Minggu, 05 Oktober 2014

Doomed Bab 2









CHAPTER TWO
Mata harimau Justin terus menatap Emma dengan kagum. Seharusnya ia menikahi wanita seperti Emma. Wanita feminim yang anggun, ramah dan selalu tersenyum. Bukan wanita kaku yang tidak pernah tersenyum seperti Taylor. Apa yang pernah ada dipikiran Justin sewaktu ia melamar Taylor? Oh, ya benar sekali. Ia tidak ingin dikalahkan oleh si tua Java yang berusaha mengambil hati Taylor. Sialnya, Taylor malah berselingkuh dengan si tua Java saat mereka telah menikah. Justin berdeham setelah ia meneguk air putihnya. Suasana di dalam restoran semakin hangat. Emma tidak begitu banyak berkomentar mengenai pernikahan Justin yang tidak berhasil. Ia tidak ingin Justin mengingat-ingat kembali masa lalunya, atau mantan istrinya, dan berpikir untuk kembali pada kehidupannya yang lalu.
Emma sudah lama mencari kekasih di situs findmylifepartner.com. Tetapi sebagian hanya ingin menggunakan tubuhnya dan bersikap brengsek terhadapnya. Namun malam ini, Emma mendapatkan pria yang ramah dan menghargainya sebagai wanita. Terlebih lagi ketika ia melihat mata seperti mata harimau di balik kacamatanya yang tipis. Justin memang tampak lebih seksi dan cerdas ketika ia mengenakan kacamata tanpa bingkai seperti yang Justin kenakan sekarang. Mereka berdua seolah-olah sudah saling melengkapi meski mereka hanya menghabiskan waktu semalam di restoran. Makan malam mereka telah habis, begitu juga dengan makanan penutup mereka sebagai akhirannya.
Justin menarik nafas tajam lalu ia melepaskan kacamata hitam yang ia pakai dan menggantungkannya di atas kancing kemeja paling atas lalu menegakkan punggungnya. Justin mengamat-amati paras Emma yang cantik. Bibir tipis yang menggugah untuk dicium, mata biru yang cantik, dan rambut gelombang cokelat kemerahan yang sepanjang sebahu benar-benar pemandangan yang jarang sekali Justin lihat. Emma yang merasa diperhatikan tersipu malu hingga pipinya memerah.
“Mengapa kau memerhatikanku seperti itu? Apa ada sesuatuku di wajahku?” Tanya Emma mengelap-elap pipinya dengan kedua jari telunjuknya. Justin menggeleng kepala pelan.
“Hanya sedang mengagumi,” ucapnya manis. Ucapan itu benar-benar memengaruhi tingkat kemerahan di pipi Emma. Wanita itu tidak pernah dipuji semanis itu sejak pernikahannya tak berhasil. Suaminya yang brengsek itu berani-beraninya menghamili wanita lain ketika Emma sedang berada dalam masa-masa krisis ekonomi sewaktu Emma tinggal di London.
            “Terima kasih,” bisik Emma beberapa saat kemudian. “Sudah berapa wanita yang mendengar pujian itu dari mulutmu?” Goda Emma yang menumpukan salah satu lututnya ke lutut yang lain. Tanpa Emma sadari, ia menggigit jari telunjuknya sendiri karena penasaran. Justin terperangah hingga ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Emma benar-benar seksi bila ia melakukan itu.
“Pertama mantan istriku. Yang kedua.. hanya kau, jika kau ingin aku jujur,” ucap Justin yang tidak sama sekali ada nuansa romantis di setiap kalimat yang keluar. Dan ini membuat Emma semakin percaya diri. Ia suka pria yang jujur seperti Justin dibanding pria yang harus berbohong demi mendapatkan Emma. Jari telunjuk Emma keluar dari antara gigi-giginya, ia lalu mengambil serbet dan membersihkan mulutnya.
“Tidak apa-apa. Aku suka itu,” ucap Emma tersenyum ramah. “Ceritakan padaku bagaimana bisa kau bercerai. Maksudku, kau tahulah, kau tampaknya pria baik-baik,” pinta Emma berhati-hati. Justin sungguh malas jika ia harus diminta menceritakan tentang pernikahannya yang rusak. Bayang-bayang Taylor masih membekas di memori Justin. Bahkan sampai sekarang, Justin masih dapat mencium aroma tubuh Taylor sehabis mandi. Meski Taylor mantan istrinya yang membuatnya muak akan tingkah laku Taylor sendiri, tetapi Taylor sungguh lihai bermain di atas ranjang. Sesekali Justin merindukan permainan Taylor yang hebat. Itu juga menjadi salah satu alasan mengapa Justin belum ingin memiliki anak sewaktu mereka masih bersama. Ia tidak bisa tidak berhubungan intim selama 9 bulan dan menunggu bagian bawah Taylor untuk sembuh selama 1 sampai 2 bulan pasca-kelahiran anaknya.
            Tersadar akan lamunannya, Justin mendongak melihat Emma lalu ia menggeleng kepala.
            “Aku sedang tidak ingin membicarakan mantan istriku. Ia begitu sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata. Ia memang rumit,” ujar Justin mencari alasan yang tidak masuk di akal Emma.
“Bagaimana jika kau saja yang menceritakan mantan suamimu? Maksudku, mengapa bisa-bisanya, wanita cantik sepertimu ditinggal pergi oleh pria bodoh sepertinya?” Justin bertanya dengan raut wajah kesal. Justin tampak lebih muda bila ia melepas kacamata hitamnya. Dan lebih berkarisma. Emma terkekeh pelan akan pertanyaan Justin yang sekaligus memujinya itu. Baginya, tidak ada pria semanis Justin. Oh, jika ia boleh memutar waktu kembali, ia ingin Justin yang menjadi suami dan ayah dari anak-anaknya. Emma merasa, selama ia menikah dengan mantan suaminya, ia telah menghabiskan waktu dengan sia-sia.
“Baiklah, jika kau yang meminta,” ucap Emma menelan ludahnya terlebih dahulu. “Aku menikah saat aku berumur 22 tahun. Aku masih begitu bodoh untuk mengerti cinta. Aku terlalu mabuk akan kata-kata manis yang dikeluarkan oleh mantan suamiku dan janjinya yang akan membawaku keliling dunia. Aku tahu ia seorang pria yang telah memiliki pekerjaan yang mapan dan dikenal baik oleh orang-orang banyak. Awalnya, kami berpacaran selama dua tahun ketika aku masih berumur 20 tahun sementara ia sudah berumur 25 tahun. Ia melamarku dan akhirnya kami menikah. Kupikir semuanya berjalan dengan baik,
“Diawal pernikahan, ia begitu lembut dan tidak banyak meminta apa pun dariku selain memenuhi kebutuhannya. Begitu umur pernikahan kami telah menginjak tahun yang pertama, ternyata selama itu ia telah berselingkuh dengan wanita lain. Saat itu aku belum memiliki pekerjaan sama sekali. Aku memaafkannya satu kali sehingga kami belum mengambil jalur perceraian. Hingga ia mulai jarang memberikanku uang untuk membayar tagihan-tagihan rumah. Dari sana aku melamar bekerja sebagai pegawai bank,
            “Aku mendapat uangku sendiri dan membayar tagihan-tagihan yang belum kami bayar. Satu tahun enam bulan, hanya sampai situ hubungan kami bertahan. Seorang wanita mengetuk pintu rumah kami dengan keadaan tengah hamil. Aku terkejut, tentu saja, dan bertanya-tanya mengapa ia datang ke rumah kami. Lalu akhirnya aku sadar, mantan suamiku menghamili wanita lain. Untunglah, aku tidak hamil ketika kami berpisah. Dan di sinilah aku. Bekerja di sini sebagai karyawan bank, memiliki karir yang bisa kubanggakan, dan masih muda untuk menikah.” Emma mengakhiri ceritanya saat pengunjung terakhir, sebelum mereka, telah keluar. Para pelayan mulai membersihkan meja-meja namun tak berusaha mengusir mereka berdua. Justin terdiam sejenak dan menyaring dan menjelaskan pada dirinya sendiri akan cerita yang Emma ceritakan. Ia tidak habis pikir dengan pria bodoh seperti mantan suami Emma. Justin akhirnya mengangkat pandangannya, mata harimaunya menatap mata biru Emma hingga Emma merasa jiwanya tertusuk perlahan-lahan. Nafasnya memburu tanpa sebab. Bibir Justin yang tadinya tertutup rapat kemudian terbuka sedikit. Tetapi pria itu tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat. Sampai akhirnya, pertanyaan konyol keluar dari mulut Justin.
            “Mengapa kau tidak menikah denganku saja?” Tanya Justin spontan.
            “Apa?”

***

            Pria tinggi itu membaringkan anak kecil yang tengah tertidur secara perlahan-lahan di atas tempat tidur. Hari ini, anak kecil itu terlalu banyak beraktivitas dan cepat sekali terlelap. Terlebih lagi, ia terlelap dalam gendongan pria tinggi itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun, pria itu melangkah perlahan-lahan menjauh dari tempat tidur itu dan memberikan kode tangan agar wanita yang sedang berdiri di mulut pintu kamar anak kecil itu keluar. Tetapi wanita itu tidak mengatakan apa-apa, ia hanya melakukan apa yang diperintahkan pria itu. Begitu mereka sudah berada di luar kamar, ia menarik pintu kamar pelan-pelan dan menutupnya rapat-rapat. Akhirnya ia dapat bernafas lega.
Wanita yang ada di hadapannya memerhatikan pria itu lalu membersihkan jas yang masih dikenakan oleh pria itu. Pasti anaknya begitu kotor hingga ada bekas garis debu dari celana jinsnya di jas pria itu. Taylor, wanita yang tengah membersihkan jas Java, tidak sama sekali menatap mata Java. Ia tidak berani, lebih tepatnya. Ya, tentu saja ia tidak berani menatap mata Java. Tiap kali ia melihat kedua mata biru itu, Taylor selalu merasa bersalah. Pertama, Taylor selalu menolaknya dengan cara halus. Kedua, Java sudah menjadi sahabatnya sejak mereka masih kuliah—meski Java lebih tua 5 tahun dari Taylor. Ketiga, Java begitu perhatian dengan Christopher hingga hal itu menyulitkan Taylor untuk menjaga jarak darinya. Taylor hanya tidak ingin hubungan persahabatan mereka rusak hanya karena Taylor menerima cinta Java. Ia tidak ingin Java dikecewakan oleh karena dirinya bila mereka menikah kelak.
Tidak begitu banyak obrolan yang mereka bicarakan sepanjang sore itu. Java lebih banyak bermain dengan Christopher dibanding berbicara dengan Taylor. Meski Java terus bercanda akan ucapan ‘menyuap’ Christopher agar Christopher mau menerima Java sebagai ayahnya nanti. Taylor mendecak kesal saat debu yang masih menempel itu tak kunjung hilang. Java yang melihatnya kesulitan itu segera meraup kedua tangannya hingga Taylor mendongak melihat matanya. Baru beberapa detik Taylor menatap mata Java, ia segera mengalihkan pandangannya pada alis Java. Pria di hadapannya itu tersenyum kecil karena tingkal Taylor yang konyol.
“Aku tahu kau tidak melihat mataku, Taylor.” ucap Java, namun tidak memiliki niat sama sekali untuk melepaskan genggamannya pada tangan Taylor. “Mengapa? Mengapa kau tidak berani menatap mataku selama kau menatap mata Justin?”
“Java,” desah Taylor berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Java. Namun ia tak berhasil sebab genggamannya begitu erat. “Kau tidak mengerti. Aku tidak ingin jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Kita telah menjalin hubungan ini selama 10 tahun. Tolonglah, Java, jangan merusaknya hanya karena cinta belaka,”
“Ini bukan karena cinta belaka, Taylor. Aku telah menunggu 10 tahun, apakah itu tidak cukup membuktikan bahwa aku memang mencintaimu? Kau benar-benar… rumit, Taylor,” ucap Java mendesah nafas panjang. Taylor menggeleng kepalanya lalu ia membenturkan keningnya di dada Java yang keras. Ia ingin menangis rasanya. Justin telah meninggalkannya dengan cinta yang masih disimpan oleh Taylor untuknya. Sesekali, setiap malam sebelum Taylor tidur, ia memikirkan bagaimana keadaan Justin sekarang. Tiga tahun sudah pria itu meninggalkannya dan tidak memberikan kabar apa pun. Di sisi lain, jika Taylor melihat Christopher, ia merasa hatinya telah dihancurkan hingga tak dapat dikembalikan kembali seperti semula untuk Justin. Ia sedang melalui masa-masa… hidup baru. Namun Java? Tidak, ia tidak dapat bersama pria yang terlalu baik untuknya. Java sudah melakukan apa pun untuk mendapat Taylor, tetapi Taylor tetap mengeraskan hatinya pada pria ini. Itu dikarenakan Taylor tidak mencintai Java.
Taylor tidak ingin menjalani hidupnya dengan kepalsuan. Namun di sisi lain, Java-lah yang selama ini mendampingi Christopher. Mereka seperti ayah dan anak, namun dengan wajah yang tak mirip.
“Taylor, mengapa? Apa Justin benar-benar tidak dapat keluar dari pikiranmu?” Tanya Java. Taylor mengangkat kepalanya dari dada Java lalu ia menggeleng kepalanya. Ia bukan tipe wanita yang mudah menangis, namun perasaannya sekarang begitu bercampur aduk, dan matanya mulai terbakar. Namun sampai sekarang, Taylor belum menatap mata Java.
“Mengapa kau tidak mencari wanita lain saja, Java? Kau tahu aku telah menolakmu berkali-kali. Apakah itu tak cukup membuatmu jengah?” Tanya Taylor menautkan kedua alisnya, memohon agar Java menghentikan drama ini. Mata Taylor bahkan belum membalas tatapan Java. Lalu akhirnya Java menyerah. Ia melepaskan kedua tangan Taylor lalu ia memeluk kepala Taylor.
“Karena hatiku sudah terpaku untukmu, Taylor,” ucap Java getir. Taylor mendiamkan kepalanya dalam pelukan Java namun tidak benar-benar menganggap serius apa yang Java katakan. Hatinya terlalu keras untuk menerima apa yang Java katakan. Keheningan mulai menjadi bagian dari mereka. Tidak ingin berakhir canggung, Java mengecup puncak kepala Taylor lalu melepaskan pelukannya.
“Sebaiknya kau pulang, sudah malam. Besok kita punya banyak pekerjaan yang harus dikerjakan,” ucap Taylor berbalik dari Java, namun sebelum ia beranjak dari tempatnya, Java meraup lengannya. Taylor menarik nafas tajam saat ia merasakan genggaman erat Java di sekitar lengannya. Seperti genggaman tangan Justin tiap kali Justin mendapatkan pelepasan. Taylor menggeleng kepala, lalu ia menarik lengannya dari cengkeraman Java dan berbalik tubuh.
"Java, cukup dengan drama ini. Aku lelah. Aku ingin istirahat. Jika kau bisa memenuhi permintaanku kali ini saja, aku akan sangat menghargainya. Aku ingin tidur, banyak pekerjaan yang harus kita kerjakan besok Java," desah Taylor berusaha agar pria ini segera mengakhiri drama yang tak kunjung selesai. Java tidak mungkin akan memiliki istri seperti Taylor. Wanita beranak satu, dingin, jarang tersenyum dan terlalu tegas untuk seorang pria seperti Java. Mereka bagaikan langit dan bumi yang tidak pernah bersatu meski berada dalam semesta yang sama. Tidak sekali-kali Taylor berani mencoba menatap mata Java, ia terus menundukkan kepala untuk yang kedua kalinya.
"Mengapa kau selalu mencari alasan? Kau tahu aku ada di sini dan aku selalu ada untukmu ketika kau membutuhkanku. Bukan pria sialan bernama Justin Dick Almonde yang telah meninggalkanmu begitu saja. Jika kau tahu kau akan berakhir seperti ini dengannya, apakah kau akan menerimaku sebagai kekasihmu dulu?" Tanya Java yang membuat jantung Taylor berdetak lebih kencang. Akankah ia menerima Java menjadi kekasihnya jika ia tahu Justin akan sebrengsek ini? Taylor menggeleng kepala.
"Mungkin," bisik Taylor mendongak. "Mungkin tidak. Jika kau tidak keberatan, Java, aku ingin kau pulang dan mengambil istirahat penuh untuk menghadapi hari esok,"
"Jika aku menginap di sini, apakah kau akan mengizinkanku?" Tanya Java dengan wajah memelas. "Aku akan tidur bersama Christopher jika kau tidak punya kamar tamu." ucap Java yang melipat kedua tangannya seperti sedang berdoa dan wajahnya bersungut-sungut. Java memang pintar mengubah keadaan canggung menjadi, well, cukup menyenangkan. Taylor mengambil nafas dalam-dalam lalu mengangguk.
"Baiklah, terserah kau. Kau boleh tidur di kamar tamu, atau kamar Christopher--"
"Atau kamarmu?"
"Tidak akan pernah, Mr.Bulcher. Sekarang, jika kau tidak keberatan, aku ingin tidur," ucap Taylor menjinjit untuk mengecup pria berwajah tampan itu. "Selamat malam, Java, tidur nyenyak." lanjut Taylor lembut. Ketika Taylor menjauhkan wajahnya dari Java, ia tersenyum manis pada pria itu. Sebelum Taylor pergi dari tempatnya, Java menarik pinggang Taylor sehingga tubuh mereka saling bersentuhan. Tangan Java yang lain mengelus pipi Taylor, ia menundukkan kepalanya mendekati kepala Taylor. Mata mereka saling bertemu, namun tak satu diantara mereka ada yang berpikir apa yang sedang mereka lakukan.
Sudah tiga tahun lebih Taylor tidak memenuhi kebutuhan batinnya dan pria ini berusaha untuk mengecup bibirnya. Satu kali kecupan di bibirnya akan memancing gairahnya yang selama ini terpendam. Sebelum bibir Java menyentuh bibirnya, Taylor berbisik pelan.
"Jangan." bisiknya. Namun Java tidak mengindahkan bisikannya. Pria itu mengecup bibir merah muda Taylor. Wanita itu mendesah sehingga mulutnya terbuka, dan Java tahu bagaimana memperlakukan wanita. Ia mengisap bibir bawah Taylor sementara tangannya menahan kepala Taylor agar bibir mereka tetap bersatu. Ciuman itu begitu panas, bahkan Taylor tak sadar ia telah meremas rambut Java yang lembut. Berahi Taylor sudah tak dapat ia tampung lagi. Ia butuh pelepasan dari seorang pria. Bahkan rasanya ia ingin menangis karena terlalu merindukan perasaan seperti ini.
"Java, tolonglah." Permohonan itu seolah-olah menjadi permohonan terakhir Taylor yang harus Java lakukan. Pria itu dengan segera menarik rok hitam yang Taylor kenakan di atas lutut lalu menggendong wanita itu. Kaki Taylor melingkar di sekitar pinggang Java sementara bibir mereka masih bersatu. "Berikan aku pelepasan, kumohon," bisik Taylor di sela-sela ciuman mereka.
"Seperti yang kauminta, my love."

***

Malam itu Justin bersumpah ia begitu menyesal telah menceritakan mengenai anaknya, Christopher, pada Emma. Seharusnya ia tidak menceritakan hal itu pada Emma. Yang Justin tidak ketahui ternyata Emma penyuka anak-anak, meski Justin telah meyakinkan Emma bahwa Christopher bukanlah anak kandungnya, tetapi tetap saja Emma bersikeras ingin bertemu dengan Christopher. Sungguh, Justin memang ingin sekali menjalin hubungan dengan Emma. Ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan Emma menjadi istrinya. Tetapi sungguh, apakah Christopher memang satu-satunya jalan terbuka untuk Justin mendapatkan Emma? Mengapa wanita itu tidak memberikan pilihan lain?
Haruskah ia menghubungi Taylor dan memberitahu mantan istrinya kalau Justin merindukan Christopher? Tidak mungkin! Taylor bukanlah wanita yang mudah dibodoh-bodohi seperti itu. Sudah jelas sekali, sejak kelahiran Christopher, Justin tidak pernah menganggap Christopher adalah anaknya. Mengecup kening Chrisopher saja, Justin tidak pernah. Jadi, bagaimana bisa Justin dapat merindukan Christopher? Lagi pula, tidak mungkin Taylor masih memakai nomor telepon yang sama sekarang, setelah 3 tahun mereka berpisah. Tetapi patut untuk dicoba.
Justin hanya memiliki waktu akhir pekan untuk bertemu dengan Taylor dan Christopher. Kira-kira, 4 hari dari sekarang. Justin perlu memikirkan strategi apa yang harus ia lakukan selama ia bertemu dengan Taylor. Bagimana pun, Taylor masih memiliki daya tarik tersendiri bagi Justin. Justin tahu Taylor masih menjabat sebagai seorang pengacara, jadi kemungkinan besar, Taylor mendapatkan waktu libur di hari Sabtu karena ia memiliki satu anak. Apa yang harus Justin katakan pada Taylor? Apa Taylor akan mengizinkan Justin bertemu dengan Christopher dan memperkenalkan Emma pada anaknya? Ulang tahun Christopher pun Justin tidak tahu!
Di dalam kamar, Justin segera mengambil ponselnya untuk menghubungi asistennya yang tahu segala hal. Ia perlu tahu tentang Taylor dan Christopher sekarang. Uh, membayangkan Taylor menatapnya saja, Justin tidak sanggup. Mata itu terlalu tajam untuk ditatap dan terlalu tegas untuk diberikan senyuman. Dan kembali lagi, Justin masih bingung mengapa ia pernah melamar wanita itu.
Tetapi itu sudah tak penting lagi. Yang penting ialah bagaimana caranya ia dapat bertemu dengan Christopher?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar