Minggu, 05 Oktober 2014

Doomed Prolog









PROLOG

 Ia menunggu, berharap dirinya tak perlu berucap sepatah kata pun untuk pria itu. Hujan di luar menjadi latar suara. Tidak ada yang berani keluar kecuali jika mereka sudah terperangkap di dalam mobil. Sebagian terkejut akan bunyi keras yang membentak dari langit, guntur itu benar-benar menakutkan. Bahkan bagi seorang nenek-nenek tua. Anak-anak kecil yang masih polos berdoa kepada Tuhan agar Ia menghentikan hujan badai yang membuat mereka tidak dapat tidur. Tetapi kejadian itu terjadi 2 jam yang lalu. Tengah malam ini adalah jawaban Tuhan dari doa anak-anak kecil itu.
Kecuali dengan wanita berwajah cantik itu yang sedang berjalan mondar-mandir di ruang tamunya. Kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Ia kadang-kadang menggigit bibir bawahnya untuk mengurangi kekhawatirannya. Untunglah hujan sudah reda, jika tidak, bayinya—yang sudah tidur—pasti akan terus menangis karena suara guntur yang terus membuatnya terkejut. Ruang tamu semakin hangat hingga keringat mulai terlihat di pelipisnya. Ia melirik jam dinding. Kali ini, ia sudah tidak tahan lagi. Jika dalam waktu 5 menit, tidak ada yang membuka pintu utama rumahnya, maka ia tidak akan peduli lagi.
Ia duduk di sofa lalu menarik nafasnya dalam-dalam untuk menjaga ketenangannya. Parasnya begitu cantik saat wanita itu melamun melihat meja ruang tamunya. Mata cokelat tajamnya seolah-olah selalu membuat orang-orang yang berhadapan dengannya pasti akan tunduk. Wajahnya terlihat begitu tegas. Mata tajam, hidung mancung, dan bibir penuh yang seksi. Pria mana pun yang melihat pemandangan ini sudah pasti tidak akan hanya tinggal diam dan meninggalkan wanita ini. Cara duduk wanita itu pun dapat memperlihatkan karakternya yang tegas. Ia duduk begitu tegak dengan salah satu lutut bertumpu di lutut yang lain. Wanita itu bak dewi Yunani.
Wanita itu mendongakkan kepalanya. Ia tidak mau berlama-lama duduk di sofa itu seperti orang tolol. Masih banyak yang harus ia lakukan besok. Merawat bayinya adalah hal baru baginya dan orang tolol yang ia tunggu tak kunjung muncul. Ia bangkit dari sofa lalu berjalan untuk mematikan lampu ruang tamu. Setelah ia menekan saklar lampu, ia lalu berjalan meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Ia akan membiarkan orang sialan itu masuk dengan sendirinya. Ia sudah muak dengan kelakuannya! Tetapi wanita itu memutuskan untuk tidak memikirkan keburukannya. Baru ia akan melangkahi tangga pertama, pintu rumahnya terbuka. Namun reaksinya hanya berbalik melihat ke arah pintu itu. Cahaya dari luar membuat orang yang baru saja masuk itu seolah-olah hanya terlihat bayangannya saja.
Ia berdiri di depan tangga, berdecak pinggang dan melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya menatap sinis pada pria yang jatuh ke lantai itu. Pria itu memegang knop pintu, berusaha untuk membantu dirinya sendiri agar dapat berdiri dengan tegak. Kemeja biru yang pria itu pakai acak-acakan. Dan aroma alkohol mulai menyentuh indra penciuman wanita itu. Tetapi wanita itu tetap berdiri tegak di tempatnya sambil memerhatikan pria itu. Ketika pria itu sudah berdiri, pria itu malah bernyanyi-nyanyi tak jelas. Sesekali pria itu memaki wanita ini. Bukannya marah, wanita itu malah berjalan menuju pria yang kembali jatuh itu.
Dengan penuh kesabaran, wanita itu membopong pria itu di punggungnya. Ia menutup pintu rumah lalu menguncinya.
“Taylor!” Ceracau pria itu di punggungnya. “Kau bohong padaku! Katamu, kau tidak hamil. Tapi lihat apa yang ada di atas kamar! Mahluk kecil itu ada di atas sana, bukan?”
“Kau gila atau apa?” Tanya wanita bernama Taylor itu berjalan menuju tangga. Sesampainya di tangga, ia menurunkan pria itu tanpa kesusahan. Olahraga tiap hari yang ia lakukan benar-benar berguna. “Jadi, kau ingin kugendong atau berjalan sendiri?” Tanya Taylor menatap pria itu yang memegang pegangan tangga. Pria itu mendongak lalu mengangguk.
“Ya, aku bisa naik ke atas sendiri. Kau pikir aku bayi!” Serunya tak suka direndahkan. Tetapi seperti yang Taylor tahu, ia sedang diperhadapkan dengan teman iblis. Peduli tak peduli, Taylor melangkah menaiki tangga. Ia bahkan tidak menoleh satu kali pun untuk melihat keadaan pria yang sedang berusaha melangkah.
“Taylor!” Teriak pria itu marah saat ia tidak berhasil menaiki tangga. Taylor yang hampir sampai di lantai 2 langsung berlari turun ke bawah. Tidak ada waktu untuk berbasa-basi, telapak tangan Taylor langsung menampar pipi pria itu. Pria itu hanya meringis pelan lalu mengelus-elus pipinya yang baru saja mendapat tamparan keras.
“Tidakkah kau tahu sialan? Aku baru saja berhasil membuat bayiku tidur dengan nyenyak! Dan dengan sialannya kau berteriak di tengah malam seperti ini? Dimana otakmu, Justin?” Taylor berseru pelan. Tetapi pria itu tidak mengatakan apa-apa. Ia masih berkutat dengan pipinya yang masih terasa sakit. Taylor sudah tak tahan lagi akan sikap Justin yang semakin lama semakin membuatnya muak. Jika bukan karena bayi mereka yang sedang tidur itu, sudah pasti hubungan pernikahan yang telah mereka bangun selama 2 tahun akan hancur lebur hanya karena masalah seperti ini. Taylor terduduk di salah satu anak tangga lalu menyembunyikan wajah dari balik telapak tangannya. Wanita yang rambutnya disanggul itu mengusap-usap kasar wajahnya.
Justin yang melihat istrinya terduduk itu terjerembap jatuh ke atas lantai dan duduk layaknya anak berkebutuhan khusus. Ia menatap Taylor lalu membuka mulutnya.
“Taylor,” panggil Justin. Istrinya yang menutup wajah dengan telapak tangan itu langsung menurunkan kedua tangannya. “Aku sudah tidak tahan,”
            “Apa maksudmu?” Tanya Taylor dengan nada tenang. Ia menatap baik-baik wajah suaminya yang kelihatan begitu tampan meski ia sedang mabuk. Di satu sisi Taylor begitu membencinya akan sikap suaminya akhir-akhir ini. Tetapi di satu sisi, ia masih mencintai Justin dan masih memikirkan masa depan anak mereka. Justin menekuk salah satu lututnya dan menyangga siku-sikunya di ujung lutut. Taylor benar-benar bersabar untuk mendengarkan pria sialan ini berbicara. Justin menyandar sebentar di sisi tangga lalu mendongakkan kepalanya ke atas. “Apa maksudmu, Justin?”
“Aku rasa hubungan ini tidak berjalan dengan baik, Taylor,” bisik Justin. Jantung Taylor berdetak lebih kencang dari pada biasanya. Entah mengapa firasatnya mengatakan bahwa sebentar lagi ia akan tinggal di rumah ini sendiri dengan anaknya. Tetapi sebisa mungkin Taylor berpikir positif. Mungkin Justin ingin hubungan mereka diperbaiki dengan cara yang lebih manusiawi. Taylor menatap baik-baik Justin lalu ia membuka mulut.
“Apa maksudmu?” Masih dengan pertanyaan yang sama ia lontarkan. Ia masih tidak tahu kemana arah pembicaraan Justin. Ia tidak ingin berpikir negatif akan apa pun yang terjadi sekarang. Otaknya langsung memikirkan si kecil di atas yang sedang terlelap.
“Hubungan ini benar-benar rusak, Taylor,” jelas Justin tidak begitu memberikan banyak informasi. “Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu sebagai pengacara dan baru saja melahirkan si kecil. Aku terlalu sibuk dengan perusahaan situsku. Maksudku, rumah tangga ini tidak berhasil, Taylor,” ujar Justin menjelaskan lebih banyak lagi. Taylor berusaha untuk mendengar, menyimak dan menyerap setiap perkataan yang keluar dari mulut Justin. Tetapi ia tidak mengambil tindakan lain selain diam dan ingin terus mendengar. Justin menatap mata istrinya lalu memejamkan matanya beberapa detik kemudian.
“Teruskan,” bisik Taylor. Justin membuka matanya namun ia tidak menatap Taylor. Ia menoleh ke segala arah tetapi tidak pada Taylor. Otaknya masih pening akibat alkohol yang berlebihan. Rasanya ia ingin tidur sekarang, tetapi Justin harus mengatakan hal ini pada Taylor untuk memperjelas bagaimana perasaannya sekarang.
“Aku ingin kita bercerai.” Saat itu juga bayi mereka menangis di atas sana.

            Tok. Tok. Tok. Hakim sudah memukul palu untuk yang ketiga kalinya. Taylor menatap ketua hakim yang telah memutuskan bahwa ia dan Justin secara resmi telah berpisah dan tidak memiliki ikatan apa pun. Sesungguhnya, ia tidak menerima perceraian ini demi anak bayinya yang sekarang berada dalam gendongannya. Justin Almonde, yang sekarang adalah mantan suaminya, berdiri dari balik meja penggugat cerai lalu ia melangkah keluar dari meja. Ia berjalan meninggalkan ruangan tanpa sekalipun melirik Taylor yang masih terpaku di kursi dan masih menatap ketua hakim. Wajahnya terlihat begitu keras. Bahkan Taylor tidak kelihatan sedih.
            Pagi itu, masih jam 10 pagi, Justin Almonde dan Taylor Primrose Stalwart telah resmi bercerai. Dan saat itu juga Taylor mengakui bahwa bola kemaluan Justin sekecil kacang almond yang dimana nama belakang pria itu begitu mewakili bola kemaluannya. Taylor tersenyum kecil akan pikirannya yang begitu bercela. Ia bangkit dari kursi dengan bayi laki-laki berada dalam gendongannya. Ketika ia berdiri, tubuh Taylor terlihat begitu sempurna. Tinggi tubuhnya tidak begitu tinggi atau pendek. Rambutnya tersanggul begitu rapi seperti kemarin malam. Riasan wajahnya tidak begitu berlebihan. Pakaiannya begitu modis—blazer abu serta rok selutut yang berwarna senada dengan blazer-nya membuat Taylor lebih cantik—untuk seorang ibu-ibu seperti Taylor. Kelihatan sekali bahwa ia adalah wanita karir yang sukses.
Taylor tidak perlu pengacara karena ia sudah mewakili dirinya sendiri. Ia seorang pengacara, meski ia bukan pengacara kasus perceraian seperti ini. Ia hanya menangani kasus-kasus pembunuhan dan penculikan. Dan dari semua kasus yang ia dapat, Taylor jarang kalah untuk memenangkan kliennya bebas dari penjahat atau bebas dari penjara. Tetapi sekarang ia mendapatkan cuti dari atasannya karena Taylor baru saja melahirkan dua minggu yang lalu. Dimana Justin tidak datang menemaninya ketika Taylor melahirkan anak pertama mereka. Tidak ada yang lebih sakit dibanding ketika Justin tidak ingin mengakui bahwa anak yang Taylor lahirkan adalah anak mereka. Memang sial memiliki suami seperti Justin.
Apa yang Taylor pikirkan sehingga ia menerima Justin menjadi suaminya? Taylor merasa begitu tolol! Begitu terlarut dalam pikirannya, Taylor tak sadar ada seorang pria yang terus menjentik-jentikkan jarinya di depan wajah Taylor. Mata Taylor mengedip beberapa kali ketika ia sadar akan lamunannya lalu memundurkan wajahnya dari jentikan jari itu. Oh, rekan kerjanya.
“Hey, apa kau baik-baik saja?” Tanya teman prianya begitu perhatian.
“Tidak pernah merasa lebih baik, Java,” ucap Taylor tersenyum. “Tidak pernah merasa lebih baik dari ini.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar