Minggu, 05 Oktober 2014

Doomed Bab 7








CHAPTER SEVEN

Taylor terdiam sejenak untuk menyaring kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Justin. Apa pria itu berpikir sebelum berbicara? Sepengalaman Taylor, pria ini tidak pernah berpikir sebelum berbicara. Ia hanya mengatakan apa yang ada di pikirannya tanpa memikirkan apakah ia perlu mengatakan hal itu atau tidak. Justin menatap Taylor dalam-dalam dan memberikan senyum yang tak menyentuh matanya. Tidak sampai satu menit, Justin menarik tangannya dari paha Taylor lalu terkekeh pelan.
Tentu saja Justin tidak serius dengan perkataannya. Ia hanya menguji Taylor apakah Taylor masih tertarik padanya atau tidak. Meski ia memang merindukan gaya permainan Taylor di atas ranjang, tetapi ia sadar betul bahwa masih ada Emma yang menunggunya di apartemen nanti. Taylor memalingkan kepalanya dari Justin dan mengabaikan apa yang baru saja Justin lakukan padanya. Melihat Christopher ceria sore ini membuat ia menahan diri untuk tidak bertengkar dengan Justin di depan Christopher lagi. Ia tidak ingin menjadi contoh buruk bagi anaknya. Selama mata Taylor masih memerhatikan Christopher bermain dengan Justin, Christopher akan baik-baik saja.
Di sebelahnya, Justin mengembus nafas panjang. Pria itu menyerah dan kembali mengantongi kotak itu ke dalam celana. Keduanya menatapi Christopher yang berjongkok ketika seekor burung mendarat di depannya. Burung itu tampak telah mengenal Christopher. Dengan remah-remah roti yang masih ada di kantongnya, Christopher menaburnya di depan burung itu. Seulas senyum bahagia terlihat di wajah Justin. Mata Justin melihat ke langit-langit atas, sudah sore dan sebentar lagi matahari akan terbenam. Sepertinya mereka harus pergi makan malam bersama di sebuah restoran.
Justin menghadap wajah pada Taylor lalu berdeham. “Hey, kau mau makan sesuatu?” Tanya Justin. Taylor menoleh lalu ia mengedik bahu. “Aku bertanya pada orang yang salah,” gerutu Justin bangkit dari kursinya. Melihat tingkah Justin yang sama membuat Taylor tertawa dalam hati. Pria ini masih bisa menghiburnya. Ah, ini salah satu alasan mengapa Taylor masih belum bisa membuka hatinya bagi pria lain. Justin menghampiri Christopher sehingga burung yang sedang bersama Christopher terbang kabur begitu saja.
Dari kursi taman, Taylor memerhatikan keduanya. Christopher tampak tak senang atas kedatangan Justin karena telah membuat burung itu kabur. Telapak tangan Justin yang besar itu meraup salah satu bahu Christopher lalu berucap dengan tatapan seorang Ayah. Taylor tak sanggup melihatnya, ia menengadahkan kepala untuk menghindari pemandangan itu. Terlalu berlebihan untuk Taylor tampung dalam hatinya. Ketika ia meluruskan kepalanya, ia melihat Justin telah menggendong Christopher.
Taylor berdiri dari tempatnya dan menghampiri Justin, berniat untuk mengambil Christopher dari gendongan Justin. “Biar aku yang menggendongnya,”
“Ssh,” desis Justin dengan kedua alis yang menyatu. “Ia sedang tidak ingin diganggu. Ayo kita cari makanan agar ia tidak marah lagi,” ucap Justin terlihat kesal karena Christopher tampaknya marah karena burung itu pergi. Taylor tak mengatakan apa-apa dan hanya mengikuti apa yang Justin katakan. Biarkanlah hari ini menjadi hari terakhir Justin bertemu dengan Christopher, maksudnya, pertemuan terakhir dalam rangka ‘membuat Emma terkesan karena Justin ternyata seorang pria yang menyayangi anaknya’.
Mereka berjalan keluar dari taman kota. Entah apa Justin sadar atau tidak sadar, tetapi ia meraih tangan Taylor, menggenggamnya seolah-olah Taylor masih miliknya.

***

Christopher terus bertanya-tanya tentang Emma karena ia masih penasaran dengan wanita yang memberikannya robot-robotan itu (yang ditinggalkannya di rumah). Taylor, seperti biasanya, hanya memerhatikan mereka berdua yang berbicara tanpa henti. Dan yah, sepertinya Taylor membutuhkan headset agar ia tak mendengar cerita Justin tentang Emma. Mendengar nama itu membuat Taylor mual, entah mengapa. Mungkin karena Taylor masih tak percaya mengapa Justin akan menikahi wanita itu, meski Taylor tidak tahu seperti apa wajah kekasihnya itu.
Justin menoleh melihat Taylor. Wanita itu tidak menatap padanya, tetapi pada Christopher yang terus mengoceh. Sebagai pria yang normal dan baru berpisah selama 3 tahun dari wanita ini, Justin masih ingin bisa merasakan tubuh Taylor. Tidak dapat Justin pungkiri, wanita ini masih memiliki tubuh yang sama seperti saat mereka bertemu. Justin perlu mendapat tamparan keras agar ia sadar bahwa Taylor bukan miliknya lagi dan mereka tidak akan bisa melebur bersama di atas ranjang dengan desahan atau erangan yang biasa mereka lakukan tiap malam ketika merasa masih menikah. Tanpa Justin sadari, ia menggigit bibir bawahnya. Otaknya yang sangat mesum itu harus ia singkirkan sebelum ia memutuskan untuk kembali pada Taylor.
Suasana restoran makanan cepat saji itu sangat ramai. Para pengunjung saling berbicara, sesekali Taylor melihat ke sekeliling untuk memastikan segalanya baik-baik saja. Ponsel Taylor tiba-tiba bergetar dalam tas selempang yang Taylor bawa. Tangannya dengan lincah membuka retsleting tasnya dan mengambil ponselnya. Sebuah pesan dari Java muncul di layar ponselnya. Taylor mengerang dalam hati, ia melihat ke arah Justin dan Christopher lalu membalas pesan Java. Ini tentang kasus pembunuhan yang sedang ia tangani. Rebecca menahan salah seorang rekan kerja dari keluarga Featherston di kantor polisi. Tetapi ia tidak bisa datang ke kantor polisi untuk menyaksikan pengakuan tersangka ini. Sial!
Justin memerhatikan gerak-gerik Taylor yang tampak gelisah. Apa yang terjadi? Kedua alisnya menyatu dan tidak mendengar apa yang Christopher katakan. Taylor menarik retsletingnya hingga tasnya benar-benar tertutup.
“Ya, Christopher, benar sekali,” ucap Justin tanpa mengetahui apa yang Christopher bicarakan. Ia memalingkan wajahnya pada Taylor. “Apa semuanya baik-baik saja?”
“Tentu,” ujar Taylor cepat. Tetapi Justin pernah menikah dan tinggal bersama dengan Taylor. Ia tahu Taylor lebih baik dari semua orang di dunia ini. Ia tahu Taylor sedang menangani sebuah kasus berat. Dulu, sebelum mereka bercerai, Taylor selalu meminta pelukan dari Justin bila kasus yang ia tangani begitu berat. Taylor membutuhkan dukungan dari Justin saat itu sehingga Justin membisikan kata-kata manis di telinga Taylor. Mengatakan bahwa Taylor bisa melakukan semuanya dengan baik dan tidak akan mengecewakan siapa pun. Ajaibnya, Taylor memang bisa memenangkan kasusnya. Mungkin hanya beberapa kasus yang tak dapat Taylor menangkan karena semuanya ada di tangan juri.
“Tidak, kau tidak baik-baik saja,” ucap Justin serius. “Ada apa Taylor? Beritahu aku,” ucap Justin memaksa. Taylor menatap Justin tajam, apa yang diinginkan Justin?
“Ini bukan urusanmu, Almonde,” ketus Taylor. Christopher tidak memerhatikan keduanya, ia sedang memainkan hadiah mainan dari restoran makanan cepat saji ini. Justin hanya mengangguk, tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu kapan harus beraksi di depan Taylor, hanya saja bukan di restoran ini. Christopher mendongak melihat Ibunya lalu tersenyum. Ah, Ibunya sangat cantik dan Christopher sangat menyayanginya. Apakah paman Justin menyukai Ibunya? Christopher tidak tahu. Dengan manja, Christopher menyandar di atas paha Taylor.
“Uh, lihatlah siapa yang bersandar di paha empuk itu. Aku juga ingin bersandar di atas paha itu. Well, jika tidak bisa mendapatkan yang di bawahnya, aku bersedia bersandar di atasnya,” ujar Justin menggoda Taylor namun matanya melihat Christopher yang hanya membalas Justin dengan senyum malu-malu. Taylor membuka kembali tasnya dan mengeluarkan ponselnya. “Dari siapa itu?”
Taylor melirik Justin. “Oh, tunggu, apa? Apa kau Ayahku sekarang? Bukan urusanmu, Justin. Sekali lagi, bukan urusanmu,” ucap Taylor kembali fokus pada ponselnya.
“Apakah itu Java?” Tanya Justin dengan nada tak suka. Apakah Justin memang tidak pernah menyukai Java sekalipun? Mengapa Justin tampaknya membenci pria itu hingga mendarah-daging? Taylor hanya mengabaikan pertanyaan Justin. Baginya, Justin bukan siapa pun lagi. Tiba-tiba saja Justin merampas ponsel itu dari tangan Taylor. Tetapi Taylor tahu bahwa mereka sedang berada di dalam restoran yang penuh dengan manusia. Jadi ia memutuskan merampasnya kembali tanpa menampar Justin. Tangannya gatal sekali ingin menampar pipi itu. Kalau perlu, hingga wajah tampan itu rusak begitu saja.
Justin memelototi Taylor. Ia baru saja membaca pesan dari Java. Pria itu masih memiliki keberanian meminta Taylor untuk segera pulang karena Java sekarang sudah ada di rumahnya. Sejak kapan Java tinggal di rumah mereka? Ini sudah keterlaluan! Jantung Justin berdegup kencang dan entah mengapa ia begitu kesal. Atau lebih tepatnya cemburu. Taylor menatap tajam Justin setelah ia membalas pesan dari Java kemudian mengalihkan pandangannya pada Christopher yang sudah bangkit dari pahanya.
“Sejak kapan kalian tinggal bersama?” Tanya Justin dengan tatapan menyelidik. Taylor tertawa mengejek. Justin membuat raut wajah bingung. Mengapa Taylor menertawainya? Apakah pertanyaan itu sangat lucu bagi seorang Taylor yang kadang tertawa? Tetapi kemudian wajah Taylor kembali datar.
“Aku tidak tinggal bersama dengannya, bodoh. Aku menitipkan kunci rumahku karena ..kau tahu apa? Itu bukan urusanmu, Justin. Hari ini kita hanya menghabis waktu bersama agar kau lebih mengenal Christopher dan kau bisa kembali dengan kekasihmu dengan damai,” ujar Taylor memberikan senyum paksa yang tipis. Christopher meminum susunya sampai habis lalu bersandar di kursi, kekenyangan.
“Uh, Mommy, aku rasa aku tidak bisa berjalan lagi,” manja Christopher bersandar dan memeluk lengan Ibunya. Justin tidak memerhatikan Christopher, matanya menatapi Taylor bagaikan elang. Apa masalah Justin? Tiba-tiba pria itu berdiri dari tempat duduk.
“Kita pulang.” perintahnya. Taylor berdiri bersama Christopher yang berdiri di atas kursi, meminta untuk digendong. Baru saja Taylor ingin menggendong anaknya, tetapi Justin segera menyingkirkan wanita itu dan menggendong Christopher. “Biar aku yang menggendongnya,”
“Terserah,” gumam Taylor berjalan meninggalkan Justin. Perasaan Justin tak karuan. Justin merasa kesal tiap kali ia tahu bahwa Taylor masih berhubungan dengan Java. Justin tidak akan apa-apa bila Taylor berpacaran dengan pria lain asalkan pria itu bukan Java. Pria itu jahat dan tidak akan cocok bagi Taylor. Justin lebih mengetahui Java dibanding Taylor mengetahui pria bajingan itu.
Tetapi malam itu, Justin memilih untuk memendamnya dalam hati.

***

Di dalam mobil Justin, mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tidak akan sampai ke rumah karena Justin hanya terus berputar-putar di jalan yang sama. Apa masalah Justin? Taylor sudah tak tahan. Dan sudah larut malam, Java sudah menghubungi Taylor berkali-kali tetapi Justin dengan brengseknya mengambil ponsel itu dari tangan Taylor dan menyimpannya dalam kantong celanya. Justin tampak begitu marah, sepertinya.
Dan tidak ada yang dapat Taylor lakukan selain diam, duduk di belakang. Tentu ia tidak ingin berakhir kecelakaan bersama dengan anaknya hanya karena bertengkar saat Justin sedang mengemudi. Taylor menatap keluar jendela dan mengembus nafas panjang, berusaha untuk menenangkan diri.
“Kau sangat suka rute jalan ini, Justin,” ucap Taylor sarkastik. Justin tertawa sebentar, tetapi tawa mencemooh, beberapa detik kemudian ia diam.
“Aku sangat menyukai rute jalan ini karena aku ingin memadamkan amarahku,” ucap Justin berhati-hati. Christopher sudah terlelap di atas jok depan, di sebelah Justin. Sehingga pertengkaran terintens pun takkan didengar oleh anak kecil itu.
“Apa masalahmu?” Tanya Taylor masih menatap keluar jendela.
“Aku tidak suka masih berhubungan dengan Java. Maksudku, kau boleh berkencan atau berpacaran dengan siapa pun, kecuali Java. Kau tidak tahu dia,” ucap Justin terdengar konyol di telinga Taylor. Apa maksudnya? Taylor tidak tahu Java? Mereka bersahabat selama 10 tahun dan Taylor tidak tahu tentang Java? Sungguh, sepertinya Justin memiliki gangguan mental.
“Seolah-olah kau mengenalnya, eh? Kau membuatku khawatir denganmu Justin, sepertinya kau memiliki gangguan mental,” ucap Taylor menolehkan kepalanya pada Justin. Oh, cukup mengejutkan. Ia tahu sekarang Justin sangat marah karena wajah pria itu sangat merah. Sungguh, Taylor sangat penasaran apa yang membuat Justin begitu kesal pada Java. Apa karena Java lebih tua dan lebih tinggi darinya? Atau karena ukuran penis mereka sama? Atau ..jangan-jangan Justin selama ini cemburu pada Taylor karena Java menyukai Taylor? Well, kemungkinan ketiga sepertinya yang paling meyakinkan.
“Aku hanya akan mengabaikanmu,” ucap Justin menelan ludah. Mobilnya kini mengambil rute yang benar menuju rumah Taylor. Atau bisa dikatakan rumah mereka. Tangan Justin berkeringat, ingin meninju sesuatu.
“Hey, kau tidak apa-apa?” Tanya Taylor memerhatikan Justin yang mengelap bibirnya. Dan Taylor terus mengutuki dirinya karena ia tidak dapat menahan mulutnya agar ia tidak perhatian terhadap Justin. Dan ya, yang Taylor dapatkan hanyalah keheningan. Pria itu memang mengabaikan Taylor. Oh, pria ini memang sangat konyol. Jika berpikir dengan logika, Justin seharusnya tidak memiliki masalah apa pun dengan kehidupan Taylor. Mereka telah berpisah. Itu saja. Tidak ada yang perlu Justin repotkan mengenai Taylor. Dan sepertinya, Justin belum mengerti perpisahan yang sebenarnya.
Tanpa terasa, mobil Justin telah berhenti di depan rumah Taylor. Pria itu mematikan mesin mobil lalu keluar dari mobil cepat-cepat. Oh, apa yang membuatnya tergesa-gesa? Ah, ya, benar sekali. Emma yang menunggu di hotel mereka. Tentu saja! Sekarang sudah pukul 9 malam dan Justin harus segera pulang dan bercumbu dengan Emma. Taylor turun dari mobil namun ia sudah mendapati Christopher berada dalam gendongan Justin.
Justin menekan tombol untuk mengunci pintu-pintu mobil. Ia mengambil langkah besar menaiki dua anak tangga sekaligus. Dan ia tahu, pintu rumah itu tidak terkunci karena ada Java di dalamnya. Pria bajingan itu, pikir Justin. Ia mendorong pintu itu tanpa mengetuk atau menekan bel terlebih dahulu. Di dalamnya, Java sudah berdiri dengan sigap dari kursi ruang tamu.
“Keluar dari rumahku,” perintah Justin. Java menipiskan bibirnya, ingin tertawa namun ia menahannya. Dari belakang, Taylor muncul lalu melewati Justin. “Usir dia dari rumah, Taylor,” lanjut Justin tak dapat menahan emosinya. Well, ia pria yang ekspresif dan Taylor sangat mengerti itu. Taylor hanya mengikuti apa yang Justin katakan, ia membisiki telinga Java. Dan dalam hitungan detik, Java berjalan menuju pintu rumah Taylor.
“Kurasa kau lupa, tapi kau sudah berpisah dengan Taylor,” ucap Java memeringatkan Justin. Sebelum Justin membalas ucapan Java, pria itu sudah menutup pintu rumah Taylor.
“Kau harus menjaga jarak darinya, Taylor, aku peringatkan kau,” ujar Justin serius dengan apa yang ia katakan. Namun wanita itu tidak mengatakan apa pun. Ia hanya diam di tempatnya dan membiarkan Justin mengurus Christopher. Apa ia tahu dimana kamar Christopher? Itu bukan urusan Taylor.
“Dimana kamar Christopher?” Tanya Justin, namun Taylor tak menjwabnya. Ia ingin melemaskan kedua kakinya di ruang dan beristirahat sebentar. Seharian ini ia terlalu banyak pikiran dan terlalu lama berjalan. Terutama ia berjalan-jalan bersama dengan Justin, tekanannya lebih berat lagi. Jadi, Taylor melangkah menuju sofa lalu duduk menyandar, melepaskan segala kelelahannya.
“Terima kasih atas bantuannya,” gumam Justin memutar bola matanya. Ia berjalan menuju lantai dua. Sial! Ponselnya sudah bergetar dalam kantongnya, kemungkinan besar Emma sudah pulang kembali ke hotel. Christopher memeluk leher Justin dan mencari sandaran kepala yang enak.
Ah, Justin cukup merindukan rumah ini. Ia sudah meninggalkannya selama tiga tahun dan tentu saja ada beberapa perabotan yang sudah menghilang dan digantikan dengan yang baru. Cukup menarik. Ternyata Taylor tidak membuang lukisan yang Justin beli, yang mereka pajang di sepanjang lorong. Dan Justin tahu, Taylor tipe orang yang mencintai keindahan. Ia mencari kamar Christopher dan ia tahu, satu-satunya kamar yang akan menjadi kamar Christopher adalah kamar yang jauh dari suasana keributan jalanan. Atau mungkin itu hanya karena Justin melihat nama Christopher yang terpajang di salah satu kamar paling ujung lorong. Ia membuka pintu kamar Christopher dan masuk ke dalam.
Justin terperangah. Sangat rapi dan harumnya khas anak-anak. Jadi, seperti inikah kamar anak mereka? Mainan yang dulu sering Justin mainkan dengan Taylor ada di sini. Ottello, Clue, catur, Jungle dan permainan lainnya sudah tak dapat Justin ketahui. Tetapi Justin selalu menghindar dari permainan Clue karena ia tahu, Taylor akan selalu menang. Bagaimana tidak? Taylor adalah seorang pengacara kasus pemerkosaan dan pembunuhan! Ia tentu tahu bagaimana bermain permainan detektif seperti ini. Justin memalingkan pandangannya dari tumpukan mainan itu dan melangkah menuju tempat tidur Christopher. Selimutnya bergambar Superman. Pahlawan kesukaan Justin sejak Justin masih kecil. Namun Justin tak ingin berlama-lama di rumah ini karena Emma sudah menunggunya di hotel.
Ia membaringkan Christopher ke atas tempat tidur. Karena selimutnya ditindih tubuh Christopher, Justin tak punya pilihan lain selain mengambil kedua sisi yang tidak ditindih Christopher lalu ia menutup tubuh Christopher seperti pasta. Lalu ia berjalan cepat-cepat meninggalkan Christopher sebelum anak itu terbangun.
Saat Justin tiba di lantai bawah, ia menemukan Taylor tertidur di atas sofa. Wajahnya terlihat sangat lelah. Terkadang Justin bingung dengan Taylor. Mengapa ia tidak suka berjalan-jalan selama wanita umum lainnya? Biasanya wanita lain akan menghabiskan waktu selama mungkin di luar bahkan sampai larut malam dan masih belum lelah ketika sampai di rumah. Justin menghampiri Taylor dan berdiri di depannya.
“Hey, kau ingin kuantar ke atas kamar?” Tanya Justin berusaha membangunkan Taylor. Namun tampaknya wanita itu tidak mendengarnya. Taylor hanya menepuk-nepuk sofa di sebelahnya namun matanya masih terpejam. “Kau ingin aku tidur di sebelahmu sebentar?”
“Mhmm,” gumam Taylor tak jelas. Taylor mengatakan sesuatu, tetapi Justin tidak mengerti apa yang wanita itu katakan. “Gendong aku ke kamar!” Perintahnya tiba-tiba dengan suara besar. Justin terperanjat dengan suara Taylor, namun ia menuruti apa yang Taylor katakan. Ia menggendong Taylor di belakang punggungnya dan mengambil tas yang Taylor bawa itu kemudian ia menggantungkannya di lehernya.
Oh ya ampun, andai Taylor tidak setinggi ini, tentu Taylor tidak akan seberat ini. Tetapi setidaknya Taylor tidak seberat Mrs. Judith.
“Kau tahu apa? Kurasa kau harus makan salad untuk makan malam,” saran Justin berjalan menaiki tangga. Taylor seolah-olah sudah pingsan dan tak dapat dibangunkan. Memang seminggu ini Justin sudah merepotkannya dan wanita ini perlu istirahat. Justin masih ingat dimana kamar mereka dulu dan Justin berharap suasana kamarnya masih tetap sama seperti yang dulu.
Dan memang benar. Ketika Justin membuka pintu kamar mereka dulu, suasananya masih sama. Bahkan sprei yang Taylor gunakan masih sama dengan sprei saat Justin meninggalkan Taylor. Justin menggeleng kepalanya. Ia harus cepat-cepat meninggalkan Taylor dan bertemu Emma. Kau tahu apa yang menakutkan? Ketika wanita yang sudah menghubungi berkali-kali tiba-tiba saja tidak menghubungimu lagi. Itu berarti ia sudah marah tingkat ‘aku akan memaafkanmu jika kau membelikanku 1 batang emas’. Ia membaringkan Taylor di atas tempat tidur lalu menyelimuti wanita itu. Ia menaruh tas kecil Taylor di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Wajahnya terlihat terang karena cahaya dari luar jendela.
“Aku pulang,” ucap Justin namun belum beranjak dari tempatnya. Ia masih memerhatikan wajah Taylor. Tiba-tiba Taylor mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali.
“Uh, apa? Ya, tentu saja. Terima kasih sudah mengantar kami pulang,” ucap Taylor tersenyum. Kali ini wanita itu memang tersenyum. Mengapa tidak dari kemarin saja Taylor bersikap normal seperti ini? Jika sikapnya seperti ini sejak kemarin, maka semuanya akan berjalan baik-baik saja. Justin duduk di sisi tempat tidur lama mereka lalu memegang tangan Taylor. Ia menarik tangan itu lalu mengecup punggung tangannya.
“Jika kau bersikap normal seperti ini sejak kemarin, aku pasti tidak akan serepot itu,” ucap Justin mengelus tangannya. “Dan kau memang masih cantik, Taylor,” lanjut Justin serius. Taylor tidak mengatakan apa-apa selain tersenyum dan menarik tangannya dari genggaman Justin. Ia tidak ingin dari genggaman ini akan membuatnya menaruh harapan pada Justin. Tidak, ia tidak ingin kembali dengan Justin. Terutama karena Justin telah memiliki kekasih.
“Kau boleh pulang,” ucap Taylor. Justin terdiam sejenak, matanya memerhatikan ke sekeliling kamar lama mereka lalu kembali menatap Taylor. Ini membuat Justin sangat merindukan pernikahan mereka dulu. Terutama ketika keadaan remang-remang seperti ini.
“Kau membuatku merindukanmu, Taylor.” bisik Justin menggeleng kepalanya tak habis pikir. Taylor menepuk punggung Justin, mengusirnya secara halus. Namun balasan Justin adalah tarikan kepala yang cepat dan bibir mereka yang sekarang menyatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar