PROLOG
Ia menunggu, berharap dirinya tak perlu
berucap sepatah kata pun untuk pria itu. Hujan di luar menjadi latar suara. Tidak
ada yang berani keluar kecuali jika mereka sudah terperangkap di dalam mobil.
Sebagian terkejut akan bunyi keras yang membentak dari langit, guntur itu
benar-benar menakutkan. Bahkan bagi seorang nenek-nenek tua. Anak-anak kecil
yang masih polos berdoa kepada Tuhan agar Ia menghentikan hujan badai yang
membuat mereka tidak dapat tidur. Tetapi kejadian itu terjadi 2 jam yang lalu.
Tengah malam ini adalah jawaban Tuhan dari doa anak-anak kecil itu.
Kecuali dengan wanita berwajah
cantik itu yang sedang berjalan mondar-mandir di ruang tamunya. Kedua tangannya
saling meremas satu sama lain. Ia kadang-kadang menggigit bibir bawahnya untuk
mengurangi kekhawatirannya. Untunglah hujan sudah reda, jika tidak,
bayinya—yang sudah tidur—pasti akan terus menangis karena suara guntur yang
terus membuatnya terkejut. Ruang tamu semakin hangat hingga keringat mulai
terlihat di pelipisnya. Ia melirik jam dinding. Kali ini, ia sudah tidak tahan
lagi. Jika dalam waktu 5 menit, tidak ada yang membuka pintu utama rumahnya,
maka ia tidak akan peduli lagi.
Ia duduk di sofa lalu menarik
nafasnya dalam-dalam untuk menjaga ketenangannya. Parasnya begitu cantik saat
wanita itu melamun melihat meja ruang tamunya. Mata cokelat tajamnya
seolah-olah selalu membuat orang-orang yang berhadapan dengannya pasti akan
tunduk. Wajahnya terlihat begitu tegas. Mata tajam, hidung mancung, dan bibir
penuh yang seksi. Pria mana pun yang melihat pemandangan ini sudah pasti tidak
akan hanya tinggal diam dan meninggalkan wanita ini. Cara duduk wanita itu pun
dapat memperlihatkan karakternya yang tegas. Ia duduk begitu tegak dengan salah
satu lutut bertumpu di lutut yang lain. Wanita itu bak dewi Yunani.
Wanita itu mendongakkan
kepalanya. Ia tidak mau berlama-lama duduk di sofa itu seperti orang tolol.
Masih banyak yang harus ia lakukan besok. Merawat bayinya adalah hal baru
baginya dan orang tolol yang ia tunggu tak kunjung muncul. Ia bangkit dari sofa
lalu berjalan untuk mematikan lampu ruang tamu. Setelah ia menekan saklar
lampu, ia lalu berjalan meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya yang berada di
lantai dua. Ia akan membiarkan orang sialan itu masuk dengan sendirinya. Ia
sudah muak dengan kelakuannya! Tetapi
wanita itu memutuskan untuk tidak memikirkan keburukannya. Baru ia akan melangkahi tangga pertama, pintu rumahnya
terbuka. Namun reaksinya hanya berbalik melihat ke arah pintu itu. Cahaya dari
luar membuat orang yang baru saja masuk itu seolah-olah hanya terlihat
bayangannya saja.
Ia berdiri di depan tangga,
berdecak pinggang dan melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya menatap
sinis pada pria yang jatuh ke lantai itu. Pria itu memegang knop pintu,
berusaha untuk membantu dirinya sendiri agar dapat berdiri dengan tegak. Kemeja
biru yang pria itu pakai acak-acakan. Dan aroma alkohol mulai menyentuh indra
penciuman wanita itu. Tetapi wanita itu tetap berdiri tegak di tempatnya sambil
memerhatikan pria itu. Ketika pria itu sudah berdiri, pria itu malah
bernyanyi-nyanyi tak jelas. Sesekali pria itu memaki wanita ini. Bukannya
marah, wanita itu malah berjalan menuju pria yang kembali jatuh itu.
Dengan penuh kesabaran, wanita
itu membopong pria itu di punggungnya. Ia menutup pintu rumah lalu menguncinya.
“Taylor!” Ceracau pria itu di
punggungnya. “Kau bohong padaku! Katamu, kau tidak hamil. Tapi lihat apa yang
ada di atas kamar! Mahluk kecil itu ada di atas sana, bukan?”
“Kau gila atau apa?” Tanya wanita
bernama Taylor itu berjalan menuju tangga. Sesampainya di tangga, ia menurunkan
pria itu tanpa kesusahan. Olahraga tiap hari yang ia lakukan benar-benar
berguna. “Jadi, kau ingin kugendong atau berjalan sendiri?” Tanya Taylor
menatap pria itu yang memegang pegangan tangga. Pria itu mendongak lalu
mengangguk.
“Ya, aku bisa naik ke atas
sendiri. Kau pikir aku bayi!” Serunya tak suka direndahkan. Tetapi seperti yang
Taylor tahu, ia sedang diperhadapkan dengan teman iblis. Peduli tak peduli,
Taylor melangkah menaiki tangga. Ia bahkan tidak menoleh satu kali pun untuk
melihat keadaan pria yang sedang berusaha melangkah.
“Taylor!” Teriak pria itu marah
saat ia tidak berhasil menaiki tangga. Taylor yang hampir sampai di lantai 2
langsung berlari turun ke bawah. Tidak ada waktu untuk berbasa-basi, telapak
tangan Taylor langsung menampar pipi pria itu. Pria itu hanya meringis pelan
lalu mengelus-elus pipinya yang baru saja mendapat tamparan keras.
“Tidakkah kau tahu sialan? Aku
baru saja berhasil membuat bayiku
tidur dengan nyenyak! Dan dengan sialannya kau berteriak di tengah malam
seperti ini? Dimana otakmu, Justin?” Taylor berseru pelan. Tetapi pria itu
tidak mengatakan apa-apa. Ia masih berkutat dengan pipinya yang masih terasa
sakit. Taylor sudah tak tahan lagi akan sikap Justin yang semakin lama semakin
membuatnya muak. Jika bukan karena bayi mereka yang sedang tidur itu, sudah
pasti hubungan pernikahan yang telah mereka bangun selama 2 tahun akan hancur
lebur hanya karena masalah seperti ini. Taylor terduduk di salah satu anak
tangga lalu menyembunyikan wajah dari balik telapak tangannya. Wanita yang
rambutnya disanggul itu mengusap-usap kasar wajahnya.
Justin yang melihat istrinya
terduduk itu terjerembap jatuh ke atas lantai dan duduk layaknya anak
berkebutuhan khusus. Ia menatap Taylor lalu membuka mulutnya.
“Taylor,” panggil Justin.
Istrinya yang menutup wajah dengan telapak tangan itu langsung menurunkan kedua
tangannya. “Aku sudah tidak tahan,”
“Apa
maksudmu?” Tanya Taylor dengan nada tenang. Ia menatap baik-baik wajah suaminya
yang kelihatan begitu tampan meski ia sedang mabuk. Di satu sisi Taylor begitu
membencinya akan sikap suaminya akhir-akhir ini. Tetapi di satu sisi, ia masih
mencintai Justin dan masih memikirkan masa depan anak mereka. Justin menekuk
salah satu lututnya dan menyangga siku-sikunya di ujung lutut. Taylor
benar-benar bersabar untuk mendengarkan pria sialan ini berbicara. Justin
menyandar sebentar di sisi tangga lalu mendongakkan kepalanya ke atas. “Apa
maksudmu, Justin?”
“Aku rasa hubungan ini tidak
berjalan dengan baik, Taylor,” bisik Justin. Jantung Taylor berdetak lebih
kencang dari pada biasanya. Entah mengapa firasatnya mengatakan bahwa sebentar
lagi ia akan tinggal di rumah ini sendiri dengan anaknya. Tetapi sebisa mungkin
Taylor berpikir positif. Mungkin Justin ingin hubungan mereka diperbaiki dengan
cara yang lebih manusiawi. Taylor menatap baik-baik Justin lalu ia membuka
mulut.
“Apa maksudmu?” Masih dengan
pertanyaan yang sama ia lontarkan. Ia masih tidak tahu kemana arah pembicaraan
Justin. Ia tidak ingin berpikir negatif akan apa pun yang terjadi sekarang.
Otaknya langsung memikirkan si kecil di atas yang sedang terlelap.
“Hubungan ini benar-benar rusak,
Taylor,” jelas Justin tidak begitu memberikan banyak informasi. “Kau terlalu
sibuk dengan pekerjaanmu sebagai pengacara dan baru saja melahirkan si kecil.
Aku terlalu sibuk dengan perusahaan situsku. Maksudku, rumah tangga ini tidak
berhasil, Taylor,” ujar Justin menjelaskan lebih banyak lagi. Taylor berusaha
untuk mendengar, menyimak dan menyerap setiap perkataan yang keluar dari mulut
Justin. Tetapi ia tidak mengambil tindakan lain selain diam dan ingin terus
mendengar. Justin menatap mata istrinya lalu memejamkan matanya beberapa detik
kemudian.
“Teruskan,” bisik Taylor. Justin
membuka matanya namun ia tidak menatap Taylor. Ia menoleh ke segala arah tetapi
tidak pada Taylor. Otaknya masih pening akibat alkohol yang berlebihan. Rasanya
ia ingin tidur sekarang, tetapi Justin harus mengatakan hal ini pada Taylor
untuk memperjelas bagaimana perasaannya sekarang.
“Aku ingin kita bercerai.” Saat
itu juga bayi mereka menangis di atas sana.
Tok. Tok. Tok. Hakim sudah memukul palu
untuk yang ketiga kalinya. Taylor menatap ketua hakim yang telah memutuskan
bahwa ia dan Justin secara resmi telah berpisah dan tidak memiliki ikatan apa
pun. Sesungguhnya, ia tidak menerima perceraian ini demi anak bayinya yang
sekarang berada dalam gendongannya. Justin Almonde, yang sekarang adalah mantan
suaminya, berdiri dari balik meja penggugat cerai lalu ia melangkah keluar dari
meja. Ia berjalan meninggalkan ruangan tanpa sekalipun melirik Taylor yang
masih terpaku di kursi dan masih menatap ketua hakim. Wajahnya terlihat begitu
keras. Bahkan Taylor tidak kelihatan sedih.
Pagi
itu, masih jam 10 pagi, Justin Almonde dan Taylor Primrose Stalwart telah resmi
bercerai. Dan saat itu juga Taylor mengakui bahwa bola kemaluan Justin sekecil
kacang almond yang dimana nama
belakang pria itu begitu mewakili bola kemaluannya. Taylor tersenyum kecil akan
pikirannya yang begitu bercela. Ia bangkit dari kursi dengan bayi laki-laki
berada dalam gendongannya. Ketika ia berdiri, tubuh Taylor terlihat begitu
sempurna. Tinggi tubuhnya tidak begitu tinggi atau pendek. Rambutnya tersanggul
begitu rapi seperti kemarin malam. Riasan wajahnya tidak begitu berlebihan.
Pakaiannya begitu modis—blazer abu serta rok selutut yang berwarna senada
dengan blazer-nya membuat Taylor lebih cantik—untuk seorang ibu-ibu seperti
Taylor. Kelihatan sekali bahwa ia adalah wanita karir yang sukses.
Taylor tidak perlu pengacara
karena ia sudah mewakili dirinya sendiri. Ia seorang pengacara, meski ia bukan
pengacara kasus perceraian seperti ini. Ia hanya menangani kasus-kasus
pembunuhan dan penculikan. Dan dari semua kasus yang ia dapat, Taylor jarang
kalah untuk memenangkan kliennya bebas dari penjahat atau bebas dari penjara.
Tetapi sekarang ia mendapatkan cuti dari atasannya karena Taylor baru saja
melahirkan dua minggu yang lalu. Dimana Justin tidak datang menemaninya ketika
Taylor melahirkan anak pertama mereka. Tidak ada yang lebih sakit dibanding
ketika Justin tidak ingin mengakui bahwa anak yang Taylor lahirkan adalah anak
mereka. Memang sial memiliki suami seperti Justin.
Apa yang Taylor pikirkan sehingga
ia menerima Justin menjadi suaminya? Taylor merasa begitu tolol! Begitu
terlarut dalam pikirannya, Taylor tak sadar ada seorang pria yang terus
menjentik-jentikkan jarinya di depan wajah Taylor. Mata Taylor mengedip
beberapa kali ketika ia sadar akan lamunannya lalu memundurkan wajahnya dari
jentikan jari itu. Oh, rekan kerjanya.
“Hey, apa kau baik-baik saja?”
Tanya teman prianya begitu perhatian.
“Tidak pernah merasa lebih baik,
Java,” ucap Taylor tersenyum. “Tidak pernah merasa lebih baik dari ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar