “Bagaimana kau tahu kalau ia adalah kekasihku?”
            “Karena dia cantik,” aku mendongak, kembali, memeluk nampan cokelat yang kubawa. Mata harimaunya kembali dengan mataku. Misterius. Garang. Dan panas.
            “Apa kau yakin?”
            “Tidak,”
            “Mengapa?”
            “Setelah kau bertanya padaku, aku kurang yakin ia adalah kekasihmu,” ujarku menjelaskan. Ia menganggukan kepalanya, lalu siku-sikunya bersandar pada mejanya. Menopangkan wajahnya pada tangannya dan jari telunjuknya menelusuri bibirnya yang ingin kucium itu. Tapi tidak! Aku menepis segala pikiranku darinya. Pikiran-pikiran aku akan mendapatkannya! Ah, tidak mungkin. Ia terus menatapku, sedangkan wanita yang berada di hadapannya telah meneguk anggur hingga tandas, habis. “Apa aku boleh pegi dari hadapanmu? Mr.Bieber?” tanyaku menekankan nada dibagian namanya.
            “Ya, tentu saja,” ujarnya. “Satu hal, Ms.Bledel. Dia bukanlah kekasihku,” ia memberitahuku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum semanis mungkin padanya. Kubalikan tubuhku dan melangkah untuk pergi menuju dapur. Tak melihat orang di depanku, aku menabrak pelayan yang lain.
            “Sial!” sumpahku, tersungkur di atas lantai. Sial. Mengapa aku begitu ceroboh? Untunglah aku tidak membawa apa pun di tanganku selain nampan. Dan beruntunglah aku karena pelayan lain yang kutabrak tidak membawa apa pun di tangannya. “Maaf,” gumamku. Lelaki yang kutabrak itu mengulurkan tangannya padaku, refleks aku meraih tangannya.
            “Maaf,” ujarnya.
            “Tidak apa-apa,” bisikku. Kutundukan kepalaku dan melirik ke belakang untuk melihat Justin. Kali ini wajahnya benar-benar dingin melihatku. Entah mengapa, jika aku melihatnya sekarang, ia seperti memiliki dua kepribadian. Kepribadiannya yang santai dan dingin. Mungkin ini hanyalah perasaanku saja. Kugigit bibirku saat matanya bertemu denganku. Tidak! Tatapannya kali ini benar-benar dingin. Namun masih terlihat begitu garang. Hanya saja, tidak panas.
            Bersyukur karena pengunjung di restoran ini tidak ditarik perhatiannya oleh kecerobohan yang kubuat. Setidaknya, aku tidak membuat sesuatu yang memalukan. Kuharap setelah ini Justin tidak memberitahu manajer tentang masalah tadi dan memecatku. Oh, dan mengapa aku selalu berpikir kalau aku akan segera dipecat?

***

            Kulangkahkan kakiku dengan cepat, menerjang angin yang begitu dingin malam ini. Sial. Musim dingin memang menyusahkan sekali. Untung saja aku tidak memiliki penyakit asma. Brad tidak bisa mengantarku ke bar malam ini karena ia memiliki urusan dengan pekerjaannya. Alhasil aku harus berjalan kaki menuju bar. Brad memberitahuku untuk tidak menaiki taksi malam-malam karena supir taksi dapat membawamu kemana saja tanpa kauketahui. Kau bahkan tidak dapat melakukan apa-apa jika kau tidak memiliki persiapan. Sehingga aku harus berjalan kaki malam ini. Sepatu tinggiku benar-benar membuatku susah berjalan. Hari ini tidak hujan, tapi angin malam begitu menyengat sampai pada tulangku. Bodohnya aku tidak memakai jaket dari rumah.
            Berpikir tentang kejadian tadi pagi sungguh membuatku tak berkonsentrasi dalam pekerjaanku. Awalnya Justin menatapku dengan tatapan harimaunya begitu panas, namun setelah aku terjatuh, ia menatapku begitu dingin. Bahkan ia terlihat seperi psikopat yang luar biasa tampan. Wanita yang tadi ia ajak ke restoran tadi memang terlihat begitu cantik. Dapat kupastikan wanita itu menyukai Justin. Karena tiap kali aku melayani pengunjung dan menatapnya saat ia berbicara dengan Justin, pipinya terus memerah dan tertawa-tawa. Entah mungkin ia ingin membuat Justin tertarik dengan tawaannya dan mengajaknya untuk tidur bersama atau apalah. Yang aku tahu sekarang, Justin adalah seorang yang terkenal dengan kekayaannya dan  banyak wanita yang menyukainya. Termasuk aku.Well, aku tidak begitu menginginkannya. Jika memang ada kesempatan, untuk apa kutolak? Bodoh jika kutolak bukan? Mungkin. Mungkin memang bodoh. Peraturan nomor lima, tidak boleh memiliki hubungan asmara dengan sesama pekerja. Well, Justin bukanlah pekerja, jadi tidak apa-apa.
            Oh sial. Mengapa aku terus melantur dalam pikiranku sendiri?
            “Hey!” suara berat terdengar dari jalan raya. Aku menoleh dan melihat mobi berwarna hitam melaju begitu lambat, mengikuti laju jalanku yang memang lambat juga. Kaca mobilnya terbuka, dia Justin. Aku membeku. Kuhentikan langkahanku dan tersenyum padanya. “Naiklah, kau terlihat begitu kedinginan,” ujarnya sambil memberikan kode untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku terdiam, tak percaya. Mobilnya berhenti.
            “Apa? Kau ingin pergi ke bar, bukan? Aku juga,” ujarnya. Namun aku masih terdiam.
            “Aku tidak ingin pelayan yang lain berpikir—“
            “Kau adalah pelacur? Tidak! Naiklah. Jika mereka berpikir begitu, aku akan memecat mereka. Ayo cepat. Atau kau kupecat,” ujarnya lagi, kali ini mengancamku. Tanganku langsung meraih knop pintu mobil dan menariknya hingga pintu mobil terbuka. Hening. Semuanya hening saat aku menaiki mobil sang pemilik bar-ku. Beberapa detik dalam keheningan, akhirnya suara mesin berbunyi saat Justin melajukan mobilnya. Aku menunduk. Tidak pernah berani untuk menatap mata harimau miliknya yang begitu garang. Karena jika aku menatap matanya, aku tidak dapat menahan gigitan pada pipi dalamku. Rasanya, aku ingin sekali mencium bibirnya. Walau aku tahu tidak ada hubungan mata dan bibirnya. Namun jika aku menatap matanya
            “Jadi, tinggal di sebuah apartemen eh?” tanya Justin yang membuatku mendongak, melihat padanya. Ia tidak balik menatapku, ia fokus menatap pada jalanan. Dan ..aku tidak ingin menjawabnya.
            “Bagaimana kautahu?”
            “Tidak, hanya menebak,”
            “Boleh aku bertanya sesuatu?” tanyaku ragu-ragu. Aku takut jika Justin merasa terganggu dengan pertanyaanku. Hanya saja, berhati-hati. Ia menganggukan kepalanya, tanpa bersuara.
            “Apa matamu memang selalu menatap orang dengan dingin?”
            “Apa aku menatap matamu dengan dingin sekarang?” tanyanya, menoleh padaku. Menatap pada mataku. Tidak. Dia tidak menatap mataku dengan dingin. Tapi, tadi pagi ..sial. Maksudku, saat ia menatap wanita yang berada di hadapannya saja ia tidak tersenyum sama sekali, bahkan tatapannya tidak ramah. Padahal wanita itu sudah mencoba untuk terlihat begitu menyenangkan. Tiba-tiba mobil ini berhenti di depan sebuah ..gerbang dari suatu rumah yang besar. Ah, sial! Sekarang aku tahu benar mengapa Brad memberitahuku untuk tidak menaiki taksi pada malam hari. Brad benar-benar mengenalku dengan baik. Ia tahu aku tidak pernah memperhatikan jalanan jika menaiki sebuah mobil karena aku selalu menunduk. Sungguh, sekarang ketakutan menghampiriku.
            “Kupikir kita akan pergi ke bar milikmu,” bisikku, menunduk.
            “Tidak setelah kau bertanya tentang mataku,”
            “Tapi aku tahu yang ada di pikiranmu tadi adalah membawaku ke sebuah tempat untuk tidur denganku,” bisikku, mendongak kembali. Matanya melebar dan sepertinya ia menahan tawanya. Maksudku, bisa saja itu memang terjadi. Aku adalah pelayannya, Luke memberitahuku tentang pelayan-pelayan yang sekarang sudah berprofesi sebagai pelacur berkualitas. Kabarnya pelacur-pelacur milik Justin Bieber ini kesehatannya benar-benar diperiksa dengan baik. Jika mereka telah terjangkit virus aids, mereka akan ditendang pergi dari bar. Ah, sekarang aku tahu mengapa pelacur di bar milik Justin begitu cantik dan tampak begitu sehat dengan buah dada yang benar-benar padat dan kencang, well, yang selalu dipamerkan kepada lelaki yang kesepian. Dan aku tidak ingin menjadi salah satu di antara mereka. Aku tidak ingin menjadi seorang pelacur seumur hidupku. Tidak.
            “Kaupikir begitu? Kau pikir aku akan menidurimu? Aku tidak tertarik dengan dadamu yang kempis dan bokongmu yang rata,” ujarnya mengejekku. Kutelan ludahku. Ini adalah sebuah hinaan! Sial. Tapi, benarkah apa yang ia bilang? Bokongku rata? Aku tidak peduli.
            “Well, berarti aku salah,”
            “Oh kau memang salah besar, Ms.Bledel,” ia mengangguk-anggukan kepalanya, menyandarkan siku-sikunya pada setir mobil dan menopang kepalanya. Sial. Dia menggodaku atau apa? Terlihat sekali sekarang ia begitu cabul. “Kau harus diberi hukuman,”
            “Siapa kau?” tanyaku, kali ini benar-benar ketakutan.
            “Aku Justin Bieber,” tentu saja ia Justin Bieber! Tapi, sial. Mengapa rasanya aku tidak dapat berpikir tiap kali aku menatap matanya? Semuanya berakhir pada bibirnya. Diam-diam aku menggigit bagian dalam pipiku. “Aku seorang dictator, ada masalah dengan itu?”
            “Tidak, tapi kau bukan siapa-siapa,”
            “Aku bosmu,”
            “Ya, aku tahu. Tapi kau tidak berhak menghukumku,”
            “Oh yeah, aku jelas memiliki hak atas semua pekerjaku, kau tahu itu,” ujarnya menegakan tubuhnya, menjauhkan siku-sikunya dari setir mobilnya lalu melajukan kembali mobilnya. Kali ini, pintu gerbang yang berada di depan mobil kami terbuka. Mataku melebar. Apa dia bersungguh-sungguh? Malam-malam seperti ini? Sial. Ada aroma horror yang menghampiriku saat mobil ini benar-benar masuk ke dalam rumah ini. Taman yang luas menyapaku dengan keindahannya di malam hari. Lampu-lampu yang bertiang itu menyala, menerangi taman. Aku terdiam, hampir tak bernafas saat Justin menghentikan mobilnya di depan sebuah parkiran mobil. Tapi mobil yang ia miliki ternyata banyak sekali. Well, aku yakin kalau ini adalah rumahnya. Kemudian aku menoleh pada sebuah rumah dengan tiang tembok berwarna putih di kedua sisinya. Pintu utama terbuka dengan lebar saat Justin dari mobilnya. Tidak, aku belum keluar. Beberapa detik kemudian, Justin membukakan pintunya untukku.
            “Aku ingin bekerja,” bisikku, memohon.
            “Tidak, kau tidak. Kau bekerja untukku sekarang,”
            “Aku tidak melamar pekerjaan padamu,”
            “Oh yeah, kau melamar pekerjaan padaku. Sekarang turun,” suruhnya padaku. Aku menelan ludahku dan mengeluarkan salah satu kakiku lalu memijakannya pada lantai parkiran Justin. Ia memegang tanganku dengan erat, bahkan seperti ingin menghancurkan tanganku. Lalu aku benar-benar berdiri.

            “Selamat datang di rumahku sayang.” Bisik Justin tepat di telingaku. Aku terkesiap, menggeliat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar