CHAPTER
TWO
Mata harimau Justin terus menatap
Emma dengan kagum. Seharusnya ia menikahi wanita seperti Emma. Wanita feminim
yang anggun, ramah dan selalu tersenyum. Bukan wanita kaku yang tidak pernah
tersenyum seperti Taylor. Apa yang pernah ada dipikiran Justin sewaktu ia
melamar Taylor? Oh, ya benar sekali. Ia tidak ingin dikalahkan oleh si tua Java
yang berusaha mengambil hati Taylor. Sialnya, Taylor malah berselingkuh dengan
si tua Java saat mereka telah menikah. Justin berdeham setelah ia meneguk air
putihnya. Suasana di dalam restoran semakin hangat. Emma tidak begitu banyak
berkomentar mengenai pernikahan Justin yang tidak berhasil. Ia tidak ingin
Justin mengingat-ingat kembali masa lalunya, atau mantan istrinya, dan berpikir
untuk kembali pada kehidupannya yang lalu.
Emma sudah lama mencari kekasih
di situs findmylifepartner.com.
Tetapi sebagian hanya ingin menggunakan tubuhnya dan bersikap brengsek
terhadapnya. Namun malam ini, Emma mendapatkan pria yang ramah dan
menghargainya sebagai wanita. Terlebih lagi ketika ia melihat mata seperti mata
harimau di balik kacamatanya yang tipis. Justin memang tampak lebih seksi dan
cerdas ketika ia mengenakan kacamata tanpa bingkai seperti yang Justin kenakan
sekarang. Mereka berdua seolah-olah sudah saling melengkapi meski mereka hanya
menghabiskan waktu semalam di restoran. Makan malam mereka telah habis, begitu
juga dengan makanan penutup mereka sebagai akhirannya.
Justin menarik nafas tajam lalu
ia melepaskan kacamata hitam yang ia pakai dan menggantungkannya di atas
kancing kemeja paling atas lalu menegakkan punggungnya. Justin mengamat-amati
paras Emma yang cantik. Bibir tipis yang menggugah untuk dicium, mata biru yang
cantik, dan rambut gelombang cokelat kemerahan yang sepanjang sebahu
benar-benar pemandangan yang jarang sekali Justin lihat. Emma yang merasa
diperhatikan tersipu malu hingga pipinya memerah.
“Mengapa kau memerhatikanku
seperti itu? Apa ada sesuatuku di wajahku?” Tanya Emma mengelap-elap pipinya
dengan kedua jari telunjuknya. Justin menggeleng kepala pelan.
“Hanya sedang mengagumi,” ucapnya
manis. Ucapan itu benar-benar memengaruhi tingkat kemerahan di pipi Emma.
Wanita itu tidak pernah dipuji semanis itu sejak pernikahannya tak berhasil.
Suaminya yang brengsek itu berani-beraninya menghamili wanita lain ketika Emma
sedang berada dalam masa-masa krisis ekonomi sewaktu Emma tinggal di London.
“Terima
kasih,” bisik Emma beberapa saat kemudian. “Sudah berapa wanita yang mendengar
pujian itu dari mulutmu?” Goda Emma yang menumpukan salah satu lututnya ke
lutut yang lain. Tanpa Emma sadari, ia menggigit jari telunjuknya sendiri
karena penasaran. Justin terperangah hingga ia menyandarkan punggungnya di
sandaran kursi. Emma benar-benar seksi bila ia melakukan itu.
“Pertama mantan istriku. Yang
kedua.. hanya kau, jika kau ingin aku jujur,” ucap Justin yang tidak sama
sekali ada nuansa romantis di setiap kalimat yang keluar. Dan ini membuat Emma
semakin percaya diri. Ia suka pria yang jujur seperti Justin dibanding pria
yang harus berbohong demi mendapatkan Emma. Jari telunjuk Emma keluar dari
antara gigi-giginya, ia lalu mengambil serbet dan membersihkan mulutnya.
“Tidak apa-apa. Aku suka itu,”
ucap Emma tersenyum ramah. “Ceritakan padaku bagaimana bisa kau bercerai.
Maksudku, kau tahulah, kau tampaknya pria baik-baik,” pinta Emma berhati-hati.
Justin sungguh malas jika ia harus diminta menceritakan tentang pernikahannya
yang rusak. Bayang-bayang Taylor masih membekas di memori Justin. Bahkan sampai
sekarang, Justin masih dapat mencium aroma tubuh Taylor sehabis mandi. Meski
Taylor mantan istrinya yang membuatnya muak akan tingkah laku Taylor sendiri,
tetapi Taylor sungguh lihai bermain di atas ranjang. Sesekali Justin merindukan
permainan Taylor yang hebat. Itu juga menjadi salah satu alasan mengapa Justin
belum ingin memiliki anak sewaktu mereka masih bersama. Ia tidak bisa tidak
berhubungan intim selama 9 bulan dan menunggu bagian bawah Taylor untuk sembuh
selama 1 sampai 2 bulan pasca-kelahiran anaknya.
Tersadar
akan lamunannya, Justin mendongak melihat Emma lalu ia menggeleng kepala.
“Aku
sedang tidak ingin membicarakan mantan istriku. Ia begitu sulit untuk
dijabarkan dengan kata-kata. Ia memang rumit,” ujar Justin mencari alasan yang
tidak masuk di akal Emma.
“Bagaimana jika kau saja yang
menceritakan mantan suamimu? Maksudku, mengapa bisa-bisanya, wanita cantik
sepertimu ditinggal pergi oleh pria bodoh sepertinya?” Justin bertanya dengan
raut wajah kesal. Justin tampak lebih muda bila ia melepas kacamata hitamnya.
Dan lebih berkarisma. Emma terkekeh pelan akan pertanyaan Justin yang sekaligus
memujinya itu. Baginya, tidak ada pria semanis Justin. Oh, jika ia boleh
memutar waktu kembali, ia ingin Justin yang menjadi suami dan ayah dari
anak-anaknya. Emma merasa, selama ia menikah dengan mantan suaminya, ia telah
menghabiskan waktu dengan sia-sia.
“Baiklah, jika kau yang meminta,”
ucap Emma menelan ludahnya terlebih dahulu. “Aku menikah saat aku berumur 22
tahun. Aku masih begitu bodoh untuk mengerti cinta. Aku terlalu mabuk akan
kata-kata manis yang dikeluarkan oleh mantan suamiku dan janjinya yang akan
membawaku keliling dunia. Aku tahu ia seorang pria yang telah memiliki
pekerjaan yang mapan dan dikenal baik oleh orang-orang banyak. Awalnya, kami
berpacaran selama dua tahun ketika aku masih berumur 20 tahun sementara ia
sudah berumur 25 tahun. Ia melamarku dan akhirnya kami menikah. Kupikir
semuanya berjalan dengan baik,
“Diawal pernikahan, ia begitu
lembut dan tidak banyak meminta apa pun dariku selain memenuhi kebutuhannya.
Begitu umur pernikahan kami telah menginjak tahun yang pertama, ternyata selama
itu ia telah berselingkuh dengan wanita lain. Saat itu aku belum memiliki
pekerjaan sama sekali. Aku memaafkannya satu kali sehingga kami belum mengambil
jalur perceraian. Hingga ia mulai jarang memberikanku uang untuk membayar
tagihan-tagihan rumah. Dari sana aku melamar bekerja sebagai pegawai bank,
“Aku
mendapat uangku sendiri dan membayar tagihan-tagihan yang belum kami bayar.
Satu tahun enam bulan, hanya sampai situ hubungan kami bertahan. Seorang wanita
mengetuk pintu rumah kami dengan keadaan tengah hamil. Aku terkejut, tentu
saja, dan bertanya-tanya mengapa ia datang ke rumah kami. Lalu akhirnya aku
sadar, mantan suamiku menghamili wanita lain. Untunglah, aku tidak hamil ketika
kami berpisah. Dan di sinilah aku. Bekerja di sini sebagai karyawan bank,
memiliki karir yang bisa kubanggakan, dan masih muda untuk menikah.” Emma
mengakhiri ceritanya saat pengunjung terakhir, sebelum mereka, telah keluar.
Para pelayan mulai membersihkan meja-meja namun tak berusaha mengusir mereka
berdua. Justin terdiam sejenak dan menyaring dan menjelaskan pada dirinya
sendiri akan cerita yang Emma ceritakan. Ia tidak habis pikir dengan pria bodoh
seperti mantan suami Emma. Justin akhirnya mengangkat pandangannya, mata
harimaunya menatap mata biru Emma hingga Emma merasa jiwanya tertusuk
perlahan-lahan. Nafasnya memburu tanpa sebab. Bibir Justin yang tadinya
tertutup rapat kemudian terbuka sedikit. Tetapi pria itu tidak mengatakan
apa-apa selama beberapa saat. Sampai akhirnya, pertanyaan konyol keluar dari
mulut Justin.
“Mengapa
kau tidak menikah denganku saja?” Tanya Justin spontan.
“Apa?”
***
Pria
tinggi itu membaringkan anak kecil yang tengah tertidur secara perlahan-lahan
di atas tempat tidur. Hari ini, anak kecil itu terlalu banyak beraktivitas dan
cepat sekali terlelap. Terlebih lagi, ia terlelap dalam gendongan pria tinggi
itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun, pria itu melangkah perlahan-lahan
menjauh dari tempat tidur itu dan memberikan kode tangan agar wanita yang
sedang berdiri di mulut pintu kamar anak kecil itu keluar. Tetapi wanita itu
tidak mengatakan apa-apa, ia hanya melakukan apa yang diperintahkan pria itu.
Begitu mereka sudah berada di luar kamar, ia menarik pintu kamar pelan-pelan
dan menutupnya rapat-rapat. Akhirnya ia dapat bernafas lega.
Wanita yang ada di hadapannya
memerhatikan pria itu lalu membersihkan jas yang masih dikenakan oleh pria itu.
Pasti anaknya begitu kotor hingga ada bekas garis debu dari celana jinsnya di
jas pria itu. Taylor, wanita yang tengah membersihkan jas Java, tidak sama
sekali menatap mata Java. Ia tidak berani, lebih tepatnya. Ya, tentu saja ia
tidak berani menatap mata Java. Tiap kali ia melihat kedua mata biru itu,
Taylor selalu merasa bersalah. Pertama, Taylor selalu menolaknya dengan cara
halus. Kedua, Java sudah menjadi sahabatnya sejak mereka masih kuliah—meski
Java lebih tua 5 tahun dari Taylor. Ketiga, Java begitu perhatian dengan
Christopher hingga hal itu menyulitkan Taylor untuk menjaga jarak darinya.
Taylor hanya tidak ingin hubungan persahabatan mereka rusak hanya karena Taylor
menerima cinta Java. Ia tidak ingin Java dikecewakan oleh karena dirinya bila
mereka menikah kelak.
Tidak begitu banyak obrolan yang
mereka bicarakan sepanjang sore itu. Java lebih banyak bermain dengan
Christopher dibanding berbicara dengan Taylor. Meski Java terus bercanda akan
ucapan ‘menyuap’ Christopher agar Christopher mau menerima Java sebagai ayahnya
nanti. Taylor mendecak kesal saat debu yang masih menempel itu tak kunjung
hilang. Java yang melihatnya kesulitan itu segera meraup kedua tangannya hingga
Taylor mendongak melihat matanya. Baru beberapa detik Taylor menatap mata Java,
ia segera mengalihkan pandangannya pada alis Java. Pria di hadapannya itu
tersenyum kecil karena tingkal Taylor yang konyol.
“Aku tahu kau tidak melihat
mataku, Taylor.” ucap Java, namun tidak memiliki niat sama sekali untuk
melepaskan genggamannya pada tangan Taylor. “Mengapa? Mengapa kau tidak berani
menatap mataku selama kau menatap mata Justin?”
“Java,” desah Taylor berusaha
melepaskan tangannya dari genggaman Java. Namun ia tak berhasil sebab
genggamannya begitu erat. “Kau tidak mengerti. Aku tidak ingin jatuh cinta pada
sahabatku sendiri. Kita telah menjalin hubungan ini selama 10 tahun. Tolonglah,
Java, jangan merusaknya hanya karena cinta belaka,”
“Ini bukan karena cinta belaka,
Taylor. Aku telah menunggu 10 tahun, apakah itu tidak cukup membuktikan bahwa
aku memang mencintaimu? Kau benar-benar… rumit, Taylor,” ucap Java mendesah
nafas panjang. Taylor menggeleng kepalanya lalu ia membenturkan keningnya di
dada Java yang keras. Ia ingin menangis rasanya. Justin telah meninggalkannya
dengan cinta yang masih disimpan oleh Taylor untuknya. Sesekali, setiap malam
sebelum Taylor tidur, ia memikirkan bagaimana keadaan Justin sekarang. Tiga
tahun sudah pria itu meninggalkannya dan tidak memberikan kabar apa pun. Di
sisi lain, jika Taylor melihat Christopher, ia merasa hatinya telah dihancurkan
hingga tak dapat dikembalikan kembali seperti semula untuk Justin. Ia sedang melalui
masa-masa… hidup baru. Namun Java? Tidak, ia tidak dapat bersama pria yang
terlalu baik untuknya. Java sudah melakukan apa pun untuk mendapat Taylor,
tetapi Taylor tetap mengeraskan hatinya pada pria ini. Itu dikarenakan Taylor
tidak mencintai Java.
Taylor tidak ingin menjalani
hidupnya dengan kepalsuan. Namun di sisi lain, Java-lah yang selama ini
mendampingi Christopher. Mereka seperti ayah dan anak, namun dengan wajah yang
tak mirip.
“Taylor, mengapa? Apa Justin
benar-benar tidak dapat keluar dari pikiranmu?” Tanya Java. Taylor mengangkat
kepalanya dari dada Java lalu ia menggeleng kepalanya. Ia bukan tipe wanita
yang mudah menangis, namun perasaannya sekarang begitu bercampur aduk, dan
matanya mulai terbakar. Namun sampai sekarang, Taylor belum menatap mata Java.
“Mengapa kau tidak mencari wanita
lain saja, Java? Kau tahu aku telah menolakmu berkali-kali. Apakah itu tak
cukup membuatmu jengah?” Tanya Taylor menautkan kedua alisnya, memohon agar
Java menghentikan drama ini. Mata Taylor bahkan belum membalas tatapan Java.
Lalu akhirnya Java menyerah. Ia melepaskan kedua tangan Taylor lalu ia memeluk
kepala Taylor.
“Karena hatiku sudah terpaku
untukmu, Taylor,” ucap Java getir. Taylor mendiamkan kepalanya dalam pelukan
Java namun tidak benar-benar menganggap serius apa yang Java katakan. Hatinya
terlalu keras untuk menerima apa yang Java katakan. Keheningan mulai menjadi
bagian dari mereka. Tidak ingin berakhir canggung, Java mengecup puncak kepala
Taylor lalu melepaskan pelukannya.
“Sebaiknya kau pulang, sudah
malam. Besok kita punya banyak pekerjaan yang harus dikerjakan,” ucap Taylor
berbalik dari Java, namun sebelum ia beranjak dari tempatnya, Java meraup
lengannya. Taylor menarik nafas tajam saat ia merasakan genggaman erat Java di
sekitar lengannya. Seperti genggaman tangan Justin tiap kali Justin mendapatkan
pelepasan. Taylor menggeleng kepala, lalu ia menarik lengannya dari cengkeraman
Java dan berbalik tubuh.
"Java, cukup dengan drama
ini. Aku lelah. Aku ingin istirahat. Jika kau bisa memenuhi permintaanku kali
ini saja, aku akan sangat menghargainya. Aku ingin tidur, banyak pekerjaan yang
harus kita kerjakan besok Java," desah Taylor berusaha agar pria ini
segera mengakhiri drama yang tak kunjung selesai. Java tidak mungkin akan memiliki
istri seperti Taylor. Wanita beranak satu, dingin, jarang tersenyum dan terlalu
tegas untuk seorang pria seperti Java. Mereka bagaikan langit dan bumi yang
tidak pernah bersatu meski berada dalam semesta yang sama. Tidak sekali-kali
Taylor berani mencoba menatap mata Java, ia terus menundukkan kepala untuk yang
kedua kalinya.
"Mengapa kau selalu mencari
alasan? Kau tahu aku ada di sini dan aku selalu ada untukmu ketika kau
membutuhkanku. Bukan pria sialan bernama Justin Dick Almonde yang telah meninggalkanmu
begitu saja. Jika kau tahu kau akan berakhir seperti ini dengannya, apakah kau
akan menerimaku sebagai kekasihmu dulu?" Tanya Java yang membuat jantung
Taylor berdetak lebih kencang. Akankah ia menerima Java menjadi kekasihnya jika
ia tahu Justin akan sebrengsek ini? Taylor menggeleng kepala.
"Mungkin," bisik Taylor
mendongak. "Mungkin tidak. Jika kau tidak keberatan, Java, aku ingin kau
pulang dan mengambil istirahat penuh untuk menghadapi hari esok,"
"Jika aku menginap di sini,
apakah kau akan mengizinkanku?" Tanya Java dengan wajah memelas. "Aku
akan tidur bersama Christopher jika kau tidak punya kamar tamu." ucap Java
yang melipat kedua tangannya seperti sedang berdoa dan wajahnya
bersungut-sungut. Java memang pintar mengubah keadaan canggung menjadi, well,
cukup menyenangkan. Taylor mengambil nafas dalam-dalam lalu mengangguk.
"Baiklah, terserah kau. Kau
boleh tidur di kamar tamu, atau kamar Christopher--"
"Atau kamarmu?"
"Tidak akan pernah,
Mr.Bulcher. Sekarang, jika kau tidak keberatan, aku ingin tidur," ucap
Taylor menjinjit untuk mengecup pria berwajah tampan itu. "Selamat malam,
Java, tidur nyenyak." lanjut Taylor lembut. Ketika Taylor menjauhkan
wajahnya dari Java, ia tersenyum manis pada pria itu. Sebelum Taylor pergi dari
tempatnya, Java menarik pinggang Taylor sehingga tubuh mereka saling
bersentuhan. Tangan Java yang lain mengelus pipi Taylor, ia menundukkan
kepalanya mendekati kepala Taylor. Mata mereka saling bertemu, namun tak satu
diantara mereka ada yang berpikir apa yang sedang mereka lakukan.
Sudah tiga tahun lebih Taylor
tidak memenuhi kebutuhan batinnya dan pria ini berusaha untuk mengecup
bibirnya. Satu kali kecupan di bibirnya akan memancing gairahnya yang selama
ini terpendam. Sebelum bibir Java menyentuh bibirnya, Taylor berbisik pelan.
"Jangan." bisiknya.
Namun Java tidak mengindahkan bisikannya. Pria itu mengecup bibir merah muda
Taylor. Wanita itu mendesah sehingga mulutnya terbuka, dan Java tahu bagaimana
memperlakukan wanita. Ia mengisap bibir bawah Taylor sementara tangannya
menahan kepala Taylor agar bibir mereka tetap bersatu. Ciuman itu begitu panas,
bahkan Taylor tak sadar ia telah meremas rambut Java yang lembut. Berahi Taylor
sudah tak dapat ia tampung lagi. Ia butuh pelepasan dari seorang pria. Bahkan
rasanya ia ingin menangis karena terlalu merindukan perasaan seperti ini.
"Java, tolonglah."
Permohonan itu seolah-olah menjadi permohonan terakhir Taylor yang harus Java
lakukan. Pria itu dengan segera menarik rok hitam yang Taylor kenakan di atas
lutut lalu menggendong wanita itu. Kaki Taylor melingkar di sekitar pinggang
Java sementara bibir mereka masih bersatu. "Berikan aku pelepasan,
kumohon," bisik Taylor di sela-sela ciuman mereka.
"Seperti yang kauminta, my
love."
***
Malam itu Justin bersumpah ia
begitu menyesal telah menceritakan mengenai anaknya, Christopher, pada Emma.
Seharusnya ia tidak menceritakan hal itu pada Emma. Yang Justin tidak ketahui
ternyata Emma penyuka anak-anak, meski Justin telah meyakinkan Emma bahwa
Christopher bukanlah anak kandungnya, tetapi tetap saja Emma bersikeras ingin
bertemu dengan Christopher. Sungguh, Justin memang ingin sekali menjalin
hubungan dengan Emma. Ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan Emma menjadi
istrinya. Tetapi sungguh, apakah Christopher memang satu-satunya jalan terbuka
untuk Justin mendapatkan Emma? Mengapa wanita itu tidak memberikan pilihan
lain?
Haruskah ia menghubungi Taylor
dan memberitahu mantan istrinya kalau Justin merindukan Christopher?
Tidak mungkin! Taylor bukanlah wanita yang mudah dibodoh-bodohi seperti itu.
Sudah jelas sekali, sejak kelahiran Christopher, Justin tidak pernah menganggap
Christopher adalah anaknya. Mengecup kening Chrisopher saja, Justin tidak
pernah. Jadi, bagaimana bisa Justin dapat merindukan Christopher? Lagi pula,
tidak mungkin Taylor masih memakai nomor telepon yang sama sekarang, setelah 3
tahun mereka berpisah. Tetapi patut untuk dicoba.
Justin hanya memiliki waktu akhir
pekan untuk bertemu dengan Taylor dan Christopher. Kira-kira, 4 hari dari
sekarang. Justin perlu memikirkan strategi apa yang harus ia lakukan selama ia
bertemu dengan Taylor. Bagimana pun, Taylor masih memiliki daya tarik
tersendiri bagi Justin. Justin tahu Taylor masih menjabat sebagai seorang
pengacara, jadi kemungkinan besar, Taylor mendapatkan waktu libur di hari Sabtu
karena ia memiliki satu anak. Apa yang harus Justin katakan pada Taylor? Apa
Taylor akan mengizinkan Justin bertemu dengan Christopher dan memperkenalkan
Emma pada anaknya? Ulang tahun Christopher pun Justin tidak tahu!
Di dalam kamar, Justin segera
mengambil ponselnya untuk menghubungi asistennya yang tahu segala hal. Ia perlu
tahu tentang Taylor dan Christopher sekarang. Uh, membayangkan Taylor
menatapnya saja, Justin tidak sanggup. Mata itu terlalu tajam untuk ditatap dan
terlalu tegas untuk diberikan senyuman. Dan kembali lagi, Justin masih bingung
mengapa ia pernah melamar wanita itu.
Tetapi itu sudah tak penting
lagi. Yang penting ialah bagaimana caranya ia dapat bertemu dengan Christopher?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar