Sabtu, 11 Oktober 2014

Doomed Bab 13

            Awalnya hanya setitik merah yang menodai kemeja putihnya. Tetapi kemudian noda merah itu semakin meluas, menyebar, dan basah. Dua bola mata cokelat itu berkaca-kaca namun tak sama sekali mengedip. Seperti adegan di serial televisi Sherlock Holmes, ia menjatuhkan diri ke belakang. Mengantisipasi terjadinya pendarahan cepat dalam waktu singkat. Pikirannya terbang kepada kenangan-kenangan lama yang masih tersimpan di memori otaknya. Ia mendengar sayup-sayup suara jeritan wanita lalu tiga tembakan yang lain namun sisa-sisa kesadarannya hanya membiarkannya mendengar erangan dari pria yang baru saja menembaknya. Diam-diam, di antara kematian dan hidupnya, ia mengutuk pria itu.
            Sepanjang hidup Taylor, ia tak pernah menembak seorang pun. Ia juga tak berharap orang pertama yang ia tembak adalah sahabat—yang dulu—setianya. Ia masih terguncang akan apa yang ia baru saja lihat. Peluru pertama itu meluncur dengan indah, menjanjikan kematian yang pasti, lalu menusuk tepat di bawah dada kanan pria itu. Bukan ia yang menginginkan tembakan kedua, ketiga dan keempat terjadi, tetapi keadaan memaksanya. Ia menendang kaki Java yang sementara ia tersungkur di bawahnya, lalu pria itu ikut tersungkur di hadapannya. Hanya dalam hitungan detik, sebelum pria itu menembaknya, Taylor menembak Java di kedua kakinya dan di lengan pria itu. Tanpa ragu-ragu ia bangkit dan menendang tangan Java yang masih memegang pistol sehingga pistol itu terlempar jauh dari pria itu.
            Perhatiannya jatuh pada Justin yang sudah tersungkur lemas di bawah tempat tidur Christopher. Anak kecil itu sudah berada di samping Justin sambil memeluk lengan Ayahnya dengan kasih sayang. Bahkan anak kecil itu tiba-tiba bangkit dari duduknya dan mengambil bantal yang tadi dijadikan bantal kepala. Anak kecil itu menaruh bantal itu di punggung Justin lalu tersenyum tulus. Justin tak sanggup melakukan apa pun selain menatap Christopher dan wanita yang sekarang berjongkok di hadapannya. Semuanya tampak seperti adegan lambat di film-film. Wanita itu mengguncang-guncangkan kedua bahunya, berteriak di telinganya tetapi ia hanya mendengar dengungan seperti mendengar lebah di sekitarnya.
            “Justin! Demi Tuhan, tetap bersamaku!” Seru Taylor yang tengah menghubungi 911. Begitu teleponnya diangkat, Taylor segera memberitahu alamatnya dan meminta ambulans untuk datang secepat mungkin. Ia melempar ponsel itu kemana saja lalu membungkuk, mendekati Justin.
            “Taylor..” lirih pria itu lemah. Darahnya semakin merembes keluar, membasahi telapak tangannya yang dari tadi berada di atas luka tembaknya. Kekuatannya yang masih tersisa, ia pergunakan sebaik-baiknya. Jika ini memang kematianku.., bisik Justin dalam hati sambil tersenyum lirih pada Taylor.
            Wanita itu melembut. Ia mengelus kepala Justin dengan lembut, bahkan tersenyum. Senyuman tulus sejak perceraian mereka. Oh, ia sangat merindukan senyuman itu. Bahkan sekarang hatinya meledak-ledak bahagia sebelum kematiannya. Wanita itu banyak berbicara tetapi Justin tak sepenuhnya mendengar kata-katanya.
            “Taylor..” lirihnya lagi membuat Taylor menutup mulut. Pandangan Justin kabur sesaat. Ia dapat merasakan sentuhan kulit lembut dari telapak tangan Christopher yang menyentuh punggung tangannya. Justin menoleh pada anak tunggalnya, menatap anak itu dengan tatapan bangga. Ia tampan dan pintar sepertiku, bisik Justin sombong sebelum kematian menjemputnya.
            “Mommy, apakah paman Justin akan baik-baik saja?” Tanya Christopher begitu polos sampai Taylor tak dapat menahan tangisannya lagi. Tangisan wanita itu memecah, ia menarik tangan Justin yang tak tergeletak di lantai. Taylor tidak menjawab pertanyaan Christopher, ia mengecup-kecup punggung tangan Justin seolah-olah tangan Justin merupakan hal terbaik dalam hidupnya. Ia melipat bibir ke dalam menatap Justin yang masih dapat memberikan senyuman terbaik untuknya.
            “Justin,” bisik Taylor menaruh punggung tangan Justin di pipinya. Ia memejamkan mata. “Ingatkah kau saat kau berharap mati di bawah pangkuanku?” Tanya Taylor mengerjap-kerjapkan matanya. Ia berniat menahan air matanya agar tak mengalir, tetapi air matanya tak mematuhi apa yang otaknya perintahkan. Ia berpindah geser di belakang punggung Justin, lalu menarik pria itu agar bersandar dadanya. Pria itu memang pernah berharap ia mati di dalam pangkuan dan pelukan wanita itu. Ia ingin mati dengan damai. Dan dimana ia menemukan damai adalah bersama orang yang sangat dicintainya. Di dalam pelukan Taylor.
            “Ya,” bisiknya sanggup menjawab. Dalam detik kapan pun, pria itu bisa mengembuskan nafas terakhirnya. Namun sepertinya Tuhan memberikan waktu lebih banyak. “Seperti ini. Kau tahu mengapa aku memintanya seperti itu? Aku tahu dadamu begitu empuk untuk dijadikan sandaran terakhirku,” canda Justin dengan nafas terengah-engah. Pria itu semakin pucat karena darahnya semakin berkurang. Terpaksa Taylor harus tertawa akan lelucon itu, membuat dirinya semakin sedih karena ia hanya memiliki peluang 1 banding 10 agar ia masih dapat melihat Justin bernafas.
            “Justin, kumohon jangan siksa aku seperti ini,” isak Taylor menangkup pipi Justin lalu menundukkan kepalanya. Ia mengecup bibir pria itu dengan lembut. “Aku mencintaimu.”
            “Oh, kau membuatku merasa di surga sekarang.” Justin menatap Taylor denga tatapan memuja. Tangannya sudah mati rasa namun kedua bola mata cokelat gelapnya menatap Taylor.  “Aku mencintaimu Taylor. Sejak pertama kali aku meyakinkan diri bahwa kau akan menjadi milikku dan selamanya.”
            “Paman Justin, apakah kau akan menemaniku tidur nanti?” Christopher yang tengah bersimpuh di hadapan mereka berdua menatap Justin dengan tatapan penuh harapan. Leher Taylor tertekuk, ia tak sanggup mendengar apa pun lagi. Ini terlalu berlebihan untuknya. Justin menatap anaknya lalu mengangguk lemah. “Aku akan mengambil bantal lebih untukmu agar kita berdua bisa tidur nyaman,”
            “Ya, aku yakin tidur bersamamu akan nyaman. Senyaman aku tidur bersama Mommy,” bisik Justin mulai merasa kesulitan bernafas. Rasa sakit di bawah dadanya—yang sedari tadi ia tahan—semakin menyeruak. Mendorongnya mengeluarkan erangan tertahan yang sontak membuat Taylor waspada.
            “Justin, tetap bersamaku!” Serunya menangkup dagu Justin. Pandangan Justin semakin mengabur. Air mata wanita itu sudah tak dapat dikendalikan lagi. Bahkan beberapa menetes di atas pipi Justin, namun ini bukan seperti yang di dongeng-dongeng. Dimana air mata dapat membangkitkan orang mati. Mata Justin yang awalnya melihat malaikat cantik itu semakin lama semakin memudar digantikan cahaya putih yang mendominasi. Kedua mata Justin menatapnya dengan tatapan kosong. Bibirnya menipis, dadanya terasa begitu sesak seolah-olah batu besar baru saja tersumbat di sana. Pernafasannya tak menentu, mengharapkan udara lebih banyak lagi. Dengan tangan bergetar, Jari tengah dan jempolnya menutup kelopak mata Justin sehingga pria itu memejamkan matanya. Lalu saat itulah Taylor menarik kepala Justin, menyembunyikan kepalanya di antara leher Justin.
Taylor menangis histeris di dalam sana. Berbisik, berdoa, memohon pada Tuhan agar mengembalikan pria paling berharga dalam hidupnya. Ia belum sempat mengatakan betapa berharganya pria ini. Matanya terpejam. Seperti di bioskop, ia menonton pertemuan pertama mereka. Di sebuah kedai kopi, dimana saat itu Taylor masih mengikat rambutnya menjadi satu dengan baju kasual seperti anak kuliahan lainnya. Jantungnya selalu berdetak satu kali lebih cepat dibanding biasanya tiap kali pria itu ditangkap oleh penglihatannya.
            Ia seperti melihat malaikat. Percakapan sederhana itu membawanya pada pelaminan. Oh, semuanya terasa begitu indah seperti ketika musim semi menyambutnya dengan bunga-bunga yang bermekaran. Sangat menjanjikan kedamaian saat berada di sisinya. Film singkat di otaknya melangkahi bagian perceraian mereka lalu berakhir begitu saja. Karena sudah tak ada lagi yang membahagiakan Taylor setelah pria itu pergi selain Christopher, anugerah terbaiknya.
            Dua petugas medis mengembalikan Taylor dalam dunia nyata. Membuat wanita itu dengan terpaksa melepaskan Justin dalam pelukannya. Pria itu sepucat dirinya saat ia melumpuhkan Java. Tidak, tidak. Pelukan Christopher mengejutkannya, namun ia segera menggendong anaknya, memegang kepala belakang anak itu lalu bangkit.
            “Mommy, jangan menangis,” bisik Christopher mengelap pipi Taylor dengan kedua telapak tangannya. Lalu ia bertanya, “apakah paman Justin akan menginap di rumah nanti?”
            Untuk pertanyaan yang satu itu, Taylor terpaksa harus menggeleng. Kali ini, Justin tidak akan muncul untuk menentang penolakan Taylor. Pria itu memang tidak akan muncul kapan pun bagi Christopher. Lagi.

***

            Matanya menatap kosong pada batu nisan di hadapannya. JUSTIN ALMONDE. 1 MARET 1985 – 9 OKTOBER 2014. Jadi, seperti inikah akhir hidupnya? Taylor bertanya-tanya dalam hati, menduga-duga mengapa ia bisa bertindak begitu bodoh. Seharusnya ia tidak membiarkan Justin lepas dari genggamannya. Seharusnya ia tidak membiarkan Justin menikahi wanita lain—meski pernikahannya tak pernah diselenggarakan. Seharusnya ia tidak melarang Justin bertemu Christopher—meski pria itu selalu berusaha bertemu Christopher. Seharusnya ia tidak berdekatan dengan Java jika itu memang keinginan Justin. Begitu banyak kalimat yang berawalan dengan kata ‘seharusnya’. Banyak kesalahan yang ia lakukan dalam hidupnya. Tetapi kematian Justin? Kematiannya merupakan kesalahan fatalnya yang tidak akan pernah bisa ia perbaiki lagi.
            Taylor tahu Justin akan ada di sisinya sekarang. Di tengah pemakaman itu, ia berjongkok sendirian di sebelah makam Justin. Air matanya sudah tak dapat menetes lagi. Dua hari yang lalu—saat Justin ditembak—Taylor menangis di rumah sakit. Ia menghubungi Ibunya agar datang ke Atlanta secepat mungkin. Ia menangis siang dan malam di rumahnya sambil sesekali Christopher atau Ibunya mengelus punggung Taylor agar wanita itu merasa tenang. Tidak banyak yang Taylor lakukan selain meminum air putih dan meratapi kebodohannya.
            Kebodohan terbesarnya adalah saat ia tidak pernah mengatakan; betapa berharganya Justin dalam hidupnya. Di saat ia memiliki waktu 1 minggu untuk mengatakannya pada Justin, ia tidak mempergunakannya. Yang ia lakukan justru menghindar dari Justin. Dalam balutan gaun hitam dan kerudung hitamnya, Taylor memeluk ujung lututnya lalu menyandarkan pipi kirinya di atasnya.
            “Aku seharusnya mengatakan padamu betapa berharganya kau bagiku, Justin,” bisik Taylor. Tidak, otaknya tidak meminta agar air matanya mengalir. Hal itu terjadi begitu saja. Setetes air mata berubah menjadi beberapa tetesan lain, kemudian mengalir seperti air terjun. “Aku tidak menyesal kau bercinta denganku di malam terakhirmu. Hatiku berbunga-bunga saat kau menginginkanku kembali. Aku semakin jatuh cinta padamu saat kau mengatakan bahwa kau mencintaiku. Dan aku memang wanita bodoh.” Taylor mengangkat kepalanya untuk mengelap air matanya.
            “Aku masih ingat saat kau memintaku agar kita tidak cepat-cepat memiliki anak. Oh, kau sangat marah saat aku menginginkan anak secepat yang kumau tetapi kau meredamnya karena kau tidak ingin menyakiti perasaanku. Kau bilang kau belum siap aku membagikan cinta untuk siapa pun. Kau begitu cemburu dan egois. Aku suka saat kau berkata seperti itu padaku.” Taylor menarik nafas dalam-dalam, kembali ia harus mengelap air mata dengan telapak tangannya.

            “Aku tidak ingin memiliki banyak anak, Taylor,” ucap Justin malam itu, di awal-awal pernikahannya. Mereka baru saja pulang dari bulan madu mereka yang memang begitu manis. Entah setan apa yang merasuki Justin, tiba-tiba saja pria itu mengangkat topik pembicaraan yang tak disangka-sangka Taylor. Wanita itu sedang menyiapkan makan malam mereka di depan kompor sambil tangan kirinya mengaduk-aduk sendok.
            Justin duduk di atas kursi meja makan, memerhatikan istrinya yang seksi sedang memasak. Celana pendek hitam hanya menutupi bokong wanita itu dan kaos putih yang tidak berlengan membuat Justin ingin menciumi tiap jengkalnya. Justin baru saja bangun tidur dan ia tidak mendapati Taylor berada di sebelahnya. Waktu cuti mereka akan habis sampai besok. Ia meminta Taylor agar tak beranjak dari tempat tidur karena ia ingin meresapi saat-saat terakhir mereka tanpa pekerjaan dan hanya bercinta.
            Dan ya, Taylor tidak mengikuti apa yang Justin inginkan. Pria itu turun dari lantai atas untuk menemui istrinya. Dan di sinilah Justin. Duduk di atas kursi, menatap Taylor penuh kagum, dan tanpa disangka-sangka ia mengatakan sesuatu yang membuat keduanya sendiri terkejut.
            “Dan, apa sebabnya?” Tanya Taylor melirik Justin. Pria itu tampak resah lalu menarik nafas tajam.
            “Aku hanya belum siap,” ucap Justin menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Taylor mematikan kompornya lalu membalikkan tubuhnya. Matanya menyipit.
            “Oh, kau belum siap? Belum siap untuk memiliki anak maksudmu?” Taylor meninggalkan makanannya di dalam wajan, tak peduli itu gosong atau tidak—meski seharusnya ia angkat karena wajan itu masih panas dan kemungkinan besar makanannya akan gosong. Ia berjalan menuju meja makan, kemudian membungkukkan tubuhnya dan menyangga tubuhnya dengan kedua siku-siku yang bertumpu di meja makan. Justin menelan ludah karena bagian leher kaos Taylor turun begitu saja, memperlihatkan buah dada Taylor yang telanjang.
            “Bukan,” ucap Justin menggeleng kepala tetapi matanya masih menatap buah dada Taylor. “Aku hanya belum siap kau membagi cintamu untuk siapa pun.”
            “Sekalipun itu anakmu sendiri?”
            “Ya,” bisik Justin membuat dua bola mata  Taylor membulat. “Bukan berarti aku tidak ingin memiliki anak denganmu. Hanya saja, aku belum siap kau membagi waktu untukku dan yang lain. Kau tentu tak ingin melihatku cemburu konyol, bukan?” Justin menarik tangan Taylor agar wanita itu berdiri lebih dekat dengannya.
            “Tidak, tentu saja.” Taylor menggeleng kepala. Wanita itu duduk di atas pangkuan Justin lalu melingkarkan tangannya di leher Justin. “Sepertinya memiliki anak menyenangkan Justin,”
            “Aku tahu, tapi tidak secepat itu.” Tangan Justin memeluk pinggul Taylor, mengelusnya lembut.
            “Kurasa dua bulan lagi aku akan hamil,” bisik Taylor menggoda. Wanita itu tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia hanya ingin mengganggu Justin. Rasanya menyenangkan mengganggu suaminya hingga marah lalu ia akan memadamkan amarahnya hanya dengan sebuah kecupan yang berujung di ranjang.
            “Hush.” Justin menggeleng kepala. “Jangan buat aku merasa terintimidasi Taylor,” bisik Justin menggigit telinga istrinya.
            “Serius. Aku ingin memiliki anak secepat mungkin agar rumah ini tidak sesepi pemakaman,” ucap Taylor memainkan rambut Justin di bawah sentuhan jarinya. Pria itu memejamkan matanya agar tak cepat emosi. Ia cepat cemburu dan kadang, ia mencemburui hal-hal yang seharusnya ia tak cemburui.
            “Tidak, tidak, tidak,” ucap Justin menggeleng kepala. “Kita tidak perlu cepat-cepat memiliki anak,”
            “Tapi aku mau, Justin,” manja Taylor menggesek-gesekkan hidungnya di hidung Justin. “Semakin kau sering bercinta denganku, semakin cepat kita memiliki anak,”
            “Maka dari itu Tuhan membiarkan orang menciptakan pil anti hamil,” ucap Justin santai. “Kau harus rutin meminumnya agar kau tidak cepat hamil,”
            “Obat itu tidak ampuh 100% bukan Justin?” Goda Taylor.
“Aku tak ingin marah hanya karena percakapan ini,” ucap Justin mengambil nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia sudah marah, hanya saja ia memang pemarah yang impulsif saat itu. Taylor menyentuh pinggang Justin dengan matanya menatap Justin dengan tatapan menginginkan pria itu. Namun tangannya tidak lama berdiam di sana. Tangan itu semakin lama semakin turun ke bawah, ke bagian tengah celana pendek pria itu. Gairah Justin bangkit akan sentuhan gila itu. Yah, sentuhan Taylor tak pernah tak membuat Justin nyaris gila. Wanita itu andal dengan permaiannnya.
          “Well, mari kita singkirkan topik pembicaraan itu,” ucap Taylor mengecup bibirnya ringan. “Apa kau lapar?”
            “Yeah, tentu saja,” ucap Justin tersenyum. Ah, emosinya mudah teralihkan. “Lapar akan kau.”

            Taylor menggeleng-geleng kepala mengingat kejadian itu. Ah, mereka begitu dimabuk cinta. Taylor ingin merasakan perasaan menggebu-gebu itu. Ia ingin jantungnya berdebar-debar bahkan sampai Taylor merasa saat itu dadanya akan robek begitu saja. Ia ingin kepala pusing karena ciuman panas mereka. Ia ingin mendengar suara Justin yang terdengar seperti nyanyian malaikat. Oh, saat-saat indah itu sekarang hanyalah memori. Memori yang tidak akan pernah Taylor lupakan. Wanita itu memejamkan mata selama beberapa saat, air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Apa yang dapat ia lakukan selain menangis seperti ini? Kepergiannya merupakan tragedi terbesarnya.
            Seharusnya aku mengatakan padamu betapa berartinya kau bagiku, bisik Taylor dalam hati. Wanita itu mengerjap-kerjapkan matanya, bulu matanya basah dan lalu ia mengelap matanya dengan jari telunjuk. Ia bangkit di tempatnya lalu menarik nafas dalam-dalam.
            “Seharusnya aku mengatakan padamu betapa berartinya kau bagiku.” Taylor berbisik, ia membalikkan tubuhnya dari pemakaman itu. Tiap langkah yang ia ambil terasa seperti mengangkat beban berton-ton. Taylor tak sekali-kali membalikkan kepalanya, menatap pemakaman itu lagi. Yang harus ia lakukan sekarang hanyalah kembali pulang, memeluk anaknya dan mengatakan betapa ia mencintai anak itu.
            Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya yang seperti bunga bermekaran di musim semi. Lalu ia berbisik dalam hati, memiliki anak setampan dirimu tidak begitu buruk, bukan Justin?

***

            Spongebob Squarepants, Spongebob Squarepants, Spongebob Squarepants. Kartun lama itu membuat Christopher tertawa saat Spongebob memainkan hidung itu menjadi suling. Kemudian gelembung-gelembung muncul membuat Christopher penasaran bagaimana hidup di bawah laut. Di ulang tahunnya yang ke-4, Christopher tidak meminta apa pun pada Ibunya. Well, mungkin satu permintaan sederhana. Sayangnya, Ibunya tak dapat mengabulkan permintaannya sehingga Christopher diberi mainan dan pakaian baru. Ia meminta paman Justin agar datang ke rumah untuk merayakan ulang tahunnya bersama.
            Sayangnya, Ibunya bilang paman Justin tidak bisa karena sibuk. Christopher sebenarnya tahu apa yang dimaksud Ibunya. Paman Justin sudah meninggal, setelah satu minggu sejak meninggalnya paman Justin, Christopher berulang tahun. Selama satu minggu itu, Christopher tak begitu banyak bicara. Tiap pagi ia pasti menemukan hidung Ibunya berwarna merah muda dan matanya sembab. Ia tak ingin melihat Ibunya menangis. Kemungkinan besar karena paman Justin sudah tidak ada dan paman Java yang menyebalkan.
            Christopher sudah memusuhi paman Java karena telah menembak paman Justin. Entah mengapa diumurnya yang muda ini, Christopher berpikir seolah-olah ia anak kecil di abad pertengahan. Ibunya dari tadi memeluk Christopher sambil mereka menonton kartun kesukaan Christopher di ruang tamu. Ah, rasanya begitu hampa jika tidak ada pria itu. Justin Almonde. Terutama Taylor. Hatinya terasa begitu kosong, bahkan ia mengambil cuti lebih lama daripada yang seharusnya. Semua rekan kerjanya mengerti apa yang sedang Taylor lalui. Mantan suami yang baru saja meninggal, sahabat yang membunuh mantan suaminya dan hari ulang tahun anaknya—dimana Taylor berharap Justin dapat menyempatkan waktu bersama merayakan ulang tahun Christopher.
            “Mommy, mengapa Patrick bisa begitu bodoh?” Tanya Christopher di bawah lehernya. Taylor menunduk, melihat anaknya yang menatapnya penuh tanya.
            “Karena ia tidak memiliki otak, sayang,”
          “Apa orang bodoh dapat merasakan sakit hati? Mereka bodoh berarti mereka tidak mengerti apa pun, bukan?” Tanya Christopher membuat Taylor menggigit bibir. Seandainya menjadi orang bodoh dapat membuatnya menjadi orang yang mati rasa dan tidak mengerti apa pun tentang cinta—bahkan Forrest Gump sekali pun mengerti rasanya cinta dan sakit hati—ia akan memilih menjadi orang bodoh.
            “Ya, mereka bisa merasa sakit hati, sayang.” Taylor mengecup kening Christopher. “Selamat ulang tahun, kesayanganku.”
            “Aku mencintaimu, Mom.” Christopher mengangkat kepalanya, mencium pipinya lalu bibir Ibunya. Seulas senyuman muncul di kedua wajah mereka.
            “Aku tahu.”

3 komentar: