Awalnya hanya setitik merah yang
menodai kemeja putihnya. Tetapi kemudian noda merah itu semakin meluas,
menyebar, dan basah. Dua bola mata cokelat itu berkaca-kaca namun tak sama
sekali mengedip. Seperti adegan di serial televisi Sherlock Holmes, ia
menjatuhkan diri ke belakang. Mengantisipasi terjadinya pendarahan cepat dalam
waktu singkat. Pikirannya terbang kepada kenangan-kenangan lama yang masih
tersimpan di memori otaknya. Ia mendengar sayup-sayup suara jeritan wanita lalu
tiga tembakan yang lain namun sisa-sisa kesadarannya hanya membiarkannya
mendengar erangan dari pria yang baru saja menembaknya. Diam-diam, di antara
kematian dan hidupnya, ia mengutuk pria itu.
Sepanjang hidup Taylor, ia tak
pernah menembak seorang pun. Ia juga tak berharap orang pertama yang ia tembak
adalah sahabat—yang dulu—setianya. Ia masih terguncang akan apa yang ia baru
saja lihat. Peluru pertama itu meluncur dengan indah, menjanjikan kematian yang
pasti, lalu menusuk tepat di bawah dada kanan pria itu. Bukan ia yang
menginginkan tembakan kedua, ketiga dan keempat terjadi, tetapi keadaan
memaksanya. Ia menendang kaki Java yang sementara ia tersungkur di bawahnya,
lalu pria itu ikut tersungkur di hadapannya. Hanya dalam hitungan detik,
sebelum pria itu menembaknya, Taylor menembak Java di kedua kakinya dan di
lengan pria itu. Tanpa ragu-ragu ia bangkit dan menendang tangan Java yang
masih memegang pistol sehingga pistol itu terlempar jauh dari pria itu.
Perhatiannya jatuh pada Justin yang
sudah tersungkur lemas di bawah tempat tidur Christopher. Anak kecil itu sudah
berada di samping Justin sambil memeluk lengan Ayahnya dengan kasih sayang.
Bahkan anak kecil itu tiba-tiba bangkit dari duduknya dan mengambil bantal yang
tadi dijadikan bantal kepala. Anak kecil itu menaruh bantal itu di punggung
Justin lalu tersenyum tulus. Justin tak sanggup melakukan apa pun selain
menatap Christopher dan wanita yang sekarang berjongkok di hadapannya. Semuanya
tampak seperti adegan lambat di film-film. Wanita itu mengguncang-guncangkan
kedua bahunya, berteriak di telinganya tetapi ia hanya mendengar dengungan
seperti mendengar lebah di sekitarnya.
“Justin! Demi Tuhan, tetap
bersamaku!” Seru Taylor yang tengah menghubungi 911. Begitu teleponnya
diangkat, Taylor segera memberitahu alamatnya dan meminta ambulans untuk datang
secepat mungkin. Ia melempar ponsel itu kemana saja lalu membungkuk, mendekati
Justin.
“Taylor..” lirih pria itu lemah.
Darahnya semakin merembes keluar, membasahi telapak tangannya yang dari tadi
berada di atas luka tembaknya. Kekuatannya yang masih tersisa, ia pergunakan
sebaik-baiknya. Jika ini memang
kematianku.., bisik Justin dalam hati sambil tersenyum lirih pada Taylor.
Wanita itu melembut. Ia mengelus
kepala Justin dengan lembut, bahkan tersenyum. Senyuman tulus sejak perceraian
mereka. Oh, ia sangat merindukan senyuman itu. Bahkan sekarang hatinya
meledak-ledak bahagia sebelum kematiannya. Wanita itu banyak berbicara tetapi
Justin tak sepenuhnya mendengar kata-katanya.
“Taylor..” lirihnya lagi membuat
Taylor menutup mulut. Pandangan Justin kabur sesaat. Ia dapat merasakan
sentuhan kulit lembut dari telapak tangan Christopher yang menyentuh punggung
tangannya. Justin menoleh pada anak tunggalnya, menatap anak itu dengan tatapan
bangga. Ia tampan dan pintar sepertiku,
bisik Justin sombong sebelum kematian menjemputnya.
“Mommy, apakah paman Justin akan
baik-baik saja?” Tanya Christopher begitu polos sampai Taylor tak dapat menahan
tangisannya lagi. Tangisan wanita itu memecah, ia menarik tangan Justin yang
tak tergeletak di lantai. Taylor tidak menjawab pertanyaan Christopher, ia
mengecup-kecup punggung tangan Justin seolah-olah tangan Justin merupakan hal
terbaik dalam hidupnya. Ia melipat bibir ke dalam menatap Justin yang masih
dapat memberikan senyuman terbaik untuknya.
“Justin,” bisik Taylor menaruh
punggung tangan Justin di pipinya. Ia memejamkan mata. “Ingatkah kau saat kau
berharap mati di bawah pangkuanku?” Tanya Taylor mengerjap-kerjapkan matanya.
Ia berniat menahan air matanya agar tak mengalir, tetapi air matanya tak
mematuhi apa yang otaknya perintahkan. Ia berpindah geser di belakang punggung
Justin, lalu menarik pria itu agar bersandar dadanya. Pria itu memang pernah
berharap ia mati di dalam pangkuan dan pelukan wanita itu. Ia ingin mati dengan
damai. Dan dimana ia menemukan damai adalah bersama orang yang sangat
dicintainya. Di dalam pelukan Taylor.
“Ya,” bisiknya sanggup menjawab.
Dalam detik kapan pun, pria itu bisa mengembuskan nafas terakhirnya. Namun
sepertinya Tuhan memberikan waktu lebih banyak. “Seperti ini. Kau tahu mengapa
aku memintanya seperti itu? Aku tahu dadamu begitu empuk untuk dijadikan
sandaran terakhirku,” canda Justin dengan nafas terengah-engah. Pria itu
semakin pucat karena darahnya semakin berkurang. Terpaksa Taylor harus tertawa
akan lelucon itu, membuat dirinya semakin sedih karena ia hanya memiliki
peluang 1 banding 10 agar ia masih dapat melihat Justin bernafas.
“Justin, kumohon jangan siksa aku
seperti ini,” isak Taylor menangkup pipi Justin lalu menundukkan kepalanya. Ia
mengecup bibir pria itu dengan lembut. “Aku mencintaimu.”
“Oh, kau membuatku merasa di surga
sekarang.” Justin menatap Taylor denga tatapan memuja. Tangannya sudah mati
rasa namun kedua bola mata cokelat gelapnya menatap Taylor. “Aku mencintaimu Taylor. Sejak pertama kali
aku meyakinkan diri bahwa kau akan menjadi milikku dan selamanya.”
“Paman Justin, apakah kau akan
menemaniku tidur nanti?” Christopher yang tengah bersimpuh di hadapan mereka
berdua menatap Justin dengan tatapan penuh harapan. Leher Taylor tertekuk, ia
tak sanggup mendengar apa pun lagi. Ini terlalu berlebihan untuknya. Justin
menatap anaknya lalu mengangguk lemah. “Aku akan mengambil bantal lebih untukmu
agar kita berdua bisa tidur nyaman,”
“Ya, aku yakin tidur bersamamu akan
nyaman. Senyaman aku tidur bersama Mommy,” bisik Justin mulai merasa kesulitan
bernafas. Rasa sakit di bawah dadanya—yang sedari tadi ia tahan—semakin
menyeruak. Mendorongnya mengeluarkan erangan tertahan yang sontak membuat
Taylor waspada.
“Justin, tetap bersamaku!” Serunya
menangkup dagu Justin. Pandangan Justin semakin mengabur. Air mata wanita itu
sudah tak dapat dikendalikan lagi. Bahkan beberapa menetes di atas pipi Justin,
namun ini bukan seperti yang di dongeng-dongeng. Dimana air mata dapat
membangkitkan orang mati. Mata Justin yang awalnya melihat malaikat cantik itu
semakin lama semakin memudar digantikan cahaya putih yang mendominasi. Kedua
mata Justin menatapnya dengan tatapan kosong. Bibirnya menipis, dadanya terasa
begitu sesak seolah-olah batu besar baru saja tersumbat di sana. Pernafasannya
tak menentu, mengharapkan udara lebih banyak lagi. Dengan tangan bergetar, Jari
tengah dan jempolnya menutup kelopak mata Justin sehingga pria itu memejamkan
matanya. Lalu saat itulah Taylor menarik kepala Justin, menyembunyikan
kepalanya di antara leher Justin.
Taylor
menangis histeris di dalam sana. Berbisik, berdoa, memohon pada Tuhan agar
mengembalikan pria paling berharga dalam hidupnya. Ia belum sempat mengatakan
betapa berharganya pria ini. Matanya terpejam. Seperti di bioskop, ia menonton
pertemuan pertama mereka. Di sebuah kedai kopi, dimana saat itu Taylor masih
mengikat rambutnya menjadi satu dengan baju kasual seperti anak kuliahan
lainnya. Jantungnya selalu berdetak satu kali lebih cepat dibanding biasanya
tiap kali pria itu ditangkap oleh penglihatannya.
Ia seperti melihat malaikat.
Percakapan sederhana itu membawanya pada pelaminan. Oh, semuanya terasa begitu
indah seperti ketika musim semi menyambutnya dengan bunga-bunga yang
bermekaran. Sangat menjanjikan kedamaian saat berada di sisinya. Film singkat
di otaknya melangkahi bagian perceraian mereka lalu berakhir begitu saja.
Karena sudah tak ada lagi yang membahagiakan Taylor setelah pria itu pergi
selain Christopher, anugerah terbaiknya.
Dua petugas medis mengembalikan
Taylor dalam dunia nyata. Membuat wanita itu dengan terpaksa melepaskan Justin
dalam pelukannya. Pria itu sepucat dirinya saat ia melumpuhkan Java. Tidak,
tidak. Pelukan Christopher mengejutkannya, namun ia segera menggendong anaknya,
memegang kepala belakang anak itu lalu bangkit.
“Mommy, jangan menangis,” bisik
Christopher mengelap pipi Taylor dengan kedua telapak tangannya. Lalu ia
bertanya, “apakah paman Justin akan menginap di rumah nanti?”
Untuk pertanyaan yang satu itu,
Taylor terpaksa harus menggeleng. Kali ini, Justin tidak akan muncul untuk
menentang penolakan Taylor. Pria itu memang tidak akan muncul kapan pun bagi
Christopher. Lagi.
***
Matanya menatap kosong pada batu
nisan di hadapannya. JUSTIN ALMONDE. 1
MARET 1985 – 9 OKTOBER 2014. Jadi, seperti inikah akhir hidupnya? Taylor
bertanya-tanya dalam hati, menduga-duga mengapa ia bisa bertindak begitu bodoh.
Seharusnya ia tidak membiarkan Justin lepas dari genggamannya. Seharusnya ia
tidak membiarkan Justin menikahi wanita lain—meski pernikahannya tak pernah
diselenggarakan. Seharusnya ia tidak melarang Justin bertemu Christopher—meski
pria itu selalu berusaha bertemu Christopher. Seharusnya ia tidak berdekatan
dengan Java jika itu memang keinginan Justin. Begitu banyak kalimat yang
berawalan dengan kata ‘seharusnya’. Banyak kesalahan yang ia lakukan dalam
hidupnya. Tetapi kematian Justin? Kematiannya merupakan kesalahan fatalnya yang
tidak akan pernah bisa ia perbaiki lagi.
Taylor tahu Justin akan ada di
sisinya sekarang. Di tengah pemakaman itu, ia berjongkok sendirian di sebelah
makam Justin. Air matanya sudah tak dapat menetes lagi. Dua hari yang lalu—saat
Justin ditembak—Taylor menangis di rumah sakit. Ia menghubungi Ibunya agar
datang ke Atlanta secepat mungkin. Ia menangis siang dan malam di rumahnya
sambil sesekali Christopher atau Ibunya mengelus punggung Taylor agar wanita
itu merasa tenang. Tidak banyak yang Taylor lakukan selain meminum air putih
dan meratapi kebodohannya.
Kebodohan terbesarnya adalah saat ia
tidak pernah mengatakan; betapa berharganya Justin dalam hidupnya. Di saat ia
memiliki waktu 1 minggu untuk mengatakannya pada Justin, ia tidak
mempergunakannya. Yang ia lakukan justru menghindar dari Justin. Dalam balutan
gaun hitam dan kerudung hitamnya, Taylor memeluk ujung lututnya lalu menyandarkan
pipi kirinya di atasnya.
“Aku seharusnya mengatakan padamu
betapa berharganya kau bagiku, Justin,” bisik Taylor. Tidak, otaknya tidak
meminta agar air matanya mengalir. Hal itu terjadi begitu saja. Setetes air
mata berubah menjadi beberapa tetesan lain, kemudian mengalir seperti air
terjun. “Aku tidak menyesal kau bercinta denganku di malam terakhirmu. Hatiku
berbunga-bunga saat kau menginginkanku kembali. Aku semakin jatuh cinta padamu
saat kau mengatakan bahwa kau mencintaiku. Dan aku memang wanita bodoh.” Taylor
mengangkat kepalanya untuk mengelap air matanya.
“Aku masih ingat saat kau memintaku
agar kita tidak cepat-cepat memiliki anak. Oh, kau sangat marah saat aku
menginginkan anak secepat yang kumau tetapi kau meredamnya karena kau tidak
ingin menyakiti perasaanku. Kau bilang kau belum siap aku membagikan cinta
untuk siapa pun. Kau begitu cemburu dan egois. Aku suka saat kau berkata
seperti itu padaku.” Taylor menarik nafas dalam-dalam, kembali ia harus
mengelap air mata dengan telapak tangannya.
“Aku tidak ingin memiliki banyak
anak, Taylor,” ucap Justin malam itu, di awal-awal pernikahannya. Mereka baru
saja pulang dari bulan madu mereka yang memang begitu manis. Entah setan apa
yang merasuki Justin, tiba-tiba saja pria itu mengangkat topik pembicaraan yang
tak disangka-sangka Taylor. Wanita itu sedang menyiapkan makan malam mereka di
depan kompor sambil tangan kirinya mengaduk-aduk sendok.
Justin duduk di atas kursi meja
makan, memerhatikan istrinya yang seksi sedang memasak. Celana pendek hitam
hanya menutupi bokong wanita itu dan kaos putih yang tidak berlengan membuat
Justin ingin menciumi tiap jengkalnya. Justin baru saja bangun tidur dan ia
tidak mendapati Taylor berada di sebelahnya. Waktu cuti mereka akan habis
sampai besok. Ia meminta Taylor agar tak beranjak dari tempat tidur karena ia
ingin meresapi saat-saat terakhir mereka tanpa pekerjaan dan hanya bercinta.
Dan ya, Taylor tidak mengikuti apa
yang Justin inginkan. Pria itu turun dari lantai atas untuk menemui istrinya.
Dan di sinilah Justin. Duduk di atas kursi, menatap Taylor penuh kagum, dan
tanpa disangka-sangka ia mengatakan sesuatu yang membuat keduanya sendiri
terkejut.
“Dan, apa sebabnya?” Tanya Taylor
melirik Justin. Pria itu tampak resah lalu menarik nafas tajam.
“Aku hanya belum siap,” ucap Justin
menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Taylor mematikan kompornya lalu
membalikkan tubuhnya. Matanya menyipit.
“Oh, kau belum siap? Belum siap
untuk memiliki anak maksudmu?” Taylor meninggalkan makanannya di dalam wajan,
tak peduli itu gosong atau tidak—meski seharusnya ia angkat karena wajan itu
masih panas dan kemungkinan besar makanannya akan gosong. Ia berjalan menuju
meja makan, kemudian membungkukkan tubuhnya dan menyangga tubuhnya dengan kedua
siku-siku yang bertumpu di meja makan. Justin menelan ludah karena bagian leher
kaos Taylor turun begitu saja, memperlihatkan buah dada Taylor yang telanjang.
“Bukan,” ucap Justin menggeleng
kepala tetapi matanya masih menatap buah dada Taylor. “Aku hanya belum siap kau
membagi cintamu untuk siapa pun.”
“Sekalipun itu anakmu sendiri?”
“Ya,” bisik Justin membuat dua bola
mata Taylor membulat. “Bukan berarti aku
tidak ingin memiliki anak denganmu. Hanya saja, aku belum siap kau membagi
waktu untukku dan yang lain. Kau
tentu tak ingin melihatku cemburu konyol, bukan?” Justin menarik tangan Taylor
agar wanita itu berdiri lebih dekat dengannya.
“Tidak, tentu saja.” Taylor
menggeleng kepala. Wanita itu duduk di atas pangkuan Justin lalu melingkarkan
tangannya di leher Justin. “Sepertinya memiliki anak menyenangkan Justin,”
“Aku tahu, tapi tidak secepat itu.” Tangan Justin memeluk pinggul
Taylor, mengelusnya lembut.
“Kurasa dua bulan lagi aku akan
hamil,” bisik Taylor menggoda. Wanita itu tidak bersungguh-sungguh dengan
ucapannya. Ia hanya ingin mengganggu Justin. Rasanya menyenangkan mengganggu
suaminya hingga marah lalu ia akan memadamkan amarahnya hanya dengan sebuah
kecupan yang berujung di ranjang.
“Hush.” Justin menggeleng kepala.
“Jangan buat aku merasa terintimidasi Taylor,” bisik Justin menggigit telinga
istrinya.
“Serius. Aku ingin memiliki anak
secepat mungkin agar rumah ini tidak sesepi pemakaman,” ucap Taylor memainkan
rambut Justin di bawah sentuhan jarinya. Pria itu memejamkan matanya agar tak
cepat emosi. Ia cepat cemburu dan kadang, ia mencemburui hal-hal yang
seharusnya ia tak cemburui.
“Tidak, tidak, tidak,” ucap Justin
menggeleng kepala. “Kita tidak perlu cepat-cepat memiliki anak,”
“Tapi aku mau, Justin,” manja Taylor
menggesek-gesekkan hidungnya di hidung Justin. “Semakin kau sering bercinta
denganku, semakin cepat kita memiliki anak,”
“Maka dari itu Tuhan membiarkan
orang menciptakan pil anti hamil,” ucap Justin santai. “Kau harus rutin
meminumnya agar kau tidak cepat hamil,”
“Obat itu tidak ampuh 100% bukan
Justin?” Goda Taylor.
“Aku
tak ingin marah hanya karena percakapan ini,” ucap Justin mengambil nafas
dalam-dalam. Sebenarnya ia sudah marah, hanya saja ia memang pemarah yang
impulsif saat itu. Taylor menyentuh pinggang Justin dengan matanya menatap
Justin dengan tatapan menginginkan pria itu. Namun tangannya tidak lama berdiam
di sana. Tangan itu semakin lama semakin turun ke bawah, ke bagian tengah
celana pendek pria itu. Gairah Justin bangkit akan sentuhan gila itu. Yah,
sentuhan Taylor tak pernah tak membuat Justin nyaris gila. Wanita itu andal
dengan permaiannnya.
“Well, mari kita singkirkan topik
pembicaraan itu,” ucap Taylor mengecup bibirnya ringan. “Apa kau lapar?”
“Yeah, tentu saja,” ucap Justin
tersenyum. Ah, emosinya mudah teralihkan. “Lapar akan kau.”
Taylor menggeleng-geleng kepala
mengingat kejadian itu. Ah, mereka begitu dimabuk cinta. Taylor ingin merasakan
perasaan menggebu-gebu itu. Ia ingin jantungnya berdebar-debar bahkan sampai
Taylor merasa saat itu dadanya akan robek begitu saja. Ia ingin kepala pusing
karena ciuman panas mereka. Ia ingin mendengar suara Justin yang terdengar
seperti nyanyian malaikat. Oh, saat-saat indah itu sekarang hanyalah memori.
Memori yang tidak akan pernah Taylor lupakan. Wanita itu memejamkan mata selama
beberapa saat, air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Apa yang dapat ia
lakukan selain menangis seperti ini? Kepergiannya merupakan tragedi
terbesarnya.
Seharusnya
aku mengatakan padamu betapa berartinya kau bagiku, bisik Taylor dalam
hati. Wanita itu mengerjap-kerjapkan matanya, bulu matanya basah dan lalu ia
mengelap matanya dengan jari telunjuk. Ia bangkit di tempatnya lalu menarik
nafas dalam-dalam.
“Seharusnya aku mengatakan padamu
betapa berartinya kau bagiku.” Taylor berbisik, ia membalikkan tubuhnya dari
pemakaman itu. Tiap langkah yang ia ambil terasa seperti mengangkat beban
berton-ton. Taylor tak sekali-kali membalikkan kepalanya, menatap pemakaman itu
lagi. Yang harus ia lakukan sekarang hanyalah kembali pulang, memeluk anaknya
dan mengatakan betapa ia mencintai anak itu.
Sebuah senyuman kecil muncul di
wajahnya yang seperti bunga bermekaran di musim semi. Lalu ia berbisik dalam
hati, memiliki anak setampan dirimu tidak
begitu buruk, bukan Justin?
***
Spongebob
Squarepants, Spongebob Squarepants, Spongebob Squarepants. Kartun lama itu
membuat Christopher tertawa saat Spongebob memainkan hidung itu menjadi suling.
Kemudian gelembung-gelembung muncul membuat Christopher penasaran bagaimana
hidup di bawah laut. Di ulang tahunnya yang ke-4, Christopher tidak meminta apa
pun pada Ibunya. Well, mungkin satu permintaan sederhana. Sayangnya, Ibunya tak
dapat mengabulkan permintaannya sehingga Christopher diberi mainan dan pakaian
baru. Ia meminta paman Justin agar datang ke rumah untuk merayakan ulang
tahunnya bersama.
Sayangnya, Ibunya bilang paman
Justin tidak bisa karena sibuk. Christopher sebenarnya tahu apa yang dimaksud
Ibunya. Paman Justin sudah meninggal, setelah satu minggu sejak meninggalnya
paman Justin, Christopher berulang tahun. Selama satu minggu itu, Christopher tak
begitu banyak bicara. Tiap pagi ia pasti menemukan hidung Ibunya berwarna merah
muda dan matanya sembab. Ia tak ingin melihat Ibunya menangis. Kemungkinan
besar karena paman Justin sudah tidak ada dan paman Java yang menyebalkan.
Christopher sudah memusuhi paman
Java karena telah menembak paman Justin. Entah mengapa diumurnya yang muda ini,
Christopher berpikir seolah-olah ia anak kecil di abad pertengahan. Ibunya dari
tadi memeluk Christopher sambil mereka menonton kartun kesukaan Christopher di
ruang tamu. Ah, rasanya begitu hampa jika tidak ada pria itu. Justin Almonde.
Terutama Taylor. Hatinya terasa begitu kosong, bahkan ia mengambil cuti lebih
lama daripada yang seharusnya. Semua rekan kerjanya mengerti apa yang sedang
Taylor lalui. Mantan suami yang baru saja meninggal, sahabat yang membunuh
mantan suaminya dan hari ulang tahun anaknya—dimana Taylor berharap Justin
dapat menyempatkan waktu bersama merayakan ulang tahun Christopher.
“Mommy, mengapa Patrick bisa begitu
bodoh?” Tanya Christopher di bawah lehernya. Taylor menunduk, melihat anaknya
yang menatapnya penuh tanya.
“Karena ia tidak memiliki otak,
sayang,”
“Apa orang bodoh dapat merasakan sakit
hati? Mereka bodoh berarti mereka tidak mengerti apa pun, bukan?” Tanya
Christopher membuat Taylor menggigit bibir. Seandainya menjadi orang bodoh
dapat membuatnya menjadi orang yang mati rasa dan tidak mengerti apa pun
tentang cinta—bahkan Forrest Gump sekali pun mengerti rasanya cinta dan sakit
hati—ia akan memilih menjadi orang bodoh.
“Ya, mereka bisa merasa sakit hati,
sayang.” Taylor mengecup kening Christopher. “Selamat ulang tahun,
kesayanganku.”
“Aku mencintaimu, Mom.” Christopher
mengangkat kepalanya, mencium pipinya lalu bibir Ibunya. Seulas senyuman muncul
di kedua wajah mereka.
“Aku tahu.”
YAH ENDINGNYA TRAGIS
BalasHapusPadahal berharap mereka bisa bersatu lagi
BalasHapusKenapa justinnya mati? Huaa gua nangis😭😭😭
BalasHapus