CHAPTER SIX
Christopher memindahkan kepingan
Ottello yang berwarna hitam dan membalikkan kepingan putih milik Java.
Christopher menggigit bibir bawahnya sambil menatap licik pada paman Java.
Christopher sudah sering bermain Ottello bersama ibunya, maka dari itu
Christopher sudah hebat dalam bermain Ottello. Sayangnya, Jumat malam itu,
Christopher tak ingin bermain dengan ibunya dan menjadikan paman Java sebagai
lawannya. Sejak hari Kamis, ia sudah membuat perjanjian, ia tidak akan
berbicara dengan ibunya jika ibunya tetap tidak mengizinkan Christopher bertemu
dengan paman Justin. Bagaimana mungkin Christopher mau berbicara dengan Taylor?
Christopher sudah berjanji pada paman Justin kalau ia akan bermain dengan paman
Justin hari Sabtu besok.
Java ikut menggigit bibirnya dan
menatap Christopher seolah-olah mereka sedang mengincar satu sama lain. Java
menganggukkan kepalanya pada Christopher, tanda sekarang adalah gilirannya.
Christopher menempatkan jari telunjuknya di bawah dagunya dan sambil
mengerucutkan bibirnya, ia mengubah kepingan putih menjadi kepingan berwarna
hitam. Lalu ia memberikan senyum puas pada Java.
“Giliranmu, paman Java,” ucap
Christopher. Kepala mereka berdua menoleh ke arah pintu ketika pintu kamar
Christopher terbuka tiba-tiba. Kepala Taylor tiba-tiba muncul dari balik pintu
dan matanya langsung menatap Christopher. Java melirik Christopher dari ekor
matanya, ia menahan tawa ketika melihat ekspresi Christopher yang tampaknya tak
suka melihat ibunya datang ke kamar saat mereka sedang bermain.
“Hey, kalian,” ucap Taylor
melangkah masuk ke dalam kamar Christopher. Di kedua tangannya sudah terdapat
segelas susu dan setoples kue cokelat. Makanan kesukaan Christopher. Well,
Christopher memang menyukai semua makanan kecuali makanan pedas. “Lihat apa
yang Mommy bawakan untuk paman Java,”
“Kue!” Seru Java seperti anak
kecil dan memang ia berniat membuat Christopher cemburu padanya. Java bangkit
dari atas tempat tidur lalu mengambil toples berisi kue cokelat itu dari tangan
Taylor. Christopher berusaha terlihat biasa-biasa saja dengan apa yang dibawa
oleh ibunya. Tetapi sesungguhnya, Christopher sangat menginginkan kue cokelat
yang dicelup ke dalam susu vanila itu! Oh, ya ampun, paman Java sudah memakan
kue cokelatnya. Christopher menelan ludahnya namun ia memalingkan kepalanya
dari pemandangan yang akan membuatnya menyerah begitu saja pada ibunya.
“Oh ayolah, paman Java. Sekarang
giliranmu,” sungut Christopher menarik-narik tangan Java yang sedang duduk di
pinggiran tempat tidurnya. Tetapi Java sedang sibuk-sibuknya memakan kue
cokelat bersama dengan Taylor, jadi ia mengabaikan Christopher begitu saja.
Taylor mengambil sekeping kue cokelat dan mencelupkanny ke dalam susu vanila
lalu memakannya begitu saja. Christopher memerhatikan keduanya, terutama pada
kue dan susu itu. Sungguh, ia sangat tergiur. Anak itu menjadi jengkel dengan
ulah ibu dan paman Java. Mengapa mereka membuat ekpresi wajah seperti itu?
“Taylor, serius, kue ini sangat
lezat!” Seru Java mengembus nafas panjang, wajahnya kelihatan begitu menikmati
kue itu.
“Betul, bukan? Well, sebenarnya
ini kue kesukaan Christopher. Tetapi karena ia sedang membuat aksi mogok bicara
denganku makanya aku memberikannya untukmu,” ucap Taylor melirik Christopher
yang sekarang mengerucutkan bibirnya. Air mata Christopher berkumpul begitu
saja di pelupuk matanya. Mengapa ibunya melakukan ini padanya? Christopher juga
ingin kue itu! Dan mengapa ibunya lebih menyayangi paman Java dibanding
Christopher? Ini tidak boleh terjadi! Paman Java tak boleh mengambil ibunya
dari tangan Christopher! Tiba-tiba saja Christopher berdiri di atas tempat
tidurnya lalu ia mendorong paman Java agar pergi dari atas tempat tidurnya.
Segera anak itu memeluk Taylor
(dan hampir saja membuat susu dalam gelas itu tumpah). Taylor memberi gelas itu
pada Java lalu membalas pelukan Christopher. Anak itu sudah menangis sampai air
matanya tertumpah menetes di baju Taylor. Tangan Christopher yang kecil memeluk
leher Taylor dan menyembunyikan wajahnya di balik leher Taylor.
“Oh sayang, kau tidak perlu
menangis seperti ini,” ucap Taylor lembut. Ia memberikan bisikan-bisikan lembut
pada anaknya sambil mengelus kepala Christopher. Anak itu masih menangis dalam
pelukannya dan merasa bersalah karena telah memusuhi ibunya sendiri.
Christopher tidak akan bertemu dengan paman Justin jika itu yang diinginkan
ibunya.
“Aku tidak akan bertemu dengan
paman Justin,” ujar Christopher masih terisak. “Aku tidak akan bertemu dengan
paman Justin, Mommy,” ujar Christopher lagi. Taylor mengedipkan mata sebelahnya
pada Java, tanda mereka berhasil telah membuat hati Christopher luluh. Meski
cara mereka begitu kotor, tetapi tetap saja, jika itu berhubungan dengan Justin
yang ingin bertemu dengan Christopher, Taylor akan melakukan apa saja. Cukup
sudah pria itu berbicara dengan Christopher dua hari yang lalu.
Setelah beberapa saat menangis,
akhirnya tangisan itu terhenti. Christopher menarik diri dari pelukan ibunya
dan menatap ibunya. Taylor tersenyum lembut, ia menghapus air mata Christopher
dan mengelap matanya dengan ibu jarinya. Sungguh sangat menyedihkan melihat
anaknya menangis sambil bulu matanya yang lentik itu basah. Taylor mengecup bibir Christopher dan
mengelus kepala anaknya.
“Kau tidak mau bertemu dengan
paman Justin? Mengapa?” Tanya Taylor berpura-pura heran. Christopher dengan
bibir basah yang mengerucut berbicara dengan suara pelan.
“Aku tidak mau Mommy lebih
menyayangi paman Java. Jadi, aku memenuhi permintaan Mommy supaya Mommy lebih
menyayangiku dibanding paman Java,” ucap Christopher cemberut dan bibirnya
menipis. Bibir Taylor ikut menipis lalu ia kembali memeluk anaknya.
“Oh, sayang, Mommy tidak akan
menyayangi orang lain selain kau,” ujar Taylor menarik tubuh Christopher lalu
ia mengambil gelas susu itu dari tangan Java. Sedari tadi Java memerhatikan
adegan itu sambil memakan kue cokelat Christopher sampai hanya tersisa setengah
toples. “Java!” Tegur Taylor tak habis pikir. Tetapi Java hanya terkekeh pelan
dan menyodorkan toples itu pada Christopher.
“Ini punyamu. Maaf aku sudah
menghabiskannya setengah,” ucap Java benar-benar menyesal. Christopher merampas
toples itu dengan kasar dan memeluknya seolah-olah itu adalah mainan
kesayangannya. Tetapi Christopher tak mengatakan apa-apa, ia justru mengambil
sekeping kue cokelat dan mencelupkannya ke dalam susu yang dipegang oleh
ibunya. Java bangkit dari tempat tidur Christopher lalu berbisik sesuatu di
telinga Taylor.
Taylor hanya mengangguk fokus. Ia
kemudian duduk di sebelah Christopher, matanya menatap tangan Christopher yang
memegang kue itu. Wajah Taylor terlihat terkejut mendengar bisikan Java.
Benarkah Taylor telah melakukan sesuatu yang fatal? Java keluar dari kamar
Christopher dengan raut wajah tak senang. Apa masalah Java?
***
Justin mengerang keras. Sungguh,
hari ini ia sangat sial! Mengapa Emma tidak memberitahunya sejak dua hari yang
lalu kalau Emma ingin bertemu dengan sahabatnya di Atlanta sebelum bertemu
dengan Christopher? Justin tentu tidak bisa melarang Emma pergi bersama
sahabatnya. Mereka baru mengenal satu sama lain selama 5 hari dan seharusnya,
Sabtu ini, mereka menghabiskan waktu bersama dengan Christopher. Dan sialnya,
Emma ingin Justin bertemu dengan Christopher meski Emma tak ikut bersama-sama
dengan Justin. Bukankah hari Sabtu ini adalah hari tersialnya?
Emma sudah siap dengan pakaian
ketat yang ia pakai. Gaun putih bercorak garis tak teratur yang ketat di atas
lutut telah terpasang di tubuhnya dan paha putihnya terlihat begitu
menggiurkan. Justin dan Emma tentu saja sudah bersetubuh sejak Kamis malam
kemarin. Dan begitu juga tadi malam ketika mereka telah sampai di Atlanta.
Well, meski permainan Emma tak sebagus Taylor, tetap saja Justin tertarik
padanya dan harus mendapatkan Emma sampai ke pelaminan. Justin masih dengan
boxer hitam hitam yang ia pakai dan setengah berbaring lesu di atas tempat tidur.
Ia memerhatikan Emma yang berjalan ke sana kemari mengenakan sepatu tumit
tinggi sehingga langkahnya terus terdengar.
Jam sudah menunjukkan pukul 1
siang. Berarti sekarang ia sudah harus bersiap-siap ke rumah Taylor. Justin
akan bertemu dengan macan betina itu. Dan Justin berharap, Java tidak ada di
rumah lamanya. Semoga saja Taylor tidak mempersulit keadaan seperti beberapa
hari yang lalu. Dan semoga wanita itu kerasukan malaikat sehingga Justin tidak
akan sulit mengajak Christopher bersama-sama tanpa adanya Taylor. Meski
harapan-harapan itu sangat mustahil terkabulkan, tetapi Justin akan berusaha
membuat hati Taylor luluh.
Berlari dari pikirannya, Emma
sudah selesai mendandani dirinya. Wanita itu mendekati Justin lalu membungkuk
untuk mengecup bibir Justin, tangan kanannya mengelus pipi Justin. “Jaga
Chrisotpher baik-baik, oke? Oh, jangan lupa beri dia hadiah yang kubelikan
untuknya. Tetapi jangan semuanya, kita masih memiliki hari Minggu untuk bertemu
dengannya. Oke?”
“Ya,” ucap Justin mendesah pelan.
“Mengapa kau harus pergi di saat-saat ini? Bukankah aku yang lebih dulu
memintamu untuk pergi di hari Sabtu?”
Emma memasang wajah menyesalnya.
“Aku tahu, Justin. Aku minta maaf, tetapi aku sudah berjanji pada Joanne akan
bertemu dengannya hari ini. Sebagai gantinya, aku akan pulang cepat agar kita
bisa mandi bersama. Oke?” Tanya Emma mengecup bibir Justin satu kali lagi.
Justin hanya bisa mengangguk pasrah dan menjatuhkan seluruh punggungnya ke atas
tempat tidur. Emma berjalan meninggalkan Justin, suara langkah kakinya semakin
jauh.
“Hati-hati, Emma!” Teriak Justin
dari dalam kamar. Yah, kamar hotel itu sangat besar sehingga Justin harus
mengeraskan suaranya. Emma meneriakkan sesuatu, tetapi Justin tidak begitu
mendengarnya. Justin mengembus nafas cepat. Lalu, apa selanjutnya? Justin
menepuk keningnya dan berguling ke samping. Haruskah ia bertemu dengan
Christopher? Anak itu sangat cerewet, berbeda dengan ibunya yang pendiam.
Justin mengerang keras, lagi. Ia bangkit dari tempat tidur untuk segera mengganti
pakaiannya. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala Justin. Ia tersenyum licik.
“Ah, Almonde! Kau sangat cerdas!”
Seru Justin kegirangan.
***
Taylor sedang sibuk-sibuknya
memasak makan siang untuk Christopher. Yah, kebiasaannya setiap hari Sabtu
sebelum mereka pergi jalan-jalan ke taman. Sementara Christopher sedang
memasang puzzle di ruang tamu. Ibunya memberikan puzzle 100 keping dan
Christopher menyukainya, meski susah. Tetapi untungnya, paman Java datang
sebagai penyelamat Christopher. Sudah 1/4 puzzle terpasang sesuai dengan gambar
di sampul kotaknya. Sebuah gambar dua boneka beruang yang saling memperebutkan
hati. Meski tadi malam Christopher sempat memusuhi paman Java, tetapi sekarang
mereka sudah berbaikan lagi. Itu karena Java berjanji tidak akan mengambil
ibunya dari Christopher.
Pikiran Taylor tak karuan. Ia
memikirkan apa yang dikatakan Java tadi malam tentang keegoisan Taylor. Tentu
saja! Seharusnya Taylor membiarkan Christopher bertemu dengan Justin agar
Christopher tak terus merasa bersalah terhadap keduanya. Bagaimana jika Justin
datang sore ini? Apa yang harus Christopher katakan pada Justin? Dan bagaimana
jika Taylor mengusir Justin dan Christopher merasa bersalah pada Justin? Ini
semua tentang Christopher! Bukan tentang keegoisan antara Justin dan Taylor.
Mereka berdua lebih mementingkan perasaan mereka dibanding kebahagiaan
Christopher. Tanpa sadar, bibir bawah Taylor telah tersembunyi di balik gigi
atasnya. Taylor ragu kalau Justin akan datang sore ini untuk bermain dengan
Christopher.
Pintu bel rumah Taylor berbunyi.
Christopher menoleh ke arah pintu lalu bangkit dari gayanya bertelungkup di
atas karpet. Java berdiri untuk membuka pintu itu. Christopher tidak ingin tahu
siapa yang datang atau pergi hari ini karena ia benar-benar tidak begitu senang
dengan hari Sabtu. Ia tidak akan bertemu dengan paman Justin demi ibunya. Ia
tidak ingin ibunya lebih menyayangi paman Java. Tidak! Itu tidak boleh terjadi.
“Hey, Java,” sapa Justin tidak
ingin bertengkar. “Aku ingin bertemu Christopher. Apa dia ada di rumah?” Tanya
Justin tak dapat melihat ke dalam rumah karena pintunya hanya terbuka setengah
dan tubuh Java telah menutupi pandangannya.
“Christopher bilang ia tidak
ingin bertemu denganmu,” ucap Java serius. Salah satu Justin terangkat, bingung
akan apa yang diberitahu Java. Christopher tak ingin bertemu dengannya
tiba-tiba seperti ini? Sangat membingungkan! Anak itu sanagat ingin akrab
dengan Justin tiap kali mereka bertemu dengan sekarang Christopher tak ingin
bertemu dengan Justin? Mustahil, tidak mungkin Christopher bilang seperti itu!
Pasti ini ulah Taylor.
“Aku ingin bertemu dengan Taylor
jika begitu,” ucap Justin tegas. Java menoleh ke belakang ketika ia mendengar
Taylor berteriak dari dalam. “Dia ada di dalam. Panggilkan dia untukku,
tolong,”
Java menoleh kembali. “Dia sedang
sibuk,” ucap Java. “Kau tidak perlu bertemu keduanya. Sampai jumpa di neraka,
Justin,” lanjut Java menutup pintu rumahnya. Tangan Justin menahan pintu rumah
itu sebelum tertutup. Java membukanya kembali namun kali ini ia keluar dari
rumah. Dari dalam, Christopher melihat pintu rumahnya tertutup dari luar. Oh,
apa yang terjadi dengan paman Java? Apa paman Java diculik? Christopher bangkit
dari duduknya dan berlari cepat menuju pintu.
Taylor baru saja makan siang
mereka di atas meja. Ia penasaran Java bertemu dengan siapa. Saat ia keluar
dari dapur, ia melihat Christopher yang berlari menuju pintu dan membuka pintu
itu. Mata Taylor membulat begitu saja, ia berlari secepat yang ia bisa.
Tangannya dengan cekatan menggendong Christopher sebelum Christopher
benar-benar keluar dari rumah. Namun Justin telah mendorong pintu rumahnya
hingga terbuka lebar. Java tak begitu tangkas ketika Justin bergerak begitu
cepat.
“Apa yang kaulakukan di sini?”
Tanya Taylor dengan wajah penuh kekesalan. Christopher memerhatikan wajah
Justin, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Java mundur satu langkah agar ia
berdiri sejajar dengan Taylor. Tangannya
dengan posesif merangkul pundak Taylor. Justin dapat mencium aroma makanan dari
dalam. Apakah Taylor baru saja memasak makan siang? Setahu Justin, selama ia
menikah dengan Taylor, wanita ini memang pintar memasak. Ah, sudahlah lama
sekali Justin tak merasakan makanan buatan Taylor.
Christopher mengedipkan matanya
berkali-kali. Uh, rasanya ia ingin sekali digendong oleh paman Justin karena
sebelumnya, ia tak pernah digendong oleh paman Justin.
“Aku ingin bertemu dengan anakku
sendiri, Taylor. Apa itu sesuatu yang ilegal? Apa kau akan mengadiliku di
pengadilan? Apa kau akan menangkapku bersama dengan para detektif? Oh ayolah,
Taylor, aku hanya ingin bertemu dengan Christopher,”
“Ia tidak mau pergi bermain
denganmu,” ucap Taylor tegas, ia menatap Justin tajam. Mata Justin membesar, ia
menarik nafas tajam. Salah satu tangannya mengelus rahang atas lalu ke rahang
bawah. Justin tak sanggup menghadapi Taylor yang keras kepala ini. Ingin sekali
ia menculik Christopher dan mengurusnya daripada ia harus membiarkan
Christopher bersama dengan kepala penjaga penjara.
“Itu apa?” Tanya Christopher menunjuk
tas besar yang dipegang oleh Justin. “Mom, itu apa?” Bisik Christopher meski
semuanya dapat mendengar suara Christopher.
“Itu..”
“Ini hadiah untukmu dari Emma,”
ucap Justin mengeluarkan hadiahnya. Sebuah kotak mainan besar berisi
robot-robotan besar keluaran terbaru (mainan yang sering keluar di iklan
televisi akhir-akhir ini). Mulut Christopher terbuka lebar berbentuk huruf ‘O’.
Emma? Siapa Emma? Christopher tak begitu peduli siapa yang membelikannya tetapi
sungguh, ia ingin sekali memegang mainan itu. Tiba-tiba Java berbisik sesuatu
di telinga Taylor.
Haruskah Taylor membiarkan
Christopher bermain dengan Justin dan ..Emma? Mata Taylor menatap wajah Justin
terus menerus. Mengingat wajah itu yang pernah ia kagumi selama ia mencintai
Justin (dan ia masih bertanya pada diri sendiri, apakah ia masih mencintai
Justin?). Dan pria itu sekarang bersama dengan wanita lain dan tampak sangat
bahagia bersama dengan wanita itu. Bahkan Justin berani bertemu dengan
Christopher hanya untuk mendapatkan wanita itu. Emma. Taylor penasaran dengan
wajah wanita itu. Apa yang membuat Justin tertarik padanya? Taylor memalingkan
wajahnya dari Justin.
Java berbisik kembali di telinga
Taylor, kali ini lebih lama. Taylor menarik nafas panjang. Matanya terpejam
selama beberapa saat lalu ia membukanya kembali. Christopher tak mengatakan
apa-apa meski dalam hati ia menjerit-jerit ingin sekali bermain dengan mainan
yang dibelikan Emma, siapa pun wanita itu.
“Hey, mengapa kita berdiam dan
berbisik-bisikan seperti ini? Jadi, apa keputusanmu Taylor? Kau mengizinkanku
bermain dengan Christopher atau tidak? Tampaknya Christopher sangat ingin
bermain denganku,” ujar Justin tak sabar. Taylor menarik nafas dalam-dalam,
untuk yang kesekian kalinya. Ia memang memerlukan oksigen tiap kali ia
mendapati Justin berhadapan dengannya.
“Aku akan mengizinkanmu..” suara
seruan dari mulut Justin menghentikan ucapan Taylor. “Bermain bersama
Christopher asalkan kau tidak membawanya kemana pun selain di taman kota. Aku
tak peduli apa yang orang katakan tetapi aku akan memanggil polisi untuk
melacak keberadaan anakku..”
“Kau tidak perlu berlebihan
seperti itu, Taylor. Tentu aku akan mengembalikan anak kita,” ucap
Justin terdengar menjijikan. Ya, ucapannya begitu lembut seperti pria yang
sedang merayu wanitanya. Dan itu memang apa yang sedang Justin lakukan
sekarang. Christopher bersungut dalam pelukan ibunya.
“Tetapi aku ingin Mommy ikut
bersama kami,” sungut Christopher manja. Java berbisik kembali di telinga
Taylor. Entah bagaimana bisa Java melakukannya, tetapi Taylor mengangguk
kepalanya. “Ya! Betul sekali, Mommy! Ayo kita makan siang dan pergi ke taman!”
Seru Christopher girang, seperti yang dilakukan Ayahnya sebelum Justin datang
ke rumahnya.
***
Taylor membiarkan Justin dan
Christopher bermain dengan burung-burung yang mengurumuni mereka karena mereka
memberikan remah-remah roti. Tidak banyak yang Taylor lakukan di taman kota, ia
hanya duduk di atas kursi dan memerhatikan keduanya sedang bermain. Dan Rebecca
mengirim Taylor pesan singkat tentang kasus pembunuhan yang sedang mereka
selidiki, memberitahu Taylor perkembangannya.
Sesekali Justin mengelus rambut
Christopher dan mengecup pipi anak itu. Seharusnya Justin melakukan hal itu
sejak Christopher lahir. Taylor menegakkan cara duduknya. Ia ingin melangkahkan
kakinya tetapi ia tidak tahu harus kemana. Kepalanya berbalik ke belakang,
melihat keadaan sekitar. Kita tidak tahu kapan musibah akan datang. Karena tak
jarang Taylor menemukan orang tak tahu diri sedang bercumbu di tengah taman
kota di depan anak kecil atau pencuri tas ibu-ibu atau pemerkosa yang menyamar
seperti orang biasa. Mereka itu berkeliaran dimana-mana dan Taylor selalu
berhati-hati.
Jantung Taylor berdegup kencang
saat ia membalikkan kepalanya dan mendapati wajah Justin sudah berhadapan
dengannya. Segera Justin menarik wajahnya dan terkekeh pelan karena melihat air
wajah Taylor yang ketakutan. Pria itu duduk di sebelah Taylor lalu merogoh
kantong celana jins yang ia pakai. Justin tampak lebih muda mengenakan celana
jins hitam dan kaos putih namun ketat di bagian lengannya sehingga otot-otot
tangannya kelihatan.
“Ini untukmu,” ucap Justin
menyodorkan sebuah kotak kecil. “Aku membelinya di sebuah toko sebelum pergi ke
rumahmu. Bukan berarti apa-apa,” lanjut Justin. Taylor tak mengambilnya, ia
hanya menatap kotak itu.
“Aku tidak mengingikan sogokan
atau apa pun darimu,” tegas Taylor memandang Christopher yang sedang mengelus
salah satu burung yang mendarat di depannya. Anak itu sangat menyukai hewan.
Justin mendecak tak suka.
“Ayolah, kubilang ini bukan
berarti apa-apa. Aku hanya ingin memberikan ini untukmu. Mungkin untuk
kenang-kenangan. Kita tidak tahu kapan kita bertemu Tuhan,” ucap Justin asal
namun pria itu tertawa akan ucapannya. Taylor tertawa mengejek.
“Seperti kau akan pergi ke surga
saja,” ujarnya sarkastis. “Aku dan kau akan bertemu di neraka karena telah
membuat kehidupan Christopher rusak seperti ini, oke?” Taylor menoleh kepalanya
pada Justin. Pria itu hanya terus tersenyum, ia menelengkan kepalanya ke salah
satu sisi. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan heran mengapa Taylor tak berubah
sama sekali. Wajah Taylor masih kelihatan muda dan rambutnya masih tertata
rapi. Dan bibirnya yang sensual meminta untuk dikecup oleh Justin. Tak ada yang
berubah selain keberadaan Christopher.
“Kau tahu apa? Kau masih sangat cantik seperti
pertama kali kita bertemu,” ucap Justin. Tangan Justin jatuh ke atas paha
Taylor. “Aku merindukan permainan kita di ranjang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar