CHAPTER ONE
Sepasang mata cokelat tajam itu
melihat dua daun yang jatuh secara bersamaan di taman tengah kota. Dedaunan
yang mulai kecoklatan masih dapat bertahan di rantingnya hanya untuk sementara.
Musim hujan baru saja dimulai namun terasa seperti sedang mengalami musim gugur.
Sore ini Taylor mengajak anak pertamanya untuk bermain bersama burung-burung
yang biasa berkumpul di jalanan—untuk para pelari yang sedang berolahraga.
Tidak banyak yang dapat Taylor lakukan selain membuat buah hatinya tersenyum
bahagia. Christopher Almonde, anak kecil yang baru saja menginjak umur 3 tahun
itu sedang bermain bersama burung-burung yang mengurumuninya karena ia
menyobek-sobek rotinya ke jalanan agar burung-burung itu dapat makan sepuasnya.
Christopher tidak pernah mengeluh apa pun pada ibunya yang sedang terduduk di
atas kursi taman sambil memerhatikannya. Ia terlalu menyayangi ibunya untuk
meminta sesuatu yang ibunya tak setujui.
Taylor tidak pernah meminta
Justin untuk menemui anaknya setelah mereka berdua benar-benar berpisah. Rumah
yang awalnya milik mereka, sekarang telah menjadi hak milik Taylor. Justin
memberikan rumah itu secara cuma-cuma. Selama tiga tahun mereka berpisah,
Justin tidak pernah menghubungi Taylor atau menemui Christopher hanya untuk
sebuah kecupan atau ucapan selamat ulang tahun. Tentu saja Justin tidak akan
bertemu dengan Christopher. Atau lebih tepatnya, Justin tidak ingin bertemu dengan Christopher.
Mengingat apa yang telah dilakukan oleh Taylor dalam hubungan pernikahan mereka
membuat Justin muak. Justin begitu yakin, Christopher bukanlah anak kandungnya.
Ia tahu betul anak itu bukan darah-dagingnya. Darahnya tidak mengalir dalam
tubuh anak itu. Jadi, untuk apa Justin sibuk-sibuk memerhatikan mahluk kecil
itu?
Kecil kemungkinan Taylor akan
kembali dengan Justin. Setelah apa yang Justin perbuat terhadap Taylor dan anak
mereka, Taylor akan sangat sulit sekali memaafkan Justin. Sering kali
teman-teman kerjanya bertanya bagaimana perasaannya ketika ketua hakim
memutuskan bahwa mereka telah bercerai, namun anehnya, Taylor tidak pernah
merasa sedih untuk menjawabnya. Ia bukan tipe wanita yang melihat ke belakang.
Ia terlalu sering memikirkan masa depan. Bahkan terkadang ia dikecewakan oleh
mimpi-mimpinya yang tak terwujud. Pernikahannya yang rusak sebagai contohnya.
Dan ya, tidak banyak yang dapat Taylor lakukan akan hal itu. Sejak Taylor
bercerai dari Justin, Java—rekan kerjanya—selalu mengajak Taylor untuk keluar
bersama. Atau bahkan mengajak Christopher bermain di luar jika Taylor sedang
sibuk. Ya, Java sudah menyukai Taylor sejak mereka kuliah. Mereka sudah
berteman selama 10 tahun dan Java sudah berkali-kali menyatakan cintanya pada
Taylor. Sayangnya, Taylor lebih memilih Justin dibanding Java—dulu ketika
mereka masih muda untuk cinta.
Dan sekarang, Taylor tidak akan
memilih diantara keduanya. Hatinya tertutup untuk para pria di luar sana.
“Mommy!” Teriak Christopher dari
jalanan lalu berlari menuju sang ibu. “Lihat apa yang kudapat! Balon!” Seru
Christopher begitu bahagia. Ia menunjukkan balon yang ia maksud pada ibunya.
Balon yang belum terisi gas sama sekali. Taylor mengambil karet balon itu lalu
memerhatikan balon itu baik-baik. Lalu mendesah pelan dan tidak habis pikir
akan apa yang ia pegang.
“Dimana kau mendapat ini?”
“Di dekat rumput. Ayo tiup,
Mommy.” Paksa Christopher tak sabaran. Anak itu benar-benar mirip sekali dengan
Justin. Hidung, bibir dan matanya mewakili sang ayah. Rambutnya halus seperti
milik Ibunya. Tingginya baru sampai selutut Taylor, tetapi ia sudah begitu
pintar berbicara. Kemeja kotak-kotak biru-putih dan celana jins yang
Christopher pakai benar-benar membuat anak itu semakin menggemaskan. Terutama
saat Christopher tersenyum. Lesung pipi yang dimiliki ibunya turun padanya.
Ia berusaha untuk tidak mual di
depan anaknya. Karena kondom bekas pakai baru saja ia sentuh. Ia berdiri lalu
berjalan menuju tempat sampah yang hanya berjarak 3 meter dari tempat duduk.
Segera ia kembali ke kursinya dan membuka tas kecil yang ia bawa dan mengambil
tisu basah antiseptik. Taylor mengelap telapak tangannya lalu mengambil tisu yang
lain.
“Mengapa Mommy membuangnya?”
Sungut Christopher cemberut. Bibir bawahnya yang basah mulai menyembul dan
kedua alisnya saling bertaut. Melihat ekspresi itu membuat Taylor mengingat
raut wajah Justin yang pernah bersungut seperti ini padanya. Anehnya, Taylor
pernah luluh karena wajah itu. Sial.
“Itu bukan balon, sayang. Lain
kali, jangan mengambil barang kotor seperti itu dari jalanan, mengerti?” Taylor
bertanya sambil menarik salah satu tangan Christopher berniat untuk mengelap
tangan anaknya agar kembali steril. Dengan patuh Christopher mengangguk, meski
hatinya hancur karena ia tidak akan melihat balon. “Kau ingin pulang?”
Christopher mengangguk cemberut.
“Ya,” jawabnya singkat. Taylor tidak suka jika anaknya lemah seperti ini meski
Christopher masih balita. Anak kecil itu menekuk lehernya sehingga wajahnya
yang menggemaskan tak kelihatan. Jari telunjuk Taylor segera menarik dagunya ke
atas agar anak itu dapat melihat matanya.
“Hey, jangan ada dendam di antara
kita, oke?” Tanya Taylor lembut. Christopher mengangguk namun masih cemberut.
“Bagaimana jika kita membeli es krim kesukaanmu saja sebagai ganti balon?”
Lesung pipi Christopher mulai
terlihat. Tanda ia setuju.
***
“Ya,
sampai jumpa besok, Eleanor,” ucap Justin ketika asistennya keluar dari ruang
kerjanya. Justin mendesah pelan dan merosot di kursinya sendiri seperti pelajar
yang sedang bosan belajar di sekolah. Ia mengetuk-ketuk jarinya di atas meja
lalu berpikir sampai kapan ia akan menduda seperti ini. Ia bosan. Ia butuh seseorang
untuk mendampinginya sampai akhir hidupnya.
Sudah 3 tahun Justin Almonde
menjadi seorang pria duda. Sudah beberapa kali ia melakukan kencan dengan
beberapa wanita, tetapi hasilnya tetap nihil. Ia tidak pernah mendapatkan
wanita yang tepat untuknya. Kebanyakkan wanita-wanita itu telah mengenal Justin
sebagai pemilik sebuah situs perjodohan; findmylifepartner.com.
Untuk memenuhi kebutuhan Justin, ia memilih jalan alternatif yang tidak lain
dan tidak bukan adalah tempat pelacuran di Los Angeles. Di dekat sekitaran
rumahnya. Sebagai pria normal berumur 29 tahun, Justin tentu saja memiliki
kebutuhan yang harus dipenuhi. Yang dimana hanya seorang wanita yang dapat
memenuhi hal itu. Semenjak Taylor sudah bukan lagi menjadi istrinya, di awal
masa dudanya, Justin merasa putus asa. Di balik meja kerjanya, Justin membuka
situs perjodohan miliknya sendiri.
Ya, findmylifepartner.com. Nama situs itu tidak pernah disetujui oleh
Taylor. Bagi Taylor, judul itu begitu murahan dan tidak menarik. Tetapi
kenyataannya, situs perjodohan Justin sering dikunjungi dan digunakan sebagai
sarana pencarian pasangan. Sebagian hanya untuk mencari teman seks, tetapi apa
peduli Justin? Ia hanya membutuhkan para pengunjung untuk meramaikan situsnya.
Perusahaannya yang telah ia dirikan selama 5 tahun akhirnya sukses besar.
Justin dikenal sebagai bos galak yang tidak boleh dibantah. Tetapi tak jarang
para karyawan wanita berusaha untuk menggodanya sejak mereka tahu kalau Justin
ternyata seorang duda.
Asisten Justin, yang dimana
Justin menganggapnya sahabat satu-satunya di Los Angeles, menyarankan Justin
untuk menggunakan situsnya sendiri untuk mencari pasangan baru. Dan malam itu,
di balik meja kerjanya, Justin termenung di depan layar komputer dan berpikir
apakah yang disarankan oleh asistennya adalah pilihan terakhirnya? Justin tidak
bisa terus menerus menggunakan jasa seorang pelacur untuk memenuhi
kebutuhannya. Ia butuh seseorang yang mampu berkomitmen dengannya. Dan tidak berselingkuh darinya. Terakhir ia
menjalin hubungan dengan wanita—Taylor—ia telah dikhianati dengan mudah. Justin
menggeleng-geleng kepalanya begitu ia mengetik tautan situsnya sendiri.
“Jika memang harus dilakukan,”
bisik Justin pada diri sendiri. Ia mulai mendaftar di findmylifepartner.com menggunakan nama samaran dan menggunakan
foto lamanya. Tidak akan ada yang tahu bahwa Justin adalah pemilik dari findmylifepartner.com. Ia hanya perlu
beberapa wanita menambahinya sebagai calon pasangan lalu melakukan percakapan
sebentar dan mengatur jadwal temu.
“Mari kita lakukan ini, Mr. SexyGlasses.”
***
Sudah
hari Senin. Pagi itu, di musim gugur yang terasa hangat, Taylor membangunkan
Christopher agar anaknya cepat-cepat pergi ke tempat penitipan anak untuk
Taylor titip di sana. Taylor tidak ingin mengambil risiko anaknya diabaikan
atau malah diculik oleh penjaga anaknya di rumah. Ia lebih memilih membawa
anaknya ke penitipan anak di dekat tempat kerjanya. Lagi pula, penjaga anaknya
tidak mungkin berani menyakitinya Christopher. Mrs. Judith tahu pekerjaan
Taylor adalah sebagai pengacara. Tentu Mrs. Judith tidak ingin mengambil risiko
masuk penjara karena ia menculik anak seorang pengacara. Terlebih lagi, Taylor
seorang pengacara khusus pembunuhan dan penculikan. Jika begitu, Taylor tidak
akan segan-segan menuduh Mrs. Judith sebagai penculik atau pembunuh anaknya.
Tetapi tampaknya Christopher
begitu malas bangun dari tidurnya. Biasanya anak itu yang akan bangun lebih
pagi dari Taylor dan membangunkan ibunya untuk mengantarkannya ke penitipan
anak. Christopher mempunyai banyak teman di sana. Dan Java termasuk salah satu
dari banyak temannya. Anak itu begitu terkenal di penitipan anak karena ia
begitu pintar menghitung dari angka satu sampai sepuluh. Ya, mengetahui
Christopher masih berumur 3 tahun, itu menjadi kebanggan tersendiri bagi
Taylor. Selain itu, Taylor merasa lega karena selama ini Christopher tidak
pernah bertanya mengenai ayahnya. Bahkan Taylor tidak pernah memberitahu siapa
ayahnya atau memperlihatkan wajah Justin. Ia tidak ingin tiap hari Christopher
bersungut-sungut padanya agar mereka bisa bertemu.
Taylor tahu hal itu begitu egois,
tetapi Christopher seharusnya tahu, ayahnya tidak pernah ingin mengakui
Christopher sebagai anak Justin. Ayah Christopher selalu curiga akan hubungan
Java dengan Taylor. Bahkan Justin berasumsi bahwa Christopher adalah anak Java.
Yah, pemikiran gila Justin yang lain. Taylor tidak pernah begitu mengambil hati
akan pemikiran Justin yang gila, tetapi untuk hal ini, Justin sudah kelewatan.
Memikirkan Justin membuat Taylor ingin bertemu Justin hanya untuk menampar atau
meninju wajah itu.
“Christopher!” Seru Taylor. “Ayo
bangun sekarang. Kau tidak ingin bertemu dengan teman-temanmu?” Tanya Taylor
yang terduduk di salah satu sisi tempat tidur Christopher. Mengapa anaknya tak
kunjung bangun juga? Padahal Taylor telah membuka tirai kamar Christopher. Jam
sudah menunjukkan pukul 8 pagi dan Taylor mempunyai jadwal pertemuan dengan
kliennya jam 9 nanti.
“Christopher,”
panggil Taylor menepuk bokong anaknya pelan. Posisi Christopher memunggungi
Taylor sehingga Taylor tak dapat melihat wajah anaknya. “Jika kau tidak bangun,
Mommy tidak akan pulang dari kantor,” ancam Taylor tegas. Ancaman itu adalah
ancaman terampuh Taylor. Yah, karena Christopher begitu menyayangi Taylor,
Christopher tidak ingin ibunya pulang lebih dari jam 3. Anak yang memakai
piyama Spongebob itu mengerang lalu merengek.
“Tidak!” Serunya menolak. “Aku
bosan di sana, Mommy,” ujar Christopher dengan suara serak paginya.
“Mengapa kau bosan di sana? Di
sana menyenangkan, bukan? Kau bilang kau menyukainya,” ucap Taylor dengan
lembut. Christopher masih memunggungi ibunya lalu ia memutarbalikkan tubuhnya
agar dapat melihat ibunya yang sudah rapi mengenakan seragam kerjanya.
Jari-jari kecil Christopher mengucek-ucek matanya lalu ia menguap sebentar.
“Aku ingin paman Java ada di
sana,” ujar Christopher manja.
“Tetapi paman Java punya
pekerjaan yang harus dikerjakan, sayang,” ucap Taylor mengelus pipi tembam
anaknya. “Bagaimana jika kita berbuat perjanjian saja,”
“Apa?”
“Well, kau mau apa agar kau bisa
bangun dari tempat tidurmu?” Tanya Taylor. Anak kecil itu memutar otaknya. Apa
yang ia inginkan? Mata Christopher melihat ke atas sebelah kiri lalu
mengerucutkan bibirnya ke samping kiri seolah-olah ia anak remaja yang sedang
berpikir. Lesung pipi kirinya kelihatan begitu dalam. Manis sekali.
“Aku mau Daddy,” ucap Christopher
asal bicara. Ia sesungguhnya tidak begitu mengerti akan apa yang ia ucapkan. Ia
bahkan tidak tahu siapa itu ayah. Tetapi teman-teman di penitipan anak selalu
membangga-banggakan ayah. Sebenarnya, ayah jenis mainan apa? Jika ada,
Christopher ingin meminta ibunya untuk membelinya sebuah ayah. Taylor yang mendengar permintaan Christopher cukup
terkejut. Tetapi karena Taylor sudah sering dikejutkan oleh sesuatu, ia dapat
mengendalikan raut wajahnya yang biasa saja.
“Daddy? Dari mana kau tahu
tentang Daddy?” Tanya Taylor tenang meski sekarang jantungnya mulai berdetak
kencang. Apa anaknya benar-benar serius? Tidak, tidak, tidak. Christopher tidak
boleh menemui ayah sialannya itu. Taylor tidak ingin berbohong pada
Christopher, tetapi ia hanya menunda. Menunda memberitahu Christopher bahwa
sebenarnya ayahnya sudah tidak ada di Atlanta. Christopher membantu dirinya
agar ia dapat duduk lalu ia menyentuh tangan ibunya.
“Aku tahu dari teman-teman.
Mereka selalu membicarakan tentang Daddy. Kumohon, Mommy, belikan aku! Belikan
aku Daddy,” sungut Christopher mengerucutkan mulutnya dan kedua alisnya saling
bertautan, memelas meminta belas kasihan. Ia menarik-narik tangan Taylor,
berharap ibunya mengabulkan permintaannya. Mendengar ucapan Christopher yang
polos membuat Taylor tersenyum. Dari buku psikologi yang Taylor baca,
sebaiknya, ia tidak menertawakan apa pun yang anaknya katakan. Kecuali anaknya
sedang mengatakan tentang cerita candaan. Ia tidak ingin kepercayaan diri
Christopher berkurang.
“Christopher,” bisik ibunya
lembut. “Daddy bukanlah sebuah benda. Daddy itu seseorang. Yang teman-temanmu bicarakan adalah tentang ayah mereka.
Kau tahu Java? Ya, Daddy hanya berjenis kelamin laki-laki. Daddy adalah
pasangan dari Mommy. Tetapi untuk sekarang ini, kau tidak bisa mendapatkan
Daddy-mu. Apa itu tidak apa-apa, Christopher?” Tanya Taylor dalam hati berharap
anaknya menganggukkan kepalanya. Tetapi sayangnya keberuntungan tidak jatuh ke
atasnya. Christopher menggeleng kepalanya.
“Aku ingin Daddy!” Serunya
sebenarnya tak mengerti apa yang ibunya katakan. Meski ia sedikit mengerti di
bagian Java dan jenis kelamin laki-laki. “Aku tidak mau bangun jika Mommy tidak
memberikan aku Daddy,” ancam Christopher. Ibunya hanya menarik nafas
dalam-dalam lalu mengembusnya dengan pelan. Kemudian Taylor berdiri dari tempat
tidur Christopher lalu ia melipat kedua tangannya di depan dada.
“Baiklah, jika begitu tuan muda.
Seperti apa yang kauminta, sayangnya, Mommy tidak bisa memberikanmu Daddy
sekarang. Jadi, nikmatilah tempat tidurmu sementara Mommy pergi bekerja dan
tidak pulang.” Ujar Taylor mengancam dengan halus. Christopher terperangah akan
apa yang ibunya ucapkan. Tetapi ia masih dengan pendiriannya—sifat yang sama
dengan ibunya—malah Christopher membalas melipat kedua tangannya di depan dada
dan membuang wajah dari ibunya.
“Tidak apa-apa,” ujarnya acuh tak
acuh. Ingin rasanya Taylor tertawa terbahak-bahak karena sikap anaknya yang
lucu. Tetapi ia tetap dalam perannya. Ia mulai berjalan mundur dari tempat
tidur Christopher lalu menarik nafas kembali.
“Mommy akan keluar dan
meninggalkanmu sendirian di rumah. Sendirian. Dan tidak akan pulang dari
kantor,” goda Taylor berjalan semakin menjauh dari tempat tidur Christopher.
Selama beberapa detik, Christopher berusaha tidak melirik ibunya. Tetapi
akhirnya ia melirik ibunya dari ekor matanya lalu menoleh melihat ibunya mulai
membalikkan tubuhnya untuk membuka pintu kamarnya.
“Oke, Mommy! Aku bangun! Aku
pergi!” Seru Christopher kesal. Ia berdiri lalu melompat dari atas tempat
tidurnya. Ia berlari menuju Taylor lalu memeluk betis ibunya. “Tetapi Mommy
harus berjanji untuk pulang dari kantor.” Bisiknya manja.
“Seperti yang kau mau, tuan
muda.”
***
Senin,
pagi itu, Justin Almonde baru saja bangun dari tidurnya. Di tengah-tengah kota
Los Angeles, Justin dapat merasakan sinar matahari yang menyinari kamarnya.
Siapa bajingan sialan yang berani-beraninya membuka tirai kamarnya? Pasti
pelacur sialan yang tadi malam menemaninya. Ia menyipitkan matanya lalu
mengerang pelan.
“Sial,” umpatnya kesal. Baru pagi
seperti ini, amarah Justin sudah tersulut. Waktunya tidak tepat. Seharusnya jam
9 pagi amarah Justin mulai mendidih. Dan pelacur itu berani-beraninya membuat
Justin kesal di pagi hari. Berarti hari ini para karyawan Justin harus bertahan
akan ledakan amarah Justin selama di kantor. Kamarnya bernuansa abu-abu muda.
Tempat tidur empuk itu bukan tempatnya berhubungan intim dengan pelacur itu. Ia
tidak ingin tempat tidurnya dikotori oleh pelacur mana pun. Ia lebih sering
melakukannya di kamar tamu. Jadi, siapa pun yang mengunjungi rumah Justin dan
ingin menginap, bersiaplah dengan aroma janggal.
Pintu kamarnya sudah terbuka.
Begitu Justin terduduk lemas, seorang wanita yang hanya mengenakan kemeja putih
Justin—yang Justin pakai tadi malam—muncul di hadapan Justin. Melihat
pakaiannya dipakai pelacur itu, Justin bersumpah tidak akan memakai kemeja itu
lagi. Ia lebih memilih untuk membuangnya. Wanita itu cantik. Rambutnya
cokelat-pirang, dengan ukuran tubuh yang seksi, namun agak pendek. Mengapa
wanita ini lebih memilih menjadi pelacur? Justin menggelengkan kepalanya. Bukan
urusan Justin mengenai pekerjaan wanita ini.
“Bayaranku,”
ujar wanita itu tak basa-basi. Justin mengerang pelan lalu ia mengambil dompet
yang masih berada di dalam kantong celananya—yang tergeletak di atas lantai. Ia
mengambil beberapa lembar uang bernilai besar lalu memberikannya pada wanita
itu.
“Ambil saja tipnya, jika kau
mau,” ujar Justin tak peduli. “Sekarang, kau boleh pergi. Ambil saja kemeja
itu, aku tidak akan memakai kemeja itu lagi, omong-omong,”
“Bajingan,” umpat wanita itu
pelan. Justin yang mendengarnya hanya tersenyum mencemooh. Setidaknya aku tidak menjual diri sepertimu, bisik Justin dalam
hati.
“Ya, ya, terserahlah apa katamu,”
ujar Justin. “Keluar dari kamarku.” Perintah Justin. Tidak ingin diminta untuk
yang ketiga kali, wanita itu segera keluar dari kamar Justin dan menutup
pintunya. Justin mengambil laptopnya yang berada di atas meja kecil, di sebelah
tempat tidur. Ia menyalakannya berniat untuk memeriksa apakah sudah ada wanita
yang ingin berkencan dengannya. Yah, Justin harap begitu.
Begitu sudah menyala dan
menyambung dengan Internet, Justin segera membuka situsnya dan masuk dalam
akunnya yang bernama SexyGlasses.
Memang nama akun yang tidak begitu menarik, tetapi Justin memang terlihat lebih
cerdas dan seksi bila ia memakai kacamata. Begitu ia membuka akunnya, ia
mendapat kira-kira 20 wanita dalam waktu satu malam. Mungkin karena wajahnya
yang tampan sewaktu ia masih menikah dengan Taylor. Tetapi ia yakin, ia masih
dengan wajah tampan yang sama seperti dulu. Ia memilih-milih siapa saja yang ia
pilih untuk kencan malam ini atau besok. Ia memilih tiga wanita. LunaIrish, EmmaRinger, dan AshleyDuncan. Tidak salah bukan memilih
wanita dengan ras yang berbeda?
“Mari kita mulai.”
***
Tidak
perlu diminta dua kali, Christopher berlari kencang menuju ibunya yang baru
saja pulang dari kantor dan membawa
makanan chinese untuknya. Sudah jam 3 sore dan tempat penitipan anak akan tutup
2 jam lagi. Taylor mengucapkan terima kasih pada Mrs. Judith karena telah
menjaga anaknya lalu ia berjalan keluar bersama Christopher untuk pergi ke
taman kota, seperti biasanya. Tempat kesukaan mereka jika Taylor sudah pulang
bekerja.
“Mommy, aku dibilang bodoh oleh
teman-temanku karena aku tidak tahu apa itu Daddy,” ujar Christopher
menceritakan keluh kesahnya. Kedua alis Taylor terangkat, terkejut. Tangan Taylor
yang memegang tangan Christopher untuk beberapa saat meremas-remas pelan tangan
anaknya. “Apa aku memang bodoh, Mommy?”
“Tentu saja tidak, sayang.
Mengapa kau percaya perkataan mereka? Seperti ini, sayang, jika ada seseorang
atau siapa pun yang menghinamu, jangan pernah percaya dengan mereka. Mengerti?
Mereka saja yang iri padamu karena mereka terlalu bosan memiliki Daddy
sementara kau memiliki waktu yang sangat banyak dengan Mommy. Bagaimana dengan
itu?” Tanya Taylor menunduk untuk melihat anaknya. Christopher mendongak lalu
tersenyum hingga lesung pipinya terlihat. Lagi.
“Ya! Betul sekali, Mom. Betul
sekali. Mereka tidak pernah membicarakan tentang Mommy. Aku juga bosan mereka
terus menyebut Daddy selama kami bermain. Jadi, hari ini aku bermain sendiri
dengan puzzle dan berbicara bersama Mrs. Judith,” ujar Christopher kembali
ceria. Sifat Justin yang satu ini memang sudah melekat sejak Christopher masih
bayi. Anak ini mudah berbaur dan menyenangkan. Bedanya, Justin pemarah
sementara Christopher lebih tenang seperti ibunya.
“Sebaiknya, kau tidak memusuhi
mereka. Mengerti, Christopher?”
“Ya, Mommy,” ujarnya pasrah,
meski ia tidak begitu ingin berteman lagi dengan teman-temannya karena telah
menghinanya bodoh. “Aku akan berteman dengan mereka hari Sabtu.” Lanjutnya
menawar. Namun ibunya tidak menanggapi apa yang ia katakan karena orang
kesukaan kedua Christopher baru saja muncul untuk menyeberang dari seberang
jalan.
“Lihat siapa yang datang?” Tanya
Taylor berhenti melangkah.
“Paman Java!” Seru Christopher.
“Paman Java! Paman Java! Paman Java!” Seru Christopher melompat-lompat di
tempatnya begitu ia melihat Java berlari pelan dari seberang jalan menuju
mereka. Begitu Java sampai, Christopher segera memeluk betis Java dengan gemas. “Hey, jagoan kecil,”
“Uh, aku gemas sekali dengan
paman Java,” ujar Christopher dengan wajah gemasnya, dan lagi, kedua lesung
pipinya muncul. “Aku akan memeluk ini sampai kita sampai di taman.”
“Yeah, kau bisa lakukan itu.”
Christopher menyetujuinya. Taylor hanya diam melihat interaksi mereka yang
begitu akrab. Ia tahu betul ke arah mana Java akan membawa mereka; pernikahan.
“Ingin kutemani?”
“Ya, tentu.” Taylor tidak begitu
banyak berbicara dengan Java. Ia.. lebih memilih untuk menjaga jarak dengan
seluruh teman prianya. Bayang-bayang Justin masih menghantuinya.
Bahkan tiap malam, di mimpi yang
sama.
***
“Oh
ya Tuhan,” suara terkejut dari seorang wanita memekakan telinga Justin. “Jadi,
kau SexyGlasses? Kau lebih… tampan
dan tinggi dari foto yang kulihat,” ujar wanita itu kagum. Di sebuah restoran
mewah, Justin mengajak wanita terakhirnya untuk kencan. Setelah 2 wanita yang
ia ajak kencan tadi siang dan sore, Justin sudah merasa tidak ada daya
ketertarikan satu sama lain. Tetapi wanita yang satu ini, Justin dapat melihat
kemungkinan kecil di antara mereka.
“Ya, aku SexyGlasses. Jadi, kau EmmaRinger?
Kau tampak cantik malam ini,” puji Justin mempersilakan Emma duduk di
hadapannya. Ya, Justin bukan pria yang begitu romantis. Menarik kursi untuk
seorang wanita? Tidak pernah seumur hidup Justin.
“Ya, terima kasih. Namaku Emma
Anthony, omong-omong,” ujar Emma ramah. “Sebelum kita memulai kencan ini.
Bagaimana jika kita membuat perjanjian untuk saling jujur satu sama lain?”
tanya Emma mengerling. Justin mengangguk setuju.
“Ya, kurasa itu ide bagus. Namaku
Justin,” ucap Justin mengangguk satu kali. Ia tidak ingin menyebut nama
belakangnya untuk sementara. “Aku sudah memesan makanan. Aku memesankanmu
salad,”
“Wow, Mr. Justin, kurasa kau pria
yang pintar memperlakukan wanita,” puji Emma berlebihan. Justin tersenyum
lebar, ia hanya mengangguk untuk menghargai pujian Emma. “Well, sebelum itu,
aku ingin bertanya,”
“Apa itu?”
“Apa kau pernah menikah
sebelumnya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar