CHAPTER SEVEN
Taylor terdiam sejenak untuk
menyaring kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Justin. Apa pria itu
berpikir sebelum berbicara? Sepengalaman Taylor, pria ini tidak pernah berpikir
sebelum berbicara. Ia hanya mengatakan apa yang ada di pikirannya tanpa
memikirkan apakah ia perlu mengatakan hal itu atau tidak. Justin menatap Taylor
dalam-dalam dan memberikan senyum yang tak menyentuh matanya. Tidak sampai satu
menit, Justin menarik tangannya dari paha Taylor lalu terkekeh pelan.
Tentu saja Justin tidak serius
dengan perkataannya. Ia hanya menguji Taylor apakah Taylor masih tertarik
padanya atau tidak. Meski ia memang merindukan gaya permainan Taylor di atas
ranjang, tetapi ia sadar betul bahwa masih ada Emma yang menunggunya di
apartemen nanti. Taylor memalingkan kepalanya dari Justin dan mengabaikan apa
yang baru saja Justin lakukan padanya. Melihat Christopher ceria sore ini
membuat ia menahan diri untuk tidak bertengkar dengan Justin di depan
Christopher lagi. Ia tidak ingin menjadi contoh buruk bagi anaknya. Selama mata
Taylor masih memerhatikan Christopher bermain dengan Justin, Christopher akan
baik-baik saja.
Di sebelahnya, Justin mengembus
nafas panjang. Pria itu menyerah dan kembali mengantongi kotak itu ke dalam
celana. Keduanya menatapi Christopher yang berjongkok ketika seekor burung
mendarat di depannya. Burung itu tampak telah mengenal Christopher. Dengan
remah-remah roti yang masih ada di kantongnya, Christopher menaburnya di depan
burung itu. Seulas senyum bahagia terlihat di wajah Justin. Mata Justin melihat
ke langit-langit atas, sudah sore dan sebentar lagi matahari akan terbenam.
Sepertinya mereka harus pergi makan malam bersama di sebuah restoran.
Justin menghadap wajah pada
Taylor lalu berdeham. “Hey, kau mau makan sesuatu?” Tanya Justin. Taylor
menoleh lalu ia mengedik bahu. “Aku bertanya pada orang yang salah,” gerutu
Justin bangkit dari kursinya. Melihat tingkah Justin yang sama membuat Taylor
tertawa dalam hati. Pria ini masih bisa menghiburnya. Ah, ini salah satu alasan
mengapa Taylor masih belum bisa membuka hatinya bagi pria lain. Justin
menghampiri Christopher sehingga burung yang sedang bersama Christopher terbang
kabur begitu saja.
Dari kursi taman, Taylor
memerhatikan keduanya. Christopher tampak tak senang atas kedatangan Justin
karena telah membuat burung itu kabur. Telapak tangan Justin yang besar itu
meraup salah satu bahu Christopher lalu berucap dengan tatapan seorang Ayah.
Taylor tak sanggup melihatnya, ia menengadahkan kepala untuk menghindari
pemandangan itu. Terlalu berlebihan untuk Taylor tampung dalam hatinya. Ketika ia
meluruskan kepalanya, ia melihat Justin telah menggendong Christopher.
Taylor berdiri dari tempatnya dan
menghampiri Justin, berniat untuk mengambil Christopher dari gendongan Justin.
“Biar aku yang menggendongnya,”
“Ssh,” desis Justin dengan kedua
alis yang menyatu. “Ia sedang tidak ingin diganggu. Ayo kita cari makanan agar
ia tidak marah lagi,” ucap Justin terlihat kesal karena Christopher tampaknya
marah karena burung itu pergi. Taylor tak mengatakan apa-apa dan hanya
mengikuti apa yang Justin katakan. Biarkanlah hari ini menjadi hari terakhir
Justin bertemu dengan Christopher, maksudnya, pertemuan terakhir dalam rangka
‘membuat Emma terkesan karena Justin ternyata seorang pria yang menyayangi
anaknya’.
Mereka berjalan keluar dari taman
kota. Entah apa Justin sadar atau tidak sadar, tetapi ia meraih tangan Taylor,
menggenggamnya seolah-olah Taylor masih miliknya.
***
Christopher terus bertanya-tanya
tentang Emma karena ia masih penasaran dengan wanita yang memberikannya
robot-robotan itu (yang ditinggalkannya di rumah). Taylor, seperti biasanya,
hanya memerhatikan mereka berdua yang berbicara tanpa henti. Dan yah,
sepertinya Taylor membutuhkan headset agar ia tak mendengar cerita
Justin tentang Emma. Mendengar nama itu membuat Taylor mual, entah mengapa.
Mungkin karena Taylor masih tak percaya mengapa Justin akan menikahi wanita
itu, meski Taylor tidak tahu seperti apa wajah kekasihnya itu.
Justin menoleh melihat Taylor.
Wanita itu tidak menatap padanya, tetapi pada Christopher yang terus mengoceh.
Sebagai pria yang normal dan baru berpisah selama 3 tahun dari wanita ini,
Justin masih ingin bisa merasakan tubuh Taylor. Tidak dapat Justin pungkiri,
wanita ini masih memiliki tubuh yang sama seperti saat mereka bertemu. Justin
perlu mendapat tamparan keras agar ia sadar bahwa Taylor bukan miliknya lagi
dan mereka tidak akan bisa melebur bersama di atas ranjang dengan desahan atau
erangan yang biasa mereka lakukan tiap malam ketika merasa masih menikah. Tanpa
Justin sadari, ia menggigit bibir bawahnya. Otaknya yang sangat mesum itu harus
ia singkirkan sebelum ia memutuskan untuk kembali pada Taylor.
Suasana restoran makanan cepat
saji itu sangat ramai. Para pengunjung saling berbicara, sesekali Taylor
melihat ke sekeliling untuk memastikan segalanya baik-baik saja. Ponsel Taylor
tiba-tiba bergetar dalam tas selempang yang Taylor bawa. Tangannya dengan
lincah membuka retsleting tasnya dan mengambil ponselnya. Sebuah pesan dari
Java muncul di layar ponselnya. Taylor mengerang dalam hati, ia melihat ke arah
Justin dan Christopher lalu membalas pesan Java. Ini tentang kasus pembunuhan
yang sedang ia tangani. Rebecca menahan salah seorang rekan kerja dari keluarga
Featherston di kantor polisi. Tetapi ia tidak bisa datang ke kantor polisi
untuk menyaksikan pengakuan tersangka ini. Sial!
Justin memerhatikan gerak-gerik
Taylor yang tampak gelisah. Apa yang terjadi? Kedua alisnya menyatu dan tidak
mendengar apa yang Christopher katakan. Taylor menarik retsletingnya hingga
tasnya benar-benar tertutup.
“Ya, Christopher, benar sekali,”
ucap Justin tanpa mengetahui apa yang Christopher bicarakan. Ia memalingkan
wajahnya pada Taylor. “Apa semuanya baik-baik saja?”
“Tentu,” ujar Taylor cepat.
Tetapi Justin pernah menikah dan tinggal bersama dengan Taylor. Ia tahu Taylor
lebih baik dari semua orang di dunia ini. Ia tahu Taylor sedang menangani
sebuah kasus berat. Dulu, sebelum mereka bercerai, Taylor selalu meminta
pelukan dari Justin bila kasus yang ia tangani begitu berat. Taylor membutuhkan
dukungan dari Justin saat itu sehingga Justin membisikan kata-kata manis di
telinga Taylor. Mengatakan bahwa Taylor bisa melakukan semuanya dengan baik dan
tidak akan mengecewakan siapa pun. Ajaibnya, Taylor memang bisa memenangkan
kasusnya. Mungkin hanya beberapa kasus yang tak dapat Taylor menangkan karena
semuanya ada di tangan juri.
“Tidak, kau tidak baik-baik
saja,” ucap Justin serius. “Ada apa Taylor? Beritahu aku,” ucap Justin memaksa.
Taylor menatap Justin tajam, apa yang diinginkan Justin?
“Ini bukan urusanmu, Almonde,” ketus
Taylor. Christopher tidak memerhatikan keduanya, ia sedang memainkan hadiah
mainan dari restoran makanan cepat saji ini. Justin hanya mengangguk, tidak
mengatakan apa-apa. Ia tahu kapan harus beraksi di depan Taylor, hanya saja
bukan di restoran ini. Christopher mendongak melihat Ibunya lalu tersenyum. Ah,
Ibunya sangat cantik dan Christopher sangat menyayanginya. Apakah paman Justin
menyukai Ibunya? Christopher tidak tahu. Dengan manja, Christopher menyandar di
atas paha Taylor.
“Uh, lihatlah siapa yang
bersandar di paha empuk itu. Aku juga ingin bersandar di atas paha itu. Well,
jika tidak bisa mendapatkan yang di bawahnya, aku bersedia bersandar di
atasnya,” ujar Justin menggoda Taylor namun matanya melihat Christopher yang
hanya membalas Justin dengan senyum malu-malu. Taylor membuka kembali tasnya
dan mengeluarkan ponselnya. “Dari siapa itu?”
Taylor melirik Justin. “Oh,
tunggu, apa? Apa kau Ayahku sekarang? Bukan urusanmu, Justin. Sekali lagi,
bukan urusanmu,” ucap Taylor kembali fokus pada ponselnya.
“Apakah itu Java?” Tanya Justin
dengan nada tak suka. Apakah Justin memang tidak pernah menyukai Java
sekalipun? Mengapa Justin tampaknya membenci pria itu hingga mendarah-daging?
Taylor hanya mengabaikan pertanyaan Justin. Baginya, Justin bukan siapa pun
lagi. Tiba-tiba saja Justin merampas ponsel itu dari tangan Taylor. Tetapi
Taylor tahu bahwa mereka sedang berada di dalam restoran yang penuh dengan
manusia. Jadi ia memutuskan merampasnya kembali tanpa menampar Justin.
Tangannya gatal sekali ingin menampar pipi itu. Kalau perlu, hingga wajah
tampan itu rusak begitu saja.
Justin memelototi Taylor. Ia baru
saja membaca pesan dari Java. Pria itu masih memiliki keberanian meminta Taylor
untuk segera pulang karena Java sekarang sudah ada di rumahnya. Sejak kapan
Java tinggal di rumah mereka? Ini sudah keterlaluan! Jantung Justin berdegup
kencang dan entah mengapa ia begitu kesal. Atau lebih tepatnya cemburu. Taylor
menatap tajam Justin setelah ia membalas pesan dari Java kemudian mengalihkan
pandangannya pada Christopher yang sudah bangkit dari pahanya.
“Sejak kapan kalian tinggal
bersama?” Tanya Justin dengan tatapan menyelidik. Taylor tertawa mengejek.
Justin membuat raut wajah bingung. Mengapa Taylor menertawainya? Apakah
pertanyaan itu sangat lucu bagi seorang Taylor yang kadang tertawa? Tetapi
kemudian wajah Taylor kembali datar.
“Aku tidak tinggal bersama
dengannya, bodoh. Aku menitipkan kunci rumahku karena ..kau tahu apa? Itu bukan
urusanmu, Justin. Hari ini kita hanya menghabis waktu bersama agar kau lebih
mengenal Christopher dan kau bisa kembali dengan kekasihmu dengan damai,” ujar
Taylor memberikan senyum paksa yang tipis. Christopher meminum susunya sampai
habis lalu bersandar di kursi, kekenyangan.
“Uh, Mommy, aku rasa aku tidak
bisa berjalan lagi,” manja Christopher bersandar dan memeluk lengan Ibunya.
Justin tidak memerhatikan Christopher, matanya menatapi Taylor bagaikan elang.
Apa masalah Justin? Tiba-tiba pria itu berdiri dari tempat duduk.
“Kita pulang.” perintahnya.
Taylor berdiri bersama Christopher yang berdiri di atas kursi, meminta untuk
digendong. Baru saja Taylor ingin menggendong anaknya, tetapi Justin segera
menyingkirkan wanita itu dan menggendong Christopher. “Biar aku yang
menggendongnya,”
“Terserah,” gumam Taylor berjalan
meninggalkan Justin. Perasaan Justin tak karuan. Justin merasa kesal tiap kali
ia tahu bahwa Taylor masih berhubungan dengan Java. Justin tidak akan apa-apa
bila Taylor berpacaran dengan pria lain asalkan pria itu bukan Java. Pria itu
jahat dan tidak akan cocok bagi Taylor. Justin lebih mengetahui Java dibanding
Taylor mengetahui pria bajingan itu.
Tetapi malam itu, Justin memilih
untuk memendamnya dalam hati.
***
Di dalam mobil Justin, mereka
tidak mengatakan apa-apa. Mereka tidak akan sampai ke rumah karena Justin hanya
terus berputar-putar di jalan yang sama. Apa masalah Justin? Taylor sudah tak
tahan. Dan sudah larut malam, Java sudah menghubungi Taylor berkali-kali tetapi
Justin dengan brengseknya mengambil ponsel itu dari tangan Taylor dan menyimpannya
dalam kantong celanya. Justin tampak begitu marah, sepertinya.
Dan tidak ada yang dapat Taylor
lakukan selain diam, duduk di belakang. Tentu ia tidak ingin berakhir
kecelakaan bersama dengan anaknya hanya karena bertengkar saat Justin sedang mengemudi.
Taylor menatap keluar jendela dan mengembus nafas panjang, berusaha untuk
menenangkan diri.
“Kau sangat suka rute jalan ini,
Justin,” ucap Taylor sarkastik. Justin tertawa sebentar, tetapi tawa mencemooh,
beberapa detik kemudian ia diam.
“Aku sangat menyukai rute jalan
ini karena aku ingin memadamkan amarahku,” ucap Justin berhati-hati.
Christopher sudah terlelap di atas jok depan, di sebelah Justin. Sehingga
pertengkaran terintens pun takkan didengar oleh anak kecil itu.
“Apa masalahmu?” Tanya Taylor
masih menatap keluar jendela.
“Aku tidak suka masih berhubungan
dengan Java. Maksudku, kau boleh berkencan atau berpacaran dengan siapa pun,
kecuali Java. Kau tidak tahu dia,” ucap Justin terdengar konyol di telinga
Taylor. Apa maksudnya? Taylor tidak tahu Java? Mereka bersahabat selama 10
tahun dan Taylor tidak tahu tentang Java? Sungguh, sepertinya Justin memiliki
gangguan mental.
“Seolah-olah kau mengenalnya, eh?
Kau membuatku khawatir denganmu Justin, sepertinya kau memiliki gangguan
mental,” ucap Taylor menolehkan kepalanya pada Justin. Oh, cukup mengejutkan.
Ia tahu sekarang Justin sangat marah karena wajah pria itu sangat merah.
Sungguh, Taylor sangat penasaran apa yang membuat Justin begitu kesal pada
Java. Apa karena Java lebih tua dan lebih tinggi darinya? Atau karena ukuran
penis mereka sama? Atau ..jangan-jangan Justin selama ini cemburu pada Taylor
karena Java menyukai Taylor? Well, kemungkinan ketiga sepertinya yang paling
meyakinkan.
“Aku hanya akan mengabaikanmu,”
ucap Justin menelan ludah. Mobilnya kini mengambil rute yang benar menuju rumah
Taylor. Atau bisa dikatakan rumah mereka. Tangan Justin berkeringat, ingin
meninju sesuatu.
“Hey, kau tidak apa-apa?” Tanya
Taylor memerhatikan Justin yang mengelap bibirnya. Dan Taylor terus mengutuki
dirinya karena ia tidak dapat menahan mulutnya agar ia tidak perhatian terhadap
Justin. Dan ya, yang Taylor dapatkan hanyalah keheningan. Pria itu memang
mengabaikan Taylor. Oh, pria ini memang sangat konyol. Jika berpikir dengan
logika, Justin seharusnya tidak memiliki masalah apa pun dengan kehidupan
Taylor. Mereka telah berpisah. Itu saja. Tidak ada yang perlu Justin repotkan
mengenai Taylor. Dan sepertinya, Justin belum mengerti perpisahan yang
sebenarnya.
Tanpa terasa, mobil Justin telah berhenti
di depan rumah Taylor. Pria itu mematikan mesin mobil lalu keluar dari mobil
cepat-cepat. Oh, apa yang membuatnya tergesa-gesa? Ah, ya, benar sekali. Emma
yang menunggu di hotel mereka. Tentu saja! Sekarang sudah pukul 9 malam dan
Justin harus segera pulang dan bercumbu dengan Emma. Taylor turun dari mobil
namun ia sudah mendapati Christopher berada dalam gendongan Justin.
Justin menekan tombol untuk
mengunci pintu-pintu mobil. Ia mengambil langkah besar menaiki dua anak tangga
sekaligus. Dan ia tahu, pintu rumah itu tidak terkunci karena ada Java di
dalamnya. Pria bajingan itu, pikir Justin. Ia mendorong pintu itu tanpa
mengetuk atau menekan bel terlebih dahulu. Di dalamnya, Java sudah berdiri
dengan sigap dari kursi ruang tamu.
“Keluar dari rumahku,” perintah
Justin. Java menipiskan bibirnya, ingin tertawa namun ia menahannya. Dari
belakang, Taylor muncul lalu melewati Justin. “Usir dia dari rumah, Taylor,”
lanjut Justin tak dapat menahan emosinya. Well, ia pria yang ekspresif dan
Taylor sangat mengerti itu. Taylor hanya mengikuti apa yang Justin katakan, ia
membisiki telinga Java. Dan dalam hitungan detik, Java berjalan menuju pintu
rumah Taylor.
“Kurasa kau lupa, tapi kau sudah
berpisah dengan Taylor,” ucap Java memeringatkan Justin. Sebelum Justin
membalas ucapan Java, pria itu sudah menutup pintu rumah Taylor.
“Kau harus menjaga jarak darinya,
Taylor, aku peringatkan kau,” ujar Justin serius dengan apa yang ia katakan.
Namun wanita itu tidak mengatakan apa pun. Ia hanya diam di tempatnya dan
membiarkan Justin mengurus Christopher. Apa ia tahu dimana kamar Christopher?
Itu bukan urusan Taylor.
“Dimana kamar Christopher?” Tanya
Justin, namun Taylor tak menjwabnya. Ia ingin melemaskan kedua kakinya di ruang
dan beristirahat sebentar. Seharian ini ia terlalu banyak pikiran dan terlalu
lama berjalan. Terutama ia berjalan-jalan bersama dengan Justin, tekanannya
lebih berat lagi. Jadi, Taylor melangkah menuju sofa lalu duduk menyandar,
melepaskan segala kelelahannya.
“Terima kasih atas bantuannya,”
gumam Justin memutar bola matanya. Ia berjalan menuju lantai dua. Sial!
Ponselnya sudah bergetar dalam kantongnya, kemungkinan besar Emma sudah pulang
kembali ke hotel. Christopher memeluk leher Justin dan mencari sandaran kepala
yang enak.
Ah, Justin cukup merindukan rumah
ini. Ia sudah meninggalkannya selama tiga tahun dan tentu saja ada beberapa
perabotan yang sudah menghilang dan digantikan dengan yang baru. Cukup menarik.
Ternyata Taylor tidak membuang lukisan yang Justin beli, yang mereka pajang di
sepanjang lorong. Dan Justin tahu, Taylor tipe orang yang mencintai keindahan.
Ia mencari kamar Christopher dan ia tahu, satu-satunya kamar yang akan menjadi
kamar Christopher adalah kamar yang jauh dari suasana keributan jalanan. Atau
mungkin itu hanya karena Justin melihat nama Christopher yang terpajang di
salah satu kamar paling ujung lorong. Ia membuka pintu kamar Christopher dan
masuk ke dalam.
Justin terperangah. Sangat rapi
dan harumnya khas anak-anak. Jadi, seperti inikah kamar anak mereka? Mainan
yang dulu sering Justin mainkan dengan Taylor ada di sini. Ottello, Clue,
catur, Jungle dan permainan lainnya sudah tak dapat Justin ketahui. Tetapi
Justin selalu menghindar dari permainan Clue karena ia tahu, Taylor akan selalu
menang. Bagaimana tidak? Taylor adalah seorang pengacara kasus pemerkosaan dan
pembunuhan! Ia tentu tahu bagaimana bermain permainan detektif seperti ini.
Justin memalingkan pandangannya dari tumpukan mainan itu dan melangkah menuju
tempat tidur Christopher. Selimutnya bergambar Superman. Pahlawan kesukaan
Justin sejak Justin masih kecil. Namun Justin tak ingin berlama-lama di rumah
ini karena Emma sudah menunggunya di hotel.
Ia membaringkan Christopher ke
atas tempat tidur. Karena selimutnya ditindih tubuh Christopher, Justin tak
punya pilihan lain selain mengambil kedua sisi yang tidak ditindih Christopher
lalu ia menutup tubuh Christopher seperti pasta. Lalu ia berjalan cepat-cepat
meninggalkan Christopher sebelum anak itu terbangun.
Saat Justin tiba di lantai bawah,
ia menemukan Taylor tertidur di atas sofa. Wajahnya terlihat sangat lelah.
Terkadang Justin bingung dengan Taylor. Mengapa ia tidak suka berjalan-jalan
selama wanita umum lainnya? Biasanya wanita lain akan menghabiskan waktu selama
mungkin di luar bahkan sampai larut malam dan masih belum lelah ketika sampai
di rumah. Justin menghampiri Taylor dan berdiri di depannya.
“Hey, kau ingin kuantar ke atas
kamar?” Tanya Justin berusaha membangunkan Taylor. Namun tampaknya wanita itu
tidak mendengarnya. Taylor hanya menepuk-nepuk sofa di sebelahnya namun matanya
masih terpejam. “Kau ingin aku tidur di sebelahmu sebentar?”
“Mhmm,” gumam Taylor tak jelas.
Taylor mengatakan sesuatu, tetapi Justin tidak mengerti apa yang wanita itu
katakan. “Gendong aku ke kamar!” Perintahnya tiba-tiba dengan suara besar.
Justin terperanjat dengan suara Taylor, namun ia menuruti apa yang Taylor
katakan. Ia menggendong Taylor di belakang punggungnya dan mengambil tas yang
Taylor bawa itu kemudian ia menggantungkannya di lehernya.
Oh ya ampun, andai Taylor tidak
setinggi ini, tentu Taylor tidak akan seberat ini. Tetapi setidaknya Taylor
tidak seberat Mrs. Judith.
“Kau tahu apa? Kurasa kau harus
makan salad untuk makan malam,” saran Justin berjalan menaiki tangga. Taylor
seolah-olah sudah pingsan dan tak dapat dibangunkan. Memang seminggu ini Justin
sudah merepotkannya dan wanita ini perlu istirahat. Justin masih ingat dimana
kamar mereka dulu dan Justin berharap suasana kamarnya masih tetap sama seperti
yang dulu.
Dan memang benar. Ketika Justin
membuka pintu kamar mereka dulu, suasananya masih sama. Bahkan sprei yang
Taylor gunakan masih sama dengan sprei saat Justin meninggalkan Taylor. Justin
menggeleng kepalanya. Ia harus cepat-cepat meninggalkan Taylor dan bertemu
Emma. Kau tahu apa yang menakutkan? Ketika wanita yang sudah menghubungi
berkali-kali tiba-tiba saja tidak menghubungimu lagi. Itu berarti ia sudah
marah tingkat ‘aku akan memaafkanmu jika kau membelikanku 1 batang emas’. Ia
membaringkan Taylor di atas tempat tidur lalu menyelimuti wanita itu. Ia
menaruh tas kecil Taylor di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya.
Wajahnya terlihat terang karena cahaya dari luar jendela.
“Aku pulang,” ucap Justin namun
belum beranjak dari tempatnya. Ia masih memerhatikan wajah Taylor. Tiba-tiba
Taylor mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali.
“Uh, apa? Ya, tentu saja. Terima
kasih sudah mengantar kami pulang,” ucap Taylor tersenyum. Kali ini wanita itu memang
tersenyum. Mengapa tidak dari kemarin saja Taylor bersikap normal seperti
ini? Jika sikapnya seperti ini sejak kemarin, maka semuanya akan berjalan
baik-baik saja. Justin duduk di sisi tempat tidur lama mereka lalu memegang
tangan Taylor. Ia menarik tangan itu lalu mengecup punggung tangannya.
“Jika kau bersikap normal seperti
ini sejak kemarin, aku pasti tidak akan serepot itu,” ucap Justin
mengelus tangannya. “Dan kau memang masih cantik, Taylor,” lanjut Justin
serius. Taylor tidak mengatakan apa-apa selain tersenyum dan menarik tangannya
dari genggaman Justin. Ia tidak ingin dari genggaman ini akan membuatnya
menaruh harapan pada Justin. Tidak, ia tidak ingin kembali dengan Justin.
Terutama karena Justin telah memiliki kekasih.
“Kau boleh pulang,” ucap Taylor.
Justin terdiam sejenak, matanya memerhatikan ke sekeliling kamar lama mereka
lalu kembali menatap Taylor. Ini membuat Justin sangat merindukan pernikahan
mereka dulu. Terutama ketika keadaan remang-remang seperti ini.
“Kau membuatku merindukanmu,
Taylor.” bisik Justin menggeleng kepalanya tak habis pikir. Taylor menepuk
punggung Justin, mengusirnya secara halus. Namun balasan Justin adalah tarikan
kepala yang cepat dan bibir mereka yang sekarang menyatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar