EPILOGUE
FAITH
Waktu
membuktikan bahwa aku memang mencintainya. Hanya mereka berdua yang kucintai di dunia ini. Memiliki mereka
seolah-olah Tuhan memang membiarkanku hidup dalam surga dunia. Aku melipat
bibirku ke dalam, memerhatikan mereka yang sedang bermain. Suami dan anakku.
Mungkin memang anakku tidak sesempurna anak-anak yang lain. Ia keterbelakangan
mental. Bagiku itu adalah cobaan dari Tuhan yang indah. Aku tidak melihat sisi
buruknya. Mungkin Tuhan memiliki maksud tersendiri. Ketika anak pertamaku
lahir, aku memang sedikit terkejut dengan keadaannya. Ia tidak bisa melakukan
hal yang anak lain lakukan. Ia belum bisa, lebih tepatnya. Dokter memberitahu
padaku bahwa ia mengalami keterbelakangan mental. Awalnya aku sedih. Begitupun
dengan suamiku sekarang, Justin. Kami melewati masa-masa kritis di awal
pernikahan kami. Justin tampaknya tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya
keterbelakangan mental. Tetapi yang terpenting dari pernikahan adalah kepercayaan
dan kesabaran, itu bagiku. Jadi, tiap harinya aku yang mengurus Christopher
tanpa kehadiran Justin. Justin hanya berada di rumah malam hari dan segera
tidur. Di hari libur, ia berusaha menjauh dari Christopher. Satu tahun telah
berlalu. Hubungan pernikahan kami semakin membaik.
Justin
mulai terbiasa dengan Christopher. Justru ia lebih memilih bersama dengan
Christopher dibanding pekerjaannya. Aku menelaah mengapa Tuhan memberikan kami
anak seperti Christopher. Setelah dua tahun berlalu, Christopher telah
menginjak umur ketiga, aku baru menyadari segalanya. Keadaan Christopher
membuat hubungan kami semakin dekat. Aku dan Justin jarang bertengkar karena
Christopher selalu memanggil Justin untuk bermain dengannya. Sehingga ketika
kami akan bertengkar, anak itu yang menjadi penengahnya. Ia menghalangi kami
dari pertengkaran.
Tinggal
di London memang cocok untuk Christopher. Rumah yang besar dan taman yang luas.
Christopher sudah bisa berjalan sekarang, mungkin memang terlambat ia baru bisa
berjalan di umur yang ketiga, tapi tidak apa-apa. Dari pada ia tidak bisa
berjalan sama sekali? Christopher memiliki mata cokelat madu seperti ayahnya.
Ia tampan, bagiku dan Justin. Ia anak baik. Dan aku benar-benar mencintainya.
Sebentar lagi, Christopher akan menjadi kakak yang baik. Aku sedang mengandung
anak kedua kami. Ini sudah memasuki bulan yang ketujuh. Dua bulan lagi aku akan
melahirkan. Kali ini, aku mengandung bersama dengan pria yang kucintai.
Justin
Lexise. Ada perasaan bahagia ketika kami mengucapkan janji suci di hadapan
Tuhan di gereja agar kami akan hidup bersama sampai maut memisahkan kami. Nilai
tambahnya adalah dia sudah menjadi milikku. Tiap pagi aku melihatnya saat aku
terbangun dari tidurku. Dan hanya aku yang bisa menyentuhnya. Mungkin pertemuan
kami memang bukan hal yang wajar, tetapi lihatlah sekarang. Aku terbaring di
atas kursi santai yang panjang, di belakang halaman rumah kami dan tersenyum bahagia
memerhatikan Justin bermain bersama dengan Christopher. Dua orang yang paling
kucintai di dunia.
“Ny.
Lexise,” aku dikejutkan oleh suara lembut dari salah satu perawat Christopher.
Aku terperanjat dari tempatku dan langsung memalingkan kepalaku padanya. Kulihat
di tangannya segelas susu cokelat untukku. Aku langsung meraihnya dan
menggumamkan kata terima kasih. Kuteguk susu cokelat ini hingga menyisakan
setengah gelas. Justin mendongak ke arah kami ketika ia sedang menggelitiki
Christopher dan lalu ia menggendong Christopher. Kakinya yang panjang itu
berlari ke arah kami dan ia tersenyum. Sejak kami menikah, Justin terlihat
lebih bahagia. Ia tidak berbahaya seperti dulu. Meski ia memang posesif. Ketika
Joe datang ke rumah kami untuk bermain bersama dengan Christopher, Justin
langsung mengusirnya dari rumah kami. Sebenarnya, aku juga sadar betul bahwa
Christopher masih menyukaiku, tapi yang benar saja, Justin tidak perlu mengusir
Christopher. Kabarnya dua bulan terakhir ini Joe telah memiliki kekasih. Dan
Mozes, dia juga sedang menjalin sebuah hubungan dengan salah satu pelayan di
restorannya. Ya, dia akhirnya memiliki restoran sendiri yang dibantu oleh
Justin. Atau lebih tepatnya, Justin memiliki sebuah restoran, lalu ia
memberikannya pada Mozes secara cuma-cuma.
“Hei,”
sapa Justin dengan suara lembut. Ia membuyarkan lamunan sehingga aku langsung
menoleh padanya yang sudah berbaring di sebelahku. Aku tidak mengatakan
apa-apa, hanya mengecup bibirnya singkat lalu menyentuh tangannya yang ia
tempatkan di atas perutku. Mataku segera melihat Chirstopher yang sudah bermain
bersama dengan perawat kami, Brianna. Dia sudah berada di tangan yang tepat
sekarang. Aku selalu takut saat Justin bermain dengan Christopher karena
kekuatan tangan Justin benar-benar bertenaga. Hanya saja, aku takut jika Justin
meremukkan tangan Christopher kecilku. Kutaruh gelas susu yang masih berada di
tanganku ke atas meja bundar di sebelah kursi.
“Mengapa
kau menjadi pendiam hari ini? Tidak seperti biasanya. Ada apa sayang?” Tanya
Justin mengelus kepalaku dengan tangannya yang lain. Kepalaku sudah bersandar
di bahunya. Oh tubuhku sekarang sudah tidak sama seperti dulu, setelah aku
melahir Christopher, tubuhku masih baik-baik saja.Tapi kurasa sekarang berat
badanku bertambah.
“Kurasa
anak kedua kita akan menyisakan lemak di perutku,” ucapku terkekeh. Justin
memerhatikanku, ia tidak melepaskan pandangannya dariku yang artinya dia
membuatku sedikit malu. Mengapa aku harus malu ketika aku sudah menjalin
hubungan suami istri dengannya selama tiga tahun? Ia tidak ikut tertawa
denganku, justru wajahnya serius. Jika seperti ini, pasti ia akan
menceramahiku. Selama kami menikah, Justin lebih dewasa dan tentunya lebih
tampan.
“Aku
tidak peduli jika kau gemuk nanti. Aku akan tetap bersamamu. Mengapa kau harus
berpikir sampai ke sana? Kebahagiaan bukan diukur dari kecantikanmu, kau tahu
itu?” Tanya Justin. Aku tak berani menatapnya, ia meraih daguku dengan ibu jari
dan telunjuk lalu mengangkatnya. “Kau dengar aku, Ny. Lexise?” Tanyanya dengan
suara yang seksi namun tegas. Aku mengangguk. Sedetik kemudian ia mengecup
bibirku begitu lama.
“Sebenarnya,
kau satu-satunya orang yang memberikanku kebahagiaan penuh. Di saat orang lain
berusaha untuk membuatku terpukau, kau masuk ke dalam hidupku dengan apa
adanya. Tidak menyukai mawar seperti wanita-wanita lain. Di saat yang lain
memakai gaun pendek di bawah bokong mereka, kau hanya memakai celana jins dan
kaos berwarna putih. Lalu, di saat yang lain membiarkan aku memutar lagu
kesukaanku, kau meminta lagu kesukaanmu –yang menurut orang lain pasti kau
tidak sopan. Dan dikala yang lain tidak datang ke perpustakaan, kau datang ke
sana dan berbicara dengan kakekku. Dan lebih parahnya lagi, kau memakan kue
cokelatnya! Tapi itulah dirimu. Kau memperlihatkan dirimu yang sebenarnya
padaku tanpa ada sandiwara sedikitpun. Lalu aku berpikir ketika kau bertingkah
apa adanya, sebenarnya, apa yang bisa kaulakukan untuk membahagiakanku? Well,
saat aku mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi denganmu, aku sadar.
Aku sadar bahwa kau datang ke dalam hidupku dengan apa adanya dirimu.
Sederhana. Mudah dicintai tapi tidak mudah dilupakan. Mengapa kau harus malu
kalau kau gemuk nantinya? Aku tidak peduli dengan ucapan orang yang mengatakan
hal-hal buruk tentangmu. Mereka tidak tahu dirimu seperti aku mengetahui
dirimu. Nah, mengapa kita tidak menjalani kehidupan ini dengan apa adanya?” Aku
terpana dengan apa yang ia katakan. Meski ucapannya mengembalikan memori
kematian Florek di tangannya. Tapi itu sudah berlalu. Justin bukanlah pria yang
jahat lagi.
“Aku
sekarang berada di sampingmu setelah aku memakan kue cokelatnya. Tidak ada yang
salah dengan kue cokelat itu, kau tahu,” aku mendengus. Justin terdiam. Mungkin
ia mengingat apa yang telah ia perbuat pada kakeknya sendiri. Ia yang membunuh kakeknya sendiri. Tangan kiriku
mulai mengelus kepalanya, rambutnya benar-benar lembut, aku senang menghirup
wangi rambutnya di malam hari.
“Kalau
begitu, terima kasih karena sudah mencintaiku apa adanya diriku. Sekali lagi,
aku beruntung telah memilikimu. Okay? Apa kita sudah selesai?” Tanyaku
tersenyum. Akhirnya, senyumannya mengembang. Ia mengangguk lalu Justin
mendekatkan bibirnya pada bibirku. Kubuka mulutku, ia mulai mengapi bibir
atasku dan mengisapnya hingga aku mendesah kecil. Aku juga tidak mau kalah –sebelum
aku hamil anak kedua kami, aku sudah menjadi ratu di atas ranjang—jadi aku membalas
hisapan bibirnya. Bunyi cepakan dari bibir kami terdengar ketika bibir kami
saling lepas, aku tersenyum.
“Selalu
bisa membangkitkan gairahku,” komentar Justin, ia menghela. “Sialnya, aku harus
menunggu dua bulan lagi,”
“Aku
yakin kau bisa menunggunya,” ucapku mengelus pipinya. Ia memejamkan matanya,
tangannya memegang tanganku yang ada di pipinya lalu menariknya. “Ada apa?”
“Jika
kau melakukan itu, kurasa aku bisa menyetubuhimu 30 menit sebelum kau
melahirkan,”
“Oh,
kau sangat jahat Justin!” Teriakku memukul dadanya dan tertawa. “Oke, tapi
kurasa aku harus buang air kecil,” ucapku. Justin segera bangkit dari tempat
duduk lalu menolongku untuk bangkit. Saat berdiri, aku merasakan kelegaan yang
tiada tara pada pinggangku. Oh, ya ampun, nyaman sekali. Sekarang kakiku yang
akan menahan tubuhku. Justin menolehkan kepalanya ke belakang ketika ia
mendengar suara tangisan Christopher. Ia berlari menuju Christopher lalu
menggendongnya. Tangisan Christopher berhenti begitu saja. Yeah, benar sekali,
Christopher lebih dekat dengan Justin dibanding denganku. Mungkin karena selama
setahun penuh aku bersama dengannya sebelum Justin benar-benar menerimanya. Justin
berlari ke arahku dan tangannya yang lain memegang tanganku. Inilah aku.
Seorang yang awalnya menjadi resepsionis sebuah hotel dan menjalin hubungan
dengan seorang pengusaha kaya karena ibuku memiliki perjanjian dengannya, lalu
putus selama beberapa bulan dan kembali lagi menjadi sepasang suami-istri. Aku
mendapatkan pria yang kucintai dan ia mencintaiku apa adanya. Awalnya aku
berpikir, mencintainya adalah kesalahan terbesarku. Ternyata, kesalahan itu
adalah anugerah untukku. Aku tersenyum ketika memasuki rumah kami lalu aku
berhenti di tempat untuk sesaat. Tanganku langsung menarik wajah Justin,
mengecup bibirnya, membiarkan bahwa kecupan ini menjadi bukti bahwa dia
sepenuhnya milikku dan ia mencintaiku.
Bukankah
hidup ini adil? Untuk melihatnya, kita harus memakai kacamata yang pas.
Anjirrr, justin jadi pinter ceramah, kapan gue diceramahin ya? *ngarep banget
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusepilognya keren banget Ren ;)
BalasHapusawwwwwww i lope your story kakak ren
BalasHapusWaw.. speechless
BalasHapusReally love your story