Minggu, 05 Oktober 2014

Doomed Bab 3








CHAPTER THREE

Pagi itu, di hari Selasa, Taylor baru saja selesai menyiapkan sarapan paginya. Ia merasa bersalah akan apa yang terjadi tadi malam dengan Java. Ia bersumpah dan berjanji tidak akan pernah mengulang kembali apa yang telah ia lakukan dengan Java. Seharusnya ia tidak bercinta dengan Java di atas tempat tidurnya sendiri. Meski malam tadi adalah persetubuhan terbaiknya setelah ia bercerai dengan Justin. Taylor memang tak pernah bersetubuh dengan siapa pun sejak ia bercerai, ia hanya ...memberi kepuasan dengan tangannya sendiri. Dan segalanya terbayar oleh Java. Namun ia tidak akan pernah melakukannya lagi. Sekarang Java tahu bagaimana ganasnya Taylor di atas tempat tidur. Terutama karena Taylor telah mencakar punggung Java hingga terluka.
Christopher belum bangun dari tidurnya. Tentu saja, jam masih menunjukkan pukul 7.00 pagi. Bahkan Java pun belum terbangun dari tidurnya. Hanya Taylor, sendirian di dapur dan baru saja selesai menyiapkan sarapan. Raut wajahnya datar, tidak begitu sering Taylor memberikan senyuman pada siapa pun kecuali Christopher. Tangan Taylor bertumpu di atas meja makan, lalu ia menarik nafas tajam-tajam. Ia berusaha memikirkan apa yang harus ia katakan pada Java soal tadi malam. Ia ingin memberitahu Java bahwa kejadian tadi malam tidak berarti apa-apa. Taylor tidak mencintainya sebagai seorang kekasih. Tidak sama sekali. Taylor mengerang dalam hati. Tak sadar, bibir bawahnya telah tersembunyi di balik gigi atasnya.
"Mommy," terdengar suara serak dari pintu dapur. Taylor menoleh ke arah pintu dapur dan matanya melihat seorang anak kecil yang masih memakai pakaian yang sama seperti kemarin. "Uh, apa yang kaulakukan, Mom?"
"Mommy membuatkanmu sarapan. Kau mau apa? Telur atau roti? Pilihlah yang kausuka," ujar Taylor berjalan menuju Christopher yang masih kelihatan mengantuk. Anak kecil itu bahkan masih memejamkan matanya saat ia berdiri di ambang pintu dapur. Christopher mengangkat tangannya, kemudian Taylor memegang tangannya anaknya. Taylor bukanlah tipe ibu yang memanjakan anaknya. Ia akan memberikan apa pun untuk Christopher selama itu masih wajar. Ia menarik tangan Christopher menuju meja makan lalu membiarkan anak itu berdiri di depan meja makan.
"Aku ingin dua-duanya," ucap Christopher. Ia menguap sebentar, mengucek-ucek matanya dan lalu ia sudah benar-benar terbangun. Matanya terbuka dan mencari dimana tempat duduk kesukaannya. Ia senang duduk di kursi paling ujung di sisi sebelah kanan. Sambil Taylor menyiapkan roti dan telur untuk anaknya, Christopher menarik kursi yang lebih besar dari tubuhnya lalu memanjat naik ke atas. Secara tak sengaja, kepala Christopher terbentur meja bagian bawah. Ia mengerang kesakitan.
Bukannya mendekati Christopher, Taylor malah tersenyum melihat anaknya yang sekarang sedang mengusap-usap kepala bagian belakangnya. "Kau baik-baik saja di sana, Christopher?"
"Aku tidak tahu," ucap Christopher sedikit mengerang. Taylor hanya terkekeh pelan melihat ekspresi anaknya yang sangat lucu. Christopher mengerucutkan bibirnya sambil tangannya terus mengelus kepala bagian belakangnya hingga rambutnya yang sudah acak-acakan semakin teracak. Hanya butuh beberapa detik agar Christopher berhenti melakukan hal itu.
"Baiklah, ini sarapanmu, tuan Christopher. Semoga kepalamu sekuat cangkang telur," ucap ibunya menyodorkan sepiring dua lapis roti dan satu telur mata sapi. Christopher tidak mengerti apa yang ibunya katakan, jadi, ia lebih memilih untuk mendiamkan ibunya dan menikmati sarapannya. Taylor memerhatikan anaknya yang makan dengan lahap. Masih ada waktu 1 jam setengah lagi untuk bersiap-siap.
"Mommy akan bersiap-siap untuk berangkat. Habiskan sarapanmu, Christopher. Ingat, masih banyak anak-anak di luar sana yang tidak bisa makan sepertimu,"
"Ya, Mommy. Aku juga sedang lapar, jadi, aku akan menghabiskannya." balas Christopher tanpa menatap Taylor sekalipun. Ibunya berjalan menuju Christopher kemudian menarik wajahnya dan mengecup pipi tembamnya. Christopher mengerang dalam hati. Ia tidak suka dikecup seperti itu oleh siapa pun. Sekalipun ibunya. Rasanya geli dan aneh. Taylor berjalan meninggalkannya di dapur sendirian. Anak kecil itu memutar kepalanya ke belakang untuk melihat apakah ibunya sudah menghilang. Setelah ia rasa ibunya sudah tak ada di sekitarnya, ia mengedik bahu lalu mengelap pipi bekas ciuman dari ibunya.
Christopher kembali sibuk dengan sarapan paginya. Entah mengapa hari ini Christopher tampaknya tidak ingin pergi kemana-mana. Bahkan untuk pergi ke tempat penitipan anak saja, ia tidak mau. Mungkin tetap berada di rumah bersama Java adalah ide yang bagus. Ia harus meminta ibunya memanggil Java ke rumah. Tetapi yang Christopher tidak tahu adalah Java memang berada di rumahnya sejak kemarin.
Pria itu bahkan masih terlelap di atas tempat tidur Taylor. Wanita itu sudah masuk beberapa menit yang lalu dan telah masuk ke dalam kamar mandi. Suara pancuran air dari kamar mandi terdengar. Tidur nyenyak dari pria itu terganggu begitu saja. Matahari yang menembus kaca kamar Taylor membuat ia terpaksa terbangun. Selimut menutupi setengah dari tubuhnya. Ia bertelanjang dada dan otot-otot perutnya kelihatan begitu seksi. Tidak ada yang bisa menandingi keseksian pria itu. Secara tiba-tiba ia bangkit dan menyangga tubuhnya dengan kedua siku yang bersandar di atas tempat tidur.
"Taylor?" Suara serak paginya terdengar sampai telinga sensitif Taylor. "Kau sedang mandi?"
"Ya," jawab Taylor mematikan pancuran airnya. "Ada apa, Java?"
"Tidak ada apa-apa. Kau ..lanjutkan saja acara mandimu. Aku akan ..ikut mandi denganmu." Goda Java dari luar kamar mandi. Bibir Taylor berkedut-kedut ingin tertawa akan ucapan pria itu. Namun ia sadar, ia tidak boleh melakukan yang 'lebih' lagi dengan Java. Itu akan memperburuk keadaan Taylor, ia merasa bersalah telah mempergunakan Java sebagai penyalur nafsunya dan ia tidak ingin itu berlangsung lebih lama lagi. Ia tidak ingin memberi harapan pada Java. Pria itu harus mencari wanita lain.
"Christopher sudah ada di dapur. Jika kau ingin bergabung dengannya untuk sarapan, kau akan sangat membantuku." ucap Taylor mengalihkan pembicaraan. Java mengedik bahu. Jika memang itu yang Taylor inginkan, ia akan melakukannya. Kemudian pancuran air kembali terdengar.
"Tentu." Java keluar dari tempat tidur Taylor. Hanya sebuah boxer abu-abu yang ia kenakan. Ia tentu tidak ingin terlihat seperti ini di depan Christopher. Ia tidak ingin dianggap Taylor (jika Taylor melihatnya bertelanjang dada dan hanya mengenakan boxer di depan Christopher) seorang pedofilia dan Christopher adalah korban selanjutnya. Ia mengaca di cermin rias Taylor lalu mengelus-elus dagunya, senyum menggodanya muncul dan ia mengangguk-angguk penuh percaya diri. Ia tentu saja sangat tampan dan tidak mungkin ia terlihat seperti pedofilia.
"Terlalu tampan." bisiknya pada diri sendiri. Ia melihat celana jinsnya berada di atas kursi meja rias Taylor. Ia menahan senyumnya karena mengingat apa yang terjadi tadi malam bersama Taylor. Diambilnya celana jins itu lalu memakainya kembali. Taylor begitu panas tadi malam. Ia tidak menyangka jika Taylor akan selincah dan selihai itu dalam berhubungan intim. Taylor memang tidak mengerang kencang-kencang. Justru wanita itu terus menggigit bibirnya agar tak menjerit tiap kali Java memasuki Taylor. Dapat dilihat dari wajah Taylor, wanita itu sangat merindukan persetubuhan. Terutama ketika mereka memasuki permainan yang kedua, Taylor meminta untuk menunggangi Java dari atas. Ia tidak percaya Taylor akan segencar itu menggerakkan pinggulnya.
Memikirkan hal itu, kejantanan Java mengeras tanpa ia sadari. Sial! Ia tahu Taylor tidak akan mau berhubungan badan lagi dengannya. Tadi malam hanyalah keberuntungan semata baginya. Dan ia tahu betul kepribadian Taylor. Tetapi jika Tuhan memang menempatkan Taylor sebagai pendamping hidupnya, Java akan meninju udara dan berseru senang.
Java berjalan keluar dari kamar tepat ketika Taylor baru saja mematikan pancuran airnya. Pria itu berjalan dengan keadaan bertelanjang dada menuju tangga. Ia berlari kecil menuruni tangga sambil bersiul-siul. Otaknya berusaha menghilangkan ingatan Java tentang tadi malam. Semakin ia berusaha, semakin ia mengingat hal-hal paling detail yang mereka lakukan tadi malam. Taylor menjambak rambut Java dan menggigit bibir bawah pria itu ketika Taylor mendapat pelepasan. Begitu seksi.
Seorang anak kecil sedang menikmati sarapan di dapur. Telinga Christopher tiba-tiba mendengar suara siulan dari luar dapur. Tidak mungkin ibunya yang bersiul! Setahu Christopher, ibunya tidak suka bersiul dan tidak mungkin akan melakukannya. Christopher melihat ke mulut pintu dapur, begitu ia melihat pria tinggi tak memakai baju, ia menganga. Java menghampiri Christopher yang sedang menghabisi telur mata sapinya. Tidak mungkin paman Java berada di rumahnya semalaman ini! Bagaimana bisa? Ah, mengapa ibu begitu jahat sehingga ia tidak memberitahu Christopher kalau paman Java berada di rumah?
"Paman Java, ayo duduk di sebelahku," ajak Christopher. Sama seperti ibunya, seorang yang suka memerintah, Java hanya tersenyum dan menarik kursi di sebelah Christopher. Ketika Java ingin mengambil sedikit telur Christopher, tiba-tiba Christopher memukul tangan Java. "Tidak boleh! Ini punyaku, paman Java. Punyamu ada di sana, kata Mommy aku harus menghabiskannya karena masih ada anak kecil di luar sana yang kelaparan."
"Oke, oke, bos kecil. Akan kuambil bagianku," ucap Java mengangkat kedua tangannya, tanda ia mengalah dan menyerah. Tangan Java mengambil piring berisi dua telur. "Untuk orang dewasa sepertiku, aku harus makan lebih banyak darimu."
"Benarkah? Aku ingin menjadi dewasa supaya mendapat makanan banyak seperti itu,"
"Baiklah, jika itu memang keinginanmu, maka sekarang kau sudah dewasa." ujar Java menaruh satu telur ke atas piring Christopher. Mulut Christopher yang masih berisikan telur itu menganga. Ia sudah menjadi dewasa? Luar biasa! Beberapa detik kemudian mulutnya yang terbuka itu berubah menjadi sebuah senyuman kebanggaan. "Dan orang dewasa harus menghabiskan makanannya."
"Tentu saja aku tahu itu, paman Java. Mommy bilang aku harus menghabiskan makanan karena masih banyak anak kecil di luar sana yang tidak bisa makan,"
"Kau memang pendengar yang baik, Orang Dewasa," ujar Java mengelus kepala Christopher. "Tetapi, kau harus tetap tidak berbicara dengan orang asing. Kau tidak ingin diculik bukan?"
"Apa itu orang asing?"
"Orang yang tidak pernah bertemu atau berbicara denganmu. Jangan berbicara pada mereka. Apa Mommy tidak pernah memberitahu tentang itu padamu?" Tanya Java, meski sebenarnya ia tahu apa jawabannya. Christopher menggeleng kepala polos. "Baiklah, kalau begitu jangan berbicara dengan orang asing."
"Oke, paman Java. Aku akan melakukannya," ucap Christopher mengambil telur mata sapinya dengan tangan, lagi, dan memasukkannya ke dalam mulut. "Kurasa aku sudah kenyang."
Java hanya tersenyum dan menggeleng kepala. Anak kecil yang menggemaskan.

***

Pria itu terus memaki-maki asistennya karena tidak sama sekali membantu Justin mencaritahu tentang Taylor dan anaknya. Memang, asistennya adalah sahabatnya, tetapi Justin adalah Justin. Ia pria yang bertemperamental, kesabarannya cepat habis. Ia bersumpah, jika hubungannya dengan Emma tak berhasil, ia akan berubah menjadi gay. Christopher hanyalah satu-satunya jalan agar Justin dapat menikahi Emma. Justin perlu berpura-pura menyukai anak-anak. Maksudnya, mencintai anaknya sendiri. Masalahnya adalah Christopher bukan anak kandungnya, menurut Justin.
Entah mengapa Justin merasa berada dalam posisi Adam Sandler di film Just Go With It. Bedanya adalah Taylor memang benar-benar mantan istrinya dan ia tidak pergi ke Hawaii untuk membuat Emma terkesan karena sifat penyayang Justin pada Christopher. Siang itu Justin sedang berada dalam perjalanan menuju Atlanta. Dan ia berdoa pada Tuhan agar Christopher berada di tempat penitipan anak. Menurut asistennya, Christopher sekarang telah berumur 3 tahun (ya, Justin tidak sama sekali tahu kapan Christopher lahir). Anak itu berada di tempat penitipan anak, di dekat tempat kerja Taylor. Justin tahu dimana tempat kerja Taylor dan tempat penitipan anak yang asistennya maksud. Ia hanya berdoa agar jika ia sampai sore nanti, Taylor belum menjemput Christopher.
Ia perlu bertemu dengan Christopher. Pertama, ia harus mengetahui kapan ulang tahun Christopher. Kedua, ia harus tahu lebih dalam tentang Christopher. Justin yakin, Emma akan bertanya hal-hal apa yang Christopher sukai sebelum ia terbang dari Los Angeles ke Atlanta. Sebagai calon ibu tiri Christopher, Emma harus memanjakan anak kecil itu agar Christopher dapat menyetujui hubungan mereka (meski sebenarnya Justin tidak begitu memikirkan pendapat Christopher atau keputusan dari seorang anak kecil). Dan ia butuh dua hari untuk berdekatan dengan Christopher setelahnya, ia akan kembali ke Los Angeles dan pada Jumat malam, ia akan terbang bersama Emma ke Atlanta lagi.
Dan semoga Taylor belum pernah mengajarkan Christopher tentang 'jangan berbicara dengan orang asing'. Tetapi Justin begitu meragukan hal itu. Taylor orang yang tegas dan tentunya Christopher pasti tersiksa memiliki ibu seperti Taylor. Justin menarik nafasnya dalam-dalam, kepalanya menghadap kaca di sebelahnya dan memandang awan-awan bak kapas itu.

***

Christopher mendongak ketika namanya dipanggil oleh Mrs. Judith. Ah, mengapa Mrs. Judith memanggilnya ketika ia sedang serius bermain? Tidakkah Mrs. Judith tahu kalau bermain Lego membutuhkan waktu yang lama? Christopher sebagai anak penurut bangkit dari lantai berlapis karpet lembut lalu berjalan menuju Mrs. Judith yang sudah tua. Mrs. Judith memiliki perawakan gemuk dan tampak sangat ramah pada siapa pun.
"Ada apa, Mrs. Judith?" Tanya Christopher yang memainkan dua batang Lego yang masih berada di tangannya. Mrs. Judith membungkuk, belahan dada besarnya kelihatan. Uh, menjijikan!
"Ambil barang-barangmu karena kau sudah dijemput," ucap Mrs. Judith tersenyum. Christopher menarik nafas panjang. Kepala Christopher menoleh ke dinding untuk melihat jam berapa sekarang. Anak kecil itu mendesah. Ia sudah berusaha membuat sebuah robot-robotan dari batang Lego dan ia sudah jemput? Mengapa harus sekarang? Lagi pula sekarang masih jam 3 sore, mengapa ibu pulang cepat sekali? Tetapi Christopher tidak punya pilihan lain.
Ia melangkah kembali ke tempatnya bermain dan merapikan setengah robot-robotannya ke sudut ruangan, berharap tidak ada yang menyentuhnya. Semoga Clark, temannya yang nakal sekali, tidak menghancurkan robot-robotannya supaya besok Christopher dapat melanjutkannya. Christopher mengambil tas kecilnya yang ia gantung di gantungan tas lalu menyeret-nyeretnya dengan malas.
"Oh, ayolah, Christopher. Besok kau bisa melanjutkannya lagi, sayang," seru Mrs. Judith seceria mungkin. Tetapi Christopher hanya dapat tersenyum untuk menghargai usaha Mrs. Judith membuatnya ceria kembali. Tetapi sungguh, ia benar-benar ingin menyelesaikan robot-robotannya.
"Terima kasih, Mrs. Judith. Sampai bertemu besok," ucap Christopher dengan suara lesu lalu berjalan menuju beranda penitipan anak. Mrs. Judith mengikutinya dari belakang dan tersenyum-senyum senang pada pria yang menunggu Christopher di sebelah meja administrasi. Ketika Christopher melihat pria itu, Christopher menghentikan langkahnya. Mrs. Judith yang berjalan di belakangnya secara tiba-tiba berhenti. Christopher membalikkan tubuhnya lalu ia menepuk keningnya.
"Aku tidak kenal dia, Mrs. Judith!" Seru Christopher kesal namun ia tidak menatap Mrs. Judith. Kedua alis Mrs. Judith terangkat. Tidak mungkin Christopher tidak mengenal pria yang begitu mirip dengan Christopher. Pria itu mengaku kalau ia adalah ayah Christopher dan Mrs. Judith yakin kalau pria itu memang ayah Christopher. Nama belakang mereka sama.
"Tentu saja kau tahu siapa dia, Christopher. Dia daddy-mu," ucap Mrs. Judith. Mendengar kata 'Daddy', jantung Christopher berpacu cepat. Daddy? Ia punya seorang Daddy? Bagaimana bisa? Ibu bilang kalau Christopher tidak memiliki Daddy tetapi sekarang Daddy sedang menjemputnya di penitipan anak? Ah! Mengapa ibu senang sekali membohongi Christopher? Tidak ingin membuang-buang waktunya, Christopher membalikkan tubuhnya untuk melihat Daddy.
Jadi, seperti inikah wujud Daddy yang dibicarakan oleh teman-temannya? Pria itu tinggi, tetapi tidak lebih tinggi dari paman Java. Dan memiliki rambut berwarna cokelat. Ia memakai kaos lengan panjang yang bagian lengannya dilipat hingga siku-siku, kaosnya berwarna ungu tua, dan ia memakai celana jins panjang. Baiklah, Christopher akan pulang bersama dengannya.
"Maafkan saya, Mrs. Judith, terakhir saya bertemu dengan Christopher sekitar 2 tahun yang lalu ketika ia masih kecil. Saya harus pergi keluar negeri untuk melakukan penelitian," ucap pria itu tampak meyakinkan. Christopher berjalan penuh percaya diri menuju 'Daddy'-nya. Segera pria itu meraup kedua bahu kecilnya seolah-olah sedang menjaga Christopher. Jadi seperti ini sentuhan dari seorang Daddy? Tidak jauh berbeda dari paman Java.
"Tidak apa-apa, Mr. Almonde, saya memakluminya." ucap Mrs. Judith.
"Kalau begitu, saya permisi, Mrs. Judith. Terima kasih telah menjaga anak saya. Sampai jumpa." ucap pria itu begitu ramah. Mrs. Judith hanya mengangguk dan memandangi ayah-anak itu meninggalkan tempat penitipan anak. Ah, ayah Christopher begitu tampan. Ibu Christopher begitu beruntung.

***

Justin tidak percaya bahwa ia sekarang sedang menggenggam tangan anaknya. Tidak mungkin Christopher semirip itu dengannya! Wajahnya sangat mirip dengan Justin, bahkan orang berpikir Christopher hanya hasil kloning dari Justin. Tetapi Justin masih meyakinkan dirinya bahwa Christopher bukan anak kandungnya. Ia mengajak Christopher ke taman bermain di tengah taman kota. Katanya, Taylor sering membawa Christopher ke sana. Mereka sudah mengelilingi taman kota selama beberapa menit. Yang Justin tahu sekarang adalah Christopher berulang tahun di bulan Oktober tanggal 15 dan orang terdekatnya adalah ibunya dan paman Java. Mendengar nama Java membuat Justin muak dan tak habis pikir. Apakah pria itu tak kunjung menyerah? Taylor telah menolaknya mentah-mentah! Sungguh, ia tidak tahu malu.

Untungnya, Christopher anak penurut dan patuh. Christopher lebih pendiam dari yang Justin bayangkan. Ia pikir, Christopher akan sangat rewel dan manja. Tetapi benar-benar di luar dugaan Justin. Anak ini hanya bertanya-tanya apakah Justin memang Daddy-nya. Well, Justin adalah Justin. Ia tidak ingin Christopher kabur dari tangannya jika Justin tidak menjawab 'Ya'. Karena Justin yakin sekali, Christopher sangat menginginkan Daddy. Jika tidak, tidak mungkin Christopher akan terus bertanya. Setelahnya, mulut Christopher tertutup rapat.
Sesampainya di taman kota, Justin melihat penjual es krim di pinggir jalan taman. "Kau ingin es krim?" Tawar Justin berharap anak itu menjawab tidak.
"Ya." Sial! Mereka berjalan menuju penjual es krim yang sedang melayani pelanggannya. "Aku suka rasa coklat, Daddy."
"Well, aku tidak suka es krim," ucap Justin tampak tak begitu peduli. Mereka mengantri di belakang seorang pria bertubuh gemuk yang memesan tiga es krim, entah untuk dirinya sendiri atau temannya. Begitu giliran mereka, Justin mencoba melepaskan genggamannya tangannya dari Christopher. Namun tangannya itu ditahan oleh genggaman tangan Christopher. "Christopher, aku harus mengambil dompetku di kantong,"
"Tidak boleh. Aku akan terus memegang tangan ini," ucap Christopher. Justin mengerang dalam hati. Ia harus memberi apresiasi pada Taylor karena telah bertahan menjaga Christopher selama tiga tahun tanpa mengeluh pada Justin. Dengan terpaksa, Justin mengambil dompetnya dengan tangannya yang lain meski sulit.
"Saya pesan satu es krim rasa coklat," ucap Justin menaruh dompet itu di atas papan gerobak penjual es krim itu untuk mengeluarkan uang. Justin melirik Christopher yang sekarang telah memegang tangannya dengan dua tangan lalu mencubit-cubit dengan raut wajah gemas. Baiklah, mungkin anak ini memang sangat menggemaskan. Justin bertanya-tanya, apakah dulu ia semanis ini? Mungkin saja.
"Sir, es krimmu," ucap penjual es krim menyodorkan es krimnya. Justin menaruh uangnya di atas papan gerobaknya lalu mengambil es krim dari tangan si penjual. Justin memberi es krim itu pada Christopher. Ternyata es krim lebih lezat dibanding tangan Justin. Ketika tangannya dilepas oleh Christopher, Justin bernafas lega. Bulu-bulu tangannya dari tadi ditarik-tarik oleh Christopher dan cukup pedih tiap kali Christopher melakukan hal itu. Justin mengambil dompetnya kembali dan menyimpannya di dalam kantong. Mereka meninggalkan si penjual es krim lalu berjalan menuju kursi kosong di dekat tempat mereka berdiri.
"Apa Mommy sering membelikanmu es krim?" Tanya Justin. Christopher menggeleng kepala. "Mengapa?"
"Mommy tidak ingin aku batuk-batuk dan flu. Tetapi paman Java selalu membelikanku es krim jika aku memintanya," ujar Christopher menjilat-jilat es krim cokelatnya. Justin yang melihat bibir anak kecil itu belepotan es krim langsung mengeluarkan sapu tangannya dan mengelap bibirnya yang kotor. "Mommy selalu melakukan itu jika mulutku belepotan,"
"Ya, ia memang harus melakukan hal itu." ucap Justin mengangguk-angguk. "Simpanlah," lanjut Justin menaruh sapu tangannya di atas paha Christopher. Justin menarik nafas dalam-dalam namun matanya masih memerhatikan Christopher yang ..sialan, anak kecil itu mirip sekali dengannya.
Justin merasakan pundaknya ditepuk beberapa kali, ia segera menoleh ke belakang. Sebuah tamparan keras melayang di pipinya. Sial!
"Kau brengsek!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar