CHAPTER FOUR
"Jauhi. Anakku.
Sialan." Tegas Taylor menatap tajam Justin yang sedang mengusap-usap
pipinya yang sekarang terasa panas. Christopher yang awalnya sedang menikmati
es krim itu menoleh terkejut melihat ibunya baru saja menampar pria yang ada di
sampingnya. Tanpa mengulang kembali perkataannya atau memeriksa keadaan Justin,
Taylor segera berjalan menuju Christopher lalu menarik tangan anak itu agar
turun dari kursi. "Kita pulang."
Christopher hanya mengikuti apa
yang ibunya katakan. Ia tahu kapan ibunya marah dan kapan ibunya sedang baik
hati. Dan sekarang, tampaknya ibunya begitu marah sampai wajah ibunya memerah.
Bibir Taylor menipis ketika ia berjalan meninggalkan Justin yang menatap
punggung mereka. Pria itu bahkan tidak berusaha memanggil Taylor atau pun
Christopher, ia hanya terdiam di sana bagaikan orang tolol. Seperti biasanya.
Namun kali ini hatinya tergerak, ia berdiri dan mengambil langkah besar untuk
menyusul mantan istrinya. Wanita itu berjalan begitu cepat sampai-sampai
Christopher terpaksa harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah ibunya. Oh,
ya ampun, es krimnya sebentar lagi akan jatuh.
Namun Justin berhasil menyentuh
lengan Taylor.
"Taylor, tunggu,"
pintanya dari belakang. Seperti disentuh lahar panas, sambil berjalan Taylor
menyentak lengannya dengan kasar hingga genggaman tangan Justin lepas begitu
saja. Christopher memutar kepalanya ke belakang, melihat Daddy-nya dari bahu
kecilnya. Mengapa ibu begitu kejam? Daddy ingin berbicara namun ia
mengabaikannya.
"Enyahlah dari sini!"
Bentak Taylor tegas dan tidak begitu lantang. Ia tidak ingin membuat kericuhan
di tengah keramaian di hari Selasa. Ia bersumpah tidak akan membawa Christopher
kembali lagi ke tempat penitipan anak. Ia sudah memberitahu Mrs. Judith secara
tegas bahwa ia tidak akan menggunakan jasa Mrs. Judith lagi sebagai pengasuh
Christopher selama di tempat penitipan anak. Tentu saja! Setelah kejadian ini?
Oh, kejadian ini tidak akan pernah terjadi lagi. Tetapi Justin tak menyerah. Ia
kembali menarik tangan Taylor namun kali ini ia memegangnya begitu erat hingga
Taylor terpaksa harus menghentikan langkahnya. Wanita itu membungkuk untuk
membisiki Christopher sesuatu, kemudian anak itu berlari ke arah
tanaman-tanaman di pinggir taman. Taylor menoleh melihat Justin di sampingnya.
"Apa yang kauinginkan,
Justin?" Tanya Taylor menatap mata Justin tajam. Masih dengan tatapan yang
sama seperti tatapannya dulu, tegas dan tajam. Justin menelan ludahnya, mata
cokelat madunya berusaha menatap lembut Taylor, ia sedang berusaha membuat hati
Taylor lunak. Tetapi sepertinya ia tak bisa.
"Aku hanya ingin menemui
anakku, Taylor, tolonglah," Justin memelas dan tentu saja ia berdusta.
Justin masih belum ingin mengakui bahwa Christopher adalah anaknya. Terutama
ketika Christopher mengaku bahwa Java sering menemaninya kemana-mana. Mata
Justin berkedip beberapa kali saat Taylor terdiam sejenak. Wanita itu tak percaya
bahwa Justin baru saja mengaku bahwa Christopher anaknya. Dan memang, Taylor
tak sepenuhnya percaya dengan ucapan Justin sehingga ia hanya menganggap ucapan
itu hanyalah omong kosong belaka.
"Pft," Taylor mendecak
mengejek Justin. "Justin yang kutahu tidak akan datang ke Atlanta hanya
untuk menemuni anaknya. Dan apa kau lupa Justin dengan apa yang
kaukatakan padaku tiga tahun yang lalu? Biar kuingatkan memorimu kembali. Kau
bilang padaku bahwa Christopher adalah Java. Dan kuberitahu kau Justin, kau
tidak akan pernah kuizinkan menemui Christopher lagi. Ini untuk yang terakhir
kali kau menemuinya. Jika kau tidak mengikuti apa yang kukatakan, terpaksa aku
harus meminta surat pada pengadilan agar kau menjaga jarak dari
Christopher,"
"Apa? Apa-apaan itu? Aku Ayah
dari Christopher, aku berhak menemuinya. Ayolah, Taylor, kau tahu aku! Aku
tidak benar-benar serius dengan apa yang kukatakan tentang Java. Christopher
adalah anakku! Wajahnya begitu mirip denganku, tidakkah kau lihat itu?"
"Tidak, aku tidak melihatnya."
ucap Taylor menggeleng kepala. "Sekarang, Justin, jika kau mengizinkanku,
aku harus pulang. Terima kasih sudah repot-repot menjemput anakku dari
penitipan anak. Berkat kau, aku tidak perlu membawa Christopher kembali ke
penitipan anak," ucap Taylor segera membalikkan tubuhnya. Namun Justin
kembali menarik lengannya hingga ia berbalik kembali.
"Apa? Apa maksudmu?"
Tanya Justin bingung. Taylor tidak akan membawa Christopher kembali ke
penitipan anak? Ini akan menjadi sebuah bencana besar. Terlebih lagi, Taylor
termasuk wanita yang memegang ucapannya. Jika Justin benar-benar nekat bertemu
dengan Christopher lagi, Taylor terpaksa harus meminta surat pengadilan agar
Justin menjaga jarak dari Christopher. Sialan! Ini masalah mendapatkan Emma
atau menjadi gay selamanya.
"Kau mengerti maksudku,
Almonde," ucap Taylor menyentak lengannya, lagi. "Aku tidak main-main
mengenai surat pengadilan itu, Justin."
"Baiklah, baiklah. Aku akan
mengatakan yang sebenarnya mengapa aku ingin bertemu dengan Christopher,"
ucap Justin, kali ini ia menarik perhatian Taylor.
"Aku mendengarkan,"
ucap Taylor. Justin menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan matanya.
"Aku ingin bertemu dengan
Christopher karena aku telah menemukan wanita yang tepat," ucap Justin
membuka matanya. "Namanya Emma. Emma ternyata menyukai anak-anak dan aku
secara tak sengaja menceritakan tentang Christopher meski aku sudah meyakinkan
bahwa Christopher bukan anakku. Tetapi ia tetap memaksa ingin bertemu dengan
Christopher akhir pekan ini. Maka dari itu aku meluangkan waktu selama dua hari
untuk mengetahui tentang Christopher." jelasnya menatap Taylor tanpa
mengedip. Kata-kata yang keluar dari mulut Justin membuat Taylor tercengang
setengah tak percaya. Justin tentu adalah pria yang memiliki keberanian cukup untuk
melakukan hal sebrengsek ini! Tamparan kedua dilayangkan Taylor di pipi Justin,
lagi.
"Pergilah ke neraka,
sialan!" Bentak Taylor melenggang pergi meninggalkan Justin. Tidak
mengusap pipinya atau apa pun, Justin menyusul Taylor.
"Ini tidak seperti yang
kaupikirkan. Aku hanya ingin mengetahui Christopher lalu mempertemukan Emma dan
Christopher, setelah itu, aku tidak akan mengganggu kalian. Aku berjanji."
ujar Justin sambil terus berjalan di belakang Taylor.
"Christopher," panggil
Taylor mengabaikan Justin. Anaknya yang mulutnya sudah belepotan es krim
cokelat berlari bersemangat menuju ibunya. Christopher menatap Justin sambil
tersenyum. Senyuman manis dari seorang anak kecil.
"Sampai jumpa, Daddy,"
ujar Christopher melambaikan tangannya yang tak memegang es krim. Tangan Taylor
menggenggam tangan Christopher dan berjalan tanpa mengatakan apa pun pada
Christopher atau pun Justin.
Justin berhenti melangkah,
membiarkan dua orang itu meninggalkannya. Masih ada waktu untuk menemui anaknya,
hanya saja bukan sekarang. Pandangan Justin tak lepas dari punggung Taylor,
wanita itu sebentar lagi keluar dari area taman kota. Taylor menoleh ke
belakang satu kali untuk memastikan bahwa Justin sudah tak mengikuti mereka.
Dan seperti adegan film yang diperlambat, rambut Taylor yang kali ini terurai,
terkibas dengan indah. Justin mematung saat ia melihat mata Taylor yang
berkaca-kaca. Kejadian itu terenggut ketika Taylor membalikkan kembali
kepalanya dan benar-benar meninggalkan taman kota.
Apa yang telah Justin perbuat?
***
Taylor menarik nafas dalam-dalam.
Ia memandang anaknya yang sedang bermain robot-robotannya, berimajinasi dengan
bebas tanpa batas. Sudah 1 jam ia menyandar di tempat tidur anaknya dan
memikirkan sesuatu yang tak berujung. Mengapa Justin tiba-tiba saja muncul
tanpa tanda-tanda apa pun? Oh, ya Tuhan, seharusnya ia berjaga-jaga sejak dulu.
Tentu saja Justin akan datang untuk melihat bagaimana keadaan anaknya atau
..memastikan apakah Christopher memang benar-benar anaknya. Pria itu tak banyak
berubah. Justru ia terlihat lebih tampan dan bahagia. Bagaimana tidak? Ia
mengurus sebuah perusahaan dimana rata-rata para karyawannya adalah
wanita-wanita muda cantik. Ia masih muda dan banyak wanita yang menyukainya.
Taylor sangat yakin, pasti Justin sudah meniduri sedikitnya sepuluh wanita.
Namun bukan Justin namanya jika
ia datang tanpa alasan tertentu. Dan Taylor memang selalu benar. Alasan sialan
itu benar-benar tidak dapat diterima Taylor. Justin hanya ingin menjadikan
Christopher sebagai jembatan cintanya dengan wanita yang bernama Emma?
Seharusnya Taylor sudah menduganya. Taylor tidak begitu peduli apakah Justin
ingin menikah kembali atau tidak. Tetapi ia tidak ingin Christopher bertemu
dengan ayah kandungnya. Ia sudah merencanakan hal ini sejak ia telah berpisah
dengan Justin. Taylor tak ingin Christopher merasa bersalah atas perpisahan
orangtuanya. Dan ia tidak ingin memberitahu apa pun mengenai Justin pada
Christopher. Tidak, tidak, tidak. Ia tak bisa berlama-lama membiarkan Justin
terus bersama dengan Chrsitopher. Mengapa Justin harus datang ketika Taylor
mendapatkan sebuah kasus pembunuhan yang masih sulit diketahui siapa pelakunya?
Taylor perlu mencari tahu motif pelaku dan siapa kemungkinan pelaku pembunuhan
ini. Dari banyak kasus yang telah Taylor pecahkan, sebagian besar, ia
mendapatkan pembunuh yang sama dari kasus pembunuhan yang merantai. Dan Justin
memilih minggu ini sebagai minggu pertemuannya dengan Christopher?
Taylor menarik tubuhnya dari
sandaran tempat tidur lalu mengambil robot-robotan Chrisopher yang tak sama
disentuh. Christopher melihat tangan ibunya mengambil robot-robotan, mulutnya
mulai terbuka namun ia tidak mengatakan apa-apa. Entah mengapa ia memang tidak
ingin berbicara dengan ibunya jika ibunya tidak mengajaknya berbicara. Acuh tak
acuh, Christopher kembali sibuk bermain.
"Christopher," panggil
Taylor, seketika Christopher mendongak dan menggumam. "Ibu punya
pertanyaan, tetapi kau harus berjanji kalau kau akan menjawabnya dengan jujur,
oke?"
"Ya, Mom. Apa itu?"
Tanyanya mengadu-adukan kepala robot-robotannya namun tak menundukkan
kepalanya. Taylor melipat bibirnya ke dalam dan ia mengembuskan nafas panjang.
"Saat kau berjalan-jalan
dengan pria yang menjemputmu dari penitipan itu, apa saja yang ia katakan
padamu?" Tanya Taylor memutar-mutar kepala robot-robotan Christopher.
Anaknya menelan ludah.
"Dia hanya bertanya kapan
aku berulang tahun, makanan kesukaanku, dan siapa orang yang dekat
denganku,"
"Lalu, apa yang
kaujawab?"
"Kubilang, aku berulang
tahun tanggal 15 Oktober, aku suka makanan buatan Mommy dan aku bilang ..paman
Java sering bermain denganku," ucap Christopher tanpa menyaring
kata-katanya. Bagaimana mungkin? Ia hanya seorang anak kecil berumur 3 tahun
yang sebentar lagi berumur 4 tahun. Ah, seharusnya sekarang ia bersekolah. Ya!
Ibunya harus membawa Christopher ke sekolah. Jantung Taylor berpacu cepat.
Terakhir ia hidup bersama Justin, pria itu menuduh Taylor bahwa ia berselingkuh
dengan Java. Tetapi kenyataannya, Taylor tidak sama sekali berselingkuh dari Justin.
Dan sekarang (setelah mereka berpisah), Taylor memang berhubungan dengan Java.
Hanya untuk satu malam.
"Lalu apa yang ia katakan
lagi?"
"Dia membelikanku es krim
dan bertanya, apa Mommy sering membelikanku es krim? Jadi, aku jawab saja,
Mommy tidak sering membelikanku es krim karena tidak ingin aku sakit. Tetapi
paman Java sering membelikanku es krim," ujar Christopher tanpa berdusta
sedikitpun. Ah, andai Justin tidak berpisah dari Taylor, pasti mereka akan
menjadi sebuah keluarga kecil yang bahagia. Suami yang memiliki pekerjaan
mapan, istri yang berkarir dan mampu menjaga anaknya, dan seorang anak cerdas
yang tak pernah mengecewakan orangtuanya. Apa lagi yang kurang? Keadaan yang
seharusnya menjadikan mereka sebuah keluarga kecil.
Taylor menarik nafas dalam-dalam.
Christopher terlalu jujur untuk memberi informasi pada orang asing. Taylor
perlu lebih sering mengajarkan Christopher untuk tidak berbicara dengan orang
asing. Justin tentu saja adalah orang asing bagi Christopher. Dan anak itu ternyata
lupa apa yang telah dikatakan oleh paman Java tadi pagi mengenai orang asing.
Ah, pekerjaan apa yang anak berumur 3 tahun kerjakan selain bermain dan banyak
makan?
"Christopher, Mommy tidak
ingin kau pergi atau bermain atau berbicara dengan pria yang menjemputmu di
penitipan anak tadi. Dia bukan Daddy atau apa pun yang kauharapkan. Ia hanyalah
orang asing yang seharusnya tidak berbicara denganmu. Mengerti,
Christopher?"
"Oh, ayolah, Mommy. Paman
tadi sangat menyenangkan dan sangat baik sekali. Aku memanggilnya Daddy karena
dia bilang kalau ia adalah Daddy-ku," ujar Christopher polos. Taylor
menggeleng kepala tegas.
"Tidak, Christopher. Dia
bukan apa pun yang kauharapkan. Dan jangan pernah berbicara dengannya. Kau
tidak akan kembali lagi ke penitipan anak mulai besok. Mommy akan
mendaftarkanmu ke taman kanak-kanak agar kau memiliki banyak teman. Kau boleh
berteman dengan siapa saja, Christopher, tetapi tidak dengan orang asing
seperti pria yang menjemputmu tadi. Jangan berbicara dengan orang asing,"
"Bagaimana dengan
orang-orang di sekolah? Apa aku tidak boleh berbicara dengan mereka?"
Tanya Christopher menelengkan kepalanya ke samping.
"Kau boleh berteman dengan
teman-teman yang seumur denganmu, sayang, tetapi tidak dengan orang yang tidak
kaukenal tiba-tiba saja berbicara denganmu di luar sekolah. Mengerti,
Christopher?" Tanya Taylor menunjuk Christopher dengan robot-robotannya.
Dengan lesu, Christopher mengangguk. Ah, padahal paman tadi sore itu sangat
menyenangkan. Dan Christopher belum tahu siapa nama paman itu.
Setelah Christopher mengangguk,
ponsel ibunya tiba-tiba berdering di atas tempat tidurnya. Paman Java.
***
Java mengelus rambut Taylor
dengan lembut. Wanita itu baru saja menangis selama beberapa menit. Java merasa
begitu bersalah karena ia tidak berada di sisi Taylor ketika Taylor bertemu
dengan Justin. Pria itu memang selalu bersikap brengsek dan sikap tak dapat
diubah kecuali dengan kematian. Taylor bersandar di atas dada Java dengan mata
memerah. Ia masih tak habis pikir mengapa Justin bisa-bisanya tak merasa
bersalah dengan apa yang ia lakukan pada Christopher.
Mengapa pria itu tak memikirkan
perasaan Christopher? Bagaimana jika Christopher menyayanginya dalam jangka
waktu singkat? Christopher sudah menceritakan tentang Justin pada Java beberapa
kali malam ini ketika mereka sedang makan malam. Padahal mereka baru saja
bertemu beberapa jam yang lalu. Wajah Christopher memang sangat mirip dengan
Justin, tetapi mengapa Justin masih tak ingin mengakui bahwa Christopher adalah
anak kandungnya? Ah, Taylor sungguh bingung mengapa ia menerima lamaran dari
Justin. Apakah saat itu ia sedang dalam keadaan sadar? Sialnya, ia memang sadar
saat itu.
"Java, aku tidak ingin
Christopher mengenal lebih jauh tentang Justin. Aku tidak ingin Christopher mengetahui
ayah kandungnya. Aku lebih memilih Christopher bahagia bersama dengan ayah
tirinya dibanding ia harus merasa bersalah sepanjang hidupnya karena mengetahui
bahwa Justin tak menginginkannya sebagai anak,"
"Taylor, kurasa itu langkah
yang salah. Kupikir seharusnya kau memberitahu Christopher sedini mungkin
tentang ayah kandungnya agar ketika ia bertumbuh remaja, ia tidak perlu
membenci Justin atau bertingkah memberontak seperti anak-anak hasil perceraian
orangtua," ucap Java menarik nafas dalam-dalam. Meski Java tidak menyukai
Justin, tetapi Java harus mengenyampingkan egonya, ia tidak ingin masa depan
Christopher rusak hanya karena Justin.
Taylor memeluk pinggang Java lalu
menangis di atas dadanya. Demi apa pun, Taylor tak ingin Christopher bertemu
dengan Justin. Tentu saja! Setelah apa yang Justin katakan tentang Christopher
beberapa tahun lalu? Justin dengan penuh keyakinan berkata bahwa Christopher
bukan anaknya melainkan anak hasil persetubuhannya dengan Java.
"Aku hanya tak bisa, Java.
Christopher tak boleh bertemu dengan Justin setelah apa yang Justin lakukan
pada Christopher. Kau tidak tahu, Java! Anakku harus melewati tiap ulang
tahunnya tanpa seorang Ayah. Keningnya tak pernah dikecup oleh Justin sejak
kelahirannya. Justin bahkan tak pernah mengatakan bahwa ia menyayangi
Christopher! Teman-temannya di tempat penitipan anak harus mengejeknya karena
Christopher tak tahu apa itu Ayah," ucap Taylor semakin menangis. Hatinya
begitu sakit tiap kali ia mengingat kenyataan bahwa Justin tak pernah berada di
sisi Christopher selama ini.
"Berarti kau lebih
mementingkan egomu dibanding masa depan Christopher, Taylor," ucap Java
harus jujur. Jika tidak, Taylor tidak akan tahu dimana letak kesalahannya.
Taylor bangkit dari dada Java lalu menghapus air matanya dari pipi.
"Tidak," tegas Taylor.
"Christopher tak akan bertemu dengan Justin lagi. Titik. Percakapan
selesai." lanjut Taylor beranjak dari atas tempat tidurnya. Ia perlu
bertemu dengan Christopher untuk memberikan kecupan selamat malam.
"Aku hanya memperingati,
Taylor." Namun pintu kamar tertutup begitu saja.
***
Justin memang pria yang gigih. Ia
tak akan menyerah sampai apa yang ia inginkan, ia dapatkan. Di hari Rabu yang
cerah, Justin menunggu di depan rumah lamanya dan berharap Taylor cepat keluar
karena ia telah menunggu di depan rumah itu sekitar satu jam. Ia perlu
berbicara baik-baik dengan Taylor karena tengah malam nanti ia harus pulang
kembali ke Los Angeles. Untuk yang ketiga kalinya, ia melirik jam tangan. Sudah
jam 8 pagi, seharusnya sekarang Taylor berangkat ke kantornya. Justin sudah
dengan mobil sewa dari hotelnya, mungkin dengan tumpangan ke kantornya yang
cukup jauh dari rumah akan membuat Taylor bermurah hati mengizinkannya
berbicara dengan Christopher lebih lama lagi.
Pintu rumah Taylor tiba-tiba
terbuka. Bukan wanita yang ia harapkan yang keluar dari balik pintu itu. Tetapi
seorang pria bertubuh tinggi sedang menggendong Christopher dan lalu disusul
oleh wanita yang ia harapkan. Sialan. Apa yang dilakukan Java di rumah Taylor?
Ternyata selama ini dugaan Justin benar. Taylor mengunci pintu utama rumahnya
dan kemudian membalik tubuh, ia sudah siap berangkat ke kantornya. Java ikut
membalikkan tubuhnya tetapi mereka berdua terkejut dengan seseorang yang berada
di bawah tangga rumah. Christopher yang pagi itu sedang lesu dan malas
menyembunyikan wajahnya di sela-sela leher paman Java dan lebih memilih untuk
memejamkan mata.
"Tunggu aku di
stasiun," ucap Taylor pada Java. Tetapi Java menggeleng kepala. Ia tidak
ingin Taylor menghadapi Justin sendiri. Justin bisa saja menyakiti Taylor.
"Kubilang, tunggu aku di stasiun, Java,"
"Tidak. Terakhir kau bertemu
dengannya, kau menangis. Dan itu baru saja terjadi kemarin malam. Aku tidak
ingin kau menghadapinya sendirian," ucap Java tegas. Taylor menggeleng.
"Kubilang tidak, Java. Aku
ingin kau membawa Christopher pergi jauh dari jangkauan Justin. Aku tak ingin
si sialan Almonde mengganggu Christopher. Aku tidak ingin memohon padamu,"
ucap Taylor menatap Java tajam.
"Hey, kalian tahu apa, aku
ada di sini. Aku butuh perhatian sebentar. Aku hanya ingin berbicara dengan
Taylor, tolong," sela Justin tiba-tiba dari belakang. Christopher
mendengar suara paman yang ia temui kemarin, kepalanya terangkat lalu berbalik
melihat ke bawah tangga. Oh ya Tuhan! Ternyata paman itu! Paman itu datang ke
rumahnya. Christopher menggoyang-goyangkan kakinya, meminta untuk turun. Tetapi
Java menahan Christopher agar tetap berada dalam gendongan. Taylor menatap Java
dengan tatapan mohon.
"Baiklah, kau menang,"
ucap Java terpaksa. Ia menuruni anak tangga sambil matanya menatap mata Justin
dengan tatapan tajam. Ia berhenti di hadapan Justin lalu berucap.
"Paman kemarin!"
"Kau sakiti.." Java
berucap bersamaan dengan Christopher yang telapak tangannya sekarang menepuk-nepuk
pipi Justin. "Christopher, hentikan," perintah Java. Segera
Christopher menghentikan tepukan tangannya dari pipi Justin dan tertawa
malu-malu.
"Apa? Aku sakiti apa?"
Tanya Justin dengan wajah menantang. Amarah Java mendidih begitu saja. Pria
yang ada di hadapannya ini memang selalu berhasil membuat amarahnya bangkit.
Dan tangannya selalu gatal ingin meninju wajah itu tiap kali mereka bertemu.
Sebelum Java berucap, tangan Taylor telah menyentuh lengannya.
"Pergilah," bisik
Taylor. Tanpa mengatakan apa pun dan menatap Taylor, Java beranjak pergi dari
tempatnya. Teriakan Christopher terdengar menyakitkan di telinga Taylor.
"Tidak, paman Java! Lepaskan
aku! Aku ingin berbicara dengan paman itu! Lepaskan aku!" Teriak
Christopher menjerit-jerit ketika Java terus berjalan seolah-olah tak mendengar
apa pun dari mulut Christopher. Justin menatap Christopher yang sekarang sudah
memukul-mukul punggung Java dan menangis dalam gendongannya lalu memalingkan
pandangannya pada Taylor.
"Anak itu sangat mengagumiku,"
ucap Justin begitu percaya diri. Ini sangat memuakkan! Hari ini Taylor akan
meminta surat pengadilan agar Justin menjaga jarak 32 meter dari Christopher.
Jika perlu, lebih jauh lagi, lebih baik.
"Dia menyayangimu,"
ucap Taylor bergetar. Christopher baru saja bertemu dengan Justin dan anak itu
sudah membicarakan Justin sebanyak 4 kali pada Java kemarin malam dan pagi ini.
Dan anak itu mengeluh mengapa ia tidak boleh bertemu dengan paman kemarin. Apa
itu tandanya mereka memiliki kontak batin? Taylor tidak tahu. "Aku akan
meminta surat pengadilan hari ini agar kau tidak dapat bertemu dengannya
lagi,"
"Taylor," ucap Justin
menyebut namanya begitu lembut. "Aku perlu Christopher. Baiklah, mungkin
aku terlalu kasar karena menggunakan Christopher sebagai alatku untuk menikahi
Emma. Tetapi sungguh, jika kau mengizinkan aku bertemu dengan Christopher hari
ini dan akhir pekan bersama Emma, aku tidak akan mengganggu kalian. Bahkan aku
tidak akan mengirim kalian undangan pernikahanku agar aku tidak perlu bertemu dengan
Christopher lagi." ucap Justin. "Jika itu yang kauinginkan."
lanjutnya buru-buru.
Taylor terdiam sejenak. Ia
menelan ludahnya lalu menggigit pipi bagian dalamnya. "Aku tidak butuh
undangan pernikahanmu dengan Emma atau siapa pun wanita yang akan kunikahi. Aku
hanya ingin kau pergi dari kehidupan Christopher, Justin. Cukup sudah kau
menghancurkan kehidupanku, tetapi tidak dengan anakku satu-satunya,"
"Mengapa kau terus
mengatakan anak-ku? Bukankah Christopher adalah anak kita berdua?" Tanya
Justin ingin mengelabui Taylor bahwa ternyata ia menyesal telah mengatakan
bahwa Christopher bukanlah anaknya.
"Hentikan omong kosong ini!
Jauhi anakku, aku tak ingin masa depannya rusak karena kau," ucap Taylor
melangkah meninggalkan Justin. Kali ini Justin benar-benar muak. Apa masalah
Taylor hingga Justin tak diizinkan bertemu dengan Christopher?
"Kau tahu apa?" Teriak
Justin namun tak membuat Taylor berhenti melangkah cepat. "Kau adalah ibu
teregois yang tak pernah kutemui sebelumnya, Taylor! Kau begitu egois
sampai-sampai kau mengorbankan kebahagiaan anakmu!" Teriak Justin. Kaki
jenjang Taylor berhenti melangkah. Seperti pisau, kata-kata itu menusuk
hatinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Justin sungguh benar. Taylor memang
seorang ibu yang egois sampai Christopher harus menangis. Tetapi wanita itu
berkeras hati, ia menggeleng kepala. Ia melangkah berbalik pada Justin. Pria
itu tersenyum sumringah. Ah, akhirnya Taylor berluluh hati. Itu berarti Justin
tidak perlu menjadi gay. Ketika Taylor sudah berhadapan dengannya, Taylor
membuka mulutnya namun tak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat.
"Kuharap kau mempunyai
cermin di rumahmu. Jika tidak, aku akan kuberikan cermin di hari ulang tahunmu, Justin."
ucap Taylor dan lalu melangkah meninggalkan Justin di tempatnya.
v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar