Minggu, 05 Oktober 2014

Doomed Bab 5









CHAPTER FIVE

"Kita tidak begitu mempunyai banyak bukti, Rebbeca," ucap Taylor dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Gadis remaja yang berada dalam ruang interogasi tidak memberi banyak informasi. Kasus pembunuhan salah satu pasangan terkaya, Featherston, di Atlanta menjadi kasus terbesar Taylor. Tentu pasangan ini memiliki banyak musuh dan hanya satu diantara banyak musuhnya yang memiliki keberanian cukup untuk membunuh mereka berdua ketika mereka sedang ingin melakukan konferensi pers di sebuah gedung. Ketika mereka keluar dari mobil, dua tembakan berhasil menembus kepala mereka dan mati di tempat. Tentu saja penembak itu adalah penembak jitu. Detektif kepolisian Atlanta, Rebecca dan rekannya sedang melakukan penyelidikan di atap gedung. Menurut mereka, pelakunya menembak pasangan itu di atap gedung dan kabur.
Dan anak tunggal dari pasangan keluarga Featherston tidak begitu membantu. Anaknya berumur 16 tahun dan masih merasa terguncang atas kepergian orangtuanya. Taylor begitu mengerti dengan keadaan anak itu, tetapi anaknya perlu membantu para detektif agar si pembunuh segera tertangkap. Tersangka pertama tentu saja para kerabat keluarga Featherston atau pelayan yang berada di rumah Featherston. Sejauh ini, para tersangka memiliki alibi yang kuat yang membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Taylor menatap Rebecca yang sedang memerhatikan rekan kerjanya, Peter, masih menginterogasi anaknya.
"Kembalikan ia pulang, aku tak mau kita membuang-buang waktu seperti ini," ucap Taylor tegas. Rebecca mengangguk setuju, wanita itu telah berumur 35 tahun dan memiliki rambut merah kecoklatan yang mencolok. Ia memberi kode pada Peter untuk keluar dari ruang interogasi, tanda sudah selesai. Peter mengangguk dari dalam kemudian berbicara sebentar dengan remaja itu. Taylor menarik nafas tajam lalu meninggalkan Rebecca begitu saja. Ia harus kembali ke kantornya untuk menemui anaknya.
"Kulihat kau sangat frustrasi, Taylor. Ada apa?" Tanya Rebecca dari belakang mengikuti Taylor. Kepala Taylor menggeleng, ia tidak ingin orang lain mengikut campuri masalahnya. Terlebih lagi jika itu sudah berhubungan dengan Justin, Taylor tidak begitu pintar menguasai amarahnya bila hal itu berhubungan dengan Justin.
"Aku tidak frustrasi," ucap Taylor melangkah lebih cepat menuju lift. Ketika sampai di depan pintu lift, ia menekan tombol ke bawah agar segera keluar dari kantor polisi sialan ini. "Terima kasih sudah mengantarku sampai lift. Semoga beruntung." lanjut Taylor pada Rebecca yang memang mengikutinya sampai depan lift. Ketika pintu lift terbuka, orang-orang dalam lift keluar berhamburan seperti semut yang diganggu saat sedang menikmati makanan mereka. Segera Taylor masuk ke dalam dan meninggalkan Rebecca yang terus memerhatikan Taylor. Rebecca sudah bekerja sama dengan Taylor selama bertahun-tahun dan melihat kelakuan Taylor selama memerhatikan remaja dalam ruang interogasi itu, Rebecca tahu betul, Taylor sedang mengalami masalah. Dan ini memang kesalahannya, seharusnya Rebecca tak bertanya tentang masalahnya. Ia hanya teman kerja, bukan ibu Taylor.

***

"Kau menyukainya?" Tanya Justin pada anak kecil di depannya yang sedang menikmati kentang goreng yang Justin beli di McDonald. Christopher mengangguk senang. Ah, Christopher tak menyangka bahwa paman Justin (sekarang ia tahu namanya) datang ke kantor ibunya hanya untuk membelikan Christopher makanan. Ya, tentu saja Christopher akan membukakan pintu untuk paman Justin. Padahal ibunya sudah memperingati Christopher untuk tidak membuka kunci pada siapa pun kecuali ibunya atau paman Java. Tetapi anak itu melanggar aturan ibunya, ia sangat ingin bertemu dengan paman Justin dan memeluk tangannya.
"Paman Justin," panggil Christopher. "Dimana kau tinggal?" Tanya Christopher memakan burger yang dibelikan Justin itu. Mereka kelihatan seperti Ayah dan anak yang akrab. Justin duduk di atas sofa, tempat penerima tamu Taylor. Sementara Christopher duduk di atas mejanya dan menikmati makanannya.
"Aku tinggal jauh dari Atlanta. Di Los Angeles. Kau tahu tempat itu?" Tanya Justin. Christopher menggeleng kepala. "Well, kau ingin ke sana bersama denganku?" Tanya Justin lagi, mencuri kentang goreng Christopher. Anak itu mengedik bahu.
"Aku tidak tahu," ucapnya. "Apa Mommy akan ikut?" Tanyanya polos. Kedua alis Justin terangkat. Mengajak wanita kejam itu? Oh, tidak! Justin tidak akan mengajak Taylor ke Los Angeles. Udara di Los Angeles sudah panas, ia tentu tidak ingin ketika ia mengajak Taylor ke sana, tempat itu berubah menjadi neraka.
"Tidak, Mommy tidak ikut," ucap Justin mengambil minum Christopher dan menyedot sedotannya. Mata Christopher membulat panik. Segera Justin mengembalikan minumannya. "Aku tidak akan menghabiskannya, tenang saja, bung." ujar Justin tersenyum lalu mengelus rambut Christopher. Atau lebih tepatnya mengacak-acak rambut Christopher.
"Paman Justin," panggil Christopher lagi. "Mengapa Mommy selalu marah jika bertemu denganmu? Wajahnya selalu berubah menjadi merah,"
"Benarkah?" Tanya Justin yang dibalas anggukkan Christopher. "Well, aku juga tidak tahu alasan pastinya, Chris. Mungkin Mommy sangat ingin bertemu denganku, jadi wajahnya memerah seperti itu," ucap Justin tersenyum. Anak itu balas tersenyum manis padanya dan saat itulah Justin benar-benar melihat mata yang sama persis seperti matanya. Apakah Christopher benar-benar anaknya? Pertanyaan itu tidak terjawab ketika tiba-tiba pintu kantor Taylor terbuka.
Christopher membalikkan kepalanya untuk melihat siapa yang muncul. Oh, ya Tuhan! Ibunya telah datang dan paman Justin ada di dalam kantornya. Ibunya terdiam di tempatnya untuk beberapa detik. Telinga Christopher mendengar paman Justin menggumam suatu kata yang biasanya disebut oleh orang-orang asing yang tiba-tiba mendapat masalah di tengah jalan. Taylor menutup pintunya seperti biasa agar ruangannya tak memancing perhatian orang-orang di luar. Ibunya mengusap wajahnya. Tentu saja! Taylor tidak percaya bahwa Justin benar-benar berani datang ke kantornya untuk menemui Christopher. Sepenting apa seorang Emma hingga Justin berani melakukan hal ini?
Justin berdiri dari sofa. Ia berjalan cepat-cepat menuju Taylor lalu menarik tangan wanita itu menuju sudut ruangan. Taylor menyentak tangannya kasar, telapak tangannya menampar pipi Justin untuk yang ketiga kalinya. Pria itu mengumpat, ia melirik sebentar ke belakang untuk melihat Christopher. Tetapi anak itu tidak begitu memerhatikan mereka. Justru ia semakin menikmati makanannya.
"Ini sudah melewati batas, Justin," ucap Taylor frustrasi, kedua alisnya menyatu. Salah satu tangannya menyentuh kening, ia menarik nafas tajam. Taylor tidak dapat memproses apa yang sedang terjadi sekarang. Terlalu banyak pikiran dan terlalu banyak masalah. Kedua tangan Justin menyentuh lengan Taylor, wanita itu kali ini tidak berusaha melepaskan cengkeraman Justin. Kedua mata mereka bertemu, keringat mulai membasahi kening Taylor. Bahkan bibirnya bergetar.
"Taylor, dengarkan aku. Cukup hari ini saja aku berbicara dengan Christopher. Aku tidak akan menyakitinya. Aku akan berbicara dengannya di sini. Terserah kau ingin mendengarkan percakapan kami atau tidak, tetapi sungguh, Taylor, aku tidak akan menyakitinya,"
"Ini bukan tentang kau akan menyakitinya secara fisik!" Seru Taylor bergetar. Adrenalinnya tertantang hampir seluruh tubuhnya bergetar. "Dengan kau memberikannya banyak perhatian, ia akan sulit melepaskanmu. Kau Ayahnya! Ia tahu, ia dapat merasakannya. Kalian terhubung dan.. ya Tuhan, aku benar-benar tidak bisa memproses apa yang sedang terjadi sekarang," ujar Taylor tidak menatap Justin. Bibirnya bergetar, begitu juga dengan seluruh tubuhnya. Keringatnya mulai menetes dari dagu. Di bawah sentuhan telapak tangannya, Justin dapat merasakan adrenalin Taylor. Wanita ini bergetar di bawah sentuhannya dan berkeringat.
"Mengapa? Mengapa kau begitu membenciku bertemu dengan Christopher?" Tanya Justin berusaha mencari tatapan Taylor. Wanita itu tak berani menatapnya. Justin memejamkan matanya. Otak Justin mengingat tatapan Christopher, matanya begitu sama persis dengan matanya. Apakah sekarang saatnya Justin mengakui bahwa Christopher memang anaknya? Mata Justin terbuka.
"Itu karena apa yang telah kaukatakan padaku tentangnya," ucap Taylor pelan dan menatap mata Justin. Matanya berkaca-kaca dan memerah, tetapi air matanya belum menetes. Selemah inikah Taylor di hadapan Justin sekarang? Sungguh, ini sangat memalukan! "Dia membutuhkan seorang Ayah, Justin! Dan kau tidak ada di sisinya sejak ia lahir. Lalu tiba-tiba kau datang begitu saja..." Taylor tak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia butuh ruang untuk bernafas. Segera ia menyingkirkan tangan Justin dari lengannya, lalu berjalan menuju jendela. Ia membuka jendela agar udara dari luar masuk ke dalam.
Justin mengikutinya dari belakang. Sekarang ia merasa bersalah. Mungkin mengurus Christopher memang begitu berat, terlebih lagi, karena Taylor mengurusnya seorang diri. Justin tahu dirinya salah, tetapi apakah itu suatu hal yang berat mengizinkan Justin bertemu dengan anaknya sendiri? Sial! Justin sekarang mengaku bahwa Christopher adalah anaknya. Taylor mengipas-kipas wajah dengan tangannya tanpa berbalik sekalipun. Kedua tangan Justin meraup punggung Taylor. Keduanya merasakan deja vu. Tetapi kejadian ini bukan perasaan mereka saja, kejadian ini pernah terjadi sebelumnya.
Hanya saja bukan kantor Taylor. Tetapi tempat bulan madu mereka di Florence. Di dalam kamar hotel, Taylor sengaja membuka jendela di pagi hari agar Justin cepat bangun dari tidurnya. Taylor ingin Justin bangun cepat karena ia ingin mengelilingi Florence seharian penuh. Tiap kali Justin memeluknya dari belakang, keinginan untuk menyandar di dada pria itu selalu datang. Tetapi itu dulu, ketika mereka masih muda dan saling mencintai. Sekarang, Taylor hanya membutuhkan udara segar dan memikirkan apa yang harus ia lakukan pada Justin.
"Sepenting apa Emma bagimu?" Tanya Taylor tanpa berpikir. Ia bahkan tidak tahu mengapa pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulutnya. Sial! Sepenasaran itukah Taylor? Keringatnya sudah tak terlihat lagi. Ia sudah kembali menjadi Taylor yang tegas. Justin menarik nafas, ia menoleh sebentar ke belakang untuk melihat keadaan Christopher. Anak itu sedang memunguti remah-remah roti yang berjatuhan di atas kaosnya. Menggemaskan sekali.
"Jika aku tidak mendapatkannya, aku menjadi gay," ucap Justin terdengar serius. Masih dengan Justin yang sama. Senang bercanda meski kedengaran begitu serius. Taylor tidak tertawa, rasa frustrasinya menutupi perasannya yang lain. Ia butuh Justin meninggalkan Christopher, bukan ingin Justin meninggalkan Christopher.
"Aku lebih memilih kau menjadi gay," ucap Taylor membalikkan tubuhnya sehingga mereka saling berhadapan. Justin begitu tinggi, kepala Taylor hanya mencapai telinga Justin (itu pun karena Taylor memakai sepatu bertumit tinggi). Justin terkekeh pelan, kepalanya tergeleng sambil tangan kirinya mengelus-elus dagunya. "Aku tidak bercanda."
"Aku tahu kau memiliki wajah datar, Taylor. Tetapi serius, jangan gunakan wajah itu ketika kau bercanda. Kau terlihat sangat serius dan.." Justin berhenti berbicara saat mata Taylor terlihat begitu yakin dengan apa yang diucapkannya. Taylor ingin Justin menjadi gay? Oh, ya Tuhan, mantan istri macam apa yang berani melakukan hal itu pada mantan suaminya? Taylor mengedipkan matanya berkali-kali lalu menyingkirkan Justin dari hadapannya. Ia berjalan menuju Christopher lalu membereskan sampah-sampah dari atas meja.
"Aku berikan kau waktu sampai aku selesai membersihkan sampah-sampah ini," ujar Taylor memberikan tenggat waktu. Justin mengumpat namun ia tetap berlari menuju Christopher. Ia berjongkok di depan anak itu lalu mengeluarkan dompetnya. "Tidak ada sogokan, Justin," ucap Taylor melihat pria itu mengeluarkan beberapa lembar uang. Justin menoleh melihat Taylor tak percaya.
"Apa? Aku menyogok anak berumur 3 tahun? Tentu saja tidak, Taylor. Aku ..Ayahnya. Aku hanya ingin memberikan uang saku untuknya. Apakah itu salah?" Tanya Justin memutar bola matanya. 'Ini. Ambillah untuk kau beli es krim atau apa pun yang kausuka. Aku tahu Mommy tidak pernah memberikannya padamu.."
"Waktumu sampai aku membuang gelas soda itu, Justin," ujar Taylor memperingati Justin. Taylor mengumpulkan sampah-sampah itu dan membuang ke tempat sampah di dekat meja kerjanya.
"Oke, bung, kau harus bekerja sama denganku. Waktu kita hanya sedikit. Jadi, aku ingin kau menjawab semua pertanyaanku. Mengerti?" Tanya Justin sambil menyelipkan beberapa lembar uang ke dalam kantong celana jins Christopher. "Pertama, apa kau libur hari Sabtu? Apa kau ingin bertemu denganku hari Sabtu nanti? Apa kau ingin bermain denganku hari Sabtu nanti? Beritahu aku apa yang kau mau, aku akan membelinya dari Los Angeles. Kau boleh menjawabnya selama 30 detik," ujar Justin terburu-buru. Taylor mendengar pertanyaan itu, tetapi ia tidak berusaha menghentikan Justin. Hanya saja, jantung Taylor berdetak kencang. Bagaimana jika Christopher menjawab 'Ya' di setiap pertanyaan Justin? Itu berarti Christopher akan bertemu dengan calon ibu tirinya.
Christopher tidak langsung menjawab karena ia sedang mengunyah burgernya. Sehabis mengunyah burgernya, Christopher mengambil gelas sodanya dan meminumnya secepat mungkin. Anak itu bergetar kedinginan dan menaruh gelas soda itu kembali ke atas meja.
"Ayolah, Christopher, jawab aku."
"Aku ..libur hari Sabtu, paman Justin. Aku mau bertemu denganmu.. Uh, apa lagi pertanyaanmu? Aku lupa,"
"Apa kau ingin bermain denganku hari Sabtu nanti? Dan apa yang kau mau dari Los Angeles?" Tanya Justin buru-buru. Taylor sudah menyentuh gelas soda itu dan akan segera membuangnya. Mata Justin tidak menatap Christopher, melainkan gelas soda yang sedang Taylor pegang.
"Aku mau bermain denganmu hari Sabtu asalkan Mommy kau ajak. Aku tidak mau apa-apa dari Los Angeles, aku 'kan tidak tahu Los Angeles," ucap Christopher menggaruk-garuk leher belakangnya. Tepat pada waktunya! Gelas soda itu sudah masuk ke dalam tempat sampah. Justin tersenyum senang, anak ini tidak sesulit itu. Taylor berbalik melihat Justin yang seharusnya sudah berpamitan. Tetapi pemandangan ini benar-benar membuat dirinya mematung di tempat. Justin menarik wajah anaknya lalu mengecup kedua pipinya dan keningnya.
Tidak sampai di situ, Justin mengeluarkan ponselnya. "Sekarang, bergayalah se-macho mungkin." ucap Justin menyalakan kamera ponsel. Bukan bergaya macho, Christopher malah mengerucutkan bibirnya, kedua pipinya tembam sehingga sekarang ia terlihat seperti anak bebek dengan paruh jingganya. Tetapi Justin tetap mengambil gambar itu, berkali-kali. "Ayo, bergayalah sebebas mungkin." Anak itu semakin bertingkah. Wajah anak itu sangat fleksibel sampai-sampai Justin terpaksa harus menggigit bibir bawahnya agar tak menertawai anak ini. Setelahnya, Justin mematikan ponselnya.
"Sudah?" Tanya Christopher bersemangat. Justin mengangguk.
"Ya. Terima kasih, bung! Aku mencintaimu," ucap Justin semakin membuat Taylor tercengang. "Sampai jumpa hari Sabtu, Taylor. Kita akan bermain hari Sabtu, Mommy. Aku harus kembali ke hotel dan ..ah, kau tahu apa? Itu tidak penting, bukan? Sampai jumpa Christopher, emasku." ujar Justin dengan suara bersemangatnya keluar dari kantor Taylor. Pria itu baru saja mengecup dan mengucapkan 'aku mencintaimu' pada Christopher.
"Mommy, paman Justin sangat lucu. Aku sangat menyukainya," ujar Christopher memakan sisa burgernya. Taylor hanya mengangguk dan masih berusaha terbangun dari mimpinya. Pria itu mengecup kedua pipi Christopher dan keningnya. Itulah yang Taylor inginkan selama ini dari Justin dan pria itu melakukannya tanpa Taylor beritahu. Apa Justin benar-benar sadar telah melakukan itu?
"Kemas barangmu, kita pulang."

***

Justin terus mengecup-kecup bibir Emma dengan lembut. Mereka baru saja melewati malam menyenangkan. Setelah kemarin Justin berusaha mati-matian untuk bertemu Christopher, akhirnya ia dapat bertemu dengan kekasih kembali. Kamis malam itu, Emma datang ke rumah Justin dan menginap di sana. Emma sudah meminta cuti pada atasannya selama 3 hari. Di atas tempat tidurnya, Justin meraup bahu Emma agar wanita itu tetap berada dalam pelukannya. Beberapa menit lagi, Jumat akan menyambut mereka. Jumat sore mereka harus terbang ke Atlanta. Jadi mereka mempunyai waktu setengah hari untuk membelikan sesuatu untuk Christopher. Dengan ingatan Justin yang cukup kuat, Christopher menyukai robot-robotan dan es krim. Jadi, Emma berpikir, besok mungkin ia akan membelikan Christopher banyak robot-robotan dan mainan lainnya. Pasti anak itu sangat menyukainya.
"Boleh aku melihat foto-fotonya lagi? Sungguh, dia sangat mirip denganmu. Kurasa kau seperti itu ketika kau masih kecil," ucap Emma meminta ponsel Justin. Pria itu mengambil ponselnya di sebelah bantalnya lalu memberikannya pada Emma. Wanita itu membuka foto-foto Christopher. Oh, ya ampun, anak ini sangat menggemaskan. Emma jadi penasaran secantik apa ibu Christopher.
"Kau sangat mengaguminya," ucap Justin memerhatikan wajah Emma yang menatap penuh kagum dengan foto-foto Christopher.
"Bagaimana tidak? Sungguh sulit untuk tidak menyukai Christopher," ucap Emma menatap Justin dan tersenyum. "Apakah jika kita mempunyai anak, mereka akan setampan Christopher?"
Jantung Justin berdegup kencang. Tolonglah, tidak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar