CHAPTER THREE
Pagi itu, di hari Selasa, Taylor
baru saja selesai menyiapkan sarapan paginya. Ia merasa bersalah akan apa yang
terjadi tadi malam dengan Java. Ia bersumpah dan berjanji tidak akan pernah
mengulang kembali apa yang telah ia lakukan dengan Java. Seharusnya ia tidak bercinta
dengan Java di atas tempat tidurnya sendiri. Meski malam tadi adalah
persetubuhan terbaiknya setelah ia bercerai dengan Justin. Taylor memang tak
pernah bersetubuh dengan siapa pun sejak ia bercerai, ia hanya ...memberi
kepuasan dengan tangannya sendiri. Dan segalanya terbayar oleh Java. Namun ia
tidak akan pernah melakukannya lagi. Sekarang Java tahu bagaimana ganasnya
Taylor di atas tempat tidur. Terutama karena Taylor telah mencakar punggung
Java hingga terluka.
Christopher belum bangun dari tidurnya.
Tentu saja, jam masih menunjukkan pukul 7.00 pagi. Bahkan Java pun belum
terbangun dari tidurnya. Hanya Taylor, sendirian di dapur dan baru saja selesai
menyiapkan sarapan. Raut wajahnya datar, tidak begitu sering Taylor memberikan
senyuman pada siapa pun kecuali Christopher. Tangan Taylor bertumpu di atas
meja makan, lalu ia menarik nafas tajam-tajam. Ia berusaha memikirkan apa yang
harus ia katakan pada Java soal tadi malam. Ia ingin memberitahu Java bahwa
kejadian tadi malam tidak berarti apa-apa. Taylor tidak mencintainya sebagai
seorang kekasih. Tidak sama sekali. Taylor mengerang dalam hati. Tak sadar,
bibir bawahnya telah tersembunyi di balik gigi atasnya.
"Mommy," terdengar
suara serak dari pintu dapur. Taylor menoleh ke arah pintu dapur dan matanya
melihat seorang anak kecil yang masih memakai pakaian yang sama seperti
kemarin. "Uh, apa yang kaulakukan, Mom?"
"Mommy membuatkanmu sarapan.
Kau mau apa? Telur atau roti? Pilihlah yang kausuka," ujar Taylor berjalan
menuju Christopher yang masih kelihatan mengantuk. Anak kecil itu bahkan masih
memejamkan matanya saat ia berdiri di ambang pintu dapur. Christopher
mengangkat tangannya, kemudian Taylor memegang tangannya anaknya. Taylor
bukanlah tipe ibu yang memanjakan anaknya. Ia akan memberikan apa pun untuk
Christopher selama itu masih wajar. Ia menarik tangan Christopher menuju meja
makan lalu membiarkan anak itu berdiri di depan meja makan.
"Aku ingin dua-duanya,"
ucap Christopher. Ia menguap sebentar, mengucek-ucek matanya dan lalu ia sudah
benar-benar terbangun. Matanya terbuka dan mencari dimana tempat duduk
kesukaannya. Ia senang duduk di kursi paling ujung di sisi sebelah kanan.
Sambil Taylor menyiapkan roti dan telur untuk anaknya, Christopher menarik
kursi yang lebih besar dari tubuhnya lalu memanjat naik ke atas. Secara tak
sengaja, kepala Christopher terbentur meja bagian bawah. Ia mengerang
kesakitan.
Bukannya mendekati Christopher,
Taylor malah tersenyum melihat anaknya yang sekarang sedang mengusap-usap
kepala bagian belakangnya. "Kau baik-baik saja di sana, Christopher?"
"Aku tidak tahu," ucap
Christopher sedikit mengerang. Taylor hanya terkekeh pelan melihat ekspresi
anaknya yang sangat lucu. Christopher mengerucutkan bibirnya sambil tangannya
terus mengelus kepala bagian belakangnya hingga rambutnya yang sudah
acak-acakan semakin teracak. Hanya butuh beberapa detik agar Christopher
berhenti melakukan hal itu.
"Baiklah, ini sarapanmu,
tuan Christopher. Semoga kepalamu sekuat cangkang telur," ucap ibunya
menyodorkan sepiring dua lapis roti dan satu telur mata sapi. Christopher tidak
mengerti apa yang ibunya katakan, jadi, ia lebih memilih untuk mendiamkan
ibunya dan menikmati sarapannya. Taylor memerhatikan anaknya yang makan dengan
lahap. Masih ada waktu 1 jam setengah lagi untuk bersiap-siap.
"Mommy akan bersiap-siap
untuk berangkat. Habiskan sarapanmu, Christopher. Ingat, masih banyak anak-anak
di luar sana yang tidak bisa makan sepertimu,"
"Ya, Mommy. Aku juga sedang
lapar, jadi, aku akan menghabiskannya." balas Christopher tanpa menatap
Taylor sekalipun. Ibunya berjalan menuju Christopher kemudian menarik wajahnya
dan mengecup pipi tembamnya. Christopher mengerang dalam hati. Ia tidak suka
dikecup seperti itu oleh siapa pun. Sekalipun ibunya. Rasanya geli dan aneh.
Taylor berjalan meninggalkannya di dapur sendirian. Anak kecil itu memutar
kepalanya ke belakang untuk melihat apakah ibunya sudah menghilang. Setelah ia
rasa ibunya sudah tak ada di sekitarnya, ia mengedik bahu lalu mengelap pipi
bekas ciuman dari ibunya.
Christopher kembali sibuk dengan
sarapan paginya. Entah mengapa hari ini Christopher tampaknya tidak ingin pergi
kemana-mana. Bahkan untuk pergi ke tempat penitipan anak saja, ia tidak mau.
Mungkin tetap berada di rumah bersama Java adalah ide yang bagus. Ia harus
meminta ibunya memanggil Java ke rumah. Tetapi yang Christopher tidak tahu
adalah Java memang berada di rumahnya sejak kemarin.
Pria itu bahkan masih terlelap di
atas tempat tidur Taylor. Wanita itu sudah masuk beberapa menit yang lalu dan
telah masuk ke dalam kamar mandi. Suara pancuran air dari kamar mandi
terdengar. Tidur nyenyak dari pria itu terganggu begitu saja. Matahari yang
menembus kaca kamar Taylor membuat ia terpaksa terbangun. Selimut menutupi
setengah dari tubuhnya. Ia bertelanjang dada dan otot-otot perutnya kelihatan
begitu seksi. Tidak ada yang bisa menandingi keseksian pria itu. Secara
tiba-tiba ia bangkit dan menyangga tubuhnya dengan kedua siku yang bersandar di
atas tempat tidur.
"Taylor?" Suara serak
paginya terdengar sampai telinga sensitif Taylor. "Kau sedang mandi?"
"Ya," jawab Taylor
mematikan pancuran airnya. "Ada apa, Java?"
"Tidak ada apa-apa. Kau
..lanjutkan saja acara mandimu. Aku akan ..ikut mandi denganmu." Goda Java
dari luar kamar mandi. Bibir Taylor berkedut-kedut ingin tertawa akan ucapan
pria itu. Namun ia sadar, ia tidak boleh melakukan yang 'lebih' lagi dengan
Java. Itu akan memperburuk keadaan Taylor, ia merasa bersalah telah
mempergunakan Java sebagai penyalur nafsunya dan ia tidak ingin itu berlangsung
lebih lama lagi. Ia tidak ingin memberi harapan pada Java. Pria itu harus
mencari wanita lain.
"Christopher sudah ada di
dapur. Jika kau ingin bergabung dengannya untuk sarapan, kau akan sangat
membantuku." ucap Taylor mengalihkan pembicaraan. Java mengedik bahu. Jika
memang itu yang Taylor inginkan, ia akan melakukannya. Kemudian pancuran air
kembali terdengar.
"Tentu." Java keluar
dari tempat tidur Taylor. Hanya sebuah boxer abu-abu yang ia kenakan. Ia tentu
tidak ingin terlihat seperti ini di depan Christopher. Ia tidak ingin dianggap
Taylor (jika Taylor melihatnya bertelanjang dada dan hanya mengenakan boxer di
depan Christopher) seorang pedofilia dan Christopher adalah korban selanjutnya.
Ia mengaca di cermin rias Taylor lalu mengelus-elus dagunya, senyum menggodanya
muncul dan ia mengangguk-angguk penuh percaya diri. Ia tentu saja sangat tampan
dan tidak mungkin ia terlihat seperti pedofilia.
"Terlalu tampan."
bisiknya pada diri sendiri. Ia melihat celana jinsnya berada di atas kursi meja
rias Taylor. Ia menahan senyumnya karena mengingat apa yang terjadi tadi malam
bersama Taylor. Diambilnya celana jins itu lalu memakainya kembali. Taylor
begitu panas tadi malam. Ia tidak menyangka jika Taylor akan selincah dan
selihai itu dalam berhubungan intim. Taylor memang tidak mengerang
kencang-kencang. Justru wanita itu terus menggigit bibirnya agar tak menjerit
tiap kali Java memasuki Taylor. Dapat dilihat dari wajah Taylor, wanita itu
sangat merindukan persetubuhan. Terutama ketika mereka memasuki permainan yang kedua,
Taylor meminta untuk menunggangi Java dari atas. Ia tidak percaya Taylor akan
segencar itu menggerakkan pinggulnya.
Memikirkan hal itu, kejantanan
Java mengeras tanpa ia sadari. Sial! Ia tahu Taylor tidak akan mau berhubungan
badan lagi dengannya. Tadi malam hanyalah keberuntungan semata baginya. Dan ia
tahu betul kepribadian Taylor. Tetapi jika Tuhan memang menempatkan Taylor
sebagai pendamping hidupnya, Java akan meninju udara dan berseru senang.
Java berjalan keluar dari kamar
tepat ketika Taylor baru saja mematikan pancuran airnya. Pria itu berjalan
dengan keadaan bertelanjang dada menuju tangga. Ia berlari kecil menuruni
tangga sambil bersiul-siul. Otaknya berusaha menghilangkan ingatan Java tentang
tadi malam. Semakin ia berusaha, semakin ia mengingat hal-hal paling detail
yang mereka lakukan tadi malam. Taylor menjambak rambut Java dan menggigit
bibir bawah pria itu ketika Taylor mendapat pelepasan. Begitu seksi.
Seorang anak kecil sedang
menikmati sarapan di dapur. Telinga Christopher tiba-tiba mendengar suara
siulan dari luar dapur. Tidak mungkin ibunya yang bersiul! Setahu Christopher,
ibunya tidak suka bersiul dan tidak mungkin akan melakukannya. Christopher
melihat ke mulut pintu dapur, begitu ia melihat pria tinggi tak memakai baju,
ia menganga. Java menghampiri Christopher yang sedang menghabisi telur mata
sapinya. Tidak mungkin paman Java berada di rumahnya semalaman ini! Bagaimana
bisa? Ah, mengapa ibu begitu jahat sehingga ia tidak memberitahu Christopher
kalau paman Java berada di rumah?
"Paman Java, ayo duduk di
sebelahku," ajak Christopher. Sama seperti ibunya, seorang yang suka
memerintah, Java hanya tersenyum dan menarik kursi di sebelah Christopher.
Ketika Java ingin mengambil sedikit telur Christopher, tiba-tiba Christopher
memukul tangan Java. "Tidak boleh! Ini punyaku, paman Java. Punyamu ada di
sana, kata Mommy aku harus menghabiskannya karena masih ada anak kecil di luar
sana yang kelaparan."
"Oke, oke, bos kecil. Akan
kuambil bagianku," ucap Java mengangkat kedua tangannya, tanda ia mengalah
dan menyerah. Tangan Java mengambil piring berisi dua telur. "Untuk orang
dewasa sepertiku, aku harus makan lebih banyak darimu."
"Benarkah? Aku ingin menjadi
dewasa supaya mendapat makanan banyak seperti itu,"
"Baiklah, jika itu memang
keinginanmu, maka sekarang kau sudah dewasa." ujar Java menaruh satu telur
ke atas piring Christopher. Mulut Christopher yang masih berisikan telur itu
menganga. Ia sudah menjadi dewasa? Luar biasa! Beberapa detik kemudian mulutnya
yang terbuka itu berubah menjadi sebuah senyuman kebanggaan. "Dan orang
dewasa harus menghabiskan makanannya."
"Tentu saja aku tahu itu,
paman Java. Mommy bilang aku harus menghabiskan makanan karena masih banyak
anak kecil di luar sana yang tidak bisa makan,"
"Kau memang pendengar yang
baik, Orang Dewasa," ujar Java mengelus kepala Christopher. "Tetapi,
kau harus tetap tidak berbicara dengan orang asing. Kau tidak ingin diculik
bukan?"
"Apa itu orang asing?"
"Orang yang tidak pernah
bertemu atau berbicara denganmu. Jangan berbicara pada mereka. Apa Mommy tidak
pernah memberitahu tentang itu padamu?" Tanya Java, meski sebenarnya ia
tahu apa jawabannya. Christopher menggeleng kepala polos. "Baiklah, kalau
begitu jangan berbicara dengan orang asing."
"Oke, paman Java. Aku akan
melakukannya," ucap Christopher mengambil telur mata sapinya dengan
tangan, lagi, dan memasukkannya ke dalam mulut. "Kurasa aku sudah
kenyang."
Java hanya tersenyum dan
menggeleng kepala. Anak kecil yang menggemaskan.
***
Pria itu terus memaki-maki asistennya
karena tidak sama sekali membantu Justin mencaritahu tentang Taylor dan
anaknya. Memang, asistennya adalah sahabatnya, tetapi Justin adalah Justin. Ia
pria yang bertemperamental, kesabarannya cepat habis. Ia bersumpah, jika
hubungannya dengan Emma tak berhasil, ia akan berubah menjadi gay. Christopher
hanyalah satu-satunya jalan agar Justin dapat menikahi Emma. Justin perlu
berpura-pura menyukai anak-anak. Maksudnya, mencintai anaknya sendiri.
Masalahnya adalah Christopher bukan anak kandungnya, menurut Justin.
Entah mengapa Justin merasa
berada dalam posisi Adam Sandler di film Just Go With It. Bedanya adalah Taylor
memang benar-benar mantan istrinya dan ia tidak pergi ke Hawaii untuk membuat
Emma terkesan karena sifat penyayang Justin pada Christopher. Siang itu Justin
sedang berada dalam perjalanan menuju Atlanta. Dan ia berdoa pada Tuhan agar
Christopher berada di tempat penitipan anak. Menurut asistennya, Christopher
sekarang telah berumur 3 tahun (ya, Justin tidak sama sekali tahu kapan Christopher
lahir). Anak itu berada di tempat penitipan anak, di dekat tempat kerja Taylor.
Justin tahu dimana tempat kerja Taylor dan tempat penitipan anak yang
asistennya maksud. Ia hanya berdoa agar jika ia sampai sore nanti, Taylor belum
menjemput Christopher.
Ia perlu bertemu dengan
Christopher. Pertama, ia harus mengetahui kapan ulang tahun Christopher. Kedua,
ia harus tahu lebih dalam tentang Christopher. Justin yakin, Emma akan bertanya
hal-hal apa yang Christopher sukai sebelum ia terbang dari Los Angeles ke
Atlanta. Sebagai calon ibu tiri Christopher, Emma harus memanjakan anak kecil
itu agar Christopher dapat menyetujui hubungan mereka (meski sebenarnya Justin
tidak begitu memikirkan pendapat Christopher atau keputusan dari seorang anak
kecil). Dan ia butuh dua hari untuk berdekatan dengan Christopher setelahnya,
ia akan kembali ke Los Angeles dan pada Jumat malam, ia akan terbang bersama
Emma ke Atlanta lagi.
Dan semoga Taylor belum pernah
mengajarkan Christopher tentang 'jangan berbicara dengan orang asing'. Tetapi
Justin begitu meragukan hal itu. Taylor orang yang tegas dan tentunya
Christopher pasti tersiksa memiliki ibu seperti Taylor. Justin menarik nafasnya
dalam-dalam, kepalanya menghadap kaca di sebelahnya dan memandang awan-awan bak
kapas itu.
***
Christopher mendongak ketika
namanya dipanggil oleh Mrs. Judith. Ah, mengapa Mrs. Judith memanggilnya ketika
ia sedang serius bermain? Tidakkah Mrs. Judith tahu kalau bermain Lego
membutuhkan waktu yang lama? Christopher sebagai anak penurut bangkit dari
lantai berlapis karpet lembut lalu berjalan menuju Mrs. Judith yang sudah tua.
Mrs. Judith memiliki perawakan gemuk dan tampak sangat ramah pada siapa pun.
"Ada apa, Mrs. Judith?"
Tanya Christopher yang memainkan dua batang Lego yang masih berada di
tangannya. Mrs. Judith membungkuk, belahan dada besarnya kelihatan. Uh,
menjijikan!
"Ambil barang-barangmu
karena kau sudah dijemput," ucap Mrs. Judith tersenyum. Christopher
menarik nafas panjang. Kepala Christopher menoleh ke dinding untuk melihat jam
berapa sekarang. Anak kecil itu mendesah. Ia sudah berusaha membuat sebuah
robot-robotan dari batang Lego dan ia sudah jemput? Mengapa harus sekarang?
Lagi pula sekarang masih jam 3 sore, mengapa ibu pulang cepat sekali? Tetapi
Christopher tidak punya pilihan lain.
Ia melangkah kembali ke tempatnya
bermain dan merapikan setengah robot-robotannya ke sudut ruangan, berharap
tidak ada yang menyentuhnya. Semoga Clark, temannya yang nakal sekali, tidak
menghancurkan robot-robotannya supaya besok Christopher dapat melanjutkannya.
Christopher mengambil tas kecilnya yang ia gantung di gantungan tas lalu
menyeret-nyeretnya dengan malas.
"Oh, ayolah, Christopher.
Besok kau bisa melanjutkannya lagi, sayang," seru Mrs. Judith seceria
mungkin. Tetapi Christopher hanya dapat tersenyum untuk menghargai usaha Mrs.
Judith membuatnya ceria kembali. Tetapi sungguh, ia benar-benar ingin
menyelesaikan robot-robotannya.
"Terima kasih, Mrs. Judith.
Sampai bertemu besok," ucap Christopher dengan suara lesu lalu berjalan
menuju beranda penitipan anak. Mrs. Judith mengikutinya dari belakang dan
tersenyum-senyum senang pada pria yang menunggu Christopher di sebelah meja
administrasi. Ketika Christopher melihat pria itu, Christopher menghentikan
langkahnya. Mrs. Judith yang berjalan di belakangnya secara tiba-tiba berhenti.
Christopher membalikkan tubuhnya lalu ia menepuk keningnya.
"Aku tidak kenal dia, Mrs.
Judith!" Seru Christopher kesal namun ia tidak menatap Mrs. Judith. Kedua
alis Mrs. Judith terangkat. Tidak mungkin Christopher tidak mengenal pria yang
begitu mirip dengan Christopher. Pria itu mengaku kalau ia adalah ayah
Christopher dan Mrs. Judith yakin kalau pria itu memang ayah Christopher. Nama
belakang mereka sama.
"Tentu saja kau tahu siapa
dia, Christopher. Dia daddy-mu," ucap Mrs. Judith. Mendengar kata 'Daddy',
jantung Christopher berpacu cepat. Daddy? Ia punya seorang Daddy? Bagaimana
bisa? Ibu bilang kalau Christopher tidak memiliki Daddy tetapi sekarang Daddy
sedang menjemputnya di penitipan anak? Ah! Mengapa ibu senang sekali membohongi
Christopher? Tidak ingin membuang-buang waktunya, Christopher membalikkan
tubuhnya untuk melihat Daddy.
Jadi, seperti inikah wujud Daddy
yang dibicarakan oleh teman-temannya? Pria itu tinggi, tetapi tidak lebih
tinggi dari paman Java. Dan memiliki rambut berwarna cokelat. Ia memakai kaos
lengan panjang yang bagian lengannya dilipat hingga siku-siku, kaosnya berwarna
ungu tua, dan ia memakai celana jins panjang. Baiklah, Christopher akan pulang
bersama dengannya.
"Maafkan saya, Mrs. Judith,
terakhir saya bertemu dengan Christopher sekitar 2 tahun yang lalu ketika ia
masih kecil. Saya harus pergi keluar negeri untuk melakukan penelitian,"
ucap pria itu tampak meyakinkan. Christopher berjalan penuh percaya diri menuju
'Daddy'-nya. Segera pria itu meraup kedua bahu kecilnya seolah-olah sedang
menjaga Christopher. Jadi seperti ini sentuhan dari seorang Daddy? Tidak jauh
berbeda dari paman Java.
"Tidak apa-apa, Mr. Almonde,
saya memakluminya." ucap Mrs. Judith.
"Kalau begitu, saya permisi,
Mrs. Judith. Terima kasih telah menjaga anak saya. Sampai jumpa." ucap
pria itu begitu ramah. Mrs. Judith hanya mengangguk dan memandangi ayah-anak
itu meninggalkan tempat penitipan anak. Ah, ayah Christopher begitu tampan. Ibu
Christopher begitu beruntung.
***
Justin tidak percaya bahwa ia
sekarang sedang menggenggam tangan anaknya. Tidak mungkin Christopher semirip itu
dengannya! Wajahnya sangat mirip dengan Justin, bahkan orang berpikir
Christopher hanya hasil kloning dari Justin. Tetapi Justin masih meyakinkan
dirinya bahwa Christopher bukan anak kandungnya. Ia mengajak Christopher ke
taman bermain di tengah taman kota. Katanya, Taylor sering membawa Christopher
ke sana. Mereka sudah mengelilingi taman kota selama beberapa menit. Yang Justin
tahu sekarang adalah Christopher berulang tahun di bulan Oktober tanggal 15 dan
orang terdekatnya adalah ibunya dan paman Java. Mendengar nama Java membuat
Justin muak dan tak habis pikir. Apakah pria itu tak kunjung menyerah? Taylor
telah menolaknya mentah-mentah! Sungguh, ia tidak tahu malu.
Untungnya, Christopher anak
penurut dan patuh. Christopher lebih pendiam dari yang Justin bayangkan. Ia
pikir, Christopher akan sangat rewel dan manja. Tetapi benar-benar di luar
dugaan Justin. Anak ini hanya bertanya-tanya apakah Justin memang Daddy-nya.
Well, Justin adalah Justin. Ia tidak ingin Christopher kabur dari tangannya
jika Justin tidak menjawab 'Ya'. Karena Justin yakin sekali, Christopher sangat
menginginkan Daddy. Jika tidak, tidak mungkin Christopher akan terus bertanya.
Setelahnya, mulut Christopher tertutup rapat.
Sesampainya di taman kota, Justin
melihat penjual es krim di pinggir jalan taman. "Kau ingin es krim?"
Tawar Justin berharap anak itu menjawab tidak.
"Ya." Sial! Mereka
berjalan menuju penjual es krim yang sedang melayani pelanggannya. "Aku
suka rasa coklat, Daddy."
"Well, aku tidak suka es
krim," ucap Justin tampak tak begitu peduli. Mereka mengantri di belakang
seorang pria bertubuh gemuk yang memesan tiga es krim, entah untuk dirinya
sendiri atau temannya. Begitu giliran mereka, Justin mencoba melepaskan
genggamannya tangannya dari Christopher. Namun tangannya itu ditahan oleh
genggaman tangan Christopher. "Christopher, aku harus mengambil dompetku
di kantong,"
"Tidak boleh. Aku akan terus
memegang tangan ini," ucap Christopher. Justin mengerang dalam hati. Ia
harus memberi apresiasi pada Taylor karena telah bertahan menjaga Christopher
selama tiga tahun tanpa mengeluh pada Justin. Dengan terpaksa, Justin mengambil
dompetnya dengan tangannya yang lain meski sulit.
"Saya pesan satu es krim
rasa coklat," ucap Justin menaruh dompet itu di atas papan gerobak penjual
es krim itu untuk mengeluarkan uang. Justin melirik Christopher yang sekarang
telah memegang tangannya dengan dua tangan lalu mencubit-cubit dengan raut
wajah gemas. Baiklah, mungkin anak ini memang sangat menggemaskan. Justin
bertanya-tanya, apakah dulu ia semanis ini? Mungkin saja.
"Sir, es krimmu," ucap
penjual es krim menyodorkan es krimnya. Justin menaruh uangnya di atas papan
gerobaknya lalu mengambil es krim dari tangan si penjual. Justin memberi es
krim itu pada Christopher. Ternyata es krim lebih lezat dibanding tangan
Justin. Ketika tangannya dilepas oleh Christopher, Justin bernafas lega.
Bulu-bulu tangannya dari tadi ditarik-tarik oleh Christopher dan cukup pedih
tiap kali Christopher melakukan hal itu. Justin mengambil dompetnya kembali dan
menyimpannya di dalam kantong. Mereka meninggalkan si penjual es krim lalu
berjalan menuju kursi kosong di dekat tempat mereka berdiri.
"Apa Mommy sering
membelikanmu es krim?" Tanya Justin. Christopher menggeleng kepala.
"Mengapa?"
"Mommy tidak ingin aku
batuk-batuk dan flu. Tetapi paman Java selalu membelikanku es krim jika aku
memintanya," ujar Christopher menjilat-jilat es krim cokelatnya. Justin
yang melihat bibir anak kecil itu belepotan es krim langsung mengeluarkan sapu
tangannya dan mengelap bibirnya yang kotor. "Mommy selalu melakukan itu
jika mulutku belepotan,"
"Ya, ia memang harus
melakukan hal itu." ucap Justin mengangguk-angguk. "Simpanlah,"
lanjut Justin menaruh sapu tangannya di atas paha Christopher. Justin menarik
nafas dalam-dalam namun matanya masih memerhatikan Christopher yang ..sialan,
anak kecil itu mirip sekali dengannya.
Justin merasakan pundaknya
ditepuk beberapa kali, ia segera menoleh ke belakang. Sebuah tamparan keras
melayang di pipinya. Sial!
"Kau brengsek!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar