Minggu, 05 Oktober 2014

Doomed Bab 4










CHAPTER FOUR

"Jauhi. Anakku. Sialan." Tegas Taylor menatap tajam Justin yang sedang mengusap-usap pipinya yang sekarang terasa panas. Christopher yang awalnya sedang menikmati es krim itu menoleh terkejut melihat ibunya baru saja menampar pria yang ada di sampingnya. Tanpa mengulang kembali perkataannya atau memeriksa keadaan Justin, Taylor segera berjalan menuju Christopher lalu menarik tangan anak itu agar turun dari kursi. "Kita pulang."
Christopher hanya mengikuti apa yang ibunya katakan. Ia tahu kapan ibunya marah dan kapan ibunya sedang baik hati. Dan sekarang, tampaknya ibunya begitu marah sampai wajah ibunya memerah. Bibir Taylor menipis ketika ia berjalan meninggalkan Justin yang menatap punggung mereka. Pria itu bahkan tidak berusaha memanggil Taylor atau pun Christopher, ia hanya terdiam di sana bagaikan orang tolol. Seperti biasanya. Namun kali ini hatinya tergerak, ia berdiri dan mengambil langkah besar untuk menyusul mantan istrinya. Wanita itu berjalan begitu cepat sampai-sampai Christopher terpaksa harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah ibunya. Oh, ya ampun, es krimnya sebentar lagi akan jatuh.
Namun Justin berhasil menyentuh lengan Taylor.
"Taylor, tunggu," pintanya dari belakang. Seperti disentuh lahar panas, sambil berjalan Taylor menyentak lengannya dengan kasar hingga genggaman tangan Justin lepas begitu saja. Christopher memutar kepalanya ke belakang, melihat Daddy-nya dari bahu kecilnya. Mengapa ibu begitu kejam? Daddy ingin berbicara namun ia mengabaikannya.
"Enyahlah dari sini!" Bentak Taylor tegas dan tidak begitu lantang. Ia tidak ingin membuat kericuhan di tengah keramaian di hari Selasa. Ia bersumpah tidak akan membawa Christopher kembali lagi ke tempat penitipan anak. Ia sudah memberitahu Mrs. Judith secara tegas bahwa ia tidak akan menggunakan jasa Mrs. Judith lagi sebagai pengasuh Christopher selama di tempat penitipan anak. Tentu saja! Setelah kejadian ini? Oh, kejadian ini tidak akan pernah terjadi lagi. Tetapi Justin tak menyerah. Ia kembali menarik tangan Taylor namun kali ini ia memegangnya begitu erat hingga Taylor terpaksa harus menghentikan langkahnya. Wanita itu membungkuk untuk membisiki Christopher sesuatu, kemudian anak itu berlari ke arah tanaman-tanaman di pinggir taman. Taylor menoleh melihat Justin di sampingnya.
"Apa yang kauinginkan, Justin?" Tanya Taylor menatap mata Justin tajam. Masih dengan tatapan yang sama seperti tatapannya dulu, tegas dan tajam. Justin menelan ludahnya, mata cokelat madunya berusaha menatap lembut Taylor, ia sedang berusaha membuat hati Taylor lunak. Tetapi sepertinya ia tak bisa.
"Aku hanya ingin menemui anakku, Taylor, tolonglah," Justin memelas dan tentu saja ia berdusta. Justin masih belum ingin mengakui bahwa Christopher adalah anaknya. Terutama ketika Christopher mengaku bahwa Java sering menemaninya kemana-mana. Mata Justin berkedip beberapa kali saat Taylor terdiam sejenak. Wanita itu tak percaya bahwa Justin baru saja mengaku bahwa Christopher anaknya. Dan memang, Taylor tak sepenuhnya percaya dengan ucapan Justin sehingga ia hanya menganggap ucapan itu hanyalah omong kosong belaka.
"Pft," Taylor mendecak mengejek Justin. "Justin yang kutahu tidak akan datang ke Atlanta hanya untuk menemuni anaknya. Dan apa kau lupa Justin dengan apa yang kaukatakan padaku tiga tahun yang lalu? Biar kuingatkan memorimu kembali. Kau bilang padaku bahwa Christopher adalah Java. Dan kuberitahu kau Justin, kau tidak akan pernah kuizinkan menemui Christopher lagi. Ini untuk yang terakhir kali kau menemuinya. Jika kau tidak mengikuti apa yang kukatakan, terpaksa aku harus meminta surat pada pengadilan agar kau menjaga jarak dari Christopher,"
"Apa? Apa-apaan itu? Aku Ayah dari Christopher, aku berhak menemuinya. Ayolah, Taylor, kau tahu aku! Aku tidak benar-benar serius dengan apa yang kukatakan tentang Java. Christopher adalah anakku! Wajahnya begitu mirip denganku, tidakkah kau lihat itu?"
"Tidak, aku tidak melihatnya." ucap Taylor menggeleng kepala. "Sekarang, Justin, jika kau mengizinkanku, aku harus pulang. Terima kasih sudah repot-repot menjemput anakku dari penitipan anak. Berkat kau, aku tidak perlu membawa Christopher kembali ke penitipan anak," ucap Taylor segera membalikkan tubuhnya. Namun Justin kembali menarik lengannya hingga ia berbalik kembali.
"Apa? Apa maksudmu?" Tanya Justin bingung. Taylor tidak akan membawa Christopher kembali ke penitipan anak? Ini akan menjadi sebuah bencana besar. Terlebih lagi, Taylor termasuk wanita yang memegang ucapannya. Jika Justin benar-benar nekat bertemu dengan Christopher lagi, Taylor terpaksa harus meminta surat pengadilan agar Justin menjaga jarak dari Christopher. Sialan! Ini masalah mendapatkan Emma atau menjadi gay selamanya.
"Kau mengerti maksudku, Almonde," ucap Taylor menyentak lengannya, lagi. "Aku tidak main-main mengenai surat pengadilan itu, Justin."
"Baiklah, baiklah. Aku akan mengatakan yang sebenarnya mengapa aku ingin bertemu dengan Christopher," ucap Justin, kali ini ia menarik perhatian Taylor.
"Aku mendengarkan," ucap Taylor. Justin menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan matanya.
"Aku ingin bertemu dengan Christopher karena aku telah menemukan wanita yang tepat," ucap Justin membuka matanya. "Namanya Emma. Emma ternyata menyukai anak-anak dan aku secara tak sengaja menceritakan tentang Christopher meski aku sudah meyakinkan bahwa Christopher bukan anakku. Tetapi ia tetap memaksa ingin bertemu dengan Christopher akhir pekan ini. Maka dari itu aku meluangkan waktu selama dua hari untuk mengetahui tentang Christopher." jelasnya menatap Taylor tanpa mengedip. Kata-kata yang keluar dari mulut Justin membuat Taylor tercengang setengah tak percaya. Justin tentu adalah pria yang memiliki keberanian cukup untuk melakukan hal sebrengsek ini! Tamparan kedua dilayangkan Taylor di pipi Justin, lagi.
"Pergilah ke neraka, sialan!" Bentak Taylor melenggang pergi meninggalkan Justin. Tidak mengusap pipinya atau apa pun, Justin menyusul Taylor.
"Ini tidak seperti yang kaupikirkan. Aku hanya ingin mengetahui Christopher lalu mempertemukan Emma dan Christopher, setelah itu, aku tidak akan mengganggu kalian. Aku berjanji." ujar Justin sambil terus berjalan di belakang Taylor.
"Christopher," panggil Taylor mengabaikan Justin. Anaknya yang mulutnya sudah belepotan es krim cokelat berlari bersemangat menuju ibunya. Christopher menatap Justin sambil tersenyum. Senyuman manis dari seorang anak kecil.
"Sampai jumpa, Daddy," ujar Christopher melambaikan tangannya yang tak memegang es krim. Tangan Taylor menggenggam tangan Christopher dan berjalan tanpa mengatakan apa pun pada Christopher atau pun Justin.
Justin berhenti melangkah, membiarkan dua orang itu meninggalkannya. Masih ada waktu untuk menemui anaknya, hanya saja bukan sekarang. Pandangan Justin tak lepas dari punggung Taylor, wanita itu sebentar lagi keluar dari area taman kota. Taylor menoleh ke belakang satu kali untuk memastikan bahwa Justin sudah tak mengikuti mereka. Dan seperti adegan film yang diperlambat, rambut Taylor yang kali ini terurai, terkibas dengan indah. Justin mematung saat ia melihat mata Taylor yang berkaca-kaca. Kejadian itu terenggut ketika Taylor membalikkan kembali kepalanya dan benar-benar meninggalkan taman kota.
Apa yang telah Justin perbuat?

***

Taylor menarik nafas dalam-dalam. Ia memandang anaknya yang sedang bermain robot-robotannya, berimajinasi dengan bebas tanpa batas. Sudah 1 jam ia menyandar di tempat tidur anaknya dan memikirkan sesuatu yang tak berujung. Mengapa Justin tiba-tiba saja muncul tanpa tanda-tanda apa pun? Oh, ya Tuhan, seharusnya ia berjaga-jaga sejak dulu. Tentu saja Justin akan datang untuk melihat bagaimana keadaan anaknya atau ..memastikan apakah Christopher memang benar-benar anaknya. Pria itu tak banyak berubah. Justru ia terlihat lebih tampan dan bahagia. Bagaimana tidak? Ia mengurus sebuah perusahaan dimana rata-rata para karyawannya adalah wanita-wanita muda cantik. Ia masih muda dan banyak wanita yang menyukainya. Taylor sangat yakin, pasti Justin sudah meniduri sedikitnya sepuluh wanita.
Namun bukan Justin namanya jika ia datang tanpa alasan tertentu. Dan Taylor memang selalu benar. Alasan sialan itu benar-benar tidak dapat diterima Taylor. Justin hanya ingin menjadikan Christopher sebagai jembatan cintanya dengan wanita yang bernama Emma? Seharusnya Taylor sudah menduganya. Taylor tidak begitu peduli apakah Justin ingin menikah kembali atau tidak. Tetapi ia tidak ingin Christopher bertemu dengan ayah kandungnya. Ia sudah merencanakan hal ini sejak ia telah berpisah dengan Justin. Taylor tak ingin Christopher merasa bersalah atas perpisahan orangtuanya. Dan ia tidak ingin memberitahu apa pun mengenai Justin pada Christopher. Tidak, tidak, tidak. Ia tak bisa berlama-lama membiarkan Justin terus bersama dengan Chrsitopher. Mengapa Justin harus datang ketika Taylor mendapatkan sebuah kasus pembunuhan yang masih sulit diketahui siapa pelakunya? Taylor perlu mencari tahu motif pelaku dan siapa kemungkinan pelaku pembunuhan ini. Dari banyak kasus yang telah Taylor pecahkan, sebagian besar, ia mendapatkan pembunuh yang sama dari kasus pembunuhan yang merantai. Dan Justin memilih minggu ini sebagai minggu pertemuannya dengan Christopher?
Taylor menarik tubuhnya dari sandaran tempat tidur lalu mengambil robot-robotan Chrisopher yang tak sama disentuh. Christopher melihat tangan ibunya mengambil robot-robotan, mulutnya mulai terbuka namun ia tidak mengatakan apa-apa. Entah mengapa ia memang tidak ingin berbicara dengan ibunya jika ibunya tidak mengajaknya berbicara. Acuh tak acuh, Christopher kembali sibuk bermain.
"Christopher," panggil Taylor, seketika Christopher mendongak dan menggumam. "Ibu punya pertanyaan, tetapi kau harus berjanji kalau kau akan menjawabnya dengan jujur, oke?"
"Ya, Mom. Apa itu?" Tanyanya mengadu-adukan kepala robot-robotannya namun tak menundukkan kepalanya. Taylor melipat bibirnya ke dalam dan ia mengembuskan nafas panjang.
"Saat kau berjalan-jalan dengan pria yang menjemputmu dari penitipan itu, apa saja yang ia katakan padamu?" Tanya Taylor memutar-mutar kepala robot-robotan Christopher. Anaknya menelan ludah.
"Dia hanya bertanya kapan aku berulang tahun, makanan kesukaanku, dan siapa orang yang dekat denganku,"
"Lalu, apa yang kaujawab?"
"Kubilang, aku berulang tahun tanggal 15 Oktober, aku suka makanan buatan Mommy dan aku bilang ..paman Java sering bermain denganku," ucap Christopher tanpa menyaring kata-katanya. Bagaimana mungkin? Ia hanya seorang anak kecil berumur 3 tahun yang sebentar lagi berumur 4 tahun. Ah, seharusnya sekarang ia bersekolah. Ya! Ibunya harus membawa Christopher ke sekolah. Jantung Taylor berpacu cepat. Terakhir ia hidup bersama Justin, pria itu menuduh Taylor bahwa ia berselingkuh dengan Java. Tetapi kenyataannya, Taylor tidak sama sekali berselingkuh dari Justin. Dan sekarang (setelah mereka berpisah), Taylor memang berhubungan dengan Java. Hanya untuk satu malam.
"Lalu apa yang ia katakan lagi?"
"Dia membelikanku es krim dan bertanya, apa Mommy sering membelikanku es krim? Jadi, aku jawab saja, Mommy tidak sering membelikanku es krim karena tidak ingin aku sakit. Tetapi paman Java sering membelikanku es krim," ujar Christopher tanpa berdusta sedikitpun. Ah, andai Justin tidak berpisah dari Taylor, pasti mereka akan menjadi sebuah keluarga kecil yang bahagia. Suami yang memiliki pekerjaan mapan, istri yang berkarir dan mampu menjaga anaknya, dan seorang anak cerdas yang tak pernah mengecewakan orangtuanya. Apa lagi yang kurang? Keadaan yang seharusnya menjadikan mereka sebuah keluarga kecil.
Taylor menarik nafas dalam-dalam. Christopher terlalu jujur untuk memberi informasi pada orang asing. Taylor perlu lebih sering mengajarkan Christopher untuk tidak berbicara dengan orang asing. Justin tentu saja adalah orang asing bagi Christopher. Dan anak itu ternyata lupa apa yang telah dikatakan oleh paman Java tadi pagi mengenai orang asing. Ah, pekerjaan apa yang anak berumur 3 tahun kerjakan selain bermain dan banyak makan?
"Christopher, Mommy tidak ingin kau pergi atau bermain atau berbicara dengan pria yang menjemputmu di penitipan anak tadi. Dia bukan Daddy atau apa pun yang kauharapkan. Ia hanyalah orang asing yang seharusnya tidak berbicara denganmu. Mengerti, Christopher?"
"Oh, ayolah, Mommy. Paman tadi sangat menyenangkan dan sangat baik sekali. Aku memanggilnya Daddy karena dia bilang kalau ia adalah Daddy-ku," ujar Christopher polos. Taylor menggeleng kepala tegas.
"Tidak, Christopher. Dia bukan apa pun yang kauharapkan. Dan jangan pernah berbicara dengannya. Kau tidak akan kembali lagi ke penitipan anak mulai besok. Mommy akan mendaftarkanmu ke taman kanak-kanak agar kau memiliki banyak teman. Kau boleh berteman dengan siapa saja, Christopher, tetapi tidak dengan orang asing seperti pria yang menjemputmu tadi. Jangan berbicara dengan orang asing,"
"Bagaimana dengan orang-orang di sekolah? Apa aku tidak boleh berbicara dengan mereka?" Tanya Christopher menelengkan kepalanya ke samping.
"Kau boleh berteman dengan teman-teman yang seumur denganmu, sayang, tetapi tidak dengan orang yang tidak kaukenal tiba-tiba saja berbicara denganmu di luar sekolah. Mengerti, Christopher?" Tanya Taylor menunjuk Christopher dengan robot-robotannya. Dengan lesu, Christopher mengangguk. Ah, padahal paman tadi sore itu sangat menyenangkan. Dan Christopher belum tahu siapa nama paman itu.
Setelah Christopher mengangguk, ponsel ibunya tiba-tiba berdering di atas tempat tidurnya. Paman Java.

***

Java mengelus rambut Taylor dengan lembut. Wanita itu baru saja menangis selama beberapa menit. Java merasa begitu bersalah karena ia tidak berada di sisi Taylor ketika Taylor bertemu dengan Justin. Pria itu memang selalu bersikap brengsek dan sikap tak dapat diubah kecuali dengan kematian. Taylor bersandar di atas dada Java dengan mata memerah. Ia masih tak habis pikir mengapa Justin bisa-bisanya tak merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan pada Christopher.
Mengapa pria itu tak memikirkan perasaan Christopher? Bagaimana jika Christopher menyayanginya dalam jangka waktu singkat? Christopher sudah menceritakan tentang Justin pada Java beberapa kali malam ini ketika mereka sedang makan malam. Padahal mereka baru saja bertemu beberapa jam yang lalu. Wajah Christopher memang sangat mirip dengan Justin, tetapi mengapa Justin masih tak ingin mengakui bahwa Christopher adalah anak kandungnya? Ah, Taylor sungguh bingung mengapa ia menerima lamaran dari Justin. Apakah saat itu ia sedang dalam keadaan sadar? Sialnya, ia memang sadar saat itu.
"Java, aku tidak ingin Christopher mengenal lebih jauh tentang Justin. Aku tidak ingin Christopher mengetahui ayah kandungnya. Aku lebih memilih Christopher bahagia bersama dengan ayah tirinya dibanding ia harus merasa bersalah sepanjang hidupnya karena mengetahui bahwa Justin tak menginginkannya sebagai anak,"
"Taylor, kurasa itu langkah yang salah. Kupikir seharusnya kau memberitahu Christopher sedini mungkin tentang ayah kandungnya agar ketika ia bertumbuh remaja, ia tidak perlu membenci Justin atau bertingkah memberontak seperti anak-anak hasil perceraian orangtua," ucap Java menarik nafas dalam-dalam. Meski Java tidak menyukai Justin, tetapi Java harus mengenyampingkan egonya, ia tidak ingin masa depan Christopher rusak hanya karena Justin.
Taylor memeluk pinggang Java lalu menangis di atas dadanya. Demi apa pun, Taylor tak ingin Christopher bertemu dengan Justin. Tentu saja! Setelah apa yang Justin katakan tentang Christopher beberapa tahun lalu? Justin dengan penuh keyakinan berkata bahwa Christopher bukan anaknya melainkan anak hasil persetubuhannya dengan Java.
"Aku hanya tak bisa, Java. Christopher tak boleh bertemu dengan Justin setelah apa yang Justin lakukan pada Christopher. Kau tidak tahu, Java! Anakku harus melewati tiap ulang tahunnya tanpa seorang Ayah. Keningnya tak pernah dikecup oleh Justin sejak kelahirannya. Justin bahkan tak pernah mengatakan bahwa ia menyayangi Christopher! Teman-temannya di tempat penitipan anak harus mengejeknya karena Christopher tak tahu apa itu Ayah," ucap Taylor semakin menangis. Hatinya begitu sakit tiap kali ia mengingat kenyataan bahwa Justin tak pernah berada di sisi Christopher selama ini.
"Berarti kau lebih mementingkan egomu dibanding masa depan Christopher, Taylor," ucap Java harus jujur. Jika tidak, Taylor tidak akan tahu dimana letak kesalahannya. Taylor bangkit dari dada Java lalu menghapus air matanya dari pipi.
"Tidak," tegas Taylor. "Christopher tak akan bertemu dengan Justin lagi. Titik. Percakapan selesai." lanjut Taylor beranjak dari atas tempat tidurnya. Ia perlu bertemu dengan Christopher untuk memberikan kecupan selamat malam.
"Aku hanya memperingati, Taylor." Namun pintu kamar tertutup begitu saja.

***

Justin memang pria yang gigih. Ia tak akan menyerah sampai apa yang ia inginkan, ia dapatkan. Di hari Rabu yang cerah, Justin menunggu di depan rumah lamanya dan berharap Taylor cepat keluar karena ia telah menunggu di depan rumah itu sekitar satu jam. Ia perlu berbicara baik-baik dengan Taylor karena tengah malam nanti ia harus pulang kembali ke Los Angeles. Untuk yang ketiga kalinya, ia melirik jam tangan. Sudah jam 8 pagi, seharusnya sekarang Taylor berangkat ke kantornya. Justin sudah dengan mobil sewa dari hotelnya, mungkin dengan tumpangan ke kantornya yang cukup jauh dari rumah akan membuat Taylor bermurah hati mengizinkannya berbicara dengan Christopher lebih lama lagi.

Pintu rumah Taylor tiba-tiba terbuka. Bukan wanita yang ia harapkan yang keluar dari balik pintu itu. Tetapi seorang pria bertubuh tinggi sedang menggendong Christopher dan lalu disusul oleh wanita yang ia harapkan. Sialan. Apa yang dilakukan Java di rumah Taylor? Ternyata selama ini dugaan Justin benar. Taylor mengunci pintu utama rumahnya dan kemudian membalik tubuh, ia sudah siap berangkat ke kantornya. Java ikut membalikkan tubuhnya tetapi mereka berdua terkejut dengan seseorang yang berada di bawah tangga rumah. Christopher yang pagi itu sedang lesu dan malas menyembunyikan wajahnya di sela-sela leher paman Java dan lebih memilih untuk memejamkan mata.
"Tunggu aku di stasiun," ucap Taylor pada Java. Tetapi Java menggeleng kepala. Ia tidak ingin Taylor menghadapi Justin sendiri. Justin bisa saja menyakiti Taylor. "Kubilang, tunggu aku di stasiun, Java,"
"Tidak. Terakhir kau bertemu dengannya, kau menangis. Dan itu baru saja terjadi kemarin malam. Aku tidak ingin kau menghadapinya sendirian," ucap Java tegas. Taylor menggeleng.
"Kubilang tidak, Java. Aku ingin kau membawa Christopher pergi jauh dari jangkauan Justin. Aku tak ingin si sialan Almonde mengganggu Christopher. Aku tidak ingin memohon padamu," ucap Taylor menatap Java tajam.
"Hey, kalian tahu apa, aku ada di sini. Aku butuh perhatian sebentar. Aku hanya ingin berbicara dengan Taylor, tolong," sela Justin tiba-tiba dari belakang. Christopher mendengar suara paman yang ia temui kemarin, kepalanya terangkat lalu berbalik melihat ke bawah tangga. Oh ya Tuhan! Ternyata paman itu! Paman itu datang ke rumahnya. Christopher menggoyang-goyangkan kakinya, meminta untuk turun. Tetapi Java menahan Christopher agar tetap berada dalam gendongan. Taylor menatap Java dengan tatapan mohon.
"Baiklah, kau menang," ucap Java terpaksa. Ia menuruni anak tangga sambil matanya menatap mata Justin dengan tatapan tajam. Ia berhenti di hadapan Justin lalu berucap.
"Paman kemarin!"
"Kau sakiti.." Java berucap bersamaan dengan Christopher yang telapak tangannya sekarang menepuk-nepuk pipi Justin. "Christopher, hentikan," perintah Java. Segera Christopher menghentikan tepukan tangannya dari pipi Justin dan tertawa malu-malu.
"Apa? Aku sakiti apa?" Tanya Justin dengan wajah menantang. Amarah Java mendidih begitu saja. Pria yang ada di hadapannya ini memang selalu berhasil membuat amarahnya bangkit. Dan tangannya selalu gatal ingin meninju wajah itu tiap kali mereka bertemu. Sebelum Java berucap, tangan Taylor telah menyentuh lengannya.
"Pergilah," bisik Taylor. Tanpa mengatakan apa pun dan menatap Taylor, Java beranjak pergi dari tempatnya. Teriakan Christopher terdengar menyakitkan di telinga Taylor.
"Tidak, paman Java! Lepaskan aku! Aku ingin berbicara dengan paman itu! Lepaskan aku!" Teriak Christopher menjerit-jerit ketika Java terus berjalan seolah-olah tak mendengar apa pun dari mulut Christopher. Justin menatap Christopher yang sekarang sudah memukul-mukul punggung Java dan menangis dalam gendongannya lalu memalingkan pandangannya pada Taylor.
"Anak itu sangat mengagumiku," ucap Justin begitu percaya diri. Ini sangat memuakkan! Hari ini Taylor akan meminta surat pengadilan agar Justin menjaga jarak 32 meter dari Christopher. Jika perlu, lebih jauh lagi, lebih baik.
"Dia menyayangimu," ucap Taylor bergetar. Christopher baru saja bertemu dengan Justin dan anak itu sudah membicarakan Justin sebanyak 4 kali pada Java kemarin malam dan pagi ini. Dan anak itu mengeluh mengapa ia tidak boleh bertemu dengan paman kemarin. Apa itu tandanya mereka memiliki kontak batin? Taylor tidak tahu. "Aku akan meminta surat pengadilan hari ini agar kau tidak dapat bertemu dengannya lagi,"
"Taylor," ucap Justin menyebut namanya begitu lembut. "Aku perlu Christopher. Baiklah, mungkin aku terlalu kasar karena menggunakan Christopher sebagai alatku untuk menikahi Emma. Tetapi sungguh, jika kau mengizinkan aku bertemu dengan Christopher hari ini dan akhir pekan bersama Emma, aku tidak akan mengganggu kalian. Bahkan aku tidak akan mengirim kalian undangan pernikahanku agar aku tidak perlu bertemu dengan Christopher lagi." ucap Justin. "Jika itu yang kauinginkan." lanjutnya buru-buru.
Taylor terdiam sejenak. Ia menelan ludahnya lalu menggigit pipi bagian dalamnya. "Aku tidak butuh undangan pernikahanmu dengan Emma atau siapa pun wanita yang akan kunikahi. Aku hanya ingin kau pergi dari kehidupan Christopher, Justin. Cukup sudah kau menghancurkan kehidupanku, tetapi tidak dengan anakku satu-satunya,"
"Mengapa kau terus mengatakan anak-ku? Bukankah Christopher adalah anak kita berdua?" Tanya Justin ingin mengelabui Taylor bahwa ternyata ia menyesal telah mengatakan bahwa Christopher bukanlah anaknya.
"Hentikan omong kosong ini! Jauhi anakku, aku tak ingin masa depannya rusak karena kau," ucap Taylor melangkah meninggalkan Justin. Kali ini Justin benar-benar muak. Apa masalah Taylor hingga Justin tak diizinkan bertemu dengan Christopher?
"Kau tahu apa?" Teriak Justin namun tak membuat Taylor berhenti melangkah cepat. "Kau adalah ibu teregois yang tak pernah kutemui sebelumnya, Taylor! Kau begitu egois sampai-sampai kau mengorbankan kebahagiaan anakmu!" Teriak Justin. Kaki jenjang Taylor berhenti melangkah. Seperti pisau, kata-kata itu menusuk hatinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Justin sungguh benar. Taylor memang seorang ibu yang egois sampai Christopher harus menangis. Tetapi wanita itu berkeras hati, ia menggeleng kepala. Ia melangkah berbalik pada Justin. Pria itu tersenyum sumringah. Ah, akhirnya Taylor berluluh hati. Itu berarti Justin tidak perlu menjadi gay. Ketika Taylor sudah berhadapan dengannya, Taylor membuka mulutnya namun tak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat.
"Kuharap kau mempunyai cermin di rumahmu. Jika tidak, aku akan kuberikan  cermin di hari ulang tahunmu, Justin." ucap Taylor dan lalu melangkah meninggalkan Justin di tempatnya.
v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar