Minggu, 05 Oktober 2014

Doomed Bab 1


CHAPTER ONE

Sepasang mata cokelat tajam itu melihat dua daun yang jatuh secara bersamaan di taman tengah kota. Dedaunan yang mulai kecoklatan masih dapat bertahan di rantingnya hanya untuk sementara. Musim hujan baru saja dimulai namun terasa seperti sedang mengalami musim gugur. Sore ini Taylor mengajak anak pertamanya untuk bermain bersama burung-burung yang biasa berkumpul di jalanan—untuk para pelari yang sedang berolahraga. Tidak banyak yang dapat Taylor lakukan selain membuat buah hatinya tersenyum bahagia. Christopher Almonde, anak kecil yang baru saja menginjak umur 3 tahun itu sedang bermain bersama burung-burung yang mengurumuninya karena ia menyobek-sobek rotinya ke jalanan agar burung-burung itu dapat makan sepuasnya. Christopher tidak pernah mengeluh apa pun pada ibunya yang sedang terduduk di atas kursi taman sambil memerhatikannya. Ia terlalu menyayangi ibunya untuk meminta sesuatu yang ibunya tak setujui.
Taylor tidak pernah meminta Justin untuk menemui anaknya setelah mereka berdua benar-benar berpisah. Rumah yang awalnya milik mereka, sekarang telah menjadi hak milik Taylor. Justin memberikan rumah itu secara cuma-cuma. Selama tiga tahun mereka berpisah, Justin tidak pernah menghubungi Taylor atau menemui Christopher hanya untuk sebuah kecupan atau ucapan selamat ulang tahun. Tentu saja Justin tidak akan bertemu dengan Christopher. Atau lebih tepatnya, Justin tidak ingin bertemu dengan Christopher. Mengingat apa yang telah dilakukan oleh Taylor dalam hubungan pernikahan mereka membuat Justin muak. Justin begitu yakin, Christopher bukanlah anak kandungnya. Ia tahu betul anak itu bukan darah-dagingnya. Darahnya tidak mengalir dalam tubuh anak itu. Jadi, untuk apa Justin sibuk-sibuk memerhatikan mahluk kecil itu?
Kecil kemungkinan Taylor akan kembali dengan Justin. Setelah apa yang Justin perbuat terhadap Taylor dan anak mereka, Taylor akan sangat sulit sekali memaafkan Justin. Sering kali teman-teman kerjanya bertanya bagaimana perasaannya ketika ketua hakim memutuskan bahwa mereka telah bercerai, namun anehnya, Taylor tidak pernah merasa sedih untuk menjawabnya. Ia bukan tipe wanita yang melihat ke belakang. Ia terlalu sering memikirkan masa depan. Bahkan terkadang ia dikecewakan oleh mimpi-mimpinya yang tak terwujud. Pernikahannya yang rusak sebagai contohnya. Dan ya, tidak banyak yang dapat Taylor lakukan akan hal itu. Sejak Taylor bercerai dari Justin, Java—rekan kerjanya—selalu mengajak Taylor untuk keluar bersama. Atau bahkan mengajak Christopher bermain di luar jika Taylor sedang sibuk. Ya, Java sudah menyukai Taylor sejak mereka kuliah. Mereka sudah berteman selama 10 tahun dan Java sudah berkali-kali menyatakan cintanya pada Taylor. Sayangnya, Taylor lebih memilih Justin dibanding Java—dulu ketika mereka masih muda untuk cinta.
Dan sekarang, Taylor tidak akan memilih diantara keduanya. Hatinya tertutup untuk para pria di luar sana.
“Mommy!” Teriak Christopher dari jalanan lalu berlari menuju sang ibu. “Lihat apa yang kudapat! Balon!” Seru Christopher begitu bahagia. Ia menunjukkan balon yang ia maksud pada ibunya. Balon yang belum terisi gas sama sekali. Taylor mengambil karet balon itu lalu memerhatikan balon itu baik-baik. Lalu mendesah pelan dan tidak habis pikir akan apa yang ia pegang.
“Dimana kau mendapat ini?”
“Di dekat rumput. Ayo tiup, Mommy.” Paksa Christopher tak sabaran. Anak itu benar-benar mirip sekali dengan Justin. Hidung, bibir dan matanya mewakili sang ayah. Rambutnya halus seperti milik Ibunya. Tingginya baru sampai selutut Taylor, tetapi ia sudah begitu pintar berbicara. Kemeja kotak-kotak biru-putih dan celana jins yang Christopher pakai benar-benar membuat anak itu semakin menggemaskan. Terutama saat Christopher tersenyum. Lesung pipi yang dimiliki ibunya turun padanya.
Ia berusaha untuk tidak mual di depan anaknya. Karena kondom bekas pakai baru saja ia sentuh. Ia berdiri lalu berjalan menuju tempat sampah yang hanya berjarak 3 meter dari tempat duduk. Segera ia kembali ke kursinya dan membuka tas kecil yang ia bawa dan mengambil tisu basah antiseptik. Taylor mengelap telapak tangannya lalu mengambil tisu yang lain.
“Mengapa Mommy membuangnya?” Sungut Christopher cemberut. Bibir bawahnya yang basah mulai menyembul dan kedua alisnya saling bertaut. Melihat ekspresi itu membuat Taylor mengingat raut wajah Justin yang pernah bersungut seperti ini padanya. Anehnya, Taylor pernah luluh karena wajah itu. Sial.
“Itu bukan balon, sayang. Lain kali, jangan mengambil barang kotor seperti itu dari jalanan, mengerti?” Taylor bertanya sambil menarik salah satu tangan Christopher berniat untuk mengelap tangan anaknya agar kembali steril. Dengan patuh Christopher mengangguk, meski hatinya hancur karena ia tidak akan melihat balon. “Kau ingin pulang?”
Christopher mengangguk cemberut. “Ya,” jawabnya singkat. Taylor tidak suka jika anaknya lemah seperti ini meski Christopher masih balita. Anak kecil itu menekuk lehernya sehingga wajahnya yang menggemaskan tak kelihatan. Jari telunjuk Taylor segera menarik dagunya ke atas agar anak itu dapat melihat matanya.
“Hey, jangan ada dendam di antara kita, oke?” Tanya Taylor lembut. Christopher mengangguk namun masih cemberut. “Bagaimana jika kita membeli es krim kesukaanmu saja sebagai ganti balon?”
Lesung pipi Christopher mulai terlihat. Tanda ia setuju.

***

            “Ya, sampai jumpa besok, Eleanor,” ucap Justin ketika asistennya keluar dari ruang kerjanya. Justin mendesah pelan dan merosot di kursinya sendiri seperti pelajar yang sedang bosan belajar di sekolah. Ia mengetuk-ketuk jarinya di atas meja lalu berpikir sampai kapan ia akan menduda seperti ini. Ia bosan. Ia butuh seseorang untuk mendampinginya sampai akhir hidupnya.
Sudah 3 tahun Justin Almonde menjadi seorang pria duda. Sudah beberapa kali ia melakukan kencan dengan beberapa wanita, tetapi hasilnya tetap nihil. Ia tidak pernah mendapatkan wanita yang tepat untuknya. Kebanyakkan wanita-wanita itu telah mengenal Justin sebagai pemilik sebuah situs perjodohan; findmylifepartner.com. Untuk memenuhi kebutuhan Justin, ia memilih jalan alternatif yang tidak lain dan tidak bukan adalah tempat pelacuran di Los Angeles. Di dekat sekitaran rumahnya. Sebagai pria normal berumur 29 tahun, Justin tentu saja memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Yang dimana hanya seorang wanita yang dapat memenuhi hal itu. Semenjak Taylor sudah bukan lagi menjadi istrinya, di awal masa dudanya, Justin merasa putus asa. Di balik meja kerjanya, Justin membuka situs perjodohan miliknya sendiri.
Ya, findmylifepartner.com. Nama situs itu tidak pernah disetujui oleh Taylor. Bagi Taylor, judul itu begitu murahan dan tidak menarik. Tetapi kenyataannya, situs perjodohan Justin sering dikunjungi dan digunakan sebagai sarana pencarian pasangan. Sebagian hanya untuk mencari teman seks, tetapi apa peduli Justin? Ia hanya membutuhkan para pengunjung untuk meramaikan situsnya. Perusahaannya yang telah ia dirikan selama 5 tahun akhirnya sukses besar. Justin dikenal sebagai bos galak yang tidak boleh dibantah. Tetapi tak jarang para karyawan wanita berusaha untuk menggodanya sejak mereka tahu kalau Justin ternyata seorang duda.
Asisten Justin, yang dimana Justin menganggapnya sahabat satu-satunya di Los Angeles, menyarankan Justin untuk menggunakan situsnya sendiri untuk mencari pasangan baru. Dan malam itu, di balik meja kerjanya, Justin termenung di depan layar komputer dan berpikir apakah yang disarankan oleh asistennya adalah pilihan terakhirnya? Justin tidak bisa terus menerus menggunakan jasa seorang pelacur untuk memenuhi kebutuhannya. Ia butuh seseorang yang mampu berkomitmen dengannya. Dan tidak berselingkuh darinya. Terakhir ia menjalin hubungan dengan wanita—Taylor—ia telah dikhianati dengan mudah. Justin menggeleng-geleng kepalanya begitu ia mengetik tautan situsnya sendiri.
“Jika memang harus dilakukan,” bisik Justin pada diri sendiri. Ia mulai mendaftar di findmylifepartner.com menggunakan nama samaran dan menggunakan foto lamanya. Tidak akan ada yang tahu bahwa Justin adalah pemilik dari findmylifepartner.com. Ia hanya perlu beberapa wanita menambahinya sebagai calon pasangan lalu melakukan percakapan sebentar dan mengatur jadwal temu.
“Mari kita lakukan ini, Mr. SexyGlasses.

***

            Sudah hari Senin. Pagi itu, di musim gugur yang terasa hangat, Taylor membangunkan Christopher agar anaknya cepat-cepat pergi ke tempat penitipan anak untuk Taylor titip di sana. Taylor tidak ingin mengambil risiko anaknya diabaikan atau malah diculik oleh penjaga anaknya di rumah. Ia lebih memilih membawa anaknya ke penitipan anak di dekat tempat kerjanya. Lagi pula, penjaga anaknya tidak mungkin berani menyakitinya Christopher. Mrs. Judith tahu pekerjaan Taylor adalah sebagai pengacara. Tentu Mrs. Judith tidak ingin mengambil risiko masuk penjara karena ia menculik anak seorang pengacara. Terlebih lagi, Taylor seorang pengacara khusus pembunuhan dan penculikan. Jika begitu, Taylor tidak akan segan-segan menuduh Mrs. Judith sebagai penculik atau pembunuh anaknya.
Tetapi tampaknya Christopher begitu malas bangun dari tidurnya. Biasanya anak itu yang akan bangun lebih pagi dari Taylor dan membangunkan ibunya untuk mengantarkannya ke penitipan anak. Christopher mempunyai banyak teman di sana. Dan Java termasuk salah satu dari banyak temannya. Anak itu begitu terkenal di penitipan anak karena ia begitu pintar menghitung dari angka satu sampai sepuluh. Ya, mengetahui Christopher masih berumur 3 tahun, itu menjadi kebanggan tersendiri bagi Taylor. Selain itu, Taylor merasa lega karena selama ini Christopher tidak pernah bertanya mengenai ayahnya. Bahkan Taylor tidak pernah memberitahu siapa ayahnya atau memperlihatkan wajah Justin. Ia tidak ingin tiap hari Christopher bersungut-sungut padanya agar mereka bisa bertemu.
Taylor tahu hal itu begitu egois, tetapi Christopher seharusnya tahu, ayahnya tidak pernah ingin mengakui Christopher sebagai anak Justin. Ayah Christopher selalu curiga akan hubungan Java dengan Taylor. Bahkan Justin berasumsi bahwa Christopher adalah anak Java. Yah, pemikiran gila Justin yang lain. Taylor tidak pernah begitu mengambil hati akan pemikiran Justin yang gila, tetapi untuk hal ini, Justin sudah kelewatan. Memikirkan Justin membuat Taylor ingin bertemu Justin hanya untuk menampar atau meninju wajah itu.
“Christopher!” Seru Taylor. “Ayo bangun sekarang. Kau tidak ingin bertemu dengan teman-temanmu?” Tanya Taylor yang terduduk di salah satu sisi tempat tidur Christopher. Mengapa anaknya tak kunjung bangun juga? Padahal Taylor telah membuka tirai kamar Christopher. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi dan Taylor mempunyai jadwal pertemuan dengan kliennya jam 9 nanti.
            “Christopher,” panggil Taylor menepuk bokong anaknya pelan. Posisi Christopher memunggungi Taylor sehingga Taylor tak dapat melihat wajah anaknya. “Jika kau tidak bangun, Mommy tidak akan pulang dari kantor,” ancam Taylor tegas. Ancaman itu adalah ancaman terampuh Taylor. Yah, karena Christopher begitu menyayangi Taylor, Christopher tidak ingin ibunya pulang lebih dari jam 3. Anak yang memakai piyama Spongebob itu mengerang lalu merengek.
“Tidak!” Serunya menolak. “Aku bosan di sana, Mommy,” ujar Christopher dengan suara serak paginya.
“Mengapa kau bosan di sana? Di sana menyenangkan, bukan? Kau bilang kau menyukainya,” ucap Taylor dengan lembut. Christopher masih memunggungi ibunya lalu ia memutarbalikkan tubuhnya agar dapat melihat ibunya yang sudah rapi mengenakan seragam kerjanya. Jari-jari kecil Christopher mengucek-ucek matanya lalu ia menguap sebentar.
“Aku ingin paman Java ada di sana,” ujar Christopher manja.
“Tetapi paman Java punya pekerjaan yang harus dikerjakan, sayang,” ucap Taylor mengelus pipi tembam anaknya. “Bagaimana jika kita berbuat perjanjian saja,”
“Apa?”
“Well, kau mau apa agar kau bisa bangun dari tempat tidurmu?” Tanya Taylor. Anak kecil itu memutar otaknya. Apa yang ia inginkan? Mata Christopher melihat ke atas sebelah kiri lalu mengerucutkan bibirnya ke samping kiri seolah-olah ia anak remaja yang sedang berpikir. Lesung pipi kirinya kelihatan begitu dalam. Manis sekali.
“Aku mau Daddy,” ucap Christopher asal bicara. Ia sesungguhnya tidak begitu mengerti akan apa yang ia ucapkan. Ia bahkan tidak tahu siapa itu ayah. Tetapi teman-teman di penitipan anak selalu membangga-banggakan ayah. Sebenarnya, ayah jenis mainan apa? Jika ada, Christopher ingin meminta ibunya untuk membelinya sebuah ayah. Taylor yang mendengar permintaan Christopher cukup terkejut. Tetapi karena Taylor sudah sering dikejutkan oleh sesuatu, ia dapat mengendalikan raut wajahnya yang biasa saja.
“Daddy? Dari mana kau tahu tentang Daddy?” Tanya Taylor tenang meski sekarang jantungnya mulai berdetak kencang. Apa anaknya benar-benar serius? Tidak, tidak, tidak. Christopher tidak boleh menemui ayah sialannya itu. Taylor tidak ingin berbohong pada Christopher, tetapi ia hanya menunda. Menunda memberitahu Christopher bahwa sebenarnya ayahnya sudah tidak ada di Atlanta. Christopher membantu dirinya agar ia dapat duduk lalu ia menyentuh tangan ibunya.
“Aku tahu dari teman-teman. Mereka selalu membicarakan tentang Daddy. Kumohon, Mommy, belikan aku! Belikan aku Daddy,” sungut Christopher mengerucutkan mulutnya dan kedua alisnya saling bertautan, memelas meminta belas kasihan. Ia menarik-narik tangan Taylor, berharap ibunya mengabulkan permintaannya. Mendengar ucapan Christopher yang polos membuat Taylor tersenyum. Dari buku psikologi yang Taylor baca, sebaiknya, ia tidak menertawakan apa pun yang anaknya katakan. Kecuali anaknya sedang mengatakan tentang cerita candaan. Ia tidak ingin kepercayaan diri Christopher berkurang.
“Christopher,” bisik ibunya lembut. “Daddy bukanlah sebuah benda. Daddy itu seseorang. Yang teman-temanmu bicarakan adalah tentang ayah mereka. Kau tahu Java? Ya, Daddy hanya berjenis kelamin laki-laki. Daddy adalah pasangan dari Mommy. Tetapi untuk sekarang ini, kau tidak bisa mendapatkan Daddy-mu. Apa itu tidak apa-apa, Christopher?” Tanya Taylor dalam hati berharap anaknya menganggukkan kepalanya. Tetapi sayangnya keberuntungan tidak jatuh ke atasnya. Christopher menggeleng kepalanya.
“Aku ingin Daddy!” Serunya sebenarnya tak mengerti apa yang ibunya katakan. Meski ia sedikit mengerti di bagian Java dan jenis kelamin laki-laki. “Aku tidak mau bangun jika Mommy tidak memberikan aku Daddy,” ancam Christopher. Ibunya hanya menarik nafas dalam-dalam lalu mengembusnya dengan pelan. Kemudian Taylor berdiri dari tempat tidur Christopher lalu ia melipat kedua tangannya di depan dada.
“Baiklah, jika begitu tuan muda. Seperti apa yang kauminta, sayangnya, Mommy tidak bisa memberikanmu Daddy sekarang. Jadi, nikmatilah tempat tidurmu sementara Mommy pergi bekerja dan tidak pulang.” Ujar Taylor mengancam dengan halus. Christopher terperangah akan apa yang ibunya ucapkan. Tetapi ia masih dengan pendiriannya—sifat yang sama dengan ibunya—malah Christopher membalas melipat kedua tangannya di depan dada dan membuang wajah dari ibunya.
“Tidak apa-apa,” ujarnya acuh tak acuh. Ingin rasanya Taylor tertawa terbahak-bahak karena sikap anaknya yang lucu. Tetapi ia tetap dalam perannya. Ia mulai berjalan mundur dari tempat tidur Christopher lalu menarik nafas kembali.
“Mommy akan keluar dan meninggalkanmu sendirian di rumah. Sendirian. Dan tidak akan pulang dari kantor,” goda Taylor berjalan semakin menjauh dari tempat tidur Christopher. Selama beberapa detik, Christopher berusaha tidak melirik ibunya. Tetapi akhirnya ia melirik ibunya dari ekor matanya lalu menoleh melihat ibunya mulai membalikkan tubuhnya untuk membuka pintu kamarnya.
“Oke, Mommy! Aku bangun! Aku pergi!” Seru Christopher kesal. Ia berdiri lalu melompat dari atas tempat tidurnya. Ia berlari menuju Taylor lalu memeluk betis ibunya. “Tetapi Mommy harus berjanji untuk pulang dari kantor.” Bisiknya manja.
“Seperti yang kau mau, tuan muda.”

***

            Senin, pagi itu, Justin Almonde baru saja bangun dari tidurnya. Di tengah-tengah kota Los Angeles, Justin dapat merasakan sinar matahari yang menyinari kamarnya. Siapa bajingan sialan yang berani-beraninya membuka tirai kamarnya? Pasti pelacur sialan yang tadi malam menemaninya. Ia menyipitkan matanya lalu mengerang pelan.
“Sial,” umpatnya kesal. Baru pagi seperti ini, amarah Justin sudah tersulut. Waktunya tidak tepat. Seharusnya jam 9 pagi amarah Justin mulai mendidih. Dan pelacur itu berani-beraninya membuat Justin kesal di pagi hari. Berarti hari ini para karyawan Justin harus bertahan akan ledakan amarah Justin selama di kantor. Kamarnya bernuansa abu-abu muda. Tempat tidur empuk itu bukan tempatnya berhubungan intim dengan pelacur itu. Ia tidak ingin tempat tidurnya dikotori oleh pelacur mana pun. Ia lebih sering melakukannya di kamar tamu. Jadi, siapa pun yang mengunjungi rumah Justin dan ingin menginap, bersiaplah dengan aroma janggal.
Pintu kamarnya sudah terbuka. Begitu Justin terduduk lemas, seorang wanita yang hanya mengenakan kemeja putih Justin—yang Justin pakai tadi malam—muncul di hadapan Justin. Melihat pakaiannya dipakai pelacur itu, Justin bersumpah tidak akan memakai kemeja itu lagi. Ia lebih memilih untuk membuangnya. Wanita itu cantik. Rambutnya cokelat-pirang, dengan ukuran tubuh yang seksi, namun agak pendek. Mengapa wanita ini lebih memilih menjadi pelacur? Justin menggelengkan kepalanya. Bukan urusan Justin mengenai pekerjaan wanita ini.
            “Bayaranku,” ujar wanita itu tak basa-basi. Justin mengerang pelan lalu ia mengambil dompet yang masih berada di dalam kantong celananya—yang tergeletak di atas lantai. Ia mengambil beberapa lembar uang bernilai besar lalu memberikannya pada wanita itu.
“Ambil saja tipnya, jika kau mau,” ujar Justin tak peduli. “Sekarang, kau boleh pergi. Ambil saja kemeja itu, aku tidak akan memakai kemeja itu lagi, omong-omong,”
“Bajingan,” umpat wanita itu pelan. Justin yang mendengarnya hanya tersenyum mencemooh. Setidaknya aku tidak menjual diri sepertimu, bisik Justin dalam hati.
“Ya, ya, terserahlah apa katamu,” ujar Justin. “Keluar dari kamarku.” Perintah Justin. Tidak ingin diminta untuk yang ketiga kali, wanita itu segera keluar dari kamar Justin dan menutup pintunya. Justin mengambil laptopnya yang berada di atas meja kecil, di sebelah tempat tidur. Ia menyalakannya berniat untuk memeriksa apakah sudah ada wanita yang ingin berkencan dengannya. Yah, Justin harap begitu.
Begitu sudah menyala dan menyambung dengan Internet, Justin segera membuka situsnya dan masuk dalam akunnya yang bernama SexyGlasses. Memang nama akun yang tidak begitu menarik, tetapi Justin memang terlihat lebih cerdas dan seksi bila ia memakai kacamata. Begitu ia membuka akunnya, ia mendapat kira-kira 20 wanita dalam waktu satu malam. Mungkin karena wajahnya yang tampan sewaktu ia masih menikah dengan Taylor. Tetapi ia yakin, ia masih dengan wajah tampan yang sama seperti dulu. Ia memilih-milih siapa saja yang ia pilih untuk kencan malam ini atau besok. Ia memilih tiga wanita. LunaIrish, EmmaRinger, dan AshleyDuncan. Tidak salah bukan memilih wanita dengan ras yang berbeda?
“Mari kita mulai.”

***

            Tidak perlu diminta dua kali, Christopher berlari kencang menuju ibunya yang baru saja pulang dari kantor dan  membawa makanan chinese untuknya. Sudah jam 3 sore dan tempat penitipan anak akan tutup 2 jam lagi. Taylor mengucapkan terima kasih pada Mrs. Judith karena telah menjaga anaknya lalu ia berjalan keluar bersama Christopher untuk pergi ke taman kota, seperti biasanya. Tempat kesukaan mereka jika Taylor sudah pulang bekerja.
“Mommy, aku dibilang bodoh oleh teman-temanku karena aku tidak tahu apa itu Daddy,” ujar Christopher menceritakan keluh kesahnya. Kedua alis Taylor terangkat, terkejut. Tangan Taylor yang memegang tangan Christopher untuk beberapa saat meremas-remas pelan tangan anaknya. “Apa aku memang bodoh, Mommy?”
“Tentu saja tidak, sayang. Mengapa kau percaya perkataan mereka? Seperti ini, sayang, jika ada seseorang atau siapa pun yang menghinamu, jangan pernah percaya dengan mereka. Mengerti? Mereka saja yang iri padamu karena mereka terlalu bosan memiliki Daddy sementara kau memiliki waktu yang sangat banyak dengan Mommy. Bagaimana dengan itu?” Tanya Taylor menunduk untuk melihat anaknya. Christopher mendongak lalu tersenyum hingga lesung pipinya terlihat. Lagi.
“Ya! Betul sekali, Mom. Betul sekali. Mereka tidak pernah membicarakan tentang Mommy. Aku juga bosan mereka terus menyebut Daddy selama kami bermain. Jadi, hari ini aku bermain sendiri dengan puzzle dan berbicara bersama Mrs. Judith,” ujar Christopher kembali ceria. Sifat Justin yang satu ini memang sudah melekat sejak Christopher masih bayi. Anak ini mudah berbaur dan menyenangkan. Bedanya, Justin pemarah sementara Christopher lebih tenang seperti ibunya.
“Sebaiknya, kau tidak memusuhi mereka. Mengerti, Christopher?”
“Ya, Mommy,” ujarnya pasrah, meski ia tidak begitu ingin berteman lagi dengan teman-temannya karena telah menghinanya bodoh. “Aku akan berteman dengan mereka hari Sabtu.” Lanjutnya menawar. Namun ibunya tidak menanggapi apa yang ia katakan karena orang kesukaan kedua Christopher baru saja muncul untuk menyeberang dari seberang jalan.
“Lihat siapa yang datang?” Tanya Taylor berhenti melangkah.
“Paman Java!” Seru Christopher. “Paman Java! Paman Java! Paman Java!” Seru Christopher melompat-lompat di tempatnya begitu ia melihat Java berlari pelan dari seberang jalan menuju mereka. Begitu Java sampai, Christopher segera memeluk betis Java dengan gemas.          “Hey, jagoan kecil,”
“Uh, aku gemas sekali dengan paman Java,” ujar Christopher dengan wajah gemasnya, dan lagi, kedua lesung pipinya muncul. “Aku akan memeluk ini sampai kita sampai di taman.”
“Yeah, kau bisa lakukan itu.” Christopher menyetujuinya. Taylor hanya diam melihat interaksi mereka yang begitu akrab. Ia tahu betul ke arah mana Java akan membawa mereka; pernikahan. “Ingin kutemani?”
“Ya, tentu.” Taylor tidak begitu banyak berbicara dengan Java. Ia.. lebih memilih untuk menjaga jarak dengan seluruh teman prianya. Bayang-bayang Justin masih menghantuinya.
Bahkan tiap malam, di mimpi yang sama.

***
  
   “Oh ya Tuhan,” suara terkejut dari seorang wanita memekakan telinga Justin. “Jadi, kau SexyGlasses? Kau lebih… tampan dan tinggi dari foto yang kulihat,” ujar wanita itu kagum. Di sebuah restoran mewah, Justin mengajak wanita terakhirnya untuk kencan. Setelah 2 wanita yang ia ajak kencan tadi siang dan sore, Justin sudah merasa tidak ada daya ketertarikan satu sama lain. Tetapi wanita yang satu ini, Justin dapat melihat kemungkinan kecil di antara mereka.
“Ya, aku SexyGlasses. Jadi, kau EmmaRinger? Kau tampak cantik malam ini,” puji Justin mempersilakan Emma duduk di hadapannya. Ya, Justin bukan pria yang begitu romantis. Menarik kursi untuk seorang wanita? Tidak pernah seumur hidup Justin.
“Ya, terima kasih. Namaku Emma Anthony, omong-omong,” ujar Emma ramah. “Sebelum kita memulai kencan ini. Bagaimana jika kita membuat perjanjian untuk saling jujur satu sama lain?” tanya Emma mengerling. Justin mengangguk setuju.
“Ya, kurasa itu ide bagus. Namaku Justin,” ucap Justin mengangguk satu kali. Ia tidak ingin menyebut nama belakangnya untuk sementara. “Aku sudah memesan makanan. Aku memesankanmu salad,”
“Wow, Mr. Justin, kurasa kau pria yang pintar memperlakukan wanita,” puji Emma berlebihan. Justin tersenyum lebar, ia hanya mengangguk untuk menghargai pujian Emma. “Well, sebelum itu, aku ingin bertanya,”
“Apa itu?”
“Apa kau pernah menikah sebelumnya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar